dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi karena VIF = 1 tolerance.
Nilai cutoff
yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah dengan VIF 10 Ghozali, 2005.
Tabel 4.4 Hasil Uji Multikolinearitas
Coefficients
a
Model Unstandardized
Coefficients Standardized
Coefficients t
Sig. Collinearity Statistics
B Std. Error
Beta Tolerance
VIF 1
Constant 3.038E10
1.312E11 .232
.819 LB
.383 .039
.884 9.717
.000 .996
1.004 AKO
-.006 .013
-.040 -.438
.665 .996
1.004 a. Dependent Variable: DK
Sumber: Data diolah Peneliti,2010 Berdasarkan tabel 4.4 dapat disimpulkan bahwa penelitian ini bebas dari
adanya multikolinearitas. Hal ini membandingkan dengan nilai tolerance dan VIF. Masing-masing variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki nilai tolerance yang lebih besar dari 0,01 yaitu 0,996. Jika dilihat dari VIF-nya, bahwa masing-masing variabel bebas lebih kecil dari 10 yaitu sebesar
1,004. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala multikolinearitas dalam variabel bebasnya.
c. Uji Heteroskedastisitas
Ghozali 2005:105 menyatakan, “uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual
satu pengamatan kepengamatan yang lain. Jika variance dari satu pengamatan ke
pangamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas”. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heterokedastisitas
atau terjadi homokedastisitas. Cara mendeteksi ada tidaknya gejala heterokedastisitas adalah dengan melihat
grafik scatterplot yang dihasilkan dari pengolahan data menggunakan program SPSS. Dasar pengambilan keputusan menurut Ghozali 2005:105 adalah sebagai
berikut: 1
jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang membentuk pola tertentu yang teratur bergelombang, melebar kemudian menyempit, maka
mengidikasikan telah terjadi heterokedastisitas,
2 jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di
bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heterokedastisitas.
Berikut ini dilampirkan grafik scatterplot untuk menganalisis apakah terjadi gejala heterokedastisitas atau tidak dengan cara mengamati penyebaran titik-titik
pada grafik.
Gambar 4.3 Scatterplot
Sumber: Data diolah peneliti,2010 Dari grafik scatterplot terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak dengan
tidak adanya pola yang jelas serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
heterokedastisitas.
d. Autokorelasi
Uji ini bertujuan untuk melihat apakah dalam suatu model linear ada korelasi antar kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada perode t-1
sebelumnya. Model regresi yang baik adalah yang bebas dari autokorelasi. Masalah autokorelasi umumnya terjadi pada regresi yang datanya time series.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi masalah dalam autokorelasi diantaranya adalah dengan uji Durbin-Watson. Menurut Sunyoto
2009:91, Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah:
1 Angka D-W dibawah -2 berarti ada autokorelasi positif,
2 Angka D-W diantara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi,
3 Angka D-W di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif.
Tabel 4.5 Uji Durbin-Watson
Model Summary
b
Model R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Durbin- Watson
1 .882
a
.778 .761
5.34124E11 1.639
a. Predictors: Constant, AKO, LB b. Dependent Variable: DK
Sumber: Data diolah peneliti,2010
Tabel 4.5 menunjukkan hasil autokorelasi variabel penelitian. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh bahwa tidak terjadi autokorelasi antar kesalahan
pengganggu antar periode. Hal ini dilihat dari nilai Durbin-Watson D-W sebesar 1,639. Angka tersebut berada diantara -2 dan +2, artinya bahwa angka
DW lebih besar dari -2 dan lebih kecil dari +2 -2 1,639 +2. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada autokorelasi positif maupun negatif.
3. Analisis Regresi