Pengaruh pemberian yogurt sinbiotik berbasis probiotik indigenus terhadap profil histologi dan kandungan Imunoglobulin A (IgA) usus halus tikus percobaan

(1)

PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK BERBASIS PROBIOTIK

INDIGENUS TERHADAP PROFIL HISTOLOGI DAN KANDUNGAN

IMUNOGLOBULIN A (IgA) USUS HALUS TIKUS PERCOBAAN

SKRIPSI

WAHYU ANGGARINI

F24061606

 

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

EFFECT OF INDIGENOUS PROBIOTIC IN SYNBIOTIC YOGHURT TOWARD

HISTOLOGICAL PROFILE AND IMUNOGLOBULIN A (IgA) CONTENT IN

SMALL INTESTINE OF MICE

Wahyu Anggarini1, Deddy Muchtadi1, Made Astawan1 and Tutik Wresdiyati2

1

Department of Food and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus 16680

2Department of Anatomy, Physiology and Pharmacology, Faculty of Veterinary Medicine,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus 16680 Phone 62857 1885 0995, e-mail: wahyu.anggarini@gmail.com 

 

ABSTRACT

Diarrhea caused by E. coli is one of gastrointestinal disturbance (gastroenteritis) that often occur in Indonesia. Consuming probiotic and prebiotic product regularly could maintain the balance of gastrointestinal microflora. This research aimed to observe indigenous probiotic (Lactobacillus plantarum 2C12 and Lactobacillus fermentum 2B4) and prebiotic (fructooligosaccharide), which applied in yoghurt formula, potential as antidiarrhea and immunomodulator. The parameter observed was histological profile and Immunoglobulin A (IgA) content of small intestine.

The antibacterial activity of yoghurt formulas was measured by contact method for 2, 4 and 6 hours incubation. The antibacterial activities of all yoghurt formulas were not statistically different (p>0.05) when incubated with Enteropathogenic E.coli K1.1 (EPEC K1.1). Organoleptic test showed that yoghurt F3 had the most stable consistency due to the least whey added.

The next step of the research was a 21 day in vivo test on 4 group of Sprague dawley rats; the negative control (basal ration), synbiotic yoghurt (F3), synbiotic yoghurt + EPEC K1.1, and the positive control (EPEC K1.1). Antidiarrhea and immunomodulatory effect observed on rat's duodenum by hematoxylin eosyn method and immunohistochemistry.

Synbiotic yoghurt group had the lowest duodenum's villi damage than the others treatment. Synbiotic yoghurt and EPEC K1.1 group had lower duodenum's villi damage than positive control group. Synbiotic yoghurt treatment could reduce duodenum’s villi damage caused pathogen bacteria.

Synbiotic yoghurt treatment on day 7th

had an effect on duodenum's mucus thickness (P<0.01). On day 14th, synbiotic yoghurt and EPEC K1.1 treatment had an effect on rat's duodenum mucus thickness (P<0.01). Synbiotic yoghurt treatment on day 21st had an effect on rat's duodenum mucus thickness (P<0.01). Synbiotic yoghurt treatment could maintain duodenum’s mucus thickness and had a healing effect towards pathogenic bacterial attack such as EPEC K1.1.

IgA content on duodenum's mucus showed that synbiotic yoghurt treatment could enhance IgA content on rat's duodenum mucus. Moreover, synbiotic yoghurt treatment could help immune system to defend against pathogenic bacterial attack such as EPEC K1.1.


(3)

WAHYU ANGGARINI. F24061606. Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik

Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan

Imunoglobulin A (Iga) Usus Halus Tikus Percobaan. Di bawah bimbingan

Deddy Muchtadi, Made Astawan dan Tutik Wresdiyati. 2011

RINGKASAN

Penelitian ini dilakukan untuk melihat potensi aktivitas antidiare dan imunomodulator beberapa formula yogurt dengan penambahan bakteri asam laktat indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4) dan prebiotik (fruktooligosakarida) terhadap profil histologi dan kandungan Imunoglobulin A (IgA) usus halus.

Penelitian ini diawali dengan uji antibakteri penyebab diare pada empat formula yogurt, yaitu yogurt F1 (L.bulgaricus + S. thermophillus + FOS 5%), F2 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + FOS 5%), F3 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 + FOS 5%), dan F4 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4 + FOS 5%). Pengujian antibakteri ini menggunakan metode kontak, dimana formula yogurt dikontakkan dengan Enteropatogenik E.coli K1.1 (EPEC K1.1) selama 2, 4 dan 6 jam. Analisis statistik menunjukkan bahwa masing-masing formula yogurt tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata log kematian EPEC K1.1 pada setiap waktu kontak (P>0.05). Derajat keasaman (pH) pada seluruh formula yogurt menunjukkan nilai pH yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Dari segi organoleptik, yogurt F3 memiliki tekstur paling baik dilihat dari whey yang paling sedikit.

Selanjutnya dilakukan pengujian secara in vivo menggunakan tikus Sprague Dawley umur 5-6 minggu sebanyak 70 ekor yang terdiri dari lima kelompok yaitu kontrol negatif (ransum basal), yogurt sinbiotik (F3), yogurt sinbiotik + EPEC K1.1, yogurt prebiotik, dan kontrol positif (EPEC K1.1) yang dilakukan selama 21 hari. Pemberian yogurt sinbiotik dan yogurt prebiotik dilakukan dengan pencekokan sebanyak 109 cfu/ml selama 21 hari. Intervensi EPEC K1.1 dilakukan dengan pencekokan sebanyak 107 cfu/ml pada minggu ke-2 selama 7 hari. Kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan, dicekok dengan air minum agar mendapatkan stres yang sama. Setiap terminasi, jaringan usus duodenum diwarnai dengan menggunakan teknik hematoksilin eosin dan imunohistokimia.

Kenaikan berat badan tikus selama pemeliharaan selama 21 hari tidak berbeda nyata antar kelompok (P>0.05). Konsumsi ransum tikus percobaan selama 21 hari tidak berbeda nyata antar kelompok (P>0.05). Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar air feses tikus percobaan. Kadar air feses kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 dan kelompok tikus kontrol positif tidak berbeda nyata (P>0.05). Kadar air feses kelompok tikus yogurt sinbiotik lebih rendah dibandingkan kelompok tikus kontrol positif. Kadar air feses kelompok tikus prebiotik tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus lainnya.

Pada hari ke-7, kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling rendah (1.22%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 juga memiliki kerusakan vili duodenum yang rendah (2.49%) dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif (6.12%) dan kelompok tikus kontrol positif (5.51%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mengurangi terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan. Hari ke-14, setelah intervensi EPEC selama 7 hari menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (13.62%) memiliki kerusakan vili yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol positif (17.94%). Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik dapat mengurangi kerusakan vili duodenum tikus percobaan akibat serangan EPEC K1.1. Hari ke-21 yaitu 7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling rendah (1.61%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 yang lebih rendah (4.73%) dibandingkan kelompok tikus kontrol positif (21.96%). Hal ini menunjukkan probiotik dalam yogurt sinbiotik mampu berkompetisi dengan bakteri patogen EPEC K1.1 yang telah menempel pada vili usus duodenum tikus percobaan. Kerusakan vili duodenum pada kelompok tikus yogurt prebiotik (3.57%) lebih tinggi dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif (3.04%). Hal ini menunjukkan prebiotik dalam yogurt prebiotik kurang mampu mencegah terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan.


(4)

Pemberian yogurt sinbiotik selama 7 hari pertama memberikan pengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum (P<0.01). Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa usus duodenum yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Pada hari ke-14, pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 memberikan pengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan (P<0.01). Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa usus duodenum yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki ketebalan mukosa usus duodenum yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol positif, dan tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus kontrol negatif. Pemberian yogurt sinbiotik pada hari ke-21 berpengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan (P<0.01). Kelompok tikus kontrol positif memiliki ketebalan mukosa usus duodenum paling kecil dibandingkan kelompok lainnya. Ketebalan mukosa usus duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus yogurt sinbiotik, yogurt prebiotik dan kelompok tikus kontrol negatif.

Kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada mukosa duodenum secara kualitatif ditunjukkan dengan adanya warna coklat pada mukosa usus. Semakin pekat warna coklat maka kandungan IgA semakin banyak. Berdasarkan penilaian secara deskriptif, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 lebih banyak dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif dan kelompok tikus kontrol positif pada hari ke-7. Pada hari ke-14, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik sama dengan kelompok tikus kontrol negatif. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki kandungan IgA mukosa duodenum paling banyak dibandingkan kelompok tikus lainnya dan kelompok tikus kontrol positif memiliki kandungan IgA mukosa duodenum paling sedikit. Berdasarkan penilaian deskriptif pada hari ke-21, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik sama dengan kelompok tikus yogurt prebiotik dan kelompok tikus kontrol negatif. Kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 lebih banyak dibandingkan dengan kontrol positif.   


(5)

PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK BERBASIS PROBIOTIK

INDIGENUS TERHADAP PROFIL HISTOLOGI DAN KANDUNGAN

IMUNOGLOBULIN A (IgA) USUS HALUS TIKUS PERCOBAAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

WAHYU ANGGARINI

F24061606

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(6)

Judul

Skripsi

: Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik

Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan

Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan

Nama

: Wahyu Anggarini

NIM :

F24061606

Menyetujui,

Pembimbing I,

(Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS)

NIP 19460711.197603.1.001

Pembimbing II,

(Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS)

NIP 19620202.198703.1.004

Pembimbing III,

(Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D)

NIP 19640909.199002.2.001

Mengetahui :

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

(Dr. Ir. Dahrul Syah)

NIP 19650814.199002.1.001


(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa skripsi dengan judul

Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap

Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus

Percobaan

adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing

Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Yang membuat pernyataan

Wahyu Anggarini

F24061606


(8)

© Hak cipta milik Wahyu Anggarini, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik

cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(9)

Wahyu Anggarini. Lahir di Purwodadi pada tanggal 24 Juni 1988 sebagai anak ketiga dari pasangan Sutrisno dan Sitti Suprihatin. Penulis menempuh pendidikan dasarnya di SD Negeri 2 Kuripan, Purwodadi hingga lulus pada tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Purwodadi hingga lulus pada tahun 2003. Pendidikan menengah atas penulis ditempuh di SMA Al Islam 1 Surakarta hingga lulus pada tahun 2006. Penulis memasuki perguruan tinggi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis terlibat dalam organisasi himpunan mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) selama 2 periode. Selain itu, penulis juga tergabung dalam klub pecinta Jepang “Onigiri Japan Club”. Bersama dengan tim PKMM Talas Bogor, penulis mewakili IPB mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII di Malang, Jawa Timur. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian “Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan” di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof.Dr.Ir. Made Astawan, MS dan Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D.


