15 |
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
7.
Akibat yang Dialami Korban
Dampak tindakan kekerasan terhadap korban bisa berwujud luka atau cacat
fisik, trauma psikis, sampai kerugian ekonomis. Sebagaimana yang diungkap diatas,
kekerasan terbesar yang dialami oleh komunitas LGBTI adalah kekerasan fisik.
Akibat penyerangan ini adalah luka ringan hingga luka parah lebam akibat
pukulan, patah tulang, bahkan sampai menyebabkan kematian.
Tapi, penyerangan fisik ini tidak hanya mengakibatkan luka fisik atau
kematian, tapi juga berakibat secara psikis terhadap korban. Perasaan takut, terhina,
dan marah yang tertahan adalah akibat yang selalu terjadi dalam semua kasus yang
didokumentasi di sini.
Dampak lain yang juga perlu dinyatakan adalah dampak ekonomi.
Misalnya, panitia penyelenggara kontes waria di Makassar dirugikan secara
ekonomi akibat pembatalan acara padahal segala biaya sudah terlanjur dibayarkan
sebelum acara dibubarkan. Mereka yang ditahan juga tidak bisa bekerja sebagaimana
Parjo di Solo, atau para waria yang uang dan barang berharganya diambil oleh
aparat dalam kasus razia waria di Batam.
8. Tindakan Korban Setelah Kejadian
Tidak diketahui alasan pastinya, tapi sebagian besar korban tidak
melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi. Bisa jadi karena sikap apatis
bahwa institusi kepolisian tidak akan merespon atau bisa juga karena mereka tidak
tahu harus berbuat apa, atau mungkin karena justru ketakutan jika harus
berhadapan dengahn aparat kepolisian. Dari sepuluh kasus yang terdokumentasi di
sini, hanya ada satu kasus, di mana korban melaporkan kekerasan yang
menimpanya ke polisi, yaitu kasus pemukulan gay di Manado.
Jika korban melakukan pengaduan, maka sebagian besar mengadu pada
LSM atau kepada lembaga bantuan hukum. Korban kasus penembakan waria di
Taman Lawang, penganiayaan gay di Solo, razia waria di Batam, pembukaan status
HIV di Jakarta, dan kasus penyerangan waria di Makasar mengadu kepada LSM.
Sedangkan korban kasus pembubaran paksa kontes waria di Makasar mengadu ke
LBH. Sementara,
ada dua kasus di mana korban tidak melakukan apa‐apa setelah terjadinya
kasus: Pembubaran paksa pertemuan GWL‐INA dan kasus razia waria Surabaya.
Untuk kasus Ratna di Blora, pihak LSM dan LBH berinisiatif untuk menawarkan
pendampingan karena korban yang tertekan tidak tahu harus berbuat apa.
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
| 16 9.
Saksi
Berdasarkan data yang ada, saksi dapat dikategorikan menjadi:
1.
K
orban atau rekan korban
2.
O
rang yang menentang korban atau tidak berpihak pada korban
3.
A
parat negara
Berdasarkan kategori tersebut, sebagian besar saksi yang terdokumentasi
adalah korban sendiri ataupun rekan korban yang berada di lokasi pada waktu
kejadian. Dalam 4 kasus, yaitu penyerangan waria di Makassar, penembakan waria
di Taman Lawang, pembatalan pertemuan jaringan GWL‐INA, dan pembubaran
kontes waria di Makassar, korban juga diidentifikasi sebagai saksi. Sementara, dalam
3 kasus yang lain, rekan‐rekan korban sendiri baik sesama LGBTI maupun yang non‐
LGBTI yang menjadi saksi.
Dalam kasus penganiayaan laki‐laki transgender di Blora, terdapat saksi
yaitu pihak keluarga pasangan korban. Saksi ini sayangnya juga memiliki sikap yang
sama dengan pelaku penganiayaan, yaitu menentang korban.
Aparat negara sebagai saksi muncul dalam kasus penghambatan berkumpul.
Sayangnya, identitas detil mengenai saksi dari aparat negara ini tidak
terdokumentasi. Tercatat
pula tiga kasus dimana pemantau tidak mendokumentasikan saksi‐ saksi
yang ada di tempat kejadian yaitu dalam kasus razia waria di Batam, kasus razia
waria di Surabaya dan kasus pemukulan gay di Solo.
D. POLA DAN KECENDERUNGAN