Laporan Rapid Assessment
Program HAM LGBTI oleh GAYa NUSANTARA beserta organisasi‐organisasi LGBTIQ Indonesia
MEREKA
YANG
TERABAIKAN
Pelanggaran
HAM
pada
Komunitas
LGBTI
di
Indonesia
Ahmad
Zainul
Hamdi
Asfinawati
Khanis
Suvianita
Ko
Budijanto
Poedjiati
Tan
Sardjono
Sigit
Yusuph
Wahyudi
(2)
i
Karena Kami Tidak Lagi Mau Diam: Sebuah Pengantar
Pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia 2010, Sekretaris Jendral PBB secara tegas
menyatakan:
Sebagai laki‐laki dan perempuan yang mempunyai hati nurani, kita
menolak diskriminasi secara umum, dan khususnya diskriminasi
berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Apabila seseorang
diserang, diperlakukan dengan kejam, atau dipenjarakan karena
orientasi seksual mereka, kita harus bersuara…
Hari ini, banyak bangsa mempunyai konstitusi modern yang menjamin
hak‐hak dasar dan kebebasan. Akan tetapi, homoseksualitas masih
dianggap kriminal di lebih dari 70 negara. Hal ini tidak benar.
Benar, kita mengakui bahwa sikap sosial masih berperan kuat. Benar,
perubahan sosial terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Namun,
janganlah ada kebingungan ketika terjadi ketegangan antara sikap
sosial dan HAM universal, maka haklah yang harus dimenangkan.
Penolakan secara pribadi, bahkan penolakan masyarakat bukan
merupakan alasan untuk menangkap, menahan, memenjarakan,
melecehkan, ataupun menyiksa seseorang, tidak pernah.
Sikap tegas PBB yang menolak diskriminasi berdasarkan orientasi seksual
dan identitas gender itu adalah kabar gembira bagi perjuangan hak‐hak LGBTI
(lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks) di dunia internasional. Namun
perlu diingat bahwa capaian itu bukan datang tiba‐tiba. Sekian puluh tahun
berbagai individu dan lembaga bergandengan tangan menyuarakan diksriminasi
dan kekerasan yang dialamai komunitas LGBTI.
Indonesia menjadi salah satu negara yang menandai tonggak perjuangan ini.
Pada November 2006, dua organisasi HAM internasional terkemuka, International
Service for Human Rights dan the International Commission of Jurists, mengadakan
pertemuan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, untuk merumuskan hak‐hak
LGBTI. Pertemuan ini menghasilkan Prinsip‐prinsip Yogyakarta yang berisi 28
prinsip HAM dalam kaitannya dengan orientasi seksual, identitas gender dan
interseksualitas.
Kita tahu bahwa banyak pihak yang menyangkal hak‐hak LGBTI atas dasar
moral, agama, dan budaya. Namun, dokumen HAM internasional secara tegas
menyatakan bahwa diskriminasi atas dasar seks dan ras tidak dapat dibenarkan
dengan dalih tradisi, adat, atau agama. Prinsip ini juga harus ditegakkan dalam
pemenuhan hak LGBTI.
(3)
ii
Berbagai capaian internasional ini patut kita rayakan. Namun yang lebih
penting bagi kita adalah bertanya tentang situasi kita di sini, di negeri tercinta ini, di
Indonesia ini.
Jika anda tidak cukup memiliki waktu luang dan kemampuan riset yang
memadai, cukuplah anda menyimak baik‐baik obrolah‐obrolan yang muncul dalam
pertemuan‐pertemuan atau kumpul‐kumpul di antara individu‐individu LGBTI.
Anda dengan mudah akan mendengarkan berbagai kisah pembunuhan, perkosaan
dan penyerangan fisik, penyiksaan, penahanan sewenang‐wenang, pengingkaran
atas hak berkumpul, bersuara, dan mendapatkan informasi, dan diskriminasi dalam
pekerjaan, kesehatan dan pendidikan—daftar pelanggaran hak LGBTI yang disebut
dalam laporan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM tentang diskriminasi dan
tindakan kekerasan terhadap individu berdasarkan orientasi seksual dan identitas
gender. Memang, mereka tidak selalu mengobrolkannya dengan kesedihan dan
amarah. Bahkan, tidak jarang mereka menjadikannya sebagai bahan bercanda
karena seringnya mereka menerimanya hingga kesedihan tak lagi menusuk, hingga
tangis bisa dengan mudah diubah menjadi tawa.
Tapi, kekerasan tetaplah kekerasan sekalipun ia bisa ditertawakan. Oleh
karena itu, kami tidak abai dengan kekerasan dan diskriminasi ini. Apa yang tertulis
dalam laporan ini hanyalah puncak gunung es diskriminasi dan kekerasan yang
menimpa LGBTI di Indonesia. Ini hanyalah sebuah penilaian cepat (rapid assessment)
awal dari sebuah program yang bertujuan mendokumentasi pelanggaran HAM
LGBTI di Indonesia. Sebagai rapid assessment, laporan ini hanya memberi sorotan
awal. Ini hanyalah sebuah langkah awal.
Namun demikian, laporan yang hanya menampilkan sepuluh kasus ini telah
memberi gambaran kepada kita hampir semua kisah diskriminasi dan kekerasan
yang dialami LGBTI, mulai pembunuhan, pelecehan, serangan fisik, penyiksaan,
penahanan sewenang‐wenang, pengadilan yang tidak adil, penolakan terhadap hak
untuk berkumpul dan berekspresi, hingga pembunuhan. Laporan ini mengandalkan
dokumen yang terserak di berbagai lembaga LGBTIQ di Indonesia (Ardhanary
Institute, Arus Pelangi, Gaya Celebes, Gessang [Gerakan Sosial, Advokasi dan Hak
Asasi Manusia untuk Gay Surakarta], GWL‐INA [Perkumpulan Gay, Waria dan
Lelaki yang Berhubungan Seks dengan Lelaki Lain di Indonesia], GWL Kawanua,
Hiwaba [Himpunan Waria Batam], LBH APIK [Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan] Semarang, Perwakos [Persatuan Waria Kota
Surabaya], Positive Rainbow dan Komunitas Sehati Makassar). Karena keterbatasan
waktu dan tenaga, laporan ini tidak mencakup semua peristiwa. Begitu juga ada
banyak lembaga yang tidak “menyetorkan” kasusnya. Bukan apa‐apa.
Pendokumentasian berbeda sepenuhnya dengan pelanggaran. Tidak adanya catatan
pelanggaran sama sekali bukan berarti tidak adanya pelanggaran.
(4)
iii
Bukan rahasia lagi jika banyak kaum agama fanatik yang menolak hak‐hak
LGBTI atas dasar moral dan agama, dan melakukan kekerasan terang‐terangan
terhadap komunitas LGBTI. Serangan fisik di tempat‐tempat berkumpulnya
komunitas LGBTI sampai pada acara‐acara pertemuan adalah cerita yang dengan
mudah kita peroleh. Ketika kami bertanya “Di mana negara?” jawaban yang kita
temui hanya ada dua: Kebisuan (pembiaran) atau justru kolaborasi harmonis
dengan kelompok penyerang. Oleh karena itu, kami sangat berterima kasih kepada
Komnas HAM yang menyediakan dirinya untuk bersama‐sama kami dalam
perjuangan HAM LGBTI Indonesia. Betapa inginnya kami menjadikan perjuangan
HAM LGBTI bagian tak terpisahkan dari perjuangan HAM secara umum di
Indonesia, karena LGBTI rights are human rights.
Akhirnya, biarlah laporan ini menjadi teriakan kami karena kami tak lagi
mau diam.
Surabaya, 25 Februari 2012
Dédé Oetomo
Ketua Dewan Pembina
Yayasan GAYa NUSANTARA
(5)
1
MEREKA YANG TERABAIKAN:
Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
A.PENDAHULUAN
Pada Oktober 2010, Parjo (26 tahun), gay, melihat seorang temannya yang juga gay dipukuli oleh orang‐orang dari kelompok Islamis‐radikal di lokasi berkumpulnya gay, waria, dan wanita pekerja seks, di Jempingan, Solo. Parjo melihat temannya itu dipukuli helm di kepala dan tubuhnya berkali‐kali. Saat itu ada sekitar 10 orang Islamis‐radikal membawa pemukul dari kayu dan besi. Parjo berusaha membela temannya sehingga terjadi perkelahian. Keesokan harinya, Parjo dipanggil ke Polres Sukoharjo berdasarkan laporan dari kelompok Islamis‐radikal tersebut. Parjo dilaporkan telah melakukan penganiayaan. Dalam proses penyidikannya, Parjo kesulitan menghadirkan temannya yang dianiaya itu. Si teman tersebut menghilang tidak jelas ke mana, mungkin dia merasa ketakutan. Parjo melaporkan kasusnya ke Yayasan Gessang sebagai LSM pendamping. Yayasan Gessang mencoba mencari bantuan hukum ke dua lembaga bantuan hukum yang ada di Solo, tapi tidak mendapat tanggapan. Akhirnya, setelah melalui lima kali proses persidangan di PN Solo, Parjo divonis 6 bulan penjara dengan tuduhan penganiayaan, dan dimasukkan di Rutan Solo.1
Kisah Parjo di Solo ini merupakan tipikal kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami oleh komunitas LGBTI (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks) di Indonesia. Mereka mendapatkan serangan dari kelompok masyarakat yang tidak menyetujui dan membenci nya. Komunitas LGBTI tidak mendapatkan jaminan keamanan dari negara. Bahkan dalam banyak kasus, negara justru menjadi pelaku kekerasan terhadap kelompok ini. Sementara, komunitas ini sendiri belum cukup berdaya dengan dirinya sendiri. Keadaan menjadi sedemikian rumit karena masih banyak individu atau lembaga pembela HAM mainstream yang belum memasukkan
pembelaan hak‐hak komunitas LGBTI sebagai bagian dari agenda perjuangannya, bahkan beberapa kelompok mungkin masih dihinggapi oleh homofobia.
