Prevalensi Kuda Anakan 2 tahun Prevalensi Kuda Dewasa 2 tahun Prevalensi Bentuk Infeksi Parasit Intensitas Kuda Anakan 2 tahun Tingkat Serangan Parasit Haemonchus sp.

Lampiran 3. Perhitungan Prevalensi Parasit Gastrointestinal Prevalensi = Jumlah hewan ternak yang terserang parasit x 100 Jumlah hewan ternak yang diperiksa

A. Prevalensi Kuda Anakan 2 tahun

Haemonchus sp. = 3 x 100 = 30 10 Strongyloides westeri = 4 x 100 = 40 10 Ascaris equorum = 1 x 100 = 10 10 Paramphistomum sp. = 1 x 100 = 10 10 Ostertagia sp. = x 100 = 10

B. Prevalensi Kuda Dewasa 2 tahun

Haemonchus sp. = 11 x 100 = 55 20 Strongyloides westeri = 1 x 100 = 5 20 Ascaris equorum = x 100 = 20 Paramphistomum sp. = 3 x 100 = 15 20 Ostertagia sp. = 1 x 100 = 5 20

C. Prevalensi Bentuk Infeksi Parasit

Haemonchus sp. = 12 x 100 = 40 30 Strongyloides westeri = 3 x 100 = 10 30 Haemonchus sp. + Ostertagia sp. = 1 x 100 = 10 30 Haemonchus sp. + Paramphistomum sp. = 1 x 100 = 3,3 30 Strongyloides westeri + Ascaris equorum = 1 x 100 = 3,3 30 Strongyloides westeri + Paramphistomum sp. = 1 x 100 = 3,3 30 Lampiran 4. Perhitungan Intensitas Parasit gastrointestinal Kuda Intensitas = Jumlah parasit yang menginfeksi Jumlah hewan ternak yang terserang

A. Intensitas Kuda Anakan 2 tahun

Haemonchus sp. = 3619 = 1206 3 Strongyloides westeri = 484 = 161 3 Ascaris equorum = 34 = 34 1 Paramphistomum sp. = 58 = 58 1 Ostertagia sp. = =

