Jenis dan Tingkat Serangan Parasit Gastrointestinal Kuda (Equus coballus) di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Provinsi Sumatera Utara

(1)

31

Lampiran 1. Tabel Rata-rata Jumlah Telur Cacing (EPG)

Kode Jenis

Kelamin Umur

Parasit Gastrointestinal Jumlah Telur Cacing (EPG) Rata-Rata (EPG) U1 U2 U3

K 1 Betina 3 Bulan Negatif - - - -

K 2 Jantan 1 Tahun Strongyloides

westeri 162 143 106 137

K 3 Betina 2 Bulan Haemoncus sp. 1362 1472 1263 1365 K 4 Betina 6 Tahun Strongyloides

westeri 67 73 51 63

K 5 Betina 8 Tahun Haemonchus sp. 672 814 598 694 Ostertagia sp. 124 143 162 143 K 6 Betina 3 Bulan Ascaris equorum 32 36 34 34

Strongyloides

westeri 156 149 158 154

K 7 Betina 5 tahun Haemonchus sp. 436 387 411 411

K 8 Betina 1,5 Bulan Negatif - - - -

K 9 Betina 6 Tahun Haemonchus sp. 714 536 702 650 K 10 Betina 1,5 Tahun Strongyloides

westeri 183 162 177 174

Paramphistomum

sp. 59 72 43 58

K 11 Betina 4 Tahun Haemonchus sp. 2534 2561 2513 2536

K 12 Betina 10 Tahun Negatif - - - -

K 13 Betina 10 tahun Negatif - - - -

K 14 Betina 7 Bulan Haemonchus sp. 1974 1864 1613 1817

K 15 Betina 6 Tahun Negatif - - - -

K 16 Betina 5 Tahun Haemonchus sp. 2614 2598 2613 2610 K 17 Betina 8 Bulan Haemonchus sp. 467 398 446 437 K 18 Betina 3 tahun Haemonchus sp. 213 246 178 212

Paramphistomum

sp. 5 7 6 6

K 19 Jantan 10 Bulan Negatif - - - -

K 20 Jantan 13 Tahun Negatif - - - -

K 21 Betina 7 Tahun Negatif - - - -

K 22 Betina 4 Tahun Negatif - - - -

K 23 Betina 8 Tahun Haemonchus sp. 572 493 482 515 K 24 Betina 8 Tahun Haemonchus sp. 214 366 371 317 K 25 Betina 6 Tahun Haemonchus sp. 618 593 631 614 K 26 Betina 6 Bulan Strongyloides

westeri 174 165 181 173

K 27 Betina 4 Tahun Paramphistomum

sp. 64 53 58 58

K 28 Betina 9 Tahun Haemonchus sp. 2631 2714 2665 2670

K 29 Betina 10 Tahun Negatif - - - -


(2)

Lampiran 2. Tabel Tingkat Infeksi Parasit Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Umur Jumlah (ekor)

Jenis Kelamin

Tingkat Infeksi

H O S A P

Anakan (>2 thn)

10 Jantan - - Ringan - -

- - - - -

Betina - - - - -

Ringan - - - -

- - Ringan Ringan -

- - - - -

- - Ringan - Ringan

Ringan - - - -

Ringan - - - -

- - Ringan - -

Dewasa (>2 thn)

20 Jantan - - - - -

Betina - - Ringan - -

Ringan Ringan - - -

Ringan - - - -

Ringan - - - -

Sedang - - - -

- - - - -

- - - - -

- - - - -

Sedang - - - -

Ringan - - - Ringan

- - - - -

- - - - -

Ringan - - - -

Ringan - - - -

Ringan - - - -

- - - - Ringan

Sedang - - - -

- - - - -

Ringan - - - -

Keterangan :

H : Haemonchus sp. O : Ostertagia sp.

S : Strongyloides westeri A : Ascaris equorum P : Paramphistomum sp


(3)

33

Lampiran 3. Perhitungan Prevalensi Parasit Gastrointestinal

Prevalensi = Jumlah hewan ternak yang terserang parasit x 100% Jumlah hewan ternak yang diperiksa

A. Prevalensi Kuda Anakan (< 2 tahun)

Haemonchus sp. = 3 x 100% = 30 %

10

Strongyloides westeri = 4 x 100% = 40 % 10

Ascaris equorum = 1 x 100% = 10 %

10

Paramphistomum sp. = 1 x 100% = 10 % 10

Ostertagia sp. = 0 x 100% = 0 %

10

B. Prevalensi Kuda Dewasa (>2 tahun)

Haemonchus sp. = 11 x 100% = 55 %

20

Strongyloides westeri = 1 x 100% = 5 % 20

Ascaris equorum = 0 x 100% = 0 %

20

Paramphistomum sp. = 3 x 100% = 15 % 20

Ostertagia sp. = 1 x 100% = 5 %


(4)

C. Prevalensi Bentuk Infeksi Parasit

Haemonchus sp. = 12 x 100% = 40 %

30

Strongyloides westeri = 3 x 100% = 10 % 30

Haemonchus sp. + Ostertagia sp.

= 1 x 100% = 10 %

30

Haemonchus sp. + Paramphistomum sp.

= 1 x 100% = 3,3 % 30

Strongyloides westeri + Ascaris equorum

= 1 x 100% = 3,3 % 30

Strongyloides westeri + Paramphistomum sp. =

1

x 100% = 3,3 % 30


(5)

35

Lampiran 4. Perhitungan Intensitas Parasit gastrointestinal Kuda

Intensitas = Jumlah parasit yang menginfeksi Jumlah hewan ternak yang terserang

A. Intensitas Kuda Anakan (< 2 tahun)

Haemonchus sp. = 3619 = 1206

3

Strongyloides westeri = 484 = 161 3

Ascaris equorum = 34 = 34

1

Paramphistomum sp. = 58 = 58

1

Ostertagia sp. = 0 = 0

0

B. Prevalensi Kuda Dewasa (>2 tahun)

Haemonchus sp. = 11503 = 1046

11

Strongyloides westeri = 63 = 63 1

Ascaris equorum = 0 = 0


(6)

Paramphistomum sp. = 64 = 32 2

Ostertagia sp. = 143 = 143


(7)

DAFTAR PUSTAKA

[Kementan] Kementrian Pertanian Replubik Indonesia. 2014. Produksi Daging Kuda Menurut Provinsi tahun 2010-2015. Sensus Pertanian. Jakarta. [Kementan] Kementrian Pertanian Replubik Indonesia. 2014. Populasi Kuda

Menurut Provinsi tahun 2010-2015. Sensus Pertanian. Jakarta.

[Kementan] Kementrian Pertanian Replubik Indonesia. 2014. Produksi Daging, Telur, dan Susu di Indonesia. Sensus Pertanian. Jakarta.

Akhira, D; Fahrimal, Y; dan Hasan, M. 2013. Identifikasi Parasit nematoda Saluran Pencernaan Anjing Pemburu (Canis familiaris) di Kecamatan Lareh Sago Halaban Provinsi Sumatera Barat. Medika Veterinaria. 7(1): 42-45.

Andrianty, V. 2015. Kejadian Nematodiasis Gastrointestinal Pada Pedet Sapi bali Di Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng. [skripsi]. Makasar: Universitas Hasanuddin.

Astuti, V. D. 2011. Ripitabilitas Sifat Kemampuan Kuda Pacu Indonesia Mempertahankan Kecepatan Berlari. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Balweber, L. R. 2001. Veterinary Parasitology. United States of America. Butterworth-Heinemann.

Bush, A. O; Lafferty, K. D; Lotz, J. M; and Shotsak, A. W. 1997. Parasitogy meets Ecology On Its Own Terms: Margolis et al. Reisited. Parasitol. 83: 576-583.

Darmin, S. 2014. Prevalensi Paramphistomiasis Pada Sapi Bali di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone. [skripsi]. Makasar: Universitas Hasanuddin. Darmono. 1983. Parasit Cacing Paramphistomum sp. pada Ternak Ruminansia

dan Akibat Infestasinya. Wartazoa. 1(2): 1-18

Ensminger, M. E. 1962. Animal Science (Animal Agriculsture Series). 5th Ed. The Interstate Printers & Publisher Inc, Danville.

Estuningsih, S; Retnani, E. B; dan Esfandiari, A. 1996. Gambaran Patologi Beberapa Organ Tubuh Kambing Jantan Akibat Infeksi Haemonchus contortus. Media Veteriner. 3(2): 39-52.


(8)

Gandahusada, S; Bilahuda, H. D; dan Pribadi, W. 2008. Parasitologi Kedokteran. FKUI. Jakarta.

Hasan, A. M. A. 2014. Identifikasi Penyebab dan Nilai Ekonomi Kerugian Mortalitas Ternak Kuda Di Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. [skripsi]. Makasar: Universitas Hasanuddin.

Hernasari, P. R. 2011. Identifikasi Endoparasit Pada Sampel Feses Nasalis larvatus, Presbytis comata, dan Presbytis siamensis dalam Penangkaran Menggunakan Metode Natif dan Pengapungan dengan Sentrifugasi. [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.

Hidajati, B. S; Dachlan, Y. P; dan Subagyo. 2009. Atlas Parasitologi Kedokteran. EGC Kedokteran. Jakarta.

Jhoni, V. A. R; Susilawati, S; dan Koesnandar, S. 2015. Pengaruh Tatalaksana Kandang Terhadap Infeksi Helminthiasis Saluran Pencernaan Pada Pedet Peranakan Simental dan Limousin di Kecamatan Yosowilangun Lumajang. Agroveteriner. 3(2): 114-120.

Kaplan, R. M and Nielsen, M. K. 2010. An Evidence-Based Approach To Equine Parasite Control: It Ain’t The 60S Anymore. Equine Veterinary Education. 22(6): 306-216.

Khairiyah. 2011. Zoonosis dan Upaya Pencegahannya (Kasus Sumatera Utara). Litbang Pertanian. 30(3):117-123.

Koesdarto. 2001. Model Pengendalian Siklus Infeksi Toxocariasis Sapi Dengan Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temuireng (Curcuma aeruginosa Roxb) di Pulau Madura. Jurnal Penelitian Medika Eksakta. 1(2): 114-122.

Laura, C. 2015. Management of Irish Equine Endoparasites. Veterinary Ireland. 5(11): 543-547.

Lyons, E. T. 2014. Strongyloides westeri and Parascaris equorum: Observations in Field Studies in Thoroughbred Foal on Some Farms in Central Kentucky, USA. Springer. 51(1): 7-12.