Harus diakui bahwa pelanggaran HAM seringkali mengenai orang‐orang yang rentan. Di antara kelompok ini adalah mereka yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda dengan mayoritas. Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender sendiri merupakan masalah serius yang sedang mendapat perhatian internasional saat ini. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sonia Onufer Corrêa, “Human rights are for everyone, without reservation. Yet women, men and persons
whose sexuality does not confirm with dominant norms face rape, torture, murder, violence, and
abuse because of their sexual orientation or gender identity.”2 Pernyataan ini jelas
1 Data berasal dari Yayasan Gessang Solo.
(6)
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 2
menunjukkan bahwa sekian banyak daftar pelanggaran HAM bisa mengenai komunitas LGBTI yang masuk melalui pintu orientasi seksual dan identitas gender.
Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan idetnitas gender sangat mudah ditemukan. Sekalipun sudah ada jaminan dalam Konstitusi dan UU HAM, namun LGBTI tetaplah warga negara yang sangat rentan untuk dilanggar hak‐haknya. Pelanggaran ini bisa berlapis‐lapis. Seseorang yang ketahuan gay akan begitu saja terancam karirnya dalam satu lembaga pekerjaan formal; Seorang waria akan segera terusir dari lingkungan keluarganya begitu dia mulai berdandan. Dan, ini berarti dimulainya berbagai pelanggaran hak‐haknya yang lain.
Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender ini di lapangan terwujud dalam berbagai pelanggaran. Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender mengakibatkan berbagai pelanggaran lain, misalnya, penghukuman tanpa proses peradilan (extrajudicial executions), kekerasan dan
penyiksaan (violence and torture), tertutupnya akses kepada keadilan (access to justice),
tidak adanya hak kebebasan mengemukakan pendapat dan berserikat (rights to freedom
of expression and assembly), pekerjaan (employment), kesehatan (health), pendidikan
(education), partisipasi publik (public participation), sampai pada isu‐isu keimigrasian
dan pengungsi (immigration and refugee issues), serta berbagai hak dasar lain.
Sedemikian rupa pelanggaran HAM terhadap komunitas LGBTI ini, sampai kita bisa dengan mudah menemukan kisah pelanggaran ini mulai dari terbangun di pagi hari sampai kembali berangkat tidur. Sekalipun demikian, belum ada yang sungguh‐ sungguh melakukan pendokumentasian atas ini. Bahkan upaya akademik untuk merumuskan instrumen HAM yang secara langsung terkait dengan komunitas LGBTI pun baru terjadi pada tahun 2006,3 jauh terlambat jika dibandingkan dengan HAM untuk perempuan dan anak, dua komunitas lain yang dianggap memiliki posisi rentan dalam hal pelanggaran HAM.4
Jika berpedoman pada data di Kementrian Kesehatan tahun 2006 yang mengestimasi jumlah gay dan LSL (laki‐laki berhubungan seks dengan laki‐laki) sebanyak 1.149.270 orang dan waria (transgender laki‐laki ke perempuan) sebanyak 35.300,5 maka ini berarti ada 1.284.270 jiwa atau 0,6% penduduk Indonesia rentan dilanggar
3 Rumusan Yogyakarta Principles dihasilkan dalam pertemuan sejumlah ahli dalam bidang HAM di Yogyakarta pada 6-9 November 2006. Setelah pertemuan tersebut, 29 ahli dari 25 negara mengadopsi rumusan yang secara lengkap berjudul Yogyakarta Principles on the Application of International Human Rights Law in relation to Sexual Orientation and Gender Identity.
4 HAM untuk kaum perempuan sudah terumuskan dalam CEDAW (Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dan sudah diterima oleh Sidang Umum PBB tahun 1979, sementara hak anak juga sudah terumuskan dalam CRC (Convention on the Rights of Child), di mana keduanya sudah diratifikasi oleh Indonesia. Indonesia sendiri sudah punya UU perlindungan anak dan peradilan anak dan UU penghapusan KDRT.
(7)
3 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
hak‐haknya.6 Jumlah itu akan terus bertambah jika kita memasukkan perempuan lesbian, biseksual, transgender perempuan ke laki‐laki (laki‐laki trans[gender]) dan interseks.
Yang juga tidak kalah penting adalah pelanggaran HAM terhadap individu atau lembaga yang mempromosikan HAM LGBTI. Di beberapa negara, forum‐forum dan organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan hak dan membela kesetaraan atas dasar orientasi seksual dan identitas dilarang oleh penguasa, dan pesertanya dilecehkan dan diintimidasi oleh polisi dan kelompok nasionalis dan keagamaan ekstrem. Para human right defenders yang bekerja pada isu‐isu orientasi seksual dan
identitas gender menghadapi ancaman, kantornya dirusak, mereka diserang, disiksa, dilecehkan secara seksual, bahkan dibunuh. Semua ini hampir bisa dikatakan tidak mendapatkan perhatian serius dari penguasa politik.7
Salah satu poin penting yang tertuang dalam Yogyakarta Principles, prinsip‐prinsip
HAM yang secara eksklusif terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender, adalah rekomendasi terhadap lembaga HAM nasional, lembaga profesional, lembaga PBB, funder, LSM dan berbagai lembaga lain untuk mengambil tanggung jawab dalam
mempromosikan dan melindungi HAM LGBTI dan mengintegrasikan prinsip‐prinsip ini ke dalam kerangka kerja mereka. Dalam kerangka mengambil bagian tanggung jawab dalam mempromosikan dan melindungi HAM LGBTI itulah laporan ini perlu dibaca.
Mekanisme kunci HAM yang dirumuskan PBB meletakkan negara sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk memastikan adanya perlindungan bagi semua orang dari pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender. Sekalipun demikian, seringkali di lapangan hal ini tidak berjalan dengan baik. Banyak negara yang selama ini memiliki catatan HAM yang baik pun memiliki catatan minor dalam hal pemenuhan HAM komunitas LGBTI ini.
Laporan ini sendiri bertujuan untuk memberi gambaran awal situasi HAM LGBTI di Indonesia. Seperti yang sudah bisa diduga sejak awal, diskriminasi terhadap individu‐individu dengan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda dari
mainstream menjadi basis bagi berbagai pelanggaran HAM berikutnya.
B.KLARIFIKASI METODOLOGIS
Sebagaimana laporan yang dihasilkan dari proses rapid assessment, laporan ini
hanya menyediakan gambaran awal dari kondisi HAM di komunitas LGBTI di Indonesia. Laporan ini disusun dengan mengandalkan data yang tersedia di beberapa lembaga yang selama ini konsen pada isu‐isu LGBTI, dan yang berjejaring dengan GAYa NUSANTARA.
6 Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah 205,8 juta jiwa. Leo Suryadinata, dkk., 2003, Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik (Jakarta: LP3ES), 1. 7 Pembubaran Konferensi ILGA di Surabaya pada adalah contoh nyata dalam hal ini.
(8)
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 4
GAYa NUSANTARA sendiri membentuk tim pengumpul data.8 Tim ini menghubungi lembaga‐lembaga tersebut untuk mendapatkan informasi tentang pelanggaran HAM yang dialaminya. Bisa dikatakan bahwa semua lembaga yang dihubungi ini adalah CBO (Community‐Based Organization) sehingga kasus pelanggaran
yang mereka alami sekalipun tidak terjadi pada pengurus, namun dialami oleh individu yang merupakan bagian dari komunitas yang tergabung dalam CBO yang bersangkutan.9
Pada tahap awal, data yang masuk sangat terbatas. Hal ini bisa disebabkan oleh kelemahan pemantauan atau pendokumentasian atau sistem dokumentasi yang berbeda antara yang diinginkan oleh GAYa NUSANTARA dengan lembaga‐lembaga lain. Untuk melengkapi data‐data awal, tim pengumpul data perlu berkali‐kali menghubungi lembaga‐lembaga tersebut. Untuk memudahkan pendokumentasian, tim ini dilengkapi dengan istrumen berupa event‐based form yang diformat sedemikian rupa
sehingga unsur‐unsur yang dibutuhkan dalam pendokumentasian pelanggaran HAM terpenuhi. Kolom‐kolom penting yang harus terisi dalam form tersebut adalah narasi kejadian, yang kemudian diurai ke dalam kolom‐kolom yang lebih detail: Tindakan, korban, waktu tempat, pelaku, intensitas, saksi, persepsi korban, akibat, tindakan korban setelah kejadian, dan hak yang dilanggar.10
Form ini sebelumnya sudah dikirimkan kepada lembaga‐lembaga yang dimintai data. Hal ini diharapkan bisa membantu mereka dalam menyusun laporan kasus sesuai dengan yang dikehendaki GAYa NUSANTARA. Tapi karena dibutuhkan kecakapan tertentu dalam mengisi form tersebut, maka data‐data awal yang masuk tetap tidak memadai. Data‐data awal inilah yang kemudian dilengkapi dengan cara menanyakan kembali kepada lembaga yang bersangkutan. Hasil dari pengumpulan data seperti inilah yang kemudian dianalisis oleh tim sehingga menghasilkan laporan awal kondisi HAM pada komunitas LGBTI.
Dari 25 lembaga yang dihubungi dalam rapid asessment ini, terjaring 11 kasus
pelanggaran HAM LGBTI yang dilaporkan.11 Dari kasus yang telah didokumentasikan, ada satu kasus mengenai seorang transgender perempuan ke laki‐laki (laki‐laki
trans[gender]) dari Blora yang didokumentasikan oleh dua lembaga yaitu LBH APIK
8 Tim ini terdiri dari lima orang pengurus dan staf GAYa NUSANTARA: Sardjono Sigit, Ko Budijanto, Poedjiati Tan, Widyanto, dan Yusuf Wahyudi.
9 Lembaga tersebut adalah Hiwaba (Himpunan Waria Batam), Gessang Solo, PERWAKOS (Persatuan Waria Kota Surabaya), Gaya Kawanua Manado, Ardhanary Institute Jakarta, LBH APIK Semarang, Positive Rainbow Jakarta, Sehati Makasar, GWL-Ina Jakarta, Arus Pelangi Jakarta, GAYa NUSANTARA Surabaya, Pelangi Andalas Padang, Gaya Batam, Dipayoni Surabaya, IGAMA (Ikatan Gay Malang), Effort Semarang,PLU (People Like Us) Yogyakarta, Kipas Makassar, Forum LGBTI Indonesia, Violet Grey Aceh, Srikandi Sejati Jakarta, Kebaya Yogyakarta, Gaya Dewata Bali, OPSI (Organisasi Pekerja Seks Indonesia) Jakarta.
