13 |
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
teratas, diikuti oleh kelompok Islamis‐radikal, dan kemudian diikuti oleh orang
biasa. Aktor
negara menempati posisi teratas dalam melakukan kekerasan. Aparat kepolisisan
terlibat kasus razia waria di Batam, razia waria di Surabaya, kasus Ratna di
Blora, dan kekerasan terhadap waria di Makasar. Dalam kasus razia, satpol PP juga
terlibat sebagai pelaku kekerasan di dalamnya. Aktor negara lain yang juga tercatat
sebagai pelaku adalah hakim sebagaimana yang terjadi dalam kasus pengadialan
tidak fair di Solo. Sementara
itu, aktor non‐negara yang cukup banyak melakukan tindakan kekerasan
terhadap komunitas LGBTI selama periode pendokumentasian ini adalah kelompok
‐kelompok Islamis radikal. Kelompok ini menjadi aktor kekerasan dalam tiga
kasus: Pembatalan pertemuan jaringan GWL‐INA di Bandung, penganiayaan gay
di Solo, dan kasus pembubaran paksa kontes waria di Makassar. Masyarakat
biasa juga bisa menjadi pelaku kekerasan. Dalam kasus penembakan
waria di Taman lawang Jakarta, penganiayaan waria di Makassar, kasus
Ratna Blora, dan penganiayaan gay di Manado, pelakunya adalah anggota masyarakat
biasa. Jika
sejak awal dikesankan bahwa pelaku kekerasan terhadap komunitas LGBTI
adalah individu atau kelompok di luar komunitas LGBTI, maka perlu dinyatakan
di sini bahwa pelaku tidak selalu berasal dari luar. Ada peristiwa di mana
pelaku pelanggaran berasal dari komunitas LGBTI sendiri. Hal ini bisa dilihat pada
laporan Positive Rainbow tentang peristiwa pembukaan status HIV seseorang. Peristiwa
ini terjadi di Pulo Gadung, Jakarta, tempat berkumpulnya kawan‐kawan gay.
Baik korban maupun pelaku dari peristiwa ini adalah sama‐sama gay. Perlu
juga untuk dinyatakan di sini, bahwa ketiga kategori aktor itu selain bisa
melakukan tindakan kekerasan sendiri‐sendiri, mereka juga bisa bertindak bersama
‐sama. Kasus penganiayaan Ratna di Blora adalah contoh kasus di mana terjadi
sinergi antara masyarakat dan aparat negara dalam melakukan tindakan kekerasan
kepada LGBTI. Sedang kasus yang terjadi pada gay di Solo menunjukkan adanya
kerja sama antara kelompok Islamis‐radikal dengan aparatus negara. Kasus pembubaran
pertemuan GWL‐INA adalah contoh kekerasan yang dilakukan oleh kelompok
Islamis‐radikal dengan orang biasa.
5. Motiv Tindakan Pelaku sebagaimana Yang Dipersi Korban
Kebanyakan pemantau tidak mengkonfirmasikan persepsi korban atas
tindakan pelaku melakukan tindakan kekerasan. Alasan tindakan pelaku hanya
muncul dalam situasi‐situasi tertentu saja. Tercatat hanya tiga kasus yang
menjelaskan persepsi korban:
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
| 14
No Kasus
Motiv
1 Pemukulan
gay di Manado Homofobia
2 Ratna
Blora MoralHomofobia
3 Peringatan
Hari AIDS di Makasar MoralHomofobia
6. Korban
Ketika orientasi seksual dan identitas gender seseorang dari komunitas
LGBTI terbuka secara jelas dan terbuka, hal ini tampak mempengaruhi tingkat
kerentanannya. Dari 10 kasus yang dilaporkan, terdokumentasi 26 korban dimana
waria muncul sebagai korban terbanyak.
Dari empat kasus yang dilaporkan penembakan waria di Taman Lawang‐
Jakarta, razia waria di Batam, razia waria di Surabaya, dan penyerangan waria di
Makassar, ada 13 waria yang menjadi korban, di mana semuanya mengalami
tindakan kekerasan ketika sedang berkumpul bersama kelompoknya.
No Peristiwa
Korban
1 Penembakan
Waria di Taman Lawang, Jakarta
2 orang waria
2 Razia
Waria di Batam 7
orang waria 3
Razia Waria di Surabaya
1 orang waria
4 Penyerangan
Waria di Makasar 3
orang waria
Di dua kasus pembubaran acara LGBTI pembubaran paksa sebuah kontes
waria di Makassar oleh FPI dan pemaksaan pembatalan penyelenggaraan pertemuan
nasional GWL‐INA di Bandung oleh pihak manajemen hotel tempat pertemuan
tersebut yang mengaku telah diancam oleh FPI, setidaknya ada empat kelompok
gay dan waria yang menjadi korban, yaitu:
• Panitia penyelenggara kontes 40 orang • Peserta kontes 60 orang
• Pengunjung kontes • Anggota jaringan GWL‐INA
Perlu dicatat di sini bahwa penyerangan terhadap LGBTI juga menyebabkan
korban pada individu‐individu non‐LGBTI yang berhubungan atau bekerja sama
dengan komunitas LGBTI. Dalam kasus pembatalan pertemuan nasional GWL‐INA
di Bandung, misalnya, manajer hotel di mana pertemuan berlangsung jelas adalah
korban dari kelompok penyerang. Dia meminta panitia untuk membatalkan
penyelenggaraan acara karena dia berada dalam ancaman kelompok penyerang.
Petugas keamanan sipil dalam kasus pembubaran paksa kontes waria di Makassar
dan seorang perempuan yang meminta perlindungan terhadap sekelompok waria di
Makasar juga menunjukkan bahwa siapa saja yang berhubungan dengan komunitas
LGBTI bisa menjadi menjadi korban.
15 |
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
7.
Akibat yang Dialami Korban
Dampak tindakan kekerasan terhadap korban bisa berwujud luka atau cacat
fisik, trauma psikis, sampai kerugian ekonomis. Sebagaimana yang diungkap diatas,
kekerasan terbesar yang dialami oleh komunitas LGBTI adalah kekerasan fisik.
Akibat penyerangan ini adalah luka ringan hingga luka parah lebam akibat
pukulan, patah tulang, bahkan sampai menyebabkan kematian.
Tapi, penyerangan fisik ini tidak hanya mengakibatkan luka fisik atau
kematian, tapi juga berakibat secara psikis terhadap korban. Perasaan takut, terhina,
dan marah yang tertahan adalah akibat yang selalu terjadi dalam semua kasus yang
didokumentasi di sini.
Dampak lain yang juga perlu dinyatakan adalah dampak ekonomi.
Misalnya, panitia penyelenggara kontes waria di Makassar dirugikan secara
ekonomi akibat pembatalan acara padahal segala biaya sudah terlanjur dibayarkan
sebelum acara dibubarkan. Mereka yang ditahan juga tidak bisa bekerja sebagaimana
Parjo di Solo, atau para waria yang uang dan barang berharganya diambil oleh
aparat dalam kasus razia waria di Batam.
8. Tindakan Korban Setelah Kejadian