Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran

7 dipecahkan. Setiap kajian yang dilakukan terkait satu sama lain sebagai satu kesatuan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui dinamika dan pola perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan bervegetasi. 3. Mendisain struktur model pengalokasian RTH berbasis penganggaran daerah green budgeting RTH. 4. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengalokasian RTH berbasis penganggaran daerah green budgeting RTH.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu lingkungan berupa konsep model penataan ruang terbuka hijau kota untuk mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Hasil akhir penelitian merupakan sebuah pengkayaan dan formula yang optimal bagi penataan ruang yang bersifat partisipatif di Kota Bekasi baik masa kini dan yang akan datang. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangsih bagi praktisi kebijakan. Secara rinci manfaat dari penelitian ini adalah: a. Bagi stakeholders, sebagai pedoman keterlibatan peran aktif masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian RTH kota serta komitmen politik penganggaran daerah berbasis lingkungan green budgeting. b. Bagi pemerintah Kota Bekasi, sebagai masukan dalam menyusun kebijakan manajemen penataan RTH dan mencegah marjinalisasi pengelolaan RTH yang berakibat terjadinya degradasi lingkungan kota. c. Memberi sumbangan pada ilmu pengetahuan di bidang manajemen pengelolaan RTH berkelanjutan, khususnya strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan. 8

1.5. Kerangka Pemikiran

Rencana tata ruang kota bukan sekedar kumpulan prosedur dan peta yang hanya disimpan dalam file dokumen daerah Miller, 1986 melainkan bersifat dinamis dan memiliki skema program tata ruang yang hendak dicapai. Inkonsistensi kebijakan pemerintah dan lemahnya dukungan politik tata ruang dicerminkan dari program penganggaran tata ruang dalam APBD. Tekanan penduduk yang tinggi membutuhkan utilitas kota yang cepat, tepat dan proporsional, sehingga fungsi kawasan lindung kota tetap menjamin kualitas kota livable city . Masalah tersebut timbul salah satunya karena belum adanya disain kebijakan partisipatif sebagai mekanisme atau alat kontrol masyarakat terhadap belanja daerah APBD yang mendukung arahan program RTH Kota. Strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan green budgeting dalam pemanfaatan pengendalian ruang terbuka hijau kota merupakan salah satu alat kebijakan yang perlu dikembangkan. Berdasarkan RTRW Kota Bekasi tahun 2000-2010, Kota Bekasi mempunyai luas lahan 21.049 hektar, seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Luas rencana pemanfaatan ruang Kota Bekasi tahun 2000-2010 Jenis Pemanfaatan Luas ha Kawasan Terbangun 16.228,78 77,10 1. Perdagangan dan Jasa 736,73 3,50 2. Pemerintahan dan Bangunan Umum 195,11 0,93 3. Perumahan 11.299,00 53,68 4. Industri 631,47 3,00 5. Pendidikan 210.49 1,00 6. Jaringan Prasarana Perkotaan 3.157,35 15,00 Kawasan Tidak Terbangun 4.820,22 22,90 1. Pertamanan 1.052,45 5,00 2. Lapangan Olah Raga 210,49 1,00 3. Jalur Hijau 2.643,75 12,56 4. Pemakaman 282,06 1,34 5. Pertanian 631,47 3,00 Kota Bekasi 21.049,00 100,00 Sumber : RTRW Kota Bekasi Tahun 2000 – 2010, Bapeda 2010 9 Arahan penggunaan lahan dalam RTRW dimaksudkan agar terjadi pemanfaatan ruang yang efektif sesuai dengan arah pembangunan secara keseluruhan, Dari luasan tersebut, 16.228,78 hektar 77 diantaranya direncanakan akan digunakan untuk berbagai kegiatan sektor pembangunan perkotaan seperti perdagangan dan jasa, industri, permukiman dan sarana umum kota, sementara sisanya seluas 4.820,22 hektar 23 akan digunakan sebagai lahan RTH Bapeda Kota Bekasi, 2008. Faktanya, rencana pemanfaatan kawasan tidak terbangun atau penggunaan lahan RTH tersebut menjadi tidak konsisten dalam pengelolaan pembangunan. Luasan RTH pertamanan yang direncanakan 1.052 ha 5, dalam kenyataanya Lampiran 19, hanya memiliki luas hutan kota dan taman kota sekitar 56.380 m 2 atau 5,6 ha 0,28. Hal tersebut belum sejalan dengan ketentuan PP No. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota yang menetapkan bahwa paling sedikit persentase luas hutan kota sekitar 10 persen dari wilayah perkotaan. Kawasan hijau berupa jalur hijau di sepanjang jalur sungaisitu, jalan utama kota dan jalur kereta api kondisinya sebagian besar sudah terpenetrasi oleh kegiatan terbangun. Konversi lahan akan terus meningkat manakala pemerintah tidak segera menganggarkan belanja daerahnya bagi kepentingan RTH publik. Hal ini karena dari 22,9 atau 23 persen lahan tidak terbangun tersebut sebagian besar masih berupa kebun campuran yang dimiliki oleh warga masyarakat Private Property. Pemerintah Kota Bekasi belum terlambat menata sumberdaya lahannya. Oleh karena itu, perlu didisain bentuk wajah kota dengan konsep kota ramah lingkungan yang memilki minimal RTH Publik 20 persen. Kondisi wajah kota yang perencanaannya berbasis kecenderungan trend driven yakni meniru kota lain yang dianggap lebih baik hampir terjadi di semua kota yang sedang tumbuh berkembang. Konsep pendekatan perencanaan ini terjadi akibat ketidakmampuan membaca potensi dan visi kota. Menurut Rustiadi 2010b pendekatan yang demikian bukan pendekatan yang ideal untuk jangka panjang. Idealnya, model pendekatan adalah yang berbasis tujuan goal driven dan berbasis visi vision driven planning. Faktanya, saat ini setiap kota didandani dengan tampilan serba megah seperti gedung pencakar langit, pabrik yang terus berderap setiap detik, dan pusat perbelanjaan yang tidak peka lingkungan Yustika, 2006. Akibatnya, timbul persoalan kualitas lingkungan udara perkotaan yang buruk dan suhu udara yang tinggi Urban Heat Island. 10 Pemerintah daerah seakan tidak memiliki kekuasaan mempola kotanya sendiri dan pemerintah juga tidak lagi sebagai penentu tunggal untuk mendisain wajah kotanya. Kekuatan pasar market mechanism biasanya mengatur operasi bisnisnya berdasarkan aspek keuntungan ekonomi. Semakin besar penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, semakin akan terus diintroduksi. Pada saat ini pembangunan kota-kota di Indonesia seluruhnya berwatak profitopolis yakni wajah kota dikendalikan motif laba dan yang menjadi sutradara adalah pemilik modal, penulis skenarionya adalah pejabat daerah yang rela didikte atau dibayar murah pemilik modal Yustika, 2004. Watak profitopolis inilah yang menjadi sumber terbesar proses peminggiran petani, khususnya tercermin dalam proses penyempitan lahan. Kota Bekasi ditetapkan sebagai salah satu kawasan andalan Provinsi Jawa Barat yaitu kawasan dengan sektor unggulan industri, pariwisata, perdagangan dan jasa, pendidikan dan pengetahuan Bapeda Kota Bekasi, 2008. Posisi Kota Bekasi tentunya memiliki pengaruh terhadap wilayah eksternalnya sebagai pusat pertumbuhan dan pemacu kegiatan ekonomi di sekitarnya. Bila ditinjau dari kebijakan tata ruang wilayah makro yang tertuang baik dalam RTRWN, RTRW Provinsi, maupun RTRW Kawasan Tertentu Jabotabek dan kedudukannya sebagai penyeimbang counter magnet ibukota negara, maka berbagai kebijakan, rencana dan program pembangunan di Kota Bekasi mengikuti arahan rencana besar tersebut. Pada akhirnya karakteristik bagian wilayah kota-kota kecamatan di Kota Bekasi akan menampilkan diri sebagai kota metropolitan dengan intensitas interaksi dan mobilitas yang cukup tinggi. Kuatnya fenomena urbanisasi menyebabkan pertumbuhan penduduk sulit dikendalikan pada wilayah tersebut. Perkembangan penduduk terjadi karena faktor-faktor alamiah dalam demografi yaitu meningkatnya natalitas atau tingkat kelahiran dan makin menurunnya mortalitas atau tingkat kematian, dan juga terjadi karena aliran