Daya antidiare dan antioksidatif yogurt sinbiotik pada tikus percobaan

(1)

DAYA ANTIDIARE DAN ANTIOKSIDATIF YOGURT

SINBIOTIK PADA TIKUS PERCOBAAN

SKRIPSI

SANDRA MARISKA

F 24062269

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ANTIDIARRHEA AND ANTIOXIDATIVE CAPABILITY OF SYNBIOTIC

YOGHURT TO THE RATS

Sandra Mariska1, Winiati P. Rahayu1, Made Astawan1, dan Tutik Wresdiyati2

1

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia 2

Department of Anatomy, Physiology, and Pharmacology, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, Bogor, West Java, Indonesia

ABSTRACT

Diarrhea is the main factor that causes ill and death in the developing

countries, include Indonesia. Diarrhea is mainly caused by Enteropathogenic

Escherichia coli (EPEC) infection. In addition, EPEC infection can also cause the

oxidative stress which can lead to the cells injury. Those conditions can be

prevented by keeping the natural intestinal microorganisms in the balance

composition. The balance composition of the natural intestinal microorganisms can

be remained by consuming probiotics and prebiotics regularly. Furthermore,

nowadays, yoghurt is known as the good applicative food product to get the

probiotics for human body, but actually the common lactic acid bacterias in

commercial yoghurt (Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus thermophilus) are

not enough to keep the human gastrointestinal tract healthy because they cannot

survive in the gastrointestinal tract. So, the yoghurt should be added by other

bacterias which can survive in the gastrointestinal tract called probiotics. Based on

these informations, the research about synbiotic yoghurt was developed by

applicating the local probiotic lactic acid bacteria, Lactobacillus fermentum 2B4.

This synbiotic yoghurt showed antibacterial activity against EPEC. It also had

antidiarrhea effect in the rats model. The research showed that the feces of the rats,

which were infected by EPEC, but were treated by synbiotic yoghurt contained

Lactobacillus fermentum 2B4, was normal. Whereas, the rats which were infected by

EPEC, but were not treated by the synbiotic yoghurt showed the diarrhea feces.

Synbiotic yoghurt treatment also could increase the Cu, Zn-SOD content in the liver

and kidney. Therefore, it also had antioxidative effect.


(3)

SANDRA MARISKA. F24062269. Daya Antidiare dan Antioksidatif Yogurt Sinbiotik pada Tikus Percobaan. Di bawah bimbingan Winiati P. Rahayu, Made Astawan, dan Tutik Wresdiyati. 2011

RINGKASAN

Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak-anak di Indonesia. Diare adalah penyebab kematian terbanyak ke-3 pada penderita rawat inap di rumah sakit pada tahun 2006. Salah satu penyebabnya adalah bakteri Escherichia coli enteropatogenik (EPEC) yang juga dapat menyebabkan stres oksidatif yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Gangguan-gangguan tersebut dapat dicegah dengan menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan, salah satunya melalui konsumsi yogurt sinbiotik.

Tujuan penelitian adalah menguji antidiare dan antioksidatif yogurt sinbiotik pada tikus percobaan yang dipapar dengan EPEC.

Penentuan formula yogurt sinbiotik dilakukan dengan melakukan pengujian aktivitas antibakteri (metode kontak) dari empat yogurt terhadap bakteri EPEC. Empat formula yogurt tersebut adalah formula 1 (F1) mengandung L. bulgaricus dan S. thermophilus, formula 2 (F2) mengandung

L. bulgaricus, S. thermophilus, dan L. plantarum 2C12, formula 3 (F3) mengandung L. bulgaricus,

S. thermophilus, dan L. fermentum 2B4, serta formula 4 (F4) mengandung L. bulgaricus,

S. thermophilus, L. plantarum 2C12, dan L. fermentum 2B4. Pada semua formula ditambahkan prebiotik fruktooligosakarida (FOS) sebanyak 5%.

Hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa yogurt F3 mempunyai aktivitas antimikroba dengan kematian sel EPEC sebanyak 3.4 log cfu/ml. Yogurt F3 juga memiliki penampakan yang relatif paling bagus karena whey yang dihasilkan relatif sedikit dan memiliki nilai pH 4.5 yang sama dengan nilai pH yogurt komersial.

Pengujian sifat antidiare dan antioksidatif yogurt sinbiotik dilakukan secara in vivo, yang terdiri atas tahap pemberian perlakuan terhadap hewan percobaan, yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok yang diberi yogurt sinbiotik, kelompok yang diberi yogurt sinbiotik dan intervensi EPEC, kelompok kontrol positif, dan kelompok yang diberi yogurt standar. Pengamatan yang dilakukan adalah penampakan feses serta analisis enzim superoksida dismutase (SOD) pada jaringan hati dan ginjal hewan percobaan.

Penampakan feses memperlihatkan bahwa tikus yang diberi yogurt sinbiotik dan yang diberi yogurt sinbiotik serta intervensi EPEC masih termasuk ke dalam penampakan feses normal. Dengan demikian, yogurt sinbiotik F3 berpotensi memiliki sifat antidiare.

Selama 21 hari pemberian yogurt sinbiotik, jaringan hati tikus menunjukkan bahwa yogurt sinbiotik yang mengandung probiotik L. fermentum 2B4 dapat mempertahankan kandungan Cu, Zn-SOD tetap tinggi seperti tikus kontrol negatif (tikus normal), sedangkan jaringan ginjal tikus menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan enzim Cu, Zn-SOD sebesar 14.72%.

Selama 21 hari perlakuan dengan yogurt sinbiotik pada tikus yang diintervensi EPEC, diketahui bahwa pada jaringan hati, yogurt sinbiotik dapat meningkatkan kandungan Cu, Zn-SOD sebesar 17.72% dibandingkan dengan tikus kontrol positif. Demikian pula halnya dengan ginjal, yaitu yogurt sinbiotik dapat meningkatkan kandungan Cu, Zn-SOD sebesar 24.96% pada tikus yang mengalami intervensi EPEC, tetapi mendapatkan perlakuan dengan yogurt sinbiotik dibandingkan dengan tikus kontrol positif.


(4)

DAYA ANTIDIARE DAN ANTIOKSIDATIF YOGURT SINBIOTIK

PADA TIKUS PERCOBAAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

 

Oleh

SANDRA MARISKA

F 24062269

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

Judul Skripsi

: Daya Antidiare dan Antioksidatif Yogurt Sinbiotik pada Tikus

Percobaan

Nama

: Sandra Mariska

NIM

: F24062269

Menyetujui,

Pembimbing I,

(Prof. Dr. Winiati P. Rahayu)

NIP 19560813.198201.2.001

Pembimbing II,

Pembimbing III,

(Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS)

(Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D)

NIP 19620202.198703.1.004 NIP 19640909.199002.2.001

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah)

NIP 19650814.199002.1.001


(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Daya

Antidiare dan Antioksidatif Yogurt Sinbiotik pada Tikus Percobaan adalah hasil

karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan

dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis

lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Yang membuat pernyataan

Sandra Mariska

F 24062269


(7)

© Hak cipta milik Sandra Mariska, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik

cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(8)

BIODATA PENULIS

Sandra Mariska. Lahir di Bogor, Jawa Barat, 22 Mei 1988 dari ayah Hendra Rahardja, Alm. dan ibu Susanty Widjaja, sebagai putri pertama dari dua bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMA Regina Pacis, Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun ke-2 penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis terlibat dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan. Pada tahun 2008, penulis pernah menjadi panitia Seminar dan Pelatihan HACCP VI Include ISO: 22000. Pada tahun yang sama pula, penulis menjadi panitia Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XVI. Penulis pernah mengikuti beberapa kegiatan seminar dan pelatihan, seperti Seminar dan Pelatihan Vegetarian pada tahun 2007, Workshop PKM pada tahun 2008, Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal pada tahun 2009, dan Pelatihan Food Safety Management System ISO 22000: 2005 pada tahun 2009. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti kerja magang selama satu bulan di Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI pada tahun 2009 dengan topik: Pengembangan Metode Analisis Mikotoksin. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian pada tahun 2010 dengan judul “Daya Antidiare dan Antioksidatif Yogurt Sinbiotik pada Tikus Percobaan” di bawah bimbingan Prof. Dr. Winiati P. Rahayu, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS, dan Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan anugerah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian dengan judul: Daya Antidiare dan Antioksidatif Yogurt Sinbiotik pada Tikus Percobaan, merupakan bagian dari proyek: Aplikasi Isolat Indigenus Bakteri Probiotik sebagai Imunomodulator dalam Pengembangan Yogurt Sinbiotik Antidiare, dilaksanakan di Laboratorium Departemen ITP IPB, Laboratorium SEAFAST Center IPB, dan laboratorium Histologi FKH IPB sejak bulan April hingga November 2010.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Winiati P. Rahayu selaku dosen pembimbing akademik atas waktu, arahan, kritik, saran, dan segala bentuk bimbingan yang diberikan.

2. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku pembimbing penelitian atas waktu, arahan, kritik, dan saran yang mendukung terselesaikannya skripsi ini.

3. Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D selaku dosen pembimbing penelitian atas waktu, arahan, kritik, dan saran yang mendukung terselesaikannya skripsi ini.

4. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional RI, yang telah memberikan dana penelitian melalui Hibah Kompetensi, Nomor Kontrak: 409/SP2 H/DP2M/VI/2010 atas nama Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS.

5. Dr. Suliantari, MS dan Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt., MSi yang telah memberikan arahan, saran, dan masukan selama pelaksanaan penelitian.

6. Dr. Dra. Waysima Tohir, MSc yang telah memberikan dukungan, nasihat, bantuan, dan masukan selama ini.

7. Orang tuaku tercinta, Ibu Susanty Widjaja, dan adikku tersayang, Reynaldi Rahardja, serta sepupu-sepupuku yang terbaik, Katherine dan Cheryl, atas segala bentuk dukungan, semangat, dan doa yang diberikan hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini.

8. Kakak pembimbingku terkasih, Diana Febriana atas doa, dukungan, dan bantuannya selama ini. 9. Teman satu bimbingan dan satu perjuangan, Stefanus, Stella Darmadi, dan Widya Eka Prayitno.

Terima kasih atas kebersamaan, persahabatan, dukungan, dan waktu untuk bertukar pikiran selama ini.

10. Teman-teman seperjuanganku dalam penelitian, Yenny, Septi, Angga, dan Roni atas kebersamaan, persahabatan, kerja sama, bantuan, dan semua hal yang telah dilalui bersama selama ini.

11. Teman-teman laboratorium ITP, SEAFAST, dan histologi: Dewi, Prima, Neng, Wina, Margaret, Fenny, Arini, Widi, Saidah, Imam, Frendy, Kandi, Rijali, Anto, Pak Firdaus, Wulan, Feni, Ila, Yeni, dll. Terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya selama ini.