Mansyur, U; Tanuwiria, H; dan Rusmana, D. 2006. Eksplorasi Hijauan Pakan Kuda dan Kandungan Nutrisinya. Seminar Nasional Teknologi Peternakandan Veteriner. Bandung: Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.

Maswarni dan Nofiar, R. 2014. Majemen Pemeliharaan dan Pengembangbiakan Kuda. Jakarta Timur. Penerbit Swadaya.


(9)

29

Mahfooz, A; Masood, M. Z; Yousaf, A; Akhtar, N; and Zafar, M. A. 2008. Prevalence and Anthelmintic Efficacy of Abamectin Against Gastrointestinal Parasites in Horse. Pakistan Veteriner. 2892): 76-78. Mustika, I dan Ahmad, R. Z. 2004. Peluang Pemanfaatan Jamur Nematofagus

untuk Mengendalikan Nematoda Parasit pada Tanaman dan Ternak. Litbang Pertanian. 23(4): 115-122.

Natadisastra, D dan Agus, R. 2009. Parasitologi kedokteran: ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Nezar, M. R; Susanti, R; dan Setiati, N. 2014. Jenis Cacing Pada Feses Sapi di TPA Jatibarang dan KTT Sidomulyo Desa Nongkosa Wit Semarang. Unnes Life Sci. 3(2): 93-102.

Puspitasari, S; Sulistiawati, E; Basar, M; dan Farajallah, A. 2015. Efektivitas Ivermectin dan Albendazole dalam Melawan Ostertagia pada Anakan Domba di Bogor, Indonesia. Ilmu Petanian Indonesia. 20(3): 257-264. Ratnawati, E. W. 2004. Kejadian Infeksi Cacing Parasit Saluran Pencernaan Pada

Kuda Delman Di Kota Bogor. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Ramadan, A. F; Abdulgani, N; dan Triyani, N. 2012. Perbandingan Prevalensi

Pada Insang dan usus Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Tertangkap di Sungai Aloo dan Tambak Keduk Peluk, Kecamatan Tangulangin, Sidoarjo. Sains dan Seni ITS. 1(1): 36-39.

Reinemeyer, C. R. 2012. Anthelmintic Resistance In Non-Strongylid Parasites Of Horse. Vet Parasitol. 9(15): 185.

Rozi, F. 2013. Infestasi Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Cacing Lambung (Paramphistomum sp.) pada Sapi Bali Dewasa di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru. [skripsi]. Pekanbaru: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Sari, D. R; Kuswanti, N; dan Faizah, U. 2015. Pengaruh Konsentrasi Filtrat Kulit nenas (Ananas comosus) terhadap Mortalitas Ascaridia galli secara in Vitro. Lentera Bio. 3(1): 32-36.

Sayuti, L. 2007. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola spp) Pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem Bali. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Setiawan, D. K; Dwinata, I. M; dan Oka, I. B. M. 2014. Identifikasi Jenis Cacing

Nematoda Pada Saluran Gastrointestinal Kuda Penarik Cidomo di Kecamatan Selong, Lombok Timur. Indonesia Medicus Veterinus. 3(5): 351-358.


(10)

Sherman, G and Hillard, Y. 1996. Handbooks of Studies for Helmint Parasit of Ruminant. FAO of United.

Soulsby, E. J. L. 1968. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Sixth Edition of Monnig’s Veterinary Helminthology and Entomology. Lea and Febiger Philadelphia. Philadelphia.

Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II (Mammalia), Manajemen Kesehatan Ternak, Parasitisme Gastrointestinal, dan Penyakit Metabolisme. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Sugeng, Y. B. 2000. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suradi, K. 2004. Pengendalian Zoonosis Melalui Management Dan Penanganan Bahan Pangan Hasil ternak. Bandung: Universitas Padjajaran. Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan (JIP).

Syamsu, Y. 2006. Ascariasis, Respon IgE dan Upaya Penanggulannya. Universitas Airlangga Press. Surabaya.

Taira, N. 1985. Sieving Technique with the Glass beadsLayer for Detection and Quantitation of faciola Eggs in Castle Feses. JARQ. 18(4): 290-297. Utama, S. 2011. Penetapan Kadar Kalsium Dalam Susu Kambing, Susu Kuda Liar

dan Susu Sapi Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom. [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Utami, W. G. 2014. Pemanfaatan Enzim Papain Organik Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Daging Kuda Jantan Tua Di Kabupaten Humbang Hasundutan. [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera utara. Widnyana, I. G. N. P. 2013. Prevalensi Infeksi Parasit Cacing Pada Saluran

Pencernaan Sapi Bali dan Sapi Rambon Di Desa Wosu Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali. Jurnal AgroPet. 10(2): 39-46. Williams, J. E. H and Williams, L. B. 1996. Parasites of Offshore Big game

Fishes of Puerto Rico and The Western Atlantic. Sportfish Disease Project Departement of Biology University of Puerto Rico. Puerto Rico. Zulfikar; Hambal; dan Razali. 2012. Derajat Infestasi Parasit Nematoda


(11)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai selesai. Pengambilan sampel dilakukan di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Provinsi Sumatera Utara, Pemeriksaan parasit dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung low centrifuge, low centrifuge, rak tabung, box, timbangan, pengaduk, saringan mess 60, aspirator, camera digital, buku identifikasi parasit dan mikroskop.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain feses, glass beads, objek glass, pipet tetes, plastik ukuran 0,5 kg, sendok plastik, es batu, spidol permanen dan air keran.

3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1. Pengambilan sampel

Sampel diperoleh dengan cara pengumpulan feses kuda secara acak sebanyak 30 ekor kuda dalam kandang (20 sampel kuda dewasa usia >2 tahun dan 10 sampel kuda anakan usia <2 tahun). Sampel feses diambil pada pagi hari setelah kuda melakukan defekasi (Nezar dkk, 2014). Sampel yang diambil dalam keadaan segar (diambil dari feses yang telah jatuh), kemudian mengorek bagian luar dan mengambil feses yang terdapat di bagian dalam feses tersebut sebanyak ±8 g. Feses dimasukkan ke dalam plastik dan dimasukkan ke dalam box yang telah diisi dengan es, yang berfungsi untuk memperlambat telur menjadi rusak dan menetas. Setiap sampel ditandai dengan waktu pengambilan sampel dan kepemilikan sampel (Rozi, 2013).


(12)

3.3.2. Pemeriksaan Menggunakan Metode Sedimentasi Glass Beads

Satu gram feses dicampurkan dengan 10 ml air keran di dalam tabung A (centrifuge ukuran 50 ml) dan dihomogenkan. Setelah homogen, larutan disaring menggunakan saringan ukuran 60-90 wire mesh dan dituang ke dalam tabung B yang berisi tiga gram glass beads. Dibilas tabung A agar tidak ada suspensi yang tertinggal dan masukkan air bilasan ke tabung B sampai suspensi setinggi batas leher tabung. Biarkan lima menit agar terjadi suspensi (Taira, 1985).

Tabung B diletakkan ke dalam rotor dan putar lima kali pada kecepatan 10 detik per rotasi. Setelah tersuspensi, supernatant dibuang dengan aspirator. Tambahkan kembali air keran sebanyak 50 ml, aduk dan diamkan lima menit, selanjutnya masukkan ke dalam rotor dan putar lagi lima kali pada kecepatan 10 detik per rotasi (Taira, 1985).

Buangkan kembali supernatan dengan aspirator, diamkan lima menit untuk sedimentasi. Tambahkan kembali air keran ke dalam tabung B sampai setinggi leher tabung tuangkan kembali ke tabung A, diamkan lima menit. Buang supernatan dengan aspirator dan tinggalkan kira-kira 2 ml dari endapannya. Tuangkan seluruh endapan tersebut di atas sebuah slide kaca dengan pipet. Lakukan perhitungan telur endoparasit di bawah mikroskop. (Taira, 1985).

3.3.3. Identifikasi

Endoparasit yang telah ditemukan diidentifikasi untuk mengetahui jenisnya menggunakan Atlas Parasitologi (Hidajati dkk, 2009) dan Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals (Soulsby, 1968). Hasil pemeriksaan diidentifikasi hingga tingkat spesies dan dibuat fotomikrograf dengan kamera digital (Hernasari, 2011).

3.4. Analisis Data

Hasil pengamatan parasit gastrointestinal dengan metode sedimentasi glass beads disusun dalam bentuk tabel. Data dianalisis secara deskriptif dari hasil identifikasi dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut :


(13)

12

A.Tingkat Serangan Parasit

Tingkat serangan parasit dapat dikategorikan seperti pada Tabel 3.1. di bawah ini.

Tabel 3.1. Kategori tingkat serangan parasit

Parasit gastrointestinal Tingkat Serangan (EPG/ Egg Per Gram)

Ringan Sedang Tinggi/ Berat

Haemonchus 100-2500 2500-8000 >8000

Ostertagia 50-200 200-2000 >2000

Paramphistomum 1-75 75-150 >150

Strongyloides 1-200 250-500 >500

Ascaris 1-50 50-100 >100

(Sherman and Hillard, 1996; Kaplan and Nielsen, 2010; Reinemeyer, 2012).

B.Prevalensi dan Intensitas

Prevalensi merupakan presentase hewan ternak yang terinfeksi parasit (Tabel 3.2.). Untuk menghitung prevalensi dari sampel dapat dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut :

Prevalensi = Jumlah hewan ternak yang terserang parasit x 100% Jumlah hewan ternak yang diperiksa

Untuk mengetahui tingkat prevalensi dapat dikategorikan berdasarkan Tabel 3.2. di bawah ini.