10 Silahkan lihat event-based form pada lampiran.
11 Lembaga yang mengirimkan data kasus adalah Hiwaba, Gessang, Perwakos, Gaya Kawanua, Ardhanari Institute, LBH APIK, Positive Rainbow, Gaya Celebes, Sehati, GWL-Ina, Arus Pelangi. Data yang datang dari GAYa NUSANTARA dan Gaya Andalas, dengan alasan tertentu, tidak direkap. Sisanya tidak mengirimkan data pelanggaran HAM sama sekali.
(9)
5 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
Semarang dan Ardhanary Institute karena kedua lembaga tersebut sama‐sama mendampingi korban. Dengan demikian, hanya ada 10 kasus yang bisa dianalisis dengan jumlah komposisi 5 kasus mengenai waria, 4 kasus mengenai gay, dan 1 kasus mengenai laki‐laki trans(gender).12 Kasus‐kasus yang diangkat di sini terentang mulai pertengahan 2009 sampai pertengahan 2011.
Kasus‐kasus tersebut bisa dilihat dalam tabel di bawah ini (semua nama korban disamarkan):
No Kasus Tempat Tgl Kejadian Narasi Singkat
1 Pembubaran pertemuan nasional GWL‐ INA
Bandung 12 Mei 2010 Jaringan Gay, Waria dan LSL lainnya di Indonesia (GWL‐INA) melaksanakan pertemuan nasional.
Saat pertemuan akan dimulai, pihak hotel memanggil penanggungjawab kegiatan dan mengatakan bahwa pertemuan ini harus dihentikan karena mendapatkan ancaman dari FPI.
2 Penembakan waria
Jakarta 10 Maret 2011 Vera sedang berduaan bersama A’a’ di Taman Lawang, Jakarta, ketika dihampiri dua orang laki‐laki. Salah seorang dari mereka meminta dompet, HP serta kunci motor milik A’a’. Saat pelaku sedang kesulitan menjalankan motor A’a’, Vera mencoba menghalangi aksi kejahatan itu hingga terjadi keributan. Zainab dan Titin yang berada tidak jauh dari tempat kejadian kemudian membela Vera. Pelaku kemudian menembakkan pistolnya ke Titin, Zainab, dan Vera. Vera dan Titin dilarikan ke RSCM, sedang Zainab ditemukan meninggal dunia.
3 Penyerangan terhadap sekelompok gay
Solo Oktober 2010 Parjo (26 tahun), gay, melihat seorang temannya yang juga gay dipukuli oleh orang‐orang dari kelompok Islamis‐ radikal. Parjo berusaha membela temannya sehingga terjadi perkelahian. Keesokan harinya, Parjo dipanggil ke Polres Sukoharjo dengan tuduhan penganiayaan. Oleh PN Solo, Parjo divonis 6 bulan penjara.
12 Tentang kategori transgender perempuan ke laki-laki atau laki-laki trans(gender) di sini, perlu dijelaskan bahwa berdasarkan sikap korban yang terekam dalam data, korban lebih cenderung ke identitas gender laki. Transgender perempuan ke laki-laki sebagaimana juga transgender laki-laki-laki-laki ke perempuan lebih tampak identitas LGBTI-nya dibanding lesbian atau gay (kecuali kalau mereka bersikap sangat terbuka). Ini juga akan menguatkan analisis di bagian berikutnya bahwa terdapat kecenderungan pelanggaran pada korban dengan identitas LGBTI yang tampak dengan jelas.
(10)
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 6
4 Penganiayaan terhadap seorang gay
Manado Desember 2010 Coy dan Roy (keduanya gay) suatu hari melakukan penjangkaun ke beberapa orang gay yang tinggal di suatu tempat kos. Di situ, Roy dicegat oleh Opo, salah satu anak yang kos di tempat itu. Opo langsung memukuli Rey sampai beberapa kali. Selain dipukuli, juga ditampar, dinjak‐ injak, diolok‐olok dan dihina. Bahkan kepala Rey dipukul dengan vas bunga yang dipegang oleh Opo.
5 Razia waria Batam November 2010 Suatu malam, terjadi razia kepada para waria yang mangkal di Simpang Basecamp Batu Aji Batam Centre yang dilakukan oleh Satpol PP Batam Centre. Dalam razia itu tertangkap 7 orang waria.
Mereka dinaikkan ke mobil Satpol PP. Dalam perjalanan ke kantor Satpol PP Batam Centre semua waria dimintai uang Rp 50.000. Karena tidak ada uang, petugas Satpol PP menyita HP sampai terjadi pemukulan. Sesampainya di kantor Satpol PP, semua waria disuruh menyapu dan mengepel lantai. Setelah itu disuruh telanjang. Karena menolak maka mereka dipukul dan ditelanjangi paksa oleh Satpol PP tersebut. Mereka juga dipaksa berhubungan seksual dengan Satpol PP tersebut. Mereka juga dimasukkan ke ban mobil. Seorang waria yang berusaha membebaskan mereka dimintai uang tebusan.
6 Razia waria Surabaya Juli 2011 Vahira mengalami patah kaki saat lari dan terjatuh akibat adanya razia polisi. Waktu itu terjadi razia di pemakaman Kembang Kuning Surabaya terhadap wanita pekerja seks dan waria yang mangkal di situ. Korban sebetulnya berhasil lolos, namun terjatuh dan kakinya patah.
7 Pembubaran Peringatan Hari AIDS se‐Dunia
Makasar 1 Desember 2010
Peringatan Hari AIDS se‐Dunia yang dilaksanakan melalui kegiatan pemilihan waria peduli AIDS dan narkoba. Kegiatan ini adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemprov SulSel bekerja sama dengan Yayasan Gaya Celebes untuk memperingati Hari AIDS se‐Dunia 2010. Acara yang digelar di Balai Kemanunggalan TNI, gagal terlaksana
(11)
7 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
karena dibubarkan paksa oleh sekitar kurang lebih 400 massa dari FPI.
8 Kekerasan waria di Makasar
Makasar 9 Oktober 2010 Icha, Roro, dan Rizki (waria) sedang mejeng di kuburan Kristen, Panaikang. Tiba‐tiba pukul 03.00 dini hari, datang Erna, seorang perempuan, minta tolong karena digoda oleh Joko (seorang tukang ojek). Ketiga waria tersebut menolong Erna. Joko menghajar ketiganya yang kemudian dilawan oleh mereka. Besoknya, ketiga waria tersebut dijemput oleh polisi berdasarkan laporan Joko dengan dakwaan pengeroyokan dan penganiayaan.
9 Penganiayaan terhadap seorang laki‐laki
trans(gender)
Blora Juni 2009 Ratna (27 tahun), laki‐laki trans(gender), hendak menikahi pacarnya, Siti Aminah. Ketika pesta perkawinan akan dilaksanakan, Ratna tidak bisa melengkapi surat‐surat administrasi yang diperlukan. Kemudian diketahui kalau secara fisik Ratna adalah seorang perempuan. Keluarga Siti Aminah dan penduduk kampung marah kemudian memukuli Ratna dan membawanya ke kantor polisi setempat. Dia ditahan di kantor polisi dan tidak mendapatkan pengobatan atas luka‐ lukanya. Dia juga dipaksa menunjukkan alat kelaminnya, diremas payudaranya, dan dipaksa menunjukkan penis tiruannya di depan wartawan.
10 Pembukaan Status HIV
Jakarta 2 Januari 2011 Ardi (gay, 30 tahun) membuka status HIV Tirto di Hotspot Pulo Gadung. Atas informasi yang disampaikan oleh Ardi, beberapa teman di hotspot memperolok dan mengunjingkan Tirto, akibatnya Tirto merasa malu dan terpukul.
Ada tiga tahap analisis data. Tahap pertama adalah mentabulasi semua data yang masuk ke dalam program exel sesuai dengan event‐based form. Tabulasi ini
mempermudah dalam melihat keseluruhan unsur‐unsur yang terkait dalam peristiwa pelanggaran HAM LGBTI, misalnya, siapa saja korban, pelaku, tempat, dan berbagai unsur lain sebagaimana yang tertera dalam form.
Data‐data yang sudah ditabulasi tersebut kemudian dianalisis untuk melihat berbagai kecenderungan yang terjadi pada tiap‐tiap kolom. Misalnya, berdasarkan waktu kejadian, terlihat bahwa komunitas LGBTI kapan saja bisa dilanggar haknya karena kolom waktu tidak menunjukkan adanya spesifikasi atau kecendrungan pada
(12)
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 8
waktu‐waktu tertentu, tapi acak. Atau, kalau dilihat dari pelaku pelanggaran, terlihat adanya kecenderungan laki‐laki sebagai pelaku pelanggaran yang dominan.
Setelah dianalisis kecenderungan per kolom, langkah berikutnya adalah analisis korelasional antarkolom. Analisis ini menghubungkan, misalnya, antara korban dengan pelaku atau antara bentuk tindakan dengan tempat dan waktu kejadian. Analisis ini penting untuk melihat hubungan antara satu unsur dengan unsur lain dalam rangkaian proses pelanggaran.
Langkah terakhir adalah melakukan analisis hak. Analisis ini bertujuan untuk melihat hak apa saja yang sudah terlanggar. Analisis ini tidak didasarkan pada kasus, tapi per satuan tindakan. Dalam satu kasus, bisa terjadi terjadi berbagai peristiwa, dan dalam satu peristiwa terdapat berbagai tindakan. Ini artinya adalah bahwa dalam satu kasus berarti bisa terjadi lebih dari satu pelanggaran. Dalam melakukan analisis pelanggaran hak ini, Yogyakarta Principles diajukan sebagai acuan.
Perlu juga untuk dinyatakan di sini bahwa ada beberapa keterbatasan dalam laporan ini:
1. Laporan ini tidak bisa diperlakukan sebagai gambaran sempurna tentang kondisi HAM LGBTI di Indonesia karena laporan ini hanya menjangkau delapan wilayah: Bandung, Jakarta, Solo, Manado, Batam, Surabaya, Makasar, dan Semarang.
2. GAYa NUSANTARA hanya bisa menghubungi lembaga‐lembaga tertentu di wilayah‐wilayah tersebut, padahal bisa jadi di lapangan ada lembaga lain yang memiliki banyak data.
3. Sebagian besar kasus ini sebenarnya tidak didokumentasikan oleh lembaga yang dihubungi. Lembaga yang bersangkutan hanya menceritakan kasusnya secara lisan berdasarkan ingatan yang tentu tidak bisa sangat detail, kemudian tim pengumpul data memasukkan data lisan tersebut kedalam form.
