Analisis Sumberdaya dan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005-2010

(1)

ANALISIS SUMBERDAYA DAN KONSUMSI DAGING SAPI

DI INDONESIA TAHUN 2005-2010

AQIILAH ZAHRA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(2)

ABSTRACT

AQIILAH ZAHRA. Beef Resources and Consumption Analysis in Indonesia 2005-2010. Supervised by YAYUK FARIDA BALIWATI.

Indonesian beef resources problem is the high demand of import rate which is interfere with the independence and potential in food trap exporting countries (DITJENAK 2010). The Indonesian beef consumtion problem is the low consumption of beef between other ASEAN countries. The objective of the study is to analyzed the resources and the consumption of beef in Indonesian from 2005-2010. A descriptive design was implemented and a set of scondary data was used in the study. Data was analyzed using Microsoft Excell 2007 for Windows. The result showed that the production (including offal) national has rose from positive percentage rate (2,91%). The average percentage of total production amounted to 77,59 percent, and imports amounting to 22,41 percent. The availability of beef has rose from positive percentage rate (6,04%). The average availability of beef is 1,69 kg/cap/yr or 286,63 thousand tons/yr. Amount of the consumption of levels tended to increase (2,83%). The beef consumption in 2010 is 1,56 kg/kap/th. The average of national beef consumption reach 1,47 kg/cap/yr. The type of largest consumption is food made from beef (soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, mie bakso, and daging goreng) reach 0,93 kg/cap/yr. The lowest consumption is offal reach 0,02 kg/cap/yr. Ideal consumption of beef is 2,46 kg/cap/yr. Actual consumption of beef is still less than ideal. The difference is -1 kg/cap /yr. The average sufficiency availability with respect to imports (on trend) of beef from 2005 to 2010 to meet the actual consumption of beef population of Indonesia. The average sufficiency availability without regard import (absolute) of beef has not been able to meet the actual consumption of the population of Indonesia. The sufficiency availability on trend and absolute of beef are not able to meet the ideal consumption of the population in Indonesia.


(3)

RINGKASAN

AQIILAH ZAHRA. Analisis Sumberdaya dan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005-2010. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI.

Tujuan Umum dari penelitian ini adalah menganalisis sumberdaya dan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010. Adapun tujuan khusus adalah 1) menganalisis sumberdaya daging sapi nasional tahun 2005-2010, 2) menganalisis konsumsi aktual kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010, 3) menganalisis konsumsi ideal daging sapi nasional tahun 2005-2010, 4) menganalisis kecukupan daging sapi nasional tahun 2005-2010.

Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian survey. Penelitian dilakukan di Bogor pada bulan Oktober-Desember 2011 dengan menggunakan data sekunder. Jenis data sekunder yang dikumpulkan terdiri atas Neraca Bahan Makanan (NBM) Indonesia tahun 2005-2010 yang didapatkan dari Badan Ketahanan Pangan (BKP), dan Survey Sosial Ekonomi (SUSENAS) tahun 2005-2010 yang didapatkan dari hasil olah BKP berdasarkan data Badan Pusat Statiska (BPS). Data konsumsi daging sapi yang diambil dari SUSENAS adalah daging sapi segar, daging sapi olahan industri, daging sapi makanan jadi, hati dan jeroan sapi yang disetarakan dengan daging sapi serta dibedakan berdasarkan wilayah kota, desa, kota dan desa (nasional). Data NBM mencerminkan sumberdaya daging sapi yang terdiri dari produksi, impor, dan ketersediaan daging sapi segar dan jeroan sapi. Data yang telah diolah dianalisis secara deskriptif.

Kondisi produksi dan impor daging sapi segar nasional mengalami peningkatan (2,91% dan 34,19%) dengan rata-rata produksi daging sapi segar sebesar 233,11 ribu ton/th, sedangkan impor daging sapi segar sebesar 47,90 ribu ton/th. Kondisi produksi dan impor jeroan sapi tahun 2005-2010 juga mengalami peningkatan (2,91% dan 5,94%) dengan rata-rata produksi jeroan sapi sebesar 77,78 ribu ton/th, sedangkan impor jeroan sapi sebesar 119,67 ribu ton/th. Persentase produksi daging sapi (termasuk jeroan) terhadap jumlah produksi dan impor mengalami penurunan (83,91% menjadi 71,31%), sedangkan impor daging sapi (termasuk jeroan) mengalami peningkatan (16,09% menjadi 28,69%). Persentase ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum swasembada daging sapi baik swasembada on trend maupun absolut. ketersediaan daging sapi on trend mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (6,04%). Rata-rata ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi dengan memperhatikan impor (on trend) sebesar 1,69 kg/kap/th, sedangkan ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi tanpa memperhatikan impor (absolute) adalah sebesar 1,3 kg/kap/th.

Rata-rata konsumsi daging sapi segar pada penduduk kota adalah sebesar 0,63 kg/kap/th, 0,16 pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,38 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi olahan industri pada penduduk kota adalah sebesar 0,11 kg/kap/th, 0,02 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,06 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi makanan jadi pada penduduk kota adalah sebesar 1,33 kg/kap/th, 0,57 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,93 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi hati sapi pada penduduk kota adalah sebesar 0,11 kg/kap/th, 0,03 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,07 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi jeroan sapi pada penduduk kota adalah sebesar 0,03 kg/kap/th, 0,01 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,02


(4)

kg/kap/th. Rata-rata jumlah konsumsi daging sapi pada penduduk kota adalah sebesar 2,2 kg/kap/th, 0,79 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 1,47 kg/kap/th. Jumlah konsumsi daging sapi baik pada penduduk kota, desa, maupun nasional cenderung mengalami peningkatan (2,39%, 3,06%, dan 2,83%). Jenis konsumsi daging sapi terbesar baik kota, desa, maupun nasional adalah daging sapi makanan jadi (contoh: mie bakso, daging goreng, soto, dst). Konsumsi daging sapi terendah baik kota, desa, maupun nasional adalah jeroan sapi.

Konsumsi ideal daging sapi adalah sebesar 2,46 kg/kap/th. Konsumsi aktual daging sapi pada penduduk kota, desa, maupun secara nasional masih kurang dari ideal. Rata-rata selisih pada penduduk kota adalah sebesar –0,26 kg/kap/th, –1,68 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar -1 kg/kap/th.

Kecukupan ketersediaan daging sapi dengan memperhatikan impor (on trend) dari tahun 2005 sampai 2010 mampu memenuhi konsumsi aktual daging sapi penduduk Indonesia. Rata-rata kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi daging sapi adalah sebesar 52,55 ribu ton/th. Rata-rata kecukupan ketersediaan tanpa memperhatikan impor daging sapi (absolut) belum mampu memenuhi konsumsi aktual penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi aktual dari ketersediaan absolut daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010 adalah sebesar 37,25 ribu ton/th. Kecukupan ketersediaan on trend daging sapi tidak mampu memenuhi konsumsi ideal penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi ideal atau mencapai skor PPH pangan hewani (daging sapi) maka perlu ditambahkan sebanyak 172,65 ribu ton/th daging sapi. Kecukupan ketersediaan tanpa memperhatikan impor daging sapi (absolut) tidak mampu memenuhi konsumsi ideal penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi ideal atau mencapai skor PPH pangan hewani (daging sapi) dari ketersediaan absolut maka perlu ditambahkan sebanyak 262,45 ribu ton/th daging sapi.

Kata kunci: Sumberdaya daging sapi, konsumsi daging sapi, kecukupan daging sapi, Indonesia.


(5)

ANALISIS SUMBERDAYA DAN KONSUMSI DAGING SAPI DI

INDONESIA TAHUN 2005-2010

AQIILAH ZAHRA

Skripsi

Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(6)

Judul : Analisis Sumberdaya dan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005-2010

Nama : Aqiilah Zahra NIM : I14096028

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001

Diketahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Sumberdaya dan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005-2010” ini dilakukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi (S.Gz) pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan, masukan, kritikan, semangat, dan dorongan serta saran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji atas segala saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Keluarga tercinta: Bapak dan Mamah, kakakku Fitri Rahmawati, adik-adikku Putri Khumairoh dan Fikri Aulia Rahman, serta keluarga besar yang senantiasa memberi doa, dukungan, serta semangat kepada penulis.

4. Teman-teman seperjuangan penulis: Mba Dita, Mba Cintya, Hadi, Ayuning, Frida, Nadia dan Dik Suci yang telah berjuang bersama.

5. Anggota tim kajian konsumsi daging sapi Indonesia (IPB): Mba Rian, Suci, dan Mba Marina atas doa, semangat, dan diskusinya yang hangat. 6. Teman-teman ekstensi Gizi Masyarakat angkatan 3 (Oci, Oca, Getri,

Tata, Sarly, Ocay, dan semuanya) yang telah memberikan dukungan, doa, dan bantuan kepada penulis.

7. Teman-teman kost Mutiara Umat (Mba Dian, Teh Un, Dini, Esti, dan Ana), dan Tim BS (Mba Ratih, Mba Tika, Ratih, Ulvi, Imas, Shanti, dan semuanya) yang selalu memberikan dukungan, doa, dan bantuan kepada penulis.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.

Bogor, Februari 2012


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Aqiilah Zahra, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 September 1988. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Masruri dan Ibu Sri Murniati. Penulis memulai pendidikan di TK Ar-Rahman pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke SD Islamic Village tahun 1994 dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2000-2003 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Islamic Village. Penulis menempuh pendidikan SMA di SMA Islamic Village dan lulus pada tahun 2006.

