Pembuatan formula yogurt sinbiotik: 1.
F1: L. bulgaricus + S. thermophillus + FOS 5 2.
F2: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + FOS 5
3. Formula 3: L. bulgaricus + S. thermophillus + L.
fermentum 2B4 + FOS 5 4.
Formula 4: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4 + FOS 5
Dilakukan terminasi terhadap tikus percobaan Pengujian antibakteri penyebab diare secara in vitro
Diperoleh formula terbaik yogurt sinbiotik
Pengujian antidiare formula yogurt sinbiotik terbaik secara in vivo yang terdiri dari kelompok:
1. Kontrol negatif
2. Kontrol positif
3. Yogurt sinbiotik formula terbaik
4. Yogurt sinbiotik formula terbaik + EPEC
5. Yogurt prebiotik
Penelitian Pendahuluan
Penelitian Utama
Analisis profil histologi dan imunohistokimia IgA duodenum tikus percobaan
3.2. METODE
Metode penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama Gambar 6. Penelitian pendahuluan berupa pengujian antibakteri terhadap EPEC secara in vitro. Penelitian utama
berupa pengujian aktivitas antidiare dan imunomodulator secara in vivo pada tikus percobaan.
Gambar 6. Diagram alir penelitian
3.2.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini merupakan pengujian antibakteri terhadap EPEC secara in vitro
.
3.2.1.1. Pembiakan Kultur
Penelitian ini diawali dengan pembiakan kultur yogurt yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus termophilus serta BAL probiotik indigenus Lactobacillus plantarum 2C12 dan
Lactobacillus fermentum 2B4. Kultur murni disegarkan pada media de Man Rogosa Sharpe Broth MRSB, dengan cara memasukkan 1 ml kultur murni ke dalam 10 ml MRSB, kemudian
diinkubasikan pada suhu 37
o
C selama 24 jam. Setelah didapatkan kultur murni segar, sebanyak 2 kultur murni diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10. Kultur tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur induk. Sebanyak 2 dari kultur induk diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10 yang ditambah glukosa 2 dan
diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur kerja. Kultur kerja dipupukkan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar MRSA untuk mengetahui populasinya. Kultur yang
memenuhi syarat untuk siap dijadikan kultur starter yogurt adalah kultur dengan populasi ≥ 10
8
cfuml.
3.2.1.2. Pemeliharaan Kultur Stok
Kultur stok diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak berkurang. Kultur stok yang disimpan terlalu lama dapat mengakibatkan berkurangnya aktivitas bakteri karena habisnya substrat
dan penumpukan metabolit. Pemeliharaan kultur stok menggunakan metode Hariyadi et al. 2001, yaitu dengan metode tusukan pada chalk semi solid. Kultur ditusukan ke media chalk semi solid,
kemudian diinkubasikan pada suhu 43
o
-45
o
C selama 24 jam. Setelah diinkubasi kultur disimpan dalam refrigerator. Pada saat akan digunakan kembali, kultur diambil sebanyak 1 loop dari media
chalk semi solid kemudian diinokulasikan ke dalam MRSB dan diinkubasi pada suhu 43
o
-45
o
C selama 24 jam.
3.2.1.3. Pembuatan Yogurt Sinbiotik
BAL indigenus yang diperoleh dari isolasi bakteri pada daging sapi pasar tradisional Bogor yaitu Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, selanjutnya diaplikasikan pada
pembuatan yogurt sinbiotik mengandung probiotik dan prebiotik. Jenis prebiotik yang ditambahkan dalam masing-masing formula yogurt adalah FOS 5.
Keempat jenis formula yogurt sinbiotik yang akan dibuat adalah: 1.
L. bulgaricus + S. thermophillus 2.
L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 3.
L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 4.
L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4. Pembuatan yogurt sinbiotik ini diawali dengan pencampuran antara 12 susu skim bubuk, 5
FOS dan 5 sukrosa, dan sisanya air. Kemudian larutan tersebut dipasteurisasi pada suhu 85
o
C selama 30 menit. Setelah itu ditunggu hingga suhu mencapai 45
o
C, kemudian 3 kultur kerja campuran 1:1 diinokulasikan ke dalam larutan tersebut. Larutan yang telah berisi kultur kerja
dimasukkan ke dalam cup-cup yang telah disterilisasi. Kemudian diinkubasikan pada suhu 37
o
C selama 24 jam. Setelah inkubasi selama 24 jam, yogurt dalam cup-cup tersebut dimasukkan ke dalam
refrigerator pada suhu 10
o
C selama 2-3 jam untuk menghambat laju fermentasi.
