Sumber Informasi Kanker Leher Rahim 1.Definisi
2.4.3.Etiologi
Sebab langsung dari kanker leher rahim belum diketahui. Ada bukti kuat kejadiannya mempunyai hubungan erat dengan sejumlah faktor
ekstrinsik, diantaranya yang penting: jarang ditemukan pada perawan virgo, insidensi lebih tinggi pada mereka yang kawin daripada yang tidak
kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama coitarche dialami pada usia amat muda 16 tahun, insidensi meningkat dengan tingginya paritas,
apa lagi bila jarak persalinan terlampau dekat, mereka dari golongan sosial ekonomi rendah higiene seksual yang jelek, aktivitas seksual yang sering
berganti-ganti pasangan promiskuitas, jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya disunat sirkumsisi, sering ditemukan pada wanita yang
mengalami infeksi virus HPV Human Papilloma Virus-tipe 16 atau 18, dan akhirnya kebiasaan merokok Sarwono, 2009.
Human Papilloma Virus, sampai saat ini telah diketahui memiliki lebih dari 100 tipe, di mana sebagian besar di antaranya tidak berbahaya dan
akan lenyap dengan sendirinya. Dari 100 tipe HPV tersebut, hanya 30 di antaranya yang berisiko kanker serviks. Adapun tipe yang paling berisikon
adalah HPV 16 dasn 18 yang sering ditemukan pada kanker maupun lesi prakanker serviks, yaitu menimbulkan kerusakan sel lendir luar menuju
keganasan HPV tipe 16 mendominasi infeksi 50-60 pada penderita kanker serviks disusul dengan tipe 18 10-15. Wijaya, 2010.
2.4.4.Faktor Risiko
Adapun faktor-faktor risiko terjadinya kanker leher rahim, meliputi: 1.
Aktivitas Seksual Pertama Kali Wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan
meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Wanita yang berhungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima
kali lipat. Rasjidi, Irwanto, Wicaksono, 2008.
2. Kebiasaan berganti Pasangan
Berganti-ganti pasangan seks dan pola kehidupan seksual yang menyimpang menyebabkan wanita rentan terhadap penyakit hubungan
seksual dan menjadi mudah terinfeksi HPV. Sari, Indrawati, Harjanto, 2012.
3. Umur
Menurut Aziz M.F.2006, umumnya insidens kanker serviks sangat rendah di bawah umur 20 tahun dan sesudahnya menaik dengan cepat
dan menetap pada usia 50 tahun. 4.
Infeksi HPV Infeksi HPV umumnya terjadi setelah wanita melakukan hubungan
seksual. Selama hidupnya, hampir setengah wanita dan laki-laki pernah terkena infeksi HPV, dan 80 dari wanita terkena infeksi sebelum umur
50 tahun. Sebagian infeksi HPV bersifat hilang-timbul, sehingga tidak terdeteksi dalam kurun waktu dua tahun setelah infeksi. Hanya sebagian
kecil saja dari infeksi tersebut yang menetap dalam jangka lama, sehingga menimbulkan kerusakan lapisan lendir menjadi prakanker.
Wijaya, 2010. 5.
Paritas Proses melahirkan sedikit banyak akan melukai dan merusak leher rahim.
Semakin sering melahirkan, semakin banyak perlukaan dan kerusakan sel yang terjadi. Penelitian menunjukkan wanita yang melahirkan lebih dari
tiga kali mempunyai risiko terkena kanker servuks dibandingkan mereka yang melahirkan kurang dari tiga kali. Sari, Indrawati, Harjanto, 2012.
6. Merokok
Menurut Nurwijaya 2010, wanita yang merokok memiliki risiko dua kali lebih besar terhadap kanker serviks dari pada wanita yang tidak
merokok. Bahan-bahan kimia yang ditemukan dalam rokok setelah terhisap melalui paru-paru dapat terdistribusi luas ke seluruh tubuh
melalui aliran darah. Beberapa senyawa tersebut dapat dijumpai pada lendir serviks wanita yang merokok.
7. Kontrasepsi Hormonal
Penggunaan kontrasepsi hormonal, yakni metode kontrasepsi yang menggunakan hormone estrogen dan progesteron dalam jangka waktu
lama akan meningkatkan risiko kanker serviks. Penggunaan 10 tahun meningkatkan risiko sampai 2 kali. Sari, Indrawati, Harjanto, 2012.
8. Ras
Ras sedikit banyak juga berpengaruh terhadap risiko terjadinya kanker serviks. Pada ras Afrika-Amerika kejadian kanker serviks meningkat
sebanyak dua kali dari ras Amerika-Hispanik. Sementara, untuk ras Asia- Amerika memiliki angka kejadian kanker serviks yang sama dengan
warga Amerika. Hal ini berkaitan dengan faktor sosio-ekonomi. Wijaya, 2010.
