Waktu Kejadian FAKTA PELANGGARAN

11 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia Sebagian besar, tindakan kekerasan berupa multiple acts. Dalam arti bahwa satu jenis tindakan diikuti oleh rentetan tindakan kekerasan berikutnya.

2. Waktu Kejadian

Dari seluruh kasus yang terdokumentasi, waktu terjadinya pelanggaran terbanyak adalah malam hari. Memang tidak semua kasus terdokumentasi secara detail jam kejadian peristiwa, namun hampir semuan informan menyatakan bahwa peristiwanya terjadi di malam hari. Mari kita lihat table di bawah ini. No Kasus Waktu 1 Pembatalan pertemuan nasional GWL‐INA di Bandung Malam hari 2 Penganiayaan gay di Solo Malam hari 3 Pembukaan status HIV di Jakarta Malam hari 4 Pembubaran kontes waria di Makasar Malam hari 19.00 ‐20.00 WITA 5 Razia waria di Batam Malam hari 22.00 ‐24.00 WIB 6 Razia waria di Surabaya Malam hari 7 Penganiayaan waria di makasar Dini hari 03.00 WITA 8 Penembakan waria di Jakarta Dini hari 03.00 WIB 9 Penganiayaan gay di Manado Tidak terdokumentasi 10 Penganiayaan terhadap laki‐laki transgender di Blora Tidak terdokumentasi Dari tabel di atas terlihat bahwa enam kasus pelanggaran dilaporkan terjadi di antara pukul 19.00 – 24.00 WIB. Dua kasus memang terjadi pada dini hari, namun dalam kultur Indonesia itu juga bisa disebut dengan waktu malam hari. Waktu kejadian di sini bisa berarti titik di mana terjadi satu kali peristiwa maupun rangkaian beberapa peristiwa yang hadir dalam satu kasus. Sementara, kasus penganiayan Ratna di Blora dan penganiayaan gay di Manado, tidak terpantau waktu kejadiannya. Sangat besar kemungkinannya bahwa dua kasus ini terjadi di siang hari. Apa yang bisa kita lihat di sini adalah bahwa waktu malam hari dan dini hari adalah waktu yang penuh risiko bagi keamanan komunitas LGBTI. Penyerangan dan razia ke tempat‐tempat berkumpulnya komunitas LGBTI juga intimidasi biasanya terjadi di malam hari. Sedangkan kekerasan yang dilakukan secara spontan tidak memiliki pola waktu yang jelas. Artinya, kekerasan spontan bisa terjadi kapan saja. MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 12 3. Tempat Kejadian Tempat berkumpulnya kelompok LGBTI yang kebanyakan berlokasi di daerah lengang dan jauh dari keramaian menjadi wilayah rawan terjadinya tindakan ‐tindakan kekerasan dan kriminalitas. Di tempat‐tempat ini, tindakan pelanggaran HAM terhadap LGBTI terbukti kerap terjadi. Enam peristiwa pelanggaran tercatat terjadi di tempat yang secara reguler dijadikan tempat berkumpulnya komunitas LGBTI: 1. Taman Lawang‐Jakarta dalam kasus penembakan waria. 2. Lapangan Jempingan‐Solo dalam kasus penganiayaan gay. 3. Area Simpang Basecamp Batu Aji‐Batam dalam kasus razia waria. 4. Pemakaman Kristen Kembang Kuning‐Surabaya dalam kasus razia waria. 5. Pemakaman Kristen Panaikang‐Makassar dalam kasus razia waria. 6. Area Pulo Gadung‐Jakarta dalam kasus pembukaan status HIV. Sekalipun demikian, tempat‐tempat lain juga bisa menjadi lokasi kejadian pelanggaran yang menimpa LGBTI. Tempat tinggal korban ataupun tempat tinggal kerabat korban menjadi tempat kejadian. Ada tiga kasus yang terjadi di tempat tinggal: • Rumah kost dalam peristiwa pemukulan gay di Manado. • Rumah tinggal korban dalam peristiwa penganiayaan seorang laki‐laki transgender di Blora. • Rumah tinggal korban dalam penangkapan waria di Makassar. Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa kejadian‐kejadian pelanggaran serta perlakuan yang tidak manusia juga menjadi kisah yang mengirinya LGBTI yang ditangkap oleh aparat keamanan atau menjalani proses hukum. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kantor aparat juga menjadi tempat kejadian pelanggaran HAM. Hal ini bisa dilihat dalam kasus penganiayaan Ratna di Blora yang terjadi di kantor polisi, kasus penganiayaan dan perdilan tidak fair terhadap gay di Solo yang bertempat di ruang peradilan, dan kasus penganiayaan waria di Batam yang terjadi di kantor Satpol PP. Dalam kasus razia waria di Batam ini, perlu dinyatakan di sini bahwa dalam mobil menuju kantor Satpol PP Batam pun sempat terjadi perampasan harta benda korban. Kejadian kekerasan terhadap LGBTI bahkan bisa terjadi di gedung pertemuan yang disewa secara legal, yang semestinya mendapatkan perlindungan tidak hanya dari aparat keamanan yang memang seharusnya melindungi keamanan warganya, tapi juga dari pemilik gedung.

4. Pelaku