BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
“Kita itu memang harus punya keberanian merantau. Sebab, dengan keberaninan merantau kita akan lebih bisa percaya diri dan mandiri.”
Purdi E. Chandra
Alasan utama mengapa orang merantau adalah untuk meraih kesuksesan, sama halnya yang dikemukakan oleh Purdi E. Chandra yang merupakan salah satu
wirausahawan sukses yang juga berawal sebagai seorang mahasiswa perantau. Menurut Purwono 2011, keberanian merantau perlu dimiliki sehingga dapat
membentuk pribadi yang mandiri, siap menghadapi lingkungan baru, dengan banyak tantangan yang harus dihadapi. Merantau berarti meninggalkan kampung
halaman pergi ke negeri lain dengan maksud untuk mencari keuntungan, memperbaiki nasib atau membangun diri.
Tidak hanya alasan pekerjaan, kini pendidikan khususnya pendidikan perguruan tinggi merupakan alasan utama para generasi muda untuk merantau.
Berdasarkan definisinya pada Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005, merantau adalah pergi atau berpindah dari satu daerah asal ke daerah lain. Sementara itu,
mahasiswa adalah individu yang telah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas dan telah terdaftar di perguruan tinggi. Budiman 2006 mengemukakan bahwa
mahasiswa adalah orang yang belajar di tingkat perguruan tinggi untuk mempersiapkan dirinya bagi suatu keahlian tingkat diploma, sarjana, magister
atau spesialis. Berdasarkan uraian di atas, mahasiswa perantau dapat dipahami
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagai individu yang tinggal di daerah lain untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi dan mempersiapkan diri dalam pencapaian suatu keahlian jenjang
perguruan tinggi. Fenomena mahasiswa perantau umumnya bertujuan untuk meraih
kesuksesan melalui kualitas pendidikan yang lebih baik pada bidang yang diinginkan. Fenomena ini juga dianggap sebagai usaha pembuktian kualitas diri
sebagai orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab dalam membuat keputusan Santrock, 2002. Dalam proses pendewasaan dan mencapai
kesuksesan, mahasiswa perantau dihadapkan pada berbagai perubahan dan perbedaan diberbagai aspek kehidupan yang membutuhkan banyak penyesuaian.
Ketidakhadiran orang tua di perantauan merupakan salah satu perubahan situasi yang mempengaruhi penyesuaian diri dan sosial pada mahasiswa perantau.
Seperti yang dikemukakan oleh Emelia Astuty Hutapea 2006 dalam penelitian mengenai gambaran resiliensi pada mahasiswa perantau, diperoleh bahwa 70.8
responden menilai teringat pada keluarga adalah situasi yang dinilai sebagai sumber stress. Hal ini juga diakui oleh salah seorang mahasiswi perantau yang
berada di kota Medan : “…pertama kali sampai Medan, rasanya beda kali suasananya. Bahasanya
juga cukup buat aku terkejut kan. Karena kan orang medan itu ngomongnya kayaknya tegas-tegas. Sampai yang tiap hari itu siap materikulasi kan
langsung pulang ke kost. Itu sampai yang rasanya pengen pulang ke rumah aja. Kalau telpon mama itu yah sedih.…”
Komunikasi Personal, 27 Oktober 2011
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ada beberapa perubahan situasi lain yang dinilai sebagai sumber stress seperti bergaul dan berkomunikasi dengan teman baru, menyesuaikan diri dengan
norma warga setempat hingga gaya belajar yang sulit diikuti oleh mahasiswa perantau Hutapea, 2006. Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh salah
seorang mahasiswi perantau asal Palembang yang berada di kota Medan berikut : “…masalah bahasa, itu yang paling pertama ku hadapi. Aku rasa awalnya
memang sulit, apalagi satu bulan pertama tapi aku terus ngeyakinin diri aku untuk kuat, sabar, bertahan dan sedikit-sedikit belajar dari teman gimana sih
bahasa-bahasa yang biasa dipake di Medan. Lama-lama juga sekarang sudah terbiasa. Malah sekarang pun kan teman yang lain suka menggunakan istilah
yang biasa digunakan di Palembang…”
Komunikasi Personal, 27 November 2011 Hurlock 1999 mengemukakan bahwa untuk mencapai tujuan dari pola
sosialisasi dewasa, dibutuhkan banyak penyesuaian baru. Hal inilah yang dialami mahasiswa perantau, yakni ketika pergi meninggalkan kampung halaman
mahasiswa perantau dihadapkan pada lingkungan dengan pola kehidupan sosial yang berbeda serta mengalami perubahan pada pola pembelajaran di perguruan
tinggi. Hal tersebut tentu saja menyebabkan perubahan di beberapa aspek kehidupan yang menuntut kemandirian dan bertanggung jawab untuk siap
menghadapi lingkungan baru dan bertahan dalam meraih kesuksesan. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang mahasiswa perantau asal kota Pinang :
“Kalau kita kuliahnya merantau terus tinggal jauh dari orang tua kan, kita kan jadi bisa lebih mandiri. Semuanya kita selesaikan sendiri. Pokoknya
semua hal yang kita kerjakan harus mandirilah. Dan yang aku tahu sih. Mahasiswa perantau itu pasti lebih mandiri dari pada mahasiswa yang
tinggal sama orangtuanya..”
