LATAR BELAKANG Yth, DR. dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes, yang telah memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Fibrinogen merupakan suatu protein fase akut dan sintesanya dapat meningkat sampai dua puluh kali lipat dengan rangsangan inflamasi yang berat. Diproduksi dihati dan distimulasi oleh sitokin IL6 yang sangat penting sebagai mediator dari peningkatan sintesa fibrinogen selama respon fase akut. Fibrinogen disamping memegang peranan penting pada proses thrombosis baik primer agregasi thrombosit maupun sekunder koagulasi darah, juga berperan dalam meningkatkan viskositas darah sehingga memacu proses terbentuknya plak ateromatous dan selanjutnya thrombosis. 1,2,3,4 Hiperfibrinogenemia merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar fibrinogen didalam darah. Banyak hal yang dapat menyebabkan keadaan ini, diantaranya pada keadaan fase akut tindakan bedah, MCI, dan inflamasi konsentrasi fibrinogen dalam plasma meningkat dengan cepat. Fibrinogen merupakan salah satu protein fase akut yang peningkatan kadarnya dihubungkan dengan inflamasi sistemik, selain itu fibrinogen juga dianggap memiliki hubungan dengan komponen faktor resiko sindroma metabolik . 5,6 Konsep dari Sindroma Metabolik SM telah ada sejak ±80 tahun yang lalu, pada tahun 1923, Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan Universitas Sumatera Utara orang pertama yang menggambarkan SM sebagai kumpulan dari gangguan metabolik, yang dapat menyebabkan resiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis yaitu hipertensi, hiperglikemi dan gout. 7 Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan berbagai faktor resiko: dislipidemi, hiperglikemi dan hipertensi secara bersamaan yang dikenal sebagai multiple risk faktor untuk penyakit kardiovaskular dan disebut dengan sindrom X. Selanjutnya sindrom X ini dikenal dengan sindrom resistensi insulin. Dan kemudian National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III NCEP-ATP III menamakan dengan istilah Sindroma Metabolik SM. Konsep SM ini telah banyak diterima secara Internasional. 8,9,10 Etiologi SM belum dapat diketahui secara pasti . Suatu hipotesis menyatakan bahwa primer dari SM adalah resistensi insulin. Resistensi insulin didefinisikan sebagai suatu kondisi dijumpainya produksi insulin yang normal namun telah terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin, sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel Beta. Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan atheroma. Resistensi insulin ini sering mendahului onset dari diabetes tipe 2 dan mempunyai kontribusi Universitas Sumatera Utara dalam perkembangan terjadinya keadaan hiperglikemi. Dan resistensi insulin dijumpai pada sebagian besar pasien dengan SM. 8,11,12 Sedangkan hal terpenting pada SM menurut kriteria NCEP-ATP III adalah obesitas sentral . Pada obesitas sentral didapatkan lebih banyak asam lemak bebas yang akan mengakibatkan terjadinya resistensi insulin melalui hambatan terhadap reseptor insulin dan transport glukosa kedalam sel, selain itu meningkatnya asam lemak bebas akan meningkatkan terbentuknya small dense LDL dan menurunnya HDL. Secara keseluruhan, berbagai kelainan akibat obesitas dan resistensi insulin mempermudah terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis mempunyai keterkaitan yang erat dengan penyakit kardiovaskular. 13,14,15 Penyebab aterosklerosis pada penderita sindroma metabolik bersifat multi faktorial yang melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemi, hiperlipidemi, stress oksidatif, serta perubahan-perubahan dalam proses koagulasi dan fibrinolisis. SM dihubungkan dengan keadaan proinflamasi dan protrombosis. Keadaan proinflamasi ditandai dengan peningkatan kadar CRP sedangkan keadaan protrombosis ditandai dengan peningkatan kadar fibrinogen dan PAI-1. 16,17 Secara global insiden SM meningkat secara cepat, berdasarkan data dari The Third National Health and Nutrition Examination Survey NHANES penelitian Ford et al yang dilakukan pada tahun 1988 sampai 1994 dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III menemukan prevalensi pria dibandingkan wanita hampir sama, pria sebanyak 24 dan wanita Universitas Sumatera Utara sebanyak 23,4. Dalam penelitian Soegondo yang dilakukan di Depok 2001, dengan memakai kriteria NCEP:ATP III didapat prevalensi SM sebesar 25,7 pada pria dan 25 pada wanita. Soewondo et al 2006 meneliti prevalensi SM dengan menggunakan NCEP-ATP III mendapatkan prevalensi SM pada pria sebanyak 30,4 dan wanita sebanyak 25,4. 18,19,20 Studi lainnya oleh Hooven et al pada family Medicine Centre di Canada tahun 2004 yang menggunakan Kriteria NCEP ATP III dengan subyek penelitian berusia 40-60 tahun, menemukan prevalensi pria sebanyak 35 pada pria dan wanita sebanyak 32, dan prevalensi yang lebih tinggi pada kelompok usia 50-60 tahun daripada kelompok usia 40- 49 tahun. 21 Pada beberapa studi menunjukkan adanya peningkatan fibrinogen pada penderita SM. Seperti halnya studi oleh Imperatore et al dan Ma et al menunjukkan subjek dengan SM memiliki kadar fibrinogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak disertai SM. 22,23 Sehubungan data-data diatas sampai saat ini studi tentang kadar fibrinogen pada subjek SM terutama yang menggunakan kriteria IDF dan kontrol obesitas, belum pernah diteliti di Medan, oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti ini. Universitas Sumatera Utara

1.2. Perumusan Masalah