Tabel 3.2. Kategori infeksi berdasarkan prevalensi

No Nilai Kategori

1 100-99% Always

2 98-90% Almost always

3 89-70% Usually

4 69-50% Frequently

5 49-30% Commonly

6 29-10% Often

7 9-1% Occasionally

8 <1-0,1% Rarely

9 <0,1-0,01% Very rarely

10 <0,01% Almost never


(14)

Keterangan :

Always : parasit selalu menginfeksi dan tingkat infeksi ditimbulkan sangat parah (99-100%)

Almost always : parasit hampir selalu menginfeksi dan tingkat infeksi ditimbulkan parah (98-99%)

Usually : parasit biasanya menginfeksi (70-89%)

Frequently : parasit tersebut sering kali menginfeksi (50-69%) Commonly : parasit tersebut biasa menginfeksi (30-49%) Often : parasit tersebut sering menginfeksi (10-29%) Occasionally : parasit kadang-kadang menginfeksi (1-9%) Rarely : parasit tersebut jarang menginfeksi (<1-0,1%) Very rarely : parasit sangat jarang menginfeksi (<0,1-0,01%) Almost never : parasit tersebut tidak pernah menginfeksi (<0,01%)

Untuk menghitung jumlah jenis parasit yang terdapat pada hewan ternak menggunakan rumus intensitas, nilai intensitas infeksi parasit dapat dilihat pada Tabel 3.3. Menurut Bush et al. (1997) untuk menghitung intensitas dari sampel dapat dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut :

Intensitas = Jumlah parasit yang menginfeksi Jumlah hewan ternak yang terserang

Untuk mengetahui tingkat intensitas dapat dikategorikan berdasarkan Tabel 3.3. di bawah ini.

Tabel 3.3. Nilai Kategori Intensitas

Nilai Keterangan

<1 Inventaris parasit sangat ringan

1-5 Inventaris parasit ringan

6-50 Inventaris parasit sedang

51-100 Inventaris parasit berat

>100 Inventaris parasit sangat berat

>1000 Super infeksi parasit


(15)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Telur Parasit Gastrointestinal

Berdasarkan hasil pemerikasaan terhadap 30 sampel feses kuda di peternakan Desa Sempajaya Berastagi, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan metode sedimentasi glass beads diperoleh 5 jenis telur parasit gastrointestinal. Klasifikasi jenis dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jenis Telur Parasit Gastrointestinal Kuda di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Nemathelmintes Nematoda Strongylida Tricostrongylidae Haemonchus Haemonchus sp. Strongylida Tricostrongylidae Ostertagia Ostertagia sp.

Rhabditida Strongylidae Strongyloides Strongyloides westeri

Ascaridida Ascarididae Ascaris Ascaris equorum

Platyhelmintes Trematoda Echinostomida Paramphistomatidae Paramphistomum Paramphistomum sp.

Pada data Tabel 4.1. memberikan gambaran bahwa ditemukan 2 filum (Nemathelmintes dan Platyhelmintes), 2 Kelas (Nematoda dan Trematoda), 4 Ordo (Strongylida, Rhabditida, Ascaridida, dan Echinostomida), 4 famili (Tricostrongylidae, Strongylidae, Ascarididae, dan Paramphistomatidae), dan 5 spesies yaitu Haemonchus sp., Ostertagia sp., Strongyloides westeri, Ascaris equorum, dan Paramphistomum sp. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa parasit kelas nematoda gastrointestinal lebih banyak dijumpai daripada trematoda pada


(16)

kuda di desa Sempajaya Berastagi. Banyaknya jenis parasit nematoda gastrointestinal disebabkan karena nematoda termasuk ke dalam parasit golongan STH (Soil Transmited Helminth). Dari hasil penelitian Ratnawati (2004), prevalensi infeksi campuran nematoda dan cestoda sebesar 86,7 %, dan hanya 13,3 % kuda delman di Bogor yang diperiksa terinfeksi tunggal cestoda, setelah diidentifikasi lebih lanjut jenis-jenis nematoda yang menyerang kuda adalah strongyloid, oxyurid, dan ascarid. Menurut Gandahusada dkk (2008), Soil Transmited Helminth adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. STH hidup di usus dan telurnya akan keluar melalui feses hospes. Telur tersebut akan tersimpan di dalam tanah dan berkembang menjadi infeksius jika telur matang.

Jhoni dkk (2015), menjelaskan bahwa kejadian penyakit parasit nematoda gastrointestinal pada ternak yang belum pernah diberikan obat cacing lebih dipengaruhi oleh faktor sanitasi dan kebersihan kandang, jenis kelamin serta umur ternak. Berdasarkan hasil penelitian Mahfooz et al. (2008), kuda di Pakistan yang terserang parasit gastrointestinal mengalami penurunan rata-rata jumlah telur per gram (EPG) setelah diberikan antihelmin abamektin dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan. Pada penelitian ini, lebih dari 98 % pengurangan rata-rata jumlah jelur per gram feses yang diamati setelah 14 hari pemberian antihelmin abamektin melalui subkutan.

Karakteristik telur parasit yang ditemukan pada gastrointestinal kuda di desa Sempajaya Berastagi adalah sebagai berikut :

A. Haemonchus sp.

Haemonchus sp. memiliki bentuk telur oval, berwarna abu-abu, memiliki selubung selapis tipis, mengandung sel embrio bersegmen dan tidak berongga. Menurut Ballweber (2001), telur Haemonchus sp. berbentuk oval, berwarna abu-abu dengan selubung tipis berukuran 70x30 μm, dan mengandung morula sebanyak 16-32 sel.

Haemonchus sp. merupakan cacing nematoda saluran pencemaan yang banyak menyerang ternak. Penyakit yang disebabkan oleh cacing Haemonchus sp. disebut Haemonchosis. Haemonchosis merupakan penyakit parasiter yang bersifat endemik di Indonesia. Cacing betina dewasa Haemonchus sp. bertelur


(17)

16

sebanyak 5.000 – 10.000 butir setiap hari. Haemonchus sp. adalah cacing penghisap darah dan merupakan satu-satunya cacing family Trichostrongylidae yang menyebabkan anemia secara primer. Hewan ternak yang terserang Haemonchus sp. juga mengalami penurunan nafsu makan (Estuningsih dkk, 1996).

Gambar 4.1. Telur Parasit Haemonchus sp. yang ditemukan pada Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

B. Ostertagia sp.

Ostertagia sp. memiliki bentuk telur ellips, berwarna abu-abu, memiliki selubung selapis tipis, mengandung sel embrio bersegmen dan memiliki rongga. Menurut Puspitasari dkk (2015), Ostertagia sp. memiliki telur berbentuk ellips dengan selubung tipis, berukuran 80×45 µm dan berisi sel embrionik.

Gambar 4.2. Telur Parasit Ostertagia sp. yang ditemukan pada Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

Dinding Telur

Embrio Morula

Dinding Telur


(18)

C. Strongyloides westeri

Strongyloides westeri memiliki bentuk telur oval, berwarna abu-abu, memiliki selubung selapis tipis, mengandung larva dan memiliki rongga. Menurut Lyons (2014), telur cacing Strongyloides westeri berbentuk oval, berukuran sekitar 25x50 µm, memiliki dinding tipis yang dapat menembus cahaya dan mengandung embrio larva sehingga telur cepat menetas. Telur cacing Strongyloides westeri dapat dilihat pada Gambar 4.3. Strongyloides westeri terdapat di seluruh dunia pada mukosa usus halus kuda, keledai, babi dan zebra. Kuda terinfeksi apabila menelan telur yang mengandung larva infektif saat memakan rumput.

Gambar 4.3. Telur Parasit Strongyloides westeri yang ditemukan pada Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

D. Ascaris equorum

Ascaris equorum memiliki bentuk telur bulat, berwarna kuning kecoklatan, memiliki selubung tiga lapis, mengandung sel embrio tidak bersegmen dan memiliki rongga. Menurut Natadisastra dan Agoes (2009), telur Ascaris berbentuk bulat, memiliki ukuran (45-70)x(35-50) µm. Bagian dalam telur terdapat sel telur yang tidak bersegmen, serta memiliki warna kuning kecoklatan karena menghisap empedu. Telur ascaris memiliki dinding 3 lapisan yaitu lapiran albuminoid, hyaline, dan vitelline/lipoid. Ditinjau dari ada atau tidaknya lapisan albuminoid dibagi menjadi dua yaitu :

a. Telur decorticated (tidak ada lapisan albuminoid) dan, b. Telur corticated (ada lapisan albuminoid)

Dinding Telur


(19)

18

Gambar 4.4. Telur Parasit Ascaris equorum yang ditemukan pada Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

E. Paramphistomum sp.

Paramphistomum sp. memiliki bentuk telur ellips, berwarna kuning muda, memiliki selubung selapis tipis, mengandung sel embrio bersegmen, tidak memiliki rongga, serta memiliki tonjolan kecil di ujung telur. Hal ini sesuai dengan Darmono (1983), telur Paramphistomum sp. memiliki bentuk ellips, panjangnya 113-175 µm dan lebar 73-100 µm, dinding berwarna sedikit kuning muda transparan, sel embrional dan operkulum jelas dan sering terdapat tonjolan kecil di ujung posterior.

Gambar 4.5. Telur Parasit Paramphistomum sp. yang ditemukan pada Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

Dinding Telur

Embrio Tidak Bersegmen

Dinding Telur Embrio Operkulum


(20)

4.2. Tingkat Serangan Parasit

Berdasarkan hasil pemeriksaan feses kuda dapat dilihat rata-rata jumlah telur per gram feses (EPG) dari tiga kali ulangan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 4.2. Tingkat Serangan Parasit Gastrointestinal Kuda Anakan di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

Kuda Jenis Parasit Rata-Rata Jumlah Telur (EPG)

Kategori Tingkat Serangan

1 - - -

2 Strongyloides westeri 162 Ringan

3 Haemonchus sp. 1365 Ringan

4 Ascaris equorum Strongyloides westeri

34 154

Ringan Ringan

5 - - -

6 Strongyloides westeri Paramphistomum sp.

174 58

Ringan Ringan

7 Haemonchus sp. 1817 Ringan

8 Haemonchus sp. 437 Ringan

9 - - -

10 Strongyloides westeri 173 Ringan

Ket : - (tidak ditemukan parasit)

Pada Tabel 4.2. di atas dapat dilihat parasit gastrointestinal yang menyerang kuda anakan adalah Haemonchus sp., Strongyloides westeri, Ascaris equorum, dan Paramphistomum sp. Pada Tabel 4.3. ditemukan parasit yang menyerang kuda dewasa adalah Haemonchus sp., Strongyloides westeri, Ostertagia sp. dan Paramphistomum sp. Dari hasil pemeriksaan, parasit gastrointestinal yang sering menyerang ternak kuda adalah Haemonchus sp. Menurut Mustika dan Ahmad (2004), Haemonchus sp. merupakan parasit yang terpenting karena dapat merugikan pada hewan ruminansia. Haemonchus sp. menyebabkan penurunan bobot badan, diare, dan kekurusan.Haemonchus adalah cacing penghisap darah, setiap ekor per hari menghabiskan 0,049 ml darah sehingga menyebabkan anemia. Anemia berlangsung 3 tahap, yaitu tahap I setelah 3 minggu menginfeksi hewan ternak akan kehilangan darah dalam jumlah besar (tahap akut). Tahap II yaitu 3-8 minggu setelah infeksi kehilangan darah dan zat besi, dan tahap III terjadi penurunan sistem eritropoetik yang disebabkan kekurangan zat besi dan protein (tahap kronis) (Estuningsih dkk, 1996).