4. Sebagian besar lembaga yang terhubungi hanya memberikan satu kasus. Tidak mengherankan jika dari Makasar tercatat dua kasus karena ada dua lembaga yang memasukkan data. Satu lembaga satu kasus di sini bisa jadi ini disebabkan oleh ketaktersediaan data sehingga akan sangat menyulitkan bagi mereka jika harus mengisi form untuk lebih dari satu kasus. Padahal, tim pengumpul data tidak pernah membatasi jumlah kasus yang harus dilaporkan.
5. Ada beberapa lembaga, dengan berbagai alasan, tidak memberi data.
Dari sini bisa diasumsikan bahwa laporan ini hanyalah puncak gunung es dari pelanggaran HAM komunitas LGBTI yang terjadi di lapangan.
(13)
9 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
C.FAKTA PELANGGARAN
Perlu dijelaskan sejak awal bahwa di sini tidak dibedakan antara tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor non‐negara dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor negara. Jadi, bagian ini berisi tindakan kekerasan danpelanggaran HAM yang menimpa komunitas LGBTI secara umum.
Bagian ini akan membahas fakta tindakan kekerasan terhadap komunitas LGBTI dalam beberapa kategori. Ada enam kategori yang akan dibahas di bagian ini:
• Tindakan
• Waktu Kejadian
• Tempat Kejadian
• Pelaku
• Motiv Tindakan Pelaku sebagaimana Yang Dipersi Korban
• Korban
• Akibat yang Dialami Korban
• Tindakan Korban Setelah Kejadian
• Saksi
1. Tindakan
Kekerasan fisik merupakan jenis tindakan yang paling banyak terjadi. Hampir semua kasus penyerangan terhadap komunitas LGBTI mengarah pada serangan fisik. Kisah Parjo di awal tulisan ini sudah pasti merupakan salah satu contoh tentang penyerangan fisik yang sering dialamai oleh komunitas LGBT. Kasus lain adalah penyerangan seorang tukang ojek terhadap sekelompok waria di Makassar, kasus penganiayaan gay di Manado, dan penembakan beberapa orang waria di Jakarta yang menyebabkan kematian salah seorang diantaranya.
Barangkali peristiwa Ratna di Blora bisa menggambarkan betapa rentannya komunitas LGBTI dari serangan fisik. Peristiwa Blora adalah mengenai penganiayaan terhadap seorang laki‐laki trans(gender), oleh penduduk desa.
Ratna (27 tahun), laki‐laki trans(gender), berpacaran dengan Siti Aminah (17 tahun). Ratna harus berhadapan dengan hukum karena keluarga pacarnya mengetahui bahwa ternyata secara fisik Ratna adalah seorang perempuan. Ketika itu, pesta perkawinan sudah hendak dilaksanakan. Namun Ratna tak kunjung melengkapi surat‐surat administrasi untuk keperluan perkawinan. Sampai keluarga Siti Aminah mendapatkan informasi bahwa Ratna adalah seorang perempuan. Sontak keluarga menjadi marah dan juga diikuti kemarahan warga kampung. Ratna dikeroyok warga kampung hingga babak belur dan dibawa ke kantor polisi setempat. Di kantor polisi, Ratna juga mendapati kekerasan dan pelecehan. Dia ditahan di kantor polisi dan tidak mendapatkan pengobatan atas luka‐lukanya. Dia dipaksa menunjukkan alat kelaminnya, diremas payudaranya, dan dipaksa menunjukkan penis tiruannya di depan wartawan.
(14)
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 10
Ancaman penangkapan sewenang‐wenang oleh Satpol PP atau polisi juga senantiasa mengancam keberadaan kawan‐kawan LGBTI ini. Berbagai kasus razia terhadap waria juga selalu menyebabkan timbulnya korban dengan luka fisik. Kasus razia waria di Batam dan Surabaya jelas menunjukkan bahwa razia yang dilakukan oleh aparat keamanan memgakibatkan luka fisik pada korban. Bahkan seorang waria Surabaya mengalami cacat permanen akibat razia yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Sekretaris Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos),
Pada Juli 2011, Vahira (26 tahun), waria, anggota Perwakos, mengalami patah kaki saat lari dan terjatuh akibat adanya razia polisi. Waktu itu terjadi razia di pemakaman Kembang Kuning Surabaya terhadap wanita pekerja seks dan waria yang mangkal di situ. Razia dilakukan oleh polisi berseragam. Akibatnya, para wanita pekerja seks dan waria berlarian menyelamatkan diri. Tidak diketahui berapa orang yang tertangkap. Korban berhasil lolos namun terjatuh dan kakinya patah.
Sudah bukan rahasia lagi, tindakan‐tindakan pelanggaran yang lebih buruk akan mengiringi bagi mereka yang berurusan dengan aparat penegak hukum, baik karena tertangkap dalam razia maupun karena kasus‐kasus lain. Kasus penangkapan waria di Batam dan kasus Ratna di Blora sangat jelas menunjukkan akan hal ini. dalam kedua kasus tersebut, terjadi peristiwa yang tidak manusiawi serta merendahkan martabat para korban terkait orientasi seksual dan identitas gender mereka. Para waria Batam yang tertangkap dalam razia dipaksa telanjang, melakukan hubungan seks dengan petugas, dimasukkan dalam ban mobil, dsb, sedang di Blora, korban disuruh menunjukkan kelaminnya dan diremas payudaranya.
Sementara, proses peradilan yang tidak fair juga ancaman tersendiri bagi komunitas LGBTI Indonesia. Dalam kasus penetapan sebagai tersangka seorang gay yang membela diri di Solo dan beberapa waria di Makasar yang menolong seorang perempuan korban penganiayaan adalah contoh konkret ancaman proses peradilan tidak fair yang dihadapi komunitas ini. Dalam kedua kasus ini, korban justru dilaporkan sebagai pelaku sehingga ditahan oleh aparat.
Pembubaran acara‐acara yang dihelat oleh komunitas LGBTI adalah cerita pelanggaran lain yang sering terdengar. Pembatalan pertemuan jaringan GWL‐INA di Bandung dan kasus pembubaran acara kontes waria dalam peringatan hari AIDS di Makassar adalah dua kasus yang pas menggambarkan hal ini. Bahkan, pengelola gedung yang disewa melalui proses yang legal juga bisa menjadi pihak yang turut membubarkan acara. Hal ini terlihat pada kasus pembubabaran acara GWL‐INA di Bandung tersebut. Dalam peristiwa itu, pihak manajer hotel menekan panitia untuk menggagalkan acaranya. Memang, sang manajer juga bisa dianggap sebagai korban karena dia berada dalam tekanan kelompok penyerang.
(15)
11 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
Sebagian besar, tindakan kekerasan berupa multiple acts. Dalam arti bahwa
satu jenis tindakan diikuti oleh rentetan tindakan kekerasan berikutnya.
2. Waktu Kejadian
Dari seluruh kasus yang terdokumentasi, waktu terjadinya pelanggaran terbanyak adalah malam hari. Memang tidak semua kasus terdokumentasi secara detail jam kejadian peristiwa, namun hampir semuan informan menyatakan bahwa peristiwanya terjadi di malam hari. Mari kita lihat table di bawah ini.
No Kasus Waktu
1 Pembatalan pertemuan nasional GWL‐INA di Bandung Malam hari 2 Penganiayaan gay di Solo Malam hari 3 Pembukaan status HIV di Jakarta Malam hari 4 Pembubaran kontes waria di Makasar Malam hari
(19.00‐20.00 WITA) 5 Razia waria di Batam Malam hari
(22.00‐24.00 WIB) 6 Razia waria di Surabaya Malam hari 7 Penganiayaan waria di makasar Dini hari
(03.00 WITA) 8 Penembakan waria di Jakarta Dini hari
(03.00 WIB) 9 Penganiayaan gay di Manado Tidak
terdokumentasi 10 Penganiayaan terhadap laki‐laki trans(gender) di Blora Tidak
terdokumentasi
Dari tabel di atas terlihat bahwa enam kasus pelanggaran dilaporkan terjadi di antara pukul 19.00 – 24.00 WIB. Dua kasus memang terjadi pada dini hari, namun dalam kultur Indonesia itu juga bisa disebut dengan waktu malam hari. Waktu kejadian di sini bisa berarti titik di mana terjadi satu kali peristiwa maupun rangkaian beberapa peristiwa yang hadir dalam satu kasus.
Sementara, kasus penganiayan Ratna di Blora dan penganiayaan gay di Manado, tidak terpantau waktu kejadiannya. Sangat besar kemungkinannya bahwa dua kasus ini terjadi di siang hari.
Apa yang bisa kita lihat di sini adalah bahwa waktu malam hari dan dini hari adalah waktu yang penuh risiko bagi keamanan komunitas LGBTI. Penyerangan dan razia ke tempat‐tempat berkumpulnya komunitas LGBTI juga intimidasi biasanya terjadi di malam hari. Sedangkan kekerasan yang dilakukan secara spontan tidak memiliki pola waktu yang jelas. Artinya, kekerasan spontan bisa terjadi kapan saja.
(16)
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 12
3. Tempat Kejadian
Tempat berkumpulnya kelompok LGBTI yang kebanyakan berlokasi di daerah lengang dan jauh dari keramaian menjadi wilayah rawan terjadinya tindakan‐tindakan kekerasan dan kriminalitas. Di tempat‐tempat ini, tindakan pelanggaran HAM terhadap LGBTI terbukti kerap terjadi.
Enam peristiwa pelanggaran tercatat terjadi di tempat yang secara reguler dijadikan tempat berkumpulnya komunitas LGBTI:
1. Taman Lawang‐Jakarta dalam kasus penembakan waria. 2. Lapangan Jempingan‐Solo dalam kasus penganiayaan gay.
3. Area Simpang Basecamp Batu Aji‐Batam dalam kasus razia waria.
4. Pemakaman Kristen Kembang Kuning‐Surabaya dalam kasus razia waria. 5. Pemakaman Kristen Panaikang‐Makassar dalam kasus razia waria.