Penulis melanjutkan pendidikan diploma dengan jurusan Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2009. Setelah lulus dari diploma, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S1 Gizi Masyarakat IPB melalui jalur alih jenis. Selama kuliah, penulis aktif dalam organisasi yaitu Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB. Selain itu, penulis ikut dalam kepanitiaan Seminar Gizi ‘LEMONS’ tahun 2011 dan menjadi peserta Seminar Nasional Pangan dan Gizi tahun 2011.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Tujuan Umum ... 2

Tujuan Khusus... 2

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Sumberdaya Daging Sapi... 4

Produksi dan Impor Daging Sapi ... 4

Ketersediaan Daging Sapi ... 8

Konsumsi Daging Sapi ... 11

Konsumsi Ideal Daging Sapi ... 12

Konsumsi Aktual Daging Sapi ... 13

Daging Sapi ... 16

Daging Sapi Olahan Industri ... 19

Daging Sapi Olahan Makanan Jadi ... 20

KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

METODELOGI... 23

Desain, Tempat, dan Waktu ... 23

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 23

Pengolahan dan Analisis Data ... 23

Sumberdaya daging sapi ... 23

Konsumsi daging sapi dan olahannya ... 26

Kecukupan ketersediaan untuk dikonsumsi terhadap konsumsi ... 30

Definisi Operasional ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

Sumberdaya Daging Sapi... 33

Konsumsi Daging Sapi ... 39

Konsumsi daging sapi aktual ... 39

Konsumsi daging sapi ideal ... 54

Kecukupan Terhadap Konsumsi Daging Sapi ... 56

Kecukupan terhadap konsumsi aktual ... 57

Kecukupan terhadap konsumsi ideal ... 58

Kesimpulan ... 60

Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perkembangan produksi dan impor daging sapi Indonesia, tahun

1990-1999 (000 ton) ... 5

2 Perkiraan produksi daging sapi tahun 2005-2010 ... 6

3 Persentase karkas dan jeroan berdasarkan jenis sapi ... 8

4 Alternatif komposisi konsumsi protein ... 12

5 Komposisi konsumsi protein asal pangan hewani ... 13

6 Perkembangan konsumsi daging sapi Indonesia tahun 1990 –1999 ... 13

7 Tingkat konsumsi pangan nasional berdasarkan pola pangan harapan ... 13

8 Perkiraan kebutuhan daging sapi tahun 2005-2010 ... 15

9 Mutu protein beberapa bahan makanan ... 17

10 Nilai zat besi bahan makanan (mg/100 gram) ... 17

11 Persentase rata-rata pengeluaran daging sapi berdasarkan jenis daging sapi tahun 2005-2010 ... 18

12 Jenis dan sumber data ... 23

13 Faktor konversi daging sapi dan olahannya ... 26

14 Produksi dan impor daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010 ... 33

15 Produksi dan impor jeroan sapi di Indonesia tahun 2005-2010 ... 34

16 Persentase komposisi produksi dan impor daging sapi (termasuk jeroan sapi) di Indonesia tahun 2005-2010 ... 35

17 Perbandingan antara sasaran produksi (RAPKP) (kg/kap/th) dengan jumlah produksi daging sapi aktual (kg/kap/th) ... 36

18 Ketersediaan daging sapi on trend di Indonesia tahun 2005-2010 ... 38

19 Ketersediaan daging sapi absolut di Indonesia tahun 2005-2010 ... 38

20 Konsumsi daging sapi berdasarkan jenisnya (kg/kap/th) tahun 2005-2010 ... 39

21 Persentase konsumsi daging sapi berdasarkan jenisnya (%) tahun 2005-2010 ... 40

22 Konsumsi daging sapi segar penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 ... 41

23 Konsumsi daging sapi, tetelan, dan tulang (kg/kap/th) pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 ... 42

24 Konsumsi daging sapi olahan industri pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 ... 43

25 Konsumsi dendeng, abon, daging dalam kaleng, dan daging awetan lainnya (kg/kap/th) pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 ... 45


(11)

26 Konsumsi daging sapi makanan jadi pada penduduk kota, desa, dan

nasional tahun 2005-2010 ... 46 27 Konsumsi soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, mie bakso, dan daging

goreng (kg/kap/th) pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun

2005-2010 ... 47 28 Konsumsi hati sapi pada penduduk kota, desa, nasional tahun

2005-2010 ... 49 29 Konsumsi jeroan sapi pada penduduk kota, desa, nasional tahun

2005-2010 ... 50 30 Jumlah konsumsi daging sapi pada penduduk kota, desa, nasional tahun

2005-2010 ... 52 31 Perbandingan antara sasaran konsumsi (RAPKP) (kg/kap/th) dengan

jumlah konsumsi daging sapi aktual (kg/kap/th) tahun 2005-2010 ... 54 32 Komposisi konsumsi energi ideal pangan hewani ... 55 33 Selisih konsumsi aktual dengan konsumsi ideal daging sapi tahun

2005-2010 ... 55 34 Kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi aktual daging sapi

(ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 ... 57 35 Kecukupan ketersediaan absolut terhadap konsumsi aktual daging sapi

(ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 ... 57 36 Kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi ideal daging sapi

(ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 ... 59 37 Kecukupan ketersediaan absolut terhadap konsumsi ideal daging sapi


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Model ekonomi penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia ... 7 2 Kerangka pemikiran ... 22


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jumlah produksi dan impor daging sapi dan jeroan tahun 2005-2010 ... 67

2 Laju produksi, impor, dan jumlah daging sapi tahun 2005-2010 ... 67

3 Data dasar konsumsi daging sapi tahun 2005-2007 ... 68

4 Data dasar konsumsi daging sapi tahun 2008-2010 ... 69

5 Laju konsumsi daging sapi segar tahun 2005-2010... 70

6 Laju konsumsi daging sapi olahan industri tahun 2005-2010 ... 70

7 Laju konsumsi daging sapi makanan jadi tahun 2005-2010 ... 70

8 Laju konsumsi hati sapi tahun 2005-2010 ... 70

9 Laju konsumsi jeroan sapi tahun 2005-2010 ... 71

10 Laju jumlah konsumsi daging sapi tahun 2005-2010 ... 71

11 Laju konsumsi daging sapi, tetelan, dan tulangtahun 2005-2010 ... 72

12 Laju konsumsi dendeng dan abon tahun 2005-2010 ... 72

13 Laju konsumsi daging dalam kaleng dan daging awetan lainnya tahun 2005-2010 ... 73

14 Laju konsumsi soto/gule/sop/rawon dan sate/tongseng tahun 2005-2010 .... 73


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Undang-undang No 7 tahun 1996 menyatakan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan pemerintah wajib menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan pangan wajib diatur dan dievaluasi oleh pemerintah.

Salah satu komoditas pangan yang perlu diperhatikan keberagaman dan keseimbangannya oleh pemerintah adalah pangan sumber protein hewani. Protein hewani sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan, kesehatan dan kecerdasan manusia. Selain itu, menurut Astuti (2010) daya cerna protein hewani lebih baik dibanding dengan protein nabati. Diantara beragam daging-dagingan, daging sapi merupakan bahan pangan yang banyak digemari masyarakat walaupun harganya relatif mahal (Anonim a 2010). Menurut Astuti (2010) protein dari daging sapi mempunyai struktur asam amino yang mirip dalam tubuh manusia, tidak dapat dibuat oleh tubuh (essensial), susunannya relatif lebih lengkap dan seimbang. Selain itu, menurut Ilham (2006) kelebihan daging sapi selain citarasanya yang enak, juga memiliki kaitan dengan aspek budaya yang seringkali tidak dapat disubstitusi oleh daging lainnya. Bahkan pada hari-hari besar keagamaan, permintaan akan daging sapi masih tetap tinggi walaupun harganya meningkat tajam.

Permintaan daging sapi ini cenderung terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Selain faktor penduduk, faktor yang turut mendorong meningkatnya permintaan daging sapi adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat dari bahan pangan sumber protein nabati ke bahan pangan sumber protein hewani. Fenomena ini diperkirakan akan terus berlanjut kedepan (Rusman dan Suharyanto 2010). Selain itu, didalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur Jawa Barat mengamanatkan bangsa ini perlu membangun ketahahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, salah satunya adalah daging sapi (DEPTAN 2005). Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) merupakan salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait


(15)

dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik.

Permasalahan sumberdaya daging sapi di Indonesia adalah tingginya nilai impor yang dapat mengganggu kemandirian dan berpotensi dalam food trap negara eksportir (DITJENAK 2010). Volume impor daging sapi Indonesia selama periode 1990-1999 mengalami peningkatkan yang cukup tajam yaitu sebesar 21,94 persen per tahun. Kondisi ini diperburuk lagi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak Juli 1997 sehingga menyebabkan semakin mahalnya biaya produksi daging dalam negeri, lebih lanjut berdampak pada menurunnya produksi komoditas tersebut (Kariyasa 2004). Ketergantungan pada daging sapi impor untuk memenuhi konsumsi domestik dapat melemahkan upaya untuk meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri.

Permasalahan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia adalah tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia terendah di negara-negara ASEAN, padahal konsumsi protein hewani sangat penting karena merupakan pangan pembentuk tubuh yang baik. Konsumsi daging sapi penduduk Indonesia selama tahun 1990-1999 hanya 1,04 kg/kap/th (Kariyasa 2004). Pada tahun 2010 beberapa instansi mempunyai angka konsumsi daging sapi yang berbeda satu dengan yang lain. BKP (2011) merilis konsumsi daging sapi tahun 2010 sebesar 1,27 kg/kapita/th dan Direktorat Jenderal Peternakan1,69 kg/kap/th, padahal data dasar yang digunakan sama yaitu Suvey Sosial Ekonomi (SUSENAS).

Perbedaan perhitungan data konsumsi daging sapi berakibat pada ketidakakuratan evaluasi dan perencanaan tingkat ketersediaan, tingkat konsumsi maupun impor. Perbedaan ini menarik perhatian peneliti untuk menghitung ulang data konsumsi daging sapi dari SUSENAS, serta melihat kecukupan sumberdaya terhadap konsumsi dalam negri. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian mengenai analisis sumberdaya dan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010.

Tujuan Tujuan Umum

Menganalisis sumberdaya dan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010.

Tujuan Khusus

1. Menganalisis sumberdaya daging sapi nasional tahun 2005-2010 2. Menganalisis konsumsi aktual desa, kota, dan nasional than 2005-2010


(16)

3. Menganalisis konsumsi ideal daging sapi nasional tahun 2005-2010 4. Menganalisis kecukupan daging sapi nasional tahun 2005-2010.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sumberdaya dan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi evaluasi dan rekomendasi kebijakan bagi pihak pemerintah untuk melakukan perencanaan daging sapi agar lebih baik lagi.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Sumberdaya Daging Sapi

Sumberdaya alam adalah aset didalam pembangunan yang diperlukan untuk kesejahteraan manusia yang pemanfaatannya perlu lestari dan tidak menimbulkan degradasi lingkungan. Sumberdaya alam dapat dibedakan berdasarkan sifatnya yaitu sumberdaya alam fisik, sumberdaya alam air dan udara, dan sumberdaya alam hayati seperti hutan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan sebagainya (Soerianegara 1977).

Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa termasuk Indonesia, memberikan pelajaran bahwa ketahanan pangan harus diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional dengan keragaman antar daerah. Indonesia sebagai negara yang mempunya kekayaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang relatif besar mempunyai peluang yang cukup untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan (Suryana 2004).

Sumberdaya pangan yang terdapat di suatu wilayah, mencakup: (a) Jenis dan jumlah produksi pangan, (b) Jenis dan jumlah cadangan pangan maupun jenis dan jumlah pangan yang diperdagangkan antar wilayah (Baliwati 2010). Badan Pusat Statistika dalam Dulmansyah (2005) menyatakan bahwa untuk dapat menilai dan memahami situasi sumberdaya pangan di suatu daerah terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk serta sesuai dengan persyaratan gizi yang dianjurkan, diperlukan suatu metode Neraca Bahan Makanan (NBM) untuk melihat ketersediaan pangan.

Produksi dan Impor Daging Sapi

Rumusan Internasional Congress of Nutrition di Roma pada tahun 1992 mendefinisikan ketahanan pangan rumah tangga merupakan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Kecukupan pangan mencakup segi kuantitas dan kualitas, agar rumah tangga dapat memenuhi kecukupan pangan baik dari produksi sendiri maupun membeli di pasar. Ini berarti bahwa tiap rumah tangga harus ditingkatkan daya belinya (Abrar 2009). Definisi tersebut jika ditransformasikan pada tataran negara atau wilayah maka ketahanan pangan suatu wilayah atau negara adalah kemampuan wilayah atau negara memenuhi kecukupan pangan masyarakat dari waktu-ke waktu agar dapat hidup sehat dan produktif.


(18)

Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor (DEPTAN 2005).

Volume impor daging sapi Indonesia selama periode 1990-1999 mengalami peningkatkan yang cukup tajam yaitu sebesar 21,94 persen per tahun. Kondisi ini diperburuk lagi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak Juli 1997 sehingga menyebabkan semakin mahalnya biaya produksi daging dalam negeri, lebih lanjut berdampak pada menurunnya produksi komoditas tersebut. Pada tahun 1996 dan 1997 produksi daging sapi dalam negeri berturut-turut mencapai 210 ribu dan 214 ribu ton, dan pada tahun 1998 dan 1999 mengalami penurunan masing-masing menjadi 208 ribu dan 188 ribu ton (Kariyasa 2004). Berikut adalah perkembangan produksi dan impor daging sapi Indonesia tahun 1990-1999 pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan produksi dan impor daging sapi Indonesia, tahun 1990-1999 (000 ton)

Tahun Produksi Impor Jumlah % 1990 157,00 4,00 2,48 1991 172,00 6,00 3,37 1992 183,00 3,00 1,61 1993 211,00 3,00 1,40 1994 204,00 5,00 2,39 1995 190,00 7,00 3,55 1996 210,00 16,00 7,08 1997 214,00 23,00 9,70 1998 208,00 9,00 4,15 1999 188,00 11,00 5,53 Rata-rata 193,70 8,70 4,13 %/thn 2,41 21,94 17,66

Sumber : Kariyasa (2004)

Kecenderungan peningkatan impor daging (termasuk offal) dan sapi bakalan maupun sapi potong bukan semata-mata disebabkan karena senjang permintaan dan penawaran, tetapi juga disebabkan karena adanya kemudahan dalam pengadaan produk impor (volume, kredit, transportasi) serta harga produk yang memang relatif murah. Kondisi ini mengakibatkan peternak lokal tidak mampu bersaing dan kurang bergairah dalam mengelola usaha ternaknya, karena harga daging (sapi potong) di pasar domestik menjadi tertekan (relatif rendah atau murah). Beberapa tahun terakhir, kondisi pasar domestik semakin diperkeruh oleh masuknya daging impor ilegal, yang sebagian besar adalah


(19)

”jeroan” (offal) seperti jantung, ginjal, hati, paru, kikil, dan lain-lain, serta tidak atau kurang terjamin dalam hal ASUH (aman, sehat, utuh dan halal) (DEPTAN 2005). Didalam Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan terdapat perkiraan produksi daging sapi tahun 2005-2010 (Tabel 2).

Tabel 2 Perkiraan produksi daging sapi tahun 2005-2010

No Produksi Daging Sapi 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Populasi sapi (000 ekor) 11045.9 11746.17 12467.38 13210.16 13975.14 14763 2 Pertumbuhan (%) 2.98 6.34 6.14 5.96 5.79 5.64 3 Kelahiran (000 ekor) 2396.83 2548.78 2705.28 2866.45 3032.44 3203.4 4 Kematian (000 ekor) 174.76 185.83 197.24 209 221.1 233.56 5 Replacement (000 ekor) 700.27 721.21 742.77 764.98 417.86 441.41 6 Total pemotongan (000 ekor) 1891.45 1837.82 1765.26 1892.47 2393.49 2528.42 7

a. Pemotongan IB (000 ekor) 500 500 500 500 500 500 b. Pemotongan kawin alam

(000 ekor) 1391.45 1337.82 1265.26 1392.47 1893.49 2028.42 8 Produksi Daging Sapi (a+b)

(000 ton) 271.84 265.19 256.2 271.97 334.05 350.77 9 Impor sapi betina muda (000

ton) 0 500 500 0 0 0

10 Tambahan replacement dari

impor (000 ekor) 0 325 812.5 792.19 1254.3 1858.34 11 Tambahan populasi (000

ekor) 0 825 1725 1448.44 1650.39 2485.49 12 Tambahan produksi daging

sapi (000 ekor) 0 23.24 58.09 56.64 89.68 132.87 13 Total produksi (000 ton) 271.84 288.43 314.3 328.61 423.73 483.64 Sumber: Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010, Departemen Pertanian.

Ada 3 variabel yang berpengaruh terhadap konsumsi daging sapi lokal, yaitu rasio harga riil daging impor dengan daging lokal, jumlah penduduk kota, dan pendapatan per kapita. Konsumsi daging lokal turun 1,8 ton apabila rasio harga naik 1 persen (sapi lokal menjadi lebih mahal). Pengaruh jangka pendek dan jangka panjang yang tidak responsif (elastisitas 0), menunjukkan bahwa konsumen daging sapi adalah golongan menengah ke atas yang tidak terpengaruh oleh perubahan harga (Sunari et al 2010).

Kariyasa (2004) menyebutkan bahwa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang produksi daging sapi dalam negri hanya respon terhadap perubahan harga sapi itu sendiri dan harga ternak sapi. Sedangkan impor daging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi domestik, harga daging impor, tarif impor, kurs rupiah, dan krisis ekonomi.

Sunari et al (2010) menyebutkan bahwa hanya ada satu variabel yang berpengaruh terhadap harga daging sapi lokal, yaitu peningkatan harga daging sapi impor. Setiap ada peningkatan harga daging sapi impor sebesar US$1, akan meningkatkan harga daging sapi lokal Rp 626,45 atau sebaliknya. Pengaruhnya dalam jangka pendek dan jangka panjang adalah responsif. Apabila harga daging sapi impor naik 10 persen, segera direspon dengan peningkatan harga daging sapi lokal 12,9 persen dan dalam jangka panjang akan meningkat


(20)

menjadi sekitar 20,3 persen atau sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Penurunan harga sapi impor US$1/ekor (US$ 0,25/kg hidup) akan menurunkan harga sapi lokal hidup Rp 1,14/kg.

Berikut adalah model ekonomi penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia yang dapat digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor.

Sumber : Kariyasa (2004)

Gambar 1 Model ekonomi penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia Tahun 2011 melalui Direktorat Jendral Peternakan, pemerintah melakukan sensus sapi dan kerbau untuk mengetahui secara akurat ketersediaan sapi di Indonesia guna mencapai swasembada daging sapi 2014. Berdasarkan hasil sensus stok jeroan selama tujuh bulan terakhir adalah sebesar 60.433.231 kg dan daging sapi murni sebesar 181.057.961 kg, sedangkan pada tahun 2012 hingga akhir bulan stok jeroan sebesar 101.255.154 kg dan daging sapi murni sebesar 303.360.442 kg atau sebanyak 2.596.286 sapi.

Krisis ekonomi Total penawaran daging domestik Produksi daging domestik Permintaan daging domestik Harga daging domestik Harga daging impor Harga daging dunia Teknologi (IB) Suku bunga Harga ternak sapi Populasi ternak Upah tenaga kerja Pakan formula Selera/ trend Harga daging ayam Harga telur Harga ikan Harga daging k bi Jumlah penduduk Pendapatan per kapita Harga sapi australia Jumlah ekspor dunia Jumlah impor dunia Kurs rupiah Impor daging Indonesia Tarif impor


(21)

Tahun 2009 Pusat Data dan Informasi Pertanian (PUSDATIN) mengadakan survey karkas sapi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Berikut adalah persentase karkas dan jeroan berdasarkan jenis sapi (Tabel 3)

Tabel 3 Persentase karkas dan jeroan berdasarkan jenis sapi

No Jenis Sapi Persentase Karkas (%) Persentase Karkas + Jeroan(%)

1 Bali 50.37 57.53

2 Bali Camp. 52.53 62.06

3 BX 54.34 62.25

4 Crossing 54.94 62.77

5 Donggala 55.65 65.04

6 FH/Perah 49.77 55.48

7 Limosine 49.89 58.43

8 Lokal Sul-Teng 48.72 54.25

9 Madura 47.41 57.26

10 Ongole 49.63 54.68

11 PO 50.52 57.60

12 Simmental 50.52 60.58

13 SO 54.16 57.57

Rata-Rata 51.75 58.98

Sumber: Pusdatin (2009)

Ketersediaan Daging Sapi

Dewan Ketahanan Pangan mendefinisikan ketersediaan pangan sebagai ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi pangan domestik (netto), perdagangan pangan dan bantuan pangan (DKP 2009). Menurut Baliwati dan Roosita (2004) ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan serta turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang mulai dari nasional, provinsi, lokal, dan rumah tangga. Ketersediaan pangan dapat diukur pada tingkat makro maupun mikro.

Komponen ketersediaan pangan meliputi kemampuan produksi, cadangan maupun impor pangan setelah dikoreksi dengan ekspor dan berbagai penggunaan seperti untuk bibit, pakan,industri makanan/nonpangan dan tercecer. Komponen produksi pangan dapat dipenuhi dari produksi pertanian dan atau industri pangan (Baliwati dan Roosita 2004). NBM merupakan gambaran neraca sumberdaya daya pangan yang terdiri dari komponen pengadaan (supply) dan penggunaan (utilization) pangan di suatu wilayah dalam periode tertentu (biasanya dalam satu tahun) (Baliwati 2010).

Pengadaan pangan sebagai salah satu komponen sumberdaya pangan berasal dari berbagai komponen yaitu produksi dalam negeri, stok dan impor. NBM yang disusun secara reguler setiap tahun akan menunjukkan


(22)

kecenderungan sumberdaya pangan yang terdapat di suatu negara atau wilayah. Selain itu, NBM juga bisa menggambarkan kecenderungan pola konsumsi, kelaparan, maupun status gizi penduduk serta kebijakan pemerintah tentang pangan dan gizi (Baliwati 2010).

Daging sapi merupakan salah satu pangan sebagai sumber protein hewani, yang menyumbang 18 persen terhadap konsumsi daging nasional. Peranannya yang cukup penting tersebut, maka ketersediaan daging sapi dalam negeri dengan harga yang terjangkau, harus menjadi perhatian pemerintah (Sunari et al 2010).

Swasembada Daging Sapi

Konsep kemandirian pangan merupakan salah satu varian dari konsep swasembada pangan. Pengertian pertama adalah swasembada absolut, yaitu kebutuhan pangan dipenuhi seluruhnya (100%) dari produksi domestik. Varian kedua adalah “swasembada on trend”, yaitu produksi domestik sebesar 90-95 persen dan dalam beberapa tahun tertentu ada kalanya mengimpor pangan (5-10%), tetapi pada tahun lainnya mengekspor, sehingga rata-ratanya dalam jangka menengah tetap memenuhi swasembada. Angka kemandirian 90 persen dapat dipakai acuan bagi pemenuhan pangan secara agregat atau dalam arti luas. Kemandirian pangan merupakan salah satu dimensi pengukuran ketahanan pangan (Abrar 2009).

Peraturan Menteri Pertanian (PERMENTAN) No. 19 tahun 2010 menyebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri perlu upaya pencapaian swasembada daging sapi. Dengan berswasembada daging sapi tersebut akan diperoleh keuntungan dan nilai tambah yaitu: (1) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak; (2) penyerapan tambahan tenaga kerja baru; (3) penghematan devisa negara; (4) optimalisasi pemanfaatan potensi ternak sapi lokal; dan (5) semakin meningkatnya penyediaan daging sapi yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat sehingga ketentraman lebih terjamin (KEMENTAN 2010).

Sejalan dengan salah satu arah pengembangan produk dan bisnis pertanian dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dan dengan memperhatikan kendala yang dihadapi dalam pengembangan kapasitas produksi daging sapi, maka arah pengembangan dan sasaran daging sapi didalam Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan (RAPKP) 2005-2010


(23)

adalah akselerasi peningkatan produksi untuk mengurangi ketergantungan impor dan pencapaian swasembada tahun 2010 (DEPTAN 2005).

Program swasembada merupakan peluang untuk dijadikan pendorong dalam mengembalikan Indonesia sebagai eksportir sapi seperti pada masa lalu. Tantangan ini tidak mudah, karena saat ini impor daging dan sapi bakalan sangat besar, sekitar 30 persen dari kebutuhan daging nasional. Selain itu ada kecenderungan peningkatan volume impor yang secara otomatis akan menguras devisa negara sangat besar. Bila kondisi ini tidak diwaspadai, hal ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan, sehingga pada gilirannya berpotensi masuk dalam food trap negara eksportir.

Impor daging dan sapi bakalan semula dimaksudkan hanya untuk mendukung dan menyambung kebutuhan daging sapi yang terus meningkat. Di beberapa daerah ternyata daging dan sapi bakalan impor justru berpotensi mengganggu usaha agribisnis sapi potong lokal. Harga daging, jeroan dan sapi bakalan impor relatif sangat murah, karena sebagian besar merupakan produk atau barang yang kurang berkualitas.

Kegiatan agroindustri sapi potong skala besar semakin menjurus pada kegiatan hilir saja yaitu impor dan perdagangan, dengan perputaran modal yang sangat cepat dan resiko yang lebih kecil. Aktivitas agroindustri sapi potong saat ini belum terintegrasi dan bersinergi dengan kegiatandi sektor hulu. Sementara itu kegiatan di hulu yang merupakan usaha pembibitan dan budidaya sapi, sebagian besar dilakukan oleh peternak dengan skala terbatas dan dengan margin yang kecil. Mereka harus menghadapi persaingan yang kurang seimbang, termasuk serbuan daging murah yang sebagian tidak berkualitas atau tidak terjamin ASUH.

Presiden pernah mencanangkan program swasembada daging sapi 2010 melalui upaya revitalisasi pertanian sebagai dasar untuk mengembangkan agribisnis sapi potong yang berdaya saing dan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Namun program tersebut belum memperoleh dukungan dana yang memadai. Program tersebut justru menghadapi tantangan dan berbagai permasalahan baik dari aspek teknis, ekonomi, sosial maupun kebijakan-kebijakan pendukungnya. Koordinasi antar instansi, antar sektor, serta antar pengemban kepentingan juga masih sangat lemah, sehingga hal ini perlu mendapat perhatian untuk masa yang akan datang (DITJENAK 2010).


(24)

Pengembangan usaha peternakan sapi potong untuk menghasilkan daging sapi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi domestik. Dengan mempertimbangkan asumsi peningkatan populasi ternak sapi potong (5,82 %/tahun), jumlah penduduk (1,49 %/tahun) dan konsumsi daging sapi per kapita (5,0%/tahun), selama kurun waktu 5 tahun ke depan ketergantungan impor daging sapi diperkirakan dapat dikurangi. Hal ini memerlukan terobosan kebijakan untuk mendorong investasi, sehingga tidak menutup kemungkinan produksi daging sapi dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan domestik menuju swasembada daging sapi pada tahun 2010 (Tabel 2).

Peningkatan produksi daging sapi dilakukan melalui peningkatan populasi ternak dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain: (a) mempercepat umur beranak pertama, dari sekitar 4,5 tahun menjadi kurang dari 3,5 tahun, (b) memperpendek jarak beranak dari 18 bulan menjadi sekitar 12-14 bulan sehingga diperoleh tambahan jumlah anak selama masa produksi sekitar 2 ekor/induk, (c) menekan angka kematian anak dan induk, (d) mengurangi pemotongan ternak produktif dan ternak kecil atau muda, (e) mendorong perkembangan usaha perbibitan penghasil sapi bibit, dan (f) mendorong swasta untuk menambah populasi ternak produktif melalui impor sapi betina komersial muda dan fertil, serta (g) impor sapi bakalan muda yang siap digemukkan selama lebih dari 4 bulan (DEPTAN 2005). Peraturan Menteri Pertanian (PERMENTAN) No. 19 tahun 2010 menyebutkan pelaksanaan PSDS 2014 mencakup 4 aspek, yaitu aspek teknis, ekonomis, kelembagaan, kebijakan, dan lokasi.

Konsumsi Daging Sapi

Makanan yang mencukupi zat gizi adalah yang berisi semua zat gizi yang penting dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Harper et al 2006). Kebutuhan pangan dan gizi dapat ditentukan dengan menduga tingkat konsumsi energi dan zat gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan dan aktivitasnya (Suhardjo 2008). Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi, serta kekuatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, ekspresi tiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lain. Ekspresi tersebut


(25)

akan membentuk pola perilaku makan yang disebut kebiasaan makan (Baliwati dan Roosita 2004).

Konsumsi Ideal Daging Sapi

Manusia memerlukan 6 kelompok pangan utama zat gizi untuk hidup sehat dan produktif. Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, diperlukan pedoman jenis dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh individu secara rata-rata dalam sehari. Angka kebutuhan gizi yang digunakan sebagai pedoman adalah hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) yang direvisi setiap lima tahun sekali oleh LIPI, agar sesuai dengan perkembangan ilmu gizi, komposisi penduduk, perkembangan sosial budaya masyarakat (Baliwati dan Retnaningsih 2004).

Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang dengan penngeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi dan sosial yang diharapkan. Angka agregasi rata-rata nasional angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein yaitu 2000 kkal dan 52 g/kap/hari. Estimasi AKE ini lebih rendah 10 persen dari nilai AKE yang diestimasi pada tahun 1998, dan nilai AKP ini lebih tinggi 15 persen dari yang diestimasi tahun 1998. Sebagai salah satu basis untuk perencanaan ketersediaan pangan, maka AKE tingkat konsumsi dikali faktor 1,1 atau ditambah 10 persen, sehingga menjadi 2200 kkal pada tingkat penyediaan (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Kecukupan protein sebesar 52 gram/kap/hari, dicukupi dari sekurang-kurangnya 20 persen protein hewani dan 80 persen protein nabati. Berikut adalah alternatif komposisi konsumsi protein pada Tabel 4.

Tabel 4 Alternatif komposisi konsumsi protein

Konsumsi Protein Komposisi (gram/kap/hari)

Alternatif I Alternatif II Alternatif III Hewani

- Daging - Ikan Nabati

15 6 9

37

16 7 9

36

16 6 10

36

Total 52 52 52

Sumber : Badan Ketahanan Pangan

Kecukupan protein hewani sebaiknya sebesar 20 persen dari kebutuhan energi atau sebesar 240 kkal/kap/hari. Daging ruminansia sebaiknya dikonsumsi sebesar 19 kkal/kap/hari. Berikut adalah komposisi protein asal pangan hewani pada Tabel 5.


(26)

Tabel 5 Komposisi konsumsi protein asal pangan hewani

Kelompok Bahan Pangan % Tingkat Konsumsi (kap/hari) Kkal gram*

Ruminansia dan Unggas 43.4 104 65

- Daging ruminansia 7.9 19 12

- Daging unggas 14.6 35 22

- Telur 11.4 27 17

- Susu 9.5 23 14

Ikan 56.6 136 85

Total 100 240 150

*gram bahan mentah dalam keadaan siap dikonsumsi

Sumber : Badan Ketahanan Pangan

Konsumsi Aktual Daging Sapi

Jumlah konsumsi pada periode 1990-1999 baik per kapita maupun total meningkat (2,08% dan 2,66%) per tahun (Kariyasa 2004). Berikut adalah perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia periode 1990-1999 pada Tabel 6.

Tabel 6 Perkembangan konsumsi daging sapi Indonesia tahun 1990 –1999

Tahun Konsumsi

Per kapita (kg/th) Total (000 ton)

1990 0,88 161,00 1991 0,97 178,00 1992 1,00 186,00 1993 1,13 214,00 1994 1,09 209,00 1995 1,01 197,00 1996 1,14 226,00 1998 0,07 217,00 1999 0,97 199,00 Rata-rata 1,04 202,40 %/thn 2,08 2,66 Sumber : Kariyasa (2004)

Kualitas konsumsi pangan penduduk dapat digambarkan melalui keragaman konsumsi pangan penduduk (g/kap/hr dan kg/kap/thn), konsumsi energi penduduk (kkal/kap/hr), dan konsumsi protein penduduk (g/kap/hr). Salah satu indikator yang digunakan dalam menilai kualitas konsumsi pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Berikut adalah tingkat konsumsi pangan Nasional berdasarkan Pola Pangan Harapan pada Tabel 7.

Tabel 7 Tingkat konsumsi pangan nasional berdasarkan pola pangan harapan

No KelompokPangan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

gr/hari Energi(kkal) % AKG Bobot SkorPPH (FAO-RAPA)

1 Padi – padian 275 1000 50 0.5 25 40.0 – 60.0 2 Umbi-umbian 100 120 6 0.5 2.5 0.0 – 8.0 3 Pangan Hewani 150 240 12 2 24 5.0 – 20.0 4 Minyak dan Lemak 20 200 10 0.5 5 5.0 – 15.0 5 Buah/Biji Berminyak 10 60 3 0.5 1 0.0 – 3.0 6 Kacang-kacangan 35 100 5 2 10 2.0 – 10.0 7 Gula 30 100 5 0.5 2.5 2.0 – 15.0 8 Sayur dan Buah 250 120 6 5 30 3.0 – 8.0 9 Lain – lain - 60 3 0 0 0.0 – 5.0

Jumlah 2000 100 - 100


(27)

Salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui kebutuhan pangan penduduk adalah dengan menggunakan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Secara periodik, BPS menerbitkan data tersebut yang berisi data konsumsi pangan dan pengeluaran untuk pangan. Data Susenas mencakup jenis dan jumlah pangan yang umum dikonsumsi oleh rumah tangga di tiap wilayah (provinsi). Dengan menggunakan data pendukungnya, data Susenas bisa memberikan informasi tentang konsumsi pangan secara umum maupun komoditas-komoditas pangan utama menurut wilayah, kelompok pengeluaran, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Bila dianalisis lebih lanjut, data Susenas dapat menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat bagi perencanaan ketahanan pangan, seperti tingkat konsumsi pangan dan zat gizi (konsumsi energi dan protein), kualitas konsumsi pangan (komposisi dan keseimbangannya berdasarkan pendekatan Pola Pangan Harapan), perilaku konsumsi pangan, kebutuhan pangan untuk manusia, dan analisis lain yang diperlukan (BKP 2011).

Pemanfatan data konsumsi pangandalam perencanaan penyediaan pangan menjadi sangat penting, mengingat data tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi permintaan pangan sebagai cerminan preferensi, ketersediaan dan daya beli aktualnya. Disamping itu data konsumsi pangan dapat digunakan sebagai instrumen evaluasi pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dari sisi konsumsi (tingkat konsumsi, skor PPH/skor mutu gizi konsumsi pangan dan prevalensi rumahtangga rawan pangan), serta evaluasi kemampuan produksi domestik dalam memenuhi kebutuhan untuk konsumsi pangan masyarakat (BKP 2011).

Responden dalam Susenas adalah rumah tangga atau yang dimaksudkan adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami atau tinggal bersama di sebagian atau seluruh bangunan fisik/bangunan sensus dan biasanya makan dari satu dapur. Satu dapur adalah jika pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola menjadi satu. Beberapa orang yang bersama-sama mendiami satu kamar dalam satu bangunan sensus walaupun mengurus makannya sendiri-sendiri dianggap satu rumah tangga biasa. Sedangkan rumah tangga yang tidak tercakup dalam Susenas adalah a) Orang yang tinggal di asrama, yaitu suatu tempat tinggal yang pengurusan kebutuhan sehari-harinya diatur oleh suatu yayasan atau badan, misalnya asrama perawat, asrama ABRI (tangsi), dan asrama karyawan/mahasiswa; b) Orang-orang yang tinggal di Lembaga


(28)

Pemasyarakatan, Panti Asuhan dan sebagainya; c) Sekelompok orang yang mondok dengan makan/indekos yang berjumlah 10 orang atau lebih (BPS 2010).

Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan (RAPKP) menerjemahkan sasaran kebutuhan daging sapi sebagai total konsumsi daging sapi. Berikut adalah sasaran kebutuhan daging sapi tahun 2005-2010 pada Tabel 8.

Tabel 8 Perkiraan kebutuhan daging sapi tahun 2005-2010

No Kebutuhan Daging Sapi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Penduduk (juta orang) 291.67 222.97 226.31 229.71 233.15 236.65 2 Pertumbuhan penduduk (%) 1.49 1.49 1.49 1.49 1.49 1.49 3 Konsumsi daging (kg/kap/th) 1.72 1.79 1.86 1.94 2.01 2.09 4 Total konsumsi (000 ton) 378.93 399.66 421.52 444.58 468.9 494.55 Sumber: Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010, Departemen Pertanian.

Rusman dan Suharyanto (2010) menyebutkan bahwa konsumsi daging sapi yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Selain faktor penduduk, faktor yang turut mendorong meningkatnya permintaan daging sapi adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat dari bahan pangan sumber protein nabati ke bahan pangan sumber protein hewani.

Kariyasa (2004) menyatakan bahwa konsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu harga pangan hewani lainnya, jumlah penduduk, selera, pendapatan perkapita, harga daging sapi, dan krisis ekonomi. Namun dalam penelitiannya, Kariyasa menyebutkan bahwa konsumsi daging sapi sangat respon terhadap perubahan harga daging sapi itu sendiri, pendapatan per kapita, dan harga pangan hewani lainnya. Meningkatnya jumlah penduduk tidak secara otomatis meningkatkan jumlah konsumsi daging sapi. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia konsumsi daging sapi hanya dilakukan pada hari-hari tertentu saja, misalnya hari besar keagamaan

Ada 3 variabel yang berpengaruh terhadap konsumsi daging sapi lokal, yaitu rasio harga riil daging impor dengan daging lokal, jumlah penduduk kota, dan pendapatan per kapita. Konsumsi daging lokal turun 1,8 ton apabila rasio harga naik 1 persen (sapi lokal menjadi lebih mahal). Pengaruh jangka pendek dan jangka panjang yang tidak responsif (elastisitas 0), menunjukkan bahwa konsumen daging sapi adalah golongan menengah ke atas yang tidak terpengaruh oleh perubahan harga. Kenaikan pendapatan perkapita Rp 1000,- akan meningkatkan konsumsi daging sebesar 76,2 ton dan setiap peningkatan jumlah penduduk kota 1000 orang, konsumsi daging akan naik 6 ton (Sunari et al 2010).


(29)

Hasil penelitian Hadiwijoyo (2009) menunjukkan nilai elastisitas pendapatan terhadap permintaan daging sapi diperoleh nilai sebesar 0,42 nilai tersebut lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa permintaan daging sapi bersifat inelastis terhadap perubahan pendapatan atau dengan kata lain persentase perubahan pendapatan tidak responsif terhadap permintaan daging sapi. Permintaan daging sapi bersifat inelastis terhadap perubahan pendapatan karena pendapatan rata-rata pendapatan penduduk Indonesia masih relatif rendah, sehingga perubahan pendapatan yang relatif rendah tersebut belum mampu meningkatkan permintaan masyarakat terhadap daging sapi. Permintaan terhadap daging sapi hanya mengalami peningkatan hanya pada waktu-waktu tertentu saja seperti saat lebaran, natal, dan tahun baru.

Daging Sapi

Peraturan Menteri Pertanian (PERMENTAN) No.50 Tahun 2011 mengenai rekomendasi persetujuan pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia mendefinisikan daging sebagai bagian dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi oleh manusia, terdiri atas potongan daging bertulang, daging tanpa tulang, dan daging variasi, berupa daging segar, daging beku, atau daging olahan (KEMENTAN 2011).

Lukman (2008) mendefinisikan daging segar sebagai daging atau otot skeletal dari hewan yang disembelih secara halal dan higienis setelah mengalami pelayuan (aging) yang disimpan pada suhu dingin atau beku, yang tidak mengalami proses pengolahan lebih lanjut. Offal adalah seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing, dan alat reproduksi. Jeroan (edible offal, variety meat atau fancy meat) adalah organ atau jaringan selain otot skeletal yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak mengalami proses lebih lanjut selain daripada pendinginan atau pembekuan. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak, timus dan atau pankreas, babat, usus, ginjal, buntut.

Peraturan Menteri Pertanian (PERMENTAN) No.50 Tahun 2011 mengenai rekomendasi persetujuan pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia mendefinisikan daging olahan sebagai daging yang diproses dengan cara atau metoda tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan yang dilakukan secara halal dan benar, sehingga


(30)

lazim, aman dan layak dikonsumsi manusia. Olahan daging sapi terdiri atas daging sapi olahan industri dan daging sapi olahan makanan jadi.

Kecukupan protein dalam tubuh, salah satunya dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi daging sapi. Daftar komposisi bahan makanan membagi kandungan gizi daging sapi menjadi tiga bagian, yaitu daging sapi gemuk, sedang, dan kurus. Setiap 100 gram daging sapi gemuk mengandung energi sebesar 273 Kal, 17,5 gram protein, dan 22 gram lemak. Daging sapi sedang mengandung energi 201 Kal, 18,8 gram protein, dan 14 gram lemak. Daging sapi kurus mengandung energi 174 Kal, 19,6 gram protein, dan 10 gram lemak (PERSAGI 2009). Pada makanan olahan daging sapi semacam kornet, dendeng, ataupun daging asap kadar proteinnya jauh lebih tinggi, yaitu antara 24-55 gram protein per 100 gram (Anonim a 2010). Wardlaw dalam Almatsier (2003) membandingkan nilai mutu protein berbagai jenis pangan (Tabel 9). Pada Tabel 9 terlihat bahwa skor asam amino pada daging sapi lebih besar dibandingan dengan bahan makanan nabati. Namun, skor asam amino pada daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan telur, susu sapi, dan ikan.

Tabel 9 Mutu protein beberapa bahan makanan

Bahan makanan NB*) NPU**) PER***) Skor kimia/skor asam amino

Telur 100 94 3,92 100 Susu sapi 93 82 3,09 95

Ikan 76 - 3,55 71

Daging sapi 74 67 2,30 69 Kacang kedelai 73 61 2,32 47 Beras giling 64 57 2,18 57 Biji-bijian 62 53 1,77 42

*)

Nilai biologi **)Net protein utilization ***)Protein efficiency ratio

Sumber: Almatsier (2003)

Daging sapi merupakan sumber zat besi yang baik. Zat besi dalam daging mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi dibandingkan dengan sumber dari nabati. Kandungan besi berbagai bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Nilai zat besi bahan makanan (mg/100 gram)

Bahan makanan Nilai Fe Bahan makanan Nilai Fe

Tempe 10 Daging sapi 2,8

Udang segar 8 Ikan segar 2

Hati sapi 6,6 Ayam 1,5

Bayam 3,9 Telur ayam 2,7

Sumber: Almatsier (2003)

Daryanto dalam Sunari (2010) menyatakan bahwa daging sapi mengandung 10 macam asam amino esensial dan asam lemak (terutama conjungated linoleic acid) yang bermanfaat bagi pertumbuhan neuron pada otak, dan selanjutnya neuron ini menentukan tingkat kecerdasan manusia. Terdapat


(31)

korelasi positif antara kecerdasan dengan konsumsi daging per kapita suatu negara. Negara yang tingkat konsumsi protein hewaninya tinggi, umumnya memiliki nilai human development index yang tinggi. Konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat dari negara ASEAN lainnya. Rata-rata konsumsi daging (daging merah dan putih) rakyat Indonesia pada tahun 2009 masih cukup rendah, yaitu sebesar 4,5 kg/kap/tahun, sedangkan konsumsi daging rakyat Malaysia sudah mencapai 46,87 kg/kap/thn dan konsumsi daging rakyat Fipilina mencapai 24,96 kg/kap/thn.

Jika dilihat dari pengeluaran masyarakat Indonesia terhadap jenis daging sapi maka pengeluaran terbesar adalah pada jenis mie bakso dan terendah pada tulang. Berikut adalah persentase pengeluaran pangan hewani berbasis daging sapi tahun 2010 pada Tabel 11.

Tabel 11 Persentase rata-rata pengeluaran daging sapi berdasarkan jenis daging sapi tahun 2005-2010

Jenis Daging 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata Daging Sapi 0.367 0.250 0.282 0.241 0.269 0.260 0.278 Tetelan 0.017 0.017 0.011 0.009 0.010 0.009 0.012 Tulang 0.002 0.002 0.002 0.002 0.001 0.001 0.002 Dendeng 0.014 0.000 0.007 0.008 0.012 0.014 0.009 Abon 0.032 0.017 0.026 0.018 0.016 0.014 0.020 Daging dalam kaleng 0.002 0.000 0.011 0.006 0.003 0.009 0.005 Daging Awetan Lainnya 0.005 0.000 0.009 0.009 0.019 0.020 0.010 Soto/gule/sop 0.051 0.063 0.061 0.063 0.068 0.069 0.062 Sate/tongseng 0.013 0.019 0.017 0.017 0.022 0.023 0.019 Mie(bakso/rebus/goreng) 0.501 0.480 0.482 0.485 0.512 0.505 0.494 Ayam/daging (goreng,bakar,dll) 0.064 0.072 0.137 0.155 0.162 0.176 0.128 Hati 0.069 0.042 0.068 0.053 0.044 0.045 0.053 Jeroan 0.019 0.018 0.018 0.013 0.014 0.015 0.016 % jumlah pengeluaran daging sapi 1.157 0.979 1.130 1.078 1.150 1.159 1.109

Sumber : BKP (2011), diolah

Permasalahan yang ditemukan di lapangan terkait minat masyarakat terhadap daging adalah masyarakat lebih mengkonsumsi daging sapi impor yang harganya lebih murah daripada daging sapi lokal dalam kondisi normal. Selain itu, telah menjadi persepsi di masyarakat bahwa rasa daging sapi impor lebih gurih dibandingkan dengan rasa daging sapi lokal asli, karena mengandung marbling (lemak intra muskuler) yang lebih banyak (Sunari et al 2010).

Tahun 2009 dalam sebuah media berita ‘detik Finance’, Suswono (Menteri Pertanian) menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu pengimpor jeroan sapi terbesar karena pola konsumsi masyarakatnya yang masih senang mengkonsumsi jeroan. Bahkan tren konsumsi jeroan diperkirakan meningkat karena melemahnya daya beli terhadap daging sapi. Tahun 2009 harga daging sapi rata-rata mencapai Rp 64.000/kg, sedangkan harga jeroan sapi hanya


(32)

sekitar Rp 18.000 per kg. Selama ini impor jeroan dilakukan dalam bentuk hati, paru, babat, usus, jantung dan sebagainya. Selain dikonsumsi langsung untuk makan sehari-hari masyarakat, jeroan juga diduga digunakan untuk menambah bahan baku usaha baso, nasi goreng, sate dan lain-lain (Anonim b 2009).

Daging Sapi Olahan Industri

Peraturan Menteri Pertanian (PERMENTAN) No.50 Tahun 2011 mendefinisikan daging sapi industri (manufacturing beef) sebagai bagian selain karkas, kulit, jeroan, kepala, kaki, organ reproduksi dan ambing, ekor dari ternak sapi yang telah disembelih secara halal, yang terdiri atas prosot depan (forequarter), prosot belakang (hindquater), tetelan (trimming) 65 CL, tetelan 85 CL, tetelan 90 CL, tetelan 95 CL, daging giling, dan daging kotak (diced meat) untuk keperluan industri (KEMENTAN 2011). Beberapa daging sapi olahan industri yang sering beredar di tengah masyarakat adalah sebagai berikut:

Dendeng Sapi

Bahan dalam pembuatan dendeng sapi terdiri atas bahan baku utama dan bahan baku pembantu. Bahan baku utama dalam pembuatan dendeng sapi adalah daging sapi segar. Bahan pembantu dalam pembuatan dendeng adalah gula merah, lengkuas, ketumbar, bawang merah, bawang putih, garam dan lada. Proses pembuatan dendeng terdiri atas pembersihan daging segar, penyimpanan daging bersih yang telah digarami, penggilingan daging, pencampuran daging dengan bahan-bahan lain, pencetakan adonan, dan pengeringan dengan suhu 120oC (Segoro 2007).

Abon Sapi

Abon sapi menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN) (1995) dalam SNI No 01-3707-1995 adalah suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging, direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng, dan dipres. Secara garis besar menurut Windhiarsiany (1996) proses pengolahan abon meliputi penerimaan daging segar, perebusan, pengepresan, penyuiran, penimbangan, pencampuran, penggorengan, pengepresan, pemisahan serat, dan pengemasan. • Bakso Sapi

Bakso sapi menurut BSN (1995) dalam SNI No 01-3818-1995 dan Lukman (2008) adalah produk daging berbentuk bulatan atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging (kandungan daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan (BTP) yang diizinkan (BSN 1995).


(33)

Kornet

Produk daging yang telah diproses menggunakan garam curing dan diberikan bumbu lain, kemudian dilakukan pemanasan steril komersial (Lukman 2008). Sedangkan Badan Standarisasi Nasional (1995) mendefinisikan kornet sebagai produk yang dibuat dari potongan daging sapi segar atau beku, tanpa tulang, boleh dicampur dengan daging bagian kepala dan jantung yang memenuhi persyaratan dan peraturan berlaku, dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diijinkan melalui proses curing dan dikemas dalam wadah kedap udara (hermetis) dan disterilkan.

Daging Sapi Olahan Makanan Jadi

Daging sapi adalah jaringa umum digunakan untuk keperluan konsumsi makanan. Di setiap daerah, penggunaan Sebagai conto sebagai bahan pembuata banyak digunakan untuk makanan berbumbu dan bersantan seperti sebagai bahan dasar makanan (Anonim c 2011).

Beberapa komoditas makanan jadi daging sapi di Susenas adalah soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, mie bakso/rebus/goreng, dan ayam/daging (goreng,dll). Makanan tersebut sangat sering dijumpai di masyarakat. Berdasarkan data Susenas, pengeluaran pangan hewani berbasis daging sapi terbesar ada pada makanan jadi yaitu mie bakso. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai konsumsi daging sapi dalam bentuk olahan mie bakso (Tabel 11). Namun, ternyata bagi masyarakat Indonesia, jeroan sapi dikonsumsi antara lain untuk campuran bakso, sop, soto, dan nasi goreng. Jeroan juga dikonsumsi langsung, seperti paru dan hati (Anonim d 2009). Permasalahan yang sering muncul pada makanan olahan adalah keamanan pangan produk olahan. Selama tahun 2005 sampai periode Januari-Juli hasil pelaksanaan pengawasan terhadap produk pangan olahan berbasis ternak sebanyak 726 sampel, dimana 86 sampel (6%) diantaranya tidak memenuhi syarat, dengan rician sebagai berikut: Ayam (8,1%), Abon (2,3%), Bakso (55,8%), Daging beku (3,5%), Kornet (2,3%), Sosis (22,1%), dan Susu dan hasil olah (5,8%) (Suratmo 2005).


(34)

KERANGKA PEMIKIRAN

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI mengamanatkan bangsa ini perlu membangun ketahahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, salah satunya adalah daging sapi (DEPTAN 2005). Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan program ketahanan pangan adalah sumberdaya dan konsumsi pangan masyarakat.

Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi daging sapi perlu dilihat dari dua sisi, yaitu konsumsi aktual dan ideal pada rumah tangga. Salah satu indikator yang digunakan dalam menilai konsumsi daging sapi ideal adalah Pola Pangan Harapan (PPH).

Sumberdaya daging sapiyang terdapat di suatu wilayah, mencakup produksi daging sapi, cadangan daging sapi, maupun impor dan ekspor. Komponen ketersediaan pangan meliputi kemampuan produksi, cadangan maupun impor pangan setelah dikoreksi dengan ekspor dan berbagai penggunaan seperti untuk bibit, pakan, industri makanan/nonpangan dan tercecer. Namun dalam penelitian ini sumberdaya yang dilihat adalah produksi, impor, dan ketersediaannya. Satuan yang digunakan adalah kilogram per kapita per tahun, gram per kapita per hari, ton per tahun, dan ekor per tahun, sehingga jumlah penduduk dibutuhkan sebagai pembagi dan pengali.

Kecukupan dilihat dari kemampuan ketersediaan terhadap konsumsi daging sapi baik aktual maupun ideal. Ketersediaan dilihat dari dua sisi yaitu ketersediaan dengan memperhatikan impor (on trend) dan tanpa memperhatikan impor (absolut).


(35)

Gambar 2 Kerangka pemikiran Keterangan:

= Variabel tidak diteliti = Variabel diteliti

Kecukupan daging sapi Konsumsi daging sapi tahun

2005-2010

Konsumsi aktual Konsumsi ideal

Jumlah Penduduk

Sumberdaya daging sapi tahun 2005-2010

Produksi Impor

Ketersediaan

Stok Ekspor

Penggunaan dalam negri


(36)

METODELOGI

Desain, Tempat, dan Waktu

Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian survey. Penelitian dilakukan di Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2011.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dibutuhkan adalah data sekunder dari berbagai instansi. Berikut adalah jenis dan sumber data pada Tabel 12.

Tabel 12 Jenis dan sumber data

No Variabel Data yang

dikumpulkan

Jenis

Variabel Sumber data

1 Sumberdaya daging sapi 2005-2010

• Ketersediaan

• Produksi

• Impor

Sekunder

Neraca Bahan Makanan 2005-2010 (BKP)

2 Konsumsi daging sapi 2005-2010

• Konsumsi actual

• Konsumsi ideal Sekunder

Susenas 2005-2010 (BPS, BKP)

Pola Pangan Harapan (PPH)

3 Penduduk • Jumlah penduduk

Neraca Bahan Makanan 2005-2010 (BKP)

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan diolah menggunakan program Microsoft excell for Windows. Data yang telah diolah lalu dianalisis secara deskriptif. Pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis kecukupan daging sapi pada penelitian ini adalah dari sisi konsumsi dan sumberdaya.

Sumberdaya daging sapi a. Produksi daging sapi

Produksi daging sapi didapat dari kolom 3 pada neraca bahan makanan, setelah itu dibagi dengan jumlah penduduk berdasarkan tahunnya. Berikut adalah rumus produksi dalam satuan kilogram per kapita per tahun:

Keterangan :

Ma : Produksi daging sapi (kg/kap/th) m : Produksi daging sapi (ribu ton) JPen : Jumlah penduduk


(37)

Keterangan:

Mb : Produksi daging sapi (g/kap/hr)

Berikut adalah rumus produksi dalam satuan kilokalori per hari:

Keterangan:

Mc : Konsumsi aktual daging sapi atau olahannya (Kal/kap/hr)

KGiz : Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal)

Perkembangan produksi dihitung dengan menggunakan rumus laju sebagai berikut:

Keterangan:

LM : Laju produksi daging sapi

JM : Jumlah produksi daging sapi (ribu ton) N1 : Tahun awal

N2 : Tahun akhir

b. Impor daging sapi

Impor daging sapi didapat dari kolom 5 pada neraca bahan makanan, setelah itu dibagi dengan jumlah penduduk berdasarkan tahunnya Berikut adalah rumus impor dalam satuan kilogram per kapita per tahun:

Keterangan :

Ia : Impor daging sapi (kg/kap/th) i : Impor daging sapi (ribu ton) JPen : Jumlah penduduk

Berikut adalah rumus produksi dalam satuan gram per kapita per hari:

Keterangan:

Ib : Impor daging sapi (g/kap/hr)


(38)

Keterangan:

Ic : Impor daging sapi (Kal/kap/hr)

Kgiz : Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal)

Setelah itu dilihat perkembangannya dengan menggunakan rumus laju sebagai berikut:

Keterangan:

LI : Laju impor daging sapi

JI : Jumlah impor daging sapi (ribu ton) N1 : Tahun awal

N2 : Tahun akhir

c. Ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi

Ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi (termasuk jeroan sapi) didapat dari kolom 15 pada NBM. Secara khusus, jika ketersediaan dalam satuan kilogram per kapita per tahun dihitung tanpa memperhatikan impor (absolut) maka rumus yang digunakan adalah berikut:

Keterangan:

TDa : Ketersediaan daging sapi on trend (kg/kap/th) TDia : Ketersediaan daging sapi absolut (kg/kap/th) Ia : Impor daging sapi (kg/kap/th)

Ketersediaan dalam satuan gram per kapita per hari dihitung dengan menggunakan rumus:

dan

Keterangan:

TDa : Ketersediaan daging sapi on trend (kg/kap/th) TDb : Ketersediaan daging sapi on trend (g/kap/hr) TDia : Ketersediaan daging sapi absolut (kg/kap/th) TDib : Ketersediaan daging sapi absolut (g/kap/hr)

Berikut adalah rumus ketersediaan dalam satuan kilokalori per hari: dan


(39)

Keterangan:

TDb : Ketersediaan daging sapi on trend (g/kap/hr) TDc : Ketersediaan daging sapi on trend (Kal/kap/hr) TDib : Ketersediaan daging sapi absolut (g/kap/hr) TDic : Ketersediaan daging sapi absolut (Kal/kap/hr)

Kgiz : Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal)

Berikut adalah rumus ketersediaan dalam satuan ribu ton: dan

Keterangan:

TDa : Ketersediaan daging sapi on trend (kg/kap/th) TDia : Ketersediaan daging sapi absolut (kg/kap/th) TDd : Ketersediaan daging sapi on trend (ribu ton) TDid : Ketersediaan daging sapi absolut (ribu ton)

Perkembangan ketersediaan daging sapi dilihat dari laju yang dihitung dengan rumus:

Keterangan:

LT : Laju ketersediaan daging sapi

JT : Jumlah ketersediaandaging sapi (kg/kap/th) N1 : Tahun awal

N2 : Tahun akhir

Konsumsi daging sapi dan olahannya a. Konsumsi daging sapi aktual

Konsumsi daging sapi dari berbagai bentuk atau olahan dikonversi setara daging sapi (termasuk jeroan dan hati). Faktor konversi didapatkan dari penelitian sebelumnya yaitu Kajian Konsumsi Daging Sapi Nasional oleh Badan Ketahanan Pangan dan Institut Pertanian Bogor (Tabel 13).

Tabel 13 Faktor konversi daging sapi dan olahannya No bhn pangan

dlm Susenas Jenis daging Faktor Konversi

Daging sapi segar

54 Daging Sapi 1

68 Tetelan 0.2


(40)

Lanjutan Tabel 13 Faktor konversi daging sapi dan olahannya No bhn pangan

dlm Susenas Jenis daging Faktor Konversi

Daging sapi olahan industri

62 Dendeng 2

63 Abon 2

64 Daging dalam kaleng 1

65 Daging Awetan Lainnya 0.5

Daging sapi dari makanan jadi

203 Soto/gule/sop/rawon 0.333

209 Sate/tongseng 0.333

204 Mie bakso 0.125

205 Daging goring 0.333

Hati sapi 1

Jeroan sapi 0.5

Sumber: BKP dan IPB, 2011

Konsumsi daging sapi atau olahannya (kg/kap/th) pada rumah tangga dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

KRt : Konsumsi aktual daging sapi atau olahannya pada rumah tangga (kg/kap/th)

R : Rata-rata konsumsi aktual (kg/kap/minggu) J : Jumlah gram dalam satu satuan

Fk : Faktor konversi

Berikut adalah rumus total konsumsi aktual daging sapi rumah tangga:

Keterangan:

KRt1 : Konsumsi aktual daging sapi segar (kg/kap/th) KRt2 : Konsumsi aktual daging sapi Industri (kg/kap/th) KRt3 : Konsumsi aktual daging sapi makanan jadi (kg/kap/th) KRt4 : Konsumsi aktual hati sapi (kg/kap/th)

KRt5 : Konsumsi aktual jeroan sapi (kg/kap/th)

KRttot : Konsumsi aktual daging sapi aktual total (kg/kap/th)

Berikut adalah rumus konsumsi aktual dalam satuan gram per kapita per hari:

Keterangan:


(41)

Berikut adalah rumus konsumsi aktual dalam satuan kilokalori per hari:

Keterangan:

KRtc : Konsumsi aktual daging sapi atau olahannya dalam satuan Kal/kap/hr Kgiz : Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram

berdasarkan DKBM (216 Kal)

Berikut adalah rumus konsumsi aktual dalam satuan ribu ton:

Keterangan:

KRtd : Konsumsi aktual daging sapi atau olahannya dalam satuan ribu ton Perhitungan konsumsi daging sapi juga perlu dikonversi dalam bentuk sapi, hal ini dilakukan untuk menggambarkan banyaknya populasi sapi yang dibutuhkan. Konversi sapi ke karkas berdasarkan Survei pemotongan ternak sapi oleh PUSDATIN (2009) adalah sebesar 58,98 persen. Persentase ini merupakan persentase karkas ditambah dengan persentase jeroan. Konversi dari karkas ke daging segar berdasarkan NBM adalah sebesar 74,93 persen. Rata-rata berat sapi di Indonesia adalah 405,08 kg/sapi (PUSDATIN 2009). Berikut adalah rumus perhitungannya:

Keterangan:

KRte : Konsumsi aktual daging sapi dan olahannya (ekor/thn) KRtd : Konsumsi aktual daging sapi aktual total (ribu ton/th) c : Rata-rata berat sapi (405,08 kg)

JPen : Jumlah penduduk

Perkembangan konsumsi daging sapi aktual dilihat dari laju yang dihitung dengan rumus:

Keterangan:

LK : Laju konsumsi daging sapi

JK : Jumlah konsumsi daging sapi (kg/kap/th) N1 : Tahun awal


(42)

b. Konsumsi daging sapi ideal

Tahapan rumus untuk menghitung konsumsi daging sapi ideal:

• Menghitung persentase kontribusi konsumsi daging sapi terhadap pengan hewani dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

Kkd : Kontribusi konsumsi daging sapi KEDs : Konsumsi energi daging sapi KEHtot : Total konsumsi energi hewani

• Jumlah konsumsi energi pangan hewani ideal adalah sebesar 240 Kal, sehingga untuk mengetahui konsumsi energi ideal daging sapi menggunakan rumus:

Keterangan:

Kkd : Kontribusi konsumsi daging sapi Kal DsI : Kalori daging sapi ideal

• Menghitung konsumsi daging sapi ideal (kg/kap/th) menggunakan rumus:

Keterangan:

KI : Konsumsi daging sapi ideal dalam satuan kg/kap/th Kal DsI : Kalori daging sapi ideal

Kgiz : Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal)

Berikut adalah rumus konsumsi dalam satuan gram per kapita per hari:

Keterangan:

KIb : Konsumsi ideal daging sapi dalam satuan g/kap/hr

Berikut adalah rumus konsumsi ideal dalam satuan kilokalori per hari:

Keterangan:


(43)

Kgiz : Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal)

Berikut adalah rumus konsumsi ideal dalam satuan ribu ton:

Keterangan:

KId : Konsumsi ideal daging sapu dalam satuan ribu ton

Perhitungan konsumsi ideal tersebut juga perlu dikonversi dalam bentuk sapi. Berikut adalah rumus perhitungannya:

Keterangan:

KIe : Konsumsi ideal daging sapi dalam satuan ekor sapi c : Rata-rata berat sapi (405,08 kg)

JPen : Jumlah penduduk

Kecukupan ketersediaan untuk dikonsumsi terhadap konsumsi

Kecukupan ketersediaan dilihat dalam bentuk gap antara ketersediaan dengan konsumsi. Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan ketersediaan absolut dan ketersediaan on trend. Jika gap berinilai positif maka dikatakan surplus, namun jika bernilai negatif dikatakan defisit

a. Kecukupan terhadap konsumsi aktual

Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi aktual dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

STDi(1) : Selisih ketersediaan daging sapi absolut terhadap konsumsi daging sapi aktual (ribu ton)

STD(1) : Selisih ketersediaan daging sapi on trend terhadap konsumsi dagingsapi aktual (ribu ton)

Perhitungan selisih tersebut dapat menunjukkan surplus atau defisitnya ketersediaan terhadap konsumsi aktual daging sapi.

b. Kecukupan terhadap konsumsi ideal

Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi ideal dihitung dengan menggunakan rumus:


(44)

Perhitungan selisih tersebut dapat menunjukkan surplus atau defisitnya sumberdaya terhadap konsumsi ideal daging sapi.

Keterangan:

STDi(2) : Selisih ketersediaan absolut terhadap konsumsi daging sapi ideal (ribu ton)

STD(2) : Selisih ketersediaan on trend terhadap konsumsi daging sapi ideal (ribu ton)

Definisi Operasional

Sumberdaya daging sapi adalah jumlah produksi, impor, dan ketersediaan daging sapi yang didapatkan dari kolom produksi, kolom impor, dan kolom ketersediaan pada Neraca Bahan Makanan dalam satuan kilogram per kapita per tahun, gram per kapita per hari, ribu ton, dan ekor sapi.

Konsumsi daging sapi aktual adalah jumlah daging sapi segar, daging sapi olahan industri, daging sapi dari makanan jadi, hati sapi, dan jeroan sapi aktual yang dimakan oleh rumah tangga yang dikoreksi dengan faktor konversi agar setara dengan daging sapi dalam satuan kilogram per kapita per tahun, gram per kapita per hari, ribu ton, dan ekor sapi. Konsumsi daging sapi diperoleh dari data Susenas.

Konsumsi daging sapi ideal adalah jumlah daging sapi segar, daging sapi olahan industri, daging sapi dari makanan jadi, hati, dan jeroan yang seharusnya dimakan oleh rumah tangga yang didapat dari proporsi konsumsi aktual daging sapi terhadap pangan hewani dan dikalikan dengan kalori ideal pangan hewani sesuai angka pola pangan harapan (PPH) yaitu sebesar 240 Kal.

Produksi daging sapi adalah proses menghasilkan daging sapi yang diperoleh dari kolom 3 (produksi) Neraca Bahan Makanan.

Impor daging sapi adalah pemasukan daging sapi dan olahannya dari luar negri yang diperoleh dari kolom 5 (impor) Neraca Bahan Makanan.

Ketersediaan daging sapi adalah ketersediaan untuk dikonsumsi yang meliputi produksi, ekspor, impor, dan penggunaan yang didapatkan dari kolom 15 pada neraca bahan makanan dalam satuan kilogram per kapita per tahun. Ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi dilihat dari dua sisi yaitu ketersediaan yang memperhatikan impor (ketersediaan daging sapi on


(45)

trend) dan ketersediaan yang tidak memperhatikan impor atau hanya mempertimbangkan produksi (ketersediaan daging sapi absolut)

Kecukupan daging sapi adalah selisih jumlah ketersediaan on trend atau absolut terhadap konsumsi aktual dan ideal dalam satuan ribu ton. Jika bernilai negatif maka dikatakan defisit dan bernilai positif dikatakan surplus.


(1)

69

Lampiran 4 Data dasar konsumsi daging sapi tahun 2008-2010

grup No Jenis pangan Satuan gram

2008 2009 2010

kg/kap/minggu kg/kap/minggu kg/kap/minggu

Nasional Kota Desa Nasional Kota Desa Nasional Kota Desa

4.1 1 Daging sapi Kg 1000 0.006864 0.011327 0.002693 0.006432 0.010371 0.002751 0.007066 0.011428 0.002991

4.2 1 Dendeng Kg 1000 0.000114 0.000188 0.000045 0.000139 0.000184 0.000097 0.000193 0.000256 0.000134

4.2 2 Abon ons 100 0.002535 0.004599 0.000606 0.001874 0.003401 0.000447 0.001841 0.003291 0.000486

4.2 3 Daging dalam kaleng Kg 1000 0.000162 0.000304 0.000029 0.000066 0.000093 0.000041 0.000237 0.000428 0.000058

4.2 4 Lainnya-daging awetan Kg 1000 0.000496 0.000919 0.000101 0.000902 0.001707 0.000150 0.001085 0.002017 0.000213

4.3 1 Hati Kg 1000 0.001499 0.002338 0.000714 0.001049 0.001688 0.000451 0.001216 0.001763 0.000705

4.3 2 Jeroan Kg 1000 0.000914 0.001241 0.000608 0.000769 0.001154 0.000410 0.000964 0.001151 0.000790

4.3 3 Tetelan Kg 1000 0.001218 0.002025 0.000464 0.001142 0.002024 0.000318 0.001226 0.002124 0.000386

4.3 4 Tulang Kg 1000 0.001029 0.001495 0.000594 0.000576 0.000882 0.000290 0.000746 0.001109 0.000407

13 12 Soto/gule/sop porsi 250 0.103629 0.157563 0.053222 0.101250 0.153442 0.052481 0.103603 0.156593 0.054093

13 13 Sate/tongseng tsk 25 0.055262 0.080580 0.031599 0.065597 0.096181 0.037019 0.069729 0.102039 0.039541

13 14 Mie(bakso/rebus/goreng) porsi 250 0.423379 0.567412 0.288768 0.406783 0.539666 0.282616 0.405474 0.534384 0.285032

13 18 Ayam/daging (goreng,bakar,dll) ptg 150 0.084555 0.137930 0.034671 0.080298 0.134462 0.029687 0.088344 0.146387 0.034114

Sumber

: Survey Sosial Ekonomi, BKP


(2)

70

Lampiran 5 Laju konsumsi daging sapi segar tahun 2005-2010

Tahun

Daging sapi segar

Kota Desa Nasional

kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju

2005-2006 0.61 -8.08 0.10 -53.16 0.34 -22.97

2006-2007 0.71 16.41 0.17 65.25 0.43 28.06

2007-2008 0.62 -13.31 0.15 -14.81 0.37 -13.33

2008-2009 0.56 -8.36 0.15 0.50 0.35 -6.57

2009-2010 0.62 10.06 0.16 9.14 0.38 9.86

Rata-rata 0.63 -0.66 0.16 1.38 0.38 -0.99

Lampiran 6 Laju konsumsi daging sapi olahan industri tahun 2005-2010

Tahun

Daging sapi olahan industri

Kota Desa Nasional

kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju

2005-2006 0.04 -62.96 0.00 -100.00 0.02 -65.53

2006-2007 0.14 241.25 0.02 0.08 272.50

2007-2008 0.11 -24.57 0.02 -21.43 0.06 -23.15

2008-2009 0.10 -3.10 0.02 37.44 0.06 2.22

2009-2010 0.14 30.59 0.03 32.90 0.08 30.99

Rata-rata 0.11 36.24 0.02 -12.77 0.06 43.40

Lampiran 7 Laju konsumsi daging sapi makanan jadi tahun 2005-2010

Tahun

Daging sapi makanan jadi

Kota Desa Nasional

kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju

2005-2006 1.08 -12.47 0.47 -13.88 0.74 -14.35

2006-2007 1.35 24.25 0.57 22.50 0.95 28.02

2007-2008 1.46 8.24 0.62 8.08 1.02 8.20

2008-2009 1.41 -3.51 0.60 -3.43 0.99 -3.49

2009-2010 1.43 1.98 0.62 3.00 1.01 2.29

Rata-rata 1.33 3.70 0.57 3.25 0.93 4.14

Lampiran 8 Laju konsumsi hati sapi tahun 2005-2010

Tahun

Hati sapi

Kota Desa Nasional

kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju

2005-2006 0.05 -62.84 0.00 -100.00 0.05 -33.44

2006-2007 0.17 220.00 0.04 0.10 90.00

2007-2008 0.12 -26.94 0.04 2.00 0.08 -21.11

2008-2009 0.09 -27.79 0.02 -36.83 0.05 -30.04


(3)

71

Lampiran 9 Laju konsumsi jeroan sapi tahun 2005-2010

Tahun

Jeroan

Kota Desa Nasional

kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju

2005-2006 0.02 -31.82 0.02 69.62 0.02 0.66

2006-2007 0.04 80.00 0.02 -30.00 0.03 20.00

2007-2008 0.03 -31.06 0.01 -13.14 0.02 -23.83

2008-2009 0.03 -7.03 0.01 -32.60 0.02 -15.85

2009-2010 0.03 -0.20 0.02 92.75 0.02 25.40

Rata-rata 0.03 1.98 0.01 17.32 0.02 1.27

Lampiran 10 Laju jumlah konsumsi daging sapi tahun 2005-2010

Tahun

Jumlah daging sapi

Kota Desa Nasional

kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju kg/kap/th %laju

2005-2006 1.81 -17.26 0.60 -27.55 1.17 -19.85

2006-2007 2.40 32.93 0.82 37.43 1.58 35.00

2007-2008 2.33 -3.16 0.83 1.89 1.56 -1.58

2008-2009 2.19 -6.08 0.80 -3.95 1.47 -5.50

2009-2010 2.31 5.50 0.86 7.48 1.56 6.05


(4)

72

Lampiran 11 Laju konsumsi daging sapi, tetelan, dan tulangtahun 2005-2010

Tahun

Daging sapi Tetelan Tulang

Kota Desa Nasional Kota Desa Nasional Kota Desa Nasional

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th %Laju

2005-2006 0.57 -7.93 0.10 -52.04 0.31 -24.62 0.03 -15.61 0.00 -100.00 0.02 8.50 0.01 41.82 0.00 100.00 - 0.00 11.06

2006-2007 0.68 18.18 0.17 60.00 0.41 31.67 0.03 -13.33 0.00 0.02 -25.00 0.01 0.00 0.00 0.00 20.00

2007-2008 0.59 -12.87 0.14 -15.84 0.36 -13.11 0.02 -22.12 0.00 16.00 0.01 -18.80 0.00 -25.25 0.00 18.80 0.00 -14.25

2008-2009 0.54 -8.44 0.14 2.17 0.34 -6.30 0.02 -0.06 0.00 -31.48 0.01 -6.25 0.00 -41.00 0.00 -51.12 0.00 -44.01

2009-2010 0.60 10.19 0.16 8.69 0.37 9.86 0.02 4.95 0.00 21.47 0.01 7.33 0.00 25.74 0.00 40.04 0.00 29.46

Rata-rata 0.60 -0.17 0.15 0.60 0.37 -0.50 0.03 -9.23 0.00 -23.50 0.02 -6.84 0.00 0.26 0.00 -23.07 0.00 0.45

Lampiran 12 Laju konsumsi dendeng dan abon tahun 2005-2010

Tahun

Dendeng Abon

Kota Desa Nasional Kota Desa Nasional

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

2005-2006 0.00 -100.00 0.00 -100.00 0.00 -100.00 0.04 -32.54 0.00 -100.00 0.02 -43.00

2006-2007 0.02 0.00 0.01 0.07 60.00 0.01 0.04 85.00

2007-2008 0.02 -6.00 0.00 0.01 14.00 0.05 -28.14 0.01 -44.91 0.03 -31.49

2008-2009 0.02 -1.92 0.01 116.13 0.01 22.24 0.04 -26.04 0.00 -26.23 0.02 -26.07

2009-2010 0.03 38.63 0.01 38.11 0.02 38.44 0.03 -3.26 0.01 8.78 0.02 -1.78


(5)

73

Lampiran 13 Laju konsumsi daging dalam kaleng dan daging awetan lainnya tahun 2005-2010

Tahun

Daging dalam kaleng Daging Awetan Lainnya

Kota Desa Nasional Kota Desa Nasional

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

2005-2006 0.00 -100.00 0.00 -100.00 0.00 -100.00 0.00 -100.00 0.00 -100.00 0.00 -100.00

2006-2007 0.03 0.01 0.02 0.02 0.00 0.01

2007-2008 0.02 -49.33 0.00 -71.00 0.01 -46.00 0.02 2.11 0.00 1.00 0.01 -0.80

2008-2009 0.00 -69.51 0.00 40.76 0.00 -59.34 0.04 85.79 0.00 48.08 0.02 81.87

2009-2010 0.02 361.49 0.00 43.04 0.01 259.46 0.05 18.16 0.01 42.68 0.03 20.25

Rata-rata 0.01 35.66 0.00 -21.80 0.01 13.53 0.03 1.51 0.00 -2.06 0.01 0.33

Lampiran 14 Laju konsumsi soto/gule/sop/rawon dan sate/tongseng tahun 2005-2010

Tahun

Soto/gule/sop/rawon Sate/tongseng

Kota Desa Nasional Kota Desa Nasional

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap /th

% Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

2005-2006 0.11 0.01 0.04 25.25 0.07 4.34 0.04 36.31 0.01 21.16 0.02 29.44

2006-2007 0.12 8.29 0.05 7.76 0.08 12.86 0.03 -6.95 0.01 11.07 0.02 1.73

2007-2008 0.14 12.79 0.05 0.80 0.09 9.31 0.04 5.61 0.01 1.60 0.02 4.47

2008-2009 0.13 -2.62 0.05 -1.39 0.09 -2.30 0.04 19.36 0.02 17.15 0.03 18.70

2009-2010 0.14 2.05 0.05 3.07 0.09 2.32 0.04 6.09 0.02 6.81 0.03 6.30

Rata-rata 0.13 4.11 0.04 7.10 0.08 5.31 0.04 12.08 0.01 11.56 0.02 12.13


(6)

74

Lampiran 15 Laju konsumsi mie bakso dan daging goreng tahun 2005-2010

Tahun

Mie bakso Daging goreng

Kota Desa Nasional Kota Desa Nasional

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

Kg/kap

/th % Laju

2005-2006 0.78 -17.37 0.38 -17.68 0.56 -18.50 0.15 0.68 0.03 -11.46 0.08 -5.44

2006-2007 0.88 12.20 0.44 16.13 0.65 16.80 0.31 105.86 0.07 125.00 0.19 123.75

2007-2008 0.92 5.13 0.47 5.81 0.69 5.37 0.36 15.52 0.09 28.41 0.22 18.09

2008-2009 0.88 -4.89 0.46 -2.13 0.66 -3.92 0.35 -2.51 0.08 -14.38 0.21 -5.03

2009-2010 0.87 -0.98 0.46 0.85 0.66 -0.32 0.38 8.87 0.09 14.91 0.23 10.02