(10)

Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan”. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek “Aplikasi Isolat Indigenus Bakteri Probiotik sebagai Imunomodulator dalam Pengembangan Yogurt Sinbiotik Antidiare”. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret sampai Desember 2010.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof.Dr.Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing pertama atas segala bimbingan, nasihat dan kesabaran yang diberikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

2. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing penelitian atas bimbingan dan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi

3. Drh.Tutik Wresdiyati, Ph.D, selaku dosen pembimbing penelitian atas segala pengetahuan dan pengalaman hidup yang sangat bermanfaat bagi penulis, serta bimbingan dan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi

4. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional RI yang telah memberikan dana penelitian melalui Hibah Kompetensi, Nomor Kontrak : 409/SP2 H/DP2M/VI/2010 atas nama Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS

5. Keluarga tercinta, Bapak Sutrisno, Ibu Sitti Suprihatin, Kakakku Indria PS dan Kartika DN, Kakak Iparku Aris P dan Agus J, serta keponakan tersayang Abyan atas segala kasih sayangnya 6. Seluruh dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, terutama Ibu Suliantari, atas segala ilmu

yang sangat bermanfaat, saran dan nasihat selama penelitian.

7. Seluruh teman-teman ITP seperjuangan di angkatan 43, terutama Rima, Nisa, Dedes, Wina, Ochi dan Dewi atas keceriaan mengisi hari-hari penulis

8. Rijali Aroni, atas keceriaan dan kesediaannya sebagai tempat berkeluh kesah penulis

9. Seluruh teman yang tergabung dalam tim yogurt, Sandra, Septi, Yeni dan Roni, serta Eri dan Febi atas segala bantuannya dan motivasinya

10. Teman satu Laboratorium Histologi, Fenny, Ila, Yeni dan Wulan atas segala bantuan, pengalaman dan pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis

11. Seluruh teman di Kost Windy, mbak Becky, mbak Femi, Indah, Ikan, Dhia, Dewi, Uci, Pita, dan lainnya atas keceriaannya

12. Senpai dan Kohei di Onigiri Japan Club sebagai keluarga kedua penulis

13. Para laboran terutama Pak Iwan (FKH), Pak Adi, Pak Ganda, Mbak Ari, Mas Aldi atas segala bantuannya selama penelitian dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.

Bogor, Maret 2011


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………..……….... vii

DAFTAR TABEL ……….………... x

DAFTAR GAMBAR ……… xi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xii

I. PENDAHULUAN ……… 1

1.1. LATAR BELAKANG ………...……… 1

1.2. TUJUAN ……… 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ………...………. 3

2.1. MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN ………...………. 3

2.2. BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK ………. 4

2.3. PROBIOTIK SEBAGAI IMUNOMODULATOR …………...………. 7

2.4. PREBIOTIK ………...………. 9

2.5. YOGURT SINBIOTIK ………..……… 11

2.6. DIARE ………...………. 15

2.7. ENTEROPHATOGENIC Escherichia coli K1.1 ……...………... 16

2.8. USUS HALUS ………...………. 18

III. BAHAN DAN METODE ……….………. 20

3.1. BAHAN DAN ALAT ………..……….………. 20

3.2. METODE PENELITIAN ………...………. 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………....………. 30

4.1. YOGURT SINBIOTIK SEBAGAI ANTIBAKTERI PENYEBAB DIARE ... 30

4.2. PENGUKURAN BOBOT BADAN DAN KONSUMSI RANSUM ………….. 32

4.3. PENAMPAKAN DAN KADAR AIR FESES TIKUS PERCOBAAN ……… 33

4.4. HISTOLOGI USUS DUODENUM TIKUS PERCOBAAN ...………. 36

4.5. KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A (IgA) PADA MUKOSA DUODENUM ……….………..……….. 41 V. SIMPULAN DAN SARAN ………...………. 46

5.1. SIMPULAN ………...………. 46

5.2. SARAN ………..………. 46

DAFTAR PUSTAKA ………...………... 47


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Morfologi isolat indigenus bakteri asam laktat ………...……… 6

Tabel 2. Hasil fermentasi terhadap beberapa jenis gula sederhana...……… 6

Tabel 3. Sifat dasar probiotik isolat indigenus bakteri asam laktat... ………… 7

Tabel 4. Syarat mutu yogurt menurut SNI (SNI 2981, 2009)...………. 12

Tabel 5. Probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu...……… 14

Tabel 6. Komposisi campuran ransum basal...………… 24

Tabel 7. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan. ……… 24

Tabel 8. Kriteria penilaian deskriptif kandungan IgA...…………... 28

Tabel 9. Aktivitas antibakteri terhadap EPEC pada keempat formula yogurt ... 30

Tabel 10. Nilai pH dari masing-masing formula yogurt...…………... 30

Tabel 11. Presentase kerusakan vili duodenum tikus percobaan... 36

Tabel 12. Ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan... 40


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peran probiotik dalam saluran pencernaan manusia...…………... 8

Gambar 2. Konsep probiotik dan prebiotik... 13

Gambar 3. Infeksi EPEC pada epitel usus inang... 16

Gambar 4. Fase patogenesis EPEC ... 17

Gambar 5. Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa ... 19

Gambar 6. Diagram alir penelitian... 21

Gambar 7. Bagan perlakuan tikus percobaan... 25

Gambar 8. Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia... 27

Gambar 9. Penampakan yogurt F1, F2, F3 dan F4 segera setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37o-43 oC ... 31

Gambar 10. Pertambahan berat badan tikus percobaan selama 21 hari... 32

Gambar 11. Rata-rata konsumsi ransum basal tikus percobaan... 32

Gambar 12. Penampakan feses tikus percobaan... 33

Gambar 13. Penampakan anus tikus percobaan... 34

Gambar 14. Kadar air feses tikus percobaan... 35

Gambar 15. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-7 dengan pewarnaan hematoksilin eosin... 37

Gambar 16. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-14 dengan pewarnaan hematoksilin eosin... 37

Gambar 17. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-21 dengan pewarnaan hematoksilin eosin... 38

Gambar 18. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-7 yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) ... 43

Gambar 19. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-14 yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) ... 44

Gambar 20 Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-21 yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) ... 45


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data proksimat kasein (Alacid acid casein) yang digunakan ... 56

Lampiran 2. Perhitungan komposisi ransum basal ... 57

Lampiran 3. Data nilai log kematian EPEC K1.1 metode kontak 2, 4 dan 6 jam ... 58

Lampiran 4. Uji statistik ANOVA aktivitas antimikroba yogurt selama 2, 4 dan 6 jam ... 59

Lampiran 5. Uji statistik ANOVA rata-rata aktivitas antimikroba yogurt... 60

Lampiran 6. Nilai pH formula yogurt ... 61

Lampiran 7. Analisis statistik (ANOVA) nilai pH formula yogurt ... 62

Lampiran 8. Rata-rata pertambahan berat badan tikus percobaan ... 63

Lampiran 9. Analisis statistika (ANOVA) pertambahan berat badan tikus percobaan ... 64

Lampiran 10. Konsumsi ransum basal tikus percobaan per hari... 65

Lampiran 11. Analisis statistika (ANOVA) rata-rata konsumsi ransum per hari ... 66

Lampiran 12. Data kadar air sampel feses tikus percobaan... 67

Lampiran 13. Analisis statistik (ANOVA) kadar air feses tikus percobaan... 68

Lampiran 14. Data kerusakan vili duodenum tikus percobaan... 69

Lampiran 15. Data ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan... 70

Lampiran 16. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-7 ... 71

Lampiran 17. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-14 ... 72


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Saluran pencernaan manusia merupakan sebuah ekosistem yang sangat spesial, yang berkembang dari waktu ke waktu, baik secara fisiologis maupun mikrobiologis. Hal ini sebagai akibat dari pengaruh inang dan lingkungan. Saluran pencernaan merupakan organ yang aktif secara metabolis karena selalu terekspos oleh berbagai macam zat selama proses mencerna makanan (Tamime 2005).

Saluran pencernaan berada dalam keadaan steril sampai bayi dilahirkan. Koloni mikrobiota pada bayi pertama kali berasal dari vagina maupun saluran pencernaan ibunya. Makanan yang masuk ke saluran pencernaan sangat menentukan keadaan saluran pencernaan. Kontaminan yang masuk bersama makanan melalui saluran pencernaan dapat merugikan saluran pencernaan. Saluran pencernaan merupakan organ vital yang rentan terhadap gangguan. Salah satu gangguan saluran pencernaan (gastroenteritis) yang sering terjadi di Indonesia adalah diare. Pada tahun 2006, penyakit ini menempati urutan ketiga penyebab kematian di Indonesia (Departemen Kesehatan 2008). Bakteri penyebab infeksi gastroenteritis yang utama adalah famili Enterobactericeae yang meliputi coliform, khususnya Escherichia coli, Salmonella, Shigella, dan Yersinia.

Kondisi dan fungsi saluran pencernaan yang sehat sangat penting bagi kehidupan manusia. Sistem pertahanan tubuh sepanjang saluran pencernaan sangat penting untuk melawan segala macam bahaya yang mengiringi masuknya makanan ke dalam tubuh. Ekologi flora saluran pencernaan yang normal sangat penting sebagai pertahanan terhadap koloni patogen dari luar tubuh (Forchielli dan Walzer 2005). Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan adalah dengan mengonsumsi produk probiotik dan prebiotik secara teratur. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang dapat memberikan efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan inang (Parassol et al. 2005), memelihara keseimbangan mikroflora dalam usus, mengatur sistem imun, menurunkan tingkat kolesterol dalam darah, meningkatkan toleransi terhadap laktosa, dan menghasilkan metabolit esensial yang dapat memelihara kesehatan usus (Teitelbaum dan Walker 2002).

Bakteri probiotik terbukti efektif dapat mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang berpotensi patogen dan dapat menyebabkan diare. Berbagai penelitian menunjukan potensi isolat bakteri asam laktat (BAL) untuk mengurangi kejadian diare, baik yang disebabkan oleh infeksi bakteri patogen, virus maupun diare yang berkaitan dengan konsumsi antibiotik (Heyman dan Menard 2002). BAL yang diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor diketahui memiliki sifat sebagai probiotik (Arief et al. 2008).

Lactobaccilus delbruecki subsp. bulgaricus dan Streptococcus thermophilus merupakan BAL yang biasa ditemukan dalam produk yogurt komersial, ternyata belum cukup untuk menjaga saluran pencernaan. Oleh karena itu, ke dalam yogurt perlu ditambahkan bakteri probiotik yang mampu bertahan dalam saluran pencernaan manusia. Bakteri tersebut dapat hidup di saluran pencernaan manusia, berkembang biak dan berkompetisi dengan bakteri patogen untuk mendapatkan substrat fermentasi.

Konsumsi probiotik akan lebih maksimal dalam menjaga keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan jika diiringi dengan konsumsi prebiotik. Prebiotik adalah suatu bahan pangan yang tidak dapat dicerna di sepanjang jalur pencernaan manusia, namun bermanfaat menunjang pertumbuhan atau aktivitas bakteri baik di usus, termasuk probiotik (Angus et al. 2005 diacu dalam Tamime 2005).


(16)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi aktivitas antidiare dan imunomodulator beberapa formula yogurt dengan penambahan BAL indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4) dan prebiotik (fruktooligosakarida) dilihat pada parameter profil histologi dan kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada usus halus.

1.2. TUJUAN

Tujuan umum penelitian ini adalah mengaplikasikan dua jenis BAL probiotik indigenus yang diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor, yaitu Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, dalam pembuatan yogurt sinbiotik fungsional yang memiliki sifat sebagai antidiare dan imunomodulator.

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Mengetahui profil histologi pada usus halus, yaitu kerusakan vili dan ketebalan mukosa. 2. Mendeteksi kandungan Imunoglobulin A (IgA) usus halus dengan teknik pewarnaan


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN

Saluran pencernaan dimulai dari rongga mulut yang terdiri atas mulut, hidung, dan kerongkongan. Saluran pencernaan selanjutnya adalah lambung, usus kecil, usus besar dan berakhir di anus. Pada setiap bagian saluran pencernaan terdapat bakteri yang berbeda–beda. Terdapat perbedaan yang besar pada jumlah dan jenis populasi bakteri yang terdapat pada lambung, usus kecil, dan usus besar. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan waktu transit, sekresi, dan kesediaan nutrisi (Lambert dan Hull 1996; Guilliams 1999 diacu dalam Tamime 2005).

Usus merupakan sebuah ekosistem kompleks yang terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan yaitu sel inang, nutrisi, dan mikrobiota. Fungsi usus antara lain untuk proses pencernaan makanan, penyerapan zat gizi, dan pertahanan terhadap serangan dari luar. Komponen pertahanan usus terdiri dari atas tiga jenis yaitu mikrobiota, pertahananan mukosa, dan sistem imun internal (Bourlioux et al. 2002).

Usus halus merupakan habitat dari enterococci, enterobacteria, lactobacilli, bacteroides, dan clostridia. Jumlah mikroba meningkat dari 104-106 cfu/ml pada usus halus menjadi 1011-1012 cfu/ml pada usus besar (Salminen et al. 1998 diacu dalam Tamime 2005). Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson et al 2004). Sedangkan jumlah bakteri akhir di dalam feses didominasi oleh Bacteroides spp sebanyak 109 cfu/ml (Salminen et al. 2004).

Sebelum dilahirkan, saluran pencernaan bayi masih dalam keadaan steril. Pada saat bayi dikeluarkan melalui vagina, kolonisasi mikrobiotia natural pada bayi pertama kali berasal dari vagina maupun saluran pencernaan ibunya. Dalam perkembangannya, asupan makanan bayi berperan penting terhadap mikrobiota saluran pencernaannya. Selama masa menyusui, komposisi mikrobiota saluran pencernaan berkembang dalam jangka waktu yang singkat, dan didominasi oleh Bifidobacteria (Boehm dan Moro 2008).

Flora vagina dan saluran pencernaan ibu merupakan sumber bakteri bagi bayi yang akan berkolonisasi dalam saluran usus bayi yang didominasi oleh strain anaerob fakultatif seperti enterobacteria, koliform dan Lactobacillus. Setelah tidak menyusu, komposisi mikroflora secara berangsur-angsur berubah menyerupai mikroflora dewasa. Diperkirakan terdapat 500 spesies mikroba yang berbeda pada saluran pencernaan, akan tetapi dari segi jumlahnya, saluran pencernaan didominasi oleh 20 jenis mikroba. Mikrobiota tersebut antara lain Bacteroides, Lactobacillus, Clostridium, Fusobacterium, Bifidobacterium, Eubacterium, Peptococcus, Peptostreptococcus, Escherichia, dan Veillonella termasuk bakteri yang dapat memberikan efek menguntungkan yaitu Bifidobacteria and Lactobacilli (Harish dan Varghese 2006).

Lactobacillus dan Bifidobacterium merupakan bakteri penghuni normal ekosistem kompleks saluran pencernaan. Lactobacillus memiliki kemampuan untuk menempel pada sel inang, untuk mengeluarkan atau mengurangi bakteri patogen, dan menghasilkan asam, hidrogen peroksida, dan bakteriosin yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Keberadaan Lactobacillus dalam saluran pencernaan berpotensi memberikan efek kesehatan bagi inang seperti mencegah terjadinya infeksi saluran pencernaan dan meningkatkan respon imun (Sharma et al. 2005).

Profil saluran pencernaan pada manusia dewasa memperlihatkan terjadinya perkembangan populasi mikroba yang dapat mengatasi tekanan psikologis dan mikrobiologis. Kondisi yang stabil memberikan ketahanan bagi inang, atau yang sering disebut dengan barrier effect, kemampuan melawan invasi mikroba, baik yang patogen maupun yang tidak berbahaya. Mikrobiota dalam saluran pencernaan harus mampu beradaptasi untuk berkompetisi mendapatkan nutrisi dan tempat dengan


(18)

mikroba pendatang, yang mungkin dapat menghambat dengan menghasilkan komponen penghambat (Alderbeth et al. 2000).

Keberadaan mikroorganisme dalam saluran pencernaan ditentukan oleh interaksi dengan lingkungan sekitarnya dan pengaruh dari sekitarnya yang mampu mendukung mikroorganisme tersebut melawan kompetitornya. Hal ini dapat dicapai setelah melalui mekanisme yang sangat banyak, seperti meningkatnya suasana anaerobik atau melalui komponen yang mengganggu, contohnya asam dan substansi antimikroba. Komponen-komponen tersebut memberikan efek menguntungkan bagi inang (Fooks dan Gibson 2002).

Fungsi utama dari mikrobiota usus yaitu aktivitas metabolik yang menyebabkan penyimpanan energi dan nutrisi, efek nutrisi terhadap epitel usus, dan perlindungan terhadap serangan bakteri yang merugikan (Harish dan Varghese 2006). Fungsi penting lainnya dari mikrobiota dalam saluran pencernaan adalah produksi vitamin B dan K, yang dibuktikan dalam studi dimana hewan percobaan yang disuplementasi dengan vitamin B dan K untuk memenuhi kebutuhannya setara dengan hewan percobaan dengan mikrobiota (Hooper et al. 2002).

Mikroflora saluran pencernaan merupakan bagian penting dalam dinding pertahanan saluran usus. Komposisi awal dari mikroflora saluran pencernaan yang berkembang merupakan faktor penentu perkembangan fungsi pertahanan saluran pencernaan normal. Penyimpangan spesifik pada mikroflora dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan penyakit pada inang. Mekanisme pertahanan mukosa saluran usus yaitu peran lumen dan mukosa yang membatasi kolonisasi bakteri patogen pada permukaan mukosa. Mikrobiota saluran pencernaan normal dapat mencegah pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri patogen dalam saluran pencernaan (Harish dan Varghese 2006).

2.2. BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK

Probiotik didefinisikan sebagai sediaan sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Schmid et al. 2006). Efek positif dari aktivitas probiotik terbagi menjadi tiga aspek yaitu nutrisi, fisiologi, dan antimikroba. Aspek nutrisi berasal dari penyediaan enzim yang membantu metabolisme penyerapan laktosa (laktase), sintesis beberapa jenis vitamin (vitamin K, asam folat, piridoksin, asam pantotenat, biotin, dan riboflavin), dan dapat menghilangkan racun hasil metabolit komponen makanan di usus (Naidu dan Clemens 2000).

Aspek fisiologis meliputi kemampuan untuk menjaga keseimbangan komposisi mikrobiota usus sehingga menekan resiko infeksi penyakit dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Aspek kemampuan antimikroba dinyatakan melalui kemampuan memperbaiki ketahanan terhadap patogen (Naidu dan Clemens 2000). Probiotik dapat meningkatkan pertahanan usus terhadap patogen karena probiotik berperan sebagai adjuvant sistem imun dan memperkuat lapisan mukosa (Walker 2008).

Mekanisme probiotik dalam memberikan efek positif pada saluran pencernaan memang kurang dimengerti. Akan tetapi secara garis besar, menurut Sartor (2004), mekanismenya antara lain : (1) adherence/ menempel dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan, (2) menekan pertumbuhan atau mengikat/ menyerang bakteri patogen dan memproduksi substansi antimikroba, (3) meningkatkan fungsi pertahanan saluran pencernaan, (4) mengontrol transfer antigen, dan (5) menstimulasi sistem imun mukosa dan sistemik pada inang.

FAO/WHO (2001) menyatakan probiotik adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inang. Jumlah yang cukup menurut FAO/WHO adalah 106-108 cfu/g dan diharapkan dapat berkembang menjadi 1012 cfu/g di dalam kolon. International Dairy Federation (IDF) memberikan standar acuan untuk minuman probiotik hidup sebanyak 106 cfu/ml pada produk akhir (Indratingsih et al. 2004).


(19)

Produk probiotik dapat diklaim memberi keuntungan kesehatan harus mengandung bakteri probiotik dengan konsentrasi minimal 106 cfu/ml atau gram, sebagai dosis minimum terapi per harinya

disarankan mengonsumsi 108-109 cfu/ml (Shah 2000). Akan tetapi, beberapa studi menunjukkan viabilitas probiotik yang berbeda-beda dalam fermentasi susu, khususnya yogurt (La Torre et al. 2003). Beberapa faktor diklaim mempengaruhi viabilitas kultur probiotik dalam fermentasi susu, seperti pH produk akhir, kesediaan nutrisi, oksigen terlarut dan penyerapan oksigen melalui kemasan produk (Tamime 2005).

Jenis bakteri yang banyak digunakan sebagai probiotik adalah bakteri asam laktat (BAL), seperti dari genus Lactobacillus dan Bifidobacteria (Winarno 2003). Menurut Salminen et al. (2004), beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh BAL yang berfungsi sebagai mikroba probiotik antara lain:

1) Probiotik harus non patogenik yang mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, dan masih aktif pada kondisi asam lambung serta konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus

2) Probiotik yang baik mampu tumbuh dengan cepat dalam jumlah yang tinggi pada usus 3) Probiotik yang ideal dapat mendiami beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara 4) Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat

antimikroba terhadap bakteri merugikan

5) Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar dan hidup selama kondisi penyimpanan.

Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu organisme untuk dapat menjadi probiotik karena pH asam lambung sekitar 2 (Almatsier 2005). Pada BAL terjadi perubahan yang dinamis pada pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Gradien proton yang besar dapat menyebabkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Selain itu gradien proton membutuhkan energi yang besar untuk translokasi proton sehingga sangat merugikan (Siegumfeldt et al. 2000).

