Strategy for Ecosystem of Mangrove Rehabilitation Throughout Damaged Level Analysis at Muara Angke Sanctuary, DKI Jakarta Province

(1)

STRATEGI REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE

MELALUI ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN

DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE

PROVINSI DKI JAKARTA

YOFI MAYALANDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan di Suaka Margasatwa Muara Angke Provinsi DKI Jakarta” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2013

Yofi Mayalanda


(4)

(5)

ABSTRACT

YOFI MAYALANDA. Strategy for Ecosystem of Mangrove Rehabilitation Throughout Damaged Level Analysis at Muara Angke Sanctuary, DKI Jakarta Province. Underdirection of FREDINAN YULIANDA and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.

The phenomenon of mangrove degradation that occurred in the last decade at Muara Angke Sanctuary is caused by various factors, such as land conversion to ponds for aquaculture, pollution, sedimentation, and variety of human activities around. Most of rehabilitation conducted in this area to recover mangrove ecosystem. Unfortunately, it had not yet significantly give positive impacts as wishes. The aim of this study are to analyze mangrove damaged level dan damaged rate, evaluate previous rehabilitation, and formulate strategy for mangrove rehabilitation. This study uses a mangrove vegetation analysis method, aquatic environment analysis, quesionaire analysis and interviews, and Landsat Image analysis. The results of this study classifiy mangrove vegetation in this area to very high density (2,82 ha or 37% of mangrove area), rare or damaged (1,23 ha or 16% of mangrove area) and damaged heavily (3,62 ha or 47% of mangrove area). Damaged rate of mangrove vegetation is 0,569 ha/year. Rehabilitation in this area have not yet significantly influence to mangrove ecosystem. Recommended strategy of rehabilitation according to this research are strategy for ecology, policy, sosial and economy.


(6)

(7)

RINGKASAN

YOFI MAYALANDA. Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan di Suaka Margasatwa Muara Angke Provinsi DKI Jakarta. Underdirection of FREDINAN YULIANDA and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis, antara lain: sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah tempat pemijahan (spawning ground), dan mencari makanan bagi berbagai jenis biota laut yang hidup di dalamnya (feeding ground) (Bengen 2000). Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi fisik, yaitu sebagai daerah peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen.

Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA), Provinsi DKI Jakarta, ditetapkan sebagai kawasan konservasi (Suaka Margasatwa) melalui SK Menteri Kehutanan No. 097/Kpts-II/98 pada tanggal 29 Februari 1998. Luas kawasan ini yaitu 25,02 Ha dengan mangrove sebagai ekosistem utama. Kawasan ini mendapatkan tekanan antropogenik yang cukup tinggi, baik dari pemukiman dan perindustrian di sekitarnya, aktivitas masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai, pencemaran oleh limbah cair maupun sampah padat terutama plastik yang dialirkan Sungai Angke, maupun karena putusnya sirkulasi air laut akibat kegiatan pertambakan. Hal ini menyebabkan perairan di dalam kawasan tercemar, akar mangrove tertutup sampah plastik, dan salinitas di kawasan rendah. Invasi enceng gondok di dalam kawasan mengindikasikan bahwa perairan di SMMA cenderung tawar.

Salah satu cara untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang rusak adalah dengan rehabilitasi (Perry dan Berkeley 2009). Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di kawasan SMMA hingga saat ini belum memberikan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, diperlukan strategi rehabilitasi yang efektif untuk memulihkan fungsi ekologis dan ekonomi kawasan ini. Salah satu langkah yang dapat dilakukan dalam upaya tersebut yaitu dengan melakukan analisis tingkat kerusakan dan mengevaluasi upaya-upaya rehabilitasi yang selama ini telah dilakukan, sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang lebih baik dalam rangka pemulihan ekosistem mangrove di kawasan. Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis tingkat dan laju kerusakan ekosistem mangrove, melakukan evaluasi rehabilitasi yang pernah dilakukan, dan membuat rekomendasi strategi rehabilitasi.

Penelitian ini dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, DKI Jakarta pada bulan Mei hingga Juli 2011. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data vegetasi mangrove, kualitas perairan, persepsi masyarakat, upaya rehabilitasi yang telah dilakukan di kawasan, data citra, dan data kependudukan di sekitar SMMA. Analisis data vegetasi meliputi persen penutupan relatif, kerapatan relatif dan frekuensi relatif, dan Indeks Nilai Penting (English et al 1994). Kualitas perairan dianalisis secara kualitatif deskriptif, sesuai dengan Kepmen LH No. 51/2004 tentang Baku Mutu Air untuk Biota Laut dan Ekosistem Mangrove. Data hasil kuesioner dan upaya rehabilitasi di kawasan dianalisis secara deskriptif. Penentuan tingkat kerusakan dilakukan berdasarkan


(8)

kerapatan (hasil sampling) dan penutupan vegetasi mangrove (hasil pengolahan data citra). Dalam penelitian ini ditentukan 5 kelas kondisi kerapatan mangrove, yaitu: sangat baik, baik, cukup, rusak, dan sangat rusak. Hasil perolehan kondisi mangrove ini dioverlay ke dalam peta kerusakan mangrove, sehingga diperoleh kondisi mangrove secara spasial. Perubahan luasan mangrove diperoleh dengan overlay data citra tahun 2000 dan 2010. Strategi rehabilitasi mangrove di kawasan dirumuskan berdasarkan hasil analisis vegetasi, kualitas perairan, kuesioner, upaya rehabilitasi sebelumnya, dan tingkat kerusakan ekosistem. Setelah itu dilakukan identifikasi permasalahan meliputi akar masalah, dampak ekologi, jenis kerusakan yang ditimbulkan, serta upaya yang telah dilakukan dan kendala yang dihadapi. Kemudian dibuat skala prioritas komponen yang perlu dibenahi, strategi yang perlu dilakukan di kawasan dan stakeholder yang perlu dilibatkan.

Kawasan SMMA sebagian besar ditutupi oleh vegetasi berupa tutupan semak (37,47%), lahan terbuka (32,56%), vegetasi mangrove (22,62%) dan nipah (7,35%). Vegetasi mangrove di SMMA didominasi oleh jenis Sonneratia caseolaris dengan Indeks Nilai Penting (INP) 289,21 %. Dalam petak contoh tersebut hanya terdapat 2 tingkat pertumbuhan mangrove, yang terdiri dari 73% pohon dan 27% pancang. Salinitas di semua titik sampling di kawasan tergolong sangat rendah, yaitu berkisar antara 0-0,2 ‰. Kondisi vegetasi mangrove di SMMA berdasarkan penentuan selang kerapatan pohon di dalam kawasan tergolong dalam kriteria sangat rusak, rusak dan sangat baik. Tingkat kerusakan mangrove di dalam kawasan didominasi oleh kelas sangat rusak, yaitu sebesar 47% (3,62 ha), sedangkan persentase kerapatan vegetasi mangrove yang tergolong kelas sangat baik di dalam kawasan SMMA yaitu sebesar 37% (2,82 ha), dan rusak sebesar 16% (1,23 ha). Hasil analisis data citra menunjukkan bahwa luas tutupan mangrove di SMMA mengalami penurunan sebesar 5,69 ha. Laju kerusakan mangrove yang terjadi di kawasan SMMA berdasarkan analisis data citra yaitu sebesar 0,569 ha per tahun.

Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di kawasan saat ini masih bersifat rutinitas, yaitu berupa kegiatan pengamanan kawasan yang dilakukan oleh petugas di kawasan. Kegiatan lain seperti penanaman bibit mangrove, aksi bersih sampah, dan pembersihan enceng gondok dilakukan oleh BKSDA dan stakeholder diantaranya mahasiswa perguruan tinggi, LSM Jakarta Green Monster (JGM) dan Kelurahan Kapuk Muara, serta pihak swasta lainnya. Responden pada umumnya mengetahui tentang keberadaan SMMA sebagai kawasan yang dilindungi yaitu sebesar 76,67% dari mereka, sedangkan 23,33% belum mengetahui tentang SMMA. Responden sebagian besar belum pernah berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, sehingga banyak dari mereka yang belum mengetahui tentang kegiatan tersebut. Namun, banyak dari mereka yang memiliki ketertarikan untuk terlibat apabila diadakan kegiatan rehabilitasi mangrove.

Hasil identifikasi permasalahan di kawasan menunjukkan bahwa akar masalah yang menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove diantaranya adanya kegiatan MCK, pembuangan limbah kulit kerang hijau di bantaran sungai, Sungai Angke sebagai ujung dari banjir kanal barat mengalirkan berbagai jenis limbah cair dan sampah padat, laju dari sungai yang lebih dominan, serta terjadinya pendangkalan di sekitar pintu masuk air ke kawasan. Hal tersebut menyebabkan dampak ekologi diantaranya pencemaran di kawasan, pendangkalan dan penyempitan badan sungai, penggenangan air tawar lebih dominan dan pasang


(9)

surut air laut menuju kawasan menjadi terhambat. Dampak tersebut mengakibatkan jenis kerusakan pada ekosistem mangrove yaitu banjir pada saat curah hujan tinggi dan air pasang, sedimentasi di kawasan, permukaan air berminyak dan berbau tidak sedap, pencemaran oleh sampah khususnya plastik, invasi enceng gondok, pola permudaan mangrove tidak seimbang dan pertumbuhan mangrove menjadi terganggu.

Berdasarkan identifikasi permasalahan yang terjadi di SMMA dan sekitarnya, dapat diketahui beberapa komponen permasalahan yang perlu dibenahi untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove di kawasan. Komponen tersebut diantaranya: komponen ekologi sebagai prioritas pertama, yang meliputi habitat dan lingkungan termasuk didalamnya sumberdaya mangrove; komponen kebijakan sebagai prioritas kedua, yang meliputi rencana pengelolaan kawasan, adaptasi dengan kebijakan regional dan nasional (Kementerian Kehutanan); komponen sosial sebagai prioritas ketiga, yang meliputi penyadartahuan dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga kualitas lingkungan tempat tinggalnya terutama di sekitar kawasan dan pelibatan stakeholder terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya; serta komponen ekonomi, yang meliputi rencana pengusahaan wisata alam terbatas di SMMA untuk meningkatkan pemanfaatan di dalam kawasan. Oleh karena itu, strategi yang perlu dilakukan yaitu perbaikan pada komponen ekologi, kebijakan, sosial dan ekonomi.


(10)

(11)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(12)

(13)

STRATEGI REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE

MELALUI ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN

DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE

PROVINSI DKI JAKARTA

YOFI MAYALANDA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(14)

(15)

(16)

Nama

NRP

Pl'Ogral11 Studi

Provinsi DK! .Jakarta Yofi Mayalanda

C252090171

: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Di setujlli Komisi Pembimbing

-a

Dr. lr. Fredinan Yulianda, M.Sc M.Sc

Ketua

Diketahui.

Anggota

Keliiil Program Sludi

Prof. Dr. Ir . MennofatriaBoer, DEA


(17)

Judul Tesis : Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Provinsi DKI Jakarta

Nama : Yofi Mayalanda

NRP : C252090171

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc

Anggota

Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. MennofatriaBoer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(18)

(19)

PRAKATA

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penelitian dengan judul Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan di Suaka Margasatwa Muara Angke Provinsi DKI Jakarta dapat diselesaikan. Tulisan ini berisi tentang kondisi tingkat dan laju kerusakan mangrove di kawasan, kondisi kualitas air, upaya rehabilitasi yang telah dilakukan serta tingkat partisipasi masyarakat.