2.4.5.Gejala Kanker Leher Rahim
Menurut Huang Xin 2011, adapun gejala-gejala terjadinya kanker leher rahim, meliputi:
1. Perdarahan per vaginam: pada stadium awal terjadi perdarahan sedikit
pascakontak, sering terjadi pasca koitus atau periksa dalam. 2.
Sekret per vaginam: pada stadium awal berupa keputihan bertambah, disebabkan iritasi oleh lesi kanker, disebabkan hipersekresi.
3. Gejala sistemik: semangat melemah, letih, demam, mengurus, anemia,
udem. 4.
Nyeri: Apabila kanker sudah menyebar ke panggul, maka pasien akan menderita keluhan nyeri punggung, hambatan dalam berkemih, serta
pembesaran ginjal. Wijaya, 2010.
2.4.6.Stadium Klinik Kanker Leher Rahim
Stadium klinik yang sering digunakan adalah klasifikasi menurut FIGO Federation International of Gynecologists and Obstetricians, sebagai
berikut:
Gambar 2.1. Klasifikasi Stadium Klinik menurut FIGO
2.4.7.Diagnosa Kanker Leher Rahim
Metode untuk membantu diagnosis yang sering digunakan adalah: 1. PAP SMEAR
a. Kapankah Tes Pap Smear dilakukan?
Tes Pap merupakan salah satu pemeriksaan sel serviks untuk mengetahui perubahan sel, sampai mengarah pada pertumbuhan sel
kanker sejak dini. Apusan sitologi pap diterima secara universal sebagai alat skrining kanker serviks. Metode ini peka terhadap
pemantauan derajat perubahan pertumbuhan epitel serviks. Pemeriksaan Tes Pap dianjurkan secara berkala meskipun tidak ada
keluhan terutama bagi yang berisiko 1-2 kali setahun. Berkat teknik Tes Pap, angka kematian turun sampai 75 Rasjidi Imam, 2008.
b. Bagaimana Prosedur Pemeriksaan Pap Smear?
Untuk melakukan Pap smear, pasien berbaring telentang dengan paha terbuka dan lutut ditekuk. Kemudian, sebuah alat yang bernama
spekulum dimasukkan ke dalam vagina untuk menahan vagina agar tetap terbuka sehingga leher rahim terlihat jelas. Setelah itu, dilakukan
usapan pada leher rahim menggunakan alat spatula untuk mendapatkan sel-sel serviks. Hasil usapan dioleskan pada kaca objek
dan disemprot suatu bahan kimia untuk memfiksasinya. Sediaan tersebut dikirim ke laboratorium untuk selanjutnya dilihat melalui
mikroskop. Sari, Indrawati, Harjanto, 2012. 2. IVA
IVA inspeksi visual dengan asam asetat adalah tes visual dengan menggunakan larutan asam cuka asam asetat 2 dan larutan lugol pada
serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah dilakukan olesan. Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia
sebagai salah satu metode skrining kanker mulut rahim. Interpretasi Tes IVA adalah IVA positif bila ditemukan adanya area berwarna putih
acetowhite dan permukaannya meninggi dengan batas yang jelas di sekitar zona transformasi. Rasjidi, Irwanto, Sulistyanto, 2008.
3. Biopsi Karsinoma serviks stadium dini lesinya tidak jelas, untuk dapat
memperoleh jaringan kanker secara akurat, harus dilakukan biopsi dari multipel titik, secara terpisah diperiksa patologinya. Untuk meningkatkan
akurasi biopsi, kini sering digunakan reagen iodium, lampu fluorosensi vagina, kolposkopi dan cara lain untuk membantu pengambilan sampel
biopsi. Huang Xin, 2011. 4. Thin Prep Liquid Base Cytology
Thin Prep adalah skrining sel-sel abnormal dengan cara visualisasi, seperti halnya Pap Smear. Thin Prep juga berfungsi mendeteksi kelainan
pada leher rahim dengan berbasis cairan Liquid Base Cytology. Cairan, seperti getah pada leher rahim, dijadikan sampel dan dimasukkan ke
dalam suatu cairan lalu dibawa ke laboratorium. Wijaya, 2010.
5. Kolposkopi Di bawah cahaya kuat dan kaca pembesar secara visual binokular
langsung melalui kolposkop mengamati lesi di serviks uteri dan vagina. Terhadap pasien dengan hasil sitologik abnormal atau kecurigaan klinis
perlu dilakukan kolposkopi. Huang Xin, 2011. Indikasi Kolposkopi antara lain: Adanya temuan positif dan pemeriksaan skrining, tes Pap,
IVA, dan HPV DNA. Lalu lesi serviks yang mencurigakan, dan sebagainya Rasjidi. Irwanto, Sulistyanto, 2008.
2.4.8.Terapi Kanker Leher Rahim
Pengobatan kanker serviks tergantung pada tingkatan stadium klinis. Secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga golongan terapi Setiati, 2009
yaitu: 1.