3.2.1.4. Uji Antibakteri Penyebab Diare Yogurt Sinbiotik in vitro
Setelah didapatkan empat formula dari yogurt sinbiotik, kemudian dilakukan uji penghambatan terhadap bakteri penyebab diare melalui uji kontak. Uji kontak adalah metode untuk mengevaluasi
daya antimikroba suatu zat dengan cara membandingkan jumlah bakteri uji, sebelum dan sesudah mengalami kontak dengan zat tersebut Fardiaz 1989.
Tahap awal uji kontak adalah mempersiapkan kultur bakteri uji, yaitu bakteri Enterophatogenic Escherichia coli K1.1 EPEC K1.1 umur 24 jam. Kemudian ke dalam yogurt dimasukkan 1 bakteri
EPEC K1.1 umur 24 jam dari media Nutrient Broth NB. Jumlah ini setara dengan 10
6
sel EPEC K1.1 yaitu jumlah yang cukup untuk menyebabkan diare.
Yogurt yang telah dikontaminasi dengan EPEC K1.1, divorteks untuk menyebarkan sel-sel bakteri. Yogurt tersebut diinkubasikan selama 2, 4 dan 6 jam pada suhu 37
o
C. Setelah selesai diinkubasi, dilakukan penghitungan banyaknya sel EPEC K1.1 yang bertahan hidup melalui metode
hitungan cawan dengan media selektif Eosin Methylen Blue Agar EMBA. Selain itu, juga dilakukan penghitungan jumlah sel 1 EPEC K1.1 sebelum dilakukan kontak dengan yogurt melalui metode
hitungan cawan dan menggunakan media selektif EMBA. Selisih jumlah EPEC K1.1 sebelum dan sesudah kontak menjadi tolok ukur daya antibakteri yogurt, semakin besar selisihnya maka semakin
potensial yogurt tersebut sebagai antibakteri penyebab diare.
3.2.2. Penelitian Utama
Penelitian utama merupakan uji imunomodulator dan antidiare yogurt sinbiotik secara in vivo menggunakan tikus percobaan yang diinjeksi dengan EPEC.
3.2.2.1. Pengelolaan Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus albino Norway rats Rattus novergicus galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu berjenis kelamin jantan yang berasal dari Pusat
Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor LPPM IPB.
Kandang yang digunakan adalah kandang plastik berwarna yang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan yaitu 70 ekor. Kandang plastik
tersebut ditutup menggunakan kawat besi. Alas dalam kandang menggunakan sekam padi yang telah disterilisasi dan diganti 3 hari sekali. Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut,
dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Lantai mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24
o
C dan kelembaban udara 50-60, dengan ventilasi yang cukup namun tidak ada jendela yang terbuka Muchtadi 1993.
Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap tiga hari sekali dan pada saat akan dilakukan terminasi. Pemberian ransum standar dilakukan setiap hari sebanyak 20 gram ad libitum, yang
sebelumnya telah dilakukan masa adaptasi selama 3 hari. Air minum yang digunakan merupakan air minum dalam kemasan yang diganti setiap harinya.