BAL yang telah melewati dua barrier yaitu asam lambung dan empedu akan menuju ke usus. Bakteri tersebut berkembang pada saat menuju ke jejunum dan akhirnya sampai ke kolon. Waktu transit yang lama memungkinkan bakteri untuk berkembang. Selain itu terdapat nutrisi sisa-sisa makanan yang tidak diserap, material dari inang (mukus dan sel mati), dan metabolit bakteri yang dapat digunakan sebagai sumber makanan (Bourlioux et al. 2002).

Selain ketahanannya dalam saluran pencernaan, aktivitas antimikroba terhadap berbagai bakteri patogen juga merupakan syarat yang penting bagi suatu organisme untuk menjadi probiotik. Bakteri seperti Bifidobacteria spp. dan Lactobacillus spp. memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri pathogen Listeria monocytogenes, Escherichia coli, Salmonella spp. (Jenie 2003).

Probiotik dianggap sukses bila mampu berkolonisasi pada saluran usus, paling tidak untuk sementara, dengan cara menempel pada mukosa usus. Dengan penempelan itu, probiotik juga mampu mencegah penempelan bakteri patogen seperti bakteri koliform dan Clostridia, dan mampu menstimulasi penghilangan patogen tersebut dari jalur infeksi saluran pencernaan (Lee et al. 2000).

Arief et al. (2008) menyatakan BAL golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa Peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor mampu bertahan pada kondisi saluran pencernaan seperti pH saluran pencernaan dan garam empedu, serta memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen. Kemampuan bakterisidal terhadap bakteri patogen ini disebabkan bakteri ini mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat, dan senyawa bakteriosin. Sifat dasar kesepuluh bakteri asam laktat yang diisolasi dari daging sapi tersebut dan kemampuannya sebagai probiotik dinyatakan pada Tabel 1, 2 dan 3.


(20)

Tabel 1. Morfologi isolat indigenus bakteri asam laktat No Kode

isolat

Bentuk Pertumbuhan di suhu

Pertumbuhan di NaCl 6,5%

Menghasilkan NH3 dari

arginin

Menghasilkan gas dari glukosa 15oC 45oC

1 1A5 Batang + + + - -

2 1A32 Kokus + + + + -

3 1B1 Batang + + + - +

4 2B1 Kokus + + + - -

5 2B2 Batang + + + + -

6 2B4 Batang + + + - +

7 1C4 Batang + + + + -

8 2C2 Batang + + + - -

9 2C12 Kokus + + + + -

10 2D1 Batang + + + - -

Sumber : Arief et al. (2005)

Tabel 2. Hasil fermentasi terhadap beberapa jenis gula sederhana No Kode

isolat

Kemampuan menfermentasi gula Identifikasi presumtif awal* Ara gal Glu Lak Mal man raf Rham tre sorb suk xyl

1 1A5 - + + + + - + - - - + - Lactobacillus sp

2 1A32 + + + + + - + - - - + - Lactococcus lactis

3 1B1 + + + + + + D + + D + D Lactobacillus

plantarum

4 2B1 + + + + + - + - - - + + Streptococcus sp

5 2B2 - + + + + - + - - - + + Lactobacillus

fermentum

6 2B4 + + + + + - + - - - + + Lactobacillus

fermentum

7 1C4 + + + + + - + - - - + - Lactobacillus sp

8 2C2 + + + + + - + + + - + + Streptococcus sp

9 2C12 - + + + + + + D d D + D Lactobacillus sp

10 2D1 + + + - + - + - - - + + Lactobacillus sp

Sumber :Arief et al. (2005)

Keterangan : * = identifikasi presumtif awal berdasarkan software PIB Win

(+) = dapat menfermentasi; (-) = tidak dapat menfermentasi; (d) = dubius; ara = arabinosa; gal = galaktosa; glu = glukosa; lak = laktosa; mal = maltosa; man= manitol; raf = rafinosa; rham = rhamnosa; tre = trehalosa; sorb = sorbitol; suk = sukrosa; xyl = xylosa


(21)

Tabel 3. Sifat dasar probiotik isolat indigenus bakteri asam laktat No Kode

isolat

Kemampuan menghambat mikroba patogen Kemampuan tumbuh di kondisi saluran pencernaan (in vitro) Staphylococcus

aureus ATCC 25923

Salmonella typhimurium ATCC 14028

Escherichia coli ATCC 25922/ ETEC

pH lambung

(2.5)

pH usus (7.2)

Garam empedu (bile

salt) 0,5%

1 1A5 ++ ++ +++ + + +

2 1A32 ++ ++ +++ + + +

3 1B1 + ++ ++ + + +

4 2B1 ++ ++ ++ + + +

5 2B2 ++ ++ +++ + + +

6 2B4 ++ +++ +++ + + +

7 1C4 ++ ++ ++ + + +

8 2C2 ++ ++ +++ + + +

9 2C12 ++ ++ ++ + + +

10 2D1 ++ +++ ++ + + +

Sumber : Arief et al. (2008)

Hasil penelitian Arief et al. (2008) menunjukan terdapat 10 BAL isolat indigenus yang mempunyai kemampuan bertahan pada pH lambung yaitu pada pH 2.5 dan pH usus yaitu pada pH 7.2, serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Selain itu, BAL tersebut memiliki aktivitas penghambatan yang baik terhadap tiga jenis bakteri enteropatogenik yaitu Salmonella thypimurium ATCC 14028, Escherichia coli ATCC 25922 (ETEC), dan Staphylococcus aureus ATCC 25923.

Berdasarkan kriteria dasar probiotik oleh FAO/WHO (2002) yaitu kemampuannya untuk bertahan pada kondisi lambung (pH rendah) dan adanya garam empedu, serta penghambatannya terhadap bakteri patogen, maka kesepuluh BAL isolat indigenus tersebut dapat dinyatakan sebagai probiotik.

2.3. PROBIOTIK SEBAGAI IMUNOMODULATOR

Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang pada jumlah yang sudah diatur dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan inang (Reid et al. 2003). Strain yang paling sering digunakan dalam penelitian adalah Lactobacillus dan Bifidobacterium, antara lain Lactobacillus achidophilus, Lactobacillus casei, Lactobacillus fermentum, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus reuteri, Bifidobacterium infantis, Bifidobacterium breve, Bifidobacterium animalis, Bifidobacterium adolescentis, dan Bifidobacterium longum. Bakteri–bakteri tersebut termasuk bakteri gram positif, fakultatif yang normal terdapat dalam usus besar manusia dan sebagian besar merupakan mikroflora anaerobik (Liong 2007).

Probiotik merupakan preparasi sel bakteri hidup yang mampu memberikan efek menguntungkan pada kesehatan inang. Banyak BAL sebagai probiotik, digunakan untuk memperbaiki mikroflora usus yang terganggu fungsinya dan permeabilitas saluran pencernaan yang tidak normal (Lee et al. 2000).


(22)

Kullisaar et al. (2003) menyatakan bahwa mengonsumsi susu fermentasi yang mengandung L. fermentum ME-3 memperlihatkan efek antioksidatif dan antiaterogenik.

Bakteri probiotik memproduksi berbagai jenis substansi yang mampu menghambat bakteri gram positif dan gram negatif. Komponen tersebut tidak hanya mengurangi jumlah sel hidup, tetapi juga memberikan dampak terhadap hasil metabolisme bakteri atau produksi toksin. Fakta tersebut membuktikan bahwa probiotik dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit saluran usus melalui stimulasi terhadap sistem imun spesifik dan non-spesifik. Pemberian oral Lactobacillus sp. selama terjadinya diare rotavirus akut berkaitan dengan peningkatan respon imun terhadap rotavirus. Mekanisme stimulasi sistem imun belum dimengerti, akan tetapi komponen sel permukaan spesifik atau sel lapisan dapat berperan sebagai adjuvant (agen yang dapat menstimulasi sistem imun) dan meningkatkan respon imun humoral. Studi lain menyatakan penghambatan patogen oleh probiotik disebabkan adanya kompetisi terhadap nutrisi dan tempat reseptor, yang akhirnya probiotik menggunakan nutrisi yang ada, sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh patogen (Rolfe 2000).

Sistem imun manusia sebagian besar dirancang untuk menghancurkan mikroorganisme asing seperti virus dan bakteri. Manusia sehat memiliki dua mekanisme imun, sistem imun spesifik (acquired), yang memberikan respon pada antigen spesifik dan ditingkatkan dengan adanya paparan yang berulang-ulang; dan sistem imun non-spesifik (innate), yang tidak membutuhkan stimulasi, tidak meningkat dengan adanya paparan berulang-ulang, dan memiliki mekanisme yang menyertakan pertahanan fisik (Meydani 2000). Kedua sistem imun ini mampu mempengaruhi respon imun sistemik dan mukosa (Galdeano dan Perdigon 2006).

Sistem imun innate dan adaptive merupakan dua bagian yang saling tergantung dari satu kesatuan sistem imun. Pada tingkat mukosa saluran pencernaan, respon imun innate tidak hanya menjadi garis pertama pertahanan melawan mikroorganisme patogen, akan tetapi juga memberikan sinyal biologi untuk menginstruksikan sistem imun adaptive agar mendapatkan respon tersebut. Pada sistem imun, bakteri probiotik berperan merangsang respon imun mukosa saluran pencernaan (Galdeano dan Perdigon 2006).

Pemberian Lactobacillus dan Bifidobacterium secara oral memperlihatkan terjadinya peningkatan respon antibodi pada ovalbumin dan respon imunoglobulin A (IgA) terhadap toksin kolera pada tikus percobaan, meningkatkan sel yang mensekresi antibodi spesifik terhadap rotavirus pada anak dengan diare rotavirus akut, dan meningkatnya jumlah sel yang mensekresi antibodi terhadap -laktoglobulin pada tikus yang masih menyusu (Isolauri et al. 2001). Liong (2007) menyatakan peningkatan jumlah sel penghasil IgA di mesenteric node kelenjar getah bening pada tikus percobaan, mengawali adanya kombinasi vaksin laktokokal yang dapat merangsang respon sistemik dan respon imun mukosa.

