Pemekaran Wilayah Analysis And The Development Of Centrals Of Economic Growth
E B E D H A M R I
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
ANALISIS PEMEKARAN WILAYAH DAN PENGEMBANGAN
PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN EKONOMI
(STUDI DI KOTA BAUBAU PROPINSI SULAWESI TENGGARA DAN
KOTA TASIKMALAYA PROPINSI JAWA BARAT)
(2)
(3)
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Pemekaran Wilayah dan Pengembangan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi (Studi di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor Agustus 2015
Ebed Hamri
(4)
(5)
v
RINGKASAN
EBED HAMRI. Analisis Pemekaran Wilayah dan Pengembangan
Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi (Studi Di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat). Komisi Pembimbing EKA INTAN KUMALA PUTRI sebagai Ketua, HERMANTO J. SIREGAR dan DEDDY SUPRIADY BRATAKUSUMAH sebagai Anggota.
Desentralisasi dan Otonomi daerah menjadi isu yang penting sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi dan Otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah telah mendorong menguatnya tuntutan dari daerah-daerah untuk melakukan pemekaran wilayah, hal karena selama ini daerah-daerah merasakan terjadi ketimpangan dan ketidak merataan hasil-hasil pembangunan, disatu sisi sistem pemerintahan yang sentralistik membuat daerah-daerah kurang berkembang. Sehingga akibat kondisi tersebut daerah-daerah menuntut dilaksanakan pemekaran wilayah sebagai upaya percepatan pembangunan dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pemekaran wilayah sebagai fenomena pembentukan propinsi, kabupaten dan kota telah menciptakan perbedaan antara daerah, ada daerah yang penduduk/kegiatan terkonsentrasi pada suatu tempat yang dikenal istilah kota, pusat perdagangan, pusat industri, simpul industri, pusat perdagangan, daerah perkotaan atau daerah nodal dan ada juga yang kurang terkonsentrasi dikenal istilah seperti daerah pedalaman, daerah pertanian, daerah pedesaan atau disebut sebagai wilayah belakang (hinterland). Terciptanya daerah nodal tidak hanya di propinsi, namun terjadi di kabupaten/kota, kabupaten dengan wilayah yang luas biasanya membagi dua wilayah secara administratif, wilayah kota (kotamadya) dan wilayah kabupaten. Wilayah kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (pusat pertumbuhan), sedang kabupaten sebagai daerah
hinterland.
Penelitian ini bertujuan: 1) Mengevaluasi penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah khususnya faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai
usulan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. 2) Menganalisis perkembangan struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan
Kota Tasikmalaya serta sektor unggulan yang menjadi daya saing perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sehingga potensial menjadi pusat-pusat pertumbuhan dibandingkan dengan daerah sekitarnya. 3) Menganalisis perkembangan wilayah, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya. 4) Menganalisis persepsi
stakeholder dan merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) Analisis Deskriptif, 2) Analisis Skalogram, 3) Analisis Model Gravitasi, 4) Analisis Tipologi Klassen, 5) Analisis Diversitas Entropy, 6) Analisis Shift Share, 6) Analisis Location Quotient, 7) Analisis Hirarki Proses.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Evaluasi terhadap sebelas faktor-faktor penilaian usulan pemekaran wilayah berdasarkan Peraturan Pemerintah
(6)
Nomor 78 Tahun 2007 dengan analytical hierarchy process menunjukkan ada perbedaan prioritas terhadap sebelas faktor pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan dengan daerah hinterland terlihat dari analisis diversitas entropi. Hasil Analisis Tipologi Klasen Kota Baubau berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat; sedang kabupaten sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Wakatobi dan kabupaten Buton Utara juga berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, Kabupaten Muna berada pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan, Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal. Hasil Analisis Tipologi Klasen menunjukkan Kota Tasikmalaya berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, sedang daerah sekitarnya (hinterland)
berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal. Hasil analisis Loqation Quotient
menunjukkan sektor perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan unggul. Sektor-sektor unggulan yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya adalah sektor bangunan, perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa keuangan; dan sektor jasa-jasa. Namun pada Analisis ShiftShare dimana pada ditingkat lokal
(differential shift) menunjukkan sektor-sektor yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya justru mengalami pergeseran dan pertumbuhan yang lambat. Hasil Analisis Skalogram menunjukkan Kota Baubau berada pada wilayah Hirarki II/sedang; sedangkan kabupaten hinterland yaitu Kabupaten Buton Utara justru berada pada wilayah Hirarki I/tinggi, Kabupaten Buton, Muna masuk kategori hirarki III/rendah. Analisis Skalogram menunjukkan Kota Tasikmalaya berada pada wilayah hirarki I/tinggi, kabupaten/kota sekitarnya
(hinterland) yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Ciamis berada pada kategori wilayah hirarki II/sedang; Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Banjar pada wilayah hirarki III/rendah. Hasil Analisis Gravitasi menunjukkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah
hinterlandnya bervariasi intensitasnya. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau yang kuat adalah dengan Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna, sedang dengan Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana sangat lemah terlihat dari nilai indeks gravitasi yang kecil. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya yang kuat adalah dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis terlihat dari indeks gravitasi yang besar, sedang dengan Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran sangat lemah terlihat dari indeks gravitasi yang kecil. Hasil analisis persepsi masyarakat dengan analytical hierarchy process
(AHP) secara umum menunjukkan pemekaran wilayah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat baik dari sisi pendapatan, pelayanan dan ketersedian infrastruktur maupun bagi perkembangan perekonomian daerah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Hasil analisis AHP menunjukkan dari empat alternatif strategi dalam penelitian ini, alternatif strategi yang menjadi prioritas utama adalah
“pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan (PW-PP)”.
Katakunci: Kota Baubau, Kota Tasikmalaya, desentralisasi, otonomi daerah, pusat pertumbuhan.
(7)
vii
SUMMARY
EBED HAMRI. Pemekaran Wilayah Analysis and the Development of Centrals of Economic Growth (A Study at Baubau City South Sulawesi Province and Tasikmalaya City West Java Province). Counselors EKA INTAN KUMALA PUTRI as Head Counselor, HERMANTO J SIREGAR and DEDDY SUPRIADY BRATAKUSUMAH as Member.
Decentralization and regional autonomy are important issues since the prevailing of Act No. 22, 1999 revised by Act No. 32, 2004 on Regional Government. Decentralization and regional autonomy through the implication of
pemekaran wilayah has encouraged demand from other areas to have pemekaran wilayah due to the gap and inequality felt by those areas regarding development results. A centralistic governmental system has made local areas under developed. Therefore, many areas has demanded for pemekaran wilayah in order to accelerate development and reduce developmental gap among areas. Pemekaran wilayah as a phenomenon of the formation of provinces, regencies and cities has created differences among areas. There are areas with population/activities concentrated in certain area known as cities, centers of trade, centers of industry, industrial knot, urban areas or nodal areas. There are also, however, areas with less concentration known as hinterland, agricultural area, and rural area. The creation of nodal areas is not only in provincial level but also in the level of regency/city. Regency has wide area and divides into two administrative areas, municipality and regency. The rural area (municipal) is made as the central of economic activities (central of growth) and regency area is the hinterland.
The research aims to: 1) evaluate the implementation of Government Regulation No. 78, 2007 on the Procedures of Areas Establishment, Removal and Merger especially factors used to assess proposal of pemekaran wilayah at Baubau and Tasikmalaya Cities; 2) analyze the development of economic structure of Baubau and Tasikmalaya Cities and their leading sectors that become their economic competitiveness thus they will have potential to become the centrals of growth compare to their surrounding areas; 3) analyze the regional development, economic interaction and attraction of Baubau and Tasikmalaya
Cities toward their surrounding areas; 4) analyze stakeholders’ perception and
formulate beneficial policies for government after the pemekaran wilayah.
Methods used in the research are: 1) descriptive analysis, 2) Schallogram Analysis, 3) Gravity Model Analysis, 4) Klassen Typology Analysis, 5) Entropy Diversity Analysis, 6) Shift Share Analysis, 7) Location Quotient Analysis, and 7) Process Hierarchy Analysis.
Research results show that: evaluation on eleven assessment factors of
pemekaran wilayah proposal based on Government Regulation No. 78, 2007 using analytical hierarchy process shows priorities differences on eleven factors of the formation of new autonomy area based on Government Regulation No. 78, 2007 with the perception of societies at Baubau and Tasikmalaya Cities. Regional economic structure of Baubau and Tasikmalaya is more advanced and developed than the hinterlands. It is indicated by the result of entropy diversity analysis. Result of Klasen Typology Analysis shows that Baubau City is within the classification of fast growing area along with its hinterlands, which are Wakatobi and North Buton Regencies; whereas, Muna Regency is within the classification of advanced but depressed area and Buton and Bombana Regencies are within the
(8)
classification of relatively underdeveloped areas. Result of Klasen Typology analysis shows that Tasikmalaya City is within the classification of fast growing area and its hinterlands are within the classification of relatively underdeveloped areas. Result of Location Quotient Analysis shows that the economic sector of Baubau and Tasikmalay Areas is more advanced and superior. The leading sectors that are the basic sectors of Baubau and Tasikmalaya Cities are development, trade, hotel and restaurant, transportation and communication, finance, leasing and financial services and services sectors. Shift Share Analysis in local level (differential shift), however, shows that the basic sectors of Baubau and Tasikmalaya Cities are experiencing a shift and slow growth. Result of Schallogram Analysis shows that Baubau City is in Hierarchy II/Medium area and its hinterland, North Buton Regency, is in Hierarchy I/High and Buton,and Muna Regencies are in Hierarchy III/Low. Result of Schallogram Analysis shows that Tasikmalaya City is in Hierarchy I/High area and its hinterland, Garut and Ciamis Regencies are in Hierarchy II/Medium and Tasikmalaya,and Banjar Regencies are in Hierarchy III/Low. Result of Gravity Analysis shows that the intensity of economic interaction and attraction of Baubau and Tasikmalaya Cities with their hinterlands are varied. Strong economic interaction and attraction is indicated by Baubau City with Buton and Muna Regencies; whereas Baubau City with North Buton, Wakatobi and Bombana Regencies has a very weak interaction and attraction indicated by small gravity index. Economic interaction and attraction of Tasikmalaya City area with its hinterland shows strong intensity with Tasikmalaya and Ciamis Regencies indicated from large gravity index and it is very weak with Garut, Banjar and Pangandaran Regencies indicated by small
gravity index. Result of society’s perception analysis using analytical hierarchy process (AHP), in general, shows that pemekaran wilayah gives great benefit for the society in terms of income, service and the availability of infrastructure and the development of regional economy of Baubau and Tasikmalaya Cities. Result of AHP analysis shows that from four alternative strategies in the research, the main priority of alternative strategy is pemekaran wilayah creates central of growth (PW-PP).