3.2.2.2. Ransum
Komposisi ransum basal disusun berdasarkan AOAC 1995 dan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi campuran ransum basal Bahan-bahan
Jumlah Komposisi
Protein kasein 10 a a = 1.60 x 100 N kasein
11.87 Minyak jagung b
[8 – a x kadar lemak] 100 7.87
Campuran mineral c [5 - a x kadar abu]100
4.79 Campuran vitamin d
1 1.00
CMC carboxymethylcellulosa e [1 – a x kadar serat]100
1.00 Air f
[5 – a x kadar air]100 3.62
Maizena pati jagung 100 – a + b+ c + d + e + f
69.85
Sumber : AOAC 1995
3.2.2.3. Uji Imunomodulator dan Antidiare Yogurt Sinbiotik in vivo
Pengujian ini dilakukan sesuai petunjuk Zoumpopoulou et al.2008 hanya berbeda bakteri patogen yang digunakan. Yogurt dengan populasi BAL sebanyak 10
9
cfuml diberikan kepada tikus percobaan sebanyak 1 mlhari, sedangkan populasi EPEC diberikan dengan dosis 10
7
cfuml sebanyak 1 mlhari. Tikus dibagi menjadi enam kelompok, seperti pada Tabel 7 dan Gambar 7. Adaptasi
dilakukan selama tiga hari pertama dengan pemberian makanan ransum basal terhadap semua tikus. Setiap kelompok terdiri dari 15 ekor tikus sebagai ulangan kecuali kelompok tikus yogurt
prebiotik yang terdiri dari 5 ekor. Pembedahan tikus untuk analisis peubah yang diamati dilakukan pada hari ke-7, 14, dan 21, masing-masing sebanyak lima ekor sebagai ulangan. Selain itu terdapat
pula lima ekor tikus sebagai kelompok baseline yang akan dibedah pada hari ke-0 setelah masa adaptasi. Dengan demikian jumlah tikus yang digunakan adalah 70 ekor tikus.
Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 dilakukan melalui pencekokan. Kelompok tikus yang tidak mendapatkan perlakuan yogurt sinbiotik dan atau EPEC K1.1 dicekok menggunakan air
minum sehingga mengalami stres yang sama dengan tikus yang dicekok dengan yogurt sinbiotik dan atau EPEC K1.1.
Tabel 7. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan Kelompok
Tikus Perlakuan
A Ransum basal kontrol negatif
B Ransum basal dan yogurt sinbiotik F3 L.fermentum + FOS 5
C
Ransum basal, yogurt sinbiotik F3 dan EPEC K1.1
D Ransum basal dan EPEC K1.1 kontrol positif
E Ransum basal dan yogurt prebiotik
Keterangan : T0= terminasi awal 5 ekor
T1= terminasi hari ke-7 5 ekor tikus setiap kelompok T2= terminasi hari ke-14 5 ekor tikus setiap kelompok
T3= terminasi hari ke-21 5 ekor tikus setiap kelompok
Pemberian yogurt sinbiotik F3 dilakukan selama 3 minggu dari H0 hingga H20 pada kelompok tikus yogurt sinbiotik B dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 C. Pemberian cekok
EPEC K1.1 dilakukan selama 1 minggu yaitu pada H7 hingga H13 pada kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 C dan kelompok tikus kontrol positif D. Pemberian yogurt prebiotik
dilakukan selama 3 minggu dari H0 hingga H20 pada kelompok tikus yogurt prebiotik E.
3.2.2.4. Pengambilan dan Pengukuran Kadar Air Sampel Feses Tikus
Pengukuran kadar air feses bertujuan untuk melihat terjadinya diare pada tikus percobaan. Kadar air feses yang tinggi menjadi indikator terjadinya pada tikus percobaan. Feses tikus percobaan diambil
secara aseptik langsung dari anus tikus dan diletakkan dalam plastik steril. Pengambilan sampel feses dilakukan selama pemberian cekok EPEC K1.1 dan setelah pemberian EPEC K1.1 dihentikan.
Sampel feses tikus percobaan diletakkan dalam cawan aluminium yang telah dioven selama minimal 30 menit dan ditimbang. Kemudian sampel feses dalam cawan ditimbang untuk mendapatkan
data berat feses awal. Sampel feses dalam cawan kemudian dimasukkan ke dalam oven pengering dan dikeringkan selama 24 jam. Setelah 24 jam sampel feses dalam cawan ditimbang untuk mendapatkan
data berat akhir. Penghitungan kadar air feses tikus percobaan menggunakan Rumus 1
.
Rumus :
W – W1 – W2 x 100 W
Keterangan : W = bobot contoh sebelum dikeringkan
W1 = bobot contoh + cawan kering kosong W2 = bobot cawan kosong
3.2.2.5. Analisis Histologi Jaringan Usus Halus Kiernan 1999
Analisis histologi jaringan usus halus duodenum tikus percobaan dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin HE. Awalnya, jaringan usus halus duodenum dipotong sepanjang 2 cm
masing-masing setelah hewan dikorbankan, kemudian difiksasi terlebih dahulu selama 24 jam
H-3
Adaptasi T0
Cekok EPEC 10
6
cfuml
H0 H7 H14 H21
T1 T2
T3
Gambar 7. Bagan perlakuan tikus percobaan
1
dengan larutan Bouin. Larutan Bouin terdiri dari larutan asam pikrat jenuh, formalin p.a., dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15 : 5 : 1.
