4. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak Geografis dan Administratif Secara geografis dan administratif, wilayah penelitian terdiri dari tiga lokasi
Tabel 9. Ketiga lokasi penelitian ini tercakup dalam Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000 Lembar Molombulahe Bakosurtanal, 1991.
Tabel 9. Letak Geografis dan Administratif Wilayah Penelitian
Simbol Posisi Geografis
Elevasi m dpl
Lokasi Cakupan
Administratif Tanah Sawah Tadah Hujan
TSTH: PNS1 00
o
41’37” LU 122
o
39’20” BT 58 Desa
Sidomukti Kecamatan Mootilango
Kabupaten Gorontalo
PNS2 00
o
41’52” LU 122
o
39’63” BT 59 Desa
Sidomukti Kecamatan Mootilango
Kabupaten Gorontalo
PNS3 00
o
41’73” LU 122
o
39’84” BT 62 Desa
Sidomukti Kecamatan Mootilango
Kabupaten Gorontalo
PNM1 00
o
38’27” LU 122
o
34’84” BT 42 Desa
Molombulahe Kecamatan Paguyaman
Kabupaten Boalemo
PNM2 00
o
37’81” LU 122
o
34’70” BT 50 Desa
Molombulahe Kecamatan Paguyaman
Kabupaten Boalemo
PNM3 00
o
37’14” LU 122
o
34’41” BT 61 Desa
Molombulahe Kecamatan Paguyaman
Kabupaten Boalemo
Tanah Lahan Kering TLK:
PNS-LK 00
o
41’45” LU 122
o
39’11” BT 60 Desa
Sidomukti Kecamatan Mootilango
Kabupaten Gorontalo
PNM-LK 00
o
37’17” LU 122
o
34’84” BT 50 Desa
Molombulahe Kecamatan Paguyaman
Kabupaten Boalemo
Tanah Sawah Irigasi TSI
PNB 00
o
41’12” LU 122
o
37’50” BT 44 Desa
Bandungrejo Kecamatan Boliyohuto
Kabupaten Gorontalo
Sumber: Hasil Pengukuran Lapang dan Pembacaan Peta 2009
4.2 Kondisi Iklim dan Hidrologi
Data iklim selama sepuluh tahun terakhir 1997-2008 di daerah penelitian menunjukkan perbedaan musim kemarau dan musin penghujan yang jelas. Rata-
rata curah hujan tahunan dari dua stasiun iklim di daerah penelitian berkisar antara 1.021 mm sampai 1.112 mm. Sedangkan rata-rata curah hujan bulanan berkisar
antara 31 mm sampai 264 mm Lampiran 4 Tabel 1. Berdasarkan tipe hujan, maka daerah ini termasuk tipe iklim E dengan nilai Q = 60-100 Schmidt dan
Ferguson 1951. Sedangkan menurut zone agroklimat Oldeman dan Darmiyati 1977, maka daerah ini termasuk dalam zone agroklimat E4 dengan bulan basah
200 mm hanya satu bulan, dan bulan kering 100 mm berkisar antara enam sampai sembilan bulan antara Juli-November.
Suhu udara bulanan berkisar antara 26°C sampai 28°C dengan rata-rata tahunan sebesar 27°C Lampiran 4 Tabel 2. Dari data tersebut terlihat fluktuasi
suhu udara bulanan relatif kecil. Rata-rata kelembaban udara relatif bulanan bervariasi antara 43 sampai 76 dengan rata-rata tahunan sebesar 64
Lampiran 4 Tabel 3. Sedangkan rata-rata lama penyinaran matahari bulanan bervariasi antara 35 sekitar 4,5 jam hari
-1
sampai 52 sekitar 6 jam hari
-1
dengan rata-rata lama penyinaran 46 atau 5 jam hari
-1
Lampiran 4 Tabel 4. Hasil pendugaan neraca air menunjukkan daerah penelitian mengalami periode
surplus bulan Desember-Februari dan Mei-Juni. Sedangkan pada bulan lainnya mengalami kekeringan. Bulan November merupakan peralihan dari musim
kemarau ke musim hujan Gambar 4 dan 5. Berdasarkan data curah hujan, suhu udara, posisi lintang-bujur, dan elevasi
menunjukkan bahwa daerah penelitian termasuk rejim kelembaban udara ustik dan rejim suhu isohipertermik Lampiran 4 dan 5. Untuk daerah Sidomukti yang
tercakup dalam stasiun iklim Sidodadi menunjukkan rejim suhu tanah adalah isohipertermik dan rejim kelembaban udara adalah ustik aridic tropustic dengan
lama keadaan lembab selama 78 hari, kering 128 hari, dan lembab kering 154 hari. Sedangkan daerah Molombulahe mempunyai rejim kelembaban dan rejim
suhu tanah sama dengan daerah Sidomukti hanya berbeda pada lama keadaan kering selama 145 hari, lembab kering 215 hari, dan tanpa hari dalam keadaan
lembab. Ustik yang dalam bahasa Latin “ustus”, artinya terbakar atau menyatakan kekeringan merupakan rejim kelembaban tanah dimana penampang kontrol
kelembaban kering pada sebagian atau semua bagiannya selama 90 hari kumulatif atau lebih dalam setahun. Sedangkan isohipertermik adalah rejim suhu tanah
dimana suhu tanah rata-rata tahunan adalah 22
o
C atau lebih tinggi, dan perbedaan antara suhu tanah musim panas rata-rata dan musim dingin rata-rata lebih kecil
dari 6
o
C Soil Survey Staff 1999. Berdasarkan kondisi lapang, maka rejim kelembaban tanahnya tidak cocok
karena berdasarkan data morfologi cenderung akuik. Hal ini disebabkan beberapa horison tanah telah mengalami penjenuhan air cukup lama sehingga warna tanah
kelabu. Tampaknya air ini merupakan air bawah permukaan tanah yang merembes dari bagian atas hinteland lahan ke daerah depresi dan terjadi akumulasi air yang
menyebabkan reduksi bahan tanah. Akuik dalam bahasa Latin “aqua”, artinya air atau menyatakan jenuh air, merupakan rejim kelembaban yang menyiratkan
berkurangnya keberadaan atau ketiadaan oksigen bebas terlarut karena tanah jenuh oleh air atau air kapiler pada pori tanah. Sebuah rejim akuik harus sekurang-
kurangnya terdiri dari satu horison yang terjenuhi. Beberapa horison tanah, suatu waktu jenuh dengan air pada saat oksigen terlarut ada, baik karena pergerakan air
atau karena lingkungan yang tidak menguntungkan bagi mikroorganisme. Misalnya, jika suhu 1
o
C, maka tidak dipertimbangkan sebagai rejim kelembaban akuik Soil Survei Staff 1975.
Untuk diferensiasi dalam kategori tertinggi, tanah yang memiliki rezim akuik seluruhnya harus jenuh. Pada bagian sub grup, hanya horison paling bawah
yang jenuh. Tanah dianggap jenuh jika air mengisi seluruh pori sampai permukaan tanah, kecuali pada pori non kapiler. Air dalam pori adalah stagnan
dan tetap berwarna jika sumber warna berada di dalam air. Pada tanah berpasir, ketebalannya mungkin hanya 10 sampai 15 cm. pada tanah liat yang mengembang
atau mengkerut, mungkin ketebalannya dapat mencapai ≥ 30 cm, tergantung
distribusi ukuran pori. Lamanya periode tanah harus jenuh untuk rejim akuik tidak diketahui, setidaknya beberapa hari. Hal ini mengacu pada konsep bahwa oksigen
terlarut hampir tidak ada karena akan hilang dari air bawah tanah akibat respirasi oleh mikroorganisme, akar dan fauna tanah. Beberapa suhu tanah berada di atas
nol untuk proses biologi 5
o
C dalam beberapa waktu, sementara tanah atau horison jenuh. Secara umum, level air tanah berfluktuasi dengan musim. Level
tertinggi di musim hujan, musim dingin, dan atau musim semi jika cuaca dingin serta evapotranspiratsi hampir berhenti. Air tanah selalu berada atau tertutup di
permukaan, seperti rawa pasang surut, tanah depresi dan tergolonh per aquic. Meskipun istilah ini tidak digunakan sebagai unsur formatif untuk nama taksa,
tetapi digunakan dalam membantu deskripsi dan memahami genesisnya Soil Survei Staff 1999.
Gambar 4. Neraca Air di Daerah Sidodadi dan Sekitarnya
Gambar 5. Neraca Air di Daerah Molombulahe dan Sekitarnya Daerah penelitian dilalui oleh Sungai Paguyaman yang merupakan sungai
utama dengan anak sungainya, antara lain Sungai Odimita, Hunggalua, Buliya dan Sungai Bongo. Pola aliran Sungai Paguyaman termasuk meandering, dan anak-
anak sungainya termasuk pola sub paralel-dendritik. Pada musim hujan, air Sungai Paguyaman naik antara 1 sampai 3 m, dan tempat rendah sering tergenang
air karena laju infiltrasi lambat BP2TP 2002. Berdasarkan laporan Dinas PU Kabupaten Gorontalo 1994 dalam BP2TP 2002 menunjukkan bahwa dari tahun
1993 sampai 1994, debit Sungai Paguyaman antara 9,69 m
3
dt
-1
di bagian hulu sampai 34,84 m
3
dt
-1
di bagian tengahhilir. Sedangkan Sungai Odimita 0,66-0,69 m
3
dt
-1
, Bendung Sungai Hunggalua 0,31 m
3
dt
-1
, Bendung Sungai Buliya 0,22 m
3
dt
-1
, dan Sungai Bongo 1,39-1,48 m
3
dt
-1
.
Ditinjau dari segi kualitas air, terutama kadar lumpur umumnya cukup tinggi. Kadar lumpur Sungai Paguyaman mencapai 307-564 mg l
-1
, Sungai Bongo 333 mg l
-1
, dan Sungai Odimita 241-262 mg l
-1
. Sedangkan pada Bendung Hunggalua dan Bendung Buliya tergolong rendah, yaitu 55 mg l
-1
dan 73 mg l
-1
BP2TP 2002. Kadar lumpur yang tinggi menunjukkan kondisi hidro-orologis DAS mengalami kerusakan akibat terjadinya penggundulan hutan dan pengolahan
tanah yang menimbulkan erosi, sehingga perlu perbaikan dan rehabilitasi.
4.3 Kondisi Geologi