Keywords: Baubau City, Tasikmalaya City, decentralization, regional autonomy, central of growth.
(9)
ix
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(10)
(11)
xi
ANALISIS PEMEKARAN WILAYAH DAN PENGEMBANGAN
PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN EKONOMI
(STUDI DI KOTA BAUBAU PROPINSI SULAWESI TENGGARA DAN KOTA TASIKMALAYA PROPINSI JAWA BARAT)
EBED HAMRI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
Pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
(12)
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr (Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, FEMA Institut Pertanian Bogor)
2. Prof Dr Ir Kaman Nainggolan, MS (Direktur Sekolah Pascasarjana STMIK Nusa Mandiri, Jakarta)
Komisi Promosi pada Sidang Promosi Terbuka
: 1. Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr (Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, FEMA Institut Pertanian Bogor)
2. Prof Dr Ir Kaman Nainggolan, MS (Direktur Sekolah Pascasarjana STMIK Nusa Mandiri, Jakarta)
(13)
(14)
(15)
xiii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dan merupakan judul disertasi ini adalah
Analisis Pemekaran Wilayah dan Pengembangan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi (Studi Di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat).
Proses penelitian dan penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof Dr Ir Hermanto J Siregar, MEc dan Dr Ir Deddy S Bratakusumah, BE MSc MURP selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, masukan, dukungan dan motivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr dan Prof Dr Ir Kaman Nainggolan, MS yang telah berkenan dan meluangkan waktu untuk menjadi penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Anggota Promosi Luar Komisi Pembimbing pada Promosi Terbuka yang telah memberikan banyak masukan, koreksi dan saran-saran perbaikan sehingga menambah kazanah dan kualitas disertasi ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pimpinan Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta jajaran dan staf administrasi yang telah memberikan pelayanan yang baik selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Ekonomi IPB Dr Ir Yusman Syaukat, MEc, Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS, Sekretaris Program Studi dan seluruh staf dosen yang telah mencurahkan dan membagikan waktunya untuk memberikan pencerahan kepada penulis terkait dengan bidang Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan serta seluruh staf administrasi PWD atas segala dukungan administrasi dan fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD).
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara dan Pemerintah Kabupaten Konawe yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB serta segala bantuan sehingga dapat meringankan biaya pendidikan selama penulis menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga dan doa yang tulus kepada kedua orang tua, serta seluruh saudara-saudara dan keluarga atas dukungan doa dan kasih sayang yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman Program Studi PWD 2010 yang tidak saya sebutkan satu persatu, atas sosial kapital yang telah ditunjukkan selama ini serta yang senantiasa memberikan dukungan, sharing
pemikiran sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung, memberikan dorongan
(16)
moril maupun materiil sejak penyusunan proposal hingga kegiatan penelitian dilapangan sampai pada penyusunan disertasi ini.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, meskipun penelitian ini jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil penelitian ini berguna dan bermanfaat bagi Pemerintah dan pihak terkait dalam merumuskan kebijakan pemekaran wilayah di Indonesia sehingga hakekat pemekaran wilayah dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Bogor, Agustus 2015
(17)
xv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL xviii
DAFTAR GAMBAR xx
DAFTAR LAMPIRAN xxii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 11
Kegunaan Penelitian 12
Ruang Lingkup Penelitian 12
Hipotesis Penelitian 12
Novelty (Kebaruan) Penelitian 13
2 TINJAUAN PUSTAKA 14
Landasan Teoritik Pemekaran Wilayah 14
Pemekaran Wilayah 17
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007 Tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan
Daerah 22
Pusat Pertumbuhan (Growth Center) 25
Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory) 27
Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) 29
Teori Polarisasi Pertumbuhan Ekonomi (Polarization of
Economic Growth) 31
Teori Pusat Pembangunan (Localized Poles of Development) 33
Pembangunan dan Pengembangan Wilayah 34
Perekonomian Wilayah 35
Desentralisasi dan Otonomi Daerah 35
Desentralisasi 36
Otonomi Daerah 39
Kerangka Pemikiran 40
Penelitian – Penelitian Terdahulu 44
3 METODE PENELITIAN 56
Lokasi dan Waktu Penelitian 56
Jenis dan Sumber Data 56
Populasi dan Sampel 57
Metode Analisis 58
Analisis Deskriptif 60
Analisis Skalogram 61
Analisis Model Gravitasi 62
Analisis Tipologi Klassen 63
Analisis Diversitas Entropi 64
Analisis Shift Share 65
Analisis Location Quotient 66
Analisis Hirarki Proses 66
(18)
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 69
Gambaran Umum Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan 69
Geografis dan Administrasi Wilayah 69
Indikator Sosial dan Kependudukan 70
Jumlah dan Perkembangan Penduduk 70
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 71
Kemiskinan 73
Indikator Perekonomian Daerah 75
Struktur Ekonomi Wilayah 75
Laju Pertumbuhan Ekonomi 77
Gambaran Umum Kabupaten/Kota Priangan Timur 79
Geografis dan Administrasi Wilayah 79
Indikator Sosial dan Kependudukan 80
Jumlah dan Perkembangan Penduduk 80
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 81
Kemiskinan 83
Indikator Perekonomian Daerah 84
Struktur Ekonomi Wilayah 84
Laju Pertumbuhan Ekonomi 87
5 KLASIFIKASI WILAYAH, PERKEMBANGAN SEKTOR
UNGGULAN DAN DAYA SAING WILAYAH 89
Klasifikasi Wilayah dan Perkembangan Struktur Perekonomian
Wilayah 90
Klasifikasi Pertumbuhan Kabupaten/Kota 90
Analisis Perkembangan Struktur Perekonomian Wilayah 98
Perkembangan Sektor Basis/Unggulan dan Daya Saing
Perekonomian Wilayah 102
Analisis Perkembangan Sektor Basis/Unggulan Wilayah 102
Analisis Daya Saing Perekonomian Wilayah 113
6 PERKEMBANGAN WILAYAH, INTERAKSI EKONOMI DAN DAYA TARIK WILAYAH DAN ANALISIS PEMEKARAN
WILAYAH 122
Perkembangan Wilayah, Interaksi Ekonomi Dan Daya Tarik
Wilayah 122
Analisis Perkembangan Wilayah 122
Analisis Interaksi Ekonomi dan Daya Tarik Wilayah 126
Analisis Pemekaran Wilayah: Persepsi Masyarakat Tentang Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Manfaat
Kebijakan Pemekaran Wilayah 134
Analisis Deskriptif 135
Analytic Hierarchy Process (AHP) 137
Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan antar Elemen
Faktor 137
Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Aktor terhadap
(19)
xvii
Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Tujuan terhadap
Aktor 139
Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Alternatif Strategi
terhadap Tujuan 141
Analisis Tipologi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya : Deskriptif Perkembangan Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Pertumbuhan (Growth Center) dan Kutub Pertumbuhan (Growth Pole)
149
Analisis Tipologi Kota Baubau 149
Analisis Tipologi Kota Tasikmalaya 152
7 KONSEPTUALISASI GAGASAN PEMEKARAN WILAYAH
KEDEPAN 156
Implikasi Hasil Penelitian 161
8 KESIMPULAN DAN SARAN 164
Simpulan 164
Implikasi Kebijakan 164
Saran Penelitian Lanjutan 168
DAFTAR PUSTAKA 169
LAMPIRAN 177
(20)
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perkembangan Jumlah Daerah Otonom Baru Hasil Pemekaran
di Indonesia dari tahun 1999 - 2013 2
2 Perkembangan PDRB Rata-rata Perkapita Kabupaten/Kota Sultra
Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 5
3 Faktor dan Indikator dalam rangka Pembentukan Daerah Otonom
Baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 24
4 Perkembangan Pemekaran Wilayah di Propinsi Sulawesi Tenggara
dan Propinsi Jawa Barat dari tahun 1999 – 2013 42
5 Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu (International) 45
6 Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu di Lingkungan IPB 53
7 Jumlah Responden Penelitian 57
8 Tujuan, Uraian dan Data yang dibutuhkan, Teknik Pengumpulan
Data, Alat/Metode Analisis dan Output yang di harapkan 58
9 Aspek, Variabel, Indikator dan Sumber Data 59
10 Model Skalogram 61
11 Matrik Klassifikasi Kabupaten/Kota Berdasarkan Tipologi Klassen 63 12 Matriks Sistem Urutan (Ranking) Skala Perbandingan Berpasangan
antar Variabel 67
13 Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan
Tahun 2009-2013 71
14 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/ Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara
tahun 2009-2013 72
15 Perkembangan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota Sultra
Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 73
16 Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Priangan Timur
Tahun 2009-2013 81
17 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/
Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 82
18 Perkembangan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota Priangan
Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 83
19 Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten/Kota
se Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 91
20 Perkembangan PDRB ADHK 2000 Kabupaten/Kota se Propinsi
Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 91
21 Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten/Kota
se Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 94
22 Perkembangan PDRB ADHK 2000 Kabupaten/Kota se Propinsi
Jawa Barat tahun 2009-2013 95
23 Nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) Kota Baubau dan wilayah
hinterlandnya tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 98 24 Nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) Kota Tasikmalaya dan
wilayah hinterlandnya tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 99
(21)
xix
Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana)
tahun 2003, 2007, 2009 dan 2013 102
26 Perhitungan Location Quotient (LQ) kabupaten/kota Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterland ( Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Pangandaran dan Kota Banjar) tahun
2003 dan 2007-2009 dan 2013 107
27 Perbandingan Nilai Location Quotient (LQ) Kota Baubau dan Kota
Tasikmalaya tahun 2003 dan 2007-2009 dan 2013 112
28 Analisis Shift Share Kab/Kota Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dengan wilayah hinterland (Kab. Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana) tahun 2003/2007 dan tahun
2009/2013 114
29 Analisis Shift Share Kab/Kota Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterland (Kab. Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kab. Pangandaran) tahun 2003/2007 dan
2009/2013 118
30 Nilai Selang Hirarki Indeks Perkembangan Kabupaten (IPK) 122
31 Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten/
Kota se Sultra Kepulauan tahun 2013 123
32 Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten/
Kota Priangan Timur tahun 2013 124
33 Perbandingan Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten/ Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2013 125 34 Indeks Gravitasi antar Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan meliputi
Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Buton
Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana) tahun 2009-2013 127
35 Indeks Gravitasi Kabupaten/Kota Wilayah Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan daerah hinterland (Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten
Pangandaran) tahun 2009-2013 131
36 Perbandingan Analisis Nilai Indeks Gravitasi kabupaten/kota Sultra
Kepulauan dan Priangan Timur Tahun 2009-2013 132
37 Persepsi Responden terhadap Aspek Pendapatan Masyarakat 135
38 Persepsi Responden terhadap Aspek Pelayanan 136
39 Persepsi Responden terhadap Aspek Infrastruktur 136
40 Persepsi Responden terhadap Aspek Perkembangan Kota 137
41 Perbandingan Prioritas 11 (Sebelas) Faktor-Faktor Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya 140 42 Perbandingan Perbedaan Prioritas Pengaruh Aktor terhadap Faktor
Berdasarkan AHP pada Masyarakat Kota Baubau dan Kota
(22)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perkembangan PDRB Perkapita Sultra Kepulauan dan Priangan
Timur tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 6
2 Pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dan wilayah sekitarnya (hinterland) tahun 2003, 2007
dan 2009-2013 9
3 Pertumbuhan Ekonomi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dan wilayah sekitarnya (hinterland) tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 10 4 Rentang wilayah (range) model teori lokasi pusat (central place
theory 15
5 Pusat Pertumbuhan (inti) dengan sub-sub wilayah inti dengan
berbagai tingkatan dalam suatu wilayah nodal (nodal region) 16
6 Perkembangan Jumlah Propinsi/Kabupaten dan Kota dari Tahun
1999-2013 Sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 22
7 Perkembangan Alokasi APBN untuk Belanja Daerah Kab/Kota Pemekaran Tahun 1999 – 2006, Rata – Rata Penerimaan DAU Kab/
Kota 2001 – 2011 dan Perekembangan DAK 2003 – 2009 23
8 Kerangka Pemikiran Penelitian 44
9 Peta lokasi penelitian Propinsi Sulawesi Tenggara dan Jawa Barat 55
10 Kerangka AHP untuk persepsi masyarakat 68
11 Peta Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara menurut Kabupaten/Kota
dan Posisi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan 69
12 Rata-Rata IPM Enam Kab/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi
Sulawesi Tenggara tahun 2004-2013 72
13 Jumlah Penduduk Miskin di Sulawesi Tenggara dan Enam Kab/Kota Sultra Kepulauan dan Persentase Kontribusi Kemiskinan tahun
2009-2013 74
14 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 76 15 Perkembangan PDRB ADH Konstan Kabupaten/Kota Sultra
Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan
2009-2013 77
16 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan
Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 78
17 Peta Wilayah Propinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/Kota dan
Posisi Kabupaten/Kota Priangan Timur 79
18 Rata-Rata IPM Enam Kab/Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa
Barat tahun 2003-2013 82
19 Jumlah Penduduk Miskin Propinsi Jawa Barat dan Lima Kab/Kota
Priangan Timur dan Kontribusi Kemiskinan tahun 2009-2013 84
20 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota Priangan Timur dan
Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 85
21 Perkembangan PDRB ADH Konstan Kabupaten/Kota Priangan
Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 86
22 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Priangan Timur dan Propinsi
(23)
xxi
23 Klasifikasi Kabupaten/Kota se-Propinsi Sulawesi Tenggara dan Posisi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Buton
Utara, Wakatobi, Muna, Bombana) menurut Tipologi Klassen 93
24 Klasifikasi Kabupaten/Kota se-Propinsi Jawa Barat dan Posisi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterland (meliputi Kab. Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Pangandaran dan Kota Banjar) menurut Tipologi
Klassen 96
25 Perbandingan Klasifikasi Kabupaten/Kota se-Sultra Kepulauan dan Priangan Timur dan Posisi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya
menurut Tipologi Klassen 97
26 Perbandingan perkembangan indeks diversitas entropi (IDE) kabupaten/kota Sultra Kepulauan dan kabupaten/kota Priangan Timur 101 27 Perkembangan rata-rata LQ Kota Baubau dibandingkan daerah
sekitarnya (hinterland) tahun 2003/2007 dan 2009/2013 106
28 Perkembangan rata-rata LQ Kota Tasikmalaya dibandingkan daerah
sekitarnya (hinterland) tahun 2003/2007 dan 2009/2013 111
29 Model Gravitasi Kabupaten/Kota Wilayah Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Buton
Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana) 129
30 Model Gravitasi Kabupaten/Kota Wilayah Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterland (Kabupaten Tasikmalaya,
Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran) 132
31 Perbandingan Model Gravitasi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan
Priangan Timur tahun 2009-2013 133
32 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Perbandingan Prioritas antar Elemen Faktor dalam
Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 138
33 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang Perbandingan Pengaruh Aktor terhadap Faktor 141 34 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota
Tasikmalaya terhadap Perbandingan Pengaruh Tujuan terhadap Aktor 143 35 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota
Tasikmalaya Perbandingan Alternatif Strategi terhadap Tujuan 144
36 Hasil Analysis Hierarchy Process (AHP) Persepsi Masyarakat Kota Baubau secara Vertikal tentang Penerapan PP. Nomor 78 Tahun 2007
serta Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kota Baubau 146
37 Hasil Analysis Hierarchy Process (AHP) Persepsi Masyarakat Kota Tasikmalaya secara Vertikal tentang Penerapan PP. Nomor 78 Tahun 2007 serta Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kota
Tasikmalaya 147
38 Hasil Analisis Persepsi Gabungan Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dalam Penerapan PP. Nomor 78 Tahun 2007 serta Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kota Baubau dan Kota
Tasikmalaya 148
(24)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kuesioner Penelitian Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya 178
2 Hasil Pengolahan Analisis Hirarki Proses Kota Baubau 198
3 Hasil Pengolahan Analisis Hirarki Proses Kota Tasikmalaya 200
4 Output Gabungan Hasil Pengolahan Analisis Hirarki Proses Kota
Baubau dan Kota Tasikmalaya 201
5 Hasil Pengolahan Data Skalogram Kota Baubau 204
(25)
1 PENDAHULUAN
Latar BelakangBergulirnya reformasi di Indonesia ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa tatanan baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Sebelum era reformasi pelaksanaan sistem pemerintahan mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua undang-undang tersebut didalamnya telah diatur desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, kenyataannya dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974, pemberian otonomi kepada daerah ternyata memperhitungkan berbagai aspek yang cukup complicated mengingat keberagaman kondisi sosial, ekonomi, politik dan keamanan antar daerah sehingga ikut mempengaruhi penentuan seberapa besar otonomi akan diberikan kepada daerah (Widiyanto 1991).
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 salah satunya implikasinya adalah pemekaran wilayah. Dalam implementasinya kedua undang-undang tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan dalam pengaturan pemekaran wilayah. Kebijakan pemekaran wilayah pada masa Orde Baru, lebih bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, dimana perencanaan lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat (top down)
daripada partisipasi dari bawah (bottom up). Proses pemekaran wilayah seringkali menjadi proses yang tertutup dan menjadi arena kalangan pemerintah pusat (Percik 2007). Menurut Kuncoro (2004), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah telah dijiwai oleh semangat desentralisasi dan otonomi, namun dalam penerapannya yang terjadi adalah
sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi
pembangunan Indonesia.
Booth (2011) dan Kuncoro (2002), mengungkapkan bahwa struktur pemerintahan yang terpusat (sentralisasi) telah mengakibatkan kesenjangan regional (regional disparity) antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, maupun antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia. Disatu pihak terjadi percepatan pembangunan dan penumpukan manufaktur, dipihak lain pembangunan berjalan sangat lambat. Kondisi tersebut mendorong terjadinya berbagai ketimpangan pembangunan dan kesenjangan wilayah baik yang bersifat vertikal maupun horizontal secara spasial, ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menyebabkan daerah-daerah semakin tertinggal. Kesenjangan wilayah dan ekonomi yang terjadi telah menimbulkan rasa ketidakadilan yang muncul. Beberapa daerah yang kaya sumber daya alam tidak menerima manfaat dari hasil kekayaan sumberdaya alamnya pada pembangunan ekonomi nasional tidak sebanding dengan manfaat yang diterima karena semua mengalir ke pusat (Kuncoro 2002).
