Hubungan antara inhibitor enzim pada Sengon dengan pertumbuhan larva Boktor dalam Artificial Diet
HUBUNGAN ANTARA INHIBITOR ENZIM PADA SENGON
DENGAN PERTUMBUHAN LARVA BOKTOR DALAM
ARTIFICIAL DIET
LAURA FLOWRENSIA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
HUBUNGAN ANTARA INHIBITOR ENZIM PADA SENGON
DENGAN PERTUMBUHAN LARVA BOKTOR DALAM
ARTIFICIAL DIET
LAURA FLOWRENSIA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(3)
RINGKASAN
LAURA FLOWRENSIA. E 44062426. Hubungan antara Inhibitor Enzim pada Sengon dengan Pertumbuhan Larva Boktor dalam Artificial Diet.
Dibimbing oleh Dr. Ir. ULFAH JUNIARTI SIREGAR, M. Agr. Dan Dr. Ir. NOOR FARIKHAH HANEDA, M.Sc
PENDAHULUAN. Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) merupakan jenis tanaman yang banyak digunakan dalam program penghijauan maupun pembangunan Hutan Rakyat sebagai kayu pertukangan, peti kemas, korek api serta bahan baku industri pulp dan kertas. Salah satu masalah terbesar dalam pengusahaan hutan sengon adalah adanya serangan boktor (Xystrocera festiva Pascoe). Dalam pencernaan boktor terdapat enzim trypsin dan alfa-amylase. Sementara itu dalam pohon sengon juga terdapat senyawa yang bersifat inhibitor terhadap enzim trypsin dan alfa-amylase yang terdapat pada penceranaan boktor. Aktivitas inhibitor tersebut diduga menjadi sarana tanaman sengon untuk bertahan dan resisten terhadap serangan hama boktor. Untuk memastikan hal itu diperlukan penelitian tentang hubungan antara trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor sengon terhadap perkembangan larva boktor pada artificial diet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivitas trypsin inhibitor dan aktivitas alfa-amylase inhibitor sengon dengan pertumbuhan larva boktor berukuran kecil (±1,5 cm) dan besar (±3 cm) dalam artificial diet.
METODOLOGI. Bahan penelitian berupa serbuk batang dan kulit pohon sengon provenan Kediri dan Solomon dengan kondisi sehat dan sakit, yang sudah melalui proses freeze dry. Larva boktor berukuran kecil (±1,5 cm) dan besar (±3 cm) dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi makanan buatan (artificial diet) yang mengandung serbuk batang dan kulit sengon untuk mempertahankan hidup dari larva di luar habitat alaminya. Parameter pertumbuhan larva (berat, diameter kepala, panjang dan konsumsi pakan larva) diamati dua minggu sekali. Data aktivitas trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor didapatkan dari analisis biokimia serbuk kulit dan serbuk batang sengon menggunakan spektrofotometer. Dua macam data, yaitu pertumbuhan larva boktor pada artificial diet dikorelasikan dengan aktivitas kedua enzim inhibitor dengan korelasi Pearson menggunakan software Microsoft Excel 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tidak semua korelasi enzim inhibitor pada bagian dan kondisi pohon dengan parameter pertumbuhan larva selalu negatif. Total korelasi pada bagian dan kondisi pohon ditemukan 35 korelasi positif dan 29 korelasi negatif. Pada kondisi pohon sehat dengan aktivitas trypsin inhibitor yang tinggi sehingga tidak diminati larva boktor ukuran kecil dan berlaku hal yang sebaliknya pada kondisi pohon sakit. Sedangkan kondisi pohon sehat mempunyai aktivitas alfa–amylase inhibitor tinggi tidak diminati larva boktor ukuran besar, dan berlaku hal yang sebaliknya pada kondisi pohon sakit. Korelasi negatif antara aktivitas trypsin inhibitor dengan perkembangan larva boktor lebih baik diamati dengan menggunakan larva ukuran kecil, sedangkan untuk alfa–amylase inhibitor lebih baik diamati dengan menggunakan larva ukuran besar.
(4)
SUMMARY
LAURA FLOWRENSIA. E 44062426. Correlation of Enzyme Inhibitor Activity in Sengon with Boktor Larval Growth on Artificial Diet.Supervised by Dr. Ir. ULFAH JUNIARTI SIREGAR, M. Agr. and Dr. Ir. NOOR FARIKHAH HANEDA, M.Sc
INTRODUCTION. Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) is widely planted for reforestation programs, especially in establishment of community forest as its timber is utilized for constrction, package box, lighter as well as raw material of pulp and paper. However, there is main problem in sengon plantation, which is boktor (Xystrocera festiva Pascoe) pest attact. In the midgut of boktor larvae it was detected trypsin and α-amylase enzymes activity. Whereas on sengon tree it was reported contains inhibitory substance against trypsin and α-amylase enzymes of boktor larvae. The inhibitory activity was assumed as defense mechanism of sengon tree against the pest attack. In order to clarify the assumption an investigation on the correlation between trypsin and α-amylase inhibitor of sengon with larval growth on an artificial diet is necessary. The experiments aimed at obtaining correlations between the activities of trypsin and α-amylase inhibitors of sengon tree with the growth of boktor larvae, with small (±1,5 cm) and big sizes (±3 cm) on an artificial diet containing respective sengon tree materials.
METHODOLOGY. Plant material used was the wood and the bark of sengon trees made into powder by freeze drying. Two provenances were selected, i.e Kediri and Solomon, consisted of two conditions each i.e. healthy and heavily infested. Both small (±1,5 cm) and big sizes (±3 cm) of boktor larvae were put in a big test tubes filled with artificial diet, which contained powder of sengon wood and bark, as their main feed outside their natural habitat. Larvae growth parameters (weight, head diamaters, length and diet consumption) were observed and measured every two weeks. Data on trypsin
and α-amylase inhibitors was obtained from biochemical analysis of wood and bark powders using a spectrophotometer. Two kinds of data, larval growth parameters and inhibitors activities, were then correlated using Pearson correlation in Microsoft Excel 2007.
RESULTS AND CONCLUSION. Result of the experiments showed that correlation obtained between inhibitor activities of each tissue of each condition and corresponding larvae growth parameters was not all negative, as espected. Out of 64 observations about 35 are positive and about 29 are negatively correlated. In a healthy tree with high trypsin inhibitor activity small size boktor larvae do not prefer attacking. On the contrary similar larvae prefer heavily infested tree with low inhibitor activity. Healthy tree with high α -amylase inhibitor activity will be saved from big size boktor larvae preferences. The opposite accurs on heavily infested tree with low inhibitor activity, which is preferred by big size larvae. In order to obtain negative correlation for trypsin inhibitor it was suggested to do similar experiments using small size larvae, while for α-amylase inhibitor it was suggested using big size larvae.
(5)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Hubungan antara Inhibitor Enzim pada Sengon dengan Pertumbuhan Larva Boktor dalam Artificial
Diet” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen
pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Laura Flowrensia NRP. E44062426
(6)
Judul Skripsi : Hubungan antara Inhibitor Enzim pada Sengon dengan Pertumbuhan Larva Boktor dalam Artificial Diet
Nama : Laura Flowrensia NRP : E 44062426
Menyetujui Pembimbing
Ketua, Anggota,
Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Sc NIP. 19580606 198303 2 001 NIP. 19660921 199003 2 001
Mengetahui
Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr NIP. 19641110 199002 1 001
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang, Sumatra Barat pada tanggal 29 Oktober 1988 ebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Azwir Zen dan Asmiati. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di Taman Kanak-Kanak Pertiwi III Padang, Sekolah Dasar Negeri No. 01 dan Sekolah Dasar Negeri No. 23 Padang. Kemudian dilanjutkan di SLTP N 7 Padang dan melanjutkan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 2 Padang (2003-2006).
Pada tahun 2006 penulis lulus Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Institut Pertanian Bogor dan mendapatkan kesempatan untuk menekuni mayor Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan,Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi mahasiswa, sebagai anggota divisi Infokom TGC (Tree Grower Community) Fakultas Kehutanan untuk periode 2009-2010.
Penulis juga mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan Baturaden pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) tahun 2009 serta Praktek Kerja Lapang di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh tahun 2010.
Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Hubungan antara Inhibitor Enzim pada Sengon dengan Pertumbuhan Larva Boktor dalam Artificial Diet di bawah bimbingan Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar M.Agr dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda M.Sc.
(8)
KATA PENGANTAR
Syukur yang tak hingga penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkah dan hidayahNya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah.Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 hingga Juni 2010 adalah
trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor pohon sengon terhadap artificial diet
boktor, dengan judul Hubungan antara Inhibitor Enzim pada Sengon dengan Pertumbuhan Larva Boktor dalam Artificial Diet.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis memperoleh begitu banyak bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terimakasih kepada :
1. Mama, Papa, Dipo dan om Zal atas doa dan kasih sayang yang selalu mengalir, memberi semangat dan nasehat membangun yang tiada henti mengisi hari-hari dalam kehidupan penulis.
2. Ibu Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Sc selaku dosen pembimbing untuk kesempatan yang diberikan serta bimbingan, arahan, dan kesabarannya mulai dari perencanaan penelitian, hingga penyusunan tugas akhir ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.
3. Seluruh dosen dan staff Departemen Silvikultur untuk ilmu yang telah diberikan serta kerjasama selama penyusunan tugas akhir ini.
4. Bundo, Puti, Ayu, Ega kak Tuti, teh Lia dan bu Elly atas dukungan dan kerjasamanya selama penelitian berlangsung.
5. Sahabat terbaikku Rina, Puti, Fini, Yaya, Widya, Zaky, Nunu, Emon, Dita, Riri, Anna, Dewi, kak Rifa, Asep, Surya dan Lana yang selalu siap membantu dan keluarga besar Silvikultur 43 yang telah memberi semangat, dan keceriaan serta tawa dalam setiap langkah penulis.
6. Teman-teman dan adik-adik pengobat stres : Mezi, Ria, Wandi, bg Aan, Luther, Dheo, Peky, Empe, da Hen, Ool, Oni, Itam, Cawen dan keluarga besar
(9)
Satelit 2 atas dan IPMM atas keceriaan yang telah memberi semangat selama penyusunan tugas akhir ini.
7. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan dan penyusunan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan bermanfaat dalam pelaksanaan penelitian berikutnya.
Bogor, Maret 2011
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
1.3 Manfaat Penelitian ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Botani Sengon (Paraserianthes falcataria) ... 3
2.1.1 Taksonomi ... 3
2.1.2 Sifat Botani ... 3
2.1.3 Daerah Penyebaran dan Persyaratan Tempat Tumbuh... 4
2.1.4 Penanaman dan Pemeliharaan ... 4
2.1.5 Kegunaan Kayu Sengon ... 5
2.2 Hama Penggerek Batang Boktor (Xystrocera festiva Pascoe)... 5
2.2.1 Taksonomi ... 5
2.2.2 Morfologi ... 5
2.2.3 Perilaku, cara penyerangan dan bentuk kerusakan ... 6
2.2.4 Sistem pencernaan boktor ... 6
2.2.5 Pengendalian Hama ... 7
2.3 Enzim dan Inhibitor ... 10
2.4 Trypsin Inhibitor ... 10
2.5 Alfa-amylase Inhibitor ... 11
2.6 Artificial Diet ... 11
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 14
3.2 Bahan dan Alat ... 14
3.2.1 Bahan ... 14
3.2.2 Alat ... 14
3.3 Metodologi Penelitian ... 14
3.3.1 Persiapan dan Pembuatan Artificial Diet ... 14
3.3.2 Percobaan dan Parameter Artificial Diet ... 16
3.4 Analisis Data ... 16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Korelasi Antara Aktivitas Trypsin Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Kecil Dalam Artificial Diet ... 18
4.2 Korelasi Antara Aktivitas Trypsin Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Besar Dalam Artificial Diet ... 22
(11)
4.3 Korelasi Antara Aktivitas alfa-amylase Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Kecil Dalam
Artificial Diet ... 25
4.4 Korelasi Antara Aktivitas alfa-amylase Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Besar Dalam Artificial Diet ... 28
4.5 Rekapitulasi Korelasi Antara Enzim Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Dalam Arificial Diet ... 32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 37
5.2 Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 38
(12)
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Komposisi Artificial Diet ... 15 2. Sampel yang digunakan dalam artificial diet ... 16 3. Rata-rata pengukuran larva boktor pada akhir pengamatan dalam
artificial diet ... 17 4. Rataan nilai aktivitas enzim inhibitor Trypsin Unit Inhibited dan
Alfa-amylase Unit Inhibited ... 18 5. Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor dengan
parameter pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet ... 19 6. Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada bagian dan
kondisi pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva
besar dalam artificial diet ... 22 7. Korelasi antara aktivitas Alfa-amylase dengan parameter
pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet ... 25 8. Korelasi antara aktivitas Alfa-amylase Unit Inhibited
(13)
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada
batang sehat ... 19 2. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang
sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada
batang sakit ... 20 3. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit
sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada
kulit sehat. ... 20 4. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit
sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada
kulit sakit. ... 21 5. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang
sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada
batang sehat. ... 23 6. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang
sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada
batang sakit. ... 23 7. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang
sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada
kulit sehat. ... 24 8. Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit
sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada
kulit sakit. ... 25 9. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada
batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil
pada batang ... 26 10. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada
batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil
pada batang sehat ... 27 11. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada
kulit sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil
pada kulit sehat ... 27 12. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada
kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil
pada kulit sakit ... 28 13. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada
batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar
pada batang sehat ... 29 14. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada
batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar
pada batang sakit ... 30 15. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada
(14)
pada kulit sehat. ... 31 16. Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada
kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar
pada kulit sakit. ... 31 17. Rekapitulasi korelasi trypsin inhibitor pada pertumbuhan larva
ukuran kecil. ... 33 18. Rekapitulasi korelasi trypsin inhibitor pada pertumbuhan larva
ukuran besar. ... 34 19. Rekapitulasi korelasi alfa-amylase inhibitor pada pertumbuhan
larva ukuran kecil. ... 34 20. Rekapitulasi korelasi alfa-amylase inhibitor pada pertumbuhan
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Rataan nilai inhibitor dan parameter perkembangan larva boktor pada masing-masing sampel. ... 42 2. Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada bagian dan kondisi
pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva kecil dalam
artificial diet ... 45 3. Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada bagian dan kondisi
pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva besar dalam
artificial diet ... 45 4. Korelasi antara aktivitas Alfa-amylase inhibitor pada bagian dan
kondisi pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet ... 45 5. Korelasi antara aktivitas Alfa-amylase inhibitor pada bagian dan
kondisi pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva besar dalam artificial diet ... 45
(16)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) merupakan jenis tanaman yang banyak digunakan dalam program penghijauan maupun pembangunan Hutan Rakyat. Jenis kayu ini banyak digunakan sebagai bahan baku korek api, kayu pertukangan, peti kemas bahkan industri pulp dan kertas. Penanaman jenis ini banyak diminati karena daur tidak terlalu panjang, harga kayu sengon relatif membaik dan tanaman tidak terlalu menuntut persyaratan tempat tumbuh yang sulit.
Bertambahnya luasan tanaman sengon dalam bentuk tegakan monokultur memancing berkembangnya permasalahan hama dan penyakit, akibat ketersediaan inang yang cukup dan adanya perubahan iklim mikro setempat. Populasi hama menjadi sangat tinggi karena terdorong oleh tersedianya makanan yang sesuai, yang ditanam oleh manusia dalam areal yang luas dan dilakukan secara terus-menerus. Salah satu masalah terbesar dalam pengusahaan hutan sengon adalah adanya seragan hama boktor (Xystrocera festiva Pascoe, Cerambycidae, Coleoptera). Hama ini menyerang batang sengon sejak tegakan berumur 3 ‒ 4 tahun, yang terjadi di Indonesia baik di pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan ataupun di luar Indonesia yaitu Malaysia, Filipina dan Thailand (Ahmadi 2008). Larva boktor (X. festiva Pascoe) yang baru menetas akan segera memakan kulit bagian dalam dan bagian luar dari kayu gubal (Ahmadi 2008).
Prasetya (2007) menyebutkan bahwa dalam pencernaan boktor terdapattenzim trypsin dan alfa-amylase. Enzim trypsin berperan dalam memecah protein menjadi molekul yang lebih sederhana, kemudian diserap oleh sel. Enzim
alfa-amylase berperan dalam proses degradasi pati, sejenis makromolekul karbohidrat (Djati 2009). Enzim trypsin sangat aktif pada saat larva masih berukuran kecil (ukuran ± 1,5 cm) dimana pada masa ini larva sedang aktif memakan kulit batang (Marta 2005). Aktivitas tertinggi enzim alfa-amylase
terdapat pada larva boktor yang berukuran ± 3,5 cm, pada saat larva bergerak dari lapisan kulit pohon sengon, kemudian ke dalam batang pohon yang banyak
(17)
mengandung pati. Sementara dalam pohon sengon juga terdapat senyawa yang bersifat inhibitor terhadap enzim trypsin dan alfa-amylase yang terdapat pada penceranaan boktor (Winarni 2003). Senyawa inhibitor memiliki aktivitas yang berbeda-beda pada setiap bagian pohon sengon (Djati 2009).
Aktivitas senyawa inhibitor trypsin dan alfa-amylase menghasilkan nilai yang berbeda, bergantung pada kondisi pohon, bagian pohon, enzim yang digunakan, dan faktor lainnya. Aktivitas inhibitor tersebut diduga menjadi sarana tanaman sengon untuk bertahan dan resisten terhadap serangan hama boktor. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang hubungan trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor pada sengon dengan pertumbuhan dan perkembangan larva boktor dalam artificial diet. Pengaruh inhibitor terhadap kesukaan larva boktor perlu diuji langsung terhadap larva. Penelitian seperti ini sulit dilakukan di lapang, karena sulitnya melakukan pengamatan, maka dalam penelitian ini digunakan
artificial diet. Artificial diet merupakan makanan buatan yang terdiri dari bahan alami dan bahan kimia dengan dosis tertentu yang dibuat untuk mempertahankan hidup dari larva boktor di luar habitat alaminya. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat membantu program pemuliaan untuk mendapatkan sengon unggulan, yaitu yang mempunyai kandungan aktivitas trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor tinggi, yaitu sengon yang resisten terhadap serangan hama boktor.
1.2 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan aktivitas trypsin inhibitor sengon dengan pertumbuhan larva boktor berukuran kecil dan besar dalam artificial diet. 2. Mengetahui hubungan aktivitas alfa-amylase inhibitor sengon dengan
pertumbuhan larva boktor berukuran kecil dan besar dalam artificial diet. 1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberi informasi tentang hubungan
trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor pohon sengon terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva boktor dalam artificial diet. Informasi ini dapat digunakan dalam pemuliaan pohon untuk mendapatkan pohon sengon yang resisten terhadap hama boktor, serta bahan referensi bagi dunia Entomologi, khususnya hama boktor.
(18)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Botani Sengon (Paraserianthes falcataria)
2.1.1 Taksonomi
Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Klas : Dicotyledoneae Ordo : Rosales
Famili : Fabaceae Subfamili : Mimosoideae Genus : Paraserianthes
Nama Ilmiah : Paraserianthes falcataria (L) Nielsen
Nama Daerah : albasia, jeunjing (Jawa Barat), sengon laut (Jawa Tengah), sengon sebrang (Jawa Timur), jing laut (Madura), tedehu pute (Sulawesi), rawe, selawoku, merah, seka, sekah, tawasela (Maluku), bae, wahogon, wai, wikie (Irian Jaya) (Atmosuseno 1998).