Lalu, sampel tersebut didehidrasi dengan alkohol bertingkat. Untuk tahap dehidrasi ini, alkohol yang digunakan secara berturut-turut adalah alkohol 70, 80, 90, dan 95, masing-masing
selama 24 jam. Setelah itu, tahap dehidrasi ini dilanjutkan dengan menggunakan alkohol absolut I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam.
Tahap berikutnya adalah penjernihan clearing. Pada tahap ini, sampel yang telah didehidrasi dimasukkan ke dalam xylol I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam. Pada xylol III, 30 menit
pertama dilakukan di suhu ruang, 30 menit berikutnya di dalam inkubator suhu 60
o
C. Selanjutnya, dilakukan tahap infiltering infiltrasi dengan memasukkan sampel ke dalam parafin I, II, dan III,
masing-masing selama 1 jam pada suhu 60°C. Setelah itu, dilakukan tahap embedding pencetakan yaitu penanaman jaringan dalam parafin yang kemudian dibuat blok-blok jaringan.
Setelah itu, jaringan usus yang sudah berada dalam bentuk blok parafin dipotong setebal 4 µm dengan mikrotom. Hasil potongan tersebut kemudian direndam dalam akuades, lalu dibentangkan
dalam akuades yang dipanaskan dalam waterbath suhu 40 - 45°C. Selanjutnya, jaringan tersebut diletakkan pada gelas objek, lalu dimasukkan ke dalam inkubator 40°C selama ± 24 jam.
Jaringan pada gelas obyek yang telah siap untuk diwarnai kemudian dideparafinisasi dengan xylol kemudian direhidrasi dengan alkohol bertingkat. Pada tahap deparafinasi, jaringan pada gelas
objek yang telah diinkubasi dicelupkan ke dalam xylol III, II dan I selama 3 menit. Lalu pada tahap rehidrasi, jaringan dicelupkan ke dalam alkohol absolut III, II, dan I selama 3 menit, alkohol 95,
90, 80 dan alkohol 70 selama 3 menit. Setelah itu, dilakukan pencucian dengan air kran selama 10 menit, kemudian dengan akuades selama minimal 5 menit stopping point.
Selanjutnya, potongan jaringan tersebut diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin HE dengan pencucian air kran dan akuades di antaranya. Pewarnaan dengan hematoksilin dilakukan selama 1 – 2
menit kemudian jaringan tersebut dicuci dengan air kran selama 10 menit dan akuades selama minimal 5 menit stopping point. Lalu, pewarnaan dilanjutkan dengan Eosin selama 2 menit
kemudian dilanjutkan dengan dehidrasi. Dehidrasi dilakukan dengan mencelupkan sampel jaringan ke dalam alkohol 70, 80, 90,
dan 95 selama beberapa detik, yang dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam alkohol absolut I selama beberapa detik, alkohol absolut II dan alkohol absolut III selama 1 menit. Tahap selanjutnya
adalah tahap penjernihan ulang clearing dilakukan dengan mencelupkan sampel jaringan ke dalam xylol I selama beberapa detik, xylol II dan III selama 1 menit. Selanjutnya, tahap mounting dilakukan
dengan menetesi sampel jaringan dengan entelan atau kanada balsam, kemudian sampel jaringan tersebut ditutup dengan cover glass.
Setelah itu, dilakukan pengamatan terhadap gambaran umum histopatologi jaringan usus halus
duodenum, persentase kerusakan vili dan pengukuran rata-rata tebal mukosa usus duodenum.