Sumber : Saulnier et al. (2009)


(23)

Probiotik dapat menstimulasi respon imun dengan meningkatkan produksi antibodi mukosa, mendorong ekspresi sitokin pro-inflamatori, dan meningkatkan produksi defensin inang (Gambar 1). Efek supresif menunjukan penurunan ekspresi sitokin, inflamasi sistemik, proliferasi sel, dan peningkatan apoptosis. Protein permukaan merupakan faktor kunci dalam imunomodulasi. Sebagai contoh, agregasi-kompeten L.crispatus merangsang ekspresi reseptor Toll-like receptor-2 (TLR-2)dan Toll-like receptor-4 (TLR-4) di permukaan sel epitelium mukosa kolon tikus percobaan. Probiotik juga mensekresikan faktor yang bertanggung jawab untuk memodulasi respon imun. Sebagai contoh, faktor yang disekresikan oleh L.reuteri menurunkan ekspresi inti gen factor-kB-dependent, yang menghasilkan berkurangnya proliferasi sel dan meningkatnya aktivitas protein kinase yang mengaktivasi mitogen yang mampu merangsang apoptosis (Saulnier et al. 2009).

Beberapa penelitian menyatakan pengaruh probiotik dalam sistem imun manusia. Dalam penelitian tersebut dinyatakan probiotik terdiri dari komponen dinding sel seperti peptidoglikan (30-70% dari total dinding sel), polisakarida, teichoic acid, yang merupakan komponen imunostimulator. Probiotik juga mengandung peptidoglikan yang dilepaskan dari dinding sel bakteri pada usus, merangsang aktivitas adjuvant di permukaan mukosa dan mengakibatkan adanya respon imun (Meydani 2000). Adanya hubungan antara probiotik dan materi molekuler seperti peptidoglikan, lipotechoic acid, dan DNA bakteri, membuktikan adanya materi reseptor (TLR) yang ada di permukaan sel imunokompeten yang dapat memicu dilepasnya sejumlah sitokin yang dapat meningkatkan respon imun (Gill dan Guarner 2004).

Efek modulasi dari sitokin pada sel imun termasuk merangsang produksi interferon- oleh sel T, meningkatkan jarak penghubung fagosit mikroba, menambah vaksin imunogenisitas, meningkatkan aktivitas mikrobisidal makrofag, dan menggunakan efek sitotoksin melawan sel tumor (Gill 2003).

2.4. PREBIOTIK

Prebiotik merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan usus manusia, tetapi menguntungkan terhadap penghuni bakteri kolon, dengan cara meningkatkan pertumbuhan dan keaktifan satu atau lebih jenis bakteri baik yang berada dalam kolon (Winarno 2003). Menurut Zakaria (2003), prebiotik merupakan pangan yang dapat memacu pertumbuhan bakteri probiotik, agar dapat diperoleh kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat memberikan perlindungan pada saluran pencernaan, khususnya usus halus dan kolon.

Prebiotik adalah komponen pangan yang tidak dapat dicerna dan dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi inang karena prebiotik merangsang proliferasi atau aktivitas populasi bakteri yang diinginkan di dalam kolon secara selektif (Mattila-Sandholm et al. 2002).

FAO (2007) menyatakan bahwa prebiotik adalah komponen pangan tak hidup yang memberi keuntungan kesehatan inang yang berasosiasi dengan memodulasi mikrobiota. Peraturan FAO (2007) juga menegaskan bahwa prebiotik bukan merupakan organisme atau obat, dapat dikarakterisasi secara kimia, dan aman sebagai pangan.

Bahan pangan akan dikelompokkan sebagai prebiotik bila memenuhi persyaratan berikut yaitu tidak terhidrolisa atau terserap pada saluran pencernaan bagian atas sehingga dapat mencapai kolon tanpa perubahan struktur atau diekskresikan dalam feses (Gibson et al. 2004), dan berperan sebagai substrat yang secara selektif dapat menstimulir pertumbuhan bakteri yang menguntungkan pada kolon (Gmeiner et al. 2000). Selain itu menurut Lisal (2005), bahan pangan dapat digolongkan sebagai prebiotik jika mampu mengubah keseimbangan flora usus besar ke arah komposisi yang menguntungkan kesehatan dan merangsang timbulnya efek-efek luminal (lokal) dan sistemik yang menguntungkan inang.


(24)

Prebiotik dapat berperan sebagai alternatif untuk probiotik atau sebagai kofaktor probiotik. Karbohidrat kompleks yang melalui usus kecil menuju kolon tersedia untuk beberapa bakteri kolon namun sebagian besar bakteri yang terdapat di kolon tidak memanfaatkannya. Laktosa, galaktooligosakarida, fruktooligosakarida, inulin dan hasil hidrolisanya, maltooligosakarida dan pati resisten merupakan prebiotik yang umumnya digunakan dalam nutrisi manusia. Produk akhir utama pada metabolisme karbohidrat adalah asam lemak rantai pendek (ALRP), yang disebut asetat, butirat, dan propionat, yang selanjutnya akan digunakan organisme dalam inang sebagai sumber energi (Harish dan Varghese 2006).

Analisis secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa prebiotik tidak dicerna oleh enzim, tetapi difermentasi oleh bakteri anaerob dalam usus besar. Prebiotik yang telah difermentasi dalam usus besar menghasilkan ALRP, menstimulasi pertumbuhan berbagai bakteri termasuk Lactobacilli dan Bifidobacteria, dan dapat menghasilkan gas. Fortifikasi menggunakan Bifidobacteria/Lactobacilli dengan prebiotik dapat memperbaiki efek perlindungan usus besar terhadap berbagai mikroorganisme patogen dalam usus (Molis et al. 1996 diacu dalam Wang 2009).

Pada awalnya yang disebut sebagai bahan pangan prebiotik adalah serat pangan yang memacu pertumbuhan Bifidobacteria yaitu fruktooligosakarida (FOS), baik yang sintetik maupun yang diisolasi dari bahan pangan atau tanaman. Dengan berkembangnya penelitian mengenai fungsi FOS, diketahui bahwa FOS sebagai substrat Bifidobacteria, mampu mempercepat pertumbuhan bakteri ini sehingga menghasilkan metabolit-metabolit yang berfungsi sebagai penjaga kesehatan usus halus dan kolon, terutama melalui mekanisme antagonisme dengan bakteri patogen, metabolit ALRP, dan peningkatan respon imun pada usus halus (Zakaria 2003).

Prebiotik yang umum digunakan adalah inulin dan FOS, yang merupakan serat yang dapat larut dan dapat difermentasi (Gibson et al. 2004). Inulin dan FOS sering digunakan dalam studi secara in vivo karena resisten terhadap pencernaan asam lambung dan enzim pankreas (Cummings et al. 2001). FOS biasanya digunakan untuk formula produk bayi, yogurt dan produk pangan dan suplemen lainnya (Kaplan dan Hutkins 2000).

FOS secara kimiawi adalah senyawa -D-fruktans rantai pendek atau sedang, yang terikat dengan ikatan -2-1 glikosidik, yang tidak dapat diuraikan oleh enzim pencernaan mamalia. Dibandingkan dengan karbohidrat simpleks maupun kompleks lainnya, FOS difermentasikan secara selektif oleh hampir semua strain Bifidobacteria. Bila FOS dikonsumsi dalam jumlah yang cukup banyak maka FOS secara dramatik dan konsisten merangsang proliferasi Bifidobacteria menjadi mikroflora yang predominan dalam kolon (Lisal 2005) .

FOS memiliki nilai DP (derajat polimerisasi) lebih rendah daripada inulin, yaitu berkisar antara 2-8 (Franck dan De Leenheer 2005). FOS menunjukkan efek bifidogenik yang berbeda pada kondisi yang berbeda. Pada studi secara in vitro menunjukkan bahwa FOS dan inulin menghasilkan efek bifidogenik yang optimum pada pH 6.8 dan 1 g/100 ml karbohidrat, yang setara dengan 4 g/hari (Tungland 2003 diacu dalam Tamime 2005). Selain efek bifidogenik, FOS juga menambah nutrisi yang dapat mempengaruhi parameter fisiologis pencernaan seperti pH kolon dan stool bulking, yang dapat menggolongkan prebiotik sebagai serat (dietary fiber) (Roberfroid 1997 diacu dalam Tamime 2005).

Penggabungan prebiotik dan probiotik terbukti dapat meningkatkan keuntungan bagi kesehatan inang. Misalnya gabungan inulin (FOS) dengan Bifidobacterium longum terbukti dapat menurunkan risiko kelainan pre-neoplastik kolon lebih efektif dibandingkan hanya dengan perlakuan probiotik atau prebiotik saja pada tikus percobaan. Penambahan pati jagung yang kaya amilosa (Resistant Starch 2) ke dalam suatu preparat probiotik akan mempertahankan densitas probiotik yang hidup dibandingkan tanpa penambahan RS2 (Lisal 2005).


(25)

Meskipun FOS dapat ditemukan pada bermacam-macam pangan yang menjadi makanan kita sehari-hari, seperti asparagus, pisang, gandum, bawang putih, artichoke (tumbuhan yang bunganya dimakan sebagai sayuran) dan chicory (tanaman yang akarnya dibakar sebagai pengganti kopi), namun jumlah FOS dalam pangan tersebut sangat kecil. Jumlah rata-rata asupan harian tiap individu dari sumber pangan tersebut berkisar antara 2-10 g di Eropa, dan antara 1-4 g di Amerika serikat (van Loo et al. 1995 diacu dalam Tamime 2005).

Peraturan mengenai standar jumlah prebiotik yang dikonsumsi belum ada karena umumnya konsumsi prebiotik tergantung pada kebiasaan penduduk suatu negara (FAO 2007). Dosis konsumsi harian 5-8 g FOS/GOS dapat memberikan efek prebiotik pada orang dewasa. Surono (2004) menyarankan jumlah prebiotik yang efektif adalah 1-3 g per hari untuk anak-anak dan 5-15 g per hari untuk orang dewasa. Indonesia memiliki regulasi tentang prebiotik dalam Peraturan Pangan Fungsional yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2005, namun regulasi jumlah asupan prebiotik tidak dijelaskan.

2.5. YOGURT SINBIOTIK

Menurut SNI (2009), definisi yogurt adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan/tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Syarat mutu yogurt menurut SNI (2009) dapat dilihat pada Tabel 4.

Proses fermentasi dapat terjadi karena pada susu sapi terdapat protein susu (kasein) dan gula susu (laktosa). Laktosa digunakan oleh kedua starter bakteri di atas sebagai sumber karbon dan energi utama untuk pertumbuhanya. Proses fermentasi tersebut menyebabkan laktosa berubah menjadi asam piruvat, yang selanjutnya diubah menjadi asam laktat. Asam laktat menyebabkan penurunan pH susu, atau meningkatkan keasaman. Akibatnya kasein menjadi tidak stabil dan terkoagulasi (menggumpal), membentuk gel yogurt, berbentuk setengah padat (semi padat), dan menentukan tekstur yogurt. Selain itu asam laktat juga berfungsi memberikan ketajaman rasa asam, dan menimbulkan aroma khas pada yogurt (Santoso 2009).