2.1.2 Sifat Botani
Pohon sengon memiliki ciri-ciri berbatang lurus, tidak berbanir, kulit berwarna kelabu keputih-putihan, licin, tidak mengelupas dan memiliki tinggi bebas cabang mencapai 20 m. Pertumbuhan sengon sangat cepat. Pertumbuhannya selama 25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter batang mencapai 100 cm. Sengon memiliki tata daun mejemuk menyirip ganda dengan anak daun yang kecil-kecil dan mudah rontok. Tajuk berbentuk perisai, agak jarang dan selalu hijau. Tajuk yang agak jarang ini memungkinkan beberapa jenis tanaman perdu tumbuh baik dibawahnya (Alrasjid 1973).
Pohon sengon berbunga sepanjang tahun dan berbuah pada bulan Juni - November. Bunga tersusun dalam bulir atau sebagian besar bercabang malai, berbulu halus, panjang kedudukan bunga 10 ‒ 25 mm, kelopak bunga 2 ‒ 2,5 mm, daun mahkota 5 ‒ 7 mm, berwarna putih, dibaliknya kuning muda, berbulu rapat dan berbuah polong. Bijinya kecil dan berkulit keras. Jumlah biji sengon
(19)
sekitar 40.000 biji/kg atau 36.000 biji/liter, dan daya kecambahnya 80% dengan perlakuan perendaman pada air mendidih selama 24 jam (Alrasjid 1973).
Sistem perakaran sengon banyak mengandung nodul akar sebagai hasil simbiosis dengan bakteri Rhizobium. Hal ini sangat menguntungkan bagi tanah disekitarnya. Keberadaan nodul akar dapat membantu porositas tanah dan penyediaan unsur nitrogen dalam tanah. Sehingga pohon sengon dapat menyebabkan tanaman disekitarnya lebih subur. Tanaman sengon digunakan untuk penghijauan dan reboisasi, penyubur tanah dan daunnya sebagai pakan ternak (Kwatrina et al. 2008).
2.1.3 Daerah Penyebaran dan Persyaratan Tempat Tumbuh
Pohon sengon ditemukan tumbuh secara alami di Kepulauan Maluku, Toampala (Sulawesi Selatan) dan Irian Jaya dan pada tahun 1871 mulai ditanam di Pulau Jawa. Di luar Indonesia, pohon sengon telah ditanam di Serawak, Brunai, Kepong, Sri Lanka, dan India (Alrasjid 1973).
Sengon tumbuh baik di daerah yang terletak antara 100 LS ‒ 30 LU yang memiliki 15 hari hujan dalam 4 bulan kering. Suhu udara yang diperlukan untuk pertumbuhan optimum berkisar 22 ‒ 29 0C. Tempat tumbuh terbaik adalah pada ketinggian 10 ‒ 800 mdpl. Curah hujan tahunan yang diinginkan pohon ini adalah 2.000 ‒ 2.700 mm, kelembaban udara yang dibutuhkan untuk tumbuh berkisar 50 ‒ 75%. Pohon ini dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur (bonita 1) dengan drainase yang kurang baik. Sengon lebih menyukai topografi yang relatif datar, namun pada keadaan tertentu sengon dapat ditanam pada areal bergelombang dan miring dengan kemiringan lereng mencapai 25% (Primantoro 1991).
2.1.4 Penanaman dan Pemeliharaan
Penanaman sengon dilakukan setelah hujan lebat turun pada awal musim penghujan, pada umumnya dalam bulan Oktober-Januari. Pengamatan mulainya hujan lebat sangat perlu, karena bibit yang baru ditanam menghendaki banyak air dan udara lembab. Kegiatan pemeliharaan terdiri dari penyulaman dan penyiangan. Penyiangan dilakukan 2 ‒ 3 kali setahun sampai tanaman berumur 2 tahun. Pada tanaman yang berumur 3 ‒ 4 tahun, penyiangan dapat dilakukan 1 kali tiap tahun (Pradjadinata dan Masano 1989). Karena pertumbuhan pohon yang cepat dan jarak tanam yang rapat, maka penjarangan dimulai sejak tanaman
(20)
berumur 2 tahun. Penjarangan dilakukan setiap tahun dan sesudah umur 10 tahun penjarangan dilakukan 3 tahun sekali (Husaeni 2010).
2.1.5 Kegunaan Kayu Sengon
Kayu sengon banyak digunakan oleh penduduk Jawa Barat untuk bahan perumahan (papan, balok dan tiang). Selain itu dapat juga dipakai untuk pembuatan peti, vener, pulp, papan serat, papan partikel, korek api, dan kayu bakar. Dahulu di Maluku kayu sengon biasa dipakai untuk perisai karena ringan dan liat serta sukar ditembus (Martawijaya et al. 1989).
2.2 Hama Penggerek Batang Boktor (X. festiva Pascoe) 2.2.1 Taksonomi
X. festiva sering disebut uter-uter, boktor, wowolan kumbang serendang atau engkes-engkes, yang lebih umum adalah kumbang boktor. Hama ini adalah hama yang paling merugikan pada tegakan pohon, yaitu menyerang jenis pohon daun lebar dan daun jarum (konifer). Hama kulit pohon yang memakan bagian dalam kulit pohon sering juga merusak kambium dan bagian luar kayu gubal. Apabila kerusakan pada pohon sampai melingkar batang, maka aliran nutrisi dari daun ke akar terganggu dan pohon akan mati (Puspitarini 2006).
Survei yang dilakukan pada awal tahun 60 ‒ an menunjukkan bahwa hama ini telah tersebar ke seluruh tegakan pohon di Pulau Jawa, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian ±1.000 mdpl, didaerah beriklim basah maupun kering. Hama ini menyerang hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hama ini juga menyerang wilayah Malaysia dan Filipina (Notoatmodjo 1963).
2.2.2 Morfologi
Telur berbentuk lonjong dengan ukuran 2x1 mm, berwarna hijau kekuning-kuningan sampai kuning, dilekatkan dengan zat perekat yang tak berwarna. Lama stadium telur adalah 15 ‒ 20 hari (Suratmo 1974). Larva berwarna kekuning-kuningan dan tidak bertungkai jelas. Larva yang baru keluar dari telur berukuran 2x1 mm dan sewaktu akan menjadi pupa, larva tadi berukuran 50×9 mm (Notoatmodjo 1963). Lama stadium larva adalah 5 ‒ 6 bulan. Pupa berwarna putih kekuning-kuningan dengan ukuran 30×10 mm dan dilindungi oleh CaCO3 sebagai dinding. Lama stadium pupa adalah 15 ‒ 21 hari. Imago berwarna kuning kemerah-merahan, ukuran panjang badan 30 ‒ 38 mm
(21)
dan lebar 7 ‒ 9 mm. Lama stadium imago jantan 2 ‒ 13 hari sedangkan betina 2 ‒ 7 hari (Suratmo 1974).
Seekor imago dapat meletakkan telurnya sampai 400 butir, telur diletakkan saling melekat, karena direkatkan oleh semacam zat perekat tak berwarna yang dihasilkan serangga betinanya, sehingga membentuk kelompok-kelompok telur. Siklus hidup X. festiva pada makanan adalah 159 hari untuk kumbang jantan dan 193 hari untuk kumbang betina. Pada kondisi alami siklus hidup kumbang jantan 253 hari dan kumbang betina 250 hari (Husaeni 2010).
2.2.3 Perilaku, cara penyerangan dan bentuk kerusakan
Larva instar pertama berwarna kuning gading yang keluar mulai menggerek kulit bagian dalam dan kayu muda secara bergerombolan ke arah bawah. Bagian pohon yang digerek akan mengeluarkan cairan, sehingga akan terlihat berwarna hitam atau coklat. Larva-larva yang baru menetas akan segera memakan kulit bagian dalam dan bagian luar dari kayu gubal, membentuk saluran sedalam 0,5 mm kearah bawah batang (Ahmadi 2008).
Serangan X. festiva pada tegakan sengon sudah terjadi sejak tegakan berumur 3 tahun, yaitu pada saat diameter batang 10 ‒ 12 cm dan tinggi pohon mencapai 16 m. Letak serangan (lubang gerek) pada pohon adalah mulai dari pangkal batang sampai ketinggian lebih dari 10 m (Ahmadi 2008).
Tingkat serangan pada pohon ditandai dengan banyaknya lubang gerek, lama kelamaan tajuk menguning dan pohon mati. Kerusakan pohon sengon sebagai akibat gerekan larva sehingga kulit batang berlubang-lubang. Adanya lubang gerek pada batang menyebabkan pohon menjadi lemah sehingga mudah patah apabila ada tiupan angin yang kencang (Hawiati 1994).
Bubuk-bubuk gerekan tertinggal dalam lubang gerek dan sebagian keluar dari lubang-lubang kulit atau kulit-kulit yang pecah. Saluran-saluran gerek ini biasanya saling berhubungan (kontinyu) dan arahnya tidak beraturan (biasanya vertikal). Semakin ke arah bawah saluran gerek ini semakin melebar, karena ukuran larva yang memakannya semakin besar (Ahmadi 2008).
2.2.4 Sistem pencernaan boktor
Saluran pencernaan serangga terdiri dari tiga saluran pokok, yaitu : usus depan atau stomodeum; usus tengah atau mesenteron; dan usus belakang atau
(22)
proktodaeum. Usus belakang dan usus depan berasal dari jaringan ektoderm dan dilapisi sebelah dalamnya oleh lapisan tipis kutikula yang disebut intima. Pada saat pergantian kulit kutikula ini dikelupaskan bersama dengan bagian luar eksoskeleton, sedangkan usus tengah tidak punya intima, maka tidak terjadi pergantian kulit (Pasaribu 2008).
Pencernaan alami dari makanan terjadi di usus tengah dimana lapisan epitel usus tengah terlibat dua fungsi, sekresi enzim-enzim pencernaan ke dalam lumen-lumen dan penyerapan produk-produk penernaan ke dalam tubuh serangga. Usus tengah merupakan tempat utama pencernaan dan penyerapan dalam saluran pencernaan. Proses pencernaan makanan pada serangga terutama terjadi di dalam midgut di mana sel-sel epitelium menghasilkan enzim-enzim pencernaan dan juga menyerap makanan yang sudah dicerna (Pasaribu 2008).
2.2.5 Pengendalian Hama
Dalam Ahmadi (2008) pengendalian hama boktor dapat dilakukan secara fisik, mekanik, hayati, kimiawi dan pengendalian terpadu.