B. Prevalensi Kuda Dewasa 2 tahun

Haemonchus sp. = 11503 = 1046 11 Strongyloides westeri = 63 = 63 1 Ascaris equorum = = Paramphistomum sp. = 64 = 32 2 Ostertagia sp. = 143 = 143 1 DAFTAR PUSTAKA [Kementan] Kementrian Pertanian Replubik Indonesia. 2014. Produksi Daging Kuda Menurut Provinsi tahun 2010-2015. Sensus Pertanian. Jakarta. [Kementan] Kementrian Pertanian Replubik Indonesia. 2014. Populasi Kuda Menurut Provinsi tahun 2010-2015. Sensus Pertanian. Jakarta. [Kementan] Kementrian Pertanian Replubik Indonesia. 2014. Produksi Daging, Telur, dan Susu di Indonesia. Sensus Pertanian. Jakarta. Akhira, D; Fahrimal, Y; dan Hasan, M. 2013. Identifikasi Parasit nematoda Saluran Pencernaan Anjing Pemburu Canis familiaris di Kecamatan Lareh Sago Halaban Provinsi Sumatera Barat. Medika Veterinaria. 71: 42-45. Andrianty, V. 2015. Kejadian Nematodiasis Gastrointestinal Pada Pedet Sapi bali Di Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng. [skripsi]. Makasar: Universitas Hasanuddin. Astuti, V. D. 2011. Ripitabilitas Sifat Kemampuan Kuda Pacu Indonesia Mempertahankan Kecepatan Berlari. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Balweber, L. R. 2001. Veterinary Parasitology. United States of America. Butterworth-Heinemann. Bush, A. O; Lafferty, K. D; Lotz, J. M; and Shotsak, A. W. 1997. Parasitogy meets Ecology On Its Own Terms: Margolis et al. Reisited. Parasitol. 83: 576-583. Darmin, S. 2014. Prevalensi Paramphistomiasis Pada Sapi Bali di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone. [skripsi]. Makasar: Universitas Hasanuddin. Darmono. 1983. Parasit Cacing Paramphistomum sp. pada Ternak Ruminansia dan Akibat Infestasinya. Wartazoa. 12: 1-18 Ensminger, M. E. 1962. Animal Science Animal Agriculsture Series. 5th Ed. The Interstate Printers Publisher Inc, Danville. Estuningsih, S; Retnani, E. B; dan Esfandiari, A. 1996. Gambaran Patologi Beberapa Organ Tubuh Kambing Jantan Akibat Infeksi Haemonchus contortus. Media Veteriner. 32: 39-52. Gandahusada, S; Bilahuda, H. D; dan Pribadi, W. 2008. Parasitologi Kedokteran. FKUI. Jakarta. Hasan, A. M. A. 2014. Identifikasi Penyebab dan Nilai Ekonomi Kerugian Mortalitas Ternak Kuda Di Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. [skripsi]. Makasar: Universitas Hasanuddin. Hernasari, P. R. 2011. Identifikasi Endoparasit Pada Sampel Feses Nasalis larvatus, Presbytis comata, dan Presbytis siamensis dalam Penangkaran Menggunakan Metode Natif dan Pengapungan dengan Sentrifugasi. [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia. Hidajati, B. S; Dachlan, Y. P; dan Subagyo. 2009. Atlas Parasitologi Kedokteran. EGC Kedokteran. Jakarta. Jhoni, V. A. R; Susilawati, S; dan Koesnandar, S. 2015. Pengaruh Tatalaksana Kandang Terhadap Infeksi Helminthiasis Saluran Pencernaan Pada Pedet Peranakan Simental dan Limousin di Kecamatan Yosowilangun Lumajang. Agroveteriner. 32: 114-120. Kaplan, R. M and Nielsen, M. K. 2010. An Evidence-Based Approach To Equine Parasite Control: It Ain’t The 60S Anymore. Equine Veterinary Education. 226: 306-216. Khairiyah. 2011. Zoonosis dan Upaya Pencegahannya Kasus Sumatera Utara. Litbang Pertanian. 303:117-123. Koesdarto. 2001. Model Pengendalian Siklus Infeksi Toxocariasis Sapi Dengan Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temuireng Curcuma aeruginosa Roxb di Pulau Madura. Jurnal Penelitian Medika Eksakta. 12: 114- 122. Laura, C. 2015. Management of Irish Equine Endoparasites. Veterinary Ireland. 511: 543-547. Lyons, E. T. 2014. Strongyloides westeri and Parascaris equorum: Observations in Field Studies in Thoroughbred Foal on Some Farms in Central Kentucky, USA. Springer. 511: 7-12. Mansyur, U; Tanuwiria, H; dan Rusmana, D. 2006. Eksplorasi Hijauan Pakan Kuda dan Kandungan Nutrisinya. Seminar Nasional Teknologi Peternakandan Veteriner. Bandung: Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Maswarni dan Nofiar, R. 2014. Majemen Pemeliharaan dan Pengembangbiakan Kuda. Jakarta Timur. Penerbit Swadaya. Mahfooz, A; Masood, M. Z; Yousaf, A; Akhtar, N; and Zafar, M. A. 2008. Prevalence and Anthelmintic Efficacy of Abamectin Against Gastrointestinal Parasites in Horse. Pakistan Veteriner. 2892: 76-78. Mustika, I dan Ahmad, R. Z. 2004. Peluang Pemanfaatan Jamur Nematofagus untuk Mengendalikan Nematoda Parasit pada Tanaman dan Ternak. Litbang Pertanian. 234: 115-122. Natadisastra, D dan Agus, R. 2009. Parasitologi kedokteran: ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Nezar, M. R; Susanti, R; dan Setiati, N. 2014. Jenis Cacing Pada Feses Sapi di TPA Jatibarang dan KTT Sidomulyo Desa Nongkosa Wit Semarang. Unnes Life Sci. 32: 93-102. Puspitasari, S; Sulistiawati, E; Basar, M; dan Farajallah, A. 2015. Efektivitas Ivermectin dan Albendazole dalam Melawan Ostertagia pada Anakan Domba di Bogor, Indonesia. Ilmu Petanian Indonesia. 203: 257-264. Ratnawati, E. W. 2004. Kejadian Infeksi Cacing Parasit Saluran Pencernaan Pada Kuda Delman Di Kota Bogor. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Ramadan, A. F; Abdulgani, N; dan Triyani, N. 2012. Perbandingan Prevalensi Pada Insang dan usus Mujair Oreochromis mossambicus yang Tertangkap di Sungai Aloo dan Tambak Keduk Peluk, Kecamatan Tangulangin, Sidoarjo. Sains dan Seni ITS. 11: 36-39. Reinemeyer, C. R. 2012. Anthelmintic Resistance In Non-Strongylid Parasites Of Horse. Vet Parasitol. 915: 185. Rozi, F. 2013. Infestasi Cacing Hati Fasciola sp. dan Cacing Lambung Paramphistomum sp. pada Sapi Bali Dewasa di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru. [skripsi]. Pekanbaru: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Sari, D. R; Kuswanti, N; dan Faizah, U. 2015. Pengaruh Konsentrasi Filtrat Kulit nenas Ananas comosus terhadap Mortalitas Ascaridia galli secara in Vitro. Lentera Bio. 31: 32-36. Sayuti, L. 2007. Kejadian Infeksi Cacing Hati Fasciola spp Pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem Bali. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Setiawan, D. K; Dwinata, I. M; dan Oka, I. B. M. 2014. Identifikasi Jenis Cacing Nematoda Pada Saluran Gastrointestinal Kuda Penarik Cidomo di Kecamatan Selong, Lombok Timur. Indonesia Medicus Veterinus. 35: 351-358. Sherman, G and Hillard, Y. 1996. Handbooks of Studies for Helmint Parasit of Ruminant. FAO of United. Soulsby, E. J. L. 1968. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Sixth Edition of Monnig’s Veterinary Helminthology and Entomology. Lea and Febiger Philadelphia. Philadelphia. Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II Mammalia, Manajemen Kesehatan Ternak, Parasitisme Gastrointestinal, dan Penyakit Metabolisme. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Sugeng, Y. B. 2000. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Suradi, K. 2004. Pengendalian Zoonosis Melalui Management Dan Penanganan Bahan Pangan Hasil ternak. Bandung: Universitas Padjajaran. Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan JIP. Syamsu, Y. 2006. Ascariasis, Respon IgE dan Upaya Penanggulannya. Universitas Airlangga Press. Surabaya. Taira, N. 1985. Sieving Technique with the Glass beadsLayer for Detection and Quantitation of faciola Eggs in Castle Feses. JARQ. 184: 290-297. Utama, S. 2011. Penetapan Kadar Kalsium Dalam Susu Kambing, Susu Kuda Liar dan Susu Sapi Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom. [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Utami, W. G. 2014. Pemanfaatan Enzim Papain Organik Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Daging Kuda Jantan Tua Di Kabupaten Humbang Hasundutan. [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera utara. Widnyana, I. G. N. P. 2013. Prevalensi Infeksi Parasit Cacing Pada Saluran Pencernaan Sapi Bali dan Sapi Rambon Di Desa Wosu Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali. Jurnal AgroPet. 102: 39-46. Williams, J. E. H and Williams, L. B. 1996. Parasites of Offshore Big game Fishes of Puerto Rico and The Western Atlantic. Sportfish Disease Project Departement of Biology University of Puerto Rico. Puerto Rico. Zulfikar; Hambal; dan Razali. 2012. Derajat Infestasi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Sapi di Aceh Bagian Tengah. Lentera. 123: 1-7.