12. Palestina, Sadek, Eri, Ebol, Daisy, Saphie, Selma, Abe, Manik, Ko Marcell, Abi, Yogi, Dion, Weje, Yessica, Kandi, Ochie, Widi, Nicho, Anis, Dhimas, Ipan, Cing-Cing, Nisa, Nadia, Rima, Meta, Della, Bernand, Abdi, Aan, Helen, Lingga, Hasti, Dessy, Dyas, Ipit, Syaiha, Melisda, Magda, Seli, Andi, dan Ogi atas persahabatannya selama ini, semoga untuk selamanya. Terima kasih atas semua dukungan dan doa yang mendukung terselesaikannya skripsi ini.

13. Sahabat-sahabatku ITP 43 dan TPB A20.

14. Laboran yang saya hormati Pak Adi, Pak Ganda, Mas Edi, Mba Ida, Pak Rojak, Pak Sidik, Pak Wahid, Bu Rubiah, Pak Gatot, Mas Aldi, Mba Arie, Bu Sari, Pak Wahid, Pak Yahya, Bu Sri, Pak


(10)

Iwan, Pak Wahyu, dan Pak Maman, untuk semua bimbingan, bantuan, dan dukungan yang diberikan.

15. Keluarga besar ITP.

16. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan khususnya pengembangan produk-produk sinbiotik.

Bogor, Maret 2011


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 LATAR BELAKANG... 1

1.2 TUJUAN... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 YOGURT SINBIOTIK... 3

2.2 DIARE... 8

2.3 ENZIM SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) SEBAGAI ANTIOKSIDAN... 10

III. METODE PENELITIAN... 16

3.1 BAHAN DAN ALAT... 17

3.2 METODE... 17

3.2.1 Penentuan Formula Yogurt Sinbiotik Terbaik……..…………... 18

3.2.2 Pengujian Sifat Antidiare dan Antioksidatif dari Yogurt Sinbiotik Formula Terbaik (In Vivo)... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

4.1 PENENTUAN FORMULA YOGURT SINBIOTIK TERBAIK... 25

4.2 PENGUJIAN SIFAT ANTIDIARE DAN ANTIOKSIDATIF DARI YOGURT SINBIOTIK FORMULA TERBAIK (IN VIVO)... 27

V. SIMPULAN DAN SARAN... 42

5.1 SIMPULAN... 42

5.2 SARAN... 42

DAFTAR PUSTAKA... 43


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Mekanisme dari probiotik... 5

Tabel 2. Komposisi ransum standar………... 20

Tabel 3. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan... 22

Tabel 4. Aktivitas antibakteri yogurt... 25

Tabel 5. Hasil pengamatan penampakan feses tikus percobaan…………... 28

Tabel 6. Rata-rata jumlah inti sel hati pada berbagai tingkat kandungan Cu, Zn-SOD pada jaringan hati tikus pada terminasi hari ke-8, 15, dan 22 per bidang pandang dengan perbesaran 200×... 33

Tabel 7. Rata-rata jumlah inti sel ginjal dengan berbagai tingkat kandungan Cu, Zn-SOD pada jaringan ginjal tikus pada terminasi hari ke-8, 15, dan 22 per bidang pandang dengan perbesaran 200×………... 38

                                   


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerja Cu, Zn-SOD dalam pertahanan seluler... 11

Gambar 2. Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia... 15

Gambar 3. Diagram alir penelitian... 16

Gambar 4. Bagan perlakuan dan terminasi kelompok tikus percobaan... 21

Gambar 5. Penampakan feses tikus percobaan………... 27

Gambar 6. Penampakan anus tikus percobaan…………... 29

Gambar 7. Kadar air feses tikus pada hari ke-20 dan 21... 30

Gambar 8. Fotomikrograf jaringan hati tikus………... 32


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Syarat mutu yogurt menurut SNI 2981-2009... 50

Lampiran 2. Kurva pertumbuhan bakteri Escherichia coli... 51

Lampiran 3. Diagram alir pembuatan sediaan (preparat) untuk analisis Cu, Zn-SOD dari hati/ginjal tikus percobaan... 52

Lampiran 4. Diagram alir pewarnaan sediaan secara imunohistokimia untuk analisis Cu, Zn-SOD dari hati/ginjal tikus percobaan... 53

Lampiran 5. Aktivitas antibakteri dari yogurt (metode kontak)... 55

Lampiran 6. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk aktivitas antimikroba yogurt selama 2 jam... 56

Lampiran 7. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk aktivitas antimikroba yogurt selama 4 jam... 57

Lampiran 8. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk aktivitas antimikroba yogurt selama 6 jam... 58

Lampiran 9. Hasil pengukuran pH keempat formula yogurt... 59

Lampiran 10. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk pH yogurt………... 60

Lampiran 11. Hasil pengukuran kadar air feses dari masing-masing kelompok tikus percobaan... 61

Lampiran 12. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk kadar air feses tikus percobaan... 62

Lampiran 13. Nilai kadar air feses dari masing-masing kelompok tikus percobaan... 63

Lampiran 14. Hasil penghitungan kenaikan berat badan dari masing-masing kelompok tikus percobaan... 64

Lampiran 15. Diagram batang kenaikan berat badan tikus percobaan……... 65

Lampiran 16. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk kenaikan berat badan tikus percobaan... 66

Lampiran 17. Fotomikrograf jaringan hati tikus pada terminasi hari ke-8... 67

Lampiran 18. Fotomikrograf jaringan hati tikus pada terminasi hari ke-15……….. 68


(15)

Lampiran 20. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan SOD positif kuat

(+++)... 70

Lampiran 21. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan SOD positif sedang

(++)... 71

Lampiran 22. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan SOD positif lemah (+)... 72

Lampiran 23. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan SOD negatif (-)... 73

Lampiran 24. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan SOD positif kuat

(+++)... 74

Lampiran 25. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan SOD positif sedang

(++)... 75

Lampiran 26. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan SOD positif lemah

(+)... 76

Lampiran 27. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan SOD negatif (-)... 77

Lampiran 28. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD positif kuat

(+++)... 78

Lampiran 29. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD positif sedang

(++)………... 79

Lampiran 30. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD positif lemah

(+)………... 80

Lampiran 31. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD negatif (-)... 81

Lampiran 32. Diagram batang persentase jumlah inti sel hati yang mengandung SOD (positif) dan yang tidak mengandung SOD (negatif)………... 82

Lampiran 33. Fotomikrograf jaringan ginjal tikus pada terminasi hari ke-8………. 83

Lampiran 34. Fotomikrograf jaringan ginjal tikus pada terminasi hari ke-15…………... 84

Lampiran 35. Fotomikrograf jaringan ginjal tikus pada terminasi hari ke-22…………... 85

Lampiran 36. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan SOD


(16)

Lampiran 37. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan SOD

positif sedang (++)... 87

Lampiran 38. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan SOD

positif lemah (+)... 88

Lampiran 39. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan SOD negatif (-)... 89

Lampiran 40. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan SOD

positif kuat (+++)... 90

Lampiran 41. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan SOD

positif sedang (++)... 91

Lampiran 42. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan SOD

positif lemah (+)... 92

Lampiran 43. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan SOD negatif (-)... 93

Lampiran 44. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD

positif kuat (+++)... 94

Lampiran 45. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD

positif sedang (++)... 95

Lampiran 46. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD

positif lemah (+)... 96

Lampiran 47. Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel tubuli renalis ginjal tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD negatif (-)... 97

Lampiran 48. Diagram batang persentase jumlah inti sel tubuli renalis ginjal yang mengandung SOD (positif) dan yang tidak mengandung SOD

(negatif)………... 98

 

 


(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Alat pencernaan manusia merupakan suatu tabung yang menggulung sepanjang kurang lebih 9 m yang melalui bagian tengah tubuh. Saluran pencernaan manusia memiliki luas permukaan sekitar 300 m2 (dibandingkan dengan kulit yang memiliki luas permukaan 2 m2 dan paru-paru yang memiliki luas permukaan 100 m2) (Loo 2006) sehingga dapat meningkatkan daya serap makanan. Pemukaan yang luas tersebut menjadikan saluran pencernaan manusia ini sebagai bagian tubuh yang paling banyak mengalami kontak dengan lingkungan luar karena saluran pencernaan selalu terpapar oleh makanan selama proses pencernaan makanan, yang mungkin mengandung kontaminan yang dapat merugikan saluran pencernaan. Oleh karena itu, saluran pencernaan merupakan organ yang rentan terhadap gangguan.

Gangguan terhadap saluran pencernaan (gastroenteritis) bervariasi dari yang ringan hingga yang berat, serta dapat pula menyebabkan kematian bila tidak ditangani dengan benar. Salah satu contoh gangguan terhadap saluran pencernaan adalah diare. Diare merupakan suatu gejala penyakit yang terjadi akibat adanya penyimpangan atau gangguan terhadap sistem pencernaan makanan. Diare merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup kompleks. Jika tidak ditangani dengan baik, diare dapat mempengaruhi pertahanan tubuh penderita hingga menimbulkan kematian.

Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak-anak di negara yang sedang berkembang dengan perkiraan 1.3 milyar kejadian dan 3.2 juta kematian setiap tahun pada balita (Prasetyo dan Fadlyana 2004). Sementara itu, menurut laporan Departemen Kesehatan (Depkes), di Indonesia setiap anak mengalami diare 1.6-2 kali dalam setahun (Prasetyo dan Fadlyana 2004).

Bakteri penyebab infeksi gastroenteritis yang utama adalah famili Enterobacteriaceae, termasuk koliform, terutama Escherichia coli, Salmonella, Shigella, dan Yersinia. Berdasarkan data identifikasi bakteri patogen, Escherichia coli merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai bakteri penyebab diare. Budiarti (1997) menyatakan pula bahwa Escherichia coli

enteropatogenik (EPEC) merupakan salah satu penyebab utama diare pada anak-anak di Indonesia, prevalensinya mencapai 55% dari anak-anak penderita diare. Oleh karena itulah, upaya pencegahan dan pengendalian diare ini menjadi sangat penting.

Infeksi usus penyebab diare adalah bakteri enteropatogenik yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman. Selain dapat menyebabkan diare, infeksi karena bakteri juga dapat menyebabkan stres oksidatif. Stres oksidatif dapat membahayakan karena menimbulkan radikal bebas dan mengganggu keseimbangan oksidan dan antioksidan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan (Winarsi 2007). Keseimbangan oksidan dan antioksidan sangat penting karena berkaitan dengan berfungsinya sistem imunitas tubuh (Winarsi 2007).

Gangguan-gangguan tersebut dapat dicegah dengan menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan yang merupakan strategi untuk memodulasi komposisi mikrobiota saluran pencernaan. Modulasi mikrobiota tersebut dapat dilakukan dengan menstimulasi pertumbuhan bakteri yang menyehatkan dan mereduksi jumlah mikroba yang berbahaya (Loo 2006). Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan adalah dengan mengonsumsi produk probiotik dan prebiotik secara teratur.