(21)

20

Tabel 4.3. Tingkat Serangan Parasit Gastrointestinal Kuda Dewasa di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

Kuda Jenis Parasit Rata-Rata Jumlah Telur (EPG)

Kategori Tingkat Serangan

1 Strongyloides westeri 63 Ringan

2 Haemonchus sp. Ostertagia sp.

694 143

Ringan Ringan

3 Haemonchus sp. 411 Ringan

4 Haemonchus sp. 650 Ringan

5 Haemonchus sp. 2536 Sedang

6 - - -

7 - - -

8 - - -

9 Haemonchus sp. 2610 Sedang

10 Haemonchus sp. Paramphistomum sp.

212 6

Ringan Ringan

11 - - -

12 - - -

13 - - -

14 Haemonchus sp. 515 Ringan

15 Haemonchus sp. 317 Ringan

16 Haemonchus sp. 614 Ringan

17 Paramphistomum sp. 58 Ringan

18 Haemonchus sp. 2670 Sedang

19 - - -

20 Haemonchus sp. 274 Ringan

Ket : - (tidak ditemukan parasit)

Parasit gastrointestinal Haemonchus sp. yang menyerang kuda dewasa terdapat tingkatan serangan yang berbeda yaitu ringan dan sedang, sedangkan pada kuda anakan hanya terdapat tingkat serangan ringan. Hal ini dapat kemungkinan disebabkan karena panjang waktu infeksi yang terjadi pada kuda dewasa lebih lama daripada kuda anakan, kemudian dapat semakin parah karena tidak diberikannya obat cacing pada kuda yang terinfeksi. Tingkat serangan parasit juga dipengaruhi oleh kemampuan parasit tersebut menghasilkan telur. Cacing betina dewasa Haemonchus sp. mampu bertelur sebanyak 5.000 – 10.000 butir setiap hari (Estuningsih dkk, 1996).

Menurut Subronto (2007), tiap parasit gastrointestinal memiliki sifat khusus dalam daur hidupnya dan kemampuan dari parasit untuk menghasilkan keturunannya. Parasit akan bertahan tergantung pada jumlah telur yang dihasilkan setiap harinya. Hal ini diperkuat oleh Koesdarto (2001), jumlah telur/g feses dari


(22)

suatu jenis parasit sangat tergantung pada lingkungan, kemampuan bertelur dari jenis parasit dan panjang pendeknya siklus hidup parasit. Setiap jenis parasit memerlukan lingkungan dengan kondisi tertentu. Apabila lingkungan tempat parasit hidup mendukung, maka parasit tersebut dengan cepat dapat berkembang. Kemampuan bertelur tiap-tiap parasit berbeda antara satu dengan yang lainnya dapat mempengaruhi jumlah telur/g feses. Panjang pendeknya siklus hidup juga sangat menentukan jumlah telur EPG. Semakin pendek siklus hidup suatu cacing maka semakin cepat perkembangbiakan cacing tersebut.

4.3. Prevalensi

Berdasarkan hasil pemeriksaan dari 30 ekor kuda di Desa Sempajaya Berastagi prevalensi parasit pada kuda anakan dan dewasa yang dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Prevalensi Parasit Gastrointestinal Kuda di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

Parasit gastrointestinal Prevalensi (%)

Anakan (<2 Tahun) Dewasa (>2 Tahun)

Haemonchus sp. 30 55

Ostertagia sp. 0 5

Strongyloides westeri 40 5

Ascaris equorum 10 0

Paramphistomum sp. 10 15

Pada Tabel 4.4. dapat dilihat bahwa prevalensi parasit gastrointestinal yang ditemukan pada kuda dewasa lebih tinggi dibandingkan kuda anakan yaitu, Haemonchus sp. (55 %) dengan kategori frequently (parasit tersebut sering sekali menginfeksi), Ostertagia sp. (5 %) dengan kategori occasionally (Parasit kadang-kadang menginfeksi), dan Paramphistomum sp. (15 %) dengan kategori often (parasit tersebut sering menginfeksi).

Prevalensi parasit gastrointestinal yang ditemukan pada kuda anakan lebih tinggi dibandingkan kuda dewasa yaitu Strongyloides westeri (40 %) dengan kategori commonly (parasit tersebut biasa menginfeksi) dan Ascaris equorum (10 %) dengan kategori often (parasit tersebut sering menginfeksi).


(23)

22

Menurut Laura (2015), Strongyloides westeri adalah cacing kremi usus yang signifikan lebih sering menginfeksi anak kuda daripada kuda dewasa. Anak kuda yang baru lahir serta yang menyusui ASI rentan terhadap infeksi telur berisi larva. Infeksi Strongyloides westeri pada anak kuda biasanya tidak memperlihatkan gejala-gejala yang jelas (asimtomatik). Strongyloides westeri dapat menyebabkan diare, penurunan berat badan, tidak nafsu makan (anoreksia), iritasi kulit, gangguan pernafasan serta pendarahan ekstrim.

Ascaris equorum merupakan jenis cacing yang sangat berbahaya pada anak kuda, ascariasis anak kuda menyebabkan mal nutrisi, pertumbuhan terhambat, imunitas menurun sehingga terlihat lemah dan rentan terkena penyakit. Kuda muda terserang penyakit ascariasis karena belum mempunyai ketahanan tubuh yang bagus terhadap serangan cacing (Ratnawati, 2004).

Dari hasil penelitian Setiawan dkk (2014), ditemukan 49 sampel positif terinfeksi cacing nematoda dari 50 sampel feses kuda penarik cidomo di Lombok Timur dengan prevalensi sebesar 98%. Setelah diidentifikasi lebih lanjut kuda-kuda ini terinfeksi oleh cacing tipe strongil 98% dengan masing-masing Strongylus spp 76%, Cyathostomes spp 56% dan Triodontophorus spp 32%, sedangkan prevalensi Strongyloides westeri 12%, Oxyuris equi 6% dan Parascaris equorum 2%. Prevalensi yang ditemukan pada feses kuda penarik cidomo di Lombok Timur lebih tinggi dibandingkan prevalensi yang ditemukan pada feses kuda di desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara. Hal itu dikarenakan sistem pemeliharaan kuda di Lombok Timur adalah semi intensif sedangkan sistem pemeliharaan kuda di desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara adalah intensif. Prevalensi Parascaris equorum di Berastagi Sumatera Utara lebih tinggi dibandingkan di Lombok Timur. Rendahnya prevalensi Parascaris equorum di Lombok Timur dapat disebabkan sampel kuda yang digunakan adalah kuda yang memiliki umur lebih dari 4 tahun.

Menurut Sugeng (2000), hewan yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan semi intensif lebih rentan terinfeksi parasit daripada hewan yang dipelihara dengan intensif. Sistem pemeliharaan semi intensif dilakukan dengan cara digembalakan di padang pengembalaan pada siang hari, kemudian pada sore harinya dimasukkan ke dalam kandang dan diberi pakan tambahan. Berbeda dengan sistem pemeliharaan semi intensif, sistem pemeliharaan intensif pada


(24)

umumnya dilakukan dengan cara hewan ternak dikandangkan sepanjang hari. Hewan ternak diberi pakan sebanyak dan sebaik mungkin, dan memperoleh perlakuan yang lebih teratur dalam hal pemberian pakan, pembersihan kandang, serta pengendalian penyakit.

Bentuk infeksi parasit terdapat dalam bentuk tunggal dan ganda seperti yang disajikan pada Tabel 4.5. Infeksi tunggal adalah serangan dan pembiakan satu jenis parasit di dalam satu individu, sedangkan infeksi ganda adalah serangan dan pembiakan dua jenis parasit di dalam satu individu (Akhira dkk, 2013).

Tabel 4.5. Bentuk Infeksi Parasit Gastrointestinal Kuda di Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

Parasit gastrointestinal Prevalensi Bentuk Infeksi (%)

Haemonchus sp. (Tunggal) 40

Strongyloides westeri (Tunggal) 10

Paramphistomum sp. (Tunggal) 3,3

Haemonchus sp. + Ostertagia sp. (Ganda) 3,3

Haemonchus sp. + Paramphistomum sp. (Ganda) 3,3 Strongyloides westeri + Ascaris equorum (Ganda) 3,3 Strongyloides westeri + Paramphistomum sp. (Ganda) 3,3

Dari 30 ekor kuda di Desa Sempajaya, Kabupaten Karo yang terinfeksi ditemukan sebanyak 40 % terinfeksi tunggal oleh Haemonchus sp., 10 % terinfeksi Strongyloides westeri, dan 3,3 % ekor terinfeksi Paramphistomum sp. Kuda di Desa Sempajaya Berastagi juga terinfeksi ganda oleh Haemonchus sp. dan Ostertagia sp., Haemonchus sp. dan Paramphistomum sp., sebesar 3,3 %, Strongyloides westeri dan Ascaris equorum, serta teinfeksi oleh Strongyloides westeri dan Paramphistomum sp masing-masing sebesar 3,3 %. Adanya infeksi ganda pada satu ekor kuda disebabkan oleh sifat parasit gastrointestinal tersebut infeksinya tidak menyebabkan kematian terhadap host namun hanya menyebabkan penurunan system imun sehingga memungkinkan terjadinya infeksi sekunder oleh jenis parasit gastrointestinal yang lain (Akhira dkk, 2013). Adanya infeksi ganda juga dapat disebabkan karena individu yang terserang parasit tunggal dalam tingkat serangan sedang sehingga tidak memungkinkan terjadinya infeksi parasit gastrointestinal jenis lainnya. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya ketersediaan ruang tempat tinggal dan makanan, serta adanya kompetisi antara satu jenis parasit dengan parasit lainnya. Menurut Heddy dan Kurniati (1994),


(25)

24

ruangan habitat suatu organisme tidak hanya tergantung di mana organisme tersebut hidup, tetapi juga pada apa yang dilakukan organisme, bagaimana organisme mengubah energi, bertingkah laku, bereaksi, mengubah lingkungan fisik maupun biologi dan bagaimana organisme dihambat oleh spesies lain.