A.Pengendalian secara fisik
1. Penangkapan kumbang dengan perangkap lampu terutama cahaya yang berwarna hijau dan biru. Ketertarikan ini dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama. Penangkapan dimulai dari jam 6 sore hari sampai jam 12 malam, pada hari cerah.
2. Pemusnahan kelompok telur boktor dilakukan dengan cara memeriksa setiap larikan tanaman pada tegakan mulai berumur 3 tahun. Peletakan telur boktor oleh kumbang betinanya dapat ditemukan pada celah-celah kulit atau bagian-bagian batang pohon yang luka. Kesulitan utama dalam pemeriksaan dan pemusnahan telur boktor ini adalah kelompok telur yang dapat diperiksa terletak paling tinggi 2 m dari permukaan tanah.
3. Penyesetan kulit batang sengon yang terserang hama boktor dilakukan setiap 3 bulan sekali. Suatu keuntungan bagi pengendalian hama ini adalah larva-larva tadi tidak mempunyai kaki (tungkai). Bila kulit batang sengon yang terserang diseset (dikelupas) maka kumpulan larva boktor tadi akan berjatuhan ke tanah.
(23)
B. Pengendalian secara mekanik
1. Penanaman pohon sengon resisten yaitu pohon sengon yang mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap serangan hama boktor, atau pohon itu tidak (kurang) disukai oleh hama boktor, yang diharapkan dapat mencegah serangan hama boktor, atau kalau diserang, tingkat serangannya cukup rendah sehingga kerugian ekonomis dapat dihindarkan.
2. Pengaturan jarak tanam yang dapat dilakukan pada saat penanaman atau dengan cara penjarangan. Untuk mencegah persaingan yang terlalu awal pada tanaman muda, maka jarak tanamnya perlu diperlebar, misalnya 3×3 m atau 4×3 m. Dari segi pengendalian hama boktor, jarak tanam yang lebih lebar ini mempunyai keuntungan yaitu jumlah batang per hektar (berarti jumlah makanan) menjadi sedikit, dan peluang kumbang untuk memperoleh tempat peletakan telur lebih kecil.
3. Pembuatan tanaman campuran dengan memenuhi persyaratan jenis tanaman tersebut pertumbuhannya sama cepat dengan sengon, atau jenis pohon yang tahan naungan dan bertajuk rimbun. Sedangkan jenis pohon pencampur mempunyai daur, kegunaan kayu yang sama dengan sengon, dan berperan sebagai penghalang mekanis bagi penerbangan kumbang boktor (Ahmadi 2008). Kumbang boktor hanya mampu mencapai 3 ‒ 4 m dalam sekali
terbang dengan ketinggian terbang 0,5 ‒ 1 m, kadang-kadang juga mencapai
2 m dari permukaan tanah (Husaeni 2001).
4. Penjarangan tegakan pohon sengon yang terserang hama boktor harus ditebang. Baik yang mengalami serangan awal (larva masih berada di antara kulit dan kayu) maupun serangan lanjut (larva sudah menggerek ke dalam kayu gubal atau larva telah berkepompong di dalam lubang gerek).
Bila penjarangan tegakan sengon dilaksanakan secara periodik sesuai dengan jadwal penjarangannya, maka tingkat serangan hama boktor akan dapat ditekan (Ahmadi 2008).
C. Pengendalian secara hayati
Musuh-musuh alami hama boktor ada yang menyerang telur, larva, pupa dan imago (kumbang). Musuh-musuh tersebut terdiri dari parasit, predator dan
(24)
patogen. Dua cara pengendalian hayati hama boktor telah dikaji keampuhannya adalah dengan menggunakan parasit telur boktor dan jamur patogen larva.
1. Pelepasan parasit telur
Serangga parasit yang menyerang telur boktor adalah Anagyrus sp. yang tergolong famili Encyrtidae, ordo Hymenoptera. Anagyrus sp. telah terbukti cukup efektif dalam menekan serangan hama boktor. Secara alami
Anagyrus sp. ini biasa memparasit kelompok telur boktor dengan tingkat serangan (tingkat parasitasi) rata-rata 20% (Kasno dan Haneda 2010). 2. Penyemprotan dengan jamur pathogen Beauveria bassiana yaitu salah satu
jamur patogen serangga yang dapat digunakan untuk pengendalian hama yang tergolong bangsa kumbang, misalnya hama boktor (Husaeni 2001). Pengendalian larva bokor dengan menggunakan B. bassiana sebaiknya dilakukan saat serangan hama tahap awal (gejala serangan awal). Pada saat itu larva boktor masih muda dan masih berukuran kecil (Ahmadi 2008). D. Pengendalian kimiawi
Pengendalian dengan menggunakan insektisida yang pertama kali dilakukan oleh De Yong pada tahun 1931, yaitu dengan cara menyemprotkan
paradikhlorbensol (diencerkan dalam petroleum dengan perbandingan 1 : 10) pada permukaan kulit batang sengon yang diserang, insektisida ini dapat mematikan larva yang masih berada di permukaan kayu gubal, tetapi tidak dapat membunuh larva yang telah membuat lubang gerek pada kayu gubal. Walau hasilnya memuaskan namun penggunaan insektisida ini dapat mematikan kambium pohon (Ahmadi 2008).
E. Pengendalian secara terpadu
Strategi pengendalian hama secara terpadu adalah dengan memanfaatkan cara-cara yang paling cocok dari semua metode pengendalian hama dalam suatu kombinasi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah hama. Pengendalian hama terpadu tidak melarang atau meminimumkan penggunaan insektisida tetapi hanya merubah cara, yaitu dari pemakaian untuk pencegahan atau penggunaan rutin, menjadi penggunaan menurut keperluan pemberantasan (Ahmadi 2008).
(25)
2.3 Enzim dan Inhibitor
Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida (protein) yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia. Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat yang bereaksi dan dengan demikian mempercepat proses reaksi. Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi (Anonim 2010).
Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul lain (Anonim 2010).
Inhibitor adalah molekul yang menurunkan aktivitas enzim, sedangkan aktivator adalah yang meningkatkan aktivitas enzim. Banyak obat dan racun adalah inihibitor enzim. Berdasarkan cara kerjanya, inhibitor terbagi dua, inhibitor kompetitif dan inhibitor nonkompetitif. Inhibitor kompetitif adalah inhibitor yang bersaing aktif dengan substrat untuk mendapatkan situs aktif enzim, contohnya sianida bersaing dengan oksigen dalam pengikatan Hb. Sementara itu, inhibitor nonkompetitif adalah inhibitor yang melekat pada sisi lain selain situs aktif pada enzim, yang lama kelamaan dapat mengubah sisi aktif enzim. Semakin tinggi konsentrasi enzim akan semakin mempercepat terjadinya reaksi. Dan konsentrasi enzim berbanding lurus dengan kecepatan reaksi. Jika sudah mencapai titik jenuhnya, maka konsentrasi substrat berbanding terbalik dengan kecepatan reaksi (Anonim 2009).
2.4 Trypsin Inhibitor
Trypsin inhibitor adalah suatu jenis protein yang dapat menghambat kerja enzim trypsin didalam tubuh, yang umumnya terdapat pada kedelai dan beberapa species dari famili Leguminoseae, Cucurbitaceae dan Solanaceae. Mekanisme penghambatan aktivitas enzim trypsin oleh inhibitor terjadi karena terbentuknya
(26)
ikatan kompleks antara kedua senyawa tersebut (interaksi potein-protein). Interaksi tersebut menyangkut pemutusan ikatan antara arginin-isoleusin sehingga menghambat bekerjanya enzim trypsin (Muchtadi 1993). Akibatnya mempersulit pelepasan asam-asam amino dari ikatan proteinnya sehingga tidak dapat diserap (Prasetya 2007).
Faktor yang menentukan daya hambat dari inhibitor trypsin adalah konsentrasi enzim trypsin bebas yang terdapat dalam usus. Penurunan jumlah
trypsin bebas dalam usus (karena adanya interaksi dengan anti trypsin akan menstimulir aktivitas pangkreas untuk memproduksi lebih banyak enzim) untuk mencapai tujuan ini maka akan terjadi pembesaran. Sebaliknya bila konsentrasi enzim dalam usus kembali normal, aktivitas pangkreas tersebut akan dihambat. Faktor yang menentukan daya hambat dari inhibitor trypsin adalah konsentrasinya. Dinyatakan bahwa daya hambat suatu inhibitor terhadap aktivitas enzim typsin adalah berbanding lurus dengan jumlah inhibitor yang terdapat (Prasetya 2007).
2.5 Alfa-amylase Inhibitor
Inhibitor alfa-amylase adalah protein yang menghambat enzim amylase di dalam saluran pencernaan (midgut) serangga. Enzim amilase diperlukan serangga, terutama serangga pemakan biji-bijian dan ubi yang kaya akan pati. Pati ini harus dihidrolisis menjadi molekul karbohidrat yang lebih sederhana (kecil) seperti disakarida dan monosakarida, agar dapat digunakan dalam sistem metabolisme serangga. Dengan dihambatnya pemecahan pati oleh inhibitor alfa-amylase maka serangga tidak mendapatkan kebutuhan karbohidratnya, sehingga berakibat fatal bagi serangga tersebut (Bahagiawati 2005).
2.6 Artificial Diet
Artificial diet adalah suatu makanan yang asing bagi serangga dimana proses pembuatannya mengacu pada pendekatan kimia. Di dalam makanan buatan ini terdapat komponen kimia dan komponen alami. Komponen alami dapat dipenuhi oleh bagian tanaman seperti serbuk kayu, ekstrak biji, ekstrak daun dan bunga sedangkann komponen kimia dapat dipenuhi dengan ascorbic acid, yeast extract dan bahan kimia lainnya (Singh 1977).
