388
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Tidak semua sistem sosial dapat berfungsi dengan baik. Agar sistem sosial dapat bekerja dengan baik dalam kondisi
stabil, maka ada empat fungsi terintegrasi yang harus dijalankan. Empat fungsi itu adalah
adaptation atau adaptasi A,
goal attainment atau pencapaian tujuan G, integration atau integrasi I, dan
latent pattern maintenance atau pemeliharaan pola-pola laten L Kinloch 2005. Keempat
fungsi tersebut terkenal dengan singkatan AGIL. Fungsi adaptasi dari sistem dilakukan dengan cara
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekaligus menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya. Fungsi adaptasi meupakan
fungsi organisme atau sistem organis tingkah laku. Dalam fungsi pencapaian tujuan, sistem harus dapat mendefinisikan
dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi ini disebut juga fungsi kepribadian. Dalam hal integrasi, sistem harus
mampu mengatur dan menjaga hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mampu menjalankan
fungsi untuk memelihara pola, termasuk juga dalam memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan
kultural. Fungsi yang terakhir dari sistem tersebut adalah pemeliharaan pola-pola laten.
D. Resistensi PKL sebagai Tindakan Rasional
Pandangan Giddens, Weber, dan Parsons mengenai tindakan aktor atau subjek individual tidak jauh berbeda.
Mereka meyakini bahwa tindakan aktor dalam suatu aktivitas tertentu merupakan tindakan rasional atau tindakan rasional
bertujuan. Tindakan aktor tersebut cenderung untuk mengejar kepentingan mereka masing-masing. Namun tindakan aktor
tidak akan berlangsung jika tidak berada dalam suatu struktur sosial tertentu, di mana masing-masing aktor berinteraksi satu
dengan lainnya.
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
389 Pedagang kaki lima PKL resisten terhadap Pemkot
Semarang merupakan tindakan yang disadari dan memiliki tujuan, agar mereka tetap diizinkan berdagang di lokasi guna
memenuhi keperluan hidup hidup sehari-hari. PKL seperti halnya kelas bawah lainnya sesungguhnya tidak memiliki
keberanian
melawan pemerintah
atau negara,
tetapi sebagaimana dikemukakan Paige, intervensi dari luar
berpotensi menggerakkan kelas bawah dalam suatu bentuk perlawanan tertentu Alisjahbana 2006. Dukungan dari
PPKLS, LBH, dan organisasi lainnya, menguatkan nyali PKL melawan Pemkot. Semua itu mereka lakukan agar mereka
dapat bekerja di tempat yang bagi mereka mudah untuk memperoleh penghasilan, sehingga mereka dapat menghidupi
keluarganya. Dengan bekerja, kelangsungan hidup mereka dapat terjaga. Gambaran tentang bagaimana PKL resisten
terhadap pemerintah dan apa tujuan mereka bertindak resisten dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 56. Tindakan PKL sebagai Tindakan Bertujuan
Tindakan PKL disadari dan bertujuan
Resistensi PKL Kebijakan
Pemerintah yang tidak akomodatif
PKL Bertahan Hidup
Survive
Dukungan dari Organisasi atau Lembaga Swadaya
Masyarakat
390
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Di Semarang terdapat dua tempat untuk menampung para pedagang kaki lima PKL yang bersedia dipindah atau
direlokasi, yaitu di Kokrosono dan Pasar Waru, tetapi mengapa PKL menolak direlokasi atau menolak perubahan terhadap
dirinya. Banyak aspek, faktor, atau alasan mengapa PKL tidak bersedia dipindah dan mereka melawan ketika digusur. Dari
penelitian yang telah dilakukan, faktor-faktor yang membuat PKL menolak direlokasi atau melakukan perlawanan ketika
digusur dan dipindah adalah 1 adanya pengalaman buruk ketika PKL dipindah, 2 PKL sudah menikmati zona aman
comfort zone di lokasi di mana mereka berdagang, 3 komunikasi yang buruk antara pihak pemkot dengan PKL, 4
PKL tidak terlibat secara fair dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut diri mereka, 5 PKL dikendalikan oleh sikap self interest, 6 PKL khawatir di tempat baru akan kehilangan
sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, 7 PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang baru, 8 PKL merasa
tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi tersebut, 9 PKL merasa terancam pekerjaannya, 10 resiko di tempat
baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika masih berada di lokasi semula.
