Perspektif Teori Tindakan Parsons

382 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang Dalam kajian konsep tindakan dalam versi tidak resmi, Weber dalam Habermas 2009 menetapkan tindakan sosial pada level konseptual, dengan membedakan tindakan sosial dalam mekanisme koordinasi tindakan individu dan didasarkan pada kesepakatan normatif. Dalam mekanisme pertama, stabilitas relasi sosial dicapai melalui perbenturan posisi kepentingan secara faktual; sedangkan yang kedua, stabilitas interaksi sosial dicapai melalui pengakuan tambahan atas klaim validitas normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara normatif ditata ulang dengan menambahi validitas yang didasarkan pada kesepakatan, seperti keyakinan bahwa perilaku tertentu diwajibkan oleh hukum atau konvensi Habermas 2009.

C. Perspektif Teori Tindakan Parsons

Parsons dengan mengutip Weber, menjelaskan bahwa tindakan seorang aktor merupakan tindakan rasional bertujuan atau tindakan normatif. Dalam kaitan ini, Parsons dalam Habermas 2009 membedakan tindakan voluntaristik dan konsep normativis tentang tatanan. Dengan mengutip kata- kata Weber, Parsons mengatakan, “setiap refleksi mendalam tentang elemen-elemen hakiki dari tindakan bermakna yang dilakukan manusia, pada dasarnya dilakukan berdasarkan kategori tujuan dan sarana. Parsons mengambil struktur teleologis bertujuan yang terkandung dalam seluruh tindakan sebagai panduan dalam analisisnya tentang konsep tindakan sosial Habermas 2009. Dalam model tindakan teleologis, aktor dipahami sebagai orang yang pada situasi tertentu menetapkan tujuan tertentu serta memilih dan menetapkan cara yang sesuai untuk mencapainya. Tujuan dipahami Parsons sebagai hal-hal pada masa depan yang ingin diwujudkan oleh sang aktor Habermas 2009. Hal- RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN 383 hal yang mendasari keputusan aktor di antara berbagai pilihan sarana merupakan aturan dasar; sedangkan yang mendasari penetapan tujuan merupakan orientasi nilai dan norma. Keduanya dipadukan Parsons dalam suatu standar normatif. Dalam hal ini, tindakan dapat dianalisis sebagai orientasi tindakan yang dilakukan sang aktor dalam sebuah situasi tindakan. Kerangka konseptual tindakan Parsons memiliki dua implikasi. Pertama, model tindakan tidak hanya mengandaikan aktor memiliki kapasitas kognitif, tetapi juga menyarankan bahwa aktor dapat membuat keputusan yang dipandu secara normatif berkaitan dengan penetapan tujuan dan pemilihan sarana. Teori tindakan ini menurut Parsons termasuk tindakan voluntaristik. Kedua, konsep Parsons tentang situasi mengandaikan bahwa sarana dan syarat yang terkait dengan orientasi tindakan ditafsirkan dari perspektif agen sendiri. Dalam hal ini, teori tindakan diletakkan pada konteks subjektivitas. Hal ini juga diakui oleh Ricoeur, bahwa pribadi-pribadi merupakan tujuan dalam dirinya sendiri Kaplan 2010. Dalam hal tindakan, Ricoeur juga memahami bahwa sebuah diri bukan fondasi mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu mampu berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan bertindak secara bertanggung jawab. Dalam hal orientasi tindakan, Parsons melihat dua aspek penting. Pertama, tindakan direpresentasikan sebagai proses pencapaian tujuan sembari mempertimbangkan standar normatif. Dalam aspek pencapaian tujuan, diperlukan upaya atau biaya yang berbuah hasil atau kepuasan. 384 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang Kedua, pertimbangan standar normatif berupa tindakan menjembatani kesenjangan antara wilayah yang sebenarnya dengan wilayah yang seharusnya, antara fakta dengan nilai, antara kondisi situasi tertentu dengan orientasi agen. Elemen normatif dari suatu tindakan menurut Parsons hanya dapat dicapai melalui serangkaian tindakan, sebab dengan tindakan, norma dapat direalisasikan sepenuhnya. Untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana tatanan sosial muncul, Parsons mengkaji konsep Durkheim. Parsons menerima pandangan Durkheim bahwa tindakan para aktor hanya dapat dikoordinasi secara memuaskan berdasarkan norma-norma yang diakui secara intersubjektif. Parsons mengembangkan gagasan tentang sistem nilai yang mengandung imperatif moral, yang pada satu sisi terkandung dalam norma sosial dan di sisi lainnya terdapat pada motif aktor yang bertindak. Ketika diterapkan pada regulasi baku perbuatan dalam sejumlah kondisi yang relatif ajek, maka sistem nilai seperti itu terkandung dalam serangkaian aturan normatif Habermas 2009. Aturan-aturan tersebut tidak hanya menjadi tujuan dari perilaku spesifik dan mata rantai dari tujuan-tujuan tersebut, tetapi juga mengatur secara keseluruhan atau sebagian tindakan individu. Pada gilirannya, proses tersebut memerlukan kontrol atas perilaku internal. Individu konkret normal adalah individu yang memiliki disiplin secara moral. Ini artinya bahwa elemen- elemen normatif telah terinternalisasi dalam diri individu. Norma-norma yang semula mengekang individu, menurut Parsons berubah menjadi kewajiban moral. Subjektivitas tindakan individu Parsons ini menerapkan konsep moral yang telah dikembangkan oleh Durkheim. Sejalan dengan Durkheim, Parsons merasa puas telah berhasil menemukan karakter dimensi normatif sebagai sikap di mana aktor yang bertindak dapat mematuhi atau melanggar RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN 385 perintah-perintah yang mengikat. Dalam hal ini, aktor memiliki otonomi moral, yakni kebebasan untuk mematuhi suatu aturan. Otonomi atau otoritas moral sebagai suatu tatanan, sebuah istilah yang dipinjam dari Durkheim, dalam bahasa Weber disebut dengan legitimasi. Tindakan aktor yang otonom mengacu pada konsensus nilai dan menurut Parsons, tindakan tersebut pasti berorientasi pada tujuan. Tatanan ini mensyaratkan adanya tindakan berorientasi nilai-rasional. Parsons dalam Habermas 2009 mengakui bahwa tatanan sosial kadang juga dibentuk melalui kompromi antara kepentingan individu yang saling bertumpang tindih. Sembari tetap memiliki kepentingan individunya, aktor menyelaraskan kepentingannya dalam suatu tindakan terkoordinasi dalam sebuah tatanan sosial yang absah. Konsep tindakan Parsons, utamanya tindakan rasional bertujuan, ditafsirkan dalam kerangka alur utilitarian. Dalam pandangan Parsons, aktor berhadapan dengan suatu dunia objektif, berupa hal-hal yang terjalin dan ia memiliki pengetahuan empiris yang pasti tentang peristiwa dan situasi tempat ia berada. Empirisme mengasimilasikan subjek yang bertindak dan subjek yang merepresentasikan dan menilai. Asumsinya adalah aktor telah mengetahui fakta situasi tempat ia bertindak, syarat-syarat yang diperlukan dan sarana yang tersedia untuk merealisasikan tujuan-tujuannya. Parsons menyebut konsep tindakan ini sebagai tindakan rasional. Selanjutnya, menurut Parsons, keberhasilan tindakan bertujuan yang diorientasikan kepada fakta hanya diukur dari apakah tindakan tersebut mengarah pada tujuan atau tidak Habermas 2009. Selain aturan dasarnya adalah peningkatan manfaat, norma lain dalam model tindakan rasional bertujuan adalah berkaitan dengan efektivitas sarana yang dipilih atau berhubungan dengan efisiensi intervensi yang dilakukan. Konsep tindakan rasional bertujuan tidak menyediakan mekanisme yang digunakan oleh aktor untuk 386 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang mengkoordinasikan tindakan satu dengan lainnya. Parsons dalam Habermas 2009 mengintroduksi juga konsep tindakan strategis, yang ia sebut dengan atomistik. Apabila aktor hanya berhadapan dengan dunia yang ada, keputusan aktor lain hanya relevan baginya dari sudut pandang keberhasilannya sendiri. Hubungan stabil antara para aktor hanya dapat terjadi ketika kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam relasi sosial saling melengkapi dan saling menopang. Mengacu pada pandangan Hobbes, Parsons dalam Habermas 2009 meyakini bahwa subjek atau aktor dibekali kemampuan untuk melakukan tindakan rasional bertujuan. Pencapaian kepentingan tiap-tiap individu menurut Hobbes akan terjebak pada perang untuk memperebutkan barang, karena hasrat dari tiap-tiap individu