Mikroflora yang terdapat dalam yogurt merupakan kelompok BAL. Bakteri yang umum digunakan adalah Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus (Silvia 2002). Streptococcus thermophilus merupakan satu-satunya spesies dalam genusnya yang digunakan sebagai kultur starter dalam produk olahan susu. Organisme ini termasuk dalam termotoleran dan digunakan dalam fermentasi produk olahan susu yang membutuhkan suhu lebih tinggi dalam inkubasi yaitu pada suhu 35-43oC. Pada industri produk olahan susu, organisme ini sering disebut dengan kokus. Biasanya

kultur S.thermophilus menghasilkan koagulat yang lemah dalam susu karena produksi asam yang rendah. Penggunaan S.thermophilus biasanya digabungkan dengan Lb. delbrueckii subsp. bulgaricus. Lactobacillus subspesies ini biasanya disebut dengan rod (bakteri berbentuk batang) dalam industri produk olahan susu, dan kombinasi kedua bakteri ini disebut rod-kokus (Chandan 2006).


(26)

Tabel 4. Syarat mutu yogurt menurut SNI (SNI 2981, 2009) No Kriteria uji Satuan Yogurt tanpa perlakuan

panas setelah fermentasi

Yogurt dengan perlakuan panas setelah fermentasi Yogurt Yogurt

rendah lemak

Yogurt tanpa lemak

Yogurt Yogurt rendah

lemak

Yogurt tanpa lemak

1. Keadaan

1.1. Penampakan - Cairan kental – padat Cairan kental – padat

1.2. Bau - Normal/khas Normal/khas 1.3. Rasa - Asam/khas Asam/khas 1.4. Konsistensi - Homogen Homogen 2. Kadar lemak

(b/b)

% Min.3 0.6-2.9 Maks. 0.5

Min.3 0.6-2.9 Maks. 0.5 3. Total padatan

susu bukan lemak (b/b)

% Min. 8.2 Min. 8.2

4. Protein (Nx6.38) (b/b)

% Min. 2.7 Min. 2.7

5. Kadar abu (b/b) % Maks. 1.0 Maks. 1.0

6. Keasaman (dihitung sebagai asam laktat) b/b

% 0.5-2.0 0.5-2.0

7. Cemaran logam

7.1. Timbal(Pb) mg/kg Maks. 0.3 Maks. 0.3 7.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20.0 Maks. 20.0 7.3. Timah (Sn) mg/kg Maks. 40.0 Maks. 40.0 7.4. Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.03 Maks. 0.03 7.5. Arsen mg/kg Maks. 0.1 Maks. 0.1 8. Cemaran mikroba

8.1. Bakteri coliform APM/g atau koloni/g

Maks. 10 Maks. 10

8.2. Salmonella - Negatif/25 g Negatif/25 g 8.3. Listeria

monocytogenes

- Negatif/25 g Negatif/25 g

9. Jumlah bakteri starter*

koloni/g Min 107 -


(27)

a S r t k a p F f m a f m e c L s p m i k p P d i i Kombina antara kokus S.thermophilus relatif kurang tetapi memilik kedua bakteri agresif, karena proteolitiknya Fermentasi ole format sebaga menstimulasi p asam amino ol fermentasi sus menggantikan eksopolisakarid Yogurt si campuran beb Lactobacillus seperti FOS. probiotik oleh manfaat yang l Konsep d imunomodulat kondisi inflam pencernaan, ya Pada kenyataa dampak keseha Mikrobio infeksi akut, t inflamasi. Norm

asi rod-kokus m dan rod in s lebih aeroto bagus kemam ki aktivitas pep tersebut tumb a lebih aerotol lebih baik, me eh S.thermoph ai hasil sampi pertumbuhan L eh peptida akti su ketika pH

S.thermophilu da untuk mend inbiotik merup berapa kultur achidophilus, Kombinasi pr karena substra lebih sempurna dari penggabun tor probiotik m masi. Penggun ang menjadika annya, keseim atan secara imu

ota saluran pe etapi juga dap malisasi mikro

menunjukkan r ni berasal dar oleran dibandin mpuan proteolit ptidase lebih ba buh bersama d leran. Pada tah enyediakan pep hilus menekan ingan metabol Lb. delbrueckii

if yang disekre mendekati 5 us pada keselur dapatkan tekstu akan salah satu BAL seperti dan Bifidoba robiotik (BAL at yang spesifik a dari kombina ngan probiotik memperkenalka naan probiotik an probiotik s mbangan mikro unofisiologis (R Sum Gambar encernaan yan pat menyebabk oflora indigenu respon pertumb ri karakteristi ngkan Lb. del tiknya dibandi aik dibandingk dalam susu, p hap ini rod tu ptida yang cuk

potensial oks lisme. Tegang subsp. bulgari esikan oleh S.th 5.0. Selebihny

ruhan fermenta ur yang lembut u produk susu i Lactobacillu acterium bifidu L) dan prebiot

k telah tersedi asi ini (Zhang d k dan prebiotik an potensi strat k bertujuan un

ebagai mediat obiota indigen Rautava et al.

mber: Zhang dan 2. Konsep pro g menyimpan kan penyakit k us yang tidak se

buhan yang sin ik fisiologis lbrueckii subsp ing Lb. delbru kan Lb. delbrue ada awalnya S umbuh lebih la

kup untuk men sidasi-reduksi

an oksigen ya icus, yang lebih hermophilus. D a, Lb. bulgar asi. Strain S.th t tanpa pemisah

fermentasi yan us bulgaricus,

um, yang diko tik dapat men

a untuk fermen dan Ghosh 200 k dapat dilihat

tegi terapi untu ntuk mengura tor anti-inflam nus dalam salu

2004).

Ghosh (2001) obiotik dan preb

ng tidak hany kronis dari ale eimbang denga

nergis dalam s dari masing-sp. bulgaricus.

ueckii subsp. b eckii subsp. bu S.thermophilus ambat, namun nstimulasi pert

sistem, dan m ang rendah da h lanjut dibant Dominasi S.ther

ricus secara b hermophilus jug

han whey (Cha ng dibuat denga

Streptococcu ombinasikan d ningkatkan day ntasi sehingga 01).

pada Gambar uk melawan al angi inflamasi masi (Zhang da uran pencerna

biotik

a dapat mend ergi autoimun an menggunaka

susu. Sinergism masing bakte . S.thermophil bulgaricus, ak ulgaricus. Keti s tumbuh leb

karena aktivit tumbuhan koku melepaskan asa an asam form tu oleh pelepas

rmophilus dala berangsur-angs ga memproduk andan 2006). an menggunak us thermophilu dengan prebiot ya tahan bakte

tubuh mendap

r 2. Kemampu lergi, infeksi d i dalam salur an Ghosh 200 aan memberik

dasari terjadin hingga penyak an strain spesif

me eri. lus kan ika bih tas us. am mat san am sur ksi kan us, tik eri pat uan dan ran 1). kan nya kit fik


(28)

mikroflora yang baik untuk saluran pencernaan merupakan alasan yang mendasar dari terapi probiotik (Harish dan Varghese 2006).

Yogurt dalam industri biasanya menggunakan Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus sebagai kultur starternya. Mikroorganisme probiotik pada umumnya memiliki pertumbuhan yang lambat pada medium susu, oleh karena itu, ditambahkan kultur starter yogurt untuk meningkatkan proses fermentasi (Tamime 2005). Bakteri yang berpotensi sebagai probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu

.

Organisme Produk metabolisme Fermentasi Laktosa I. Bakteri asam laktat

Pediococcus acidilactici* DL laktat Homofermentatif Lactobacillus acidophilus,

gasseri, helveticus, dan johnsonii*

DL laktat Homofermentatif

Lactobacillus casei, reuteri, plantarum, rhamnosus, dan fermentum*

DL laktat Heterofermentatif

Bifidobacterium adolescentis, animalis subsp. animalis, bifidum, breve, infantis, animalis subsp. lactis, longum

L (+) laktat, asetat Heterofermentatif

Enterococcus faecium dan faecalis*

L (+) laktat Homofermentatif

II. Khamir

Saccharomyces boulardii* Etanol, CO2

Sumber : •Masco et al. (2004) dan *Tamime et al. (2005)

Untuk mendapatkan efek kesehatan yang diinginkan, bakteri probiotik yang digunakan harus dapat tumbuh dalam media susu dan dapat tumbuh pada kondisi yang terbatas (Tamime 2005). Pada umumnya bakteri probiotik dapat tumbuh baik pada media sintetik seperti tryptose peptone yeast (TPY) dan de Man Rogosa and Sharpe (MRS) broths daripada pada media susu (Shah 2000).

Pada produk pangan, probiotik yang terkandung di dalamnya minimum 106 cfu/g atau asupan harian sebesar 109 cfu/g. Tingginya asupan probiotik untuk mengimbangi kemungkinan hilangnya jumlah mikroorganisme probiotik pada saat melalui perut dan saluran usus. Di jepang, Asosiasi Minuman Fermentasi Susu dan Bakteri Asam Laktat meningkatkan standar yaitu dibutuhkan sedikitnya 107 cfu/ml sel hidup yang ada dalam produk olahan susu.

Viabilitas dan aktivitas bakteri menjadi sangat penting, karena bakteri harus mampu bertahan dalam produk selama masa simpan, selama melalui kondisi asam dalam perut, dan tahan terhadap degradasi oleh enzim hidrolitik dan garam empedu di usus kecil (Tamime 2005). Viabilitas bakteri probiotik dalam yogurt tergantung pada strain yang digunakan, interaksi antar spesies yang ada, produksi hidrogen peroksida yang merupakan hasil metabolisme bakteri, dan keasaman produk akhir.


(29)

Viabilitas probiotik juga tergantung pada ketersediaan nutrisi, pendukung dan penghambat pertumbuhan, konsentrasi gula, oksigen terlarut dan perembesan oksigen melalui kemasan (khususnya Bifidobacterium spp.), tingkat inokulasi, dan waktu fermentasi (Oliveira dan Damin 2003 diacu dalam Tamime 2005). Pertumbuhan bakteri probiotik yang lambat pada media susu akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dan strain cenderung tidak tumbuh dengan baik dan memproduksi flavor yang tidak diharapkan (Tamime 2005).

2.6. DIARE

Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam 24 jam (Zein 2004). Diare merupakan perubahan dari kebiasaan normal usus yang dicirikan dengan meningkatnya kandungan air, volume, atau frekuensi buang air besar.

Diare dapat juga didefinisikan ketika terjadi penurunan konsistensi feses (menjadi lembek atau bahkan cair) dan terjadi peningkatan frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali dalam sehari (Guerrant et al. 2001). Bila diare berlangsung kurang dari dua minggu, disebut sebagai diare akut. Apabila diare berlangsung dua minggu atau lebih, maka digolongkan pada diare kronik (Zein 2004).