4.4. Intensitas

Dari hasil perhitungan intensitas parasit gastrointestinal pada kuda di Desa Sempajaya Berastagi dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Intensitas Parasit Gastrointestinal Kuda di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi

Parasit gastrointestinal Intensitas (telur/individu)

Anakan (<2 Tahun) Dewasa (>2 Tahun)

Haemonchus sp. 1206 1046

Ostertagia sp. 0 143

Strongyloides westeri 161 63

Ascaris equorum 34 0

Paramphistomum sp. 58 32

Berdasarkan Tabel 4.6. intensitas parasit gastrointestinal pada kuda anakan di Desa Sempajaya Berastagi didapatkan intensitas Haemonchus sp. yaitu sebesar 1206 dengan ketegori super infeksi parasit, Strongyloides westeri sebesar 161 dengan kategori inventaris parasit sangat berat, Paramphistomum sp. sebesar 58 dengan kategori inventaris parasit berat, dan Ascaris equorum sebesar 34 dengan kategori inventaris parasit sedang. Pada kuda dewasa didapatkan intensitas Haemonchus sp. yaitu sebesar 1046 dengan kategori super infeksi parasit, Ostertagia sp. sebesar 143 dengan kategori inventaris parasit sangat berat, Strongyloides westeri sebesar 63 dengan kategori inventaris parasit berat, dan Paramphistomum sp. sebesar 32 dengan kategori inventaris parasit sedang.

Besarnya nilai intensitas yang didapatkan pada populasi kuda di peternakan kuda Desa Sempajaya Berastagi, Kabupaten Karo kemungkinan diakibatkan oleh pakan yang terkontaminasi oleh telur cacing. Dari hasil wawancara dengan pemilik peternakan kuda bahwa kuda yang terdapat di peternakan diberi pakan berupa rumput segar yang diambil pada pagi hari dan diberi tambahan dedak atau beras yang dicampur dengan vitamin. Pemilik juga


(26)

tidak pernah memberikan obat antihelmintik. Kuda dapat terinfeksi cacing saat menelan telur/larva infektif yang terdapat pada rumput segar yang diambil pagi hari dan masih basah. Larva menghindarkan diri dari cahaya matahari sehingga larva akan naik ke pucuk tanaman di pagi hari. Menurut Ratnawati (2004), untuk mengurangi dan mengatasi masalah kecacingan, dilakukan secara teratur pemeriksaan dan pengobatan, terutama pada anak kuda diberi obat mulai dari umur 1 bulan setiap 4-6 bulan sekali.

Suhu dan kelembapan juga sangat berpengaruh terhadap besarnya intensitas. Suhu dan kelembapan yang terdapat di peternakan kuda Desa Sempajaya Berastagi, kabupaten Karo, Sumatera Utara adalah 22° C dan 69 %. Menurut Zulfikar (2012), suhu dan kelembapan sangat besar pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup cacing. Suhu optimum tiap parasit dalam kehidupannya berbeda-beda tergantung dari spesiesnya. Kisaran suhu yang dibutuhkan oleh nematoda stadium bebas di alam adalah 18-38° C. Kelembapan yang tinggi sangat membantu untuk menghancurkan feses yang diduga mengandung telur cacing serta dapat menurunkan stadium infektif dari cacing.

Pada Tabel 4.6 dapat dilihat intensitas Haemonchus sp., Strongyloides westeri, Ascaris equorum, dan Paramphistomum sp. lebih tinggi pada anakan kuda, akan tetapi parasit Ostertagia sp. tidak ditemukan pada kuda anakan. Tingginya intensitas parasit gastrointestinal pada kuda yang berumur kurang dari 2 tahun (kuda anakan) dikarenakan kuda anakan lebih rentan terhadap serangan parasit jika dibandingkan dengan kuda dewasa.

Menurut Maswarni dan Nofiar (2014), kuda anakan lebih banyak terinfeksi cacing parasit jika dibandingkan dengan kuda dewasa. Hal ini berkaitan dengan tingkat kekebalan tubuh ternak kuda dewasa lebih tinggi dibandingkan ternak kuda anakan, terutama pada anak kuda yang baru lahir dan anak kuda yang mendapatkan susu buatan. Hal ini dikuatkan oleh Levine (1990) dalam Zulfikar dkk (2012), yang menjelaskan bahwa faktor spesies, umur, daya tahan atau imunitas terutama umur yang lebih muda sangat rentan dan mempunyai kepekaan terhadap infeksi nematoda gastrointestinal. Umur berpengaruh terhadap konsentrasi imunitas alami (pasif) dan imunitas aktif yang terdapat pada tubuh ternak.


(27)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Hasil penelitian diperoleh 4 jenis telur nematoda (Haemonchus sp., Ostertagia sp., Strongyloides westeri, dan Ascaris equorum) dan 1 jenis trematoda (Paramphistomum sp.). Dari hasil pemeriksaan, parasit gastrointestinal yang sering menyerang ternak kuda adalah Haemonchus sp. Parasit gastrointestinal Haemonchus sp. tertinggi yang menyerang adalah 2670 EPG (tingkat serangan sedang) pada kuda dewasa. Prevalensi parasit gastrointestinal yang ditemukan pada kuda dewasa lebih tinggi dibandingkan kuda anakan yaitu, Haemonchus sp. (55 %), Ostertagia sp. (5 %), dan Paramphistomum sp. (15 %), sedangkan prevalensi parasit gastrointestinal Strongyloides westeri (40 %), dan Ascaris equorum (10 %) yang ditemukan pada kuda anakan lebih tinggi dibandingkan kuda dewasa. Intensitas parasit gastrointestinal pada kuda anakan yaitu Haemonchus sp. (1206), Strongyloides westeri (161), Paramphistomum sp. (58), dan Ascaris equorum (34), sedangkan pada kuda dewasa didapatkan intensitas Haemonchus sp. (1046), Ostertagia sp. (143), Strongyloides westeri (63), dan Paramphistomum sp. (32).

5.2. Saran

Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan pembagian kelompok umur yang lebih spesifik dan jumlah yang sama. Meningkatkan ke tingkat identifikasi lebih lanjut terhadap spesies yang belum diketahui, serta identifikasi yang lebih kompleks dengan pembibitan telur. Perlu dilakukan pengendalian kecacingan pada peternak dengan memberikan penyuluhan, pengobatan, perbaikan manajemen pemeliharaan. Jika telah dilakukan pengobatan, selanjutnya diikuti tindakan pencegahan dan pengendalian agar tidak terjadi infeksi.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kuda (Equus caballus)

Kuda sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber daging, alat transportasi dan kemudian berkembang menjadi hewan yang digunakan sebagai hobi serta sarana olahraga. Kuda (Equus caballus) yang saat ini terdapat di seluruh dunia berasal dari binatang kecil yang oleh beberapa ilmuwan disebut sebagai Eohippus atau Dawn horse yang telah mengalami proses evolusi sekitar 60 juta tahun yang lalu (Hasan, 2014). Menurut Ensminger (1962), klasifikasi zoologis ternak kuda adalah :

Kerajaan : Animalia Filum : chordata Kelas : Mamalia Ordo : Perissodactyla Famili : Equidae Genus : Equus

Spesies : Equus caballus

Kuda dapat diklasifikasikan menjadi kuda tipe ringan, tipe berat maupun kuda poni dengan ukuran, bentuk tubuh, dan kegunaan yang berbeda. Kuda tipe ringan mempunyai tinggi 1,45-1,70 m saat berdiri, bobot badan 450-700 kg dan sering digunakan sebagai kuda tunggang, kuda tarik atau kuda pacu. Kuda tipe ringan secara umum lebih aktif dan lebih cepat dibanding kuda tipe berat. Kuda tipe berat mempunyai tinggi 1,45-1,75 m saat berdiri, dengan bobot badan lebih dari 700 kg dan biasa digunakan sebagai kuda pekerja. Kuda poni memiliki tinggi kurang dari pada 1,45 m jika berdiri dengan bobot badan 250-450 kg, beberapa kuda berukuran kecil biasanya juga terbentuk dari keturunan kuda tipe ringan (Astuti, 2011).

Ternak kuda merupakan salah satu jenis ternak yang perlu mendapatkan perhatian dan potensial untuk produksi daging. Ternak kuda dapat menjadi alternatif penyedia daging, selain itu ternak kuda juga berfungsi sebagai ternak


(29)

5

kerja dan bisa juga dijadikan sebagai ajang perlombaan di kalangan masyarakat seperti pacuan kuda. Kuda berkaitan erat dengan manusia yang secara ekonomis berperan dalam transportasi (kuda delman, kuda tunggang) dan pengangkut beban dan bahkan di beberapa tempat digunakan sebagai sumber protein hewani (penghasil daging dan susu) (Hasan, 2014).

Gambar 2.1. Ternak Kuda di Desa Sempajaya Berastagi

Bahan pangan hasil ternak memegang peranan penting untuk pengembangan sumber daya manusia, antara lain : (a) meningkatkan sistem ketahanan tubuh untuk mencegah penyakit, (b) mengoptimalkan produktifitas kerja, (c) meningkatkan kualitas kemampuan intelektual, (d) pertumbuhan fisik yang optimal dan (e) peningkatan usia harapan hidup. Penyediaan bahan pangan ini juga dapat menimbulkan resiko bagi kesehatan manusia, karena beberapa penyakit yang dijumpai pada ternak dapat ditularkan kepada manusia atau sebaliknya. Oleh karena itu penyediaan bahan pangan hasil ternak selain bermutu juga harus aman bagi konsumen (Suradi, 2004).

Banyak kendala yang dihadapi para peternak di dalam mengembangkan usaha peternakannya. Umumnya faktor-faktor kendala yang dihadapi berkisar pada problem pakan, tatalaksana /manajemen pemeliharaan, dan masalah penyakit. Salah satu serangan penyakit yang bisa merugikan peternak yakni penyakit parasit. Penyakit ini kadang-kadang tidak langsung mematikan, akan


(30)

tetapi kerugiannya dipandang dari segi ekonomi sangat besar dan dapat menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu, kualitas daging, produktivitas ternak sebagai tenaga kerja serta bahaya penularan terhadap manusia/zoonosis (Rozi, 2013).