Harapan penelitian ini terutama dari pendekatan ekologi dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan kawasan. Selain itu, dengan adanya identifikasi akar masalah yang terjadi di dalam dan sekitar kawasan, semoga dapat menjadi masukan untuk penetapan rencana pengelolaan selanjutnya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna untuk bisa jadi rujukan dalam pelaksanaan penelitian, sehingga perlu adanya perbaikan dan pengembangan baik dalam teori dan metodologi. Saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini dan penulisan karya ilmiah selanjutnya demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Juni 2013


(20)

(21)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya penelitian dan tesis ini:

1. Kedua Orang Tua, Kakak, Adik dan Suami tercinta – Ibrahim Sumardi, S.Hut, yang selalu mendoakan dan mendukung penulis untuk terus belajar dan berusaha.

2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing, yang sangat berperan aktif membimbing penulis dalam penyelesaian tugas akhir, memberikan wawasan dan pendidikan selama proses belajar di IPB.

3. Dr. Ir. Nyoto Santoso, MS selaku dosen penguji luar komisi atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini.

4. Prof. Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi, seluruh staf dosen dan staf sekretariat Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas segala arahan, sumbangsih IPTEK, bantuan dan kerjasama yang mendukung selama studi.

5. Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi DKI Jakarta yang telah memberikan izin untuk penelitian di dalam kawasan SMMA dan memberikan bantuan data serta pendampingan selama di lokasi.

6. LPP Mangrove dan LSM Jakarta Green Monster (JGM) yang telah memberikan bantuan baik berupa data mengenai lokasi dan sumberdaya di dalamnya maupun waktu untuk diskusi.

7. Teman-teman Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan angkatan 16 tahun 2009 Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Ita Karlina, James Walalangi, Moch. Idham Shilman, Al Azhar, Sudirman Adibrata, Syultje M. Latukolan, Rieke Kusuma Dewi, Moch. Sayuti Djau, Mohamad Akbar, Suryo Kusumo, RM. Puji Rahardjo, Dewi Dwi Puspitasari Sutedjo, Andi Chodijah, Fery Kurniawan, Destilawaty dan Aldino Akbar) terimakasih banyak atas saran, kritik dan dorongan selama proses belajar bersama.

8. Teman-teman yang telah membantu penelitian di lapangan dan teman diskusi tesis (Ita, Dijah, Rieke, James, Mas Suryo, Nico, Jatil, Adian Rindang, Anis, Fery, Uie, Ahmad, mb Ita dan Anir).

9. Teman-teman kost Vamdi generasi akhir (Diano, Pipita, Mb Mila, Phyto, Vida, Winda, Lyza, Jatil, Intan, Mega), serta Etoser Aisyah dan Khadijah, terutama pendamping etos putri, atas kebersamaan dan bantuannya.

10. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.


(22)

(23)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera Selatan pada tanggal 12 Januari 1985 dari ayah Dewi Murni dan ibu Sulas Hidayati, BA. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara (Reffis Jopanka, S.Sos–Kakak dan Morian Sandiago– Adik). Penulis menikah dengan Ibrahim Sumardi, S.Hut pada tahun 2012.

Pendidikan penulis diselesaikan di SDN 26 Baturaja tahun 1996, SMPN 2 Baturaja tahun 1999, SMUN 1 Baturaja tahun 2002 dan mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor tahun 2007.

Pada tahun 2009 penulis berkesempatan meneruskan studi magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.


(24)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... ii DAFTAR GAMBAR ... iii DAFTAR LAMPIRAN ... iv 1. PENDAHULUAN ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan ... 4 1.4. Manfaat ... 4 1.5. Kerangka Penelitian ... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA... 7 2.1. Definisi Mangrove ... 7 2.2. Karakteristik Ekosistem Mangrove ... 7 2.3. Parameter Lingkungan Utama ... 9 2.4. Sebaran Ekosistem Mangrove di Indonesia ... 12 2.5. Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 12 2.6. Rehabilitasi Ekosistem Mangrove ... 14 2.7. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 17 3. METODOLOGI ... 19 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19 3.2. Jenis Data ... 19 3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 20 3.5. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 26 3.6. Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove ... 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29 4.1. Profil Umum Suaka Margasatwa Muara Angke ... 29 4.2. Kondisi Existing Kawasan ... 35 4.3. Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Kawasa ... 48 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78 5.1. Kesimpulan ... 78 5.2. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA ... 80

Halaman


(25)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Lokasi dan Luas Hutan Mangrove di Beberapa Provinsi Indonesia pada tahun 1996. ... 12 Tabel 2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data. ... 20 Tabel 3 Histori Pengelolaan Kawasan dan Sekitarnya. ... 30 Tabel 4 Jumlah Penduduk Kelurahan Kapuk Muara Menurut Mata Pencaharian.

... 34 Tabel 5 Jumlah Penduduk di Kelurahan Pluit Menurut Pendidikan dan Mata

Pencaharian. ... 35 Tabel 6 Luas Tutupan Lahan di SMMA. ... 37 Tabel 7 Struktur Vegetasi Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke... 38 Tabel 8 Hasil Sampling Kualitas Air di SMMA ... 39 Tabel 9 Selang Kerapatan dan Kriteria Kondisi Vegetasi Mangrove SMMA. .. 44 Tabel 10 Kondisi Vegetasi Mangrove SMMA. ... 44 Tabel 11 Perubahan Luas Tutupan dan Laju Kerusakan Mangrove di SMMA. .. 48 Tabel 12 Kegiatan Rehabilitasi Ekosistem yang Pernah Dilakukan di Kawasan. 52 Tabel 13 Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Kawasan SMMA. ... 74


(26)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pendekatan Penelitian. ... 5 Gambar 2 Alternatif Pola Tanam Pada Penanaman Murni Sistem Banjar Harian. ... 16 Gambar 3 Pola Tumpang Sari. ... 16 Gambar 4 Tahapan Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove. ... 21 Gambar 5 Skema metode garis berpetak pada pengambilan data mangrove. ... 21 Gambar 6 Contoh Peletakan Garis Transek Pada Setiap Zona Mangrove... 22 Gambar 7 Proses Pengumpulan Data. ... 24 Gambar 8 Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. ... 29 Gambar 9 Aktivitas Masyarakat di Bantaran Sungai Angke. ... 32 Gambar 10 Peta Lokasi Sampling Vegetasi Mangrove. ... 36 Gambar 11 Peta Klasifikasi Tutupan Lahan di SMMA. ... 37 Gambar 12 Tutupan Enceng Gondok di SMMA pada Tahun 2011... 38 Gambar 13 Pola Permudaan Vegetasi Mangrove di SMMA. ... 39 Gambar 14 Peta Lokasi Sampling Kualitas Air. ... 40 Gambar 15 Pintu Masuk Air di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. ... 41 Gambar 16 Kondisi Kali Angke yang Tercemar Sampah Plastik. ... 42 Gambar 17 Penutupan Semak dan Invasi Enceng gondok di dalam Kawasan. ... 42 Gambar 18 Peta Tingkat Kerusakan Vegetasi Mangrove di SMMA. ... 45 Gambar 19 Peta Sebaran Ekosistem Mangrove SMMA. ... 46 Gambar 20 Peta Perubahan Tutupan Vegetasi Mangrove di SMMA. ... 47 Gambar 21 Kondisi Tegakan Sonneratia caseolaris pada tahun 2011 Hasil... 58 Gambar 22 Pengetahuan Responden Tentang SMMA dan Pihak Pengelola. ... 61 Gambar 23 Persepsi Responden Mengenai Mangrove dan SMMA. ... 61 Gambar 24 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terkait Kegiatan Rehabilitasi . 62 Gambar 25 Identifikasi Permasalahan dan Kegiatan Rehabilitasi di SMMA. ... 65 Gambar 26 Peta Zona Rehabilitasi Ekosistem Mangrove SMMA. ... 75

iii


(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Sampling Analisis Vegetasi Mangrove di SMMA. ... 84 Lampiran 2 Histori Pengelolaan Kawasan SMMA dan Sekitarnya. ... 86 Lampiran 3 Kuesioner Institusi Pengelola SMMA. ... 88 Lampiran 4 Kuesioner untuk LSM. ... 92 Lampiran 5 Kuesioner untuk Masyarakat. ... 95 Lampiran 6 Hasil Analisis Kualitas Air dan Substrat di SMMA. ... 99


(28)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis, antara lain: sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah tempat pemijahan (spawning ground), dan mencari makanan bagi berbagai jenis biota laut yang hidup di dalamnya (feeding ground) (Bengen 2000). Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi fisik, yaitu sebagai daerah peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen.

Berjalannya fungsi ekologis hutan mangrove secara optimal dapat menjamin keberlangsungan dan ketersediaan populasi ikan, yang terdapat di perairan sekitar ekosistem tersebut. Secara ekonomis, hal ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi masyarakat pesisir yang sebagian besar hidup dari memanfaatkan sumberdaya pesisir, terutama perikanan.

Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia, menyebabkan kebutuhan terhadap sumberdaya alam dan lahan baik untuk pemukiman maupun mata pencaharian juga meningkat, termasuk di wilayah pesisir. Hal ini menyebabkan tingkat eksploitasi sumberdaya alam dan konversi lahan juga meningkat. Ekosistem mangrove yang dari segi ekonomi sangat potensial, telah banyak dikonversi menjadi lahan pemukiman, tambak dan industri lainnya, sehingga menyebabkan laju degradasi mangrove semakin meningkat. Luas hutan mangrove yang berstatus kawasan hutan di Indonesia pada tahun 1993 diperkirakan seluas 3.765.250 ha. Dalam kurun waktu 6 tahun (tahun 1993-1999), luas areal hutan mangrove berkurang sekitar 1,3%. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana (1995) in (Anonim 2008), diketahui bahwa dalam kurun waktu 11 tahun (antara tahun 1982-1993), luas hutan mangrove turun sebesar 11,3 % (4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta ha pada tahun 1993) atau 1 % per tahun. Hingga pada tahun 2009, berdasarkan pemetaan oleh BAKOSURTANAL, menunjukkan bahwa tutupan existing mangrove Indonesia mendekati 3,3 juta hektar (Bakosurtanal 2009).

Kondisi mangrove yang ada ini juga tidak semua dapat dikatakan dalam kondisi baik. Kerusakan mangrove yang terjadi di berbagai daerah tidak hanya


(29)

karena adanya konversi lahan, tetapi juga disebabkan oleh tingkat pencemaran yang tinggi di sekitar kawasan, sedimentasi, tertutupnya aliran air laut ke dalam ekosistem mangrove, serta faktor penyebab lainnya yang mengakibatkan ekosistem mangrove terdegradasi. Kerusakan ekosistem mangrove ini menyebabkan fungsi ekologisnya sebagai suatu ekosistem tidak berjalan secara optimal. Ditjen RLPS (Rehabilitasi Lahan dan Pengelolaan Sumberdaya), Departemen Kehutanan pada tahun 1999/2000 in (Anonim 2008) menginformasikan bahwa potensi mangrove di Indonesia adalah 9,2 juta ha, dan 5,3 juta ha di antaranya atau sekitar 57,6 % dari luas hutan mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak, dimana sebagian besar, yakni sekitar 69,8 % atau 3,7 juta ha terdapat di luar kawasan hutan dan sisanya sekitar 30,2 % atau 1,6 juta ha terdapat di dalam kawasan hutan.

Suaka Margasatwa Muara Angke, Provinsi DKI Jakarta, ditetapkan sebagai kawasan konservasi (Suaka Margasatwa) melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/98 pada tanggal 29 Februari 1998. Luas kawasan ini yaitu 25,02 Ha dengan mangrove sebagai ekosistem utama. Suaka Margasatwa Muara Angke terletak pada 6o 8' LS dan 106o

Rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasan konservasi ini pernah dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta. Sejak Desember 1999, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (LPP Mangrove) telah melakukan upaya rehabilitasi. Pada akhir tahun 2002, 47' BT. Di kawasan ini pada mulanya sering terjadi penebangan dan pencurian kayu mangrove, dan terjadinya pencemaran di perairan. Pemutusan sirkulasi air laut menuju kawasan yang diakibatkan oleh kegiatan pertambakan menyebabkan penurunan salinitas perairannya. Hal ini mengakibatkan invasi enceng gondok di kawasan ini, sehingga keberadaan mangrove sebagai vegetasi utama di dalam kawasan ini menjadi semakin berkurang.

Rehabilitasi merupakan salah satu solusi dalam rangka memulihkan kondisi ekosistem yang telah rusak. Rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem mangrove yang dilakukan selama ini belum memberikan hasil yang maksimal. Rehabilitasi ekosistem mangrove Muara Angke selama ini tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah, tetapi juga akademisi maupun organisasi kemasyarakatan.


(30)

lembaga ini bersama dengan Standard Chatered Bank melakukan penanaman 3000 bibit tanaman mangrove (Sonneratia sp.) dalam upaya memulihkan ekosistem di kawasan Muara Angke. Namun, bibit tersebut tidak dapat tumbuh dengan baik. Hal ini dikarenakan akar napas tanaman mangrove tersebut tertutup oleh sampah plastik yang terbawa ke sekitar ekosistem mangrove pada saat musim hujan dan air pasang. Berbagai upaya rehabilitasi tersebut hingga saat ini belum memberikan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, diperlukan strategi rehabilitasi yang efektif untuk memulihkan fungsi ekologis dan ekonomi kawasan ini. Salah satu langkah yang dapat dilakukan dalam upaya tersebut yaitu dengan melakukan analisis tingkat kerusakan dan mengevaluasi upaya-upaya rehabilitasi yang selama ini telah dilakukan, sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang lebih baik dalam rangka pemulihan ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke.

1.2. Rumusan Masalah

Ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke masih dalam kondisi rusak. Vegetasi mangrove di kawasan konservasi ini belum dapat berkembang dengan baik, akibat dari parameter tumbuhnya yang terganggu. Terhambatnya aliran air laut ke kawasan ini menyebabkan perairan menjadi tawar, sehingga mendorong terjadinya invasi enceng gondok. Selain itu, pencemaran di Suaka Margasatwa Muara Angke tergolong tinggi, baik berupa limbah cair maupun padat, diantaranya minyak dan plastik. Akar nafas tanaman mangrove banyak yang ditutupi oleh sampah plastik. Permukaan perairan di kawasan ini pun ditutupi oleh limbah cair seperti minyak. Hal ini semakin memperburuk keadaan.

Melihat kondisi tersebut, pihak pengelola kawasan beserta stakeholder lainnya telah melakukan berbagai upaya rehabilitasi untuk memulihkan ekosistem mangrove. Kegiatan rehabilitasi mangrove ini telah dimulai sejak tahun 1999. Upaya rehabilitasi tersebut hingga saat ini belum dapat memulihkan ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke. Hal ini mungkin disebabkan oleh laju kerusakan ekosistem tersebut lebih cepat dibandingkan dengan upaya rehabilitasinya. Meskipun demikian rehabilitasi mangrove yang secara kontinyu dilakukan oleh berbagai pihak di sekitar kawasan ini mulai menunjukkan hasilnya.


(31)

Berdasarkan situasi di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang perlu dijawab, yaitu:

1. Bagaimana tingkat dan laju kerusakan ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke, beserta faktor-faktor penyebabnya?

2. Bagaimana upaya rehabilitasi yang telah dilakukan sebelumnya?

3. Bagaimana strategi rehabilitasi mangrove yang efektif untuk kawasan tersebut?

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. menganalisis tingkat kerusakan dan laju kerusakan beserta faktor-faktor penyebabnya

2. melakukan evaluasi kegiatan rehabilitasi yang telah dilakukan 3. membuat rekomendasi strategi rehabilitasi

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa informasi tingkat kerusakan ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke dan rekomendasi upaya rehabilitasi yang efektif.

1.5. Kerangka Penelitian

Pada Penelitian ini akan dilakukan kajian aspek ekologi serta sosial-ekonomi dan kelembagaan. Selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap struktur komunitas mangrove, analisis lingkungan baik perairan maupun substrat, analisis persepsi masyarakat, analisis data citra dan evaluasi efektivitas rehabilitasi sebelumnya. Setelah itu, akan diperoleh tingkat dan laju kerusakan ekosistem mangrove dari hasil analisis struktur komunitas mangrove, analisis lingkungan dan analisis data citra. Sedangkan dari analisis terhapda persepsi masyarakat akan diperoleh data mengenai tingkat pengetahuan, kepedulian dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove dan kawasan. Tingkat keberhasilan dan kendala atau hambatan dalam upaya rehabilitasi akan diperoleh melalui evaluasi


(32)

efektivitas rehabilitasi sebelumnya. Berdasarkan analisis yang akan dilakukan tersebut, akan dirumuskan rekomendasi strategi rehabilitasi ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke. Secara skematis, kerangka pendekatan penelitian ini ditampilkan pada gambar 1 berikut:

Ekosistem Mangrove

Kawasan Konservasi

Degradasi

Permasalahan? 1. Kerusakan ekosistem mangrove

2. Rehabilitasi belum signifikan

Kajian Ekologi Kajian Sosial dan

Kelembagaan

Analisis Struktur Komunitas Mangrove

Analisis Lingkungan

(Air dan Substrat) Persepsi

Evaluasi Efektivitas Rehabilitasi

Tingkat dan laju kerusakan

Rekomendasi Strategi Rehabilitasi Ekosistem

Mangrove

Pengetahuan dan partisipasi

- Tingkat keberhasilan - Kendala/hambatan Analisis Data

Citra


(33)

(34)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Mangrove

Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Nybakken (1988) menggambarkan mangrove sebagai suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas, atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Pada dasarnya vegetasi mangrove merupakan vegetasi daratan yang mampu beradaptasi di perairan dengan kadar salinitas tertentu dan kadar oksigen yang rendah. Mangrove dapat tumbuh dengan baik di perairan yang cukup pasokan air tawarnya, adanya pengaruh pasang surut air laut secara berkala, dan pada kondisi perairan yang cukup terlindung dari gelombang (gerakan air minimal). Ekosistem mangrove biasanya ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen 2000). Mangrove juga lebih banyak dijumpai di wilayah pesisir dengan topografi landai (Dahuri 2003).

2.2. Karakteristik Ekosistem Mangrove

Vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dengan jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerah ini biasanya tergenang air laut secara berkala, baik tiap hari maupun pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan air laut ini menentukan komposisi vegetasi mangrove. Mangrove dapat tumbuh dengan baik salah satunya apabila mendapat pasokan air tawar yang cukup dari darat (Bengen 2000). Oleh karena itu, mangrove dapat tumbuh dengan optimal di daerah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta dengan aliran air yang banyak mengandung lumpur. Sebaliknya, mangrove tidak dapat tumbuh optimal di wilayah pesisir yang tidak memiliki muara sungai. Mangrove juga sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar, dengan arus pasang surut yang kuat. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut tidak memungkinkan


(35)

terjadinya pengendapan lumpur yang merupakan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Dahuri 2003).

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis, antara lain: sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah tempat pemijahan (spawning ground), dan mencari makanan bagi berbagai jenis biota laut yang hidup di dalamnya (feeding ground) (Bengen 2000). Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove merupakan perairan yang kaya nutrien, sehingga terdapat berbagai jenis biota yang hidup di dalamnya, seperti moluska, kepiting, ikan, burung, dan beberapa jenis primata (Nybakken 1988). Rantai makanan yang terbentuk di ekosistem mangrove berasal dari kegiatan mikroorganisme yang menguraikan serasah dari pohon mangrove yang jatuh ke perairan. Serasah yang telah diuraikan tersebut kemudian menjadi bahan organik terlarut atau Dissolved Organic Matter (DOM). Sebagian DOM tersebut langsung digunakan oleh mikroorganisme lainnya, dan mikroorganisme tersebut dimakan oleh konsumen yan lebih besar (Odum dan Held 1975 in Raffaelli dan Hawkins 1996). Kegiatan rantai makanan ini merupakan bentuk transfer energi di dalam ekosistem.

Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi fisik, yaitu sebagai daerah peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen. Mangrove dapat diakui resilien selaras dengan perubahan garis pantai. Hal ini didukung dengan bukti bahwa laju akresi tanah pada ekosistem mangrove seiring dengan peningkatan rata-rata muka air laut. komposisi tegakan dan struktur hutan merupakan hasil kompleks dari pengaruh toleransi secara fisiologi dan interaksi kompetitif yang mengarah pada potongan dari rangkaian suksesi, dalam merespon perubahan bentuk lahan dan gradien secara fisik atau kimia. Ekosistem mangrove mungkin hanya memberikan perlindungan yang terbatas dari tsunami, dimana beberapa model menunjukkan bahwa diperlukan luasan mangrove sekitar 100 m untuk dapat mereduksi gelombang tsunami. Besarnya absorpsi energi tergantung pada kerapatan pohon, diameter batang dan akar, kemiringan pantai, batimetri dan karakteristik spektral danri gelombang yang masuk, dan tingkatan pasang surut yang memasuki kawasan. Gangguan akhir, perubahan iklim, dapat mengarah pada kehilangan global maksimum antara 10-15% hutan mangrove, namun harus dipertimbangkan


(36)

pengaruh sekundernya dibandingkan laju deforestasi tahunan yang mencapai 1-2% (Alongi 2008).

2.3. Parameter Lingkungan Utama

Terdapat tiga parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove (Dahuri 2003), yaitu:

a. Ketersediaan air tawar dan salinitas. Ketersediaan air tawar pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh: a). frekuensi dan volume air sistem sungai dan irigasi dari darat, b). Frekuensi dan pertukaran air pasang surut, c). Tingkat evaporasi ke atmosfer. Apabila suplai air tawar tidak tersedia, dapat menyebabkan kadar garam tanah dan air berada dalam kondisi ekstrim, sehingga dapat mengancam keberlangsungan hidupnya. Konversi lahan di daratan sekitar ekosistem mangrove dapat menyebabkan terjadinya modifikasi masukan air tawar. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan kadar garam serta perubahan aliran nutrien dan sedimen di ekosistem mangrove.

b. Pasokan nutrien. Pasokan nutrien pada ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, diantaranya ion-ion mineral anorganik, bahan organik dan pendaur-ulangan nutrien secara internal melalui jaring makanan yang berbasis detritus. Pasokan nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove yaitu a). Frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan air asin atau air tawar, b). Dinamika yang kompleks dari sirkulasi internal detritus.

c. Stabilitas substrat. Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen, diatur oleh pergerakan angin, sirkulasi pasang surut, partikel tersuspensi, dan kecepatan aliran air tawar.

Kusmana et al. (2003) menyebutkan bahwa faktor-faktor lingkungan untuk pertumbuhan mangrove terdiri dari beberapa faktor, sebagai berikut:

a. Fisiografi pantai, yaitu merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies serta ukuran dan luasan mangrove. Umumnya, semakin datar


(37)

pantai, akan semakin lebar luasan mangrove, karena semakin besarnya pasang surut.

b. Iklim, diantaranya cahaya, curah hujan, suhu, dan angin.

1) Cahaya. Pada umumnya, tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi dan penuh, dengan kisaran optimal untuk pertumbuhan yaitu 3000-3800 kkal/m2

2) Curah hujan. Mangrove dapat tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun.

/hari. Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizophora mucronata dan R. apiculata. Intensitas cahaya 75% dapat mempercepat pertumbuhan bibit

Bruguiera gymnorrhiza. Selain itu, intensitas cahaya 75% juga meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rhizophora mucronata, R. apiculata, dan Bruguiera gymnorrhiza.

3) Suhu udara, merupakan salah satu elemen penting, terutama dalam proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20°C dan perbedaan suhu musiman tidak lebih dari 5°C, kecuali di daerah Afrika Timur yang memiliki perbedaan suhu musiman mencapai 10°C.

4) Angin, yang berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, serta meningkatkan evapotranspirasi. Selain itu, angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis yang abnormal pada tanaman mangrove.

c. Pasang surut, yang berpengaruh terhadap zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut ini berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas di daerah mangrove. Perubahan tingkat salinitas inilah yang menjadi salah satu faktor pembatas distribusi spesies, khususnya secara horizontal. Contohnya yaitu Rhizophora mucronata dapat tumbuh dengan baik pada areal yang selalu tergenang, sedangkan Bruguiera gymnorrhiza


(38)

d. Gelombang dan arus. Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada pantai dengan gelombang yang tidak terlalu besar, dan arus yang tenang.

e. Salinitas. Mangrove dapat tumbuh subur pada kisaran salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies dapat tumbuh pada estuari dengan salinitas antara 63-74 ppt. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt-tolerant bukan salt-demanding, sehingga dapat tumbuh dengan baik pula di habitat air tawar. f. Oksigen terlarut. Menurut Aksornkoae (1978) in Kusmana et al. (2003),

konsentrasi oksigen terlarut yang dapat ditemukan di ekosistem mangrove berkisar antara 1,7-3,4 mg/l, lebih rendah dibandingkan di daerah di luar ekosistem mangrove yaitu 4,4 mg/l.

g. Tanah, yang dibentuk oleh akumulasi sedimen dari pantai dan erosi hulu sungai. Mangrove biasanya tumbuh pada daerah berlumpur, namun beberapa spesies tumbuh pada daerah berpasir, berkerikil bahkan bergambut.

h. Nutrien, yang dibagi menjadi nutrien organik dan inorganik. Nutrien inorganik diantaranya N, P, K, Mg, dan Na. Sumber nutrien inorganik yaitu hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Sedangkan nutrien organik diantaranya detritus organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui tahap-tahap degradasi mikrobial.

i. Proteksi. Mangrove dapat berkembang dengan baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang kuat, seperti laguna, estuari, teluk, dan delta.

Arus pasang surut dan run off mengontrol pertukaran material yang melalui batas ekosistem estuari-mangrove dan merupakan proses utama yang berasosiasi dengan pertukaran material dengan sistem ini. Jumlah air yang ditransfer diantara mangrove, estuary dan perairan daratan tergantung pada energi hidrologi potensial dan pada geomorfologi daerah tersebut. Odum et al (1979) in

Grasso (1998) menyatakan bahwa kedua faktor tersebut yang menentukan luas vegetasi mangrove di daerah intertidal.


(39)

2.4. Sebaran Ekosistem Mangrove di Indonesia

Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, yaitu terdapat 89 jenis vegetasi (35 jenis diantaranya tergolong jenis pohon). Beberapa jenis yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia yaitu Rhizophora spp., Avicennia spp., Sonneratia spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., dan Excoecaria spp. (Yulianda et al. 2009). Indonesia memiliki sebaran ekosistem mangrove yang cukup banyak, seperti ditunjukkan pada tabel 1 berikut: Tabel 1 Lokasi dan Luas Hutan Mangrove di Beberapa Provinsi Indonesia pada tahun 1996.

No Provinsi Luas (ha)

1 D.I. Aceh 54.300

2 Sumatera Utara 136.900

3 Sumatera Barat 5.600

4 Riau 219.000

5 Jambi 5.600

6 Sumatera Selatan 200.700

7 Bengkulu 2.600

8 Lampung 48.600

9 Bali 300

10 Nusa Tenggara Barat 4.300 11 Nusa Tenggara Timur 1.600 12 Kalimantan Barat 188.700 13 Kalimantan Tengah 61.400 14 Kalimantan Selatan 109.600 15 Kalimantan Timur 618.200

16 Sulawesi Utara 26.300

17 Sulawesi Tengah 35.200

18 Sulawesi Tenggara 166.800 19 Sulawesi Selatan 82.500

20 Maluku 211.000

21 Irian Jaya 1.350.600

Sumber: Ditjen Intag, Dephut (1996) in Dahuri (2003)

2.5. Kerusakan Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove dikatakan lestari apabila fungsi ekologi dan sosial ekonominya berjalan dengan baik. Fungsi ekologi meliputi kemampuan daya dukung ekosistem mangrove terhadap lingkungan sekitarnya, dan dikatakan baik jika: tutupan area pohon tinggi; siklus energi berjalan dengan baik; dan keseimbangan ekologi terjaga. Sedangkan untuk fungsi sosial ekonomi, dikatakan


(40)

baik jika ekosistem mangrove masih dapat dimanfaatkan secara lestari oleh masyarakat sekitar (KKP 2007).

Ekosistem mangrove di banyak wilayah saat ini berada dibawah tekanan kondisi lingkungan, dimana hubungan antara ekosistem mangrove dengan faktor-faktor fisik sangat sensitif terhadap berbagai perubahan. Begitu juga dengan ekosistem mangrove di DKI Jakarta dan sekitarnya. Tekanan terhadap ekosistem ini lebih cenderung disebabkan oleh aktivitas manusia diantaranya perambahan, dan alih fungsi kawasan terutama untuk pengembangan pemukiman dan tambak (Waryono 2006).

Kegiatan penebangan mangrove, baik dalam skala kecil dapat berdampak pada penurunan kualitas dari ekosistem tersebut. Konsentrasi dari kebanyakan partikulat nutrien meningkat di permukaan tanah pada tegakan yang telah dipanen (ditebang), daun, ranting, dan cabang kecil yang terbuang di lantai hutan. Berkurangnya pohon menyebabkan semakin tinggi penetrasi cahaya pada kanopi, sehingga meningkatkan evaporasi, salinitas dan konsentrasi elemen terlarut. Peningkatan konsentrasi karbon total, nitrogen, dan phospor setelah penebangan memperlihatkan besarnya peningkatan pada ranting, cabang kecil, daun dan potongan kecil pohon lainnya, yang terdapat di permukaan lantai hutan setelah penebangan. Konsentrasi intersitisial dari sulfida terlarut, logam, dan amonium juga meningkat karena meningkatnya soil desiccation (yang dibuktikan dengan meningkatnya salinitas), dan penurunan dalam penyerapan solute dan translokasi oksigen di akar. Laju metabolisme anaerobik tanah (reduksi sulfat) menurun setelah terjadinya penebangan (Alongi & de Carvalho 2008).

Menurut KKP (2007), tingkat kerusakan ekosistem mangrove dapat dibagi dalam tiga kondisi yaitu rusak berat, rusak sedang dan tidak rusak. Kondisi mangrove yang rusak berat ditandai dengan: habisnya hutan mangrove dalam satu wilayah; rusaknya keseimbangan ekologi; intrusi air laut yang tinggi; dan menurunnya kualitas tanah. Kondisi ekosistem mangrove yang rusak sedang yaitu: masih tersisa sedikit hutan mangrove dalam satu wilayah; keseimbangan ekologi dalam tingkatan sedang; intrusi air laut tidak terlalu parah. Sedangkan kondisi yang tidak rusak ditandai dengan ekosistem mangrove yang masih terjaga


(41)

dengan baik dan lestari, biasanya merupakan wilaya konservasi yang dijaga dengan baik kondisinya oleh masyarakat sekitar.

2.6. Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

Degradasi ekosistem mangrove yang terjadi di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya, disebabkan salah satunya oleh aktivitas manusia yang memberikan tekanan terhadap ekosistem tersebut. Aktivitas tersebut antara lain eksploitasi berlebihan, konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak, penebangan dan pencurian kayu pohon mangrove. Aktivitas tersebut berdampak pada tingginya tingkat erosi dan intrusi air laut. Laju degradasi mangrove yang tinggi seperti di Indonesia sebesar 1% per tahun (Kusmana 1995 in Anonim 2008) dan juga di Malaysia sebesar 1% per tahun (Gong and On 1990 in Hashim et al.

2009) menyebabkan proses pemulihan ekosistem tidak dapat tergantung pada proses rehabilitasi secara alami. Upaya rehabilitasi diperlukan untuk memulihkan ekosistem mangrove.

Upaya rehabilitasi dapat sukses apabila memperhatikan kondisi lingkungan, seperti hidrologi, energi gelombang, salinitas, pH tanah dan air, tekstur tanah, konsentrasi nutrien, dan elevasi, serta dengan menggunakan jenis mangrove alami yang terdapat di sekitar lokasi (Elster 2000; Gilman & Ellison 2007 in Hashim et al. 2009). Upaya rehabilitasi ekosistem mangrove bertujuan untuk restorasi struktur dan fungsi mangrove yang terdegradasi, stabilisasi garis pantai, memerangkap sedimen, meningkatkan perlindungan garis pantai, menyediakan habitat bagi satwa liar, menyediakan timber dan kayu bakar, dan memberikan nilai estetika kawasan pesisir (Hashim et al. 2009).

Keberadaan ekosistem mangrove baik yang alami maupun hasil penanaman kembali (rehabilitasi), bahkan pada area mangrove dengan komposisi tanaman sejenis (homogen), dapat meningkatkan produktivitas dan sumberdaya perikanan di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai kelimpahan relatif kepiting bakau yang hampir sama dijumpai di ekosistem mangrove alami (1.89 kepiting per perangkap per hari) dan di area penanaman mangrove di Filipina (1.71 dan 0.81 kepiting per perangkap per hari). Penanaman mangrove, meskipun dengan


(42)

tegakan sejenis, efektif dalam memulihkan fungsi ekologinya hingga mendekati kondisi ekosistem mangrove yang alami (Walton et al. 2007).

Perry dan Berkeley (2009) menyatakan bahwa kegiatan penanaman dalam rangka rehabilitasi mangrove dapat menjadikan kondisi ekosistem yang rusak kembali pulih, dan terjadi modifikasi substrat intertidal secara cepat. Data yang diperoleh dari hasil penelitian mereka, menunjukkan bahwa pada dua dari tiga lokasi penelitian, terjadi peningkatan kandungan sedimen bahan organik (khususnya fibrous organic matter), dan peningkatan akumulasi sedimen sangat baik dalam mangrove. Terdapat hubungan yang kuat antara besarnya (magnitude) dan dalamnya modifikasi substrat dengan kepadatan mangrove, khususnya kepadatan akar dan anakan.

Hasil penelitian Macintosh et al. (2002) menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi mangrove, berpengaruh pada keanekaragaman jenis (biodiversity) di daerah intertidal, dalam hal ini keragaman, kelimpahan, biomassa, dan struktur komunitas dari makrofauna moluska dan krustacea. Penelitian ini dilakukan di hutan mangrove alami, campuran dan telah dikonservasi selama 40 tahun. Kemudian dibandingkan dengan kondisi di lahan mangrove yang terdegradasi karena aktivitas penambangan timah, penebangan hutan, dan budidaya perikanan, dimana kawasan tersebut telah mulai direhabilitasi melalui penanaman monokultur, menggunakan empat jenis spesies lokal. Keanekaragaman moluska dan krustacea terendah terdapat di lokasi bekas tambang timah. Sedangkan keanekaragaman tertinggi terdapat di kawasan penanaman Rhizophora sp. Di hutan alami campuran. Di lahan bekas penambangan timah, struktur komunitas makrofauna didominasi oleh satu jenis kepiting. Dominansi satu jenis makrofauna ini dapat mengindikasikan sebuah lingkungan yang tertekan, sedangkan tingginya keanekaragaman jenis mengindikasikan sebuah kawasan yang relatif lebih stabil (mature forest).

Rehabilitasi ekosistem mangrove ini biasanya dilaksanakan melalui kegiatan penanaman, yang terdiri dari sistem penanaman murni (sistem banjar harian) dan tumpang sari tambak (sylvofishery) (Dephut 2004). Pada penanaman murni dengan sistem banjar harian (gambar 2), jarak tanam disesuaikan dengan


(43)

kondisi lapangan dengan jumlah bibit termasuk untuk sulaman, sebanyak 5.500 batang/ha.

Gambar 2 Alternatif Pola Tanam Pada Penanaman Murni Sistem Banjar Harian. Sumber: Dephut (2004)

Pada sistem tumpang sari tambak, dilakukan kombinasi antara kegiatan penanaman dengan pertambakan. Penanaman selain pada jalur tanam, juga dapat dilakukan di pematang/pelataran tambak. Jarak tanam biasanya disesuaikan dengan kondisi lapangan, dengan jumlah bibit sebanyak 2.200 batang/ha termasuk untuk sulaman. Pola tumpang sari ini terdiri dari 4 macam (gambar 3), yaitu: pola empang parit tradisional, pola komplangan, empang parit terbuka dan pola kao-kao.

Gambar 3 Pola Tumpang Sari. Sumber: Dephut (2004)


(44)

2.7. Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG merupakan salah satu alat manajemen informasi spasial yang dapat digunakan dalam membuat keputusan pengelolaan sumberdaya alam data spasial. SIG dapat dilihat sebagai sebuah alat untuk manajemen data sapasial dan sebagai sebuah sistem informasi spasial. Sebagai sebuah alat, SIG bersama dengan perangkat non-spasial) memiliki kapasitas storing, retrieving, pengelolaan, analisis, dan visualisasi informasi spasial. Sebagai sebuah sistem, SIG merupakan proses komunikasi informasi spasial diantara anggota masyarakat, termasuk para peneliti, pengelola sumberdaya dan pihak perencana (Gunawan 1998).

Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, SIG dapat digunakan untuk menampilkan fakta spasial dasar berkaitan dengan struktur, fungsi dan dinamika dari lingkungan fisik pesisir dan manusia. Data spasial dasar untuk lingkungan fisik pesisir meliputi topografi, batimetri, morfologi, penutupan vegetasi, aliran sedimen, erosi dan deposisi, iklim, batasan habitat, serta karakteristik lainnya. Data spasial dasar untuk lingkungan manusia, diantaranya batas administrasi, distribusi populasi, transportasi dan distribusi jaringan kerja, serta karakteristik sosial lainnya (Gunawan 1998).


(45)

(46)

3. METODOLOGI

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini yaitu Suaka Margasatwa Muara Angke, yang terletak di pesisir Pantai Utara Jakarta, dan berdampingan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk, Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2011.

3.2. Jenis Data

a. Data Citra

Data citra yang digunakan pada penelitian ini meliputi informasi mengenai penutupan mangrove di kawasan Muara Angke pada dua waktu yang berbeda, untuk mengidentifikasi perubahan luasan penutupan mangrove di kawasan tersebut. Data citra yang digunakan yaitu Citra Satelit Landsat 7 ETM+ dalam format digital, dengan penutupan awan kurang dari 20%, Quick Bird, dan Peta Rupa Bumi (dengan standar pemetaan dari Bakosurtanal dan format data ArcInfo atau ArcView). Data citra yang digunakan yaitu citra tahun 2000 dan 2010.

b. Data Fisika-Kimia Perairan dan Ekologi

Data yang diambil dalam penelitian meliputi data fisika-kimia perairan, biologi dan ekologi, dan oseanografi di sekitar kawasan mangrove. Data biologi dan ekologi di kawasan mangrove, meliputi: luas lahan mangrove, komposisi jenis mangrove, kerapatan mangrove, dan satwa liar yang terdapat di kawasan tersebut. Data fisika-kimia perairan terdiri dari data kekeruhan, oksigen terlarut (DO), pH, suhu, salinitas, substrat (nitrat dan phosphat). Data oseanografi meliputi pasang surut, arus, dan gelombang.

c. Data Sosial Ekonomi Masyarakat

Data yang berhubungan dengan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan mangrove terdiri dari jumlah penduduk, struktur umur dan jenis kelamin,


(47)

mata pencaharian, persepsi terhadap kawasan, mangrove dan kegiatan rehabilitasi mangrove, dan aktivitas yang dilakukan di sekitar kawasan.

d. Data Proses Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

Dalam penelitian ini juga diambil data mengenai upaya-upaya rehabilitasi ekosistem mangrove yang pernah dilakukan di lokasi penelitian meliputi: pihak-pihak yang pernah melakukan rehabilitasi, waktu pelaksanaan, pola dan jenis kegiatan rehabilitasi yang diterapkan, jenis vegetasi, jumlah bibit, serta hasil kegiatan rehabilitasi tersebut.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Tabel 2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data.

No Jenis Data Teknik Pengumpulan Data

1 Ekologi dan fisika-kimia perairan Observasi lapang dan studi pustaka

2 Sosial ekonomi masyarakat sekitar dan stakeholder lain

Wawancara, studi pustaka

3 Histori upaya rehabilitasi di dalam dan sekitar kawasan

Wawancara, studi pustaka

4 Data citra SEAMEO BIOTROP

a. Data Citra

Data citra diperoleh dari SEAMEO BIOTROP. Data citra yang dimaksud merupakan citra Landsat dengan tutupan awan minimal 20%, yang menampilkan bentang alam Suaka Margasatwa Muara Angke pada tahun 2000, serta citra Quick Bird tahun 2010. Data citra ini diolah untuk melihat perubahan bentang alam di lokasi penelitian.

b. Data Vegetasi dan Fisika Kimia Perairan

1. Data Vegetasi Mangrove

Metode pengumpulan data vegetasi di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Transect Line Plots (Gambar 4).


(48)

Tahapan Sampling Ekosistem Mangrove

Penentuan Lokasi Sampling dan jumlah

stasiun sampling

Penentuan Jumlah Plot Contoh

Pengambilan Contoh

Peletakan Transek dan Plot Contoh

Jumlah Transek dan Plot Contoh disesuaikan dengan kondisi di lapangan

Gambar 4 Tahapan Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove.

Tahapan dalam pengumpulan data vegetasi mangrove, yaitu sebagai berikut: a). Pengumpulan data vegetasi mangrove ini dilakukan pada tingkat pertumbuhan

semai (anakan), pancang, dan pohon, yang meliputi: jumlah individu, jenis, dan diameter yang terdapat dalam petak contoh. Petak contoh untuk tingkat pohon berukuran 10 x 10 m, petak contoh untuk tingkat pancang berukuran 5 x 5 m yang diletakkan pada petak contoh pohon, dan untuk tingkat semai berukuran 2 x 2 m yang diletakkan pada petak contoh pancang (Gambar 5).

A: Petak pengukuran untuk semai dan tumbuhan bawah (2 x 2m2) B: Petak pengukuran untuk pancang (5 x 5m2)

C: Petak pengukuran untuk pohon (10 x 10m2

Gambar 5 Skema metode garis berpetak pada pengambilan data mangrove. b). Penempatan transek dilakukan searah garis pantai di lokasi penelitian

(Gambar 6).

c). Jumlah stasiun sampling, transek pada tiap stasiun dan petak contoh dalam tiap transek, disesuaikan dengan kondisi mangrove yang ada dengan mempertimbangkan aspek keterwakilan ekosistem mangrove di lokasi penelitian. ) A B C 10m B A C Arah rintis


(49)

Gambar 6 Contoh Peletakan Garis Transek Pada Setiap Zona Mangrove. Sumber: English et al. 1994

Data vegetasi mangrove di SMMA diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan metode Transect Line Plots (English

et al. 1994), terdiri dari 6 transek dengan 12 petak contoh. Sampling vegetasi ini ditentukan pada tegakan Sonneratia caseolaris (pidada) yang merupakan tegakan dominan saat ini di dalam kawasan. Penentuan dan peletakan petak contoh berdasarkan pada asumsi keterwakilan kondisi kerapatan vegetasi mangrove di kawasan. Selain itu juga melihat kondisi lingkungan di dalam kawasan yang masih memungkinkan untuk dilakukan pengambilan contoh, seperti keterjangkauan lokasi maupun kondisi tegakan mangrove.

2. Data Fisika Kimia Perairan

Sampling kualitas air dilakukan pada satu waktu, tanpa ulangan, terdiri dari 3 transek dengan masing-masing 3 titik pengambilan contoh. Lokasi transek dilakukan di bagian tepi, tengah dan ujung kawasan. Penentuan transek ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi tutupan vegetasi di sekitarnya yang diasumsikan dapat mewakili, yaitu transek 1 di sekitar tutupan vegetasi nipah, transek 2 di sekitar enceng gondok, sedangkan transek 3 di sekitar vegetasi mangrove sejati (Gambar 13). Selain itu, juga dengan mempertimbangkan keterjangkauan lokasi sampling di dalam kawasan. Data yang diukur meliputi: kekeruhan, oksigen terlarut (DO), pH, suhu, salinitas, dan substrat (nitrat dan phosphat).


(50)

Tahapan dalam pengumpulan data fisika kimia perairan di lokasi penelitian menurut Hariyadi et al. (1992), yaitu sebagai berikut:

a) Suhu diukur dengan menggunakan termometer air raksa.

b) Kekeruhan diukur dengan menggunakan Turbidity meter, dan pengukuran ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan (Analisis) Departemen Budidaya Perairan FPIK IPB.

1). Prosedur di lapangan yang dilakukan berupa pengambilan sampel dan preservasi untuk mencegah gangguan yang dapat terjadi selama penyimpanan dan pengangkutan sampel.

2). Sampel air disimpan dalam botol/jerigen, disimpan dalam botol gelap untuk pengawetan, selama 1-2 hari sebelum diamati di laboratorium. c) DO langsung diukur di lokasi penelitian, dengan menggunakan alat DO

meter.

d) pH diukur dengan menggunakan pH meter.

e) Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer. Pengoperasian refraktometer memerlukan contoh air laut antara beberapa tetes sehingga 15 ml, tergantung pada jenis alatnya. Pembacaan dilakukan dengan cara melihat skala pada alat teropong yang telah dilengkapi dengan kaca pembesar. Ketelitian refraktometer berkisar antara 0,5‰

f) Pengukuran nitrat dan phosphate dilakukan di laboratorium. Sampel air untuk pengukuran data nitrat dan phosphate akan disimpan dalam botol/jerigen. Sampel nitrat akan disimpan pada suhu 4°C ditambah dengan H2SO4 sampai pH < 2, selama 48 jam hingga maksimal 28 hari. Sedangkan sampel air untuk pengukuran phosphate, disimpan pada suhu 4°C, selama 48 jam atau maksimal hingga 28 hari sebelum dianalisis.

hingga 0,05‰.

c. Data Sosial Ekonomi Masyarakat dan Stakeholder

Pengumpulan data sosial masyarakat dan stakeholder dilakukan dengan metode survei. Pengumpulan data ini menggunakan alat pengumpul data pokok kuisioner, yaitu melalui teknik wawancara kepada masyarakat, wawancara kepada stakeholder lainnya dan studi pustaka. Responden pada penelitian ini terdiri dari


(51)

mahasiswa, karyawan, kelompok peduli mangrove (karang taruna), nelayan, pedagang, dan ibu rumah tangga.

d. Data Rehabilitasi Ekosistem Mangrove yang Pernah Dilakukan

Data mengenai kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove ini diperoleh melalui berbagai instansi terkait, seperti pihak pengelola (BKSDA DKI Jakarta), Pemerintah Daerah, dan LSM. Proses pengumpulan data rehabilitasi ini meliputi tahapan pengumpulan data, reduksi data yang dianggap kurang atau tidak relevan dengan penelitian, analisis data dan kemudian menampilkan data (Gambar 7).

Data Collection Data Reduction

Data Analysis Data Display

Gambar 7 Proses Pengumpulan Data.

3.4. Analisis Data

a. Analisis Kualitas Perairan dan Substrat

Parameter fisika kimia perairan yang dianalisa mengikuti baku mutu air laut untuk peruntukan kawasan hutan mangrove dan habitat biota air sesuai dengan Kepmen LH No. 51/2004 tentang Baku Mutu Air untuk Biota Laut dan Ekosistem Mangrove. Data kualitas perairan dan substrat ini dianalisis secara deskriptif.

Data dan informasi tentang kondisi oseanografi perairan sekitar lokasi penelitian diperoleh melalui data sekunder dari berbagai referensi ilmiah yang berkaitan dengan kondisi oseanografis di sekitar lokasi, antara lain data angin, data perkiraan pasang surut, arus, dan gelombang permukaan. Data sekunder tersebut juga diperoleh dari hasil kajian-kajian terkait sebelumnya.


(52)

b. Analisis Struktur Komunitas Mangrove

Analisis data mangrove ini meliputi luasan mangrove, kerapatan, persen penutupan, vegetasi yang ada, dan kondisi ekosistem secara umum. Persen penutupan dan kerapatan relatif menurut English et al. (1994) termasuk parameter yang menunjukkan kontribusi masing-masing komponen spesies dalam tegakan mangrove. Persen penutupan dan kerapatan relatif ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

1) Persen Penutupan

RCi = (Ci/ΣC) x 100 Ci = ΣBA/A

dimana, BA = πDBH2/4 (dalam cm2

2) Kerapatan Relatif

), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan

DBH adalah diameter batang pohon dari jenis i, A adalah luas total area

pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH=CBH/π (dalam cm),

CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.

RDi= (ni/Σn) x 100

dimana, ni adalah jumlah tegakan jenis ke i, sedangkan Σn adalah jumlah tegakan seluruh jenis.

3) Frekuensi Relatif

RFi= (Fi/ΣF) x 100

dimana, Fi adalah frekuensi jenis ke I, sedangkan ΣF adalah jumlah frekuensi

seluruh jenis.

4) Menentukan INP (Indeks Nilai Penting)

INP= RDi + RFi + RCi

c. Analisis Data Citra

Data citra landsat tahun 2000 diolah dan dianalisis dengan menggunakan software Er Mapper 7.0 dan Arc View 3.3 untuk mengetahui kondisi bentang lahan di kawasan pada waktu tersebut. Data citra quick bird tahun 2010 dianalisis


(53)

dengan menggunakan software Arc View 3.3 untuk mengetahui kondisi bentang lahan di kawasan pada waktu tersebut.

Data citra Quick Bird digunakan untuk melihat kondisi tutupan lahan baik kerapatan vegetasi mangrove, semak maupun badan air (danau) di kawasan. Berdasarkan kondisi yang ditampilkan oleh data citra tersebut, diketahui kondisi kerapatan vegetasi mangrove di kawasan. Hal ini dijadikan salah satu panduan untuk menentukan lokasi sampling vegetasi.

d. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi

Evaluasi rehabilitasi mangrove di lokasi penelitian dilakukan dengan melakukan studi pustaka dan berdasarkan data hasil penyebaran kuesioner dan wawancara. Tingkat keberhasilan rehabilitasi ditentukan berdasarkan :

1) Persen penutupan

2) Kesesuaian jenis tanaman 3) Persiapan dan Teknik menanam

4) Aspek pemeliharaan dan organisasi pemeliharaan 5) Partisipasi stakeholder.

3.5. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove

a. Analisis Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove

Penentuan tingkat kerusakan vegetasi mangrove dilakukan berdasarkan tingkat kerapatan individu yang ditemukan pada tiap transek. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove ditentukan berdasarkan: a). hasil analisis struktur komunitas mangrove, b). hasil analisis kualitas perairan dan substrat.

b. Kriteria Penentuan Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove

Penentuan tingkat kerusakan ekosistem mangrove ini dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kerusakan ekosistem mangrove, diantaranya:

a) Kerapatan vegetasi mangrove; b) Penutupan mangrove;


(54)

d) Pola permudaan atau tingkat peremajaan, meliputi proporsi jumlah anakan (semai), pancang, dan pohon.

Faktor eksternal yang mempengaruhi kerusakan ekosistem mangrove, yaitu: a) Salinitas;

b) Arus pasang surut;

c) Tingkat atau periode penggenangan/perendaman; d) Komposisi substrat;

e) Nutrien, meliputi nitrat dan fosfat; f) Pertukaran massa air laut dan tawar.

Kriteria baku kerusakan mangrove dapat diterapkan berdasarkan persentase luas tutupan kerapatan mangrove yang hidup (KLH 2004). Status kondisi mangrove tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa kriteria yaitu: a. Baik (sangat padat), yaitu dengan penutupan mangrove ≥75%, dan kerapatan

≥ 1500 pohon/ha.

b. Baik (sedang), yaitu dengan penutupan mangrove ≥50% -<75%, dan kerapatan ≥1000-<1500 pohon/ha.

c. Rusak (jarang), yaitu dengan penutupan mangrove <50%, dan kerapatan <1000 pohon/ha.

Kriteria kerusakan yang diterapkan di lokasi penelitian disesuaikan dengan kondisi lokasi dan modifikasi dari kriteria baku kerusakan mangrove yang telah ditetapkan oleh KLH (2004). Kondisi mangrove di lokasi penelitian ditentukan dengan kelas kerapatan, yang diperoleh berdasarkan batas bawah dan batas atas kelas jumlah pohon yang ditemukan di tiap transek. Setelah dihitung batas atas dan batas bawah jumlah pohon, diperoleh interval berdasarkan beda nilai maksimum dan minimum dengan jumlah kelas yang ditentukan. Dalam penelitian ini ditentukan 5 kelas kondisi kerapatan mangrove, yaitu:

1. Sangat baik 2. Baik 3. Cukup 4. Rusak


(55)

Hasil perolehan kondisi mangrove berdasarkan selang kerapatan individu di tiap transek kemudian dioverlay ke dalam peta kerusakan mangrove. Setelah itu akan diperoleh kondisi vegetasi mangrove secara spasial.

c. Perubahan Luasan Ekosistem Mangrove

Perubahan luasan ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke baik penambahan maupun pengurangan luasan, dianalisis dengan menggunakan software ArcView. Data citra yang diperoleh, merupakan data citra dari dua waktu yang berbeda yaitu data tahun 2000 dan tahun 2010.

3.6. Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

Strategi rehabilitasi mangrove di kawasan dirumuskan berdasarkan hasil identifikasi permasalahan meliputi akar masalah, dampak ekologi, jenis kerusakan yang ditimbulkan; analisis vegetasi; kualitas perairan; upaya rehabilitasi sebelumnya; dan tingkat kerusakan ekosistem. Kemudian dibuat skala prioritas strategi yang perlu dilakukan di kawasan dengan mengidentifikasi komponen-komponen yang perlu dibenahi dan stakeholder yang sebaiknya dilibatkan.


(56)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Umum Suaka Margasatwa Muara Angke 4.1.1. Sejarah Penetapan Status Kawasan

Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) secara administrasi terletak dalam Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Suaka Margasatwa Muara Angke bersebelahan dengan perumahan Pantai Indah Kapuk di sebelah barat dan selatan, perkampungan nelayan Muara Angke di sebelah timur, serta Hutan Lindung Muara Angke dan Laut Jawa di sebelah utara (Gambar 8).

Gambar 8 Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke.

Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke pada mulanya berstatus sebagai cagar alam. Kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Alam Muara Angke melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 24 tanggal 18 Juni 1939, dengan luas awal 15,04 ha. Kawasan ini memiliki sejarah pengelolaan yang cukup panjang hingga statusnya ditetapkan menjadi suaka margasatwa (Tabel 3).


(57)

Tabel 3 Histori Pengelolaan Kawasan dan Sekitarnya.

Tahun Pengelolaan

1910-an Dataran Kapuk berupa rawa mangrove, sebagian kecil dibuka tambak 1939 Penetapan kawasan Cagar Alam Muara Angke (CAMA), luas 15,04ha 1960-an Kawasan diperluas menjadi 1.344,62 ha

1963 Pembukaan besar-besaran untuk pertambakan 1977

Pengaturan fungsi hutan Angke Kapuk dan CAMA, sebagai hutan lindung, CAMA, hutan wisata, Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI)

1980 Pembangunan break water di tepi barat Muara Angke 1981

Sebagian mangrove di utara delta angke ditebang, di bagian timurnya dibangun pelabuhan ikan Muara Angke. Pembuatan Kanal, pengembangan Bandara Soekarno-Hatta dan Tol Prof. Sediatmo

1982

Pengurugan sebagian tambak di timur Muara Angke untuk perumahan nelayan dan perumahan teratur sebagai perluasan kegiatan Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BPPPL) Pluit. Pembuatan Cengkareng Drain

1983

Pembentukan Tim Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Hutan Angke Kapuk dalam pengelolaan kawasan hutan tersebut. Alokasi peruntukan pengembangan kawasan: a) kawasan Hutan Angke Kapuk yang tetap dikuasai pemerintah seluas 322,6 Ha (Hutan Lindung, CAMa, Hutan Wisata, Kebun Pembibitan Kehutanan, Jalur Hijau dan Jalan Tol, Jalur Transmisi); b) kawasan yang diserahkan ke pihak swasta seluas 830,39 Ha untuk pembangunan perumahan, lapangan golf, hotel dan lainnya

1984 Pengukuran ulang kawasan Angke Kapuk, menetapkan luas kawasan hutan adalah 1.154,49 Ha, termasuk di dalamnya CAMA seluas 21,45 Ha 1987

Sebagian besar rawa mangrove berubah menjadi area pertambakan, yang tersisa CAMA dengan luas 15 Ha dan di sekitar tepi utara berbatasan dengan laut

1988

Kawasan Hutan Angke Kapuk yang dipertahankan seluas 333,50 Ha: Hutan Lindung, CAMA (luas 25,00 Ha), Hutan Wisata, Kebun Pembibitan, Jalur Hijau dan Jalan Tol, Cengkareng Drain, Jalur Transmisi PLN

1994

Pengukuran ulang batas kawasan, total kawasan yang diukur seluas 1.155, 60 Ha. Area yang dipertahankan seluas 327,88 Ha, areal yang dilepas untuk swasta seluas 827,18 Ha

1998 Status kawasan CAMA diubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) dengan luas 25,02 Ha

Sumber: LPP Mangrove (2000a), Santoso (2012)

Meningkatnya tekanan dan degradasi lingkungan akibat tingginya aktivitas manusia terutama di sekitar kawasan menyebabkan terjadinya kerusakan dan menurunnya kualitas lingkungan di dalam kawasan. Status cagar alam berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebabkan terbatasnya kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi kawasan. Oleh karena itu, pemerintah


(58)

mengubah status kawasan ini menjadi suaka margasatwa, sehingga dapat dilakukan rehabilitasi kawasan.

4.1.2. Kondisi Fisik Lingkungan dan Perairan Kawasan

a. Iklim

Kawasan SMMA termasuk ke dalam tipe iklim A menurut klasifikasi schmidt dan fergusson. Curah hujan tertinggi yaitu pada bulan Januari sebesar 294 mm, sedangkan curah hujan terendah pada bulan Juli sebesar 58 mm. Suhu harian terendah adalah 21ºC - 24ºC dan suhu harian tertinggi 29ºC - 33,5ºC dengan rata-rata 26ºC - 28ºC. Kelembaban nisbi udara 76 % sampai 86 %.

b. Arus dan Pasang Surut

Arus Laut di Laut Jawa sebagian besar dipengaruhi oleh gerakan angin. Arus akan mengalir dari arah timur selama musim muson Barat (Desember-Februari) dan dari arah Barat selama musim muson Timur (Juni-Agustus). Arus ini bisa mencapai kecepatan 0,25-0,50 m/det. Kecepatan arus rata-rata harian adalah 0,10-0,13 m/det, dari arah Barat selama musim muson timur.

Sifat pasang surut di perairan Kapuk adalah Harian Tunggal, yaitu dalam 24 jam terjadi satu kali pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran Dinas Hidrologi Angkatan Laut RI (1978) in Santoso (2012) dapat diketahui tenggang pada saat pasang surut terendah 0,25 m. Berdasarkan pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh Perum Pelabuhan Tanjung Priok adalah:

 Air pasang tertinggi (HHWS) 1.80 m + P  Air pasang rata-rata (MHW) 1.40 m + PP  Air rata-rata (MSL) 0.95 m + PP

 Air surut rata-rata (MLW) 0.56 m + PP  Air surut terendah (LLWS) 0.23 m + PP c. Kualitas Perairan

Perairan di kawasan SMMA dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan sistem aliran Sungai Angke yang langsung bermuara ke perairan Teluk Jakarta. Sungai Angke yang mengalir di sepanjang bagian timur kawasan memiliki sistem aliran sungai, dimana sungai ini menjadi muara bagi 7 sungai diantaranya: Kali Sepak, Pesanggerahan, Mookevart, Sekretaris, Jelambar, Cengkareng Drain, dan


(59)

Kali Grogol. Pasokan air tawar ke dalam kawasan SMMA sangat dipengaruhi oleh Sungai Angke. Debit Sungai Angke ini yaitu 37-38,5 m3/detik (Santoso 2012).

Kualitas air Sungai Angke juga berpengaruh terhadap kualitas perairan di kawasan SMMA. Sungai Angke merupakan ujung dari banjir kanal barat yang mengalirkan air dan berbagai jenis limbah baik padat maupun cair yang berasal dari Sungai Ciliwung. Secara fisik, air Sungai Angke berwarna coklat (keruh), dan berbau tidak sedap. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya limbah hampir di sepanjang badan sungai. Limbah tersebut tidak hanya berasal dari berbagai aktivitas manusia yang dialirkan oleh banjir kanal barat, tetapi juga dari berbagai aktivitas masyarakat di sekitar Sungai Angke. Di pinggiran sungai ini, terutama daerah yang dekat dengan muara, terdapat cukup banyak aktivitas nelayan diantaranya penambatan kapal, kegiatan MCK, dan pembersihan kulit kerang hijau (Perna viridis), dimana limbahnya dibuang ke sungai atau muara (Gambar 9). Pada saat pasang surut, limbah yang mengalir di sepanjang Sungai Angke tersebut akan masuk dan tertinggal di dalam kawasan, terutama sampah berupa plastik, styrofoam dan kaca.

Gambar 9 Aktivitas Masyarakat di Bantaran Sungai Angke.

4.1.3. Kondisi Vegetasi dan Satwa Liar di Kawasan

Mangrove merupakan vegetasi utama pembentuk ekosistem di kawasan SMMA. Namun, persentase penutupan mangrove tidak merata di seluruh kawasan. Bahkan, didominasi oleh penutupan semak dan tumbuhan air yaitu enceng gondok Eichornia crassipes. Penutupan Enceng gondok ini terutama di bagian tengah kawasan yang merupakan areal badan air, yang menjadi tempat


(60)

persediaan air tawar di dalam kawasan. Kelas tutupan vegetasi di kawasan SMMA diklasifikasi menjadi kelas tutupan jarang seluas 1,56 ha, kelas tutupan sedang seluas 6,72 ha, dan kelas tutupan lebat seluas 19,78 ha (Santoso 2012).

Kawasan mangrove SMMA memiliki 68 jenis tumbuhan yang sebagian besar bukan jenis mangrove sejati. Vegetasi mangrove yang terdapat di kawasan ini diantaranya Avicennia marina, Rhizophora mucronata, R. apiculata, Excoecaria agallocha, Sonneratia caseolaris, Bruguiera gymnorrhiza, dan Nypa fruticans (Santoso 2012). Pada tahun 1996 di kawasan ini terdapat 30 jenis tumbuhan dari 23 famili. Tingkat pohon terdapat 3 jenis yaitu Sonneratia alba

(pidada), Excoecaria agallocha (buta-buta) dan Ficus spp (beringin). Secara khusus, dari 30 jenis tumbuhan tersebut, yang merupakan jenis mangrove sejati adalah Avicennia marina (api-api), Excoecaria agallocha (buta-buta), Sonneratia caseolaris (pidada) dan Rhizophora mucronata (bakau putih). Hampir seluruh kawasan (100%) tertutup oleh vegetasi. Sekitar 90% tertutup herba (rumput, gelagah dan enceng gondok), dan hanya 10% tertutup oleh vegetasi pohon, terutama di sepanjang tepi barat sampai utara kawasan (LPP Mangrove 2000a).

Keberadaan vegetasi mangrove di SMMA sebagai salah satu kawasan bermangrove di pesisir DKI Jakarta, menjadi salah satu alasan perlunya kawasan ini dipertahankan. Potensi satwa liar juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Kawasan SMMA memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang relatif tinggi. Menurut data hasil pengamatan LSM Jakarta Green Monster (JGM) sejak tahun 2008-2010, di dalam kawasan ini terdapat 106 jenis burung yang diantaranya terdapat 22 jenis dilindungi yang tergolong dalam kategori

vulnerable, near threatened, dan critical endangered; 11 jenis burung migran; dan 3 jenis burung introduksi. Selain itu, kawasan ini juga memiliki herpetofauna sebanyak 22 jenis.

4.1.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan

Kawasam SMMA secara administratif terletak di Kelurahan Kapuk Muara. Namun, masyarakat yang berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan kawasan tidak hanya berasal dari Kelurahan Kapuk Muara, melainkan


(61)

juga dari Kelurahan Pluit. Penduduk Kelurahan Pluit yang erat kaitannya dengan kawasan ini adalah yang tinggal di RW 01 dan RW 11.

a. Kelurahan Kapuk Muara

Kelurahan Kapuk Muara sebagai daerah administratif tempat kawasan SMMA berada, memiliki luas wilayah 1005,5 Ha dengan peruntukan lahan terdiri dari areal industri, hutan lindung, suaka margasatwa dan pemukiman penduduk. Jumlah penduduk kelurahan ini yaitu 23.364 orang, terdiri dari 23.350 orang Warga Negara Indonesia (WNI) dan 14 orang Warga Negara Asing (WNA), dengan 12.001 orang laki-laki dan 11.363 orang perempuan. Penduduk di kelurahan ini dibagi dalam 9 Rukun Warga (RW) dan 89 Rukun Tetangga (RT).

Penduduk di Kelurahan Kapuk Muara memiliki interaksi secara langsung maupun tidak langsung dengan kawasan SMMA. Cukup banyak penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan, yang kegiatan dan penghasilannya erat kaitannya dengan keberadaan mangrove di kawasan. Selain sebagai nelayan dan petani, mata pencaharian penduduk di kelurahan ini cukup beragam (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah Penduduk Kelurahan Kapuk Muara Menurut Mata Pencaharian.

No Mata Pencaharian Jenis Kelamin Jumlah

(jiwa) Laki-laki Perempuan

Jumlah Penduduk 12.001 11.363 23.364

Jumlah Kepala Keluarga 10.598

Mata Pencaharian

1 Tani 9

2 Pedagang/Pengusaha 1.245

3 Buruh serabutan 4.952

4 PNS 2.151

5 TNI 44

6 Pensiunan 202

7 Nelayan 56

8 Pertukangan 195

9 Buruh tani 11

10 Karyawan swasta 4.014

11 Lain-lain 727

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Kapuk Muara (2011)

b. Kelurahan Pluit

Kelurahan Pluit memiliki luas wilayah sekitar 771,19 Ha, dengan peruntukan lahan untuk perumahan, fasilitas umum, fasilitas sosial dan lainnya. Masyarakat yang tinggal bersebelahan dengan kawasan SMMA merupakan


(62)

nelayan yang tinggal di dekat Sungai Angke hingga muara. Jumlah penduduk di kelurahan ini yaitu 46.709 jiwa, terdiri dari 46.619 orang WNI dan 90 orang WNA, dengan 24.312 orang laki-laki dan 22.397 orang perempuan. Penduduk di Kelurahan Pluit dibagi dalam 20 RW dan 243 RT.

Penduduk di Kelurahan Pluit memiliki interaksi baik langsung maupun tidak langsung dengan kawasan SMMA, khususnya yang tinggal di RW 01 dan RW 11. Di Kelurahan Pluit terdapat penduduk yang bekerja sebagai nelayan dan tani. Bahkan jumlah nelayan di kelurahan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di Kelurahan Kapuk Muara. Mata pencaharian penduduk di Kelurahan Pluit juga cukup beragam (Tabel 5).

Tabel 5 Jumlah Penduduk di Kelurahan Pluit Menurut Pendidikan dan Mata Pencaharian.

No Jenis Pendidikan/ Mata Pencaharian

Jenis Kelamin Jumlah

(jiwa) Laki-laki Perempuan

Jumlah Penduduk 24.312 22.397 46.709

Jumlah Kepala Keluarga 16.248

Pendidikan

1 Tidak sekolah 973

2 Tidak tamat SD 1.756

3 SD 9.183

4 SLTP 14.489

5 SLTA 15.231

6 Akademi/Perguruan Tinggi 5.418

Mata Pencaharian

1 Karyawan swasta/negeri/TNI 15.469

2 Pedagang/wiraswasta 12.924

3 Nelayan 2.852

4 Pensiun 1.222

5 Pertukangan 129

6 Pengangguran 1.198

7 Fakir miskin 862

8 Lain-lain 5.771

Sumber: Laporan Hasil Pembinaan dan Kegiatan Pemerintah Kelurahan Pluit (2011)

4.2. Kondisi Existing Kawasan 4.2.1. Kondisi Vegetasi Mangrove

Sampling vegetasi mangrove dilakukan pada tegakan Sonneratia caseolaris, yang merupakan jenis dominan di dalam kawasan (Gambar 10). Jenis


(63)

ini merupakan hasil kegiatan penanaman yang dilakukan pada bulan Desember 1999 dan tahun 2000.

Gambar 10 Peta Lokasi Sampling Vegetasi Mangrove.

Kawasan SMMA sebagian besar ditutupi oleh vegetasi. Namun dari klasifikasi tutupan lahan di kawasan (Gambar 11) terlihat bahwa tutupan semak belukar lebih mendominasi (37,47%), begitu juga dengan lahan terbuka dan badan air/danau (32,56%) dibandingkan vegetasi mangrove Sonneratia caseolaris

(22,62%) dan Nypa fruticans (7,35%). Menurut Noor (2002), tutupan lahan di SMMA sebesar 22,38% merupakan areal berpenutupan pohon, sedangkan 77,62% merupakan areal terbuka yang terdiri areal dengan tutupan tumbuhan bawah (71,12%) dan areal perairan terbuka (6,49%). Berdasarkan analisis data citra diperoleh luasan pada masing-masing tutupan lahan di SMMA (Tabel 6).


(1)

Lampiran 4 (Lanjutan)

No Pertanyaan Jaw aban

3 Berapa jumlah bibit yang ditanam? Dan jenis apa saja?

4. Pola apa yang digunakan? Bagaimana teknik penanamannya?

5. Pihak mana saja yang terlibat dalam kegiatan tersebut? Berapa besar biaya yang dibutuhkan?

6. Bagaimana kegiatan monitoring dan evaluasinya? Bagaimana hasilnya?

7. Apakah Bapak/ I bu pernah berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi mangrove? Kapan dan dimana?

3. Pernah, sebutkan:

……… ….

4. Belum pernah

8. Bagaimana pendapat Bapak/ I bu jika diadakan kegiatan rehabilitasi mangrove?

3. Tertarik dan mendukung, alasannya: ……… …..

4. Tidak tertarik dan kurang mendukung, alasannya:

……… …

9. Menurut Bapak/ I bu, bagaimana seharusnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove?

……… ….

……… ….

10. Adakah cara-cara masyarakat lokal dalam melestarikan ekosistem mangrove yang Bapak/ I bu ketahui?

……… ….

……… ….

D. Saran

1. Bagaimana seharusnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove?

……… ….

……… ….

2. Bagaimana seharusnya upaya perbaikan lingkungan di kawasan SMMA dan di sekitar perairan Muara Angke?

……… ….

……… ….


(2)

KUESIONER PENELITIAN PROGRAM MAGISTER

Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Yang Efektif Melalui Analisis

Tingkat Kerusakan Di Suaka Margasatwa Muara Angke, Provinsi DKI

Jakarta

Oleh:

Yofi Mayalanda

SEKOLAH PASCASARJANA (IPB)

Catatan: Mohon dilingkari dan diisi dengan jawaban yang sesuai

No Pertanyaan Jaw aban

A. Keterangan Responden

1. Nama …... 2. Jenis kelamin a. Laki-laki

b. Perempuan 3. Umur [ ] [ ] Tahun 4. Pendidikan terakhir ………….………..

5. Pekerjaan utama ……….

6. Rata-rata Jumlah Pendapatan Rp ………../ bulan

B. Persepsi tentang Mangrove dan Suaka Margasatw a Muara Angke ( SMMA)

1. Apakah Bapak/ I bu tahu tentang konservasi?

1. Tahu, artinya: ………. ……….. 2. Tidak tahu

2. Apakah Bapak/ I bu tahu tentang kawasan konservasi? Salah satunya Suaka Margasatwa?

1. Tahu, artinya: ………. ……….. 2. Tidak tahu

3. Apakah Bapak/ I bu mengetahui tentang keberadaan SMMA?

1. Tahu, artinya: ………. ……….. 2. Tidak tahu

4. Apakah Bapak/ I bu tahu tentang pihak yang mengelola SMMA?

1. Tahu, sebutkan: ……….

……….. 2. Tidak tahu

5. Jika Bapak/ I bu tahu tentang pihak yang mengelola SMMA, bagaimana menurut Bapak/ I bu:

- Bentuk lembaga pengelola SMMA

a. Baik b. Sedang c. Kurang baik


(3)

Lampiran 5 (Lanjutan)

No Pertanyaan Jaw aban

6. Apakah Bapak/ I bu pernah masuk ke dalam kawasan SMMA? Dalam rangka apa?

1. Pernah, sebutkan: ……….

……….. 2. Belum pernah

7. Apakah Bapak/ I bu tahu tentang sumberdaya alam yang ada di SMMA?

1. Tahu, sebutkan:

……….

……….. 2. Tidak tahu

8. Apakah bapak/ ibu tahu tentang mangrove?

1. Tahu, artinya : ………. ……….. 2. Tidak tahu

9. Apakah Bapak/ I bu merasakan manfaat dari keberadaan mangrove, dalam hal ini di SMMA dan sekitarnya?

1. Ya, diantaranya: ………

……….. 2. Tidak merasakan

3. Tidak tahu

10. Bapak/ I bu melakukan penangkapan ikan di perairan mana saja? Dan berapa besar frekuensinya?

……… …….

……… …….

11. Bagaimana hasil tangkapan Bapak/ I bu dalam 10 tahun terakhir?

a. Hasil sekarang:

………. b. Tahun lalu:

………. c. 5 tahun lalu:

……….. d. 10 tahun lalu:

……… 12. Apakah Bapak/ I bu mempunyai

aktivitas lain selain penangkapan ikan di perairan muara angke?

1. Ya, sebutkan: ………. ………..

2. Tidak

13. Apakah Bapak/ I bu mengetahui aturan mengenai pengelolaan mangrove dan kawasan SMMA?

1. Ya, sebutkan: ………. ……….. 2. Tidak tahu

14. Bagaimana menurut Bapak/ I bu kondisi SMMA?

a.Baik b.Sedang c.Kurang baik 15. Jika kurang baik (rusak), menurut

Bapak/ I bu seperti apa kerusakannya dan apa penyebabnya?

……… …….

……… …….


(4)

16. Apakah pernah ada konflik antara pihak pengelola SMMA dengan masyarakat? Apa penyebabnya?

1. Ya, sebutkan: ………. ……….. 2. Tidak tahu

17. Bagaimana menurut Bapak/ I bu jika terjadi kerusakan di SMMA?

18. Apakah Bapak/ I bu setuju apabila kawasan SMMA ini ditutup?

7. Tidak setuju, alasannya:

……… 8. Setuju, alasannya:

……… 9. Tidak tahu

19. Bagaimana menurut harapan Bapak/ I bu kondisi SMMA yang ideal?

……… …….

……… …….

20. Bagaimana menurut Bapak/ I bu menjaga agar SMMA tetap baik?

……… …….

……… …….

C. Kepedulian terhadap Rehabilitasi Mangrove 1. Apakah Bapak/ I bu mengetahui

tentang rehabilitasi mangrove?

1. Tahu, artinya: ………. ……….. 2. Tidak tahu

2. Apakah Bapak/ I bu pernah berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi mangrove? Kapan dan dimana?

3. Pernah, sebutkan:

……… ….

4. Belum pernah

3. Bagaimana pendapat Bapak/ I bu jika diadakan kegiatan rehabilitasi mangrove?

5. Tertarik dan mendukung, alasannya: ……… …..

6. Tidak tertarik dan kurang mendukung, alasannya:

……… …

4. Menurut Bapak/ I bu, bagaimana seharusnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove?

……… …….

……… …….

5. Adakah cara-cara masyarakat lokal dalam melestarikan ekosistem mangrove?

……… …….

……… …….


(5)

Lampiran 5 (Lanjutan)

No Pertanyaan Jaw aban

D. Saran

1. Bagaimana seharusnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove?

……… …….

……… …….

2. Bagaimana seharusnya pemerintah dan pengusaha terhadap masyarakat lokal dalam sektor perikanan?

……… …….

……… …….

3. Bagaimana seharusnya pemerintah dan pengusaha terhadap masyarakat lokal dalam hal lapangan kerja?

……… …….

……… …….

4. Bagaimana seharusnya upaya perbaikan lingkungan di kawasan SMMA dan di sekitar perairan Muara Angke?

……… …….

……… …….


(6)

eter FISIK KIMIA Tekstur (%)

Satuan C NTU 0/00 mg/L mg/L mg/L

Baku mutu Untuk

biota

28-32 < 5

7-8,5 <34 >5 0,008 0,015

Plot Suhu

Air

Kekeruh

an pH

Salinit

as DO

NO3-P

PO4-P Pasir Debu Liat

1.1 28 7,1 7,14 0,0 0,5 0,871 0,633 90,36 9,13 0,52

1.2 27,8 6,6 6,9 0,0 0,77 0,206 0,511 61,33 34,84 3,82

1.3 27,9 4,8 6,97 0,2 2 0,053 0,400 85,54 5,70 8,76

Rata-rata 27,9 6,167

7,00

3 0,1 1,09 0,377 0,515 79,08 16,56 4,37

2.1 27,9 16,1 6,95 0,0 1,8 0,444 0,268 54,05 33,42 12,53

2.2 28 10,3 7,05 0,0 1,73 0,138 0,433 92,22 4,27 3,51

2.3 27,7 12 7,03 0,0 1,8 0,131 0,216 87,19 1,75 11,06

Rata-rata 27,9 12,8 7,0 0,0 1,8 0,238 0,306 77,82 13,15 9,03

3.1 28,2 3,1 7,13 0,0 3 0,158 0,357 95,69 0,01 4,30

3.2 28,2 5,5 7,01 0,0 3,2 0,095 0,660 34,80 57,10 8,10

3.3 28,2 4,9 7,11 0,0 2,7 0,478 0,560 62,28 23,47 14,25

Rata-rata 28,2 4,5

7,08