Respon-respon dari yang ditunjukkan oleh PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, semuanya adalah untuk
kepentingan bertahan hidup survive atau paling tidak untuk
memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Memang ada di antara PKL yang diteliti, tidak sekedar bertahan hidup. Di Kokrosono
yang lokasinya tidak layak untuk berdagang, karena tempatnya berada di pinggir sungai, kumuh, kotor, dan bau ketika hujan,
terdapat dua orang pedagang yang sukses menekuni pekerjaan sebagai pedagang kaki lima. Demikian pula, di Sampangan, ada
seorang pedagang gado-gado yang cukup sukses secara ekonomi, meskipun ia mengalami penggusuran di tempat di
mana ia berjualan. Pedagang kaki lima yang sukses juga ditemui di bundaran Simpang Lima. Namun demikian, sebagian besar
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
391 PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di Sampangan,
Basudewo, Kokrosono, dan di tempat lainnya hidup sebagai PKL hanya cukup untuk bertahan hidup atau menjaga
kelangsungan hidupnya.
Tindakan PKL melawan Pemerintah kota Semarang dapat dipahami dalam konteks tindakan individual dan tindakan
kolektif. Dalam hal tindakan individual, konsep aktor atau agen dari Giddens dapat menjelaskan mengapa PKL bersikap resisten
terhadap kebijakan yang diambil Pemkot. Sebagaimana dikatakan Giddens bahwa aktor atau agen memiliki kesadaran
kognitif terhadap apa yang mereka lakukan, artinya mereka tahu apa yang akan dan telah dilakukan. Tindakan agen
tersebut memang sengaja dilakukan, di dalamnya ada unsur kehendak dan kebebasan Moya 1990. Tindakan tersebut
merupakan tindakan rasional. Tindakan tersebut tentu sengaja dilakukan, tidak secara kebetulan. Masih adanya beberapa PKL
yang nekat berdagang di Basudewo, di Kokrosono, dan beberapa tempat lainnya, menunjukkan bahwa para PKL
memang sadar mengenai apa yang dilakukan, dan mereka pun siap menanggung resiko ketika harus ditertibkan petugas Satpol
PP kota Semarang.
PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono liar tidak patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot
Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan rasional, karena apa yang mereka lakukan telah disadari betul,
sebab jika mereka tidak melakukan perlawanan, mereka tidak bisa melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi
keluarganya. Tindakan PKL tersebut juga disengaja dilakukan, karena mereka juga menyadari akan resiko yang akan
ditanggungnya. Para PKL ini bertindak melawan pemerintah, karena memiliki alasan-alasan tertentu yang bagi mereka
rasional, di antaranya mereka khawatir jika pindah di tempat baru akan kehilangan atau kekurangan pendapatan. Pak Haji
Mustaqim merupakan salah satu contoh PKL Kokrosono liar
392
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
yang semula sudah pindah ke sentra PKL Kokrosono, tetapi karena dagangan sepi, pak Haji kembali berjualan di tepi sungai
Banjir Kanal Barat. Agar diizinkan berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat tersebut, pak Haji bersedia membayar kalau
diperlukan. Ketika diwawancarai, pak Haji berujar: “membayar sepuluh juta pun saya mau pak, asalkan
diperbolehkan berjualan di sini tepi jalan”. Hal ini juga diakui pak Mul, “kalau harus membayar…saya siap pak…asal boleh
berdagang di sini
”. Sikap resisten dan tindakan PKL melawan pemerintah, dari
sisi agen merupakan tindakan manusia yang di dalamnya terlekat makna subjektif Weber atau bersifat individual.
Tindakan melawan, dalam arti tetap bertahan di lokasi untuk berjualan
sebagaimana diperlihatkan
PKL Kokrosono
merupakan tindakan subjektif. Para PKL menggunakan taktik run and back, merupakan contoh tindakan subjektif dan ini
rasional bagi mereka.
Tipe tindakan rasional bertujuan Weber juga dapat menjelaskan mengapa PKL resisten terhadap Pemkot. Para PKL
tetap bertahan di lokasi memang disengaja dengan tujuan agar Pemkot memperhatikan nasib dan masa depan PKL yang
berjualan di tepi sungai, yakni dengan mendirikan tempat yang layak bagi mereka untuk berdagang, meski kenyataannya hal
itu tidak sesuai dengan harapan para PKL. Pemkot tetap pada pendiriannya,
yaitu menertibkan,
menggusur, dan
memindahkan PKL sebagaimana dialami PKL Basudewo. Tindakan melawan yang dilakukan PKL juga dapat dipahami
dari aspek tindakan rasional bernilai dari Weber.