Secara etiologi, diare akut dapat disebabkan oleh infeksi, intoksikasi (poisoning), alergi, reaksi obat-obatan, dan juga faktor psikis (Schiller 2000 diacu dalam Zein 2004). Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non-inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang sering terjadi adalah adanya keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, dan secara mikroskopis ditemukan sel leukosit polimorfonuklear (Zein 2004).

Pada diare non-inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Gejala dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit (Zein 2004).

Menurut Bowen (2006), mekanisme terjadinya diare terbagi menjadi empat jenis yaitu diare osmotik, diare sekretorik, diare eksudatif dan infeksi, serta diare yang dikaitkan dengan pengacauan motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.

Diare sekretorik terjadi bila ada gangguan transport elektrolit, baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri, misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, ALRP, atau laksatif non-osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik. Diare eksudatif dan inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa, baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non-infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi (Bowen 2006).

Diare sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat (Manatsathit et al. 2002). WHO memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2.2 juta di antaranya meninggal, sebagian besar anak-anak di bawah umur 5 tahun (Adisasmito 2007).


(30)

Data dari profil kesehatan Indonesia 2003, penyakit diare menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan di rumah sakit dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan data tahun 2003 terlihat bahwa frekuensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit diare sebanyak 92 kasus dengan 3865 orang penderita dan 113 orang meninggal (Adisasmito 2007).

Salah satu faktor risiko yang sering diteliti adalah faktor lingkungan yang meliputi sarana air bersih (SAB), sanitasi, jamban, saluran pembuangan air limbah (SPAL), kualitas bakterologis air, dan kondisi rumah. Menurut Sharma et al. (2005), penyebab terjadinya diare pada negara berkembang adalah buruknya sanitasi dan nutrisi. Data terakhir menunjukkan bahwa kualitas air minum yang buruk menyebabkan 300 kasus diare per 1000 penduduk. Sanitasi yang buruk dianggap sebagai penyebab banyaknya kontaminasi bakteri E.coli dalam air bersih yang dikonsumsi masyarakat. Bakteri E.coli mengindikasikan adanya pencemaran tinja manusia. Kontaminasi bakteri E.coli terjadi pada air tanah yang banyak disedot penduduk di perkotaan, dan sungai yang menjadi sumber air baku di PDAM pun tercemar bakteri ini (Adisasmito 2007).

2.7. ENTEROPHATOGENIC Escherichia coli (EPEC)

Escherichia coli penyebab diare dapat diklasifikasikan menjadi enam kategori: Enteropatogenik E.coli (EPEC), Enterotoksin E.coli (ETEC), Enterohemoragik E.coli (EHEC), Enteroinvasif E.coli (EIEC), diffusely adderent E.coli (DAEC), dan Enteroagregatif E.coli (EAggEC) (Miyazaki et al. 2010). EPEC merupakan salah satu penyebab utama penyakit diare dan kematian akibat diare pada anak-anak di negara berkembang (Clarke et al. 2002).

EPEC adalah salah satu patogen yang dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan kerusakan pada mikrofili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel mukosa deodenum dan proksimal jejunum. EPEC menimbulkan kerusakan pada epitel jejunum melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002). Bakteri ini juga melekat dan berkolonisasi pada kolon atau usus besar bagian ascending (naik) dan transverse (melintang)(Jay 2000).

Sumber : Lu dan Walker (2001) Gambar 3. Infeksi EPEC pada epitel usus inang

EPEC menempel pada sel epitel dan membentuk lesi A/E (Gambar 3). Tahap awal penempelan EPEC pada sel epitel diperantarai oleh bundle-forming pilus (BFP). Setelah pelekatan awal, mikrovili


(31)

usus diganggu dan EPEC mensekresikan beberapa faktor virulen melalui sekresi tipe III dan mensekresikan reseptor Tir ke dalam sel inang. EPEC kemudian mengikat Tir melalui protein membran luar, intimin. Sinyal transduksi terjadi dalam sel inang, termasuk aktivasi protein kinase C (PKC), inositol triphosphate (IP3), dan pelepasan Ca2+. Beberapa protein sitoskeletal termasuk aktin, menjadi tempat melekatnya EPEC. Dan pada akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal-like structure (Lu dan Walker 2001).

EPEC biasanya memiliki locus of enterocyte effacement (LEE), yang membantu perkembangan lesi A/E. LEE terdiri dari gen eae yang mengkode intimin, protein membran terluar yang berikatan dengan protein (dengan tirosin terfosforilasi 90 kDa) di dalam membran inang, sehingga dapat membentuk lesi A/E (Gomes et al. 2004). Tirosin dipindahkan dari sel bakteri ke membran inang sehingga terfosforilasi pada satu atau lebih residu tirosin, berfungsi sebagai reseptor untuk pengikatan intimin. Kemudian sel epitel kehilangan mikrovili dan membentuk cup and pedestal pada tempat melekatnya koloni EPEC. Hal ini menunjukkan bahwa EPEC mampu menginduksi perubahan transport elektrolit ke sel inang. Pada studi yang lain menyatakan bahwa EPEC dapat menyebabkan penurunan transepithelial electrical resistance (TEER) dengan mengganggu tight junction intraseluler (Michail dan Abernathy 2002).

Mekanisme utama dari patogenesis EPEC (Gambar 4) adalah lesi A/E yang dicirikan dengan melekatnya bakteri pada epitelium saluran usus (Nougayrède et al. 2003). Gen eae terletak di area patogenitas LEE dan gen bfpA terletak di plasmid yang disebut EPEC adherence factor (EAF), yang digunakan untuk mengklasifikasikan kelompok bakteri ini menjadi strain tipikal dan atipikal (Kaper 1996 diacu dalam Afset et al. 2004).

Sumber : Nougayrède et al. (2003) 

 

Gambar 4. Fase patogenesis EPEC

Strain E.coli dengan genotipe A/E (eae-) yang mendarat pada plasmid EAF (bfpA-) digolongkan

sebagai EPEC tipikal. Kebanyakan dari strain ini termasuk dalam serotipe O:H (Trabulsi et al. 2002). Strain dengan genotipe A/E yang tidak berpengaruh dengan plasmid EAF (bfpA-) diklasifikasikan sebagai EPEC atipikal. Gen eae positif pada strain E.coli ini mendarat pada gen Shiga toksin (stx1 dan/atau stx2) yang sering diklasifikasikan sebagai Enterohaemorrhagic E.coli (Afset et al. 2004).

Menurut Oyetayo (2004), dosis E.coli 105 cfu/ml telah dapat menimbulkan diare pada tikus percobaan. EPEC dapat menyebabkan diare yang durasinya kurang lebih lima hari (Janda dan Abbot 2006).


(32)

2.8. USUS HALUS

Usus halus merupakan tempat penyerapan sari-sari makanan. Untuk itu, usus halus memiliki struktur khusus yang dapat meningkatkan pencernaan dan penyerapan sari-sari makanan, seperti adanya mukosa plicae dan vili. Modifikasi dan peningkatan mikrovili di sepanjang permukaan apikal sel luminal didesain untuk memperluas luas permukaan penyerapan (Samuelson 2007).

Panjang usus halus tergantung pada ukuran seluruh tubuh hewan. Pada anjing, usus halus mencapai 3-3.5 kali panjang tubuhnya. Pada kuda mencapai lima kali atau lebih panjang tubuhnya. Lipatan mukosa atau plicae (juga disebut plicae circulares) merupakan perpanjangan semisirkular yang mencapai lumen dan menghasilkan lebih dari dua kali permukaan dari lapisan epitel. Di sepanjang mukosa dalam, perpanjangan yang lebih kecil dari plicae yang mencapai lumen, membentuk vili. Setiap vili memiliki inti lamina propria, yang terdiri dari loops kapiler, saluran limfatik, jaringan yang terhubung lepas dengan sel plasma dan limfosit, corresponding extracelluler matrix, dan serabut otot halus yang memanjang secara vertikal. Vili meningkatkan luas permukaan hingga 10 kali atau lebih. Selain plicae dan vili, kebanyakan sel yang membentuk epitelium mukosa memiliki mikrovili yang seperti pasak, modifikasi sel yang dapat meningkatkan luas permukaan hingga 20-40 kali (Samuelson 2007).

Meskipun sel penyerapan mampu menyediakan material pencernaan (seperti enzim) yang dapat meningkatkan penyerapan, sumber enzim pencernaan lain terdapat di sepanjang usus halus. Sumber tersebut antara lain, kelenjar submukosa yang berada di antara plicae dan vili, dan pankreas. Usus halus terbagi menjadi 3 region yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum memiliki vili paling banyak dan paling besar dibandingkan jejunum dan ileum. Crypts pada duodenum paling berkembang dan paling banyak (Samuelson 2007).

Mukosa usus halus berperan dalam penyerapan nutrisi dan dengan demikian mukosa memiliki permukaan yang lembut dan mudah diserang. Mukosa terdiri dari epitelium sendiri dan didukung oleh jaringan penghubung yang longgar, yang disebut lamina propia, yang berada di bawah epitelium (Gambar 5). Jaringan penghubung yang lebih dalam yang mendukung mukosa disebut submukosa. Dalam saluran pencernaan (GI tract), terdapat lapisan tipis otot halus, mukosa muskularis, yang berada di perbatasan antara mukosa dan submukosa. Epitelium terdiri dari sel penyerapan (enterosit) dengan sel goblet (mensekresi mukus untuk pelumasan) yang tidak beraturan. Lapisan epitel ditingkatkan melalui pembentukan vili. Pelekukan crypts yang terdiri dari sel batang akan mengganti sel epitelium secara terus menerus. Lamina propria menempati inti dari vili, menyelubungi crypts, dan memiliki banyak sel imun. Muskularis mukosa berperan sebagai pendukung lokal dalam menggerakan permukaan mukosa untuk meningkatkan sekresi dan penyerapan nutrisi (King 2009).

Konsentrasi bakteri di dalam usus halus mencapai 1 juta per ml. Pada bagian duodenum jumlah bakteri mencapai 101-103 cfu/ml dan yang tumbuh dengan baik adalah bakteri kokus dan batang gram positif. Pada bagian jejunum, jumlah bakterinya 104-107 cfu /ml dan terdiri dari berbagai macam bakteri seperti Enterococcus faecalis, Lactobacilli, diphtheroids, dan khamir Candida albicans. jumlah bakteri pada ileum sama dengan pada jejunum karena kondisinya yang hampir sama, namun jenis bakteri yang terdapat di ileum sama dengan bakteri yang terdapat pada kolon yang mayoritas adalah bakteri anaerob (Slonczewski dan Foster 2010).


(33)

Sumber : DOTE Anatomy Topics,University of Debrecen (2008).

Gambar 5. Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa

.

