RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
379
B. Perspektif Teori Tindakan Weber
Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya bahwa respon yang ditunjukkan PKL dalam menghadapi kebijakan penataan
PKL oleh Pemkot bermacam-macam. Mereka yang ditertibkan dan digusur ada yang pasrah menerima nasib, bersedia pindah
ke lokasi yang disediakan Pemkot, ada yang bersedia minggir tetapi setelah itu kembali ke lokasi berdagang
run and back, dan ada yang resisten tetap bertahan di lokasi di mana mereka
melakukan aktivitas ekonomi sektor informal. Dari hasil penelitian di tiga lokasi, yaitu di Sampangan,
Basudewo, dan Kokrosono, resistensi PKL yang merupakan respon terhadap kebijakan Pemkot, terdiri atas dua bentuk
yaitu dengan perlawanan fisik kekerasan dan perlawanan nonkekerasan.
Perlawanan kekerasan violence resistance ditunjukkan
dengan adu mulut, mendorong petugas, mempertahankan bangunan dan lapak yang akan dibongkar, menaiki begu,
menghalangi pengemudi untuk menjalankan begu, dan menghadang petugas yang akan membongkar bangunan dan
lapak PKL.
Perlawanan nonkekerasan
nonviolence resistance
diperlihatkan dalam bentuk melakukan demonstrasi damai, berorasi, lari dan kembali
run and back, membuat pamflet atau poster, membuat spanduk, dan mendirikan Posko Anti
Penggusuran. Apa yang mereka lakukan merupakan tindakan kolektif dan terorganisasi. Tindakan PKL bukan merupakan
tindakan spontanitas, tetapi merupakan tindakan yang terjadi dalam suatu struktur sosial, yaitu di bawah naungan organisasi
atau paguyuban internal atau organisasi yang menaungi aktivitas mereka.
Weber dalam Habermas 2009 memperkenalkan makna sebagai konsep tindakan dasar dan menggunakannya untuk
380
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
membedakan tindakan dari perilaku yang dapat diamati. Perilaku manusia, yang eksternal maupun internal, aktif
maupun pasif, akan disebut tindakan manakala aktor melekatkan makna subjektif ke dalam perilaku tersebut. Teori
tindakan Weber yang bersifat subjektif ini berbeda dengan teori tindakan Habermas yang bercorak komunikatif atau
intersubjektif.
Dalam ruang sosial, konsep tindakan subjektif Weber tidak dapat diterima oleh Habermas, karena tindakan aktor tidak
dipandang bermakna kalau hanya berdasarkan rasionalitas sang aktor. Itulah sebabnya, menurut Habermas 2009, model
tindakan bertujuan harus diperluas dengan dua spesifikasi agar syarat bagi interaksi sosial terpenuhi.
Pertama, suatu orientasi ke arah perilaku subjek lain yang bertindak.
Kedua, suatu relasi refleksif orientasi tindakan resiprokal dari beberapa subjek yang
bertindak. Meskipun demikian, Weber menyadari bahwa suatu tindakan akan mengandung makna sebagaimana dimaksud oleh
seorang atau beberapa aktor, apabila tindakan tersebut menjelaskan perilaku orang lain dan orientasinya juga
dipengaruhi oleh perilaku orang lain tersebut. Dalam bahasa Ricoeur, tindakan dimaknai sebagai pemenuhan-pemenuhan
dan intervensinya dalam peristiwa publik dan pengejawantahan publik lainnya Kaplan 2010.
Weber membagi tindakan manusia ke dalam empat aspek, yaitu tindakan rasional bertujuan, tindakan rasional bernilai,
tindakan afektual, dan tindakan tradisional den Doel 1988; Habermas 2009; Abercrombie, et al 2010.
Tindakan rasional bertujuan dicapai melalui harapan- harapan seperti keadaan objek-objek di dalam dunia eksternal
atau perilaku orang lain. Harapan-harapan ini dijadikan seseorang sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan,
serta dipertimbangkan dan diupayakan secara rasional berdasarkan keberhasilannya.
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
381 Tindakan rasional bernilai ditempuh melalui kepercayaan
sadar, seperti etis, estetis, religius terhadap nilai intrinsik dan mutlak dari mode perilaku tertentu sebagaimana adanya dan
terlepas dari apakah berhasil atau tidak.
Tindakan efektual atau emosional, diperoleh melalui kondisi afeksi atau emosional yang tengah dialami. Perasaan
senang atau benci pada sesuatu dapat memicu tindakan seseorang.
Tindakan yang berada dalam situasi tradisional berupa pembiasaan praktik yang telah lama dilakukan.
Wolfgang Schluchter dalam Habermas 2009 menyarankan bahwa tipologi tindakan Weber ini dapat direkonstruksi
menurut unsur formal tindakan rasional bertujuan. Bagi Schluchter, seorang aktor bertindak secara rasional bertujuan
ketika dia memilih tujuan dari suatu cakrawala konsekuensi nilai yang jelas dan mengorganisasi sarana-sarana yang sesuai
dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang mungkin muncul. Cakupan hal-hal yang dipertimbangkan
aktor dalam bertindak semakin menyempit. Dalam tindakan rasional bernilai, konsekuensi-konsekuensi yang dipilih dari
makna subjektif lalu diikat dengan kontrol rasional. Dalam tindakan afektual, konsekuensi yang dijadikan pertimbangan
adalah konsekuensi itu sendiri dan nilai-nilai yang ada. Dalam tindakan berbasis tradisi, konsekuensi yang dijadikan
pertimbangan adalah tujuan. Versi resmi dari konsep tindakan Weber dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 15. Tipologi Resmi Tindakan Weberian
Jenis-jenis Tindakan menurut rasionalitas dari
tertinggi hingga terendah Makna Subjektif mencakupi elemen-
elemen berikut. Sarana
Tujuan Nilai
Konsekuensi Rasionalitas bertujuan
+ +
+ +
Rasionalitas bernilai +
+ +
- Afektual
+ +
- -
Tradisional +
- -
- Sumber: Habermas 2009
382
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dalam kajian konsep tindakan dalam versi tidak resmi, Weber dalam Habermas 2009 menetapkan tindakan sosial
pada level konseptual, dengan membedakan tindakan sosial dalam mekanisme koordinasi tindakan individu dan didasarkan
pada kesepakatan normatif. Dalam mekanisme pertama, stabilitas relasi sosial dicapai melalui perbenturan posisi
kepentingan secara faktual; sedangkan yang kedua, stabilitas interaksi sosial dicapai melalui pengakuan tambahan atas klaim
validitas normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara
normatif ditata ulang dengan menambahi validitas yang didasarkan pada kesepakatan, seperti keyakinan bahwa perilaku
tertentu diwajibkan oleh hukum atau konvensi Habermas 2009.
C. Perspektif Teori Tindakan Parsons