6. Area Pulo Gadung‐Jakarta dalam kasus pembukaan status HIV.
Sekalipun demikian, tempat‐tempat lain juga bisa menjadi lokasi kejadian pelanggaran yang menimpa LGBTI. Tempat tinggal korban ataupun tempat tinggal kerabat korban menjadi tempat kejadian. Ada tiga kasus yang terjadi di tempat tinggal:
• Rumah kost dalam peristiwa pemukulan gay di Manado.
• Rumah tinggal korban dalam peristiwa penganiayaan seorang laki‐laki trans(gender) di Blora.
• Rumah tinggal korban dalam penangkapan waria di Makassar.
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa kejadian‐kejadian pelanggaran serta perlakuan yang tidak manusia juga menjadi kisah yang mengirinya LGBTI yang ditangkap oleh aparat keamanan atau menjalani proses hukum. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kantor aparat juga menjadi tempat kejadian pelanggaran HAM. Hal ini bisa dilihat dalam kasus penganiayaan Ratna di Blora yang terjadi di kantor polisi, kasus penganiayaan dan perdilan tidak fair terhadap gay di Solo yang bertempat di ruang peradilan, dan kasus penganiayaan waria di Batam yang terjadi di kantor Satpol PP. Dalam kasus razia waria di Batam ini, perlu dinyatakan di sini bahwa dalam mobil menuju kantor Satpol PP Batam pun sempat terjadi perampasan harta benda korban.
Kejadian kekerasan terhadap LGBTI bahkan bisa terjadi di gedung pertemuan yang disewa secara legal, yang semestinya mendapatkan perlindungan tidak hanya dari aparat keamanan yang memang seharusnya melindungi keamanan warganya, tapi juga dari pemilik gedung.
4. Pelaku
Kalau kita membuat urutan siapa yang menjadi aktor tindakan kekerasan, maka kita akan menemukan urutan sebagai berikut: Aktor negara menempati urutan
(17)
13 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
teratas, diikuti oleh kelompok Islamis‐radikal, dan kemudian diikuti oleh orang biasa.
Aktor negara menempati posisi teratas dalam melakukan kekerasan. Aparat kepolisisan terlibat kasus razia waria di Batam, razia waria di Surabaya, kasus Ratna di Blora, dan kekerasan terhadap waria di Makasar. Dalam kasus razia, satpol PP juga terlibat sebagai pelaku kekerasan di dalamnya. Aktor negara lain yang juga tercatat sebagai pelaku adalah hakim sebagaimana yang terjadi dalam kasus pengadialan tidak fair di Solo.
Sementara itu, aktor non‐negara yang cukup banyak melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas LGBTI selama periode pendokumentasian ini adalah kelompok‐kelompok Islamis radikal. Kelompok ini menjadi aktor kekerasan dalam tiga kasus: Pembatalan pertemuan jaringan GWL‐INA di Bandung, penganiayaan gay di Solo, dan kasus pembubaran paksa kontes waria di Makassar.
Masyarakat biasa juga bisa menjadi pelaku kekerasan. Dalam kasus penembakan waria di Taman lawang Jakarta, penganiayaan waria di Makassar, kasus Ratna Blora, dan penganiayaan gay di Manado, pelakunya adalah anggota masyarakat biasa.
Jika sejak awal dikesankan bahwa pelaku kekerasan terhadap komunitas LGBTI adalah individu atau kelompok di luar komunitas LGBTI, maka perlu dinyatakan di sini bahwa pelaku tidak selalu berasal dari luar. Ada peristiwa di mana pelaku pelanggaran berasal dari komunitas LGBTI sendiri. Hal ini bisa dilihat pada laporan Positive Rainbow tentang peristiwa pembukaan status HIV seseorang. Peristiwa ini terjadi di Pulo Gadung, Jakarta, tempat berkumpulnya kawan‐kawan gay. Baik korban maupun pelaku dari peristiwa ini adalah sama‐sama gay.
Perlu juga untuk dinyatakan di sini, bahwa ketiga kategori aktor itu selain bisa melakukan tindakan kekerasan sendiri‐sendiri, mereka juga bisa bertindak bersama‐sama. Kasus penganiayaan Ratna di Blora adalah contoh kasus di mana terjadi sinergi antara masyarakat dan aparat negara dalam melakukan tindakan kekerasan kepada LGBTI. Sedang kasus yang terjadi pada gay di Solo menunjukkan adanya kerja sama antara kelompok Islamis‐radikal dengan aparatus negara. Kasus pembubaran pertemuan GWL‐INA adalah contoh kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islamis‐radikal dengan orang biasa.
5. Motiv Tindakan Pelaku sebagaimana Yang Dipersi Korban
Kebanyakan pemantau tidak mengkonfirmasikan persepsi korban atas tindakan pelaku melakukan tindakan kekerasan. Alasan tindakan pelaku hanya muncul dalam situasi‐situasi tertentu saja. Tercatat hanya tiga kasus yang menjelaskan persepsi korban:
(18)
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 14
No Kasus Motiv
1 Pemukulan gay di Manado Homofobia 2 Ratna Blora Moral/Homofobia 3 Peringatan Hari AIDS di Makasar Moral/Homofobia
6. Korban
Ketika orientasi seksual dan identitas gender seseorang dari komunitas LGBTI terbuka secara jelas dan terbuka, hal ini tampak mempengaruhi tingkat kerentanannya. Dari 10 kasus yang dilaporkan, terdokumentasi 26 korban dimana waria muncul sebagai korban terbanyak.
Dari empat kasus yang dilaporkan (penembakan waria di Taman Lawang‐ Jakarta, razia waria di Batam, razia waria di Surabaya, dan penyerangan waria di Makassar), ada 13 waria yang menjadi korban, di mana semuanya mengalami tindakan kekerasan ketika sedang berkumpul bersama kelompoknya.
No Peristiwa Korban
1 Penembakan Waria di Taman Lawang, Jakarta
2 orang waria 2 Razia Waria di Batam 7 orang waria 3 Razia Waria di Surabaya 1 orang waria 4 Penyerangan Waria di Makasar 3 orang waria
Di dua kasus pembubaran acara LGBTI (pembubaran paksa sebuah kontes waria di Makassar oleh FPI dan pemaksaan pembatalan penyelenggaraan pertemuan nasional GWL‐INA di Bandung oleh pihak manajemen hotel tempat pertemuan tersebut yang mengaku telah diancam oleh FPI), setidaknya ada empat kelompok gay dan waria yang menjadi korban, yaitu:
• Panitia penyelenggara kontes (40 orang)
• Peserta kontes (60 orang)
• Pengunjung kontes
• Anggota jaringan GWL‐INA
Perlu dicatat di sini bahwa penyerangan terhadap LGBTI juga menyebabkan korban pada individu‐individu non‐LGBTI yang berhubungan atau bekerja sama dengan komunitas LGBTI. Dalam kasus pembatalan pertemuan nasional GWL‐INA di Bandung, misalnya, manajer hotel di mana pertemuan berlangsung jelas adalah korban dari kelompok penyerang. Dia meminta panitia untuk membatalkan penyelenggaraan acara karena dia berada dalam ancaman kelompok penyerang. Petugas keamanan sipil dalam kasus pembubaran paksa kontes waria di Makassar dan seorang perempuan yang meminta perlindungan terhadap sekelompok waria di Makasar juga menunjukkan bahwa siapa saja yang berhubungan dengan komunitas LGBTI bisa menjadi menjadi korban.
(19)
15 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
7. Akibat yang Dialami Korban
Dampak tindakan kekerasan terhadap korban bisa berwujud luka atau cacat fisik, trauma psikis, sampai kerugian ekonomis. Sebagaimana yang diungkap diatas, kekerasan terbesar yang dialami oleh komunitas LGBTI adalah kekerasan fisik. Akibat penyerangan ini adalah luka ringan hingga luka parah (lebam akibat pukulan, patah tulang), bahkan sampai menyebabkan kematian.
Tapi, penyerangan fisik ini tidak hanya mengakibatkan luka fisik atau kematian, tapi juga berakibat secara psikis terhadap korban. Perasaan takut, terhina, dan marah yang tertahan adalah akibat yang selalu terjadi dalam semua kasus yang didokumentasi di sini.
Dampak lain yang juga perlu dinyatakan adalah dampak ekonomi. Misalnya, panitia penyelenggara kontes waria di Makassar dirugikan secara ekonomi akibat pembatalan acara padahal segala biaya sudah terlanjur dibayarkan sebelum acara dibubarkan. Mereka yang ditahan juga tidak bisa bekerja sebagaimana Parjo di Solo, atau para waria yang uang dan barang berharganya diambil oleh aparat dalam kasus razia waria di Batam.
8. Tindakan Korban Setelah Kejadian
Tidak diketahui alasan pastinya, tapi sebagian besar korban tidak melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi. Bisa jadi karena sikap apatis bahwa institusi kepolisian tidak akan merespon atau bisa juga karena mereka tidak tahu harus berbuat apa, atau mungkin karena justru ketakutan jika harus berhadapan dengahn aparat kepolisian. Dari sepuluh kasus yang terdokumentasi di sini, hanya ada satu kasus, di mana korban melaporkan kekerasan yang menimpanya ke polisi, yaitu kasus pemukulan gay di Manado.
Jika korban melakukan pengaduan, maka sebagian besar mengadu pada LSM atau kepada lembaga bantuan hukum. Korban kasus penembakan waria di Taman Lawang, penganiayaan gay di Solo, razia waria di Batam, pembukaan status HIV di Jakarta, dan kasus penyerangan waria di Makasar mengadu kepada LSM. Sedangkan korban kasus pembubaran paksa kontes waria di Makasar mengadu ke LBH.
Sementara, ada dua kasus di mana korban tidak melakukan apa‐apa setelah terjadinya kasus: Pembubaran paksa pertemuan GWL‐INA dan kasus razia waria Surabaya. Untuk kasus Ratna di Blora, pihak LSM dan LBH berinisiatif untuk menawarkan pendampingan karena korban yang tertekan tidak tahu harus berbuat apa.
(20)
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 16
9. Saksi
Berdasarkan data yang ada, saksi dapat dikategorikan menjadi: 1. Korban atau rekan korban
2. Orang yang menentang korban atau tidak berpihak pada korban
3. Aparat negara
Berdasarkan kategori tersebut, sebagian besar saksi yang terdokumentasi adalah korban sendiri ataupun rekan korban yang berada di lokasi pada waktu kejadian. Dalam 4 kasus, yaitu penyerangan waria di Makassar, penembakan waria di Taman Lawang, pembatalan pertemuan jaringan GWL‐INA, dan pembubaran kontes waria di Makassar, korban juga diidentifikasi sebagai saksi. Sementara, dalam 3 kasus yang lain, rekan‐rekan korban sendiri baik sesama LGBTI maupun yang non‐ LGBTI yang menjadi saksi.
