Pembahasan Hasil Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN

c Uji Autokorelasi Uji autokorelasi menggunakan Uji Durbin Watson menghasilkan nilai DW statistik sebesar 1,904558. Identifikasi nilai dari dL dan dU berdasarkan tabel dengan n=570, k=10, dan taraf signifikansi 5 persen didapatkan nilai dL=1,571 dan dU=1,779. Jika dilihat dari tabel Selang Nilai Statistik Durbin Watson, maka disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi pada model FSR 3 karena nilai DW berada pada daerah d U DW 4-d U , yaitu 1,779 1,904 2,221.

4.3. Pembahasan Hasil Penelitian

4.3.1. Model Terpilih Dari persamaan yang digunakan untuk mengestimasi variabel-variabel yang mempengaruhi sustainabilitas keuangan di Indonesia model FSR 3 didapat persamaan estimasi sebagai berikut: FSR = 136,5762 + α i – 0,1208BOPO + 0,0479CAR + 0,0605LDR – 0,0167NPL + 2,3590ROA + 0,0560INF – 4,9194LNJUB + 1,0743LNKURS – 0,4946SBI + 0,4933FSR t-1 4.3.2. Efek Individu Model FEM dapat menjelaskan perbedaan karakteristik setiap individu kelompok bank dimana nilai dari karakteristik tersebut menjadi bagian dari intersep. Efek individu dalam model menunjukan adanya perbedaan karakteristik FSR dari setiap kelompok bank dan dimasukkan sebagai bagian dari intersep dalam menginterpretasikan model untuk setiap kelompok bank. Fixed Effect dari setiap kelompok bank untuk hasil estimasi pada model FSR 3 dapat dilihat dari Tabel 4.8. Tabel 4.8. Fixed Effect setiap Individu pada Model FSR 3 No. Individu Effect 1 Bank Persero 139.7185 2 BPD 138.6376 3 Bank Campuran 137.769 4 BUSN Devisa 135.3084 5 Bank Asing 134.3066 6 BUSN non Devisa 133.717 Berdasarkan efek tetap setia kelompok bank dari hasil estimasi pada model FSR 3, menunjukan bahwa setiap bank pada periode pengamatan menghasilkan nilai FSR yang lebih dari 100 persen. Hal ini menjelaskan jika setiap variabel independen pada model berperilaku konstan atau tetap, maka FSR perbankan bernilai lebih dari 100 persen. Rasio keberlanjutan keuangan perbankan yang bernilai lebih dari 100 persen ini berarti bahwa perbankan mampu bertahan secara keuangan di masa yang akan datang karena menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari pengeluarannya. Hasil estimasi tersebut juga menunjukan bahwa peringkat kelompok bank mulai dari efek tetap yang terbesar adalah Bank Persero, Bank Pembangunan Daerah, Bank Campuran, Bank Umum Swasta Nasional Devisa, Bank Asing, dan yang terakhir adalah Bank Umum Swasta Nasional non Devisa. Bank Persero merupakan bank yang memiliki nilai FSR yang paling besar karena Bank Persero merupakan bank milik negara yang modalnya dimiliki oleh negara. Kekayaan yang dihasilkan negara sebagian juga disimpan pada Bank Peresero. Selain itu porsi total aset Bank Persero terhadap total bank sangat besar mengingat jumlah Bank Persero yang sedikit dibandingkan jumlah bank lainnya. Tabel 4.9. Porsi Total Aset Perbankan di Indonesia Persen KELOMPOK BANK 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 BANK PERSERO 44,30 37,33 36,14 35,67 36,52 37,24 36,62 BANK PEMBANGUNAN DAERAH 7,30 8,75 9,33 8,61 8,63 8,79 9,01 BUSN DEVISA 30,98 38,78 39,00 39,21 37,86 38,42 39,13 BUSN NON DEVISA 1,58 1,66 1,85 1,91 1,98 2,11 2,34 BANK CAMPURAN 4,76 3,81 4,38 4,90 5,61 5,12 5,03 BANK ASING 11,08 9,66 9,29 9,69 9,39 8,33 7,88 TOTAL 100 100 100 100 100 100 100 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi, diolah. Selanjutnya Bank Pembangunan Daerah merupakan bank yang memiliki sustainabilitas keuangan yang baik kedua setelah Bank Persero. Hal ini karena menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1962 tentang ketentuan-ketentuan pokok Bank Pembangunan Daerah tujuan awal didirikannya Bank Pembangunan daerah adalah untuk sarana pengerahan modal dan potensi di daerah-daerah untuk pembiayaan pembangunan daerah. Selain itu Bank Pembangunan Daerah juga diperkenankan untuk menerima investasi dari pihak asing. Namun Bank Pembangunan Daerah tidak diperkenankan untuk menjalankan usaha-usaha bank umum pada umumnya seperti menerima simpanan dalam bentuk giro. Oleh karena itu sebagian besar dana pihak ketiga yang masuk ke BPD merupakan dana milik pemerintah daerah dan juga transfer dana APBN dari pusat. Berikut ini merupakan tabel sumber dana yang diterima BPD pada 5 tahun terakhir. Tabel 4.10. Sumber Dana Bank Pembangunan Daerah Miliar Rupiah Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 DPK 134.287 143.262 152.251 183.624 235.265 Kewajiban kepada BI 99 882 41 19 9 Antar bank 5.733 10.092 13.084 14.823 15.760 Surat berharga 2.997 2.887 2.340 2.126 5.197 Pinjaman yang diterima 1.089 1.310 1.559 1.561 3.216 Kewajiban lainnya 6.812 4.627 4.453 1.781 3.025 Setoran jaminan 466 543 554 407 394 Total 151.483 162.293 171.942 204.341 247.106 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi, diolah. Bank Campuran merupakan bank yang memiliki keuangan yang baik ketiga setelah Bank Pembangunan Daerah. Dibandingkan dengan Bank Persero dan Bank Pembangunan Daerah yang mendapatkan masukan dana tetap dari hasil kekayaan negara dan daerah, Bank Campuran yang merupakan bank yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara dan atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri yang berarti dana yang masuk merupakan dana perorangan atau hasil investasi pihak-pihak terkait yang ingin berinvestasi di bank tersebut. Begitu pula dengan Bank Swasta dan Bank Asing. Namun Bank Umum Swasta Nasional non Devisa atau BUSN non Devisa menunjukan efek tetap yang paling kecil dibandingkan bank-bank lain karena bank ini hanya dapat melayani transaki-transaksi di dalam negeri domestik. Bank umum non devisa dapat meningkatkan statusnya menjadi bank devisa setelah memenuhi ketentuan-ketentuan seperti volume usaha minimal mencapai jumlah tertentu, tingkat kesehatan, dan kemampuannya dalam memobilisasi dana, serta memiliki tenaga kerja yang berpengalaman dalam valuta asing. 4.3.3. Variabel Mikroekonomi a. Rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional BOPO Aspek rentabilitas pada bank merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sustainabilitas keuangan bank tersebut. Dalam model ini ditunjukan oleh rasio biaya operasional pendapatan operasional BOPO yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Berdasarkan hasil estimasi, rasio BOPO mempunyai pengaruh signifikan pada taraf nyata satu persen terhadap sustainabilitas keuangan, dengan koefisien - 0,12 . Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan pada rasio BOPO sebesar satu persen akan berpengaruh negatif pada kondisi sustainabilitas keuangan perbankan sebesar 0,12 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan ceteris paribus. Hasil estimasi tersebut menunjukan pentingnya efisiensi suatu kegiatan operasional bank untuk menghasilkan pendapatan operasional yang nilainya lebih besar dari pada pengeluarannya. Sehingga selisih dari pendapatan operasional dengan pengeluaran operasionalnya dapat dijadikan modal untuk menjalankan kegiatan operasional di waktu berikutnya. Jika nilai BOPO menunjukan angka yang tinggi, maka hal tersebut menggambarkan bahwa bank tersebut mempunyai beban operasional yang lebih tinggi dari pendapatan operasionalnya, sehingga dapat disimpulkan semakin tinggi rasio ini atau setiap terjadi perubahan yang bernilai positif pada rasio ini mengindikasikan suatu prediksi yang buruk dalam keberlanjutan keuangan suatu bank dan semakin rendah kemampuan bank untuk melanjutkan usahanya dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk menciptakan kemapanan keuangan bank secara berkelanjutan adalah dengan meningkatkan efisiensi kegiatan operasional bank agar dapat meningkatkan sustainabilitas keuangan perbankan. b. Loan to Deposit Ratio LDR Faktor lainnya yang mempengaruhi FSR pada bank adalah aspek likuiditas. Dalam model ini aspek likuiditas tercermin dalam Loan to Deposit Ratio LDR, yaitu rasio yang menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Berdasarkan hasil estimasi, perubahan LDR mempunyai pengaruh yang signifikan pada taraf nyata satu persen terhadap sustainabilitas keuangan, dengan koefisien 0,06. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan LDR sebesar satu persen, maka kondisi FSR bank akan meningkat sebesar 0,06 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan ceteris paribus . Semakin tinggi LDR, maka pinjaman yang disalurkan bank meningkat bila dibandingkan dengan total dana yang diterima. Jika dilihat dari segi likuiditas bank, hal ini akan menurunkan likuiditas bank, sehingga pada hipotesis diprediksi bahwa pertumbuhan LDR akan berpengaruh negatif terhadap FSR bank. Namun hasil estimasi pada periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini menunjukan hasil estimasi yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh likuiditas bank tidak hanya terdiri dari jumlah deposit yang ada di bank, namun masih ada modal sendiri dan aset yang dimiliki bank sehingga jika LDR rendah maka tidak akan optimal. Dengan kata lain masih ada ruang antara jumlah deposit dan pinjaman yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan pendapatan bunga sampai pada tingkat tertentu yang nantinya akan berpengaruh pada finansial perbankan. Selain itu kapasitas bank dalam penyaluran kredit dewasa ini lebih baik dalam proses screeningnya, sehingga risiko yang dihadapi bank juga menjadi lebih rendah. Peningkatan mekanisme penyaluran kredit yang diimbangi dengan peningkatan kapabilitas dan kompetensi bank dalam penyaluran kreditnya akan menghasilkan sebuah bank yang mampu lebih sustainable di masa yang akan datang. Hal ini terjadi karena setiap pinjaman yang dikeluarkan oleh bank, manfaatnya tidak dirasakan bank pada saat itu juga, namun manfaatnya akan dirasakan pada waktu yang akan datang yaitu yang berasal dari pendapatan bunga atas pinjaman beserta cicilan pembayaran pinjaman. Oleh karena itu bank harus menetapkan suku bunga pinjaman yang lebih besar dari suku bunga tabungan agar bank tidak mengalami kerugian. c. Return on Asset ROA Aspek rentabilitas pada bank merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi FSR bank tersebut. Dalam model ini, selain ditunjukan oleh rasio biaya operasional pendapatan operasional BOPO, namun juga ditunjukan oleh rasio Return on Asset ROA, yaitu rasio untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. Berdasarkan hasil estimasi, ROA mempunyai pengaruh yang signifikan pada taraf nyata satu persen terhadap sustainabilitas keuangan, dengan koefisien 2,36. Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan ROA sebesar satu persen, maka kondisi sustainabilitas keuangan akan meningkat sebesar 2,36 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan ceteris paribus. Hasil estimasi tersebut menunjukan pentingnya penciptaan laba oleh suatu bank dalam memanfaatkan aset yang dimiliki bank tersebut. Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar pula tingkat keuntungan bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dalam segi penggunaan aset dan tentunya sustainabilitas keuangan. Laba atau keuntungan yang diperoleh bank dapat dijadikan modal untuk perluasan kegiatan usaha bank itu sendiri sehingga secara berkelanjutan bank akan mengalami perkembangan dan perluasan usaha yang menghasilkan peningkatan laba hasil usaha. Dengan kata lain dapat disimpulkan semakin tinggi rasio ini atau setiap terjadi pertumbuhan yang bernilai positif pada rasio ini mengindikasikan suatu prediksi yang baik dalam keberlanjutan keuangan suatu bank dan semakin tinggi kemampuan bank untuk melanjutkan kegiatan usahanya. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk menciptakan kemapanan keuangan bank secara berkelanjutan adalah dengan mengatur penggunaan aset yang dimiliki dengan baik sehingga dapat menghasilkan laba yang maksimal. d. Financial Sustainability Ratio FSR Periode Sebelumnya Variabel FSR periode sebelumnya dimasukkan sebagai variabel independen pada model ini dengan tujuan untuk mengatasi masalah autokorelasi. Dari hasil estimasi diketahui bahwa FSR perbankan di Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh FSR itu sendiri pada periode sebelumnya. Hal ini mencerminkan bahwa perilaku suatu variabel sangat dipengaruhi oleh variabel itu sendiri pada periode sebelumnya. Sehingga untuk meramalkan kondisi suatu variabel dimasa yang akan datang dapat melihat perilakunya pada periode-periode terdahulu. e. Capital Adequacy Ratio CAR Berdasarkan hasil estimasi, selama periode penelitian yang digunakan menjelaskan bahwa pertumbuhan CAR tidak berpengaruh signifikan terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia. Capital Adequacy Ratio CAR itu sendiri merupakan jumlah modal yang digunakan untuk menutup risiko kerugian yang timbul karena penanaman aktiva-aktiva yang mengandung risiko. Sebagai suatu gambaran, arah hubungan antara pertumbuhan CAR dan sustainabilitas keuangan menunjukan arah yang positif. Hal ini menunjukan bahwa ada indikasi yang menjelaskan jika terjadi kenaikan CAR maka akan terjadi peningkatan sustainabilitas keuangan. Hasil estimasi ini memperlihatkan bahwa terdapat faktor-faktor mikroekonomi perbankan lain yang lebih mempengaruhi sustainabilitas keuangan, dimana dalam penelitian ini yang mempengaruhi sustainabilitas keuangan adalah BOPO, LDR, dan ROA. f. Non Performing Loan NPL Berdasarkan hasil estimasi, selama periode penelitian yang digunakan menjelaskan bahwa pertumbuhan NPL tidak berpengaruh signifikan terhadap FSR perbankan di Indonesia dan hasil estimasi ini memperlihatkan bahwa terdapat faktor-faktor mikroekonomi perbankan lain yang lebih mempengaruhi FSR, dimana dalam penelitian ini yang mempengaruhi FSR adalah BOPO, LDR, dan ROA. Non Performing Loan NPL atau kredit bermasalah merupakan salah satu indikator penilaian kinerja bank dimana NPL merupakan rasio antara total kredit bermasalah dengan total kredit yang diberikan bank kepada debitur. Sebagai suatu gambaran, arah hubungan antara pertumbuhan NPL dan sustainabilitas keuangan menunjukan arah yang negatif. Hal ini menunjukan bahwa ada indikasi yang menjelaskan jika terjadi kenaikan NPL maka akan terjadi penurunan kondisi sustainabilitas keuangan. Oleh karena itu, dibutuhkan manajemen risiko bagi penyaluran kredit atau pinjaman bank kepada debitur. Dalam penyaluran kredit, bank harus melakukan analisis terlebih dahulu mengenai kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank wajib melakukan pengawasan dan peninjauan penggunaan kredit oleh debitur dan kepatuhannya dalam membayar kewajibannya sesuai persetujuan. Hal ini dilakukan agar memperkecil peluang terjadinya risiko default. Sehingga, kredit-kredit yang diberikan akan menghasilkan pendapatan baik pendapatan operasional maupun pendapatan bunga di waktu yang akan datang sehingga menciptakan bank yang sustain secara finansial. 4.3.4. Variabel Makroekonomi a. Jumlah Uang Beredar Berdasarkan hasil estimasi menunjukan bahwa perubahan jumlah uang beredar memiliki pengaruh signifikan terhadap sustainabilitas keuangan pada taraf nyata satu persen dengan koefisien estimasi – 4,92. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan jumlah uang beredar sebesar satu persen, maka akan menyebabkan penurunan kondisi sustainabilitas keuangan sebesar 4,92 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan ceteris paribus. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa perubahan jumlah uang beredar mempengaruhi kondisi keuangan perbankan karena disaat jumlah uang beredar meningkat, maka otoritas moneter akan meningkatkan suku bunga untuk menurunkan penawaran uang, sehingga dengan meningkatnya suku bunga akan menurunkan pendapatan atas bunga pada perbankan. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa suku bunga merupakan biaya bagi bank. Oleh karena itu dengan meningkatnya jumlah uang beredar akan menurunkan kondisi sustainabilitas keuangan bank melalui kebijakan peningkatan suku bunga yang ditetapkan pemerintah. b. Suku Bunga Berdasarkan hasil estimasi suku bunga memiliki pengaruh signifikan terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia pada taraf nyata 1 persen dengan koefisien estimasi sebesar -0,49. Hal ini menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan suku bunga sebesar satu persen maka kondisi sustainabilitas keuangan perbankan akan menurun sebesar 0,49 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan ceteris paribus. Hasil estimasi selama periode penelitian menjelaskan bahwa perilaku suku bunga sangat mempengaruhi kondisi keuangan perbankan karena suku bunga dapat berpengaruh langsung terhadap keuntungan perbankan yang akhirnya dapat mempengaruhi keberlanjutan kinerja keuangan perbankan. Suku bunga merupakan biaya bagi bank, maka semakin tinggi suku bunga, semakin rendah laba yang diperoleh. c. Inflasi Berdasarkan hasil estimasi inflasi memiliki pengaruh signifikan terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia pada taraf nyata lima persen dengan koefisien estimasi sebesar 0,06. Hal ini menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen maka sustainabilitas keuangan perbankan akan menurun sebesar 0,06 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan ceteris paribus. Hasil estimasi ini menunjukan bahwa jika terjadi peningkatan inflasi, maka akan terjadi peningkatan sustainabilitas keuangan. Hal ini dikarenakan pada periode estimasi, yaitu tahun 2004 sampai 2011 indonesia memiliki tingkat inflasi yang rendah, yaitu berkisar kurang lebih enam persen dimana jika pada tingkat inflasi yang rendah, kenaikan tingkat inflasi akan berpengaruh positif kepada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan penawaran dan peningkatan jumlah output total negara. Pertumbuhan ekonomi ini juga akan berdampak baik bagi perbankan. Sehingga, hal ini akan berpengaruh positif pula bagi keberlanjutan perbankan secara finansial. d. Kurs Berdasarkan hasil estimasi, selama periode penelitian yang digunakan menjelaskan bahwa kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia dan hasil estimasi ini memperlihatkan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang lebih mempengaruhi sustainabilitas keuangan. Kurs merupakan perbandingan nilai antara dua mata uang dimana dalam penelitian ini Rupiah per US. Sebagai suatu gambaran, arah hubungan antara pertumbuhan kurs dan sustainabilitas keuangan menunjukan arah yang positif. Hal ini menunjukan bahwa ada indikasi yang menjelaskan jika terjadi peningkatan kurs maka akan terjadi peningkatan pula pada sustainabilitas keuangan. Hal ini dapat terjadi karena selain menghimpun dana dan mengalokasikan dana, bank umum juga memiliki kegiatan-kegiatan lain, salah satunya adalah menyediakan jasa perdagangan internasional. Dalam perdagangan internasional terdapat perbedaan mata uang antara negara yang menjual dan negara yang membeli barang atau jasa. Jika nilai tukar rupiah menguat, maka harga barang-barang di luar negeri relatif lebih murah dari harga barang-barang domestik. Oleh karena itu terjadi peningkatan impor terjadi peningkatan pembelian atas barang luar negeri.

4.4. Implikasi Kebijakan