Fungsi mikroflora dalam usus halus antara lain proteksi, struktur, dan metabolik. Fungsi proteksi antara lain (1) mikroflora dalam usus halus melindungi inang dengan mencegah patogen menempel, (2) bakteri menstimulasi pertumbuhan lapisan usus dan sistem imun pada usus, (3) bakteri berkompetisi dengan patogen untuk mendapatkan nutrisi, sehingga menyulitkan patogen untuk tumbuh, (4) mikroflora menghasilkan antibakteri untuk membunuh kompetitor seperti patogen (Slonczewski dan Foster 2010).

Fungsi strukturnya antara lain (1) flora dalam usus halus menyusun bagian dari barrier usus, (2) flora dalam usus merupakan faktor penting dalam perkembangan sistem imun. Fungsi pada metabolik antara lain (1) mikroflora melindungi inang dari metabolik karsinogenik, (2) mikroflora menyediakan vitamin sintesis seperti biotin dan folat, (3) membantu pembuatan vitamin K, yang diserap dan digunakan oleh inang, dan (4) bakteri sangat penting dalam aktivitas otot usus halus (Slonczewski dan Foster 2010).


(34)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. BAHAN DAN ALAT

3.1.1. Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan yogurt adalah susu skim bubuk, kultur murni (Lactobacillus bulgaricus FNCC 004P, Streptococcus thermophillus FCNN 1903, Lactobacillus fermentum 2B4, dan Lactobacillus plantarum 2C12), fruktooligosakarida (FOS) Orafti®, akuades dan

sukrosa.

Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan ransum, bahan analisis mikrobiologi dan bahan analisis histologi dan imunohistokimia. Bahan ransum antara lain AMDK, kasein, CMC (carboxymethylcellulosa), minyak jagung, mineral mix, vitamin mix, dan pati jagung. Bahan analisis mikrobiologi yang digunakan antara lain akuades, MRSB (de Man Rogosa Sharpe Broth), MRSA (de Man Rogosa Sharpe Agar), NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth), EMBA (EosinMethylene Blue Agar), spirtus, dan KH2PO4. Bahan yang digunakan untuk pewarnaan hematoksilin-eosin dan

imunohistokimia antara lain tikus, larutan Bouin (campuran asam pikrat, formaldehid 4%, dan asam asetat glasial 15:5:1), alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolut, xylol, parafin, akuades, hematoxylin, eosin alkohol, metanol, H2O2, serum normal, PBS (Phosphate Buffered

Saline), aquabidest, antibodi primer IgA, antibodi sekunder Dako K1491, kromogen diamino benzidine (DAB), larutan neofren, toluen, dan entelan.

3.1.2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat analisis mikrobiologi, alat pemeliharaan hewan uji dan alat analisis histologi dan imunohistokimia. Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi antara lain cawan petri, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, labu takar, erlenmeyer, pipet, mikropipet, gelas pengaduk, sudip, jarum ose, bunsen, autoklaf, oven, dan inkubator. Alat pemeliharaan hewan uji adalah kandang, tempat ransum, botol minum, sonde, timbangan dan saringan. Alat yang digunakan untuk proses pewarnaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia antara lain botol sampel, silet, alat bedah, waterbath, mikroskop, cetakan blok (pagoda), bunsen, balok kayu, gelas objek, mikrotom, inkubator, cover glass, gelas ukur, pipet, tabung ependorf, mikropipet, dan refrigerator.


(1)

Lampiran 13. Analisis statistik (ANOVA) kadar air feses tikus percobaan Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Kadar_Air_Feses Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 37978.983a 6 6329.831 834.048 .000

Ulangan .681 1 .681 .090 .779

Perlakuan 211.132 4 52.783 6.955 .043

Error 30.357 4 7.589

Total 38009.340 10

a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)

Kadar_Air_Feses Duncan

Perlakuan N

Subset

1 2

kontrol negatif 2 55.9350

yogurt sinbiotik 2 56.0100

yogurt prebiotik 2 63.6200 63.6200

yogurt sinbiotik + EPEC 2 64.8450

kontrol positif 2 66.8650

Sig. .052 .310

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.


(2)

Lampiran 14. Data kerusakan vili duodenum tikus percobaan Perlakuan Ulangan Jumlah

Vili Usus

Jumlah Vili Rusak

Presentase Kerusakan Vili (%)

Rata-rata Kerusakan

Vili (%) Hari ke-7

Kontrol negatif 1 38 3 7.89 6.12

2 46 2 4.35

Yogurt sinbiotik

1 53 0 0.00 1.22

2 41 1 2.44

Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1

1 49 1 2.04 2.49

2 34 1 2.94

Kontrol positif 1 42 2 4.76 5.51

2 48 3 6.25

Hari ke-14

Kontrol negatif 1 36 2 5.56 5.28

2 40 2 5.00

Yogurt sinbiotik

1 40 0 0.00 0.98

2 51 1 1.96

Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1

1 28 5 17.86 13.62

2 32 3 9.38

Kontrol positif 1 49 9 18.37 17.94

2 40 7 17.50

Hari ke-21

Kontrol negatif 1 57 2 3.51 3.04

2 39 1 2.56

Yogurt sinbiotik

1 41 0 0.00 1.61

2 31 1 3.22

Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1

1 51 3 5.88 4.73

2 56 2 3.57

Kontrol positif 1 37 7 18.92 21.96

2 32 8 25.00

Yogurt prebiotik

1 42 3 7.14 3.57


(3)

Lampiran 15. Data ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan

Perlakuan Sampel U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 U10

Hari ke-7 Kontrol negatif

1 20.6 27.8 36.6 40.4 32.4 53.1 54.3 47.3 38.3 25.0 2 49.3 36.4 47.0 55.45 47.7 54.6 43.3 35.9 38.1 55.75 Yogurt

sinbiotik

1 63.2 71.3 69.7 71.2 66.3 61.2 61.4 60.4 56.2 54.8 2 44.6 50.8 49.7 50.5 53.3 53.9 50.0 51.5 51.9 54.6 Yogurt

sinbiotik + EPEC K1.1

1 52.8 54.8 56.5 53.6 51.1 49.7 50.2 49.6 47.5 51.4 2 51.8 51.7 55.2 55.6 41.1 44.5 41.4 55.1 53.6 44.5

Kontrol positif

1 43.9 41.3 42.2 48.8 45.3 44.0 43.4 42.9 45.9 42.4 2 49.8 48.5 49.4 48.5 48.4 54.5 51.2 51.6 56.5 51.4 Hari ke-14

Kontrol negatif

1 41.1 39.6 36.7 35.7 36.8 37.4 47.7 47.6 48.8 49.4 2 44.4 45.7 48.0 42.3 40.2 46.7 34.0 41.8 44.1 50.1 Yogurt

sinbiotik

1 55.0 54.9 50.9 49.8 51.1 49.0 51.9 54.5 52.2 54.1 2 53.6 53.9 54.3 54.4 49.8 47.9 46.1 52.4 53.4 52.9 Yogurt

sinbiotik + EPEC K1.1

1 42.6 46.6 49.65 46.5 44.0 41.1 32.4 23.0 42.3 22.1 2 33.0 32.5 49.25 37.1 50.0 52.45 50.3 21.1 29.75 30.0

Kontrol positif

1 18.1 19.4 22.2 16.4 26.9 21.5 26.4 21.1 27.1 14.5 2 16.2 23.9 17.7 26.1 30.4 13.4 24.0 23.3 20.8 23.5 Hari ke-21

Kontrol negatif

1 49.4 50.7 48.0 47.7 40.9 48.1 43.5 44.6 43.9 38.9 2 48.3 48.1 47.7 45.5 44.8 44.7 45.1 50.6 49.4 49.5 Yogurt

sinbiotik

1 46.2 46.8 45.7 40.5 50.3 48.0 39.2 43.0 43.2 39.4 2 48.4 50.3 48.9 46.6 45.1 47.1 46.4 45.3 41.9 44.5 Yogurt

sinbiotik + EPEC K1.1

1 47.2 49.1 51.3 49.7 49.6 50.8 46.4 40.8 43.2 44.9 2 50.6 49.3 48.1 47.6 49.5 46.2 44.6 43.4 44.2 41.9

Kontrol positif

1 23.1 21.9 30.2 28.2 27.2 26.0 29.1 27.1 17.4 19.2 2 22.3 27.7 27.9 26.6 26.3 22.9 16.6 29.8 28.1 29.4 Yogurt

prebiotik

1 37.5 34.7 37.7 49.9 47.75 49.7 39.9 37.9 40.0 36.7 2 45.1 52.1 49.9 57.3 52.9 39.1 46.4 45.1 44.3 46.6


(4)

Lampiran 16. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-7 Tests of Between-Subjects Effects

Dependent

Variable:tebalmukosa Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model 3013.287

a

22 136.968 2.239 .008 Intercept 194774.584 1 194774.584 3.184E3 .000

perlakuan 2462.097 3 820.699 13.415 .000

ulangan 551.189 19 29.010 .474 .963

Error 3487.214 57 61.179

Total 201275.085 80

Corrected Total 6500.501 79

a. R Squared = ,464 (Adjusted R Squared = ,256)

tebalmukosa Duncan

perlak

uan N

Subset

1 2 3

A 20 41.9650

D 20 47.4950

C 20 50.5850

B 20 57.3250

Sig. 1.000 .217 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.


(5)

Lampiran 17. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-14 Tests of Between-Subjects Effects

Dependent

Variable:tebalmukosa Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model 10154.888

a

22 461.586 10.171 .000 Intercept 120807.968 1 120807.968 2.662E3 .000

perlakuan 9763.078 3 3254.359 71.706 .000

ulangan 391.810 19 20.622 .454 .970

Error 2586.924 57 45.385

Total 133549.780 80

Corrected Total 12741.812 79

a. R Squared = ,797 (Adjusted R Squared = ,719)

tebalmukosa Duncan

perlak

uan N

Subset

1 2 3

D 20 21.6450

C 20 38.7850

A 20 42.9050

B 20 52.1050

Sig. 1.000 .058 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.


(6)

Lampiran 18. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-21

Tests of Between-Subjects Effects Dependent

Variable:tb_mukosa Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model 7186.083

a

14 513.292 34.770 .000 Intercept 174068.356 1 174068.356 1.179E4 .000 perlakuan 6771.317 4 1692.829 114.672 .000

sampel 116.316 1 116.316 7.879 .006

ulangan 298.450 9 33.161 2.246 .026

Error 1254.803 85 14.762

Total 182509.243 100

Corrected Total 8440.886 99

a. R Squared = ,851 (Adjusted R Squared = ,827)

tb_mukosa Duncan

perlak

uan N

Subset

1 2

D 20 25.3500

E 20 44.5275

B 20 45.3400

A 20 46.4700

C 20 46.9200

Sig. 1.000 .075

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 14,762.