(27)
Awal perkembangan makanan buatan yaitu pada tahun 1976 dimana Sande dan Knoke adalah orang pertama yang berhasil menakarkan hama kayu
Xyloborus ferrugineus dalam makanan buatan. Didalam makanan buatan tersebut terdapat berbagai macam bahan kimia maupun bahan alami, seperti serbuk kayu. Komposisi bahan makanan yang dipakai terdiri dari sucrose (15 g), yeast extract
(10 g), casein (10 g), wheat (15 g), salt (1,3 g), agar (40 g), sawdust (150 g), air destilasi (1000 ml), ascorbic acid/vitamin C (2 g) dan streptomycin (0,7 g).
Ascorbic acid merupakan sumber vitamin C yang sangat dibutuhkan serangga dalam pertumbuhannya. Sedangkan yeast extract merupakan sumber protein untuk melengkapi kebutuhan nutrisinya dan meningkatkan aktivitas pembelahan sel (Listyorini 2007).
Pada stadium larva, protein lebih dibutuhkan dalam pertumbuhannya. Protein berguna bagi serangga untuk memproduksi sel jaringan dan pembentukan enzim yang berarti bagi pertumbuhan serangga dan juga merangsang metabolisme dalam tubuh serangga (Puspito 2002).
Singh (1977) mengatakan bahwa agar dan selulosa mutlak diperlukan dalam pembuatan artificial diet. Agar dipergunakan sebagai pembentuk tekstur ransum untuk menyesuaikan dengan kebutuhan larva dan mampu mengikat zat-zat aditif secara sempurna. Selanjutnya ditambahkan zat-zat gula (sukrosa) yang merupakan zat pembentuk tenaga dan proses kimia dalam serangga. Sementara itu, zat pokok yang dibutuhkan adalah karbohidrat dan air. Karbohidrat diperoleh dari selulosa dan kebutuhan air diperoleh dari aquades.
Soediaoetama (1987) menguraikan fungsi bahan-bahan kimia sebagai nutrisi. Fungsi vitamin adalah sebagai zat pengatur proses fisiologis dan biokomia tubuh melalui perannya sebagai koenzim dan kofaktor. Asam askorbik (vitamin C) mudah larut dalam air dan juga berfungsi sebagai penangkal racun. Fungsi karbohidrat sebagai sumber utama energi, pengatur metabolisme lemak dan penghemat fungsi protein. Lemak berfungsi sebagai penghasil energi yang dibutuhkan pembentuk struktur tubuh. Protein sebagai zat pembangun dan pertumbuhan jaringan tubuh, serta pengatur fisiologis dan biologis tubuh. Natrium (Na) berfungsi sebagai pengatur volume darah dan 30-40% berada di dalm tulang. Klor (Cl) selalu mengikuti in Na dalam cairan tubuh. Na dan Cl ini merupakan
(28)
mineral makro yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Mg berfungsi untuk struktur tulang, transmisi impuls saraf dan regulasi enzim.
Streptomycin dalam artificial diet berfungsi untuk mencegah timbulnya jamur dan mikroorganisme lain yang dapat merusak makanan. Keberhasilan suatu makanan buatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengetahuan akan nutrisi, komposisi kimia dan makanan alami, pengetahuan akan habitat dan perilaku makanan (feeding behavior) dari spesies yang diamati (Singh 1977).
Menurut Singh (1977), ada empat prinsip yang harus diperhatikan untuk mendapatkan artificial diet yang sempurna, yaitu:
1. Faktor fisik: tekstur, kekerasan, kandungan air,dan ukuran artificial diet
2. Faktor kimia: nutrisi dan kandungan bahan organik.
3. Keseimbangan nutrisi: nutrisi-nutrisi dalam artificial diet harus mempunyai peran masing-masing dan mempunyai hubungan antar nutrisi. 4. Kontaminasi mikroba: adanya kontaminasi dapat memerusak artificial diet
dan mikroba tersebut akan menjadi parasit bagi serangga.
Keuntungan dalam memelihara serangga dengan menggunakan makanan buatan (artificial diet), yaitu bisa mendapatkan gambaran yang jelas akan perilaku dan asal-usul serangga. Adanya artificial diet memungkinkan dan memudahkan untuk menguji produk-produk serta bahan aktif tanaman yang bersifat anti-metabolik terhadap serangan hama (Listyorini 2007).
(29)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian ini terhitung mulai dari Agustus 2009 ‒ Desember 2009. Penelitian Tripsin
Inhibitor dan Alfa-amylase inhibitor dimulai dari Agustus 2009 - Juni 2010 di Laboratorium PAU Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan
Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian artificial diet yaitu serbuk kulit dan batang kayu sengon dari provenan Solomon dan Kediri. Serbuk batang dan serbuk kulit provenan Solomon diperoleh dari Persemaian Permanen, di Pongpoklandak, KPH Cianjur. Sedangkan serbuk sengon provenan Kediri diambil dari daerah Ngancar KPH Kediri, dengan kondisi masing-masing serbuk sengon sehat dan sengon sakit yang telah diproses freeze dry. Bahan campuran lain yang digunakan adalah yeast extract, streptomycin, ascorbic acid (vitamin C), natrium benzoat, agar, sukrosa dan aquades. Larva yang digunakan ada 2 macam, yaitu larva boktor berukuran kecil (1 ‒ 1,5 cm) dan larva boktor berukuran besar (1,5 ‒ 3 cm). Data aktivitas enzim trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibitor didapatkan berupa data sekunder dari penelitian sebelumnya (Saimima 2010 dan Yauvina 2010).
3.2.2 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan digital, kompor listrik, kaliper digital, tabung reaksi dengan diameter 3×3 cm, gelas ukur,
refrigerator, oven, sendok pengaduk, sudip, cawan petri, toples, pinset, gunting, kain kasa, tisu, label, karet, piring, alat tulis dan kamera digital.
3.3. Metodologi Penelitian
3.3.1 Persiapan dan Pembuatan Artificial Diet
Persiapan penelitian ini meliputi pengambilan serbuk kayu sengon yang telah melewati proses freeze dry, persiapan bahan kimia penyusun makanan
(30)
buatan (artificial diet) dan persiapan alat-alat yang akan digunakan, pembuatan stand penempatan tabung yang sesuai dengan tabung reaksi sebagai tempat ransum yang dilindungi dengan penutupan oleh kain kasa. Kemudian dilanjutkan dengan pencarian larva X. festiva, yang diasumsikan larvanya berasal dari satu induk.
Adapun komposisi makanan buatan untuk larva boktor dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi Artificial Diet
Komposisi Jumlah
Bahan I :
Aquades
Yeast extract Streptomycin Natrium benzoat
Vitamin C (Ascorbic acid)
Serbuk sengon dengan proses freeze dry
Bahan II : Aquades Sukrosa Agar 50 ml 0,75 g 0,5 g 0,5 g 0,5 g 10 g 50 ml 5 g 0,75 g
Komposisi artificial diet ini mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya (Carvallo 2009), namun ada beberapa perubahan seperti penambahan dosis pada beberapa bahan dan pengurangan pada beberapa bahan. Komposisi kali ini tidak menggunakan NaCl, dolomit, minyak zaitun, vitamin B kompleks dan tambahan selulosa, hanya menggunakan serbuk sengon sebagai sumber selulosa utamanya sehinggga jumlah komposisinya dijadikan 2 kali lipat. Umumnya dosis pada masing-masing bahan yang digunakan lebih ditingkatkan.
Pembuatan artificial diet ini dengan cara mencampurkan bahan I ke dalam bahan II dari komposisi artificial diet di atas. Bahan I dibuat dengan memasukkan
yeast extract terlebih dahulu ke dalam aquades dan diaduk hingga terlarut sempurna. Kemudian menambahkan streptomycin, natrium benzoat, dan vitamin C dengan melarutkan unsur-unsur sebelumnya terlebih dahulu. Sebelum menambahakan serbuk sengon kedalam bahan I sebaiknya menyiapkan bahan II terlebih dahulu, yaitu dengan melarutkan sukrosa ke dalam aquades yang diikuti dengan melarutkan agar hingga tercampur sempurna. Kemudian bahan II tersebut dipanaskan pada kompor listrik hingga mendidih. Sementara itu, untuk bahan I
(31)
ditambahkan dengan serbuk sengon dan diaduk sempurna agar bahan kimianya dapat diserap oleh serbuk sengon tersebut. Setelah kedua bahan siap, bahan II (campuran sengon dan bahan kimia) dituangkan ke dalam bahan I.
3.3.2 Percobaan dan Parameter Artificial Diet
Percobaan dilakukan dengan memasukkan satu persatu larva boktor ke dalam tabung yang berisi makanan buatan (artificial diet), kemudian ditutup kain kasa. Tabung-tabung ini disimpan di rak dengan suhu kamar dan memperoleh sirkulasi udara yang baik. Parameter yang akan diamati selama 6 minggu yaitu berat larva, panjang larva, diameter kepala larva, berat makanan dan sisa makanan yang telah dikonsumsi oleh larva boktor. Pengukuran dan penggantian makanan dilakukan setiap 2 minggu.
3.4 Analisis Data
Jumlah sampel pohon yang digunakan sebagai unit percobaan disajikan dalam Tabel 2. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara parameter pertumbuhan larva pada setiap unit percobaan tersebut dengan aktivitas enzim inhibitor. Software yang digunakan adalah Microsoft Excel 2007.
Dalam penelitian artificial diet ini setiap sampel pohon diulang sebanyak 3 kali pada masing-masing ukuran larva boktor. Banyaknya unit percobaan artificial diet adalah 79 (masing-masing sampel) × 3 ulangan = 237 unit percobaan untuk setiap ukuran boktor. Setiap sampel pohon (unit percobaan) yang dipakai untuk
artificial diet, adalah sama dengan sampel yang digunakan untuk uji aktivitas inhibitor enzim trypsin dan enzim alfa-amylase.