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai selesai. Pengambilan sampel dilakukan di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Provinsi Sumatera Utara, Pemeriksaan parasit dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung low centrifuge, low centrifuge, rak tabung, box, timbangan, pengaduk, saringan mess 60, aspirator, camera digital, buku identifikasi parasit dan mikroskop. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain feses, glass beads, objek glass, pipet tetes, plastik ukuran 0,5 kg, sendok plastik, es batu, spidol permanen dan air keran. 3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1. Pengambilan sampel Sampel diperoleh dengan cara pengumpulan feses kuda secara acak sebanyak 30 ekor kuda dalam kandang 20 sampel kuda dewasa usia 2 tahun dan 10 sampel kuda anakan usia 2 tahun. Sampel feses diambil pada pagi hari setelah kuda melakukan defekasi Nezar dkk, 2014. Sampel yang diambil dalam keadaan segar diambil dari feses yang telah jatuh, kemudian mengorek bagian luar dan mengambil feses yang terdapat di bagian dalam feses tersebut sebanyak ±8 g. Feses dimasukkan ke dalam plastik dan dimasukkan ke dalam box yang telah diisi dengan es, yang berfungsi untuk memperlambat telur menjadi rusak dan menetas. Setiap sampel ditandai dengan waktu pengambilan sampel dan kepemilikan sampel Rozi, 2013.