Mengonsumsi bakteri probiotik melalui produk-produk pangan adalah cara yang ideal untuk memperbaiki keseimbangan mikroflora usus (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Mikroba


(18)

probiotik umumnya dimasukkan ke dalam makanan fermentasi berbasis susu, seperti yogurt yang telah dikenal sebagai makanan yang menyehatkan. Susu banyak dipilih sebagai media fermentasi karena susu sangat baik untuk pertumbuhan berbagai mikroorganisme, terutama karena susu memiliki kadar air yang tinggi, pH netral, dan kandungan nutriennya yang tinggi (Rahman et al. 1992). Sementara itu, keberadaan prebiotik dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri baik. Dengan demikian, keberadaan probiotik dan prebiotik dalam bentuk produk yogurt sinbiotik dapat memberikan manfaat yang sinergis bagi kesehatan.

Agar dapat lebih mudah diaplikasikan di lingkungan lokal, mikroba probiotik yang digunakan sebaiknya berasal dari wilayah lokal atau bersifat endogenus. Baru-baru ini diketahui bahwa bakteri asam laktat yang diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor memiliki sifat sebagai probiotik (Arief et al. 2008). Mikroba probiotik lokal memiliki keunggulan yaitu sudah dapat beradaptasi (sangat adaptable) dengan kondisi lingkungan lokal, sehingga tidak memerlukan rekayasa dan manipulasi sifat aslinya. Dengan demikian, probiotik tersebut diharapkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan menjaga keseimbangan mikroflora usus masyarakat Indonesia dengan lebih baik.

1.2

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan dua bakteri asam laktat probiotik lokal (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4) untuk pembuatan yogurt sinbiotik. Selanjutnya yogurt sinbiotik tersebut diuji sifat antidiare dan antioksidatifnya.


(19)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

YOGURT SINBIOTIK

Dewasa ini, yogurt merupakan minuman yang diminati oleh masyarakat Indonesia. Yogurt telah lama diketahui sebagai produk dengan banyak manfaat yang diharapkan bagi konsumen dan juga penting bagi kesehatan konsumen. Yogurt adalah minuman fermentasi yang dibuat dari susu segar dan/atau susu skim dengan menggunakan bakteri asam laktat (BAL) sebagai starter. Menurut Standar Nasional Indonesia (2009), yogurt merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dan atau BAL lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Yogurt yang berupa minuman cair kental dengan rasa asam (dari akumulasi asam laktat) dan flavor yang khas (dari komponen asetaldehida, sejumlah kecil diasetil, aseton, asetoin, dan sebagainya) merupakan hasil dari aktivitas starter bakteri (BAL) dalam fermentasi susu. Syarat mutu yogurt berdasarkan SNI 2981-2009 dilampirkan pada Lampiran 1.

Yogurt dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam tubuh, seperti

enteropathogenicEscherichia coli (EPEC). Mekanisme penghambatan yogurt terhadap EPEC adalah dengan menurunkan pH lingkungan pertumbuhan EPEC. Asam organik yang dihasilkan oleh BAL dapat menurunkan pH hingga kurang dari 4 sehingga pertumbuhan EPEC dapat terhambat.

BAL yang sering digunakan sebagai starter yogurt adalah Lactobacillus bulgaricus dan

Streptococcus thermophilus. Namun, ternyata BAL tersebut belum cukup untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan karena tidak dapat bertahan di dalam saluran pencernaan sehingga tidak berperan dalam saluran pencernaan manusia (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Lactobacillus bulgaricus

dan Streptococcus thermophilus berperan untuk membentuk tekstur dan flavor yogurt. L. bulgaricus

berkontribusi terhadap flavor yogurt melalui produksi asam laktat, asetaldehida, asam asetat, dan diasetil (Ma’rifah 2008). Oleh karena itu, dalam penelitian ini, ke dalam yogurt, ditambahkan bakteri probiotik yang mampu bertahan hidup, berkembang biak, berkompetisi dalam hal adhesi dan substrat fermentasi serta mengeluarkan zat antimikroba dalam saluran pencernaan manusia, sehingga dapat menjaga keseimbangan mikroflora usus.

Dalam penelitian kali ini, selain probiotik, ditambahkan juga prebiotik sehingga yogurt yang dihasilkan adalah yogurt sinbiotik. Yogurt sinbiotik merupakan salah satu produk susu fermentasi yang dibuat dengan menggunakan campuran beberapa kultur BAL seperti Lactobacillus bulgaricus,

Streptococcus thermophilus, Lactobacillus achidophilus, dan Bifidobacterium bifidum, yang

dikombinasikan dengan prebiotik seperti fruktooligosakarida (FOS). Kombinasi probiotik (BAL) dan prebiotik dapat meningkatkan daya tahan bakteri probiotik. Hal ini karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi sehingga tubuh mendapat manfaat yang lebih sempurna dari kombinasi ini. Inilah yang merupakan kelebihan dari yogurt sinbiotik dibandingkan dengan yogurt konvensional. Oleh sebab itu, yogurt sinbiotik merupakan salah satu pangan alternatif yang lebih menyehatkan dan baik jika dikonsumsi rutin, karena dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya diare.


(20)

2.1.1

Probiotik

Probiotik adalah sediaan sel mikroba atau komponen dari sel mikroba yang memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Tamime et al. 2005). Menurut FAO (2006), probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang ketika diberikan (diatur) dalam jumlah yang cukup, memberikan manfaat kesehatan pada inangnya atau ketika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup sebagai bagian dari pangan, memberikan manfaat kesehatan pada inangnya. Mikroba probiotik umumnya dimasukkan ke dalam pangan fermentasi yang berbasis susu. Alasannya adalah karena produk susu fermentasi (yogurt) telah dikenal sebagai pangan yang menyehatkan.

Probiotik dapat dijadikan sebagai alternatif untuk mengobati infeksi saluran pencernaan dan untuk mencegah diare. Sejak dahulu, bakteri probiotik dianjurkan karena dapat memberikan manfaat bagi orang yang mengonsumsinya terutama terhadap pencegahan dari infeksi saluran pencernaan (Commane et al. 2005). Studi kini telah mengindikasikan bahwa bakteri probiotik memberikan efek lain terhadap inangnya seperti menekan alergi, mengontrol kadar kolesterol darah, memodulasi fungsi imun, dan mencegah kanker kolon (Commane et al. 2005). Perlawanan kompetitif terhadap patogen merupakan klaim kesehatan yang paling penting dari bakteri probiotik (Rinkinen et al. 2003).

Jumlah minimal sel probiotik yang dapat memberikan efek kesehatan masih kontroversial, tetapi beberapa peneliti menyebutkan bahwa dosis terapinya (yang berefek terhadap kesehatan manusia) adalah harus lebih dari 107 dan 108 cfu/ml (Kailasapathy dan Rybka 1997), harus mencapai 108 sel probiotik hidup per hari (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001), minimum 105 sel hidup setiap gram atau ml produk (Farida 2005), atau 107-1010 cfu/hari (Lee dan Salminen 2009). Walaupun demikian, dosis tersebut sebetulnya sangat tergantung dari jenis makanan dan strain yang digunakan (Rahayu 2004).

BAL merupakan bakteri yang telah dikenal sebagai probiotik. BAL adalah bakteri Gram positif yang bersifat mikroaerofilik, tidak berspora, dan mampu memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat. Penggunaan BAL sebagai probiotik (non-patogen, mikroorganisme turunan inang yang bermanfaat bagi inang dengan memperbaiki keseimbangan mikrobial yang sesuai) telah dianjurkan untuk memperbaiki dan mempertahankan kesehatan selama lebih dari seratus tahun (Reid 2000).

Lactobacillus, Enterococcus, Bifidobacterium, dan beberapa Propionibacterium telah dikenal sebagai probiotik di dalam produk pangan (Collado et al. 2010). Sementara itu, menurut Lee dan Salminen (2009), kelompok bakteri yang merupakan probiotik adalah Lactobacilli, Bifidobacteria, kamir, dan Enterococci. Lactobacillus dan Bifidobacterium merupakan genus utama yang biasanya digunakan sebagai mikroorganisme probiotik dan pangan probiotik yang tersedia bagi konsumen (FAO 2006). Walaupun demikian, untuk dapat bersifat sebagai probiotik, BAL harus memenuhi beberapa syarat berikut (Seveline 2005):

1. Tahan terhadap asam, terutama asam lambung yang memiliki pH antara 1.5-2.0 sewaktu tidak makan dan pH 4.0-5.0 sehabis makan, sehingga mampu bertahan dan hidup lama ketika melalui lambung dan usus.

2. Stabil terhadap garam empedu dan mampu bertahan hidup selama berada dalam usus kecil. 3. Memproduksi senyawa antimikroba seperti asam laktat, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. 4. Mampu menempel pada sel usus manusia, dapat membentuk koloni, memiliki aktivitas antagonis

terhadap patogen, mampu mengatur sistem daya tahan tubuh, dan mempercepat penyembuhan infeksi.

5. Tumbuh baik dan berkembang dalam saluran pencernaan.

6. Dapat berkoagregasi (kemampuan untuk berinteraksi antarkultur untuk saling menempel) membentuk lingkungan mikroflora yang normal dan seimbang.


(21)

7. Aman digunakan oleh manusia.

BAL memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia karena BAL memiliki kemampuan untuk menghasilkan makanan fermentasi dan hidup di dalam saluran pencernaan. BAL ini dapat menghasilkan asam laktat dan senyawa-senyawa tertentu lainnya (asam organik, hidrogen peroksida, karbondioksida, diasetil, reuterin, dan bakteriosin) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain yang tidak dikehendaki. Kemampuan BAL untuk hidup di dalam saluran pencernaan, dapat menekan pertumbuhan bakteri enteropatogenik (EPEC) sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan tubuh (saluran pencernaan). Inilah alasan yang menyebabkan BAL berpotensi sebagai probiotik.

Dengan demikian, kini probiotik menjadi perhatian dalam potensinya untuk terapi bagi penyakit diare sehingga studi tentang probiotik semakin meluas. Sekarang ini probiotik umum digunakan sebagai terapi alternatif untuk penyakit diare (Miyazaki et al. 2010). Probiotik tidak hanya mengatur lingkungan mikroba saluran pencernaan, tetapi juga mempengaruhi bakteri patogen secara langsung. Probiotik mampu menstimulasi sistem imun yaitu dengan meningkatkan fungsi fagositosis dari makrofag, sel natural killer (NK), monosit, dan neutrofil (Hartanti 2010).

BAL tertentu juga memiliki aktivitas antioksidatif. BAL dapat mengurangi risiko akumulasi ROS (reactive oxygen species) dalam tubuh inang dan berpotensi sebagai suplemen probiotik pangan untuk mengurangi stres oksidatif (Songisepp et al. 2004). Tujuan dari produk pangan fungsional seperti probiotik adalah untuk mengontrol kesehatan seluler dan meningkatkan kapasitas pertahanan endogenus dari sel (Zubillaga et al. 2001).