Tabel 2 Sampel yang digunakan dalam artificial diet
Provenan Bagian Kondisi Jumlah Sampel
Solomon
Batang Sehat (BSH) Sakit (BSK) Sehat (KSH) Sakit (KSK)
26 pohon 3 pohon 5 pohon 3 pohon Kulit
Kediri
Batang Sehat (BKH) 23 pohon Sakit (BKK) 11 pohon Kulit Sehat (KKH) 5 pohon
(32)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan aktivitas inhibitor dengan pertumbuhan artificial diet larva boktor diamati pada dua provenan, yaitu Solomon dan Kediri. Namun dalam pengolahan data ini, indikator yang digunakan adalah bagian dan kondisi pohon sedangkan provenan tidak dicantumkan. Hal ini didasarkan pada penelitian sebelumnya, bahwa faktor provenan tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas
trypsin inhibitor dan alfa-amylase inhibior (Djati 2009).
Tabel 3 Rata-rata pertumbuhan larva boktor dalam artificial diet
Ukuran Larva Sampel Parameter pengamatan
B (gr) DK (mm) P (cm) K (gr) Kecil
(± 1,5 cm)
Batang sehat -0.003 0.02 0.04 2.480 Batang sakit -0.003 0.04 0.03 2.291 Kulit sehat 0.024 0.00 0.13 2.488 Kulit sakit 0.026 0.00 0.06 3.470 Besar
(±3 cm)
Batang sehat -0.106 -0.06 -0.08 2.439 Batang sakit -0.072 0.03 -0.06 2.062 Kulit sehat 0.015 -0.06 0.09 2.751 Kulit sakit -0.016 -0.08 -0.02 2.455
Keterangan : B = Berat larva
DK = Diameter kepala larva P = Panjang larva
K = Konsumsi diet larva
Hasil rataan pengukuran pengamatan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perkembangan larva boktor yang berbeda-beda pada masing-masing kondisi dan bagian pohon. Artificial diet dengan menggunakan serbuk kondisi sehat umumnya memberikan hasil pertumbuhan kurang baik dibandingkan penggunaan serbuk batang sakit, ada juga beberapa parameter yang memperlihatkan pertumbuhan yang meningkat. Pertumbuhan larva dilihat dari semakin tingginya (positif) selisih berat larva, diameter kepala larva, panjang larva dan konsumsi diet. Rata-rata pertumbuhan larva pada sengon sehat lebih menderita (kecil) dibandingkan pertumbuhan larva pada sengon sakit. Hal ini mengindikasikan bahwa, pada sengon sehat memiliki ketahanan lebih besar terhadap serangan hama boktor. Seperti yang disebutkan dalam Saimima (2010) bahwa rata-rata aktivitas α
(33)
-amylase inhibitor yang lebih tinggi pada pohon kondisi sehat dan Yauvina (2010) rata-rata aktivitas trypsin inhibitor pada pohon sehat lebih tinggi daripada aktivitas
trypsin inhibitor pada pohon sakit.
Hasil rataan nilai aktivitas enzim inhibitor pada Tabel 4 menunjukkan tingginya aktivitas inhibitor pada kondisi pohon sehat dibandingkan pada pohon kondisi sakit. Jika dilihat dari bagian pohon, nilai aktivitas trypsin inhibitor lebih besar pada bagian kulit, sedangkan pada bagian batang memiliki nilai alfa-amylase inhibitor yang lebih tinggi.
Tabel 4 Rataan nilai aktivitas enzim inhibitor Trypsin Unit Inhibited dan alfa-amylase Unit Inhibited
Kondisi Bagian pohon TUI AUI
Sehat Batang 511.517 30.865
Kulit 864.664 28.576
Sakit Batang 126.996 26.401
Kulit 1282.450 23.541
Sumber : Saimima 2010 dan Yauvina 2010.
Perkembangan larva pada masing-masing parameter dikorelasikan dengan nilai aktivitas enzim inhibitor (Trypsin Unit Inhibited dan alfa-amylase Unit Inhibited) pada tiap sampel pohon. Dari hasil penelitian ini, diharapkan setiap korelasi antara inhibitor dengan semua parameter perkembangan larva pada
artificial diet selalu negatif. Karena semakin tinggi aktivitas inhibitor akan menurunkan kesukaan larva boktor untuk menyerang pohon sengon.
4.1 Korelasi Antara Aktivitas Trypsin Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Kecil Dalam Artificial Diet
Berdasarkan Tabel 5 dilihat dari bagian pohon, antara aktivitas trypsin
inhibitor (TUI/ Trypsin Unit Inhibited) dengan parameter perkembangan larva kecil bagian batang dan kulit memiliki jumlah korelasi negatif dan positif yang sebanding/sama. Batang dan kulit sama-sama memiliki 4 korelasi negatif, sehingga tidak memperlihatkan pengaruh besar antara TUI dengan pertumbuhan larva. Jika dilihat dari kondisi pohon, pada sengon kondisi sehat memiliki jumlah korelasi negatif lebih banyak dibandingkan dengan kondisi sakit. Sengon kondisi sehat terdapat 5 parameter yang menunjukkan korelasi negatif, sedangkan pada kondisi sakit hanya ditemukan 3 korelasi negatif.
(34)
Tabel 5 Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor dengan parameter pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet
Bagian Kondisi
TUI vs Berat Larva
TUI vs Diameter
Larva
TUI vs Panjang
Larva
TUI vs Konsumsi
Diet
Batang Sehat - + - +
Sakit - - + +
Kulit Sehat - + - -
Sakit + + + -
Keterangan :
+ = berkorelasi positif - = berkorelasi negatif
Data ini membuktikan bahwa pada sengon sehat, bagian batang dan kulit sama-sama memiliki TUI yang tinggi yang menyebabkan larva boktor kecil tidak menyukai pohon sengon sehat tersebut. Parameter yang memperlihatkan korelasi negatif pada sengon sehat adalah perbandingan TUI dengan diameter kepala larva dan panjang larva serta konsumsi diet.
Gambar 1 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada batang sehat.
Pada batang sengon sehat (Gambar 1) terdapat 2 perbandingan korelasi yang memperlihatkan hubungan negatif, yaitu pada korelasi antara TUI dengan berat (-0,150) dan TUI dengan panjang (-0,219). Sedangkan pada 2 parameter pertumbuhan larva lainnya berkorelasi positif, yaitu korelasi pada TUI dengan diameter kepala larva dan TUI dengan konsumsi diet. Walaupun perbandingan kedua histogram parameter sama, namun pada parameter yang berkorelasi negatif memiliki nilai yang lebih besar sehingga parameter ini dapat dikatakan konsisten.
(35)
Gambar 2 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada batang sakit.
Bagian batang sakit yang diperlihatkan pada Gambar 2, juga terjadi hal yang sama seperti histogram pada batang sehat. Namun perbandingan korelasi negatifnya berlaku berat larva (-0,123) dan dengan diameter kepala larva TUI (0,213) dan korelasi posotinya berlaku pada parameter panjang (0,023) dan konsumsi larva (0,218). Berdasarkan data ini, trypsin inhibitor pada batang berkorelasi negatif dengan pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet.
Gambar 3 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada kulit sehat. Pada kulit sehat (Gambar 3), korelasi TUI dengan 3 parameter perkembangan larva (berat sebesar -0,127, panjang sebesar -0,201 dan konsumsi diet sebesar -0,270) menunjukkan TUI berkorelasi negatif pada pertumbuhan larva kecil. Pada parameter diameter kepala larva histogramnya menunjukkan korelasi positif sebesar (0,257). Korelasi negatif yang dimaksudkan adalah
(36)
semakin tingginya aktivitas trypsin inhibitor pada kulit sehat akan berbanding terbalik dengan 3 parameter pertumbuhan artificial diet larva tersebut.
Pada kulit sakit (Gambar 4) memiliki bentuk histrogram yang sangat berbeda dari histogram sebelumnya, yaitu ada 3 parameter yang memperlihatkan korelasi positif dan 1 parameter berkorelasi positif . Korelasi positif diperlihatkan pada parameter berat larva (0,632), diameter kepala larva (0,842) dan panjang larva (0,517), sedangkan pada konsumsi larva nilai korelasinya negatif sebesar -0,438. Histogram ini membuktikan tidak ada hubungan yang antara trypsin
inhibitor dengan pertumbuhan larva kecil pada kulit sehat.
Gambar 4 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada kulit sakit. Dari keempat histogram korelasi pada bagian kulit sehat yang paling kuat menunjukkan hubungan aktivitas trypsin inhibitor dengan perkembangan larva kecil. Hal ini membuktikan bahwa pada pohon sehat, aktivitas trypsin inhibitor yang tinggi akan meningkatkan kemampuan pohon untuk menghambat serangan hama boktor lebih besar. Dengan hasil ini, kulit sengon sehat dapat dijadikan indikator tingginya aktivitas trypsin inhibitor pada pohon sengon. Aktivitas
trypsin inhibitor tertinggi adalah kulit, sementara aktivitas trypsin inhibitor pada bagian batang rendah (Djati 2009).
(37)
4.2 Korelasi Antara Aktivitas Trypsin Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Besar Dalam Artificial Diet
Berdasarkan Tabel 6, korelasi antara TUI dengan parameter pertumbuhan larva besar banyak yang berkorelasi negatif pada bagian kulit yaitu sebanyak 6 korelasi sedangkan pada bagian batang hanya memiliki 2 korelasi negatif. Hasil ini membuktikan bahwa pada pengukuran pertumbuhan larva besar dengan aktivitas trypsin inhibitor lebih signifikan pada bagian kulit. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa pohon sengon sakit lebih banyak yang berkorelasi negatif daripada pohon sehat. Seperti yang dikutip dari Djati (2009), kandungan trypsin
inhibitor yang lebih besar pada kulit mengindikasikan bahwa kulit adalah perlindungan utama pada sengon dari serangan boktor.
Tabel 6 Korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada bagian dan kondisi pohon sengon dengan parameter pertumbuhan larva besar dalam artificial diet
Bagian Kondisi
TUI vs Berat Larva TUI vs Diameter Larva TUI vs Panjang Larva TUI vs Konsumsi Diet
Batang Sehat + + - +
Sakit + + - +
Kulit Sehat + - - +
Sakit - - - -
Keterangan :
+ = berkorelasi positif - = berkorelasi negatif
Tingginya aktivitas trypsin inhibitor pada kulit dikarenakan kulit banyak mengandung sel-sel hidup yang memiliki mitokondria yang mengandung anti protein enzim trypsin yang bekerja pada boktor (Winarni 2003). Hal ini menyebabkan larva besar tidak suka menyerang pohon sakit, karena dalam pertumbuhannya larva besar lebih membutuhkan karbohidrat yang umumnya terdapat pada bagian batang.