Para PKL tetap bertahan di lokasi untuk berjualan sadar betul bahwa apa yang mereka lakukan memang tidak benar,
tetapi mereka juga mengakui bahwa mereka terpaksa harus berdagang di tempat tersebut karena selama ini dagangan
mereka ramai dikunjungi pembeli dan jika pindah belum tentu
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
393 dagangannya laku. Kenikmatan pada zona aman
comfort zone ketika berada di lokasi lama, membuat PKL bersikukuh
bertahan di lokasi. Dalam hal tindakan kolektif, para PKL bertahan di lokasi karena tindakan mereka sudah terkoordinasi,
seperti yang terlihat pada tindakan kolektif PKL Sampangan dan PKL Basudewo.
Adanya kesepakatan bersama normatif dari PKL untuk tetap bertahan di lokasi hingga tuntutan mereka dikabulkan
Pemerintah kota, membuat tindakan individual PKL bertransformasi menjadi tindakan kolektif. Tindakan kolektif
ini terwujud dalam bentuk menghalangi petugas yang akan menggusur mereka, memblokade jalan, pawai menuju Kantor
Balaikota, dan berdemonstrasi. Kekuatan kolektif inilah yang membuat para individu PKL berani melawan dan tidak patuh
terhadap kebijakan relokasi yang ditempuh oleh Pemkot Semarang.
Tindakan individual PKL juga dapat dipahami dalam konteks teori tindakan Parsons. Teori tindakan Parsons mirip
dengan teori tindakan Weber, di mana aktor bertindak rasional, subjektif, dan cenderung mengutamakan kepentingan diri
sendiri
self-interest. Parsons setuju dengan konsep tindakan rasional bertujuan dari Weber, di mana tindakan memiliki
tujuan-tujuan tertentu dan mengandaikan adanya sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Para PKL bertindak melawan
Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika
ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional bertujuan, karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya
laku.
Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota
Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Semarang PPKLS dan membentuk organisasi intern PKL
394
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama
dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti Lembaga Bantuan Hukum, Pattiro, Organisasi Mahasiswa, dan lain-lain.
Organisasi dan jejaring yang dibangun PKL yang terkena kebijakan relokasi ini digunakan para PKL untuk mewujudkan
tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi semula.
PKL Sampangan berhasil mewujudkan tujuannya, yakni tetap berdagang di lokasi semula, meskipun tempat
berdagangnya sedikit bergeser ke arah selatan. PKL Basudewo bertahan di lokasi, hingga akhirnya pindah pada awal tahun
2011. PKL Kokrosono liar tidak pindah, tetap bertahan untuk berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Keberhasilan
gerakan rakyat kecil ini sejalan dengan hasil temuan Roever 2005 yang menunjukkan bahwa rakyat miskin dalam situasi
tertentu berhasil memobilisasi dan mendesakkan tuntutan mereka. Aktivitas PKL Basudewo yang masih berjalan hingga
akhir Desember 2010 dan kegiatan kuliner PKL Sampangan yang masih berlangsung hingga kini merupakan contoh dari
keberhasilan tindakan kolektif PKL.
Tindakan para PKL untuk tetap bertahan di lokasi di mana mereka berjualan sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan
memang memerlukan upaya dan biaya yang tidak kecil bagi ukuran PKL seperti yang diperlihatkan oleh PKL Basudewo.
Perjuangan PKL Basudewo selama dua tahun, yaitu tahun 2009 sampai dengan 2010 membutuhkan energi yang luar biasa dari
para PKL, tidak hanya uang, tetapi tenaga, waktu, dan pikiran. Buah dari kerja keras itu adalah mereka tetap dapat bertahan
berjualan di lokasi, di tengah-tengah ancaman preman dan tindakan kekerasan dari aparat pemerintah, seperti Satpol PP
dan Kepolisian.