Berbagai mekanisme dan manfaat kesehatan dari probiotik (Zubillaga et al. 2001) terangkum pada Tabel 1.

Tabel 1. Mekanisme dari probiotik (Zubillaga et al. 2001)

Mekanisme Manfaat

Aktivitas antimikroba - Mengontrol rotavirus dan Clostridium

- Mengontrol penyakit yang berhubungan dengan

Heliobacter pylori

- Sebagai terapi antibiotic

- Dapat dijadikan treatment bagi penderita diare Resistensi kolonisasi Menjaga keseimbangan mikroflora kolon Efek imun

• Ekspresi sitokin

• Stimulasi fagositosis melalui leukosit darah peripheral

- Meningkatkan respon imun

• IgA sekretori - Meningkatkan respon imun

Mempengaruhi aktivitas enzim - Mereduksi enzim fekal yang terlibat dalam inisiasi kanker

- Mereduksi kolesterol serum

Menghasilkan enzim Memperbaiki gejala malabsopsi laktosa Efek antimutagenik

Efek antigenotoksik

2.1.1.1

Lactobacillus plantarum

Lactobacillus plantarum adalah bakteri Gram positif yang memproduksi asam laktat dan hidup pada berbagai lingkungan yang berbeda, termasuk pada beberapa pangan dan saluran pencernaan manusia (EBI 2010). L. plantarum merupakan bakteri yang bersifat aerotoleran yang


(22)

dapat tumbuh pada suhu 15°C, tetapi umumnya tidak dapat tumbuh pada suhu 45°C (Wikipedia 2010). L. plantarum berbentuk batang, tidak berspora, non-motil, dan termasuk heterofermentatif fakultatif (Ma’rifah 2008).

L. plantarum adalah spesies yang penting dalam fermentasi berbagai produk sayuran dan daging. L. plantarum juga diketahui memproduksi senyawa antimikroba, seperti plantaricin, yang aktif dalam melawan bakteri patogen (Son et al. 2009). Menurut Liong (2007), strain L. plantarum

dapat menginduksi pelepasan sitokin dari donor manusia sehat melalui leukosit darah periferal mononuklear dan meningkatkan produksi interleukin-10 (IL-10) oleh makrofag dan sel T dari mukosa usus.

Menurut Lee dan Salminen (2009), L. plantarum dapat meningkatkan masa penyembuhan pasien infeksi bakteri enterik dengan cara menguatkan fungsi proteksi mukosa usus melalui pencegahan kolonisasi bakteri patogen. L. plantarum juga dapat membantu menghasilkan lactolin

yang merupakan antibiotik alami, membasmi patogen dari makanan fermentasi, meningkatkan jumlah sel sistem kekebalan, dan mensintesis asam amino antiviral (L-lisin) (Lee dan Salminen 2009). Dengan demikian, L. plantarum ini berpotensi sebagai probiotik.

2.1.1.2

Lactobacillus fermentum

Lactobacillus fermentum adalah bakteri Gram positif yang umumnya ditemukan pada bahan tumbuhan dan hewan fermentasi (Wikipedia 2010). L. fermentum merupakan bakteri yang tidak membentuk spora dan bersifat heterofermentatif (Songisepp et al. 2004).

Kullisaar et al. (2003) melaporkan bahwa konsumsi dari susu fermentasi yang mengandung

L. fermentum menunjukkan efek antioksidatif dan antiaterogenik. Sementara itu, menurut Reid (2000), strain L. fermentum dapat memproduksi hidrogen peroksida yang berperan sebagai senyawa antimikroba. Songisepp et al. (2004) juga menyebutkan bahwa L. fermentum memiliki aktivitas antimikroba dan antioksidatif yang tinggi karena sel-selnya dapat memproduksi Mn-SOD (Mn-superoksida dismutase). Selain itu, L. fermentum juga memiliki kemampuan untuk mencegah infeksi urogenital (Probiologics Inc.). H2O2 yang diproduksinya dapat menghambat pertumbuhan patogen di usus dan saluran urogenital.

Peran et al. (2006) menyebutkan bahwa perlakuan dengan L. fermentum menunjukkan pemulihan dari respon inflamasi pada tikus kolitis (mengalami radang usus besar). Peran et al. (2006) juga menyebutkan bahwa secara in vitro, L. fermentum dapat memproduksi komponen antioksidan, seperti dipeptide γ-Glu-Cys, pada tikus percobaan yang mengalami kolitis.

Menurut Zoumpopoulou et al. (2008), L. fermentum menunjukkan potensi probiotik karena memiliki karakteristik probiotik di antaranya memiliki aktivitas mikrobial dan imunomodulator yang diuji secara in vitro yang dikonfirmasi dengan pengujian in vivo menggunakan tikus percobaan. Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Bao et al. (2010) yang menyatakan bahwa L. fermentum

memiliki karakteristik probiotik yang potensial karena bakteri ini memiliki ketahanan terhadap pH rendah serta mampu menstimulasi enzim pada saluran pencernaan dan garam empedu.

2.1.2

Prebiotik

Prebiotik merupakan komponen pangan yang non-viabel yang memberikan manfaat kesehatan pada inangnya terkait dengan modulasi mikrobiota (FAO 2007). Menurut Lourens-Hattingh dan Viljoen (2001), prebiotik merupakan gula kompleks yang tidak dapat dimetabolisme


(23)

secara langsung oleh manusia, tetapi dapat menjadi sumber karbohidrat bagi flora usus. Dengan demikian, prebiotik adalah salah satu strategi untuk memanipulasi mikroflora usus.

Penambahan prebiotik seperti oligosakarida ke dalam pangan adalah terutama bertujuan untuk mendukung pertumbuhan organisme probiotik tertentu dalam kolon sehingga dapat memperbaiki kesehatan inangnya. Prebiotik tidak digunakan oleh bakteri usus lainnya. Contoh dari prebiotik antara lain adalah pati resisten, polisakarida non-pati (pektin, selulosa, guar, dan xylan), gula, dan oligosakarida (laktosa, laktulosa, rafinosa, stakiosa, dan fruktooligosakarida). Untuk dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik, suatu ingridien pangan harus tidak dapat dihidrolisis atau tidak dapat diserap di dalam saluran pencernaan atas, namun dapat difermentasi secara selektif oleh sejumlah terbatas bakteri yang berpotensi menguntungkan di dalam kolon, sehingga mengubah komposisi mikrobiota kolon menjadi koloni yang lebih menyehatkan (Franck 2008).

Efek yang paling penting dari prebiotik adalah untuk memperkuat ketahanan tubuh dalam melawan patogen sehingga dapat mencegah terjadinya diare (Dutcosky et al. 2006). Prebiotik memiliki efek yang tidak langsung karena prebiotik secara selektif menstimulasi satu atau sejumlah terbatas mikroorganisme sehingga menyebabkan modifikasi selektif dari mikroflora usus inang (terutama kolon) (Wang 2009).

Manfaat prebiotik terhadap kesehatan (Rastall dan Gibson 2004), antara lain: 1. Melindungi dari kanker kolon

Perlindungan prebiotik terhadap kanker kolon melibatkan produksi metabolit protektif. Butirat merupakan produk akhir fermentasi prebiotik oleh mikrobiota kolon yang diketahui dapat menstimulasi apoptosis dari sel-sel kanker kolon.

2. Memiliki efek antagonis terhadap patogen

Prebiotik dapat meningkatkan ketahanan terhadap patogen melalui peningkatan jumlah

Bifidobacteria dan Lactobacilli. Asam laktat yang diproduksi oleh bakteri tersebut diketahui memiliki sifat penghambatan.

3. Meningkatkan penyerapan kalsium

Fermentasi dari prebiotik menghasilkan asam lemak rantai pendek yang menyebabkan penurunan pH kolon. Hal ini mengakibatkan kelarutan kalsium meningkat sehingga penyerapannya meningkat.

4. Memiliki efek imunologi

Secara tidak langsung, prebiotik dapat memberikan efek imunologi. Bakteri asam laktat yang dapat menggunakan prebiotik dapat menstimulasi sejumlah sel yang terlibat dalam respon imun spesifik dan non-spesifik.

Prebiotik yang biasanya ditambahkan ke dalam pangan dan dapat mendukung pertumbuhan

Bifidobacteria di dalam usus dikatakan memiliki faktor bifidogenik. Oligosakarida, seperti fruktooligosakarida, laktulosa, rafinosa, stakiosa, dan oligomer inulin, biasanya disebut sebagai prebiotik atau faktor bifidogenik (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Vrese dan Offick (2010) juga menyebutkan bahwa inulin, oligofruktosa, atau oligosakarida yang dikombinasikan dengan bakteri probiotik dapat meningkatkan Bifidobacteria dan Lactobacilli atau menghambat strain bakteri patogen pada manusia dan hewan.

Menurut Franck (2008), inulin, oligofruktosa/fruktooligosakarida, dan galaktooligosakarida telah dievaluasi oleh pihak-pihak kesehatan yang berwenang di berbagai negara dan telah dinyatakan aman. Efek samping dari prebiotik tersebut hanya menyebabkan kembung, flatulensi, dan feses yang lembut. Namun, dalam prakteknya, tingkat penggunaan prebiotik (umumnya 2-4 g/saji) jauh di bawah jumlah yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan saluran pencernaan. Menurut Pascal (2008), dalam pernyataan yang disampaikan oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2000,


(24)

FOS dinyatakan GRAS untuk digunakan pada tingkat yang berbeda (antara 0.1% dan 5%). Menurut Ramchandran dan Shah (2008) diacu dalam Michael (2010), suplementasi FOS sebanyak 2-5% memberikan manfaat nutrisional dan fungsional pada yogurt.

Fruktooligosakarida (FOS) merupakan oligosakarida dengan berat molekul yang rendah yang memiliki efek terhadap Bifidobacteria usus (bifidogenik) (Nadal et al. 2010) dan merupakan prebiotik yang penting. FOS ini juga memiliki sifat larut dalam air, tidak dicerna di dalam usus halus, tidak bersifat viscous, tidak mengikat asam empedu, dan sangat mudah difermentasi (Schneeman 1999). FOS memiliki nilai DP (derajat polimerisasi) lebih rendah daripada inulin, yaitu berkisar antara 2-8 (Franck dan Leenheer 2005). FOS berantai pendek secara alami terdapat di dalam bawang, bawang putih, Jerusalem artichoke, asparagus, gandum, dan gandum hitam.

Fruktooligosakarida memiliki efek bifidogenik. Menurut Nadal et al. (2010), 5% fruktooligosakarida merupakan promoter pertumbuhan yang terbaik terhadap Bifidobacteria.

Nadal et al. (2010) juga menyebutkan bahwa dalam studi in vitro, dilaporkan bahwa 3% fruktooligosakarida juga memperbaiki ketahanan probiotik selama melalui saluran pencernaan.