Gambar 5 memperlihatkan korelasi antara TUI dengan parameter pertumbuhan larva kecil lebih banyak berpengaruh/korelasi positif, baik pada berat larva sebesar 0,122, diameter kepala larva 0,218 dan konsumsi larva sebesar 0,256. Pada batang sehat, hanya pada parameter panjang larva yang memiliki korelasi negatif sebesar -0,05 dengan aktivitas trypsin inhibitor.
(38)
Gambar 5 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada batang sehat.
Sama halnya dengan batang sehat, Gambar 6 yang memperlihatkan korelasi antara TUI dengan pertumbuhan larva besar pada batang sakit juga banyak yang berkorelasi positif. Korelasi positif paling besar ditemukan pada parameter konsumsi larva sebesar (0,205), sedangkan parameter yang memperlihatkan korelasi negatif hanya ditemukan pada panjang larva yaitu sebesar -0,009.
Gambar 6 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada batang sakit.
Hal ini membuktikan bahwa aktivitas trypsin inhibitor pada bagian batang tidak memberikan pengaruh pada pertumbuhan larva besar. Hasil tersebut sesuai
(39)
dengan Prasetya (2007) rendahnya enzim trypsin pada larva ukuran besar disebabkan karena dalam masa transisi antara stadium larva dan stadium pupa sehingga makanan yang dimakan sedikit.
Gambar 7 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada kulit sehat.
Pengamatan pada bagian kulit sehat, antara TUI dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar terdapat 2 pengamatan yang berkorelasi negatif, yaitu diameter kepala larva sebesar -0,034 dan panjang larva sebesar -0,106 seperti histogram pada Gambar 7. Pada parameter berat larva dan konsumsi larva dengan TUI memperlihatkan korelasi positif, masing-masing sebesar 0,154 dan 0,110.
Pada Gambar 8 yang memperlihatkan korelasi pada bagian kulit sakit, keempat parameter pertumbuhan larva besar bernilai negatif. Korelasi tersebut ditemukan pada parameter berat larva sebesar -0,123, diameter kepala larva sebesar -0,266, panjang larva sebesar -0,168 dan konsumsi larva sebesar -0,299. Hasil ini membuktikan bahwa pada bagian kulit banyak mengandung trypsin
inhibitor yang menyebabkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan larva seperti: menurunnya berat, ukuran diameter kepala, panjang larva dan jumlah konsumsi larva tersebut.
(40)
Gambar 8 Histogram korelasi antara aktivitas Trypsin inhibitor pada kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada kulit sakit. Parameter yang paling konsisten digunakan dalam menguji korelasi
trypsin inhibitor pada larva besar adalah panjang larva, karena baik dari batang maupun kulit, panjang larva panjang larva banyak berkorelasi negatif.
4.3 Korelasi Antara Aktivitas alfa-amylase Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Kecil Dalam Artificial Diet
Berdasarkan Tabel 7 korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor (AUI /
Alfa-amylase Unit Inhibited) dengan pertumbuhan larva boktor kecil, bagian batang lebih banyak memperlihatkan korelasi negatif dibandingkan dengan bagian kulit yaitu sebanyak 6 korelasi. Parameter yang kuat memperlihatkan korelasi ini adalah berat larva dan panjang, yang selalu bernilai negatif pada batang sehat dan batang sakit.
Tabel 7 Korelasi antara aktivitas Alfa-amylase dengan parameter pertumbuhan larva kecil dalam artificial diet
Bagian Kondisi AUI vs Berat Larva
AUI vs Diameter Larva
AUI vs Panjang Larva
AUI vs Konsumsi
Diet
Batang Sehat - - - +
Batang Sakit - + - -
Kulit Sehat + - + +
Kulit Sakit - - - +
Keterangan :
+ = berkorelasi positif - = berkorelasi negatif
(41)
Pada bagian kulit, hanya pada diameter larva yang memperlihatkan tingginya aktivitas alfa-amylase inhibitor sehingga berpengaruh buruk pada perkembangan larva kecil. Banyaknya parameter yang berkorelasi negatif terhadap alfa-amylase inhibitor paling baik pada kondisi sehat maupun sakit. menunjukkan bahwa itu sebanyak 6 korelasi. Untuk sengon kondisi sehat hanya ditemukan 4 korelasi negatif, yang berarti aktivitas alfa-amylase inhibitor tinggi pada pohon sakit kurang disukai larva kecil.
Gambar 9 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada batang sehat.
Pada histogram batang sehat pada Gambar 9 menunjukkan 3 parameter pertumbuhan larva kecil berkorelasi negatif terhadap AUI. Parameter tersebut adalah berat larva 0,184), diameter kepala larva 0,075), dan panjang larva (-0,287) sedangkan pada konsumsi larva berkorelasi positif sebesar (0,096). Histogram ini membuktikan menurunnya pertumbuhan larva kecil pada batang sengon sehat, hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan alfa-amylase inhibitor pada batang.
Korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor dengan pertumbuhan larva kecil yang ditampilkan Gambar 10, memperlihatkan 3 parameter pertumbuhan larva berkorelasi negatif. Bedasarkan histogram tersebut, semakin tinggi kandungan alfa-amylase inhibitor pada batang sakit akan mengurangi berat sebanyak -0,043, panjang sebanyak -0,041 dan jumlah konsumsi larva kecil sebanyak -0,065.
(42)
Gambar 10 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada batang sehat.
Berbeda dengan bagian batang, pada bagian kulit (Gambar 11) umumya histogram menunjukkan hubungan positif antara AUI dengan pertumbuhan larva kecil. Pada kulit sehat hanya ditemukan satu parameter yang berkorelasi negatif dengan AUI, yaitu diameter kepala larva sebesar -0,746. Sedangkan parameter pertumbuhan larva kecil lainnya berkorelasi negatif. Dari data ini terlihat bahwa aktivitas alfa-amylase inhibitor pada kulit sehat dapat diatasi oleh larva kecil.
Gambar 11 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada kulit sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada kulit sehat.
Pada kulit sakit (Gambar 12) ditemukan 3 parameter yang berkorelasi negatif terhadap aktivitas alfa-amylase inhibitor yaitu berat (-0,026), diameter kepala (-0,326) dan panjang larva (0,096). Pada larva ukuran kecil aktivitas enzim
(43)
alfa-amylase relatif rendah, dimana dalam kondisi tersebut larva sedang tidak banyak memakan atau mencerna pati yang terdapat pada tanaman sengon (Prasetya 2007), sehingga aktivitas alfa-amylase yang terlalu tinggi cukup berakibat buruk untuk larva ukuran kecil.
Gambar 12 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran kecil pada kulit sakit.
Rendahnya rata-rata memakan dapat menyebabkan rendahnya aktivitas enzim. Untuk bagian pohon, yang memberi respon negatif paling banyak ditemukan pada bagian batang. Data ini sesuai dengan (Djati 2009) dimana aktivitas alfa-amylase inhibitor pada batang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kulit. Selain itu bagian batang mengandung banyak karbohidrat sehingga boktor mensintesa enzim amylase untuk mencerna karbohidrat tersebut.
4.4 Korelasi Antara Aktivitas alfa-amylase Inhibitor Pada Sengon Dengan Pertumbuhan Larva Boktor Ukuran Besar Dalam Artificial Diet
Hubungan pertumbuhan larva besar dengan alfa-amylase inhibitor dengan seluruh perlakuan pada umumnya berkorelasi positif sebanyak 13 korelasi, dapat dilihat pada Tabel 8. Korelasi negatif antara AUI dengan pertumbuhan larva boktor besar hanya ditemukan pada parameter berat dan diameter larva. Seluruh unit percobaan, yaitu kondisi pohon sehat maupun pohon sakit hubungan AUI dengan pertumbuhan larva besar sama-sama didominasi oleh korelasi positif.
(44)
Tabel 8 Korelasi antara aktivitas alfa-amylase Alfa-amylase Unit Inhibited dengan parameter pertumbuhan larva besar dalam artificial diet
Bagian Kondisi
AUI vs Berat Larva
AUI vs Diameter Larva
AUI vs Panjang Larva
AUI vs Konsumsi Diet
Batang Sehat + + + +
Batang Sakit + - + +
Kulit Sehat - - + +
Kulit Sakit + + + +
Keterangan :
+ = berkorelasi positif - = berkorelasi negatif
. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa antara aktivitas alfa-amylase
inhibitor dengan pertumbuhan larva besar, yang ditemukan berkorelasi negatif hanya pada bagian kulit sehat dan batang sakit. Karena jumlah korelasi negatif jauh lebih sedikit dibanding korelasi positif, larva besar tidak dapat dijadikan sebagai indikator dalam mengetahui pengaruh alfa-amylase inhibitor terhadap perkembangan larva.
Gambar 13 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada batang sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada batang sehat.
Dari histogram korelasi pada batang sehat (Gambar 13), keseluruhan parameter pertumbuhan larva besar berkorelasi positif yaitu pada berat (0,036), diameter kepala (0,057), panjang (0,211) dan paling besar pada konsumsi larva (0,493). Data ini memperlihatkan semakin tingginya kandungan alfa-amylase
inhibitor pada batang sehat akan mendorong pertumbuhan larva boktor, terutama nafsu makan larva tersebut seperti yang digambarkan histogram konsumsi pada
(45)
Gambar 13. Hal ini berlawanan dengan Prasetya (2007) pada larva ukuran kecil aktivitas enzim alfa-amylase relatif rendah, dimana dalam kondisi tersebut larva tidak banyak memakan atau mencerna pati yang terdapat pada tanaman sengon. Serbuk sengon yang telah diproses freeze dry juga mempengaruhi hasil korelasi ini. Aktivitas trypsin inhibitor pada serbuk yang telah di freeze dry disebabkan karena freeze dry menggunakan suhu yang sangat rendah dan mengurangi kadar air dalam bahan (Prasetya 2007).