Dalam kasus penganiayaan laki‐laki trans(gender) di Blora, terdapat saksi yaitu pihak keluarga pasangan korban. Saksi ini sayangnya juga memiliki sikap yang sama dengan pelaku penganiayaan, yaitu menentang korban.
Aparat negara sebagai saksi muncul dalam kasus penghambatan berkumpul. Sayangnya, identitas detil mengenai saksi dari aparat negara ini tidak terdokumentasi.
Tercatat pula tiga kasus dimana pemantau tidak mendokumentasikan saksi‐ saksi yang ada di tempat kejadian yaitu dalam kasus razia waria di Batam, kasus razia waria di Surabaya dan kasus pemukulan gay di Solo.
D. POLA DAN KECENDERUNGAN
Bagian ini mencoba melihat beberapa pola atau kecenderungan dengan menghubungkan antara satu kategori dengan kategori yang lain. Ada 10 kecendrungan yang dibahas dalam bagian ini:
• Wilayah dan ancaman
• Pola tindakan berdasarkan korban
• Pola tindakan berdasarkan waktu
• Pola tindakan berdasarkan tempat
• Jenis kasus dan pola‐pola tindakan
• Pola Tindakan Korban Setelah Kejadian Berdasarkan Akibat yang Dialami Korban
• Pola Tindakan Korban Setelah Kejadian Berdasarkan Tindakan yang dialami Korban
• Korban, Pola Tindakan Tindakan Korban Setelah Kejadian
• Tindakan yang Dialami Korban, Pelaku dan Pola Tindakan Korban Setelah Kejadian
(21)
17 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
• Pelaku dan Tindakan
• Saksi dan Tindakan Korban Setelah Kejadian
1. Wilayah dan Ancaman
Kasus‐kasus yang menimpa LGBTI terdata dari wilayah Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Manado, Makassar, Semarang dan Batam. Kota‐kota ini merupakan kota besar di wilayahnya masing‐masing. Manado dan Makassar adalah kota besar di wilayah Sulawesi bahkan Indonesia Timur. Makasar misalnya, adalah tempat pelabuhan udara utama dimana transit ke daerah lain di Indonesia Timur terjadi. Surabaya adalah kota Provinsi untuk Jawa Timur. Jakarta sebagaimana diketahui bahkan merupakan ibukota Indonesia. Hal ini memiliki beberapa makna yang perlu diuji lebih jauh yaitu keterbukaan di kota‐kota besar belum mencakup penerimaan terhadap LGBTI atau sebaliknya kota besar tidak menjamin keterbukaan. Yang pasti adalah, tersebarnya data kasus dengan korban LGBTI di berbagai daerah dengan pemerataan di Indonesia Barat dan Timur, menunjukkan ancaman terhadap LGBTI nyata dan tersebar.
2. Pola Tindakan Berdasarkan Korban
Berdasarkan data yang masih minim ini, setidaknya dapat diindikasikan tindakan apa yang mengancam korban spesifik di komunitas LGBTI. Tindakan terkait pembubaran dan penghambatan pertemuan dialami lesbian, gay maupun waria. Kekerasan seksual dialami oleh lesbian dan waria, setidaknya belum ada gay yang melaporkan hal tersebut. Kekerasan fisik baik oleh aparat negara maupun masyarakat dialami oleh waria, laki‐laki trans(gender), dan gay. Walaupun kekerasan yang dialami gay cenderung dilakukan oleh masyarakat sedangkan waria dan female‐to‐male transgender juga mengalami kekerasan oleh aparat terkait dengan identitasnya yang lebih terbuka. Kriminalisasi dan sekaligus diskriminasi dalam proses hukumnya dialami oleh waria dan laki‐laki trans(gender). Sedangkan terkait gay, mengenai laporan ke kepolisian terkait pengeroyokan yang dialaminya sayangnya tidak terdapat data lebih lanjut.
3. Pola Tindakan Berdasarkan Waktu
Data paling jelas adalah kekerasan baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun masyarakat cenderung dilakukan pada malam hari hingga dini hari. Penyiksaan termasuk dalam kategori ini. Hal ini mungkin terkait dengan karakter dasar tindakan ini yaitu sembunyi‐sembunyi karena bila dilakukan secara terbuka yang melakukan diancam dengan pidana. Berbeda dengan tindakan pembubaran dan penghambatan yang dilakukan secara terbuka sehingga tidak memerlukan waktu khusus. Waktu yang penting terkait dengan tindakan ini adalah sebelum acara yang ingin dihambat mulai atau setidaknya belum berakhir.
(22)
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 18
4. Pola Tindakan Berdasarkan Tempat
Terdapat tindakan tertentu yang pola tempatnya tetap karena terkait dengan keberhasilan tindakan itu. Misalnya pembubaran atau penghambatan pertemuan yang pasti dilakukan di hotel atau gedung tempat pertemuan.
Kecederungan lain yang tampak adalah kekerasan umumnya terjadi di tempat LGBTI khususnya, dalam kasus yang didata, waria berkumpul. Begitu pula dengan razia baik yang legal maupun ilegal. Sehingga jelas serangan dan razia tersebut ditujukan dan mengincar LGBTI. Walaupun demikian juga ditemui kekerasan di tempat tinggal untuk kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar tempat tinggal.
Penyalahgunaan kekuasaan berupa tindakan perampasan barang oleh aparat umumnya terjadi di jalan atau mobil. Sedangkan kekerasan oleh aparat terjadi di jalan, mobil juga di kantor aparat. Kriminalisasi tentu saja terjadi di kantor aparat sesuai dengan kewenangan dasar polisi menetapkan tersangka. Yang menarik adalah mengenai kekerasan seksual yang umumnya terjadi di kantor aparat.
5. Jenis Kasus dan Pola‐pola Tindakan
Pembubaran atau penghambatan berkumpul terjadi melalui tahapan tindakan sebagai berikut :
• Intimidasi atau ancaman kepada pengelola gedung/hotel tempat pertemuan
• Pihak hotel/gedung membatalkan pemesanan (pertemuan)
• Bila pihak hotel/gedung tidak membatalkan pertemuan, maka pihak penyerang akan memaksa masuk ke dalam gedung
• Aparat keamanan membiarkan
• Penyerang masuk
• Mengancam peserta dan panitia dengan kekerasan fisik atau verbal
• Pertemuan dibubarkan atau dipindah
Sedangkan kekerasan memiliki pola tindakan :
• Didahului perampasan barang, atau
• Kekerasan diikuti perampasan barang
• Kekerasan fisik
• Kekerasan fisik diikuti dengan kekerasan verbal dan/atau seksual
• Laporan korban tidak ditindaklanjuti, atau
• Korban dikriminalisasi (dijadikan tersangka)
• Korban mendapat perlakuan diskriminatif selama persidangan terkait fair trial
Razia, baik legal maupun ilegal, merupakan tindakan yang cukup sering dialami waria. Pola tindakan terkait dengan razia adalah :
• Penangkapan
(1)
MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia
|
24
aktor
non
‐
negara
melakukan
tindakan
kejahatan
terhadap
komunitas
LGBTI.
Pembiaran
juga
terjadi
dengan
tidak
menindaklanjuti
laporan
korban.
Untuk
melanjutkan
kerja
‐
kerja
mempromosikan
HAM
pada
komunitas
LGBTI,
ke
depan
perlu
dilakukan
pemantauan
dan
pendokumentasian
yang
lebih
sistematis
dan
meluas.
Data
‐
data
yang
dihasilkan
dari
proses
pemantauan
yang
baik
akan
menjadi
bahan
yang
sangat
berguna
dalam
kerja
‐
kerja
advokasi
HAM
LGBTI
di
Indonesia.
Yang
tidak
kalah
pentingnya
adalah
perlunya
mengkaji
lebih
dalam
perundang
‐
undangan
dan
berbagai
kebijakan
internal
di
berbagai
instansi
di
mana
para
aktor
pelanggaran
bernaung.
Hal
ini
perlu
dilakukan
untuk
melihat
apakah
ada
kontribusi
sebuah
peraturan
dan/atau
kebijakan
suatu
instansi
dengan
perilaku
para
aktor
(2)
Lampiran:
Event
Based
Form
Tindakan
Korban*
(Nama, jenis kelamin/identitas
gender, orientasi seksual
[optional], usia, tempat tinggal,
keterlibatan dalam komunitas
LGBT, tingkat keterbukaan)
Waktu
Tempat (fungsi
tempat terkait
korban/peristiwa)
Pelaku**
(nama, jenis kelamin/identitas
gender, usia, jabatan (pejabat
publik), ciri‐ciri yang bisa
dikenali)
Intensitas Persepsi korban dan alasan
Akibat **** (fisik, psikis, seksual, dan
ekonomi)
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 24 6 2009 Tanggal Akhir pendokumentasian 30 12 2009
Dikeroyok Perempuan, tampil maskulin,
terbuka mengaku sebagai laki‐
laki dan tertarik pada
perempuan di depan umum,
tidak menenal komunitas
LGBT
21 Juni 2009
(waktu kejadian
tidak diingat)
Dukuh Godang,
RT01/RW01, Desa
Tunjungan‐Blora, tempat
tinggal korban
Warga dukuh Godang,
Desa Tunjungan‐Blora
(jumah dan identitas lain
tidak diketahui)
1 kali Tidak dijelaskan Fisik: Lebam muka dan
sakit seluruh tubuh
Ditahan di kantor polisi
dan tidak mendapatkan
pengobatan atas luka‐
lukanya.
1 kali
Dipaksa menunjukkan alat
kelaminnya
lebih dari 1
kali (tidak
diketahui
pasti
intensitasnya )
Diremas payudaranya tidak
diketahui
pasti
intensitasnya Dipaksa menunjukkan
penis tiruannya di depan
wartawan
1 kali
Dimuat dalam media cetak
dengan pemberitaan yang
sudah tidak berpihak dan
menghukum korban
disertai foto dimana
korban disuruh
menunjukkan penis
tiruannya.