FOS sudah diaplikasikan di beberapa produk-produk pangan yang umum, seperti yogurt, susu fermentasi, keju, minuman yang mengandung susu, desserts, dan meal replacer (Franck 2008). Hal ini disebabkan oleh kemampuannya dalam memperbaiki mouthfeel dan memberikan efek rasa yang sinergis dalam kombinasinya dengan pemanis lainnya.

Menurut Franck (2008), fruktooligosakarida (FOS) dapat dihidrolisis secara parsial dalam kondisi yang sangat asam, namun dapat berkontribusi terhadap tekstur dan mouthfeel, menunjukkan kemampuannya sebagai humektan, mengurangi aktivitas air untuk menjamin stabilitas mikrobiologi yang tinggi, berpengaruh terhadap titik didih dan titik beku, serta memiliki energi yang moderat. Menurut Nadal et al. (2010), pangan sinbiotik yang mengandung L. fermentum dan fruktooligosakarida diselidiki dapat mengurangi mukositis (peradangan usus) pada tikus percobaan. Dengan demikian, FOS ini merupakan ingridien yang baik sebagai pengganti gula yang juga dapat mengurangi kandungan kalori dari produk akhir dan bersifat sebagai prebiotik.

2.2

DIARE

Diare merupakan salah satu penyakit menular yang penting di Indonesia karena diare berpotensi menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), selain demam berdarah dengue dan chikungunya (Depkes RI 2008). Menurut Depkes RI (2008), diare dan gastroenteritis akibat infeksi tertentu (kolitis infeksi) merupakan penyebab kematian terbanyak ke-3 pada penderita rawat inap di rumah sakit pada tahun 2006 dengan persentase 3.23%, setelah stroke dan perdarahan intrakranial. Depkes RI (2008) juga menyebutkan bahwadiare dan gastroenteritis akibat infeksi tertentu (kolitis infeksi) merupakan penyakit terbanyak pada pasien rawat inap, dengan persentase 7.95%. Sementara itu, menurut Depkes (2009), pada tahun 2008, dilaporkan terjadi KLB diare di 15 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 8,443 orang dan jumlah kematian sebanyak 209 orang.

Depkes RI (2009) menyebutkan bahwa diare dapat didefinisikan sebagai perubahan konsistensi feses dan frekuensi buang air besar. Dikatakan diare bila feses lebih berair dari biasanya. Selain itu, diare dapat juga didefinisikan bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar yang berair, tetapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam. Jumlah cairan yang banyak dalam feses (kotoran) disebabkan oleh gangguan dari usus halus dan usus besar dalam proses penyerapan elektrolit, sari-sari makanan, dan cairan. Gejala penyakit diare biasanya muncul dalam 2-3 hari setelah terinfeksi dan berakhir sampai beberapa minggu. Akibat dari diare ini adalah terjadinya


(25)

dehidrasi (kehilangan cairan dan garam-garaman, terutama natrium dan kalium) yang cepat, terutama pada anak-anak dan dapat menyebabkan kematian jika tidak diberikan pengobatan.

Salah satu penyebab diare adalah infeksi bakteri ke dalam usus, seperti infeksi oleh bakteri

enteropathogenicEscherichia coli (EPEC). Bakteri ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang dikonsumsi. Setelah masuk ke dalam tubuh (saluran pencernaan), bakteri ini dapat tumbuh, berkembang biak, dan menimbulkan penyakit seperti diare. Bakteri tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel-sel usus sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan penyerapan oleh usus dan dapat menurunkan kekebalan tubuh. Dengan demikian, diare akibat infeksi EPEC mengindikasikan bahwa terdapat ketidakseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan karena dalam keadaan normal, jumlah mikroflora yang menguntungkan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah bakteri patogen.

2.2.1

Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)

EPEC tidak sama dengan bakteri Escherichia coli normal yang terdapat di dalam usus besar. EPEC menyebabkan penyakit dengan cara berikatan dengan permukaan sel-sel inangnya dan secara langsung menginjeksi faktor virulens ke dalam sel tersebut (Vallance dan Finlay 2000). Menurut Janda dan Abbott (2006), dosis infeksi EPEC adalah berkisar antara 106-1010 cfu/ml, dengan waktu inkubasi berkisar antara 9-19 jam, dan durasi dari terjadinya diare rata-rata adalah selama lima hari. Gejala-gejala yang umum timbul akibat infeksi EPEC adalah diare, sakit perut, dan demam yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi (Janda dan Abbott 2006).

Mekanisme EPEC dalam menyebabkan infeksi adalah dengan melakukan penempelan pada sel-sel epitelial tubuh. EPEC menempel dengan pola localized adherence (LA) di mana EPEC dalam bentuk mikrokoloni menempel dengan kuat pada lokasi-lokasi tertentu dari permukaan sel epitelial dan menyebabkan kerusakan pada mikrovili usus (Janda dan Abbott 2006). EPEC juga dapat memproduksi sitotoksin berupa CDLT (cytolethal distending toxin) yang bersifat letal untuk mempengaruhi sel, di mana sel tersebut akan menjadi memanjang secara abnormal dibandingkan dengan sel normal sebelum kematian sel, sehingga pada akhirnya dapat menginduksi kerusakan jaringan (Janda dan Abbott 2006).

Selain dapat menyebabkan diare, infeksi EPEC juga dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus, dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Apabila mikroorganisme asing masuk ke dalam tubuh, terdapat dua pertahanan utama yang berperan, yaitu efek perusakan oleh bahan-bahan kimiawi yang larut (seperti enzim bakterisidal) dan mekanisme fagositosis (Roitt 2002). Di dalam jaringan, fagositosis dilakukan oleh makrofag.

Dalam peristiwa fagositosis, akan terjadi penghancuran benda asing (EPEC), di mana makrofag akan mengeluarkan radikal-radikal bebas. Menurut Roitt (2002), ketika fagositosis dimulai, terjadi peningkatan yang mencolok dari kegiatan hexose monophosphate shunt yang membangun NADPH. Kemudian elektron-elektron keluar dari NADPH menuju ke flavoprotein membran yang mengandung FAD dan selanjutnya menuju ke suatu sitokrom membran plasma yang khas, yang berikutnya memungkinkan elektron untuk mengurangi oksigen molekuler langsung menjadi anion superoksida.

Dalam penghancuran benda asing (EPEC) tersebut, terjadi pengeluaran radikal bebas dan menyebabkan terjadinya peradangan (inflamasi) pada sel-sel tubuh di sekitarnya. Gejala yang tampak pada systemic inflammatory syndrome diduga disebabkan oleh disregulasi fagosit PMN (polimorfonuklear) yang menghasilkan radikal superoksida dan mieloperoksida yang berlebihan


(26)

(Kresno 2001). Jika tubuh tidak dapat mengatasi hal ini, akan terjadi stres oksidatif yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

Oleh karena itu, untuk menetralkan banyaknya radikal bebas yang dihasilkan tersebut, diperlukan enzim superoksida dismutase (di jaringan), glutation peroksidase (di mitokondria), dan katalase (di peroksisom). Jadi, jika benda asing (EPEC) yang masuk atau terinfeksi ke dalam tubuh berada dalam jumlah yang banyak, enzim penetral radikal yang diperlukan (dikeluarkan) juga banyak.

2.2.2

Keseimbangan Mikroflora Saluran Pencernaan

Mikroflora saluran pencernaan yang seimbang dan “baik” adalah prasyarat untuk hidup sehat, terutama untuk kebaikan saluran pencernaan, perkembangan sistem imun, serta pencegahan dari infeksi patogen dan diare (Vrese dan Offick 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa flora intestinal yang seimbang dapat menyediakan suatu keteraturan yang semakin membaik, menstimulasi sistem imun, memproduksi enzim pencernaan, dan membantu mengontrol pembentukan radikal bebas (Dutcosky et al. 2006). Namun, tidak ada suatu kesepakatan yang menjelaskan bagaimana mikrobiota yang “ideal” itu, tetapi ada suatu kesamaan pemikiran bahwa mikrobiota yang “ideal” itu umumnya bersifat saccharolytic dan dapat menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek, serta terdiri atas Lactobacilli dan Bifidobacteria dalam jumlah banyak dibandingkan dengan bakteri yang berpotensi berbahaya (Vrese dan Offick 2010).

Bakteri usus diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu berbahaya, menguntungkan, dan netral yang berhubungan dengan kesehatan manusia (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Bakteri-bakteri yang menguntungkan tersebut antara lain Bifidobacterium dan Lactobacillus. Bakteri-bakteri yang berbahaya antara lain Escherichia coli, Clostridium, Proteus, dan Bacteroides. Bakteri-bakteri tersebut memproduksi berbagai senyawa berbahaya, seperti amina, indol, hidrogen sulfida, atau fenol, dari komponen pangan dan menyebabkan masalah usus tertentu (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001).

Menurut Lourens-Hattingh dan Viljoen (2001), flora pada orang dewasa relatif stabil, tetapi semakin bertambah usia, flora usus berubah kembali. Bifidobacteria akan menurun, bahkan bakteri tertentu yang berbahaya dapat meningkat.

Komposisi yang kompleks dari flora usus relatif stabil pada manusia yang sehat (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Beberapa gangguan yang mempengaruhi keseimbangan mikroflora usus ini, pada akhirnya menyebabkan dominasi dari mikroorganisme yang tidak diharapkan dalam usus dan kemudian menyebabkan pula penyakit-penyakit infeksi (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Oleh karena itu, menjaga keseimbangan saluran pencernaan merupakan hal yang penting. Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan adalah dengan mengonsumsi produk probiotik dan prebiotik secara teratur.

2.3

ENZIM SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) SEBAGAI

ANTIOKSIDAN

Enzim superoksida dismutase (SOD) merupakan salah satu enzim antioksidan yang tergolong antioksidan endogenus, selain katalase, glutation peroksidase (GSH-Px), serta glutation reduktase (GSH-R) (Winarsi 2007). Enzim antioksidan bekerja dengan melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas oksigen seperti anion superoksida (O2y

-), radikal hidroksil (OHy), dan hidrogen peroksida (H2O2). SOD bekerja mengkatalisis dismutasi dari superoksida dan mencegah peroksidasi lipid dari membran plasma, katalase mengkonversi hidrogen


(27)

peroksida menjadi H2O dan O2, glutation peroksidase mentransfer elektron dari GSH untuk mereduksi peroksida menjadi air, sedangkan glutation reduktase menstimulasi reduksi dari glutation disulfida (GSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH) (Agarwal 2005).

Akumulasi berlebih dari radikal bebas dapat diminimalisir dengan antioksidan enzimatis (Son et al. 2009). Superoksida dismutase (SOD) merupakan enzim antioksidan yang terdapat di dalam sel. SOD melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang disebabkan oleh radikal bebas (Winarsi 2007). SOD ini adalah penangkal utama radikal superoksida (O2y

-) yang merupakan hasil reduksi satu elektron oksigen dan dapat terjadi pada hampir semua sel aerobik yang melakukan reaksi transfer elektron.