Komunikasi Personal, 27 Oktober 2011
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hal ini juga didukung penelitian mengenai kemandirian mahasiswa perantau asal daerah Aceh, yakni ditemukan bahwa mahasiswa perantau memiliki tingkat
kemandirian diberbagai aspek yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang tinggal dengan kedua orangtuanya Yani, 2007.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa tidak mudah bagi mahasiswa yang merantau untuk dapat mencapai kesuksesan. Meskipun menghadapi
kesulitan, mahasiswa perantau tetap dapat mencapai kesuksesan. Kesuksesan yang dimaksud terlihat dari pencapaian Indeks Prestasi Kumulatif IPK. Tidak hanya
usaha dan kerja keras dalam mencapai kesuksesan, namun juga karakter. Hal tersebut dikemukakan oleh Seligman 2002, bahwa agar kehidupan yang baik
dapat tercapai dibutuhkan karakter baik dalam menjalani setiap aktivitas diberbagai aspek kehidupan. Karakter baik seperti kejujuran, keadilan, ketulusan,
kebijaksanaan, kebaikan, keberanian dan kedermawanan merupakan hal penting bagi seseorang untuk mencapai kesejahteraan diri dan kesuksesan Stoltz, 2000.
Karakter positif atau karakter baik mengarah pada konsep yang ditelaah lebih mendalam disebut sebagai virtue, yang direfleksikan oleh kekuatan karakter atau
character strength Seligman Peterson, 2004. Allport dalam Azwar, 2008 menyatakan bahwa karakter dan kepribadian
satu dan sama. Menurut Schultz 1994, karakter merupakan sejumlah pola emosional, kognitif dan perilaku yang dipelajari dari pengalaman yang
menentukan bagaimana seseorang berpikir, merasa dan berperilaku. Sedangkan kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis
yang menentukaan karakteristik perilaku dan pikirannya. Kepribadian digunakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
untuk mendeskripsikan individu yang penilaiannya berasal dari dalam diri individu tersebut Schulz Schultz, 1994. Dalam pembentukannya, karakter
dipengaruhi oleh pengalaman hidup yang dialami individu tersebut, kemudian mempengaruhi cara mereka menanggulangi perubahan dan menyeimbangkan
perbedaan agar dapat sukses bertahan Pervin, Cervone John, 2005. Virtue merupakan karakter utama atau disebut sebagai human goodness
yang ditampilkan character strength dan bersifat universal, yakni wisdom and knowledge, courage, humanity, justice, temperance, dan transcendence. Hal ini
dikatakan demikian karena virtue adalah karakter-karakter baik yang ada pada diri manusia dan digunakan dalam penyelesaian tugas serta masalah yang dihadapi.
Character strength dan virtue diyakini sebagai fondasi dari seluruh situasi kehidupan manusia dan penting menjadi penguat dalam menyeimbangkan
aktivitas kehidupan individu, sehingga mencapai kehidupan yang baik Peterson Seligman, 2004. Terkait budaya, dikatakan bahwa virtue terdapat di setiap
budaya, namun masing-masing budaya akan memaknai virtue dengan cara yang berbeda sehingga tindakan yang muncul ketika menghadapi tantangan hidup
menjadi berbeda Seligman, 2002. Virtue direfleksikan oleh kekuatan karakter. Kekuatan karakter character
strength didefinisikan sebagai karakter baik yang dimiliki individu atau trait positive yang ditampilkan melalui pikiran, perasaan dan tingkah laku. Ada 24
character strength, yaitu creativity, curiosity, open-mindedness, love of learning, perspective, bravery, persistence, integrity, vitality, love, kindness, social
intelligence, citizenship, fairness, leadership, forgiveness and mercy, humility and
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
modesty, prudence, self regulation, appreciation of beauty and excellence, gratitude, hope, humor dan spirituality. Selanjutnya character strength
diklasifikasikan dalam enam virtue utama Seligman Peterson, 2004. Berdasarkan kajian di atas, saya sebagai peneliti tertarik untuk mengetahui
hal yang dapat mendukung kesuksesan yakni virtue mahasiswa perantau di kota Medan yang sukses ditengah tantangan hidup sebagai mahasiswa perantau. Dalam
hal ini pencapaian kesuksesan diindikasi melalui Indeks Prestasi Kumulatif yang dicapai.
Selain itu, sesuai pernyataan Campton 2005 bahwa setiap budaya memiliki kekuatan karakter yang dipandang dengan cara yang berbeda, sehingga karakter
yang dominan di suatu budaya menjadi berbeda. Dengan demikian, penelitian ini juga melihat gambaran virtue yang cenderung dominan dimiliki mahasiswa
perantau ditinjau berdasarkan budaya. Budaya sangat umum dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya budaya dikaitkan dengan pengertian ras,
bangsa atau kelompok etnis dan agama. Perilaku yang kebetulan keturunan Jawa selalu dikaitkan sebagai pengaruh budaya Jawa Dayaksi Yuniardi, 2004.
Dengan demikian, dalam penelitian ini budaya dikaitkan sebagai kelompok etnis dan agama.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif, dengan alat ukur berupa skala berguna menggambaran virtue yang dimiliki mahasiswa perantau.
Skala virtue disusun berdasarkan klasifikasi character strength menurut Peterson
Seligman 2004.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
B. RUMUSAN MASALAH