Perempuan, tampil maskulin,
terbuka mengaku sebagai laki‐
laki dan tertarik pada
perempuan di depan umum,
tidak menenal komunitas
LGBT
24 Juni 2009
(waktu kejadian
tidak diingat)
Tidak dijelaskan Wartawan, harian Suara
Merdeka Jawa Tengah
2 kali Psikis: tertekan karena
stigma masyarakat
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 30 6 9 Tanggal Akhir pendokumentasian 9 8 10
Penganiayaan
Tidak ada
Hak Keamanan pribadi Perempuan, tampil maskulin,
terbuka mengaku sebagai laki‐
laki dan tertarik pada
perempuan di depan umum,
tidak menenal komunitas
LGBT
Juni ‐ September
2009 (tanggal
dan waktu
kejadian tidak
diingat)
Tidak dijelaskan Korban menerima ketika AI
dan LBH APIK menawarkan
untuk mendampingi selama
proses pemeriksaan dan
peradilan
‐ Hak untuk tidak
mendapatkan kekerasan
selama proses
pemeriksaan. Fair trial
‐ Hak untuk membela diri.
Fair trial
‐ Hak untuk mendapatkan
bantuan hokum. Fair trial
‐ Hak rehabilitasi
Poedjiati Tan
Dikeroyok 21 Juni 2009
(waktu kejadian
tidak diingat)
Dukuh Godang,
RT01/RW01, Desa
Tunjungan‐Blora, tempat
tinggal korban
Warga dukuh Godang,
Desa Tunjungan‐Blora
(jumah dan identitas lain
tidak diketahui)
Transgender laki‐laki tidak
diketahui
pasti
intensitasnya
Kasus 1: Kekerasan terhadap Laki‐laki Trans(gender) ‐ 2
Ardhanary Institute, Jakarta
Kantor Polisi (PolsekTunjungan‐Blora, Polres
Blora) dan Gedung
Pengadilan Negeri Blora
Polisi (Polsek Tunjungan‐
Blora, Polres Blora) dan
Jaksa penuntut Umum
Tidak dijelaskan Polisi dan Jaksa
menegaskan korban
adalah perempuan yang
tidak boleh bercinta
dengan sesama
perempuan
Psikis: merasa terintimidasi Tidak ada
Hak untuk bebas dari
kekerasan. Keamanan Hak atas otonomi tubuh.
Kebebasan ekspresi. Privasi
LBH Apik, Semarang
Widyanto
pasangan korban (identitas
lain tidak dijelaskan); dan
keluarganya
Hak untuk bebas dari
kekerasan Saksi ***
(nama, jenis kelamin/identitas
gender, usia, hubungannya
dengan korban)
Kasus 1: Kekerasan terhadap Laki‐laki Trans(gender) ‐ 1
Perlakuan tidak manusiawi dan Pelecehan
Tindakan korban setelah
(3)
Tindakan Korban* Waktu Tempat Pelaku** Intensitas Persepsi korban dan
alasan Akibat ****
Kasus 2: Pembatalan Pelaksanaan Pertemuan LGBTI
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 20 9 11 Tanggal Akhir pendokumentasian 25 9 11
didatangi, dintimidasi dan
diancam
Manajemen hotel (identitas
tidak dijelaskan)
Selasa, 11 Mei
2010
(diperkirakan
malam hari)
Hotel Aston Primera,
Pasteur ‐ Bandung, tempat
penyelenggaraan
pertemuan
Beberapa orang laki‐laki
yang mengatasnamakan
diri sebagai FPI (identitas
lain tidak dijelaskan)
1 kali Tidak dijelaskan Psikis: korban merasa takut
dipaksa membatalkan
penyelenggaraan
pertemuan yang sudah
disepakati
Panitya penyelenggara dan
Peserta Pertemuan Nasional
GWL‐INA, gay & waria
(identitas lain tidak
dijelaskan)
Rabu, 12 Mei
2010, sekitar pk.
09:00 (saat
pertemuan akan
diselenggarakan)
Hotel Aston Primera,
Pasteur ‐ Bandung, tempat
penyelenggaraan
pertemuan
Manajemen hotel
(identitas tidak dijelaskan)
1 kali Tidak dijelaskan Psikis: tegang dan stress
karena harus mencari
tempat baru dan
mempersiapkan evakuasi
peserta; ekonomi: banyak
waktu yang terbuang.
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 26 8 11 Tanggal Akhir pendokumentasian 5 9 11
Dikejar 1 kali
'‐ Waria, 21 th
'‐ Waria, 25 th
'‐ Waria, 14 th
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 1 8 11 Tanggal Akhir pendokumentasian
dipukuli oleh beberapa
orang (tidak jelas detailnya)
laki‐laki, gay, 26, Solo,
petugas penjangkau GESSANG, drag queen
Oktober 2010,
diperkirakan malam hari
(tanggal dan
waktu kejadian
tidak diingat)
lapangan terbuka,
Jempingan‐Solo, yang pada malam hari menjadi
tempat berkumpul gay,
waria dan PS perempuan
laki‐laki, Kelompok Jihad
Solo, berjenggot, celana cingkrang, berjubah dan
berpeci (tidak dijelaskan
jumlah dan identitas
lainnya)
lebih dari 1
kali (tidak diketahui
pasti
intensitasnya )
Tidak dijelaskan Tidak dijelaskan
Yusuf Wahyudi
Pekuburan Kristen, Jl. Urip
Sumoharjo, Panaikang‐
Makassar, tempat
berkumpulnya korban
Laki‐laki, 60 th, Tukang
Ojek.
Tidak di jelaskan Psikis: panik dan
ketakutan
Hak keamanan pribadi
lebih dari 1
kali (tidak
diketahui
pasti
intensitasnya ) Dicolek‐colek secara tidak
sopan
‐ Waria, 21 th, korban
meminta perlindungan
kepadanya
‐Waria, 14 th, korban
meminta perlindungan
kepadanya
Kasus 3: Penganiayaan dan Kekerasan Waria
Komunitas Sehati, Makassar
Perempuan, 30 th, Mandai
Makasar, pada saat kejadian
meminta perlindungan
kepada kawan‐kawan Waria
Sabtu, 9 Oktober
2010, sekitar pk.
03.00 WITA
Waria, 21 th, keterlibatan
tidak dijelaskan.
Pekuburan Kristen, Jl. Urip
Sumoharjo, Panaikang‐
Makassar, tempat
berkumpulnya korban Sabtu, 9 Oktober
2010, sekitar pk.
03.00 WITA
Laki‐laki, 60 th, Tukang
Ojek.
2 kali Tidak dijelaskan Fisik: luka lebam
Dianggap menyerang karena membela diri
Tidak di jelaskan Tidak di jelaskan Tidak dijelaskan meminta pendampingan
dari LBH dan Komunitas
Sehati Makassar 1 kali
Dipukul
‐ Perempuan, 30 th
‐ Waria, 21 th, teman
korban.
‐ Waria, 14 th, teman
korban.
Dilecehkan
‐Waria, 25 th, korban
meminta perlindungan
kepadanya
Dianiaya
‐Perempuan, 30 th Hak keamanan pribadi
GESSANG, Solo
Ko Budijanto
Dikeroyok
Tidak ada melaporkan kejadian ke
Yayasan Gessang; Yayasan Gessang mencoba
menghubungi LBH Veteran
dan LBH Atmadi Solo
namun tidak mendapat
tanggapan.
Hak atas kesetaraan dan
non diskriminasi memindahkan pertemuan
ke tempat lain dan tidak
melaporkan ke pihak
manapun.
Jaringan GWL‐INA, Jakarta
Sardjono Sigit
Dipukul Waria, 25 th, keterlibatan
tidak dijelaskan.
Sabtu, 9 Oktober
2010, sekitar pk.
03.00 WITA
Pekuburan Kristen, Jl. Urip
Sumoharjo, Panaikang‐
Makassar, tempat
berkumpulnya korban
Laki‐laki, 60 th, Tukang
Ojek.
beberapa peserta
Pertemuan Nasional GWL‐
INA, dan petugas Hotel
Aston Primera (identitas
tidak dijelaskan)
Hak Keamanan Pribadi
Panitya penyelenggara dan
Peserta Pertemuan
Nasional GWL‐INA
(identitas tidak dijelaskan)
Tempat tinggal masing‐
masing korban
Polisi dari Polsek
Panakukang (identitas lain
tidak diketahui)
1 kali
‐ Waria, 25 th, teman
korban.
‐ Waria, 14 th, teman
korban.
Hak atas fair trial/peradilan
yang fair.
Hak atas keamanan pribadi.
Kasus 4: Penganiayaan dan Pengadilan yang Tidak Fair
Ditangkap atas dakwaansepihak telah melakukan
penganiayaan
danpengeroyokan.
Minggu, 10
Oktober 2010,
sekitar pk. 08.30
WITA
Saksi *** Tindakan korban setelah
kejadian ***** Hak yang dilanggar
Hak keamanan pribadi membatalkan
penyelenggaraan
(4)
Tindakan Korban* Waktu Tempat Pelaku** Intensitas
alasan Akibat **** diputuskan bersalah tanpa
didampingi pengacara.
laki‐laki, gay, 26, Solo,
petugas penjangkau
GESSANG, drag queen
Tanggal dan
waktu kejadian
tidak diingat
Gedung Pengadilan Negeri,
Solo
Hakim yang memimpin
sidang (identitas tidak
diketahui)
proses
persidangan
dilakukan 5
kali
Tidak dijelaskan psikis: Stress; Ekonomi:
tidak bisa bekerja karena
ditahan
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 22 8 11 Tanggal Akhir pendokumentasian 22 8 11
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria Diambil HP‐nya sebagai
pengganti uang Rp.
50.000
‐ waria 1 kali Ekonomi: kerugian mater
Diminta membayar Rp
300.000,‐ sebagai uang
tebusan bagi 6 waria
yang ditahan
‐ waria 1 kali Tidak dijelaskan Ekonomi: kerugian mater
Rp. 100.000
Diturunkan di jalan
setelah dirampas HP‐nya
‐ waria November 2010,
sekitar pk. 22.00‐ 24.00 WIB
(tanggal dan
waktu kejadian
tidak diingat)
Polisi Satpol PP Batam
Centre, laki‐laki, (tidak diketahui jumlah dan
identitasnya).