Besarnya kesenjangan wilayah (regional disparity) sejalan dengan studi Garcia (2000) dalam Kuncoro (2002) yang menganalisis trend aglomerasi dan kluster sektor industri manufaktur Indonesia tahun 1976-1999, menyatakan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yang diterapkan Pemerintah Indonesia sejak 1985-1999 berdampak semakin menguatnya konsentrasi industri secara spasial di
(26)
daerah-daerah perkotaan di Pulau Jawa, terutama di wilayah Jabodetabek-Bandung dan Gerbangkertosusilo. Kuncoro (2002), menyimpulkan konsentrasi spasial industri besar dan menengah dapat diasosiasikan dengan konsentrasi perkotaan Pulau Jawa. Terlihat kontribusi PDRB Jawa terhadap PDB Indonesia (1983-1996) menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan mendominasi yaitu dari 51% (1983) meningkat menjadi 60% (1996).
Sistem pemerintahan yang terpusat (sentralisasi), kesenjangan (regional disparity) antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, maupun kesenjangan antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia, krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 serta diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dengan titik berat pada desentralisasi dan otonomi daerah, menjadi momentum bagi daerah-daerah untuk menuntut pemekaran wilayah sebagai jalan keluar untuk meningkatkan perekonomian daerah dan mengejar ketertinggalan pembangunan. Menurut Butt (2010), perubahan politik di Indonesia ditandai jatuhnya rezim orde baru dan krisis moneter tahun 1998 mengubah Indonesia dari salah satu negara paling otoriter dan terpusat di dunia menjadi salah satu negara paling demokratis dan terdesentralisasi. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah mendorong berkembangnya jumlah propinsi/kabupaten/kota (Tabel 1). Tabel 1 Perkembangan Jumlah Daerah Otonom Baru Hasil Pemekaran
(DOHP) di Indonesia tahun 1999-2013
Tahun Propinsi Kab Kota Jumlah Keterangan
Sebelum 1999 26 234 59 319 Masih mengacu pada U.U. No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
1999 2 34 9 45
2000 3 - - 3
Mengacu U.U. No.22/99 tetapi belum berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000.
2001 - - 12 12 Mengacu U.U. No.22 Tahun
1999 dan PP No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
2002 1 33 4 38
2003 - 47 2 49
2004 1 - - 1
2007 - 21 4 25 Berdasarkan PP. No. 129 Tahun 2000.
2008 - 27 3 30 Sejak Nopember 2008 pemekaran wilayah sudah berdasarkan PP. No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
2009 - 2 - 2
2012 1 4 - 5
2013 - 7 - 7
DOHP Pasca UU. No.
22 Tahun 1999 8 175 34 217
Total Propinsi, Kab/ Kota
s.d. Tahun 2013 34 409 93 536
Sumber : Juanda (2007), Pramusinto (2010) dalam Kuncoro (2012), Depdagri (2009) dalam Ratnawati (2010), Kemendagri (2013).
Tabel 1 menunjukkan terjadi penambahan jumlah Daerah Otonom Baru (DOB) yang cukup signifikan selama kurun waktu 14 tahun , dimana dari total 536 (propinsi, kabupaten/kota) 7 propinsi dan 196 Kabupaten/Kota hasil pemekaran, sebagian besar yaitu 6 provinsi (85%) dan 185 Kabupaten/Kota (94%) terjadi pemekaran diluar Jawa (Jewang 2009), yaitu Pulau Sumatera 75 daerah otonom hasil pemekaran (DOHP), Nusa Tenggara 11 DOHP, Kalimantan 25 DOHP, Sulawesi 33 DOHP, Maluku dan Papua 45 DOHP serta Pulau Jawa 9
(27)
3
DOHP (Kemendagri 2011). Dalam perspektif ekonomi, kurangnya pemekaran wilayah di Jawa karena daerah-daerah Jawa relatif maju dan tak mengalami masalah ketidakadilan ekonomi akibat kebijakan pusat sehingga tidak melihat pemekaran sebagai pilihan membangun perekonomiannya dan menjadikan birokrasi negara sebagai sektor ekonomi, dan secara sosio-politik, di Jawa hampir tidak ada satuan etnik/subetnik yang belum terwujud sebagai suatu entitas administrasi modern (Jewang 2009).
Mengacu dari grand design penataan daerah sampai tahun 2025, diestimasi penambahan jumlah maksimum daerah otonom sebanyak 11-16 provinsi dan 54 daerah otonom kabupaten/kota, maka terlihat bahwa pemekaran wilayah masih terus berlanjut (Partnership 2011). Menurut Charras (2005) dalam Booth (2011), proses desentralisasi dan penambahan provinsi baru, kabupaten dan unit pemerintah daerah yang lebih rendah di luar Jawa adalah reaksi terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang dirasakan. Lebih lanjut disebutkan bahwa perubahan ini adalah hasil dari suatu kompleksitas kekuatan politik, sosial - budaya dan ekonomi yang muncul setelah pemerintahan Soeharto berakhir. Realitas kesenjangan pembangunan wilayah (regional disparity) maupun ketidakadilan dan ketimpangan dalam hal pemerataan hasil pembangunan
(regional inequality) telah menimbulkan dorongan dan tuntutan yang kuat kepada daerah-daerah untuk melakukan pemekaran semakin sukar untuk dibendung perkembangannya.
Menurut Juanda (2007) pemberlakuan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi membuka peluang bagi provinsi, kabupaten/kota untuk melakukan pemekaran wilayah, dengan alasan meningkatkan pelayanan publik, mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, mendekatkan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan sosial kemasyarakatan, meningkatkan prakarsa dan peran serta masyarakat serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun ternyata pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Lebih lanjut disebutkan, adanya tuntutan pemekaran wilayah untuk menunjukkan kemampuan menggali potensi wilayah, maka banyak daerah menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), serta pelayanan publik semakin buruk, menyebabkan terjadinya ekonomi daerah biaya tinggi (high cost economic) dan menghambat kegiatan usaha dan investasi baru (Fitrani et al. 2005).
Perkembangan jumlah kabupaten/kota hasil pemekaran yang cukup pesat disatu sisi membebani anggaran namun disisi lain menunjukkan kinerja perkembangan ekonomi yang baik. Kajian Yulistiani et. al. (2007) berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita terhadap 114 kabupaten pemekaran dibandingkan daerah induknya menunjukkan ada 60 kabupaten pemekaran pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dan 54 kabupaten pemekaran pertumbuhan ekonominya lebih rendah dari daerah induknya. Dalam konteks tersebut, menunjukkan bahwa pemekaran wilayah memberikan dampak pembangunan ekonomi pada daerah pemekaran, kondisi tersebut memacu adanya pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya diberbagai daerah, yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu daerah dalam mempercepat perubahan
(28)
struktur perekonomian daerah dari perekonomian yang terbelakang menuju perekonomian daerah yang lebih dinamis dan berkembang.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong terbentuknya propinsi, kabupaten dan kota sebagai suatu wilayah, dan kondisi ini menciptakan perbedaan antara daerah propinsi, kabupaten dan kota pemekaran tersebut, yaitu ada daerah yang penduduk/kegiatan terkonsentrasi pada suatu tempat dan ada juga yang kurang terkonsentrasi. Menurut Tarigan (2005), tempat yang terkonsentrasi tersebut dikenal dengan berbagai istilah, kota, pusat perdagangan, pusat industri, simpul industri, pusat perdagangan, daerah perkotaan atau daerah nodal. Sedang daerah yang diluar pusat konsentrasi dinamakan dengan berbagai istilah seperti daerah pedalaman, daerah pertanian, daerah pedesaan atau disebut sebagai wilayah belakang (hinterland). Sutikno dan Maryunani (2007) menyebutkan fenomena terciptanya daerah nodal tidak hanya diwilayah propinsi, namun terjadi diwilayah kabupaten/kota, dimana biasanya pusat kegiatan ekonomi terjadi di daerah kota. Untuk kawasan kabupaten/kota fenomena tersebut khususnya terjadi pada kabupaten-kabupaten yang mempunyai wilayah yang luas. Kabupaten dengan wilayah yang luas biasanya membagi dua wilayah secara administratif, wilayah kota (kotamadya) dan wilayah kabupaten. Wilayah kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (pusat pertumbuhan), sedang kabupaten sebagai daerah hinterland.
Proses desentralisasi dan otonomi daerah memberikan dampak positif bagi pengembangan wilayah yaitu mempercepat perkembangan ekonomi kabupaten/ kota yang baru dibentuk (Muta’ali 2011). Simangunsong (2011), menyatakan sejatinya pemekaran daerah berdampak positif bagi tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru. Pemekaran wilayah sebagai salah satu bentuk pengembangan wilayah disatu sisi akan mendorong pertumbuhan ekonomi disisi lain menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang juga akan diikuti oleh pembangunan wilayah. Kegiatan pembangunan tersebut berupa pembangunan pada infrastruktur, transportasi, komunikasi dan kelembagaan sosial yang meningkatkan daya tarik daerah.
Implikasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat adalah, pada satu sisi produk yang ada dari pusat pertumbuhan akan digunakan pada kegiatan ekonomi yang ada pada daerah sekitarnya, sedangkan sisi lainnya hasil dari kegiatan ekonomi yang ada di daerah sekitar tersebut akan mempunyai peluang untuk digunakan pada pusat pertumbuhan. Kondisi ini akan menciptakan hubungan timbal balik yang akan menjadi generator bagi pertumbuhan perekonomian daerah (Sagala 2009). Sebagai salah satu bentuk pengembangan wilayah, pemekaran wilayah diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antar wilayah (regional disparity), serta dapat menyeimbangkan pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah (Muta’ali 2011). Hirschman (1958) dalam Dawkins (2003), menyatakan bahwa pembangunan terpolarisasi (polarized development) dapat memberikan manfaat bagi wilayah pertumbuhan dan daerah belakang/daerah sekitarnya.
Pemekaran wilayah merupakan fenomena pembentukan propinsi, kabupaten dan kota dari kondisi diatas, dimana Kota Baubau dan Kota Tasimalaya sebagai kota hasil pemekaran potensial menjadi wilayah nodal maupun sebagai pusat pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat memberikan dampak penyebaran (spread effect) maupun sebagai generator untuk mendukung kegiatan perekonomian wilayah daerah-daerah hinterland. Studi Sang-arun (2012) pada 4 wilayah di
(29)
5
Thailand menemukan kebijakan desentralisasi dengan strategi pusat-pusat pertumbuhan telah meningkatkan dan mengembangkan hubungan ekonomi antara pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan pertumbuhan daerah sekitarnya. Dampak dari pusat pertumbuhan regional sebagai pendorong pertumbuhan sub-regional, serta sebagian besar faktor pembangunan pusat pertumbuhan regional berkorelasi positif dengan pertumbuhan sub-region, perkembangan spasial pusat-pusat pertumbuhan regional telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang positif, walaupun pertumbuhan ini belum merata.
Mengacu pada studi Sang-arun (2012), penelitian ini dilakukan pada dua kota hasil pemekaran yaitu Kota Bau-Bau dan Kota Tasimalaya untuk dianalisis sejauhmana kebijakan desentralisasi yang dilaksanakan di Indonesia dengan strategi pemekaran wilayah telah mampu menumbuhkan dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah sehingga mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi bagi daerah sekitarnya. Otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah bagi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya, menjadi peluang dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan ekonomi daerah. Diharapkan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya sesuai dengan terhadap kegiatan ekonomi masyarakat adalah hasil kegiatan dan produksi dipakai oleh kegiatan ekonomi yang berada daerah hinterland, sedangkan sisi lainnya adalah kegiatan dan produksi daerah hinterland dipakai untuk kegiatan ekonomi yang ada di pusat pertumbuhan. Sebagai kota pemekaran dalam kurun waktu 10 tahun setelah pemekaran yaitu tahun 2003-2013 perkembangan perekonomian wilayah khususnya PDRB perkapita mengalami pertumbuhan yang pesat, terlihat dari rata-rata PDRB perkapita Kota Baubau sebesar Rp.5.498.911,79 juta lebih besar jika dibandingkan dengan Kab. Buton Rp.2.856.250,12 juta, Muna Rp.4.159.772,19 juta, Wakatobi Rp. 2.698.208,54 juta dan Bombana Rp.3.095.969,85 juta namun masih dibawah Kab. Buton Utara Rp.6.947.994,67 juta (Tabel 2).
Tabel 2 Perkembangan Rata-Rata PDRB Perkapita Kab/Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2003-2013
Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan
Rata-Rata PDRB Perkapita Tahun 2003-2013 (Kurun
waktu 10 tahun)
Kabupaten/Kota Priangan Timur
Rata-Rata PDRB Perkapita Tahun 2003-2013 (Kurun
waktu 10 tahun)
Kota Bau-Bau 5.498.911,79 Kota Tasikmalaya 6.156.109,12
Kab. Buton 2.856.250,12 Kab. Tasikmalaya 3.209.386,32
Kab. Buton Utara 6.947.994,67 Kab. Garut 4.628.514,29
Kab. Wakatobi 2.698.208,54 Kab. Ciamis 4.740.458,93
Kab. Muna 4.159.772,19 Kota Banjar 4.333.575,71
Kab. Bombana 3.095.969,85 Kab. Pangandaran -
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana (2009-2014) dan Kota Tasikmalaya, Kab: Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar (2009-2014) dan Kab. Pangandaran (2011-2014)
Tabel 2 memperlihatkan rata-rata PDRB perkapita kabupaten/Kota Priangan Timur, dimana dalam kurun waktu 10 tahun rata-rata PDRB perkapita Kota Tasikmalaya sebesar Rp.6.156.109,12 juta lebih besar dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) Kabupaten Tasikmalaya Rp.3.209.386,32 juta, Kabupaten Garut Rp.4.628.514,29 juta, Kabupaten Ciamis Rp.4.740.458,93 juta dan Kota Banjar Rp.4.333.575,71 juta.
(30)
Berdasarkan Tabel 2, pada Gambar 1 memperlihatkan pertumbuhan PDRB Perkapita Kota Baubau dalam kurun tahun 2003-2007 dan 2009-2013 mengalami pertumbuhan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan dibandingkan daerah sekitarnya, PDRB perkapita Kota Baubau pertumbuhannya lambat atau masih dibawah Kabupaten Buton Utara, namun terhadap 5 (lima) kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Muna, pertumbuhan PDRB perkapita Kota Baubau lebih tinggi (Gambar 1).
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana (2009-2014) dan Kota Tasikmalaya, Kab: Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar (2009-2014) dan Kab. Pangandaran (2011-2014)
Gambar 1 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013
Gambar 1 memperlihatkan Kota Tasikmalaya dalam kurun tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 pertumbuhan PDRB Perkapita Kota Tasikmalaya lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, dan Kota Banjar. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, sehingga perkembangan perekonomian wilayah Kota Baubau di wilayah Sultra Kepulauan dan Kota Tasikmalaya di wilayah Priangan Timur disatu sisi dapat memberikan efek penyebaran (spread effect) bagi pertumbuhan ekonomi dan menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah sekitarnya (hinterland) disisi lain kebijakan yang diambil di pusat pertumbuhan tersebut dapat menjadi generator untuk kegiatan ekonomi daerah sekitar. Berdasarkan data-data, posisi strategis dan kondisi diatas menunjukkan bahwa Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya memperlihatkan posisi perekonomian yang cukup strategis terhadap daerah sekitarnya (hinterland), maka perlu dianalisis potensi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai pusat pertumbuhan, sehingga akan memberikan efek penyebaran (spread effect) bagi perekonomian wilayah kabupaten/kota sekitarnya.
Perumusan Masalah
Pemekaran wilayah merupakan implikasi dari penerapan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999. Implementasi pemekaran wilayah sebagai suatu bentuk percepatan pembangunan
(31)
7
maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat memang tidak selalu memberikan dampak positif tetapi tidak dapat di katakan berdampak negatif terhadap perekonomian wilayah. Praktikno (2007) dalam Ratnawati (2009) mengatakan pemekaran wilayah memiliki “wajah ganda” yaitu ada sisi positif dan sisi negatif, dari sudut pandang kepentingan daerah atau kepentingan pusat, manfaat dan kerugian dari pemekaran wilayah tergantung dari sudut pandang siapa. Jika dari sudut pandang daerah, pemekaran wilayah memberikan dampak positif bagi perkembangan percepatan pembangunan (Nugroho 2011), jika dari sudut pandang pemerintah pusat pemekaran wilayah banyak mengalami kegagalan dalam implementasinya (Bappenas 2007).
Berbagai permasalahan yang timbul sejak pemekaran wilayah, Depdagri (2005), Bappenas (2007), (Ratnawati (2009), memberikan kesimpulan bahwa kinerja keuangan, pembiayaan, pembangunan daerah, aparat pemerintah, pengisian jabatan, kewilayahan (RTWR) daerah pemekaran belum memberikan dampak yang signifikan bagi daerah tersebut serta perlu mendapat perhatian dari Pemerintah untuk diperbaiki dan ditingkatkan, konflik ditingkat lokal, termasuk isu kesukuan dan/atau keagamaan. Konflik, perebutan wilayah dan masalah letak ibukota pemekaran, perebutan asset (Pamungkas 2007, Agustino dan Yussof 2008). Semangat kedaerahan untuk menonjolkan kesukuan tanpa mau berinteraksi dengan suku lain (Nugroho 2011). Dari sisi hukum fenomena muncul kecenderungan suatu daerah untuk mengatur segala yang ada di wilayah pemerintahan melalui perda sehingga terjadi euforia otonomi daerah, suatu daerah otonom baru terkadang membuat perda melampaui batas wilayahnya atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (Butt 2010).
Dibalik berbagai permasalahan (bad practice) yang ditimbulkan sebagaimana disebutkan diatas, pemekaran wilayah menghasilkan hal yang positif bagi daerah (best practice) seperti Kabupaten Jembrana dengan pembebasan biaya sekolah untuk sekolah negeri, pemberian beasiswa dari SD-SMA dan asuransi kesehatan masyarakat. Kabupaten Sragen yang sukses dengan kantor pelayanan terpadu. Kabupaten Musi Banyuasin menyediakan fasilitas kuliah gratis di Politeknik Sekayu dan Akademi Perawat Muba (Nugroho 2011). Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Palawan Riau dan Kabupaten Way Kanan Lampung banyak menarik investor, selain melimpah SDA daerah berhasil membangun sistem pelayanan satu atap. Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel pembangunan infrastrukturnya sampai pelosok pedesaan serta mampu memberikan subsidi pembangunan desa setiap desa Rp. 250 juta pertahun. Kota Metro Lampung berhasil mengembangkan sektor jasa seperti pendidikan dan perdagangan (Ratnawati 2009).