2.2. Zoonosis

Produk hasil peternakan seperti daging, susu, telur dan kulit dapat menjadi sumber penyebaran zoonosis (Suradi, 2004). Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara hewan vertebrata dan manusia, dengan demikian zoonosis merupakan ancaman baru bagi kesehatan manusia. Berkembangnya zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda bertambahnya ancaman penyakit yang mematikan bagi manusia yang ditularkan oleh hewan. Sampai saat ini, terdapat tidak kurang dari 300 penyakit hewan yang dapat menulari manusia (Widodo, 2008).

Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari hewan sakit, atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada lingkungan yang tercemar. Berdasarkan agen penyebabnya, zoonosis dibedakan atas zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau yang disebabkan oleh jamur (Suharsono, 2002; Nicholas & Smith, 2003). Pencegahan zoonosis dapat dilakukan dengan : a) melakukan isolasi ternak yang baru tiba, b) kesehatan dan kebersihan pekerja, c) sanitasi kandang, e) pemberian pakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik, f) tes penyakit dan vaksinasi, g) higiene hasil produksi dan pengolahan, h) sanitasi peralatan, transportasi, penyajian dan penyimpanan (Suradi, 2004).

2.3. Parasit Gastrointestinal

Penyakit parasiter adalah penyakit (pada hewan, manusia) yang disebabkan oleh parasit. Parasit adalah organisme yang hidup di luar atau di dalam tubuh


(31)

7

organisme lain (inang). Parasit merupakan organisme yang mengganggu kehidupan inang. Keberadaan parasit dapat mempengaruhi kualitas dan kesehatan inang yang terinfeksi (Natadisastra & Agus, 2009). Parasit ini dapat menghambat kemajuan di bidang peternakan, terutama dalam hubungannya dengan peningkatan populasi dan produksi ternak (Sari dkk, 2015).

Secara umum parasitisme dapat terjadi bila terpenuhi komponen-komponen sebagai berikut (1) adanya parasit, (2) adanya sumber parasit untuk hospes yang rentan (reservoir: hospes antara atau hospes definitif), (3) proses pembebasan stadium parasit dari reservoir, (4) proses penularan terhadap hospes yang rentan, (5) cara parasit memasuki tubuh hospes yang rentan, (6) adanya hospes yang rentan. Adanya parasit di dalam hospes yang rentan tidak harus diikuti oleh perubahan yang sifatnya klinis. Banyak proses parasitisme yang bila diukur dari jumlah parasit yang ada di dalam tubuh hospes definitif cukup banyak, akan tetapi perubahan klinisnya tidak dapat dikenali dari luar. Pada umumnya penderita demikian dalam jangka panjang akan kurang mampu bertumbuh baik, hingga dilihat dari segi peternakan akan merugikan (Subronto, 2007).

Parasit gastrointestinal merupakan parasit yang masuk ke dalam tubuh hospes definitive melalui mulut, melalui pakan yang tercemar larva. Parasit tersebut meliputi cacing cambuk, cacing pita, cacing hati, protozoa seperti trichomonas, Balantidium coli dan lain-lain (Subronto, 2007). Faktor utama terjadi peningkatan penyebaran penyakit parasit terutama nematoda gastrointestinal karena pengaruh topografi, geografis, kondisi lingkungan, temperatur, kepadatan kandang, kelompok umur, penanganan yang tidak tepat dan pola pemeliharaan yang tidak sesuai dalam upaya memutuskan siklus hidup cacing (Zulfikar dkk, 2012).

Infeksi parasit di saluran gastrointestinal terjadi bila intensitas infeksi parasit tersebut sedang dan tinggi (Suriptiastuti, 2006). Parasit nematoda gastrointestinal turut menghasilkan toksin dalam jumlah yang banyak, toksin tersebut dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah serta turut membantu masuknya bakteri patogen atau virus patogen ke dalam jaringan yang dapat menimbulkan infeksi sekunder (Zulfikar dkk, 2012).


(32)

2.4. Penyakit Parasit Gastrointestinal 2.4.1. Strongylosis pada Kuda

Strongyloides merupakan agen penyebab Strongiloidiasis yang terdapat pada usus. Strongyloides menginfeksi manusia, kucing, anjing, dan satwa sejenisnya serta dapat ditularkan dari manusia ke satwa atau sebaliknya. Strongyloidiasis bertanggung jawab untuk kematian sekitar 60-85 % atau sekitar 100 juta orang di seluruh dunia. Tingkat kematian untuk pasien yang membutuhkan rawat inap dengan infeksi Strongyloides adalah sekitar 16,7 %. Parasit ini endemik di daerah beriklim tropis dan subtropis dimana pada daerah tersebut terdapat kelembapan yang tinggi seperti Eropa Timur, Eropa Selatan, Asia Tenggara, Amerika Tengah, dan Afrika (Iriemenam et al. 2010).

Infeksi cacing Strongylus pada kuda, dan spesies lain dari Equidae, terutama oleh S. vulgaris, merupakan kejadian yang sangat sering dalam praktek di hampir semua bagian dunia. Strongylosis dapat menyebabkan kolik aneurismata bila infeksinya berat. Bila infeksi juga diperberat oleh cacing sejenis dari genus Strongylus, yaitu Triodontophorus dan Trichonema akan mengakibatkan kekurusan dan anemia. Pada peternakan kuda yang padang penggembalanya sudah tercemar berat oleh telur cacing secara masif sangat sulit membebaskan kuda-kuda dari kejadian Strongylosis (Subronto, 2007).

2.4.2. Fascioliasis (Distomatosis, Liver Fluke Disease, Liver Rot, Penyakit Cacing Hati)

Fascioliasis (hepatik) atau penyakit hati (PCH) merupakan penyakit yang berlangsung akut, subakut, atau kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola, Fascioloides, dan Dicrocoelium (Subronto, 2007). Fasciola spp merupakan cacing hati asli Indonesia. Infeksi Fasciola spp pada umumnya menyerang sapi, domba dan kambing. Fasciola spp juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, anjing, rusa, kelinci, marmot, dan hewan sejenisnya. Telur Fasciola juga berhasil ditemukan pada tinja badak Jawa dari Suaka Marga Satwa Ujung Kulon. Infeksi Fasciola pernah ditemukan pada manusia di Cuba, Prancis Selatan, Inggris, dan Aljazair. Fasciola spp hidup didalam tubuh satwa yang terinfeksi sebagai parasit di dalam saluran empedu hidup dari cairan empedu,


(33)

9

merusak sel-sel epitel, dinding empedu untuk mengisap darah penderita (Sayuti, 2007).

2.4.3. Paramfistomiasis (Porangen, Stomach Fluke Disease, Intestinal Amphistomiasis)

Paramphistomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Paramphistomum sp. yang merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda. Paramphistomum sp. hidup di dalam rumen, retikulum, usus, saluran empedu atau kandung kemih hewan yang diserangnya. Hal ini menyebabkan kerja rumen menjadi terganggu sehingga pakan tidak dapat dicerna dengan sempurna (Darmin, 2014). Menurut Widnyana (2013), Parasit cacing Paramphistomum sp. Dari kelas termatoda ini dapat mengakibatkan ternak tersebut menjadi lemah, mudak capek, badan makin kurus dan mencret. Infeksi Paramphistomum sp. terdiri atas dua fase, yaitu fase intestinal dan fase ruminal. Pada fase intensital, cacing muda menyebabkan pendarahan, bengkak serta merah di dalam duodenum dan abomasum. Hal ini dapat menyebabkan duodenitis dan abomasitis. Pada fase ruminal, cacing akan menyebabkan perubahan epitel dari rumen yang menganggu kapasitas resorbsi (Darmin, 2014).

2.4.4. Askariasis

Ascaris sp. merupakan salah satu penyebab infeksi cacing usus yang penularannya dengan perantara tanah (Soil Transmited Helminths). Menurut Soedarto (1995), penularan Ascariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan yaitu masuknya telur yang infektif kedalam mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar, tertelan telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan memasuki aliran darah. Pada umumnya orang yang kena infeksi tidak menunjukan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar akan menimbulkan kekurangan gizi (Syamsu, 2006).


(34)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kuda merupakan salah satu ternak yang mengalami penurunan populasi. Penurunan populasi ini terjadi karena fungsi kuda sebagai alat transportasi telah banyak digantikan oleh kendaraan bermotor. Tingginya angka permintaan kuda sebagai sumber pangan dan sumber daging di Indonesia juga dapat menyebabkan penurunan populasi kuda, namun setelah terjadi peningkatan kegiatan olahraga dan rekreasi menggunakan kuda maka populasi kuda mengalami kenaikan (Mansyur dkk, 2006). Menurut Kementan (2014), populasi kuda di Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 436098 ekor, sedangkan produksi daging kuda di Indonesia berada diperingkat 11 dari seluruh sumber daging. Produksi daging kuda di Indonesia pada tahun 2015 yaitu sebanyak 2449 ton.

Ternak kuda selain mempunyai potensi destinasi wisata seperti kegiatan olahraga dan rekreasi, juga mempunyai potensi cukup besar sebagai salah satu sumber makanan. Potensi tersebut dapat dilihat dari populasi ternak, produksi daging, serta susu yang dihasilkan (Hasan, 2014). Ternak kuda dapat menjadi alternatif penyedia daging dan mempunyai potensi yang cukup besar sebagai salah satu sumber pangan yang mempunyai kandungan protein yang sangat tinggi (Utami, 2014). Ternak kuda juga menghasilkan susu yang mengandung senyawa antimikroba alami (menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri), oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan produktivitas ternak kuda (Utama, 2011). Salah satu faktor yang dapat meningkatkan produktivitas ternak adalah masalah kesehatan hewan dan pengendalian penyakit ternak. Oleh karena itu status dan kondisi kesehatan hewan harusnya dapat dikendalikan (Nezar dkk, 2014).

Peternakan kuda Desa Sempajaya Berastagi merupakan salah satu wilayah yang memiliki populasi kuda di Sumatera Utara, akan tetapi masalah penyakit seperti diare, turunnya bobot badan, turunnya produksi susu pada ternak yang menyusui, terhambatnya pertumbuhan dan turunnya daya tahan tubuh masih sering terjadi. Masalah penyakit tersebut salah satunya dapat disebabkan oleh


(35)

2

infeksi parasit gastrointestinal (Andrianty, 2015). Dalam kesehatan ternak upaya pencegahan infeksi penyakit akibat cacing harus dilakukan sebelum infeksi. Salah satu cara mendiagnosis keberadaan dari jenis cacing parasit dalam tubuh ternak adalah dengan pemeriksaan tinja segar untuk mencari telur cacing parasit. Hal ini dilakukan untuk deteksi dini adanya infeksi cacing parasit terutama parasit pencernaan dengan cara yang cepat, mudah, dan efektif (Nezar dkk, 2014).

Penelitian mengenai kejadian infeksi cacing parasit saluran pencernaan pada kuda delman di kota Bogor dengan menggunakan metode McMaster telah dilakukan oleh Ratnawati (2004), menunjukkan bahwa jenis-jenis nematoda yang menyerang kuda yaitu tipe strongyloid, oxyurid, dan ascarid. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dkk (2014), menunjukkan bahwa cacing nematoda gastrointestinal seperti Strongylus spp., Cyasthostomes spp., Triodontophorus spp., Strongyloides westeri, Oxyuris equi dan Parascaris equorum juga ditemukan pada kuda penarik cidomo di Kecamatan Selong Lombok Timur dengan menggunakan metode apung. Terkait dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui jenis dan tingkat serangan parasit gastrointestinal yang menginfeksi kuda khususnya di peternakan Desa Sempajaya Berastagi yang merupakan pusat rekreasi menggunakan kuda di Sumatera Utara, sehingga dapat dilakukan proses pencegahan dan optimalisasi peternakan kuda tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Kuda mempunyai peranan yang berpotensi cukup besar di masyarakat antara lain sebagai sumber pangan, alat transportasi, olah raga dan rekreasi (Mansyur dkk, 2006). Hal ini ditunjukkan oleh permintaan sumber pangan seperti daging dan susu kuda di Indonesia yang memiliki manfaat untuk kesehatan manusia. Kuda juga memiliki potensi yang sangat besar sebagai destinasi wisata terutama di daerah Berastagi. Banyak kendala yang dihadapi para perternak kuda, salah satunya adalah masalah penyakit. Serangan penyakit parasit merupakan penyakit yang bisa merugikan peternak karena dapat menurunkan berat badan ternak serta menurunkan produksi susu. Bagaimana jenis dan tingkat serangan


(36)

parasit gastrointestinal kuda (Equus caballus) di peternakan kuda Desa Sempajaya Berastagi ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui jenis parasit gastrointestinal yang terdapat pada peternakan kuda di Desa Sempajaya Berastagi.

b. Mengetahui tingkat serangan parasit gastrointestinal yang terdapat pada peternakan kuda di Desa Sempajaya Berastagi

c. Mengetahui prevalensi parasit gastrointestinal yang terdapat pada peternakan kuda di Desa Sempajaya Berastagi

d. Mengetahui intensitas parasit gastrointestinal yang terdapat pada peternakan kuda di Desa Sempajaya Berastagi

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai jenis dan tingkat serangan parasit gastrointestinal yang menyerang kuda di peternakan kuda Desa Sempajaya Berastagi.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak kuda di desa Sempajaya Berastagi mengenai cara pengendalian penyakit zoonosis akibat parasit gastrointestinal.


(37)

v

JENIS DAN TINGKAT SERANGAN PARASIT GASTROINTESTINAL KUDA (Equus coballus) DI PETERNAKAN KUDA DESA SEMPAJAYA

BERASTAGI, PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian tentang jenis dan tingkat serangan parasit gastrointestinal kuda (Equus coballus) di peternakan kuda desa Sempajaya Berastagi, provinsi Sumatera Utara telah dilakukan dengan menggunakan metode sedimentasi glass beads. Sebanyak 30 ekor kuda dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok kuda anakan (umur <2 tahun) dan kelompok kuda dewasa (umur >2 tahun), kemudian diperiksa untuk menghitung telur cacing per gram feses. Hasil pengamatan dari 30 sampel feses kuda dengan masing-masing tiga kali ulangan, ditemukan 5 jenis yaitu Haemonchus sp., Ostertagia sp., Strongyloides westeri, Ascaris equorum dan Paramphistomum sp. Prevalensi parasit gastrointestinal pada kelompok kuda anakan yaitu Haemonchus sp. (30 %), Strongyloides westeri (40 %), Ascaris equorum (10 %) dan Paramphistomum sp. (10 %), sedangkan pada kelompok kuda dewasa yaitu, Haemonchus sp. (55 %), Ostertagia sp. (5 %), Strongyloides westeri (5 %) dan Paramphistomum sp. (15 %).

Kata Kunci : Kuda, Feses, Prevalensi, Infeksi, Glass beads, Parasit Gastrointestinal


(38)

vi

TYPE AND LEVEL OF GASTROINTESTINAL PARASITES ATTACKS IN HORSES (Equus Coballus) IN HORSE FARM OF SEMPAJAYA

BERASTAGI VILLAGE, NORTH SUMATRA

ABSTRACT

Research about type and level of gastrointestinal parasites attacks in horse (Equus coballus) in horse farm of Sempajaya Berastagi village, North Sumatra is explained using sedimentation method with the glass beads. A total of thirty horses collected from young horses group (<2 years ago) and adult horses group (>2 years ago) for counting faecal egg per gram. Thirty faecal samples in three time recycling of each, the result shows that there were five kind type is Haemonchus sp., Ostertagia sp., Strongyloides westeri, Ascaris equorum and Paramphistomum sp. The prevalence of gastrointestinal parasites in young horses group is Haemonchus sp. (30 %), Strongyloides westeri (40 %), Ascaris equorum (10 %) and Paramphistomum sp. (10 %) whereas in adult horses group, the prevalence is Haemonchus sp. (55 %), Ostertagia sp. (5 %), Strongyloides westeri (5 %) and Paramphistomum sp. (15 %).

Key Note : Horse, Feces, Prevalence, Infection, Glass Beads, Gastrointestinal Parasites


(39)

JENIS DAN TINGKAT SERANGAN PARASIT

GASTROINTESTINAL KUDA (Equus coballus) DI

PETERNAKAN KUDA DESA SEMPAJAYA BERASTAGI,

PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

SHERLY MARDI UTAMI 120805085

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(40)

JENIS DAN TINGKAT SERANGAN PARASIT

GASTROINTESTINAL KUDA (Equus coballus) DI

PETERNAKAN KUDA DESA SEMPAJAYA BERASTAGI,

PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

SHERLY MARDI UTAMI 120805085

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(41)

i

PERSETUJUAN

Judul : Jenis dan Tingkat Serangan Parasit

Gastrointestinal Kuda (Equus coballus) di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Provinsi Sumatera Utara

Kategori : Skripsi

Nama : Sherly Mardi Utami

Nomor Induk Mahasiswa : 120805085

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, November 2016

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Drs. Nursal, M.Si Masitta Tanjung, S.Si, M.Si NIP. 196109031990031002 NIP. 197109109102000122001

Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 196301231990032001


(42)

ii

PERNYATAAN

JENIS DAN TINGKAT SERANGAN PARASIT GASTROINTESTINAL KUDA (Equus coballus) DI PETERNAKAN KUDA DESA SEMPAJAYA

BERASTAGI, PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, November 2016

SHERLY MARDI UTAMI 120805085


(43)

iii

PENGHARGAAN

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Jenis dan Tingkat Serangan Parasit Gastrointestinal Kuda (Equus Coballus) Di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi, Provinsi Sumatera Utara”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sains di Departemen Biologi FMIPA USU.

Penulis menyadari tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak penyusunan skripsi ini sulit terwujud. Oleh karena itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda Hariono dan ibunda Sriwiati tersayang yang memberikan motivasi, kasih sayang, perhatian, pengorbanan, doa serta semangat dan dukungannya yang begitu besar kepada penulis. Terimakasih juga kepada adik Dwi Rizky Anjasmara dan Laila Azzurah Putri yang selalu menghibur penulis dan seluruh keluarga besar penulis atas segala bantuan baik moril maupun materil hingga skripsi ini selesai.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Masitta Tanjung, S.Si., M.Si selaku pembimbing I dan Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, nasehat, dan pikiran saat masa bimbingan dan penelitian hingga penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Emita Sabri, M.Si selaku penguji I dan Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc selaku penguji II yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini. Bapak Drs. Muhammad Zaidun Sofyan, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasehat dan motivasi selama perkuliahan. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku ketua Departemen Biologi FMIPA USU. Seluruh staf pengajar (dosen) departemen Biologi FMIPA USU yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan selama masa kuliah hingga penulisan skripsi ini. Ibu Nurhasni Muluk, Kak Siti, Bang Erwin, dan Ibu Rosalina Ginting selaku staf pegawai departemen Biologi FMIPA USU.

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak Tambi Purba selaku pemilik peternakan kuda di desa Sempajaya Berastagi yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan pengambilan sampel penelitian. Kepada Bapak drh. Sintong HMT Hutasoit, M.Si selaku kepala Balai Veteriner Medan dan Ibu drh. Nency Maruana Hutagaol selaku kepala seksi pelayanan teknis Balai Veteriner Medan yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di Balai Veteriner Medan. Kepada Ibu Herminta Purba, S.Pt dan Ibu Samarita Bangun, S.Pt selaku paramedik parasitologi, serta seluruh staf Balai Veteriner Medan yang telah banyak membantu selama proses penelitian di Balai Veteriner Medan.


(44)

iv

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terkasih, Akbar Trisatya, S.Kom atas kasih sayang, doa, dukungan, semangat, motivasi, canda tawa dan bantuannya kepada penulis. Kepada sahabat penelitian Rasyida Ulfa dan sahabat terkasih (Maya Sari Putri, Diah Puspita Sari, Agus Midiawati Harahap, Dwi Febrina, Firda Novita, Siti May Syarah, Rika Santika Zuha, dan Nur Aslam Sakinah) yang telah saling menyemangati, saling belajar, saling menghibur, dan kehebohan yang terjadi diantara kita serta masa-masa yang tidak terlupakan baik suka maupun duka yang kita lewati. Kepada teman-teman seperjuangan di bidang Fisiologi Hewan (Mita, Siti, Fitri, Risda, Mira, Darni, Donna, dan Vevy) terima kasih atas motivasi dan dukungannya. Kepada teman-teman Biologi 2012 (Boby, Desy, Mandiri, Roita, Evan, Adit, Evi, Yudi, Melda, Nolo, Robiatul, Villa, Ami, Zuzu, Agung, Ihsan, Zetty, Yolanda, Wilda, Rumaysha, Tirta, dan lain-lain) terimakasih atas semangat dan kejasamanya. Kepada adik-adik 2013, 2014, 2015 dan 2016 juga rekan-rekan asisten Laboratorium Fisiologi Hewan terimakasih telah memberikan dukungan kepada penulis. Kepada adik asuh tersayang Desi Rostika Sari (2014) terimakasih sudah memberikan semangat kepada penulis.

Akhirnya dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kita semua. Atas partisipasi dan dukungannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, November 2016


(45)

v

JENIS DAN TINGKAT SERANGAN PARASIT GASTROINTESTINAL KUDA (Equus coballus) DI PETERNAKAN KUDA DESA SEMPAJAYA

BERASTAGI, PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian tentang jenis dan tingkat serangan parasit gastrointestinal kuda (Equus coballus) di peternakan kuda desa Sempajaya Berastagi, provinsi Sumatera Utara telah dilakukan dengan menggunakan metode sedimentasi glass beads. Sebanyak 30 ekor kuda dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok kuda anakan (umur <2 tahun) dan kelompok kuda dewasa (umur >2 tahun), kemudian diperiksa untuk menghitung telur cacing per gram feses. Hasil pengamatan dari 30 sampel feses kuda dengan masing-masing tiga kali ulangan, ditemukan 5 jenis yaitu Haemonchus sp., Ostertagia sp., Strongyloides westeri, Ascaris equorum dan Paramphistomum sp. Prevalensi parasit gastrointestinal pada kelompok kuda anakan yaitu Haemonchus sp. (30 %), Strongyloides westeri (40 %), Ascaris equorum (10 %) dan Paramphistomum sp. (10 %), sedangkan pada kelompok kuda dewasa yaitu, Haemonchus sp. (55 %), Ostertagia sp. (5 %), Strongyloides westeri (5 %) dan Paramphistomum sp. (15 %).

Kata Kunci : Kuda, Feses, Prevalensi, Infeksi, Glass beads, Parasit Gastrointestinal


(46)

vi

TYPE AND LEVEL OF GASTROINTESTINAL PARASITES ATTACKS IN HORSES (Equus Coballus) IN HORSE FARM OF SEMPAJAYA

BERASTAGI VILLAGE, NORTH SUMATRA

ABSTRACT

Research about type and level of gastrointestinal parasites attacks in horse (Equus coballus) in horse farm of Sempajaya Berastagi village, North Sumatra is explained using sedimentation method with the glass beads. A total of thirty horses collected from young horses group (<2 years ago) and adult horses group (>2 years ago) for counting faecal egg per gram. Thirty faecal samples in three time recycling of each, the result shows that there were five kind type is Haemonchus sp., Ostertagia sp., Strongyloides westeri, Ascaris equorum and Paramphistomum sp. The prevalence of gastrointestinal parasites in young horses group is Haemonchus sp. (30 %), Strongyloides westeri (40 %), Ascaris equorum (10 %) and Paramphistomum sp. (10 %) whereas in adult horses group, the prevalence is Haemonchus sp. (55 %), Ostertagia sp. (5 %), Strongyloides westeri (5 %) and Paramphistomum sp. (15 %).

Key Note : Horse, Feces, Prevalence, Infection, Glass Beads, Gastrointestinal Parasites


(47)

vii DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Lampiran xi

Bab 1. Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan masalah 2

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka 4

2.1. Kuda (Equus caballus) 4

2.2. Zoonosis 6

2.3. Parasit Gastrointestinal 6

2.4. Penyakit Parasit Gastrointestinal 8

2.4.1. Strongylosis pada Kuda 8

2.4.2. Fascioliasis (Distomatosis, Liver Fluke Disease, Liver Rot, Penyakit Cacing Hati)

8 2.4.3. Paramfistomiasis (Porangen, Stomach Fluke

Disease, Intestinal Amphistomiasis)

9

2.4.4. Askariasis 9

Bab 3. Bahan dan Metode 10

3.1. Waktu dan Tempat 10

3.2. Alat dan Bahan 10

3.3. Prosedur Penelitian 10

3.3.1. Pengambilan Sampel 10

3.3.2. Pemeriksaan Menggunakan Metode Sedimentasi Glass Beads

11

3.3.3. Identifikasi 11

3.4. Analisis Data 11

Bab 4. Hasil dan Pembahasan 14

4.1. Identifikasi Telur Parasit Gastrointestinal 14

4.2. Tingkat Serangan Parasit 19


(48)

viii

4.4. Intensitas 24

Bab 5. Kesimpulan dan Saran 26

5.1. Kesimpulan 26

5.2. Saran 26

Daftar Pustaka 27


(49)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.1. Kategori Tingkat Serangan Parasit 12

3.2. Kategori Infeksi Berdasarkan Prevalensi 12

3.3. Nilai Kategori Intensitas 13

4.1. Jenis Telur Parasit Gastrointestinal Kuda di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

14 4.2. Tingkat Serangan Parasit Gastrointestinal Kuda Anakan

di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

19

4.3. Tingkat Serangan Parasit Gastrointestinal Kuda Dewasa di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

20

4.4. Prevalensi Parasit Gastrointestinal Kuda di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

21 4.5. Bentuk Infeksi Parasit Gastrointestinal Kuda di Desa

Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

23 4.6. Intensitas Parasit Gastrointestinal Kuda di Peternakan

Kuda Desa Sempajaya Berastagi


(50)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

2.1. Ternak Kuda di Desa Sempajaya Berastagi 5

4.1. Telur Parasit Haemonchus sp. yang ditemukan pada Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

16 4.2. Telur Parasit Ostertagia sp. yang ditemukan pada

Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

16 4.3. Telur Parasit Strongyloides westeri yang ditemukan pada

Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

17 4.4. Telur Parasit Ascaris equorum yang ditemukan pada

Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

18 4.5. Telur Parasit Paramphistomum sp. yang ditemukan pada

Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)


(51)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lamp

Judul Halaman

1. Rata-rata Jumlah Telur Cacing (EPG) 31

2. Tingkat Infeksi Parasit Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

32 3. Perhitungan Prevalensi Parasit Gastrointestinal 33 4. Perhitungan Intensitas Parasit Gastrointestinal Kuda 35


(1)

vi

TYPE AND LEVEL OF GASTROINTESTINAL PARASITES ATTACKS IN HORSES (Equus Coballus) IN HORSE FARM OF SEMPAJAYA

BERASTAGI VILLAGE, NORTH SUMATRA

ABSTRACT

Research about type and level of gastrointestinal parasites attacks in horse (Equus coballus) in horse farm of Sempajaya Berastagi village, North Sumatra is explained using sedimentation method with the glass beads. A total of thirty horses collected from young horses group (<2 years ago) and adult horses group (>2 years ago) for counting faecal egg per gram. Thirty faecal samples in three time recycling of each, the result shows that there were five kind type is Haemonchus sp., Ostertagia sp., Strongyloides westeri, Ascaris equorum and Paramphistomum sp. The prevalence of gastrointestinal parasites in young horses group is Haemonchus sp. (30 %), Strongyloides westeri (40 %), Ascaris equorum (10 %) and Paramphistomum sp. (10 %) whereas in adult horses group, the prevalence is Haemonchus sp. (55 %), Ostertagia sp. (5 %), Strongyloides westeri (5 %) and Paramphistomum sp. (15 %).

Key Note : Horse, Feces, Prevalence, Infection, Glass Beads, Gastrointestinal Parasites


(2)

vii DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Lampiran xi

Bab 1. Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan masalah 2

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka 4

2.1. Kuda (Equus caballus) 4

2.2. Zoonosis 6

2.3. Parasit Gastrointestinal 6

2.4. Penyakit Parasit Gastrointestinal 8

2.4.1. Strongylosis pada Kuda 8

2.4.2. Fascioliasis (Distomatosis, Liver Fluke Disease, Liver Rot, Penyakit Cacing Hati)

8 2.4.3. Paramfistomiasis (Porangen, Stomach Fluke

Disease, Intestinal Amphistomiasis)

9

2.4.4. Askariasis 9

Bab 3. Bahan dan Metode 10

3.1. Waktu dan Tempat 10

3.2. Alat dan Bahan 10

3.3. Prosedur Penelitian 10

3.3.1. Pengambilan Sampel 10

3.3.2. Pemeriksaan Menggunakan Metode Sedimentasi Glass Beads

11

3.3.3. Identifikasi 11

3.4. Analisis Data 11

Bab 4. Hasil dan Pembahasan 14

4.1. Identifikasi Telur Parasit Gastrointestinal 14

4.2. Tingkat Serangan Parasit 19


(3)

viii

4.4. Intensitas 24

Bab 5. Kesimpulan dan Saran 26

5.1. Kesimpulan 26

5.2. Saran 26

Daftar Pustaka 27


(4)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.1. Kategori Tingkat Serangan Parasit 12

3.2. Kategori Infeksi Berdasarkan Prevalensi 12

3.3. Nilai Kategori Intensitas 13

4.1. Jenis Telur Parasit Gastrointestinal Kuda di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

14 4.2. Tingkat Serangan Parasit Gastrointestinal Kuda Anakan

di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

19

4.3. Tingkat Serangan Parasit Gastrointestinal Kuda Dewasa di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

20

4.4. Prevalensi Parasit Gastrointestinal Kuda di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

21 4.5. Bentuk Infeksi Parasit Gastrointestinal Kuda di Desa

Sempajaya Berastagi Sumatera Utara

23 4.6. Intensitas Parasit Gastrointestinal Kuda di Peternakan

Kuda Desa Sempajaya Berastagi


(5)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

2.1. Ternak Kuda di Desa Sempajaya Berastagi 5

4.1. Telur Parasit Haemonchus sp. yang ditemukan pada Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

16 4.2. Telur Parasit Ostertagia sp. yang ditemukan pada

Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

16 4.3. Telur Parasit Strongyloides westeri yang ditemukan pada

Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

17 4.4. Telur Parasit Ascaris equorum yang ditemukan pada

Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)

18 4.5. Telur Parasit Paramphistomum sp. yang ditemukan pada

Gastrointestinal Kuda di Berastagi (perbesaran 400x)


(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lamp

Judul Halaman

1. Rata-rata Jumlah Telur Cacing (EPG) 31

2. Tingkat Infeksi Parasit Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

32 3. Perhitungan Prevalensi Parasit Gastrointestinal 33 4. Perhitungan Intensitas Parasit Gastrointestinal Kuda 35