3.3.2. Pemeriksaan Menggunakan Metode Sedimentasi Glass Beads

Satu gram feses dicampurkan dengan 10 ml air keran di dalam tabung A centrifuge ukuran 50 ml dan dihomogenkan. Setelah homogen, larutan disaring menggunakan saringan ukuran 60-90 wire mesh dan dituang ke dalam tabung B yang berisi tiga gram glass beads. Dibilas tabung A agar tidak ada suspensi yang tertinggal dan masukkan air bilasan ke tabung B sampai suspensi setinggi batas leher tabung. Biarkan lima menit agar terjadi suspensi Taira, 1985. Tabung B diletakkan ke dalam rotor dan putar lima kali pada kecepatan 10 detik per rotasi. Setelah tersuspensi, supernatant dibuang dengan aspirator. Tambahkan kembali air keran sebanyak 50 ml, aduk dan diamkan lima menit, selanjutnya masukkan ke dalam rotor dan putar lagi lima kali pada kecepatan 10 detik per rotasi Taira, 1985. Buangkan kembali supernatan dengan aspirator, diamkan lima menit untuk sedimentasi. Tambahkan kembali air keran ke dalam tabung B sampai setinggi leher tabung tuangkan kembali ke tabung A, diamkan lima menit. Buang supernatan dengan aspirator dan tinggalkan kira-kira 2 ml dari endapannya. Tuangkan seluruh endapan tersebut di atas sebuah slide kaca dengan pipet. Lakukan perhitungan telur endoparasit di bawah mikroskop. Taira, 1985.

3.3.3. Identifikasi

Endoparasit yang telah ditemukan diidentifikasi untuk mengetahui jenisnya menggunakan Atlas Parasitologi Hidajati dkk, 2009 dan Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals Soulsby, 1968. Hasil pemeriksaan diidentifikasi hingga tingkat spesies dan dibuat fotomikrograf dengan kamera digital Hernasari, 2011.

3.4. Analisis Data

Hasil pengamatan parasit gastrointestinal dengan metode sedimentasi glass beads disusun dalam bentuk tabel. Data dianalisis secara deskriptif dari hasil identifikasi dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut :

A. Tingkat Serangan Parasit

Tingkat serangan parasit dapat dikategorikan seperti pada Tabel 3.1. di bawah ini. Tabel 3.1. Kategori tingkat serangan parasit Parasit gastrointestinal Tingkat Serangan EPG Egg Per Gram Ringan Sedang Tinggi Berat Haemonchus 100-2500 2500-8000 8000 Ostertagia 50-200 200-2000 2000 Paramphistomum 1-75 75-150 150 Strongyloides 1-200 250-500 500 Ascaris 1-50 50-100 100 Sherman and Hillard, 1996; Kaplan and Nielsen, 2010; Reinemeyer, 2012.

B. Prevalensi dan Intensitas

Prevalensi merupakan presentase hewan ternak yang terinfeksi parasit Tabel 3.2.. Untuk menghitung prevalensi dari sampel dapat dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut : Prevalensi = Jumlah hewan ternak yang terserang parasit x 100 Jumlah hewan ternak yang diperiksa Untuk mengetahui tingkat prevalensi dapat dikategorikan berdasarkan Tabel 3.2. di bawah ini. Tabel 3.2. Kategori infeksi berdasarkan prevalensi No Nilai Kategori 1 100-99 Always 2 98-90 Almost always 3 89-70 Usually 4 69-50 Frequently 5 49-30 Commonly 6 29-10 Often 7 9-1 Occasionally 8 1-0,1 Rarely 9 0,1-0,01 Very rarely 10 0,01 Almost never Ramadan dkk, 2012. Keterangan : Always : parasit selalu menginfeksi dan tingkat infeksi ditimbulkan sangat parah 99-100 Almost always : parasit hampir selalu menginfeksi dan tingkat infeksi ditimbulkan parah 98-99 Usually : parasit biasanya menginfeksi 70-89 Frequently : parasit tersebut sering kali menginfeksi 50-69 Commonly : parasit tersebut biasa menginfeksi 30-49 Often : parasit tersebut sering menginfeksi 10-29 Occasionally : parasit kadang-kadang menginfeksi 1-9 Rarely : parasit tersebut jarang menginfeksi 1-0,1 Very rarely : parasit sangat jarang menginfeksi 0,1-0,01 Almost never : parasit tersebut tidak pernah menginfeksi 0,01 Untuk menghitung jumlah jenis parasit yang terdapat pada hewan ternak menggunakan rumus intensitas, nilai intensitas infeksi parasit dapat dilihat pada Tabel 3.3. Menurut Bush et al. 1997 untuk menghitung intensitas dari sampel dapat dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut : Intensitas = Jumlah parasit yang menginfeksi Jumlah hewan ternak yang terserang Untuk mengetahui tingkat intensitas dapat dikategorikan berdasarkan Tabel 3.3. di bawah ini. Tabel 3.3. Nilai Kategori Intensitas Nilai Keterangan 1 Inventaris parasit sangat ringan 1-5 Inventaris parasit ringan 6-50 Inventaris parasit sedang 51-100 Inventaris parasit berat 100 Inventaris parasit sangat berat 1000 Super infeksi parasit Williams Williams, 1996.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Telur Parasit Gastrointestinal