Operasi Operasi sederhana dilakuka pada tingkat stadium awal prakanker dari nol
hingga 1A. Jika kanker berada pada stadium 2A2B, maka histerektomi radikal akan dilakukan. Seluruh rahim diangkat berikut sepertiga vagina
dan penggantung rahim akan dipotong sedekat mungkin dengan dinding panggul. Indung telur dapat diangkat ataupun tidak; tergantung usia
pasien. Bila pasien masih mengalami menstruasi, indung telur akan ditinggal. Walaupun vagina dipotong, tidak berarti pasien tidak bisa
berhubungan seks. Awalnya, penderita hanya akan merasa tidak nyaman karena vagina menjadi lebih pendek.
2. Radioterapi
Terapi ini dilakukan jika kanker serviks ini sudah berada dalam stadium 2B ke atas. Operasi sudah tidak dapat dilakukan lagi dan cara yang dapat
ditempuh adalah dengan radiasi atau penyinaran. 3.
Kemoterapi Jika dalam waktu satu tahun pasien sudah pernah diradiasi, maka proses
radiasi tidak mungkin lagi dilakukan karena dikhawatirkan akan terjadi komplikasi. Pengobatan dengan cara penyinaran dan kemoterapi berbeda
dengan operasi. Meskipun sepertiga vagina harus diangkat, tetapi penderita masih dapat melakukan hubungan seks. Umumnya diberikan pada Stadium
klinis ІV B dan hanya bersifat paliatif.
2.4.9.Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui: 1.
Pencegahan Primer a.
Menunda onset aktivitas seksual Menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan
secara monogami akan mengurangi risiko kanker serviks secara signifikan.
b. Penggunaan kontrasepsi barier
Dokter merekomendasikan kontrasepsi netode barier kondom, diafragma, dan spermisida yang berperan un tuk proteksi terhadap
agen virus. 2.
Pencegahan Sekunder a.
Pencegahan Sekunder – Pasien dengan Risiko Sedang Hasil tes Pap yang negative sebanyak tiga kali berturut-turut dengan
selisih waktu antarpemeriksaan satu tahun dan atas petunjuk dokter sangat dianjurkan. Untuk pasien atau partner hubungan seksual yang
level aktivitasnya tidak diketahui, dianjurkqan untuk melakukan tes Pap tiap tahun.
b. Pencegahan Sekunder – Pasien dengan Risiko Tinggi
Pasien yang memulai hubungan seksual saat usia 18 tahun dan wanita yang mempunyai banyak partner multiple partner seharusnya
melakukan tes Pap tiap tahun. Interval sekarang ini dapat diturunkan menjadi setiap 6 bulan untuk pasien dengan risiko khusus, seperti
mereka yang mempunyai riwayat penyakit seksual berulang. c.
Pencegahan Tersier Pencegahan dilakukan untuk mencegah komplikasi klinik dan
kematian awal. Pencegahan tertier dapat dilakukan berupa
penyuluhan terhadap pasangan penderita kanker serviks khususnya yang telah menjalani histerektomi total agar tetap memperlakukan
pasangannya sebagaimana biasanya, sehingga keharmonisan hubungan suami istri tetap terjaga. Konseling dapat dilakukan
terhadap penderita stadium lanjut agar faktor psikologis tidak memperburuk keadaan.
Menurut Delia Wijaya 2010, adapun upaya pencegahan, meliputi: 1.
Mengurangi Faktor Resiko Virus papilloma ini dapat menular dari seorang penderita kepada orang
lain dan menginfeksi orang tersebut. Penularannya dapat melalui kontak langsung dan lewat hubungan seks. Oleh karena itu, jangan melakukan
hubungan intim dengan pasangan yang berganti-ganti. 2.
Melakukan Pemeriksaan Skrining Secara Teratur Uji skrining kanker serviks dapat digunakan untuk mengetahui apakah
seorang wanita memiliki serviks normal atau tidak. Skrining dapat mendeteksi kanker yang terjadi pada fase awal sebelum kanker tersebut
memberikan gejala-gejala atau keluhan-keluhan secara klinis. 3.
Vaksinsi HPV Vaksin HPV sebaiknya diberikan sebelum kontak seksual pertama atau
sebelum wanita terpapar dengan HPV. Vaksin diberikan sebanyak 3 dosis dalam periode 6 bulan, yaitu pemberian awal, 2, dan 6 bulan berikutnya.
Mekanisme kerja Vaksin HPV dengan cara meningkatkan sistem kekebalan tubuh untuk menangkap dan menghancurkan HPV tipe 16 dan
18 merupakan penyebab utama 70 kasus kanker serviks sebelum memasuki tubuh dan menginfeksi sel-sel serviks. Vaksinasi HPV yang
diberikan kepada pasien bisa mengurangi infeksi Human Papilloma Virus, karena mempunyai kemampuan proteksi 90. Rasjidi, Irwanto,
Wicaksono, 2008.
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL