Kgiz : Rata-rata energi daging sapi gemuk, kurus, dan sedang per 100 gram
berdasarkan DKBM 216 Kal Berikut adalah rumus konsumsi ideal dalam satuan ribu ton:
Keterangan: KI
d
: Konsumsi ideal daging sapu dalam satuan ribu ton Perhitungan konsumsi ideal tersebut juga perlu dikonversi dalam bentuk
sapi. Berikut adalah rumus perhitungannya:
Keterangan: KI
e
: Konsumsi ideal daging sapi dalam satuan ekor sapi c
: Rata-rata berat sapi 405,08 kg JPen : Jumlah penduduk
Kecukupan ketersediaan untuk dikonsumsi terhadap konsumsi
Kecukupan ketersediaan dilihat dalam bentuk gap antara ketersediaan dengan konsumsi. Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi dilihat dari dua
pendekatan yaitu pendekatan ketersediaan absolut dan ketersediaan on trend. Jika gap berinilai positif maka dikatakan surplus, namun jika bernilai negatif
dikatakan defisit
a. Kecukupan terhadap konsumsi aktual
Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi aktual dihitung dengan menggunakan rumus:
Keterangan: STDi
1
: Selisih ketersediaan daging sapi absolut terhadap konsumsi daging sapi aktual ribu ton
STD
1
: Selisih ketersediaan daging sapi on trend terhadap konsumsi dagingsapi aktual ribu ton
Perhitungan selisih tersebut dapat menunjukkan surplus atau defisitnya ketersediaan terhadap konsumsi aktual daging sapi.
b. Kecukupan terhadap konsumsi ideal
Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi ideal dihitung dengan menggunakan rumus:
Perhitungan selisih tersebut dapat menunjukkan surplus atau defisitnya sumberdaya terhadap konsumsi ideal daging sapi.
Keterangan: STDi
2
: Selisih ketersediaan absolut terhadap konsumsi daging sapi ideal ribu ton
STD
2
: Selisih ketersediaan on trend terhadap konsumsi daging sapi ideal ribu ton
Definisi Operasional Sumberdaya daging sapi adalah jumlah produksi, impor, dan ketersediaan
daging sapi yang didapatkan dari kolom produksi, kolom impor, dan kolom ketersediaan pada Neraca Bahan Makanan dalam satuan kilogram per
kapita per tahun, gram per kapita per hari, ribu ton, dan ekor sapi.
Konsumsi daging sapi aktual adalah jumlah daging sapi segar, daging sapi
olahan industri, daging sapi dari makanan jadi, hati sapi, dan jeroan sapi aktual yang dimakan oleh rumah tangga yang dikoreksi dengan faktor
konversi agar setara dengan daging sapi dalam satuan kilogram per kapita per tahun, gram per kapita per hari, ribu ton, dan ekor sapi. Konsumsi
daging sapi diperoleh dari data Susenas.
Konsumsi daging sapi ideal adalah jumlah daging sapi segar, daging sapi
olahan industri, daging sapi dari makanan jadi, hati, dan jeroan yang seharusnya dimakan oleh rumah tangga yang didapat dari proporsi
konsumsi aktual daging sapi terhadap pangan hewani dan dikalikan dengan kalori ideal pangan hewani sesuai angka pola pangan harapan PPH yaitu
sebesar 240 Kal.
Produksi daging sapi adalah proses menghasilkan daging sapi yang diperoleh
dari kolom 3 produksi Neraca Bahan Makanan.
Impor daging sapi adalah pemasukan daging sapi dan olahannya dari luar negri
yang diperoleh dari kolom 5 impor Neraca Bahan Makanan.
Ketersediaan daging sapi adalah ketersediaan untuk dikonsumsi yang meliputi
produksi, ekspor, impor, dan penggunaan yang didapatkan dari kolom 15 pada neraca bahan makanan dalam satuan kilogram per kapita per tahun.
Ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi dilihat dari dua sisi yaitu ketersediaan yang memperhatikan impor ketersediaan daging sapi on
trend dan ketersediaan yang tidak memperhatikan impor atau hanya mempertimbangkan produksi ketersediaan daging sapi absolut
Kecukupan daging sapi adalah selisih jumlah ketersediaan on trend atau
absolut terhadap konsumsi aktual dan ideal dalam satuan ribu ton. Jika bernilai negatif maka dikatakan defisit dan bernilai positif dikatakan surplus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sumberdaya Daging Sapi
Sumberdaya daging sapi suatu wilayah dapat dilihat dari ketersediaan- nya. Ketersediaan daging sapi bisa didapatkan dari produksi domestik dan atau
impor. Ketahanan pangan dari sisi kemandirian dapat dilihat dari ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi domestik, sehingga dalam
pembahasan penelitian ini akan melihat perkembangan jumlah produksi, impor dan ketersediaan daging sapi.
Produksi dan impor daging sapi
Produksi merupakan jumlah daging sapi yang dihasilkan oleh suatu wilayah atau negara. Impor merupakan pemasukan daging sapi dan olahannya
dari luar negri atau luar wilayah. Produksi dan impor dapat dilihat dari neraca bahan makanan NBM. NBM akan menggambarkan situasi dan kondisi
ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi penduduk di Indonesia dalam suatu kurun waktu tertentu yaitu tahun 2005-2010. Berikut adalah produksi dan impor
daging sapi tahun 2005-2010. Tabel 14 Produksi dan impor daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010
Tahun Satuan
Produksi Impor
Jumlah
2005 kgkapth
0.98 0.09
1.07 grkaphr
2.68 0.25
2.93 Kalkaphr
7.32 0.68
8.00 ribu tonth
215.05 20.00
235.05 2006
kgkapth 1.07
0.11 1.17
grkaphr 2.92
0.30 3.22
Kalkaphr 7.98
0.81 8.78
ribu tonth 237.53
24.00 261.53
2007 kgkapth
0.90 0.17
1.08 grkaphr
2.47 0.47
2.95 Kalkaphr
6.76 1.29
8.05 ribu tonth
203.81 39.00
242.81 2008
kgkapth 1.03
0.20 1.23
grkaphr 2.82
0.55 3.37
Kalkaphr 7.70
1.51 9.21
ribu tonth 235.28
46.00 281.28
2009 kgkapth
1.06 0.29
1.35 grkaphr
2.91 0.80
3.71 Kalkaphr
7.93 2.20
10.13 ribu tonth
245.36 67.91
313.26 2010
kgkapth 1.10
0.38 1.48
grkaphr 3.02
1.04 4.06
Kalkaphr 8.24
2.85 11.09
ribu tonth 261.63
90.51 352.13
Rata-rata kgkapth
1.02 0.21
1.23 grkaphr
2.80 0.57
3.37 Kalkaphr
7.65 1.55
9.21 ribu tonth
233.11 47.90
281.01 Laju
2.91 34.19
7.07
Tabel 14 menggambarkan produksi dan impor daging sapi segar nasional mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif
2,91 dan 34,19. Rata-rata produksi daging sapi segar adalah sebesar 1,02 kgkapth atau sebesar 233,11 ribu ton. Rata-rata impor daging sapi segar
sebesar 0,21 kgkapth atau sebesar 47,90 ribu ton. Rata-rata jumlah produksi dan impor daging sapi segar adalah sebesar atau 1,23 kgkapth sebesar 281,01
ribu ton dengan laju positif 7,07 . Tahun 2010, produksi dan impor daging sapi segar memiliki nilai terbesar
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kariyasa 2004 menyebutkan bahwa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang produksi daging sapi dalam
negri hanya respon terhadap perubahan harga sapi itu sendiri dan harga ternak sapi. Hal ini mungkin disebabkan peternak kecil sapi terpaksa menjual murah
sapi yang dimilikinya karena kondisi ekonomi, sehingga harga sapi menjadi murah.
Tabel 15 Produksi dan impor jeroan sapi di Indonesia tahun 2005-2010
Tahun Satuan
Produksi Impor
Jumlah
2005 kgkapth
0.33 0.16
0.49 grkaphr
0.89 0.44
1.33 Kalkaphr
2.44 1.19
3.63 ribu tonth
71.75 35.00
106.75 2006
kgkapth 0.36
0.17 0.52
grkaphr 0.97
0.46 1.43
Kalkaphr 2.66
1.24 3.90
ribu tonth 79.25
37.00 116.25
2007 kgkapth
0.30 0.18
0.48 grkaphr
0.83 0.49
1.31 Kalkaphr
2.25 1.33
3.58 ribu tonth
68.00 40.00
108.00 2008
kgkapth 0.34
0.20 0.54
grkaphr 0.94
0.55 1.49
Kalkaphr 2.57
1.51 4.07
ribu tonth 78.50
46.00 124.50
2009 kgkapth
0.35 0.19
0.54 grkaphr
0.97 0.52
1.48 Kalkaphr
2.65 1.41
4.05 ribu tonth
81.86 43.51
125.37 2010
kgkapth 0.37
0.21 0.58
grkaphr 1.01
0.58 1.58
Kalkaphr 2.75
1.57 4.32
ribu tonth 87.29
49.89 137.18
Rata-rata kgkapth
0.34 0.18
0.53 grkaphr
0.94 0.50
1.44 Kalkaphr
2.55 1.37
3.93 ribu tonth
77.78 41.90
119.67 Laju
2.91 5.94
3.81
Tabel 15 menggambarkan bahwa kondisi produksi dan impor jeroan sapi tahun 2005-2010 mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari persentase laju
yang bernilai positif 2,91 dan 5,94. Rata-rata produksi jeroan sapi adalah sebesar 0,34 kgkapth atau sebesar 77,78 ribu tonth. Rata-rata impor jeroan
sapi adalah sebesar 0,18 kgkapth atau sebesar 41,9 ribu ton. Rata-rata jumlah produksi dan impor jeroan sapi adalah sebesar 0,53 kgkapth atau sebesar
119,67 ribu ton. Tahun 2010, produksi dan impor jeroan sapi memiliki nilai terbesar
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Faktor yang dapat menjadi penyebab tingginya nilai impor jeroan sapi adalah adanya kemudahan dalam pengadaan
produk impor volume, kredit, dan transportasi serta harga produk impor yang memang relatif murah DEPTAN 2005.
Walaupun produksi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun perlu dilihat juga persentase komposisi produksi daging sapi termasuk jeroan
sapi terhadap jumlah produksi dan impor daging sapi termasuk jeroan sapi. Berikut adalah persentase komposisi produksi dan impor daging sapi di
Indonesia tahun 2005-2010 Tabel 16. Tabel 16 Persentase komposisi produksi dan impor daging sapi termasuk jeroan
sapi di Indonesia tahun 2005-2010
Tahun Produksi 000 ton
Impor 000 ton Jumlah
2005 286.80
83.91 55.00
16.09 341.80
100.00 2006
316.78 83.85
61.00 16.15
377.78 100.00
2007 271.81
77.48 79.00
22.52 350.81
100.00 2008
313.78 77.33
92.00 22.67
405.78 100.00
2009 327.22
74.60 111.41
25.40 438.63
100.00 2010
348.92 71.31
140.40 28.69
489.31 100.00
Rata-rata 310.88
77.59 89.80
22.41 400.69
100.00
Tabel 16 menggambarkan bahwa persentase produksi daging sapi termasuk jeroan terhadap jumlah produksi dan impor mengalami penurunan,
sedangkan impor daging sapi termasuk jeroan mengalami peningkatan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan persentase laju produksi daging sapi termasuk
jeroan pada Tabel 14 dan 15. Rata-rata persentase jumlah produksi adalah sebesar 77,59 persen, dan impor sebesar 22,41 persen. Persentase produksi
tahun 2005 adalah sebesar 83,91 persen turun hingga 71,31 persen pada tahun 2010. Persentase impor tahun 2005 adalah sebesar 16,09 persen naik hingga
28,69 persen pada tahun 2010. Untuk mencapai swasembada on trend persentase produksi harus mencapai 90-95 persen dari total kebutuhan atau total
ketersediaan. Persentase produksi daging sapi aktual ini tentu saja menunjukkan bahwa program swasembada daging sapi baik swasembada absolut maupun
swasembada on trend belum tercapai bahkan semakin jauh dari harapan mencapai ketahanan bahkan kemandirian pangan daging sapi. Rata-rata untuk
mencapai swasembada absolut maka produksi daging sapi harus sebesar 400,69 ribu tonth, sedangkan untuk mencapai swasembada on trend dibutuhkan
impor daging sapi sebanyak 20,03-40,07 ribu tonth dan produksi sebanyak 360,62-380,65 ribu tonth. Selain itu, perbandingan jumlah produksi daging sapi
aktual dengan sasaran produksi daging sapi yang terdapat pada Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan RAPKP 2005-2010 masih terdapat selisih
negatif Tabel 17. Tabel 17 Perbandingan antara sasaran produksi RAPKP kgkapth dengan
jumlah produksi daging sapi aktual kgkapth
Tahun Sasaran produksi daging
sapi RAPKP 000 ton
Jumlah produksi daging sapiaktual
000 ton Selisih
2005-2006 272
317 45
2006-2007 288
272 -17
2007-2008 314
314 -1
2008-2009 329
327 -1
2009-2010 424
349 -75
Tabal 17 menggambarkan bahwa produksi daging sapi aktual belum mencapai sasaran yang terdapat di RAPKP, kecuali pada tahun 2005-2006.
Selisih terbesar yaitu pada tahun 2009-2010 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kendala utama dalam peningkatan produktivitas sapi adalah tidak tersedianya pakan secara memadai dan terserang penyakit terutama pada
musim kemarau di wilayah yang padat ternak seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Lampung, dan Bali DEPTAN 2005. Ilham
2006 menambahkan bahwa ada sekitar 28 persen sapi yang dipotong setiap hari adalah sapi betina produktif, hal ini dapat menyebabkan populasi sapi
potong menurun. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan RAPKP tahun 2005-
2010 menyebutkan bahwa kecenderungan peningkatan impor daging sapi termasuk jeroan dalam bentuk sapi bakalan maupun sapi potong bukan
semata-mata disebabkan karena meningkatnya permintaan, tetapi juga disebabkan karena adanya kemudahan dalam pengadaan produk impor volume,
kredit, transportasi serta harga produk impor yang memang relatif murah. Kondisi ini mengakibatkan peternak lokal tidak mampu bersaing dan kurang
bergairah dalam mengelola usaha ternaknya, karena harga daging sapi di pasar domestik menjadi tertekan relatif murah DEPTAN 2005. Selain itu Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 530KMK.011998 tentang pembebasan bea masuk atas impor hewan ternak potong, daging, dan sisa
daging menyebutkan bahwa bea masuk impor daging adalah sebesar 0 persen, hal inilah yang membuat daging sapi impor lebih murah dibandingkan dengan
daging sapi dalam negri. Pada akhirnya, akan membuat peternak sapi kurang bergairah untuk memproduksi daging sapi.
Menurut Kariyasa 2004 impor daging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi domestik, harga daging impor, tarif impor, kurs rupiah, dan krisis
ekonomi. Jika harga daging sapi domestik tinggi, harga daging sapi impor rendah, tarif impor rendah, dan atau kurs rupiah meningkat maka kemungkinan
peningkatan impor bisa terjadi. Namun, Sunari et al 2010 menyebutkan bahwa hanya ada satu variabel yang berpengaruh terhadap harga daging sapi lokal,
yaitu peningkatan harga daging sapi impor. Setiap ada peningkatan harga daging sapi impor sebesar US1, akan meningkatkan harga daging sapi lokal Rp
626,45, atau sebaliknya. Pengaruhnya dalam jangka pendek dan jangka panjang adalah responsif. Apabila harga daging sapi impor naik 10 persen, segera
direspon dengan peningkatan harga daging sapi lokal 12,9 persen dan dalam jangka panjang akan meningkat menjadi sekitar 20,3 persen atau sebaliknya jika
terjadi penurunan harga. Hal ini tentu saja menjadi indikasi bahwa masuknya daging impor membuat daging sapi lokal lebih mahal yang pada akhirnya
berdampak pada tidak tertariknya konsumen untuk membeli daging sapi lokal, sedangkan pada peternak akan membuat peternak tidak bergairah memproduksi
daging sapi. DITJENAK 2010 menambahkan bahwa dampak lebih luas adalah dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya
daging sapi semakin jauh dari harapan, sehingga pada gilirannya berpotensi masuk dalam food trap negara eksportir.
Permasalahan semakin menurunnya persentase produksi dan tingginya impor daging sapi terhadap jumlah produksi dan impor tentu harus segera
diselesaikan oleh pemerintah agar konsumsi daging sapi dapat dipenuhi dari produksi setidak-tidaknya 90-95 persen dari total kebutuhan, sesuai dengan
tujuan swasembada on trend. Program swasembada yang telah dicanangkan pada Peraturan Menteri Pertanian PERMENTAN No.19 tahun 2010 seharusnya
mampu dijadikan landasan dalam penyelesaian permasalahan sumberdaya daging sapi di Indonesia untuk tahun-tahun berikutnya.
Ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi
Daging sapi merupakan salah satu pangan sebagai sumber protein hewani, yang menyumbang 18 persen terhadap konsumsi daging nasional.
Peranannya yang cukup penting tersebut, maka ketersediaan daging sapi dalam negeri dengan harga yang terjangkau harus menjadi perhatian pemerintah
Sunari et al 2010. Ketersediaan daging sapi on trend Tabel 18 adalah
ketersediaan untuk dikonsumsi yang memperhatikan impor, sedangkan ketersediaan daging sapi absolut Tabel 19 adalah ketersediaan untuk
dikonsumsi tanpa memperhatikan impor. Tabel 18 Ketersediaan daging sapi on trend di Indonesia tahun 2005-2010
Tahun Ketersediaan daging sapi on trend
kgkapth grkaphr
Kalkaphr 000 tonth
2005 1.50
4.11 8.88
330.05 2006
1.64 4.49
9.69 364.70
2007 1.50
4.11 8.88
338.67 2008
1.71 4.70
10.14 391.72
2009 1.83
5.01 10.82
422.96 2010
1.99 5.44
11.75 471.70
Rata-rata 1.69
4.64 10.03