Berdasarkan hasil pemerikasaan terhadap 30 sampel feses kuda di peternakan Desa Sempajaya Berastagi, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan metode sedimentasi glass beads diperoleh 5 jenis telur parasit gastrointestinal. Klasifikasi jenis dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Jenis Telur Parasit Gastrointestinal Kuda di Peternakan Kuda Desa Sempajaya Berastagi Sumatera Utara Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies Nemathelmintes Nematoda Strongylida Tricostrongylidae Haemonchus Haemonchus sp. Strongylida Tricostrongylidae Ostertagia Ostertagia sp. Rhabditida Strongylidae Strongyloides Strongyloides westeri Ascaridida Ascarididae Ascaris Ascaris equorum Platyhelmintes Trematoda Echinostomida Paramphistomatidae Paramphistomum Paramphistomum sp. Pada data Tabel 4.1. memberikan gambaran bahwa ditemukan 2 filum Nemathelmintes dan Platyhelmintes, 2 Kelas Nematoda dan Trematoda, 4 Ordo Strongylida, Rhabditida, Ascaridida, dan Echinostomida, 4 famili Tricostrongylidae, Strongylidae, Ascarididae, dan Paramphistomatidae, dan 5 spesies yaitu Haemonchus sp., Ostertagia sp., Strongyloides westeri, Ascaris equorum, dan Paramphistomum sp. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa parasit kelas nematoda gastrointestinal lebih banyak dijumpai daripada trematoda pada kuda di desa Sempajaya Berastagi. Banyaknya jenis parasit nematoda gastrointestinal disebabkan karena nematoda termasuk ke dalam parasit golongan STH Soil Transmited Helminth. Dari hasil penelitian Ratnawati 2004, prevalensi infeksi campuran nematoda dan cestoda sebesar 86,7 , dan hanya 13,3 kuda delman di Bogor yang diperiksa terinfeksi tunggal cestoda, setelah diidentifikasi lebih lanjut jenis-jenis nematoda yang menyerang kuda adalah strongyloid, oxyurid, dan ascarid. Menurut Gandahusada dkk 2008, Soil Transmited Helminth adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. STH hidup di usus dan telurnya akan keluar melalui feses hospes. Telur tersebut akan tersimpan di dalam tanah dan berkembang menjadi infeksius jika telur matang. Jhoni dkk 2015, menjelaskan bahwa kejadian penyakit parasit nematoda gastrointestinal pada ternak yang belum pernah diberikan obat cacing lebih dipengaruhi oleh faktor sanitasi dan kebersihan kandang, jenis kelamin serta umur ternak. Berdasarkan hasil penelitian Mahfooz et al. 2008, kuda di Pakistan yang terserang parasit gastrointestinal mengalami penurunan rata-rata jumlah telur per gram EPG setelah diberikan antihelmin abamektin dengan dosis 0,2 mgkg berat badan. Pada penelitian ini, lebih dari 98 pengurangan rata-rata jumlah jelur per gram feses yang diamati setelah 14 hari pemberian antihelmin abamektin melalui subkutan. Karakteristik telur parasit yang ditemukan pada gastrointestinal kuda di desa Sempajaya Berastagi adalah sebagai berikut :

A. Haemonchus sp.

Haemonchus sp. memiliki bentuk telur oval, berwarna abu-abu, memiliki selubung selapis tipis, mengandung sel embrio bersegmen dan tidak berongga. Menurut Ballweber 2001, telur Haemonchus sp. berbentuk oval, berwarna abu- abu dengan selubung tipis beru kuran 70x30 μm, dan mengandung morula sebanyak 16-32 sel. Haemonchus sp. merupakan cacing nematoda saluran pencemaan yang banyak menyerang ternak. Penyakit yang disebabkan oleh cacing Haemonchus sp. disebut Haemonchosis. Haemonchosis merupakan penyakit parasiter yang bersifat endemik di Indonesia. Cacing betina dewasa Haemonchus sp. bertelur sebanyak 5.000 – 10.000 butir setiap hari. Haemonchus sp. adalah cacing penghisap darah dan merupakan satu-satunya cacing family Trichostrongylidae yang menyebabkan anemia secara primer. Hewan ternak yang terserang Haemonchus sp. juga mengalami penurunan nafsu makan Estuningsih dkk, 1996. Gambar 4.1. Telur Parasit Haemonchus sp. yang ditemukan pada Gastrointestinal Kuda di Berastagi perbesaran 400x

B. Ostertagia sp.