urbanisasi yang luar biasa. Lonjakan Laju Pertambahan Penduduk LPP yang terjadi di Kota Bekasi hanya 30 persen saja yang disebabkan oleh LPP alaminya, sedangkan 70 persen sisanya berasal dari migrasi BPS Kota Bekasi, 2008. Selama kurun waktu 11 tahun terakhir periode tahun 1997 – 2008 tercatat rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,14 persen, artinya mengalami tingkat kenaikan sebesar 1,43 persen. Jumlah penduduk Kota Bekasi tahun 11 2008 tercatat sebesar 2.238.717 jiwa Bappeda Kota Bekasi, 2009, data terakhir penduduk Kota Bekasi tahun 2009 berjumlah 2.319.518 jiwa BPS, 2010. Pada tahun 2000 tercatat kepadatan penduduk Kota Bekasi sebesar 7.904 jiwakm 2 , sedangkan pada tahun 2007 kepadatan penduduknya sebesar 10.184 jiwakm 2 . Dengan demikian pertumbuhan kepadatan penduduk Kota Bekasi rata-rata adalah sebesar 3,85 persen. Pengamatan kepadatan yang bervariasi menunjukkan bahwa lokasi yang mempunyai kepadatan yang tinggi berada di bagian pusat Kota Bekasi karena memiliki aksesibilitas yang baik. Peningkatan jumlah populasi secara langsung akan memberi efek berantai pada peningkatan kebutuhan terhadap infrastruktur pada masing-masing wilayah kecamatan baik transportasi, pemukiman, ketersediaan air bersih, sumber energi, maupun kebutuhan terhadap layanan dasar pendidikan dan kesehatan dan lain-lain. Konseptualisasi kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 1 . Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 12 Upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan yang demikian besar cenderung mengabaikan aspek-aspek keberlanjutan pembangunan, terkait dengan keberadaan RTH kota sebagai penyangga masa depan kehidupan. Pertumbuhan penduduk menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks dan dinamis. Bertambahnya jumlah penduduk di suatu wilayah mengandung konsekuensi terhadap fungsi-fungsi utilitas kota. Kebutuhan yang tinggi atas utilitas kota tersebut berdampak atau menekan fungsi kawasan lindung dan bertambahnya kawasan budidaya. Persoalan ini menjadi semakin kompleks bila arahan fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya tidak direncanakan secara proporsional dalam RTRW dan didukung dengan komitmen politik penganggaran. Oleh karena itu pendekatan model sistem dinamik untuk mengidentifikasi keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan kebutuhan lahan bervegetasi, penganggaran hijau RTH, perumahan dan sarana lainnya sebagai ruang terbangun RTB menjadi penting. Kualitas hidup masyarakat kota , meliputi aspek fisik ecology seperti terjaminnya kualitas udara, air, dan tanah. Terpenuhinya aspek sosial budaya dan ekonomi seperti tersedianya wahana atau tempat untuk menyalurkan kebutuhan sosial budaya, termasuk keberlanjutan sumberdaya alam untuk investasi. Kearifan atas kebijakan RTH menjadi penting untuk menjaga kualitas lahan kota yang semakin terdesak dengan tingginya konversi lahan RTH menjadi RTB. Sejak RTRW Kota Bekasi 2000-2010 disahkan sebagai Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2000, belum ada strategi kebijakan penganggaran daerah berbasis lingkungan multiwaktu terkait arahan pencapaian target RTH kota, baik berkenaan dengan program pengadaan lahan, dukungan anggaran melalui pendekatan insentif atau pengendalian dari sisi pendekatan disinsentif serta peraturan lainnya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan RTRW. Deviasi tata ruang Kota Bekasi merupakan masalah hilir dari persoalan pokok hulu inkonsistensi perijinan dan dukungan penganggaran APBD berbasis lingkungan dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Penelitian ini dimaksudkan memberikan kontribusi dalam pengembangan kawasan perkotaan secara berkelanjutan urban sustainability melalui instrumen strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan green budgeting. 13

1.6. Kebaruan Novelty