Gambar 14 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada batang sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada batang sakit.
Pada histogram batang sakit (Gambar 14), korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor dengan parameter pertumbuhan larva besar umumnya berkorelasi positif yang dapat dilihat pada perameter berat, panjang dan konsumsi larva. Masing–masing korelasi positif parameter pertumbuhan larva besar tersebut bernilai 0,261, 0,487 dan 0,247. Sedangkan pada diameter kepala larva menampilkan korelasi negatif sebasar -0,285. Menurut Lakapu (2007), pertambahan diameter kepala pada larva yang diberi artificical diet bersifat fluktuatif yaitu mengalami peningkatan dan penurunan. Hasil pengamatan pertumbuhan larva ukuran besar pada batang sakit menggambarkan bahwa larva boktor dapat menahan aktivitas enzim alfa-amylase inhibitor, dan menyukai batang sengon.
(46)
Gambar 15 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada kulit sehat dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada kulit sehat.
Pada histogram kulit sehat (Gambar 15), terdapat 2 korelasi negatif antara aktivitas alfa-amylase inhibitor dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar. Nilai korelasi negatif pada pertumbuhan larva boktor ukuran besar (-0,382) dan diameter kepala larva (-0,381). Sedangkan pada 2 parameter lainnya memiliki nilai korelasi yang positif dengan aktivitas alfa-amylase inhibitor, yaitu pada parameter panjang larva (0,023) dan konsumsi diet larva boktor (0,069).
Gambar 16 Histogram korelasi antara aktivitas alfa-amylase inhibitor pada kulit sakit dengan parameter pertumbuhan larva ukuran besar pada kulit sakit.
Walaupun jumlah korelasi positif dan negatif seimbang, jika dilihat dari nilai korelasinya, korelasi negatif jauh lebih besar dibanding korelsi positif. Oleh
(1)
40
Suratmo FG. 1979. Hama Hutan di Indonesia Proyek Peningkatan Mutu
Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Winarni I. 2003. Studi keragaman
trypsin inhibitor dan keragaman genetik
isoenzim pohon plus Sengon (Paraserianthes falcataria
(L) Nielsen) pada
hutan rakyat di Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Yauvina. 2010. Studi
Trypsin inhibitor pada pohon Sengon (Paraserianthes
falcataria (L) Nielsen) provenan Kediri, Solomon dan Subang. [Skripsi].
Bogor: Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.
(2)
(3)
42
Lampiran 1 Rataan Nilai Aktivitas Inhibitor dan Parameter Perkembangan Larva Boktor pada Masing-Masing Sampel.
Provenan Kondisi Bagian Ulangan TUI AUI
Berat Larva (k) Berat Larva (b) Diameter Larva (k) Diameter Larva (b) Panjang Larva (k) Panjang Larva(b) Konsumsi Diet(k) Konsumsi Diet(b)
KEDIRI SEHAT
BATANG
BKH1 229.968 27.893 0.330 0.610 3.700 4.333 2.633 3.367 2.008 1.591
BKH2 129.822 26.173 0.520 0.780 4.400 5.100 3.100 3.633 1.906 1.995
BKH3 523.550 25.701 0.677 0.517 4.667 4.233 3.400 2.600 1.708 1.529
BKH4 154.504 28.615 0.693 0.565 4.800 4.333 3.567 3.167 1.934 1.942
BKH5 119.051 24.285 0.410 0.810 4.267 4.800 2.933 3.700 2.079 1.974
BKH6 45.731 28.310 0.337 0.687 3.800 5.133 2.833 3.233 2.057 1.964
BKH7 321.711 28.421 0.410 0.533 4.100 4.700 2.467 2.700 2.249 1.539
BKH8 156.535 30.447 0.190 0.760 3.000 4.700 1.967 3.200 5.697 1.974
BKH9 637.422 23.175 0.313 0.563 3.333 4.533 2.467 2.867 2.501 1.625
BKH10 212.646 28.782 0.263 1.220 3.400 4.933 2.167 3.333 2.168 2.191
BKH11 314.291 27.311 0.400 1.007 3.900 4.733 2.533 3.467 2.342 2.143
KULIT
KKH 1 602.832 34.610 0.417 0.797 3.800 4.667 2.867 3.433 2.284 3.010
KKH 2 652.758 29.281 0.427 0.993 3.800 5.000 2.667 3.667 3.069 3.029
KKH 3 622.342 26.728 0.467 1.067 4.533 5.900 2.533 3.433 2.767 3.213
KKH 4 352.086 29.337 0.470 0.880 4.167 5.000 2.367 3.000 2.528 2.647
KKH 5 974.259 30.641 0.553 0.753 4.133 5.267 2.833 2.800 2.621 2.366
SAKIT BATANG
BKK1 181.333 17.541 0.237 0.580 3.733 5.067 2.267 3.167 2.048 1.989
BKK2 436.600 35.831 0.190 0.693 3.700 4.867 2.000 3.533 1.947 2.084
BKK3 161.254 20.927 0.307 0.580 4.000 5.133 2.300 2.967 1.767 1.129
BKK4 156.518 28.421 0.350 0.710 4.100 4.733 2.667 3.400 2.029 1.896
(4)
KEDIRI
BKK6 224.515 26.700 0.343 0.847 3.933 5.367 2.533 3.600 1.919 2.341
BKK7 -650.613 27.893 0.323 0.740 4.133 5.000 2.367 3.500 1.811 1.886
BKK8 229.981 28.782 0.300 0.960 3.767 5.333 2.667 3.700 2.281 2.541
BKK9 245.319 27.505 0.413 0.700 4.300 5.033 2.700 3.267 2.354 2.172
BKK10 118.787 23.064 0.263 0.790 3.733 5.133 2.433 3.467 2.406 2.414
BKK11 174.172 25.201 0.340 0.747 3.667 5.033 2.800 3.600 2.402 2.577
KULIT
KKK 1 1612.265 17.458 0.533 0.257 4.600 3.833 2.800 1.900 2.274 2.118
KKK 2 1841.132 25.035 0.503 0.720 4.467 4.700 2.600 2.900 2.679 1.523
KKK 3 1592.146 25.118 0.660 1.220 4.567 5.333 3.067 3.967 3.076 3.394
SOLOMON
SEHAT BATANG
BSH 1 874.870 28.671 0.277 1.073 4.067 5.233 2.333 3.967 2.866 3.261
BSH 2 786.279 27.089 0.323 0.817 3.767 4.867 2.567 3.667 3.435 3.507
BSH 3 645.552 28.143 0.257 0.903 4.233 5.033 2.300 3.700 4.044 3.318
BSH 4 320.744 28.393 0.327 0.590 4.000 4.767 2.633 2.967 1.857 0.383
BSH 5 813.880 34.999 0.223 0.890 3.533 4.900 2.167 3.667 1.801 1.816
BSH 6 870.349 28.809 0.280 1.020 3.967 5.367 2.467 3.867 1.638 1.778
BSH 7 1039.784 27.644 0.413 0.617 4.567 4.933 2.667 2.933 1.993 1.771
BSH 8 730.578 30.891 0.367 0.757 4.267 4.500 3.100 3.300 1.850 1.924
BSH 9 627.838 28.115 0.330 0.710 3.933 4.900 2.533 2.800 2.739 3.483
BSH 10 900.108 28.337 0.303 0.777 3.900 4.800 1.933 2.967 2.450 3.522
BSH 11 569.498 31.335 0.350 0.947 4.167 5.400 2.367 3.267 2.756 3.450
BSH 12 495.240 32.001 0.493 0.723 4.500 4.867 2.333 3.500 2.644 3.522
BSH 13 655.427 30.447 0.550 0.667 3.533 4.933 2.200 2.800 2.439 3.500
BSH 14 831.984 27.866 0.407 0.720 3.933 5.167 2.833 2.933 2.867 3.083
BSH 15 458.574 28.893 0.467 1.137 4.100 5.333 2.667 3.767 2.817 3.494
(5)
44
SOLOMON
BSH 17 271.888 41.132 0.207 0.730 3.300 4.667 2.033 3.700 2.650 3.106
BSH 18 497.776 41.438 0.343 0.907 4.100 5.000 2.567 3.767 2.683 3.872
BSH 19 494.841 39.523 0.457 0.787 4.633 5.233 2.767 3.633 2.883 3.683
BSH 20 297.696 38.301 0.397 0.553 4.133 4.900 2.767 3.233 2.539 3.467
BSH 21 868.734 38.246 0.497 0.660 4.467 4.967 2.967 3.167 2.622 3.144
BSH 22 394.247 37.580 0.310 0.647 3.567 4.267 1.967 3.067 2.394 3.172
BSH 23 969.820 35.054 0.300 0.983 4.000 4.933 2.067 3.433 2.406 3.194
BSH 24 579.828 36.636 0.297 0.690 3.600 4.733 2.167 3.033 2.367 3.117
BSH 25 447.521 33.639 0.383 1.117 3.767 4.867 2.300 3.433 2.422 3.244
BSH 26 374.584 30.003 0.467 0.657 4.067 4.767 2.400 3.133 2.328 3.244
KULIT
KSH 1 1244.239 27.144 0.420 0.750 4.233 4.833 2.533 2.933 2.504 2.702
KSH 2 1032.895 25.951 0.463 0.833 4.300 4.733 2.500 3.100 2.438 2.848
KSH 3 1513.338 27.394 0.393 1.223 4.233 5.333 2.267 3.533 2.321 3.223
KSH 4 772.574 27.172 0.327 1.147 4.167 5.500 2.167 3.733 2.192 2.116
KSH 5 879.318 27.505 0.477 0.857 4.167 5.033 2.300 2.867 2.155 2.353
SAKIT
BATANG BSK 1 86.036 26.117 0.257 0.917 3.833 5.133 2.267 3.600 2.758 1.851
BSK 2 177.331 26.395 0.440 1.260 4.633 5.400 2.833 4.000 2.238 2.212
KULIT KSK 1 756.666 25.840 0.490 0.680 4.267 4.700 2.733 2.733 6.222 2.658
(6)