Sebagai aktor yang bertindak individual dalam kaitannya dengan
posisinya sebagai
pedagang yang
cenderung
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
395 mengutamakan
self-interest, tindakan para PKL juga dapat dikoordinasi berdasarkan norma-norma intersubjektif, yakni
oleh paguyuban internal yang mereka bangun, seperti yang dimiliki PKL Basudewo. Sebagaimana dikemukakan Durkheim,
bahwa dengan adanya paguyuban, ada imperatif moral dari sistem nilai bersama yang menegaskan adanya aturan normatif
yang berfungsi mengontrol perilaku anggota PKL sebagai aktor.
Salah satu contoh dari nilai bersama yang disepakati para PKL adalah ketika PKL Basudewo bersepakat untuk tetap
bertahan di lokasi. Dalam rapat yang diselenggarakan pada hari Minggu tanggal 23 Mei 2010, para PKL bersepakat untuk turun
ke jalan menemui walikota Semarang pada tanggal 25 Mei 2010, dengan tujuan agar mereka diberi kesempatan untuk
tetap dapat berdagang di Basudewo. Jumlah mereka yang berangkat turun ke jalan adalah 65 orang PKL, dengan
didampingi beberapa orang dari Lembaga Bantuan Hukum LBH Semarang. Untuk kepentingan aksi ini, PKL bersepakat
membayar iuran sebesar Rp10.000,00 per orang. Para PKL yang ingin tetap dapat berdagang di Basudewo harus bersedia
bergabung dan bekerja bersama dalam paguyuban yang telah mereka bentuk. Norma yang disepakati, di antaranya
membayar iuran Rp10.000,00 setiap diadakan rapat, harus hadir jika diundang rapat, dan tidak berjualan pada saat mengadakan
aksi ke jalan, merupakan norma yang seakan-akan mengekang hak individual PKL.
Rasa solidaritas terhadap perjuangan paguyuban PKL Basudewo, menyebabkan banyak anggota PKL yang turut
bergabung dalam tindakan kolektif yang diinisiasi oleh paguyuban. Mereka merasa kewajiban tersebut tidak
dipaksakan, tetapi merupakan kewajiban moral yang harus ditanggung
bersama. Rapat
PKL dalam
rangka memperjuangkan tujuan untuk dapat berdagang di lokasi lama,
telah dilakukan PKL Basudewo tidak kurang dari 20 kali selama tahun 2010-2011. Dari komitmen dan aktivitas PKL Basudewo
396
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
menunjukkan bahwa anggota PKL sebagai aktor individu dapat menyelaraskan kepentingannya dalam suatu tatanan sosial
sebagaimana dikehendaki oleh paguyuban PKL Basudewo. Selaras dengan pandangan Parsons, PKL sebagai aktor
menyadari apa yang mereka lakukan, yaitu bekerjasama untuk kepentingan bersama, agar PKL tetap diizinkan berdagang di
lokasi yang selama ini mereka tempati.
Tindakan PKL dalam konteks individual juga dapat dipahami dari pandangan Ricoeur. Sebagaimana diungkapkan
Ricoeur bahwa sebuah diri seorang subjek bukan fondasi mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu mampu
berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan bertindak secara bertanggung jawab Kaplan 2010. Pedagang kaki lima
PKL dalam pandangan Ricoeur ini juga merupakan aktor yang mampu berbicara, meskipun kebanyakan pendidikannya tidak
tamat
SMA, dan
bertindak untuk
merealisasikan kebutuhannya.
Mereka berdagang di tempat terlarang, memang mereka akui salah, tetapi tidak ada pilihan lain bagi mereka selain
berdagang meskipun harus menempati lokasi yang dilarang oleh
ketentuan Peraturan
Daerah. Mereka
sudah memperhitungkan segala sesuatunya, termasuk ketika harus
menerima resiko digusur dari tempat di mana mereka berjualan. Mereka sejatinya juga bertanggung jawab atas apa
yang mereka lakukan. PKL Sampangan misalnya, selesai berdagang pasti juga membersihkan kotoran dan sampah yang
timbul akibat dari usaha perdagangan mereka. Demikian pula, yang dilakukan oleh PKL Basudewo dan Kokrosono. Apabila
mereka diberi otonomi dan kepercayaan untuk mengelola aktivitasnya, tidak digusur dari tempatnya, atau bahkan
didukung dengan dibuatkan tempat untuk berdagang yang layak, sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan bertanggung
jawab terhadap apa-apa yang telah diberikan oleh pemerintah kepadanya.
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
397
E. Rangkuman