SOD memiliki peranan yang sangat penting pada garis depan sistem pertahanan antioksidan. SOD menunjukkan fungsi kritikal dalam pertahanan seluler terhadap reactive oxygen species (ROS) dengan mengkatalisis dismutasi anion superoksida (O2y

-) yang sangat reaktif menjadi oksigen (O2-) dan hidrogen peroksida (H2O2) yang tidak terlalu reaktif (Doucette 2004). Enzim ini menghambat kehadiran simultan dari O2y

dan H2O2 yang berasal dari pembentukan radikal hidroksi (OHy). Gambar 1 menunjukkan bahwa SOD mengkatalisis radikal superoksida menjadi oksigen dan hidrogen peroksida.

Gambar 1. Kerja Cu, Zn-SOD dalam pertahanan seluler (University of South Carolina 2006)

Terdapat tiga jenis SOD berdasarkan ion logam yang terikat pada sisi aktifnya (Taniguchi 1992, Ji dan Hollander 2000), yaitu:

1. Cu, Zn-SOD (Copper, Zinc-Superoxide Dismutase) - Merupakan enzim yang sangat stabil.

- Terdapat di dalam sitosol (sitoplasma) dan inti sel dari sel-sel eukariot, seperti kamir, tanaman, dan hewan.

- Merupakan dimer dengan berat molekul 32,000.

- Tersusun atas dua subunit identik yang dihubungkan oleh dua ikatan kovalen yang masing-masing mengandung satu ion Cu2+ dan satu ion Zn2+.

2. Mn-SOD (Manganese-SOD)

- Merupakan tetramer dengan berat molekul 88,000. - Terdapat di dalam matriks mitokondria sel eukariot. - Tidak sestabil Cu, Zn-SOD.

3. Fe-SOD (Feri-SOD) - Terdapat pada bakteri.

- Tersusun atas dua subunit protein yang mengandung satu atau dua ion Fe per molekul enzim (Fe yang terikat pada Fe-SOD adalah Fe3+).

4. EC-SOD (Extracellular SOD)

- Terdapat di dalam plasma (cairan ekstraseluler) pada hewan mamalia dan paru-paru. - Merupakan tetramer dengan berat molekul 135,000


(28)

Aktivitas enzim SOD memiliki peran penting dalam sistem pertahanan tubuh terhadap pengaruh buruk beberapa metabolisme oksigen, terutama terhadap aktivitas senyawa oksigen reaktif yang dapat menyebabkan stres oksidatif. SOD ditemukan pada semua organisme (hewan dan tumbuhan) yang menggunakan oksigen dan akan menyusun mekanisme pertahanan melawan keracunan yang disebabkan oleh oksigen. Di antara keempat jenis SOD tersebut, Cu, Zn-SOD inilah yang paling berperan sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap pengaruh buruk beberapa metabolisme oksigen. SOD dapat menghilangkan superoksida yang dihasilkan oleh NADPH-oksidase dalam neutrofil (Baker et al. 1996 diacu dalam Sikka 2004). Menurut Halliwell dan Gutteridge (1999), Cu, Zn-SOD memiliki efek anti-inflamatori pada hewan percobaan yang mengalami inflamasi akut, dengan cara menurunkan jumlah neutrofil yang memasuki bagian yang mengalami inflamasi.

Cu, Zn-SOD disebut juga SOD1 (Winarsi 2007). Dalam Cu, Zn-SOD ini, ion Cu2+ penting untuk berfungsinya katalitik enzim (reaksi dismutasi) dengan mengalami oksidasi dan reduksi, sedangkan ion Zn2+ tidak berperan dalam siklus katalitik, tetapi penting untuk membantu kestabilan enzim (Halliwell dan Gutteridge 1999). Berikut adalah reaksi oksidasi dan reduksi yang dialami oleh ion Cu2+ dari SOD.

Enzim-Cu2+ + O2y-→ enzim-Cu+ + O2 Enzim-Cu+ + O2y- + 2H+→ enzim-Cu2+ + H2O2 Reaksi bersih: O2y- + O2y

+ 2H+→ H2O2 + O2

Penyakit infeksi (terutama infeksi karena virus, bakteri, maupun parasit) dapat menyebabkan stres oksidatif yang membahayakan (Winarsi 2007). Stres oksidatif merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan peningkatan kerusakan sel yang diinduksi oleh oksigen dan oksidan derivat oksigen yang secara umum dikenal sebagai reactive oxygen species (ROS) (Sikka et al. 1995).

Reactive oxygen species (ROS) merupakan agen pengoksidasi yang sangat reaktif yang termasuk dalam kelompok radikal bebas (Sikka et al. 1995). Reactive oxygen species (ROS) terdiri atas radikal oksigen (O2y- dan OHy) dan derivat oksigen yang nonradikal (H2O2, HOCl, serta agen pengoksidasi dan pengklorinasi yang diproduksi oleh fagosit yang teraktivasi) (Halliwell dan Gutteridge 1999).

ROS dapat menyebabkan kerusakan berbagai target secara in vivo, termasuk lipid, protein, dan DNA. Toksisitas oksigen tersebut disebabkan oleh produksi yang berlebihan dari superoksida (O2y-) (Halliwell dan Gutteridge 1999). Beberapa O2y

diproduksi dengan sengaja secara in vivo, misalnya oleh sel-sel fagosit yang teraktivasi, seperti neutrofil, monosit, makrofag, dan eusinofil (Halliwell dan Gutteridge 1999).

Fagosit yang teraktivasi menghasilkan superoksida sebagai bagian dari perannya sebagai agen bakterisidal (Cheeseman dan Slater 1993). Senyawa radikal bebas dibentuk oleh sel neutrofil dan makrofag ketika tubuh terinvasi oleh mikroorganisme (Ernst 1999). Aktivasi makrofag dan neutrofil merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme. Dalam hal ini, enzim oksidase dan oksigenase akan membentuk berbagai senyawa radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif, termasuk asam hipoklorit (HOCl), yang akan menyerang dan menghancurkan virus atau bakteri (Winarsi 2007). Walaupun radikal bebas hanya diproduksi pada bagian di antara membran plasma fagosit dan bakteri, beberapa kebocoran dari superoksida, hidrogen peroksida, dan ROS lainnya tidak dapat dihindari (Cheeseman dan Slater 1993). Oleh karena itu, terbentuknya senyawa radikal tersebut juga berpotensi menyerang sel tubuh. Jika hal ini tidak


(29)

terkontrol secara benar oleh sistem pertahanan tubuh, akan memicu munculnya berbagai penyakit kronis (Winarsi 2007).

Pada organisme aerobik yang sehat, produksi ROS seimbang dengan sistem pertahanan antioksidan (Halliwell dan Gutteridge 1999). Peningkatan produksi ROS (stres oksidatif) dapat menghambat aksi dari enzim-enzim antioksidan (SOD, katalase, GSH peroksidase dan reduktase, serta GSH) (Sikka et al. 1995). Ketidakseimbangan antara produksi ROS dan pertahanan antioksidan disebut dengan stres oksidatif (Halliwell dan Gutteridge 1999). Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan sel. Radikal bebas yang terbentuk di dalam sel dapat mengoksidasi biomolekul dan menyebabkan kematian sel serta kerusakan jaringan (Cheeseman dan Slater 1993). Pada kebanyakan penyakit manusia, ROS diproduksi dalam jumlah yang lebih besar sebagai akibat dari kerusakan jaringan (Halliwell dan Gutteridge 1999).

Senyawa radikal bebas sangat aktif menyerang molekul penting yang berada di sekelilingnya. Menurut Sikka (2004), kerusakan oksidatif dapat terus terjadi apabila ketidakseimbangan antara radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan terus berlanjut. Adanya ketidakseimbangan antara radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan mengakibatkan status pertahanan antioksidan intrasel tidak mampu atau tidak mencukupi untuk menangkal reaktivitas dan berlebihnya pembentukan radikal bebas, sehingga menurunkan sistem pertahanan enzim SOD intrasel. Penurunan kemampuan antioksidan SOD intrasel menyebabkan berkurangnya eliminasi senyawa ROS (radical oxygen species) yang bertanggung jawab terhadap kerusakan sel DNA dan terbentuknya proses peroksidasi lipid. Kekacauan sistem pertahanan antioksidan tersebut selanjutnya menyebabkan peroksidasi membran fosfolipid oleh radikal bebas. Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan fluiditas dan integritas membran oleh akumulasi peroksidasi lipid.

Sanocka dan Kurpisz (2004) menyebutkan bahwa karena radikal bebas dapat bereaksi dengan komponen-komponen membran, terjadinya kerusakan diduga tidak hanya berlangsung pada membran plasma saja, tetapi juga pada bagian internal sel. Akibat peningkatan peroksidasi lipid tersebut, metabolisme sel tidak dapat berlangsung dengan sempurna. Dengan demikian, tubuh membutuhkan agen antioksidatif lain yang dapat membantu enzim SOD untuk menangkal radikal bebas tersebut.

Pengukuran aktivitas (profil) enzim antioksidan merupakan salah satu cara untuk mengetahui seberapa tinggi kandungan radikal bebas di dalam tubuh. Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ tikus. Aktivitas SOD tertinggi terdapat dalam hati, kemudian dalam kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, usus, ovarium, dan timus (Halliwell dan Gutteridge 1999).

2.3.1

Hati

Hati adalah organ solid yang terbesar di dalam tubuh dan terdapat pada bagian kuadran kanan atas abdomen, di bawah diafragma (Langen dan Madsen 2010). Berat hati manusia berada pada jangkauan yang mendekati 1,300 gram pada wanita hingga 1,800 gram pada pria dan merupakan 1.8-3.1% bagian dari total berat badan (Langen dan Madsen 2010). Hati terbagi menjadi lobus kiri dan kanan, yang masing-masing tersusun lagi oleh unit-unit yang lebih kecil yaitu lobulus. Lobulus terdiri atas sel-sel hati (hepatosit) yang berperan sebagai unit fungsional hati (Corwin 2007).

Hati menerima suplai darah dari beberapa sumber yang berbeda (Corwin 2007). Sebagian besar aliran darah hati, melalui vena porta (sekitar 1,000 ml/menit), berasal dari lambung, usus halus, usus besar, pankreas, dan limpa. Darah tersebut kurang mengandung oksigen, tetapi mengandung zat-zat gizi dan mungkin juga mengandung bakteri usus, racun, serta obat yang dicerna. Sumber darah hati yang lain adalah arteri hepatika yang mengalirkan darah sekitar 500 ml/menit dan mengandung oksigen yang tinggi.