1 kali
‐ Disuruh menyapu dan
mengepel lantai
‐ waria ‐ Psikis: Takut dan stress
‐ Dipukuli dan dipaksa telanjang
‐ waria ‐ Fisik: memar (tidak
dijelaskan detailnya)
‐ waria
‐ waria
‐ waria
‐ waria
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 22 8 11 Tanggal Akhir pendokumentasian
Dipaksa membubarkan
acara
‐ Petugas keamanan sipil dan
keposlisian
laki‐laki, berbaju putih dan
hitam, bersorban,
mengaku sebagai FPI
1 kali Tidak dijelaskan Psikis: tegang dan stress
‐ Panitia penyelenggara
acara, 40 orang
‐ Hak atas kesetaraan dan
non diskriminasi
Melaporkan kejadian ke
Yayasan Gaya Batam.
Kantor Satpol PP Batam
Centre.
Yusuf Wahyudi
Orang‐ orang di sekitar
gedung dan para
pengunjung
Tidak ada
Hak atas kesetaraan dan
non diskriminasi
Tidak dijelaskan Tidak dijelaskan Tidak ada
HIWABA, Batam
Ko Budijanto
Ditangkap secara sewenang‐wenang
tidak
diketahui
pasti
intensitasnya Ditangkap secara
sewenang‐wenang
Kasus 5: Penangkapan dan Penganiayaan Waria yang Sewenang‐wenang
Tidak dijelaskan
Tidak ada Tidak dijelaskan Tidak ada
Hak Keamanan Pribadi
Kasus 6: Pembubaran Paksa Kontes Waria (Peringatan Hari AIDS Sedunia)
Gaya Celebes, Makassar
Dirampas harta bendanya
Hak atas kebebasan
berserikat dan berkumpul
secara damai
November 2010
(tanggal dan
waktu kejadian
tidak diingat) Diminta membayar uang
Rp. 50.000 lalu digeledah
tas‐nya
November 2010,
sekitar 22.00‐
24.00 WIB
(tanggal dan
waktu kejadian
tidak diingat)
dalam mobil Satpol PP
(perjalanan menuju ke
kantor Satpol PP Batam
Centre) November 2010,
sekitar 22.00‐
24.00 WIB
(tanggal dan
waktu kejadian
tidak diingat)
Simpang Basecamp, Batu
Aji‐Batam Centre, tempat
mangkal waria yang
menjadi korban razia
malam itu
Polisi Satpol PP Batam
Centre, laki‐laki, (tidak
diketahui jumlah dan
identitasnya).
1 kali
Polisi Satpol PP Batam
Centre, laki‐laki, (tidak
diketahui jumlah dan
identitasnya).
Tidak ada
Pengadilan yang tidak fair
Tidak ada Hak atas fair trial/peradilan
yang fair
Tidak ada Hak atas kesetaraan dan
non diskriminasi
Diperlakukan tidak manusiawi: Dianiaya dan dilecehkan
01 Desember
2010, pk. 19.00
WITA
Gedung Kemanunggalan
TNI, bagian depan, tempat
pelaksanaan kegiatan
tidak
diketahui
pasti
intensitasnya
Tidak dijelaskan
‐ Hak untuk diperlakukan secara manusiawi saat
berada dalam tahanan
‐ Dipaksa berhubungan
seks dengan petugas
Satpol PP
Tidak ada Saksi ***
kejadian ***** Hak yang dilanggar
‐ Disuruh berdiri dan
tubuhnya dimasukkan
(5)
Tindakan Korban* Waktu Tempat Pelaku** Intensitas Persepsi korban dan
alasan Akibat **** Diancam keselamatannya ‐ Panitia penyelenggara
acara, 40 orang
1 kali
‐ Undangan dan pengunjung
acara, kurang lebih 1.000
orang
‐ Peserta kontes Waria, 60
orang waria
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 14 8 11 Tanggal Akhir pendokumentasian 16 8 11
‐ Dipukuli
‐ Ditampar
‐ Diinjak‐injak
‐ Dipukul kepalanya
dengan pot bunga
‐ Diolok‐olok dan dihina
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 2 1 11 Tanggal Akhir pendokumentasian 21 1 11
Psikis: merasa
dipermalukan, depresi.
‐ Korban di jauhi oleh
teman‐temannya.
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 15 8 11 Tanggal Akhir pendokumentasian
‐ ditembak dengan pistol
dalam jarak dekat untuk
pertama kalinya
‐ waria, dikenal baik oleh
komunitas waria di lokasi
kejadian (identitas lain tidak
diketahui)
1 kali Fisik: korban tertembak di
bagian lengan dan iga
kanan
‐ waria, dikenal baik oleh komunitas waria di lokasi
kejadian (identitas lain tidak
diketahui);
1 kali ‐ Fisik: luka‐luka (tidak
dijelaskan detailnya)
‐ waria, dikenal baik oleh
komunitas waria di lokasi
kejadian (identitas lain tidak
diketahui)
‐ Fisik: tewas (tidak
dijelaskan detailnya)
Tidak dijelaskan Melapor ke Positive
Rainbow
Hak untuk dijaga kerahasian
nya sebagai pribadi. Privasi
Kasus 8: Pembukaan Status HIV
Positive rainbow, Jakarta
Widyanto
Dibuka status HIV‐nya di
depan publik
laki‐laki, gay, 28 02 Januari 2011,
diperkirakan
malam hari
(waktu kejadian
Pulo Gadung‐Jakarta,
tempat berkumpul
komunitas gay
laki‐laki, gay, 30 tahun 1 kali laki‐laki, gay, 32 tahun
Hak keamanan pribadi Hak atas kebebasan
berpendapat dan
berekspresi
‐ Pak kos dan beberapa
anak kos (tidak diketahui ‐ gay, teman korban
Fisik: luka‐luka (ada
visum); Psikis: tertekan
secara mental.
Korban bersama saksi
melaporkan kejadian ke
Polsek Sario Manado;
Polsek menangkap pelaku
dan ditahan selama
beberapa hari. identitas tidak diketahui,
salah satu penghuni kos tidak
diketahui
pasti
intensitasnya
‐ gay, teman korban laki‐laki, gay, 26 (identitas
lain tidak diketahui)
Hak atas kebebasan
berserikat dan berkumpul
secara damai
Desember 2010
(tanggal dan
waktu kejadian
tidak diingat)
Rumah kost, tempat
tinggal beberapa gay yang
menjadi dampingan
korban
Hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan
publik/pemerintahan
Pelaku tidak suka terhadap
gay.
‐ gay, teman korban
Kasus 7: Penganiayaan Gay
GWL Kawanua, Manado
Ko Budijanto
‐ gay, teman korban
Dianiaya
Taman lawang, Jl.
Purworejo, Menteng‐
Jakarta Pusat, tempat
reguler berkumpulnya
komunitas waria
Laki‐laki berpakaian Jacket
warna gelap dan celana
jeans (identitas lain belum
diketahui)
‐ seseorang yang pada saat
kejadian sedang berada di
tempat tukang ikan hias di
seberang sungai
(diinformasikan oleh
seorang waria yang tidak
melihat kejadian tersebut)
rekan korban melaporkan
kejadian pada Arus Pelangi
Sardjono Sigit
Dirampas harta bendanya
dirampas dompet, HP dan sepeda motor Honda
Karisma
laki‐laki, klien waria (identitas lain tidak dijelaskan)
Kamis, 10 Maret 2011,
diperkirakan
beberapa jam
sebelum pk.
03.00 WIB
Taman lawang, Jl. Purworejo, Menteng‐
Jakarta Pusat, tempat
reguler berkumpulnya
komunitas waria
Laki‐laki berpakaian Jacket warna gelap dan celana
jeans, berboncengan
dengan kawannya
pengendara sepeda motor
1 kali waria, identitas lain tidak diketahui (saat kejadian
sedang bersama korban)
Tidak dijelaskan
Kasus 9: Penembakan Waria
Arus Pelangi, Jakarta
laki‐laki, perwakilan massa
FPI, (tidak diketahui
identitasnya) Gedung Kemanunggalan
TNI, bagian dalam, di atas
panggung, tempat
pelaksanaan kegiatan 01 Desember
2010, pk. 20.00
WITA
Hak Hidup Korban mengkonsultasikan
kejadian ke LBH; LBH
menyarankan untuk
diproses di kepolisian;
Korban tidak melanjutkan
laporan ke polisi karena
sudah tidak punya dana. seluruh pengunjung yang
ada di dalam Gedung dan
juga peserta.
Psikis: tertekan, marah;
Ekonomi: kerugian materi
sekitar Rp. 50 juta (biaya
pelaksanaan yang sudah
terlanjur dibayarkan, ganti
rugi peserta) FPI menganggap kegiatan
ini keluar dari syariat
Agama.
‐ waria (dilaporkan berada
sekitar 20 meter dari lokasi
kejadian, tetapi langsung
lari ke balik pohon setelah
mendengar suara
tembakan peluru)
Tidak dijelaskan Hak Keamanan Pribadi
Ditembak
Kamis, 10 Maret
2011,
diperkirakan
beberapa jam
sebelum pk.
03.00 WIB
Saksi *** Tindakan korban setelah
kejadian ***** Hak yang dilanggar
‐ Hak atas kesetaraan dan
non diskriminasi ‐ Hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul
secara damai
‐ Korban tidak melakukan tindakan apa‐apa
‐ ditembak dengan pistol dalam jarak dekat untuk
yang kedua kalinya
(6)
Tindakan Korban* Waktu Tempat Pelaku** Intensitas
alasan Akibat ****
Sumber
Data
pendokumentasi Tanggal awal pendokumentasian 9 8 11 Tanggal Akhir pendokumentasian
Fisik: kaki korban patah
saat menyelamatkan diri
tidak ada Hak atas kesetaraan dan
Hak atas kebebasan
berserikat dan berkumpul
secara damai
Ko Budijanto
terancam ditangkap secara
sewenang‐wenang
waria, 26 Juli 2011,
diperkirakan
malam hari
(tanggal dan
waktu kejadian
tidak diingat)
Pemakaman Kristen,
Kembang Kuning‐
Surabaya, tempat mangkal
pekerja seks waria dan
perempuan
Polisi berseragam (tidak
diketahui jumlah dan
identitas lainnya)
1 kali tidak diketahui Tidak dijelaskan
Kasus 10: Kabur dari Razia, Kaki Patah
PERWAKOS, Surabaya
Saksi ***