beranekaragam. Masing- masing aktor juga memandang bahwa keputusan setiap aktor lainnya merupakan sarana atau syarat untuk mewujudkan tujuan mereka sendiri. Dalam hal ini, setiap orang berusaha untuk memengaruhi orang lainnya. Dalam interaksi ini muncul apa yang disebut dengan kekuasaan. Dalil rasionalnya adalah bahwa seluruh manusia pasti menginginkan kekuasaan atas sesamanya. Konsep kekuasaan ini menempati posisi sentral dalam analisis tatanan. Oleh karena masyarakat terperosok ke dalam perjuangan untuk memperoleh kekuasaan jangka pendek, maka tujuan akhir berupa keinginan bersama tidak akan pernah ada. Solusi yang ditawarkan Hobbes adalah adanya kontrak untuk menyerahkan kekuasaan kepada pihak yang memiliki kekuasaan mutlak Habermas 2009. Parsons menentang pandangan Hobbes tentang solusi berupa kontrak kekuasaan tersebut. Parsons yakin bahwa kontrak yang memberikan kepada penguasa tersebut tidak sejalan dengan konsep rasional bertujuan. Dua alasan berikut RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN 387 menjadi pertimbangan Parsons menolak pandangan Hobbes tentang kontrak kekuasaan. Pertama, realisasi kontrak biasanya dijalankan dengan menggunakan paksaan dan penipuan. Kedua, paksaan dan penipuan tersebut tidak sesuai dengan hakikat rasional bertujuan yang lebih banyak bersifat persuasif. Berbeda dengan pandangan Hobbes yang memerlukan suatu kekuatan tertentu untuk membatasi perilaku alamiah manusia yang cenderung egois, Locke percaya bahwa setiap manusia memiliki kesetaraan dan kebebasan serta mereka memiliki kewajiban resiprokal untuk mengakui setiap orang dan mereka bersedia mengorbankan kepentingan sesaatnya. Sikap tunduk pada kekuasaan mutlak harus didasarkan pada konsensus normatif, bukan pada paksaan. Normalah yang menjadi pembatas tindakan aktor yang dikendalikan oleh kepentingan diri. Pembatasan tersebut berlangsung melalui orientasi terhadap nilai. Orientasi tindakan individu mengarah pada nilai-nilai yang mengikat. Dengan mengacu pada nilai- nilai atau kesepakatan normatif, maka tindakan bertujuan yang berorientasi pada nilai akan berjalan seiring dengan tatanan yang mengintegrasikan nilai. Tatanan sosial yang dipahami Parsons merupakan struktur sosial. Dalam struktur sosial ini, suatu masyarakat dapat terorganisasi dalam hubungan-hubungan yang dapat diramalkan melalui pola perilaku yang berulang antarindividu dan antarkelompok. Sementara itu, sistem sosial sebagai bagian dari struktur sosial dipahami Parsons sebagai sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang- kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang memiliki motivasi, dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan situasi yang didefinisikan dan dimediasi dalam simbol bersama yang terstruktur secara kultural Martono 2011:50. 388 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang Tidak semua sistem sosial dapat berfungsi dengan baik. Agar sistem sosial dapat bekerja dengan baik dalam kondisi stabil, maka ada empat fungsi terintegrasi yang harus dijalankan. Empat fungsi itu adalah adaptation atau adaptasi A, goal attainment atau pencapaian tujuan G, integration atau integrasi I, dan latent pattern maintenance atau pemeliharaan pola-pola laten L Kinloch 2005. Keempat fungsi tersebut terkenal dengan singkatan AGIL. Fungsi adaptasi dari sistem dilakukan dengan cara menyesuaikan diri dengan lingkungan sekaligus menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya. Fungsi adaptasi meupakan fungsi organisme atau sistem organis tingkah laku. Dalam fungsi pencapaian tujuan, sistem harus dapat mendefinisikan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi ini disebut juga fungsi kepribadian. Dalam hal integrasi, sistem harus mampu mengatur dan menjaga hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mampu menjalankan fungsi untuk memelihara pola, termasuk juga dalam memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan kultural. Fungsi yang terakhir dari sistem tersebut adalah pemeliharaan pola-pola laten.

D. Resistensi PKL sebagai Tindakan Rasional