(30)

Hati merupakan bagian tubuh utama yang berperan dalam proses detoksifikasi metabolit-metabolit toksik (Banudevi et al. 2006). Hati seringkali menjadi terganggu oleh toksin-toksin dari lingkungan, kebiasaan makan yang kurang baik, dan penggunaan obat-obatan yang berlebihan. Akibatnya, hati menjadi rusak dan lemah serta pada akhirnya menyebabkan hepatitis, sirosis, dan penyakit hati lainnya (Hassan dan Yousef 2010).

Sel-sel hati bekerja secara endokrin maupun eksokrin. Kerja hati sebagai kelenjar eksokrin adalah meneruskan empedu ke dalam duodenum dan mengeluarkan produk sisa dari perombakan sel darah merah (biliverdin dan bilirubin), serta mengemulsikan lemak sehingga dapat membantu mengabsorpsi lemak dari usus kecil. Hati merupakan pusat detoksifikasi zat beracun dalam tubuh. Hati menjalankan fungsi detoksifikasi dengan mengolah bahan berbahaya menjadi tidak berbahaya yang selanjutnya akan dibuang oleh ginjal (Cahyono 2009). Kemampuan untuk mendetoksifikasi atau menghilangkan zat-zat racun dari tubuh dikontrol oleh enzim yang terutama berlokasi di dalam hati (Muchtadi 1993), yang salah satunya adalah enzim superoksida dismutase. Kerja endokrin hati sebagai kelenjar endokrin adalah terlibat dalam sekresi faktor pertumbuhan (Corwin 2007).

Hati memiliki beberapa peranan, seperti menghilangkan dan mengeksresikan racun, bahan-bahan yang tidak berguna bagi tubuh, dan hormon; menghasilkan bilirubin; menyimpan vitamin, mineral, dan gula; memproses nutrien yang diserap oleh saluran pencernaan; memproduksi faktor imun; dan menghilangkan bakteri (Langen dan Madsen 2010). Hati memiliki bagian yang bernama sel Kupffer. Fungsi utama dari sel Kupffer adalah melakukan fagositosis terhadap partikel-partikel asing, membuang endotoksin atau bahan-bahan toksik lainnya, dan memodulasi respon imun dengan adanya mediator (Langen dan Madsen 2010).

Mikroflora usus menghasilkan banyak komponen (seperti amonia, etanol, asetaldehida, fenol, dan benzodiazepines) yang mempengaruhi dan dimetabolisme oleh hati (Langen dan Madsen 2010). Selain itu, struktur sel mikroba (lipopolisakarida, DNA, dan lipoteichoic acid) dan faktor-faktor bioaktif yang disekresikan juga dapat mempengaruhi fisiologi dan sistem imun.

Fungsi hati dapat terganggu apabila terdapat faktor-faktor yang mengganggu kerja hati, seperti infeksi (virus hepatitis dan bakteri), tumor, tumpukan lemak yang berlebihan, cedera hati pada kasus kecelakaan, dan sebagainya (Cahyono 2009). Adanya gangguan saluran pencernaan dalam mempertahankan mikroba usus di dalam lumen juga berperan penting dalam patogenesis penyebab berbagai penyakit hati (Langen dan Madsen 2010). Sirosis adalah salah satu penyakit hati. Berbagai studi telah melaporkan bahwa pasien yang menderita sirosis hati memiliki berbagai tingkat ketidakseimbangan dari flora usus. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan bacterial overgrowth

yang kemudian menimbulkan masalah infeksi bakteri (Langen dan Madsen 2010). Oleh karena itu, mengubah mikroflora saluran pencernaan dengan organisme probiotik yang bersifat non-invasif dan dapat meningkatkan imunitas merupakan usulan yang baik sebagai salah satu terapi untuk mereduksi tingkat translokasi dari bakteri dan mencegah terjadinya penyakit hati.

2.3.2

Ginjal

Ginjal merupakan organ yang penting untuk mempertahankan keseimbangan air, garam, dan elektrolit. Ginjal terdiri atas bagian korteks di sebelah luar yang mengandung semua kapiler glomerulus dan sebagian segmen tubulus pendek, serta bagian medula di sebelah dalam tempat sebagian besar segmen tubulus berada (Corwin 2007).

Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi sebagai pengatur komposisi kimia darah dengan mengekskresikan padatan dan air secara selektif. Ginjal terlibat dalam eliminasi dari substansi-substansi toksik (Banudevi et al. 2006). Fungsi utama ginjal adalah mengekskresikan atau


(31)

mensekresikan zat sisa metabolisme dan zat-zat lain yang berbahaya terhadap tubuh, sambil mempertahankan konstituen darah yang masih berguna (Davey 2006). Fungsi vital ginjal dilakukan dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus, yang kemudian diikuti dengan reabsorpsi sejumlah cairan dan air yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal (Sabiston 1992). Ginjal berperan untuk mempertahankan cairan tubuh pada jumlah yang konstan (Bacha dan Bacha 2000). Dengan demikian, ginjal merupakan organ yang sangat penting sebagai alat saring, alat serap kembali, serta sebagai organ endokrin dan eksokrin.

Ginjal dapat mengalami infeksi akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Sebagian besar infeksi saluran kemih, termasuk ginjal, disebabkan oleh bakteri seperti Escherichia coli (Corwin 2007). Area yang paling sering terkena infeksi adalah bagian tubulus (Corwin 2007).

2.3.3

Pengukuran Enzim Superoksida Dismutase (SOD)

Salah satu cara untuk mengetahui keberadaan (kandungan) enzim SOD dalam jaringan adalah melalui pewarnaan imunohistokimia. Pewarnaan imunohistokimia bertujuan untuk melihat komponen aktif, seperti enzim dan hormon, yang terdapat di dalam sel atau jaringan. Prinsip dari teknik pewarnaan imunohistokimia adalah ikatan kunci dan gembok antara antigen (enzim Cu, Zn-SOD) dan antibodi (antibodi monoklonal Cu, Zn-Zn-SOD). Gambar 2 berikut menunjukkan gambaran prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia.

Gambar 2. Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia

SOD yang terdapat dalam jaringan (hati/ginjal) dikenal sebagai antigen oleh antibodi primer (antibodi monoklonal SOD). Kemudian, antibodi primer akan berikatan dengan antibodi sekunder (anti-antibodi primer) yang dikonjugasikan dengan peroksidase (Dako Envision Peroxidase System

atau DEPS). Peroksidase ini berfungsi untuk mengkatalisis reaksi antara kromogen (diamino bezidine

atau DAB) dan hidrogen peroksida (H2O2) sehingga dapat terbentuk endapan warna coklat sebagai visualisasi adanya SOD. Dengan demikian, pembentukan warna coklat menunjukkan adanya ikatan antara antibodi dengan antigen (SOD). Warna coklat juga menunjukkan keberadaan SOD. Semakin tua intensitas warna coklatnya, maka semakin banyak kandungan SOD-nya. Berikut adalah reaksi yang terjadi dalam pembentukan endapan warna coklat.


(32)

III.

METODE PENELITIAN

Secara keseluruhan, diagram alir penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.

Pengaturan waktu pencekokan selama 1-21 hari

Data efek antidiare dan antioksidatif yogurt sinbiotik

Analisis:

1. Pengamatan feses (penampakan dan kadar air feses), pengamatan anus, dan penimbangan berat badan

2. Kandungan superoksida dismutase (SOD) jaringan hati dan ginjal

II. Pengujian Sifat Antidiare dan Antioksidatif

Pengujian antidiare dan antioksidatif yogurt sinbiotik secara in vivo

dengan membentuk kelompok tikus percobaan: 1. Kontrol negatif

2. Yogurt sinbiotik

3. Yogurt sinbiotik + EPEC 4. Kontrol positif

5. Yogurt standar

Formula yogurt

Pengujian aktivitas antibakteri, pengamatan tekstur, dan pengukuran pH dari yogurt

Pembuatan yogurt dengan formula:

1) Formula 1: L. bulgaricus + S. thermophilus

2) Formula 2: L. bulgaricus + S. thermophilus + L. plantarum 2C12 3) Formula 3: L. bulgaricus + S. thermophilus + L. fermentum 2B4 4) Formula 4: L. bulgaricus + S. thermophilus + L. plantarum 2C12 +

L. fermentum 2B4

I. Pengujian antibakteri formula yogurt

Gambar 3. Diagram alir penelitian


(33)

3.1

BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan dan alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut.

3.1.1

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan dan pengujian formula yogurt antara lain: kultur Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus, serta bakteri asam laktat lokal (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4), kultur enteropathogenic Escherichia coli K1.1 (EPEC K1.1), media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB), media de Man

Rogosa Sharpe Agar (MRSA), media Nutrient Broth (NB), media Eosin Methylene Blue Agar

(EMBA), KH2PO4, akuades, NaOH 1N, glukosa, bacto agar (Difco), CaCO3, susu skim, gula pasir, fruktooligosakarida (FOS), alkohol 70%, dan spiritus.

Tikus percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih dengan strain

Sprague Dawley yang berjenis kelamin jantan dengan berat berkisar antara 80-100 g. Tikus

percobaan ini berasal dari Pusat Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB). Tikus percobaan yang digunakan untuk penelitian ini berjumlah 70 ekor.

Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian sifat antidiare dan antioksidatif dari yogurt sinbiotik antara lain: ransum tikus percobaan (kasein, minyak jagung, carboxymethylcellulose, mineral

mix, vitamin mix, maizena, dan air), organ hati dan ginjal dari tikus percobaan, larutan Bouin (asam pikrat jenuh, formalin 37-40%, dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15 : 5 : 1), alkohol 70, 80, 90, 95, dan 100% (absolut), xylol, parafin, akuades, kristal NaCl, larutan NaCl fisiologis 0.9%,

toluene, neophren, air kran, akuades, Na2HPO4.12H2O, NaH2PO4.2H2O, Phosphate Buffered Saline

(PBS), aquabidest, metanol, H2O2, normal serum, antibodi primer Cu, Zn-SOD, antibodi sekunder

Dako Envision Peroxidase System, larutan kromogen diamino benzidine (DAB), hematoksilin, dan entellan.

3.1.2

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain: alat-alat gelas, pengaduk, mikropipet, vorteks, kapas, aluminium foil, plastik tahan panas, plastik klep, wadah penampung (panci, baskom), termometer, kompor, neraca analitik, pH-meter, autoklaf, oven, inkubator, refrigerator, desikator, sonde, alat suntik (syringe), sarung tangan, masker, alat bedah (gunting, pinset, tang penjepit), botol

jar, benang kasur, silet, tisu, tissue cassette/basket, mesin embedding, pagoda, blok kayu, pisau mikrotom, mikrotom putar (rotary microtome), waterbath, sonicator, stirrer, timer, gelas objek, cover glass, wadah inkubasi, tabung eppendorf, mikroskop, dan kamera digital.

3.2

METODE

Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu tahap 1, penentuan formula yogurt sinbiotik terbaik, dan tahap 2, pengujian sifat antidiare dan antioksidatif dari yogurt sinbiotik formula terbaik secara in vivo. Penentuan formula yogurt sinbiotik terbaik terdiri atas tahap pembuatan formula yogurt sinbiotik, pembiakan kultur enteropathogenic Escherichia coli (EPEC), pengujian aktivitas antibakteri dari yogurt sinbiotik, pengamatan tekstur, dan pengukuran pH dari yogurt sinbiotik. Sementara itu,


(34)

pengujian sifat antidiare dan antioksidatif dari yogurt sinbiotik formula terbaik secara in vivo terdiri atas tahap pemberian perlakuan terhadap hewan percobaan, pengamatan penampakan feses, analisis kadar air feses, pengamatan penampakan anus, pengukuran kenaikan berat badan, serta analisis kandungan enzim superoksida dismutase (SOD) pada jaringan hati dan ginjal dari hewan percobaan.

3.2.1

Penentuan Formula Yogurt Sinbiotik Terbaik

Parameter yang digunakan untuk menentukan formula yogurt terbaik adalah aktivitas antimikroba dari setiap formula yogurt terhadap bakteri enteropathogenic Escherichia coli (EPEC), tekstur, dan pH yogurt.

3.2.1.1

Pembiakan Kultur Starter Bakteri Asam Laktat

Pembuatan yogurt sinbiotik ini diawali dengan pembiakan kultur yogurt yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus serta bakteri Lactobacillus plantarum 2C12 dan

Lactobacillus fermentum 2B4. Pertama, kultur murni disegarkan terlebih dahulu pada media de Man

Rogosa Sharpe Broth (MRSB). Kemudian, sebanyak 2% dari kultur yang disegarkan tersebut

diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10%. Setelah itu, kultur tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Kultur hasil inkubasi ini disebut dengan kultur induk.

Sebanyak 2% dari kultur induk diinokulasikan ke dalam larutan susu skim 10% yang telah mengandung glukosa murni 2% dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam dan hasilnya disebut dengan kultur kerja. Setelah itu, kultur kerja dipupukkan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar

(MRSA) untuk mengetahui populasinya. Kultur yang memenuhi syarat untuk siap dijadikan kultur starter yogurt adalah kultur dengan jumlah populasi minimum 107 cfu/g (CAC 2003).

3.2.1.2

Pemeliharaan Kultur Stok (Hidayat 2009)

Kultur stok yang telah dibuat perlu diperbaharui agar aktivitasnya tidak berkurang. Kultur stok yang disimpan terlalu lama (lebih dari satu minggu), dapat berkurang aktivitasnya karena habisnya substrat dan menumpuknya metabolit. Pemeliharaan kultur stok pada penelitian ini diawali dengan melakukan penusukan kultur pada media MRSA chalk semi solid, kemudian tusukan tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 hari. Setelah itu, kultur yang telah diinkubasi tersebut dapat disimpan di lemari pendingin sebagai kultur stok dan dapat bertahan selama beberapa bulan.

Kultur stok tersebut dapat digunakan dalam pembuatan yogurt. Kultur stok disegarkan terlebih dahulu ke dalam media MRSB dengan pengambilan kultur sebanyak satu lup untuk menumbuhkannya kembali. Lalu, kultur tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama satu hari sehingga menjadi kultur segar. Kemudian, kultur tersebut dapat disimpan di refrigerator atau diperlakukan seperti kultur segar pada tahap pembiakan kultur starter untuk membuat yogurt.

3.2.1.3

Pembuatan Formula Yogurt

Empat formula yogurt yang dibuat adalah: 1) Formula 1 (F1): L. bulgaricus + S. thermophilus


(35)

3) Formula 3 (F3): L. bulgaricus + S. thermophilus + L. fermentum 2B4

4) Formula 4 (F4): L. bulgaricus + S. thermophilus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4 Proses pembuatan yogurt diawali dengan melarutkan 5% gula pasir, 5% FOS sebagai prebiotik, dan susu skim agar total padatan yogurt menjadi 22%. Hal ini karena total padatan, (yaitu padatan susu maupun pemanis) dengan konsentrasi lebih dari 22% akan menghambat aktivitas

L. bulgaricus (Rahman et al. 1992). Setelah itu, campuran bahan dipanaskan pada suhu 85°C selama 30 menit (Rahman et al. 1992), kemudian didinginkan hingga suhu 37°C. Lalu, dilakukan penambahan starter (2%) sesuai dengan formula yang telah ditentukan, kemudian diaduk hingga merata. Selanjutnya, inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Setelah itu, untuk menjaga mutu yogurt tersebut, yogurt dapat disimpan dingin pada suhu 5-6°C. Pembuatan formula yogurt dilakukan dengan empat ulangan.

3.2.1.4

Pembiakan Kultur Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)

Kultur bakteri uji (enteropathogenic Escherichia coli atau EPEC) dalam media Nutrient Agar

(NA) berumur 24 jam diinokulasikan ke dalam media Nutrient Broth (NB) dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Kultur segar siap digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri dari yogurt sinbiotik.

Untuk mengetahui jumlah bakteri EPEC awal (1%), dilakukan pemupukan pada media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar), kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Setelah inkubasi, jumlah bakteri (koloni) EPEC awal dihitung berdasarkan metode BAM (2001).

3.2.1.5

Pengujian Aktivitas Antibakteri dari Yogurt Sinbiotik (Davidson et al.

2005)

Pengujian aktivitas antibakteri EPEC dari yogurt dilakukan dengan metode kontak yaitu dengan melihat penurunan jumlah bakteri EPEC akibat aktivitas yogurt. Metode kontak adalah sebagai berikut. Bakteri EPEC sebanyak 0.1 ml (1%) dikontakkan dengan masing-masing formula yogurt sebanyak 10 ml selama 2, 4, dan 6 jam. Penentuan lama waktu kontak tersebut didasarkan pada kurva pertumbuhan EPEC di mana waktu antara 2 hingga 6 jam merupakan waktu fase logaritma bakteri E. coli (Quigley 2008). Kurva pertumbuhan bakteri E. coli (Quigley 2008) dilampirkan pada Lampiran 2.

Setelah dikontakkan, dilakukan pemupukan pada media EMBA, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam agar dapat menghitung jumlah bakteri EPEC di akhir waktu kontak. Setelah inkubasi, jumlah bakteri (koloni) EPEC di akhir masing-masing waktu kontak dihitung berdasarkan metode BAM (2001). Kemudian, jumlah penurunan bakteri EPEC dihitung dengan mengurangi jumlah bakteri EPEC awal dengan jumlah bakteri EPEC di akhir waktu kontak.

*Jumlah penurunan EPEC = jumlah EPEC awal – jumlah EPEC di akhir waktu kontak

Keterangan: * = semua dalam satuan log cfu/ml

Jumlah EPEC awal = jumlah bakteri EPEC sebelum dikontakkan dengan yogurt


(1)

pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan SOD negatif (-)

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Jumlah_Inti_Sel

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 210292.000a 6 35048.667 1.095E3 .000

Ulangan 44.667 2 22.333 .698 .534

Kode_Sampel 35522.000 3 11840.667 370.021 .000

Error 192.000 6 32.000

Total 210484.000 12

a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)

Post Hoc Tests Kode_Sampel

Homogeneous Subsets

Jumlah_Inti_Sel Duncan

Kode_Sampel N

Subset

1 2 3 4

Yogurt sinbiotik 3 54.6667

Kontrol negatif 3 96.3333

Yogurt sinbiotik + EPEC 3 1.2833E2

Kontrol positif 3 2.0333E2

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 32.000.

93  


(2)

pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD positif kuat (+++)

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Jumlah_Inti_Sel

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 45503.867a 7 6500.552 225.975 .000

Ulangan 48.533 2 24.267 .844 .465

Kode_Sampel 3848.667 4 962.167 33.447 .000

Error 230.133 8 28.767

Total 45734.000 15

a. R Squared = .995 (Adjusted R Squared = .991)

Post Hoc Tests Kode_Sampel

Homogeneous Subsets

Jumlah_Inti_Sel Duncan

Kode_Sampel N

Subset

1 2 3

Kontrol positif 3 22.3333

Yogurt sinbiotik + EPEC 3 53.3333

Yogurt standar 3 56.3333

Kontrol negatif 3 63.3333 63.3333

Yogurt sinbiotik 3 68.0000

Sig. 1.000 .060 .318

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.


(3)

pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD positif sedang (++)

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Jumlah_Inti_Sel

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 30816.533a 7 4402.362 327.719 .000

Ulangan 32.533 2 16.267 1.211 .347

Kode_Sampel 2094.933 4 523.733 38.988 .000

Error 107.467 8 13.433

Total 30924.000 15

a. R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .993)

Post Hoc Tests Kode_Sampel

Homogeneous Subsets

Jumlah_Inti_Sel Duncan

Kode_Sampel N

Subset

1 2 3 4

Kontrol positif 3 22.3333

Yogurt sinbiotik + EPEC 3 41.0000

Kontrol negatif 3 47.0000 47.0000

Yogurt standar 3 52.6667 52.6667

Yogurt sinbiotik 3 55.6667

Sig. 1.000 .080 .095 .345

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 13.433.

95  


(4)

pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD positif lemah (+)

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Jumlah_Inti_Sel

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 12350.400a 7 1764.343 197.133 .000

Ulangan 48.400 2 24.200 2.704 .127

Kode_Sampel 875.600 4 218.900 24.458 .000

Error 71.600 8 8.950

Total 12422.000 15

a. R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .989)

Post Hoc Tests Kode_Sampel

Homogeneous Subsets

Jumlah_Inti_Sel Duncan

Kode_Sampel N

Subset

1 2

Kontrol positif 3 17.0000

Yogurt sinbiotik + EPEC 3 19.6667

Yogurt sinbiotik 3 32.6667

Kontrol negatif 3 34.0000

Yogurt standar 3 34.6667

Sig. .307 .455

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.


(5)

pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan SOD negatif (-)

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Jumlah_Inti_Sel

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 150554.200a 7 21507.743 686.052 .000

Ulangan 30.533 2 15.267 .487 .632

Kode_Sampel 17042.000 4 4260.500 135.901 .000

Error 250.800 8 31.350

Total 150805.000 15

a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)

Post Hoc Tests Kode_Sampel

Homogeneous Subsets

Jumlah_Inti_Sel Duncan

Kode_Sampel N

Subset

1 2 3 4

Yogurt sinbiotik 3 51.3333

Yogurt standar 3 75.0000

Kontrol negatif 3 94.0000

Yogurt sinbiotik + EPEC 3 98.3333

Kontrol positif 3 1.5300E2

Sig. 1.000 1.000 .371 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 31.350.

97  


(6)

SOD (positif) dan yang tidak mengandung SOD (negatif)

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00

Persentase

 

Jumlah

 

Inti

 

Sel

 

Tubuli

 

Renalis

 

Ginjal

 

Tikus

 

(%)

Kelompok Perlakuan

Positif Negatif