3.2.2.6. Analisis Imunohistokimia IgA Usus Halus Kiernan 1999
Analisis kandungan imunoglobulin A IgA pada usus halus tikus percobaan dilakukan menggunakan teknik pewarnaan imunohistokimia Kiernan 1990. Pewarnaan imunohistokimia
bertujuan untuk melihat komponen aktif, seperti enzim dan hormon, yang terdapat di dalam sel atau jaringan. Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan kunci dan gembok antara antigen
Imunoglobulin A dan antibodi anti-IgA. Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia dapat dilihat pada Gambar 8.
a y
p m
s p
c c
p
p j
o d
a p
I d
a t
t H
i s
n s
Imunoglo antibodi prime
yang dikonjug peroksidase ini
mengkatalis re sehingga terb
pembentukan coklat juga me
coklatnya mak pembentukan e
Prosedur pada analisis h
jaringan denga objek sebelum
diberi larutan agar preparat u
pewarnaan imu Sebelum
III, II, dan I dilakukan rehid
absolut III, II, tersebut diren
aquabidest se Tahap be
tersebut diinku H
2
O
2
0.3 ml ion sebanyak d
sebanyak dua k Sediaan
nonspesifik. S serum normal
G
obulin A yang er anti-IgA. A
gasi dengan pe i melambangka
eaksi antara kr entuk endapa
warna coklat enunjukkan ke
ka semakin b endapan warna
analisis imun histologi jaring
an mikrotom, k m digunakan h
neofren dalam usus menempel
unohistokimia. dilakukan pew
selama 5 men drasi dengan a
dan I serta a ndam dalam a
elama 3 menit erikutnya adala
ubasikan dicel selama 15 me
dua kali, masi kali, masing-m
jaringan usus Sediaan diletak
10 dalam P
Gambar 8. Prin
g terdapat dala Antibodi prime
eroksidase aka an adanya kom
romogen diam an warna cok
menunjukkan eberadaan IgA.
anyak kandun a coklat.
nohistokimia Ig gan usus halus
kecuali pada ta harus dicuci b
m toluen toluen l dengan baik p
. warnaan, sediaa
nit dengan tuj alkohol, sediaan
alkohol 95, 9 air kran sela
stopping poin ah penghilanga
lupkan dalam enit pada kond
ng-masing sel masing selama 5
s lalu diinkub kkan pada kot
PBS, kemudian nsip teknik pew
am jaringan m er berikatan de
an bereaksi de mpleks antigen-
mo benzidine klat sebagai v
adanya ikatan . Semakin tua
ngan IgA-nya.
gA sama sepe s dari awal hin
ahap pelekatan ersih dengan
n : neofren = pada gelas obj
an jaringan usu juan untuk me
n jaringan usu 90, 80, dan
ama 5 menit nt.
an peroksidase m larutan yang
disi gelap. Kem ama 5 menit d
5 menit. basikan dalam
tak sediaan da an diinkubasi p
warnaan imuno mukosa usus
engan antigen, engan antibodi
-antibodi. P atau DAB da
visualisasi ada n antara antibo
intensitas dan Berikut adal
erti prosedur p ngga tahap emb
n preparat usus teknik sonikas
9 : 1. Tujuan ek dan tidak m
us halus didepa elarutkan para
s halus dimasu n 70 selama
kemudian dir e endogen. Pad
mengandung c mudian, sediaan
dan dalam PB m serum norm
an masing-mas pada suhu 37°C
ohistokimia dikenal sebag
selanjutnya an i primer, sehin
eroksidase ini an hidrogen p
anya IgA. De odi dan antige
semakin luas ah reaksi yan
pewarnaan Hem bedding dan p
s ke gelas obje si, kemudian
n pemberian ne mudah terlepas
arafinisasi den afin dari jaring
ukkan ke dalam a 3 menit. Sete
rendam dalam da tahap ini, po
campuran meta n direndam di
S Phosphate mal untuk m
sing ditetesi d C selama 60 m
gai antigen ol ntibodi sekund
ngga keberada berfungsi untu
peroksida H
2
O engan demiki
en IgA. War distribusi war
ng terjadi dala
matoksilin-Eos pemotongan bl
ek di mana gel dikeringkan d
eofren ini adal pada saat pros
gan larutan xyl gan. Setelah it
m larutan alkoh elah itu, sedia
m air bebas i otongan jaring
anol 30 ml d dalam air beb
Buffered Salin memblok antig
dengan 50-60 menit. Setelah it
leh der
aan uk
O
2
ian rna
rna am
sin ok
las dan
lah ses
lol tu,
hol aan
on gan
dan bas
ne gen
µl tu,
sediaan dicuci dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Kemudian masing- masing sediaan ditetesi dengan 50-60 µl antibodi primermonoklonal IgA Anti-Rat IgA,
α-chain specific developed in goat, SIGMA, lalu diinkubasi dalam refrigerator selama semalam ± 19 jam.