Selain pemekaran wilayah menghasilkan bad practice dan best practice
seperti yang disebutkan diatas, Booth (2011), Kuncoro (2002), Sjafrizal (1997), Nazara (1994) mengatakan bahwa pemekaran wilayah timbul karena isu pemerintahan yang sentralistik, kesenjangan pembangunan wilayah (regional disparity) dan pemerataan hasil pembangunan antara Jawa - luar Jawa maupun antara Kawasan Indonesia Timur dan Kawasan Indonesia Barat. Sehingga akibat ketimpangan regional (regional disparity) dapat dirasakan dalam pertumbuhan ekonomi rendah, maupun ketimpangan yang berkaitan dengan prasarana ekonomi, sosial politik dan pembangunan fisik lainnya. Prasetyantoko et. al. (2012) melihat ketimpangan pendapatan dan pengeluaran antar pulau (Papua, Maluku, Sulawesi,
(32)
Kalimantan, Bali-NusaTenggara, Jawa dan Sumatera) cenderung menurun tahun 2008 berkisar antara 0,3 dan 0,4 dan tidak satu indeks memperlihatkan lebih tinggi dari 0,5.
Terlepas dari berbagai problematik maupun dampak negatif yang ditimbulkan, pemekaran wilayah harus diapresiasi sebagai upaya untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan, meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan perekonomian wilayah, serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Juanda dan Tuerah 2007). Jika dilihat dari aspek kewilayahan pemekaran wilayah mampu membuka dan meningkatkan ketersediaan infrastruktur khususnya di daerah-daerah terisolir yang berada diluar pulau Jawa, memberi peluang kepada daerah untuk mengelola potensi sumber daya alam secara optimal, mengurangi kesenjangan/ketimpangan regional (regional disparity), bahkan dapat mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru (Simangunsong 2011).
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah di revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, memberi peluang bagi Provinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat untuk melakukan pemekaran. Dalam kurun waktu 15 tahun Provinsi Sulawesi Tenggara telah memekarkan 8 kabupaten dan 1 kota, hingga sampai saat ini terdapat 12 kabupaten dan 2 kota, dimana sebelum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 berlaku terdapat 5 kabupaten/kota. Sedang Propinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 15 tahun memekarkan 1 propinsi, 2 kabupaten dan 4 kota sehingga sampai saat ini terdapat 17 kabupaten dan 9 kota. Proses pemekaran wilayah menurut Sutikno dan Maryunani (2007), merupakan fenomena dimana kabupaten dengan wilayah yang luas membagi dua wilayah secara administratif, wilayah kota (kotamadya) dan wilayah kabupaten. Wilayah kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (pusat pertumbuhan), sedangkan daerah kabupaten sebagai daerah hinterland.
Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan status kota administratif (kotif) dimekarkan masing-masing dari Kabupaten Buton dan Kabupaten Tasikmalaya tahun 2001. Sebagai kota pemekaran dengan proses transformasi (Kemendagri 2013), perkembangan perkonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya cukup signifikan jika dilihat dari PDRB Perkapita PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK), maupun pertumbuhan ekonomi. Gambar 2 dibawah memperlihatkan pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Bau-Bau pada awal pemekaran tahun 2003 sebesar 438 milyar, masih dibawah Kabupaten Buton (induk) sebesar 815 milyar dan Kabupaten Muna sebesar 921 milyar, sejak tahun
2007 PDRB ADH Konstan meningkat sebesar 586 milyar lebih besar
dibandingkan Kabupaten Buton (induk) sebesar 551 milyar dan beberapa kabupaten sekitarnya, namun masih dibawah Kabupaten Muna sebesar 896 milyar. Peningkatan PDRB ADH Konstan Kota Baubau terus meningkat dari tahun 2009 sebesar 700 milyar s.d. tahun 2013 sebesar 987 milyar. Dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland) lainnya yaitu Kabupaten Buton (induk) tahun 2009 sebesar 651 milyar s.d. 2013 sebesar 921 milyar, Kabupaten Buton Utara tahun 2009 sebesar 334 milyar s.d. tahun 2013 sebesar 472 milyar, Kabupaten Wakatobi tahun 2009 sebesar 234 milyar s.d. 2013 sebesar 342 milyar dan Kabupaten Bombana tahun 2009 sebesar 388 milyar s.d. tahun 2013 sebesar 539 milyar. Namun terhadap Kabupaten Muna merupakan salah satu daerah
(33)
9
hinterland PDRB ADH Konstantahun 2009 sebesar 1.041 triliyun sampai dengan tahun 2013 sebesar 1,37 triliyun, pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Bau-Bau masih berada dibawah Kabupaten Muna. Dari gambaran kondisi perekonomian dan perkembangan PDRB ADH Konstan Kota Baubau yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun secara umum menunjukkan adanya peningkatan kegiatan perekonomian di Kota Baubau (Gambar 2).
Sumber : BPS Kota Baubau, Kab. Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana (2009-2014)
Gambar 2 Pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah sekitarnya (hinterland) tahun 2003, 2007 dan 2009-2013.
Gambar 2 memperlihatkan perkembangan PDRB ADH Konstan 2000
Kota Tasikmalaya dimana pada awal pemekaran tahun 2003 PDRB ADH Konstan
Kota Tasikmalaya sebesar 2,69 triliyun dibandingkan dengan daerah sekitarnya
(hinterland) terhadap Kota Banjar sebesar 538 milyar PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya lebih besar, namun terhadap Kabupaten Tasikmalaya sebesar 4,03 triliyun, Kabupaten Garut sebesar 8,09 triliyun dan Kabupaten Ciamis sebesar 5,39 triliyun, PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya masih lebih kecil. PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya terus meningkat dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009-2013, yaitu tahun 2009 sebesar 3,66 triliyun sampai dengan tahun 2013 mengalami peningkatan 4,60 triliyun. Namun dibandingkan dengan 3 (tiga) kabupaten sekitarnya (hinterland) masing-masing Kabupaten Tasikmalaya tahun 2009 sebesar 5,29 triliyun meningkat sampai tahun 2013 sebesar 6,26 triliyun, Kabupaten Garut tahun 2009 sebesar 10,56 triliyun meningkat tahun 2013 sebesar 12,87 triliyun, dan Kabupaten Ciamis tahun 2009 sebesar 7,07 triliyun, meningkat tahun 2013 meningkat sebesar 8,61 triliyun PDRB ADHK Kota Tasikmalaya masih dibawah ke-3 (tiga) kabupaten tersebut.Namun jika dibandingkan dengan Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran, PDRB ADHK Kota Tasikmalaya lebih besar dari 2 (dua) daerah sekitarnya (hinterland) yaitu Kota Banjar tahun 2009 sebesar 712 milyar tahun 2013 sebesar 875 milyar dan Kabupaten Pangandaran tahun 2013 sebesar 2,36 triliyun.
Indikasi lain perkembangan perekonomian wilayah adalah pertumbuhan ekonomi. Gambar 3 memperlihatkan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau dari tahun 2003 (awal pemekaran), 2007 dan 2009-2013 mengalami peningkatan dari
(34)
tahun ke tahun. Jika dirata-ratakan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau dari tahun 2003-2013 sebesar 8,11 persen, lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton 7,53 persen dan Kabupaten Muna 7,22 persen, namun masih dibawah dari Kabupaten Buton Utara 8,61 persen, Kabupaten Wakatobi 9,88 persen dan Kabupaten Bombana 8,16 persen.
Jika dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi memperlihatkan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau antara tahun 2009 sebesar 10,79 persen dan tahun 2013 sebesar 8,22 persen menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi kabupaten hinterlandnya, yakni Kabupaten Buton (induk) 8,60 persen tahun 2009, tahun 2013 8,63 persen, Kabupaten Buton Utara sebesar 10,56 persen tahun 2009, tahun 2013 9,46 persen, Kabupaten Wakatobi sebesar 13,67 persen tahun 2009, tahun 2013 8,04 persen, Kabupaten Muna sebesar 7,81 persen tahun 2009, tahun 2013 7,23 persen, dan Kabupaten Bombana sebesar 7,74 persen tahun 2009, tahun 2013 8,86 persen. Untuk jelasnya perbandingan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : BPS Kota Baubau, Kab. Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana 2014) Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar (2009-2014) dan Kab. Pangandaran (2011-(2009-2014).
Gambar 3 Pertumbuhan ekonomi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah sekitarnya (hinterland) tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Gambar 3 memperlihatkan pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya dari tahun 2003 (awal pemekaran), 2007 dan 2009-2013. Dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Jika dirata-ratakan pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya dari tahun 2003 (awal pemekaran), 2007 dan 2009-2013 sebesar 5,64 persen lebih besar dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Tasikmalaya 4,18 persen, Kabupaten Garut 4,75 persen, Kabupaten Ciamis 4,88 persen dan Kota Banjar 5,07 persen.
Melihat berbagai indikator makro ekonomi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya yang menunjukkan perkembangan positif dari tahun ke tahun, ini membuktikan bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilaksanakan pemerintah telah mendorong dan memberikan dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan perkonomian wilayah kedua kota tersebut. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah yang dilaksanakan justru membuat perekonomian wilayah Kota Bau-Bau
(35)
11
dan Kota Tasikmalaya lebih berkembang perekonomiannya dibandingkan sebelum ditetapkan sebagai salah satu daerah otonom baru, sehingga dengan tumbuh dan berkembangannya perekonomian wilayah Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya dapat memberikan efek penyebaran (spread effect) bagi pertumbuhan ekonomi daerah-daerah hinterland.
Studi Sang-arun (2012) pada 4 wilayah di Thailand melihat bahwa kebijakan desentralisasi telah meningkatkan strategi pusat-pusat pertumbuhan dengan mengembangkan hubungan ekonomi antara pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan pertumbuhan daerah hinterland. Studi ini menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi yang tepat akan menyebarkan pertumbuhan pusat-pusat pertumbuhan regional dan mengarah pada pengembangan daerah sekitarnya. Sehubungan studi Natapon (2012), Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya sebagai kota yang baru hasil pemekaran tahun 2001, dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah yang begitu pesat sehingga meningkatkan hubungan/interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah bagi daerah sekitarnya, kondisi tersebut diharapkan dapat mendorong dan mengembangkan Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan pengaruh bagi daerah-daerah sekitarnya.
Pemekaran wilayah sebagai pemecahan wilayah dari satu kabupaten menjadi dua atau lebih kabupaten, dilihat dari sisi teori Christaller (Harmantyo 2007), disatu sisi terbentuknya daerah baru kabupaten dapat menjadi suatu lokasi pusat (central place) disisi lain kota sebagai daerah nodal. Keduanya, lokasi pusat dan wilayah nodal pada dasarnya melayani daerah belakang (hinterland),
mendekatkan jarak pelayanan dan terutama dapat memberikan efek penyebaran bagi daerah sekitarnya. Disisi lain pemekaran wilayah telah membuka daerah-daerah baru sehingga arus perdagangan antar daerah-daerah, pergerakan perekonomian antar daerah semakin terbuka kondisi ini akan membuat suatu wilayah yang sebelumnya terbelakang akan berkembang.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan penelitian adalah : 1. Bagaimanakah perkembangan struktur perekonomian wilayah Kota Baubau
dan Kota Tasikmalaya dan sektor unggulan apakah yang menjadi daya saing perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan dibandingkan dengan daerah sekitarnya?
2. Bagaimana perkembangan wilayah dan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya?
3. Apakah penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah khususnya faktor-faktor pembentukan daerah cukup efektif di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya?
4. Bagaimana persepsi stakeholder tentang kebijakan pemekaran wilayah dan apakah pemekaran wilayah dapat memberikan manfaat bagi daerah?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan penelitian diatas, tujuan umum penelitian ini yaitu ingin mengkaji pemekaran wilayah sebagai pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi studi di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan
(36)
Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Sedang tujuan khusus penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Menganalisis perkembangan struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya serta sektor unggulan yang menjadi daya saing perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sehingga potensial menjadi pusat-pusat pertumbuhan dibandingkan dengan daerah sekitarnya. 2. Menganalisis perkembangan wilayah dan interaksi ekonomi dan daya tarik
wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya. 3. Mengevaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah khususnya faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya.
4. Menganalisis persepsi stakeholder dan merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan evaluasi, masukan dan rekomendasi bagi Pemerintah dalam membuat kebijakan pemekaran wilayah yang lebih terencana.
2. Memberikan informasi bahwa pemekaran wilayah dapat memberikan nilai tambah (value added) dan manfaat (benefit) bagi masyarakat dalam rangka untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan sosial kemasyarakatan serta merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Dari sisi pengembangan ilmu dapat memperkaya kajian penerapan
desentralisasi dan otonomi daerah sehubungan dengan pusat-pusat pertumbuhan.
4. Sebagai bahan kajian bagi peneliti dan pemerhati masalah otonomi daerah dan pembangunan wilayah serta bagi penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini mencakup 2 (dua) kota pemekaran tahun 2001 yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya yang memiliki karakteristik sebagai pusat pertumbuhan dan kutub pertumbuhan. Kedua kota pada awalnya adalah kota administratif (kotif), setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 kedua kota administratif (kotif) ini dimekarkan dari kabupaten induknya masing-masing pada tahun 2001melalui proses transformasi (Kemendagri 2011).
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang efektif mulai berlaku pada tahun 2001. Pemekaran wilayah pada tahun 2001 terdapat beberapa daerah yang mekar yaitu Kota Lhoksumawe, Langsa, Padangsidempuan, Prabumulih, Lubuk Linggau, Pager Alam, Tanjung Pinang, Cimahi, Batu, Sikawang, Bau-Bau dan Tasikmalaya.
Pemilihan dua kota sebagai tempat penelitian karena kedua kota hasil pemekaran ini masing-masing berada pada suatu kawasan yang memiliki daerah
hinterland. Kota Baubau berada pada suatu kawasan yang disebut Sulawesi Tenggara (Sultra) Kepulauan yang dikelilingi oleh beberapa kabupaten
(37)
13
disekitarnya, Kota Tasikmalaya berada pada suatu kawasan yang disebut Priangan Timur yang dikelilingi oleh beberapa kabupaten disekitarnya. Alasan lain pemilihan kedua kota tersebut karena Kota Baubau merupakan kota pesisir/kepulauan dan Kota Tasikmalaya merupakan kota daratan, kedua kota tersebut memiliki karakteristik sebagai pusat pertumbuhan yang mempunyai daerah hinterland.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diuraikan diatas, hipotesis penelitian yang dibangun dan dirumuskan dalam penelitian ini adalah : 1. Sebagai kota hasil pemekaran Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial
berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
2. Perkembangan perekonomian Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dapat menjadi daya tarik dan berpengaruh terhadap daerah sekitarnya (hinterland). 3. Kebijakan pemekaran wilayah memberikan manfaat bagi peningkatan
pembangunan, perekonomian wilayah dan kesejahteraan masyarakat.
Kebaruan (Novelty) Penelitian
Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah :
1. Dari sisi metodologi, dengan menggunakan model gravitasi terintegrasi dengan analisis tipologi klasen, indeks diversitas entropi, loqation quotient, shift share
dan skalogram untuk menganalisis interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah kota terhadap daerah sekitarnya (hinterland).
2. Dari sisi substansi, penelitian ini dapat mengkatagorikan kota hasil pemekaran dengan pendekatan pusat pertumbuhan (growth center) dan kutub pertumbuhan
(growth pole).
3. Dari sisi kebijakan, mengevaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah khususnya sebelas faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran wilayah.
4. Penelitian ini dapat mengkontraskan hasil analysis hierarchy process dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah berdasarkan persepsi masyarakat
(people driven) dengan 11 (sebelas) faktor/indikator pemekaran wilayah. 5. Alat analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat menilai bagaimana
kebijakan yang telah ditetapkan oleh stakeholder dengan growth center dan
growth pole.
6. Penelitian ini dapat menunjukkan bagaimana sinergisme antar wilayah dengan pusat pertumbuhan (growth center) dan kutub pertumbuhan (growth pole).
(38)
2 TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teoritik Pemekaran WilayahTeori – teori tentang lokasi dan wilayah telah mengalami kemajuan dengan pesat. Berbagai macam teori lokasi dan wilayah yang dikemukakan oleh para ahli seperti Von Thunen (1826), Webber (1909), Christaller (1933), Losch (1940), Perroux (1955) dan Boudeville (1961) dan telah memberikan kontribusi dan pengaruhnya yang signifikan terhadap pengembangan wilayah. Teori lokasi dan wilayah berhubungan dengan keruangan. Landasan dari lokasi adalah ruang, tanpa ruang maka tidak mungkin ada lokasi. Dalam studi tentang wilayah yang dimaksud dengan ruang adalah permukaan bumi baik yang ada diatasnya maupun yang ada dibawahnya sepanjang manusia masih bisa menjangkaunya (Tarigan, 2005).
Menurut Rustiadi et. al, (2009) bahwa proses perencanaan pengembangan wilayah selalu berhadapan dengan objek-objek perencanaan yang memiliki sifat keruangan (spasial). Oleh karenanya dalam analisis perencanaan wilayah, analisis yang menyangkut objek-objek dalam sistem keruangan (analisis spasial) menjadi sangat penting. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemekaran wilayah sebagai suatu proses pemecahan wilayah (dari satu wilayah membentuk wilayah lain) memiliki sifat-sifat keruangan. Mengacu dari berbagai teori lokasi dan wilayah tersebut maka ide dasar dari konsep pemekaran wilayah jika mengacu pada teori-teori lokasi dan wilayah pada umumnya lebih banyak dipengaruhi dan diadopsi dari model atau teori lokasi pusat (central place theory).
Teori lokasi pusat (central place theory) pertama kali di kemukakan oleh Walter Christaller (1933), kemudian diperluas dan dikembangkan oleh August Losch (1940). Teori lokasi pusat berasumsi bahwa suatu tempat merupakan pusat pemasaran atau pusat pelayanan yang membentuk suatu hirarki yang teratur. Untuk itu Christaller memperkenalkan konsep threshold dan range. Berkaitan dengan fungsinya sebagai pasar yang menyediakan barang dan jasa bagi kebutuhan penduduk di sekitarnya, masing-masing pusat kegiatan akan memiliki dua kondisi yang berkaitan dengan ukuran dan luasan sebagai berikut : threshold
yakni ukuran atau besaran minimum volume pasar yang dipersyaratkan untuk menyelenggarakan barang dan jasa tertentu dan range yakni jarak maksimum bagi konsumen untuk membeli barang dan jasa. Jarak yang terlalu jauh dapat menyebabkan konsumen tidak lagi berminat membeli barang/jasa tersebut. Dari pusat kegiatan besaran range menjadi batasan bagi luas daerah pelayanan pasar (Setiono, 2011).
Karena range memiliki ukuran layanan dan batas jarak sehingga akan menciptakan/menumbuhkan range yang baru dan seterusnya akibatnya range
akan saling bersinggungan sisinya luarnya sekalipun tidak ada kompetisi antar produsen namun ada wilayah/daerah/konsumen yang tidak terlayani, sebaliknya jika range diperbesar maka akan terjadi kompetisi antar produsen dalam melayani konsumen, dan dapat menurunkan keuntungan dari sisi wilayah atau jika range
diperbesar maka akan terjadi tumpang tindih (overlaping) wilayah pelayanan. Untuk itu Christaller memperkenalkan range yang ideal diubah dalam bentuk heksagonal, dimana produsen bisa mengoptimalkan keuntungan, konsumen dapat terlayani dengan harga yang murah dan jarak yang dekat. Dari sisi wilayah
(1)
Lampiran 6 : Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya
Data
No Kecamatan
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
SMA Pesantren Perguruan Tinggi Kesehatan Fasilitas Terminal Jumlah Pasar Jumlah Bank Sentral Bank Kondisi Jalan Jumlah Hotel Jumlah Mall
1 Kota Tasikmalaya 649885 85 230 26 101 5 7 45 1 56 34 4
2 Kab. Tasikmalaya 1692432 119 700 6 70 2 7 24 0 30 11 0
3 Kab. Ciamis 1789121 31 678 16 251 2 9 140 0 40 227 0
4 Kota Banjar 203512 17 0 4 44 1 8 7 0 80 11 0
5 Kab. Garut 2502410 298 1166 12 279 7 12 88 0 39 126 0
Jumlah 550 2774 64 745 17 43 304 1 245 409 4
Jumlah wilayah total (f) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Jlh yg memiliki fasilitas (n) 5 4 5 5 5 5 5 1 5 5 1
Maksimum 298 1166 26 279 7 12 140 1 80 227 4
Std Dev 112,85 453,63 8,79 108,25 2,51 2,07 53,64 0,45 20,01 94,00 1,79 Bobot (f/n) 1,00 1,25 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 5,00 1,00 1,00 5,00
(2)
Lampiran 6 Lanjutan : Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya
Proses 1 : Kapasitas dan Invers
No Kecamatan
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
SMA Pesantren Perguruan Tinggi
Fasilitas
Kesehatan Terminal
Jumlah Pasar
Jumlah Bank
Bank Sentral
Jumlah Hotel
Jumlah Mall
1 Kota Tasikmalaya 649885 0,1308 0,3539 0,0400 0,1554 0,0077 0,0108 0,0692 0,0015 0,0523 0,0062
2 Kab. Tasikmalaya 1692432 0,0703 0,4136 0,0035 0,0414 0,0012 0,0041 0,0142 0,0000 0,0065 0,0000
3 Kab. Ciamis 1789121 0,0173 0,3790 0,0089 0,1403 0,0011 0,0050 0,0783 0,0000 0,1269 0,0000
4 Kota Banjar 203512 0,0835 0,0000 0,0197 0,2162 0,0049 0,0393 0,0344 0,0000 0,0541 0,0000
5 Kab. Garut 2502410 0,1191 0,4660 0,0048 0,1115 0,0028 0,0048 0,0352 0,0000 0,0504 0,0000
Jumlah 0,4211 1,6124 0,0769 0,6648 0,0177 0,0640 0,2312 0,0015 0,2901 0,0062
Jumlah wilayah total (f) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Jlh yg memiliki fasilitas (n) 5 4 5 5 5 5 5 1 5 1
Minimum 0,01733 0,00000 0,00355 0,04136 0,00112 0,00414 0,01418 0,00000 0,00650 0,00000
Maksimum 0,13079 0,46595 0,04001 0,21620 0,00769 0,03931 0,07825 0,00154 0,12688 0,00615
Std Dev 0,04 0,19 0,02 0,06 0,00 0,02 0,03 0,00 0,04 0,00
Bobot (f/n) 1,00 1,25 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 5,00 1,00 5,00
(3)
Lampiran 6 Lanjutan : Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya
Proses 2 : Pembobotan
No Kecamatan
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
SMA Pesantren Perguruan Tinggi
Fasilitas
Kesehatan Terminal
Jumlah Pasar
Jumlah Bank
Bank Sentral
Jumlah Hotel
Jumlah Mall
1 Kota Tasikmalaya 649885 0,1308 0,2831 0,0400 0,1554 0,0077 0,0108 0,0692 0,0003 0,0523 0,0012
2 Kab. Tasikmalaya 1692432 0,0703 0,3309 0,0035 0,0414 0,0012 0,0041 0,0142 0,0000 0,0065 0,0000
3 Kab. Ciamis 1789121 0,0173 0,3032 0,0089 0,1403 0,0011 0,0050 0,0783 0,0000 0,1269 0,0000
4 Kota Banjar 203512 0,0835 0,0000 0,0197 0,2162 0,0049 0,0393 0,0344 0,0000 0,0541 0,0000
5 Kab. Garut 2502410 0,1191 0,3728 0,0048 0,1115 0,0028 0,0048 0,0352 0,0000 0,0504 0,0000
Jumlah 0,4211 1,2899 0,0769 0,6648 0,0177 0,0640 0,2312 0,0003 0,2901 0,0012
Jumlah wilayah total (f) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Jlh yg memiliki fasilitas (n) 5 4 5 5 5 5 5 1 5 1
Minimum 0,0173 0,0000 0,0035 0,0414 0,0011 0,0041 0,0142 0,0000 0,0065 0,0000
Maksimum 0,1308 0,3728 0,0400 0,2162 0,0077 0,0393 0,0783 0,0003 0,1269 0,0012
Std Dev 0,04 0,15 0,02 0,06 0,00 0,02 0,03 0,00 0,04 0,00
Bobot (f/n) 1,00 1,25 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 5,00 1,00 5,00
(4)
Lampiran 6 Lanjutan : Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya
Proses 3 : Standarisasi
No Kecamatan
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
SMA Pesantren Perguruan Tinggi
Fasilitas
Kesehatan Terminal
Jumlah Pasar
Jumlah Bank
Bank Sentral
Jumlah Hotel
Jumlah Mall
1 Kota Tasikmalaya 649.885 0,113465 0,283127 0,036462 0,114052 0,006576 0,006635 0,055062 0,000308 0,045817 0,001231 2 Kab. Tasikmalaya 1.692.432 0,052986 0,330885 0,000000 0,000000 0,000064 0,000000 0,000000 0,000000 0,000000 0,000000 3 Kab. Ciamis 1.789.121 0,000000 0,303166 0,005398 0,098932 0,000000 0,000894 0,064070 0,000000 0,120378 0,000000
4 Kota Banjar 203.512 0,066206 0,000000 0,016110 0,174843 0,003796 0,035174 0,020215 0,000000 0,047551 0,000000
5 Kab. Garut 2.502.410 0,101758 0,372761 0,001250 0,070132 0,001679 0,000659 0,020985 0,000000 0,043852 0,000000
Jumlah 0,3344 1,2899 0,0592 0,4580 0,0121 0,0434 0,1603 0,0003 0,2576 0,0012
Jumlah wilayah total (f) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Jlh yg memiliki fasilitas (n) 4 4 4 4 4 4 4 1 4 1
Minimum 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
Maksimum 0,11347 0,37276 0,03646 0,17484 0,00658 0,03517 0,06407 0,00031 0,12038 0,00123
Std Dev 0,04 0,15 0,02 0,06 0,00 0,02 0,03 0,00 0,04 0,00
Bobot (f/n) 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25 5,00 1,25 5,00
(5)
Lampiran 6 Lanjutan : Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya
Hirarki
No Kecamatan
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
SMA Pesantr
en
Perguru an Tinggi
Fasilita s Kesehat
an
Termin al
Jumlah Pasar
Jumlah Bank
Bank Sentral
Jumlah Hotel
Jumlah
Mall IPK
Juml ah Jenis
Hierarki Rata-rata StDev
1 Kota Tasikmalaya 649.885 0,11347 0,28313 0,03646 0,11405 0,00658 0,00664 0,05506 0,00031 0,04582 0,00123 0,66274 10 Hirarki 1 0,0874
2 Kab. Tasikmalaya 1.692.432 0,05299 0,33088 0,00000 0,00000 0,00006 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,38393 3 Hirarki 3 0,1041
3 Kab. Ciamis 1.789.121 0,00000 0,30317 0,00540 0,09893 0,00000 0,00089 0,06407 0,00000 0,12038 0,00000 0,59284 6 Hirarki 2 0,0973
4 Kota Banjar 203.512 0,06621 0,00000 0,01611 0,17484 0,00380 0,03517 0,02022 0,00000 0,04755 0,00000 0,36389 7 Hirarki 3 0,0536
5 Kab. Garut 2.502.410 0,10176 0,37276 0,00125 0,07013 0,00168 0,00066 0,02099 0,00000 0,04385 0,00000 0,61308 8 Hirarki 2 0,1150
Jumlah 0,2327 1,2899 0,0580 0,2738 0,0104 0,0427 0,1393 0,0003 0,2137 0,0012
Jumlah wilayah total (f) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 STDEV 0,138898
Jlh yg memiliki fasilitas (n) 3 4 4 4 4 4 4 1 4 1 AV. IPK 0,523296
Minimum 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 Sum 0,662194
Maksimum 0,1135 0,3309 0,0365 0,1748 0,0066 0,0352 0,0641 0,0003 0,1204 0,0012
Std Dev 0,05 0,15 0,02 0,07 0,00 0,02 0,03 0,00 0,05 0,00
Bobot (f/n) 1,67 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25 5,00 1,25 5,00
(6)