Selanjutnya, dilakukan pencucian dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 10 menit. Setelah itu, potongan jaringan ditetesi dengan 50-60 µl antibodi sekunder Dako Envision
Peroxidase System atau DEPS K401 pada kondisi gelap, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 60 menit. Kemudian, sediaan dicuci kembali dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing
selama 5 menit. Kemudian, reaksi positif divisualisasikan dengan menggunakan kromogen Diamino benzidine
DAB. Visualisasi dengan DAB 3,3’-Diaminobenzidine Tetrahydrochloride-Plus Kit Substrate for Horsedish Peroxidase dilakukan dengan mencampurkan reagen 1 + reagen 2 + reagen 3 dengan air
bebas ion dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 20. Sementara itu, larutan DAB yang diteteskan adalah sebanyak 50-60 µl, lalu DAB dibiarkan bereaksi pada ruang gelap selama 30 menit. Setelah itu,
sediaan tersebut direndam dalam air bebas ion stopping point. Tahap berikutnya adalah pewarnaan dengan counterstrain menggunakan Hematoxylin dengan
cara merendam sediaan dalam Hematoxylin selama 1-4 detik, yang dilanjutkan dengan perendaman dalam air bebas ion minimal selama 5 menit hingga mendapatkan warna yang kontras antara warna
coklat dengan biru dari Hematoxylin. Kemudian, dilakukan dehidrasi dengan mencelupkan sediaan ke dalam alkohol 70, 80, 90, dan 95, dan dalam alkohol absolut I selama beberapa detik, lalu
direndam dalam alkohol absolut II dan III, masing-masing selama 1 menit. Setelah itu, dilakukan penjernihan dengan mencelupkan sediaan ke dalam xylol I selama beberapa detik, lalu direndam
dalam xylol II, dan III, masing-masing selama 1 menit. Tahap akhir dari pewarnaan ini adalah mounting yaitu penempelan cover glass pada sediaan
dengan menggunakan perekat entelan. Setelah itu, preparat imunohistokimia siap untuk diamati di bawah mikroskop. Keberadaan IgA akan ditunjukkan oleh warna coklat pada mukosa usus halus
tersebut. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin banyak kandungan IgA pada lokasi tersebut. Terbentuknya warna biru menunjukkan bahwa tidak adanya kandungan IgA pada lokasi
tersebut. Penilaian dilakukan secara deskriptif pada sediaan usus duodenum menggunakan mikroskop cahaya dengan kriteria seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Kriteria penilaian deskriptif kandungan IgA Tanda Deskripsi
+ warna biru yang menunjukan pada bagian tersebut tidak mengandung IgA
atau warna coklat muda hanya pada bagian crypt mukosa usus, atau warna coklat tua hanya pada bagian crypt mukosa.
++ warna coklat muda hanya pada lapisan epitel dan crypt atau sebagian besar
atau seluruh mukosa usus
+++ warna coklat tua pada pada seluruh bagian atau sebagian besar lapisan epitel
dan crypt mukosa usus.
++++
warna coklat sangat tua pada seluruh bagian atau sebagian besar lapisan epitel dan crypt mukosa usus.
3.2.2.8. Analisis Data
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0 untuk Windows. Analisis statistik digunakan untuk menganalisis data aktivitas antibakteri yogurt sinbiotik, berat badan
tikus percobaan, rata-rata konsumsi ransum, kadar air feses tikus percobaan dan ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan. Data dianalisis menggunakan SPSS 16.0 dengan metode analisis
General Linier Model Univariate. Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata P0.05 dan P0.01, maka digunakan uji lanjut Duncan untuk membandingkan tiap perlakuan.
Analisis kandungan imunoglobulin A IgA menggunakan penilaian secara deskriptif pada sediaan usus duodenum menggunakan mikroskop cahaya. Keberadaan IgA akan ditunjukkan oleh
warna coklat pada mukosa usus halus tersebut. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin banyak kandungan IgA pada lokasi tersebut. Terbentuknya warna biru menunjukkan bahwa tidak
adanya kandungan IgA pada lokasi tersebut.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN