Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kota Binjai

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP TINGKAT

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KOTA BINJAI

Skripsi

Diajukan oleh :

SINTA ULI AFRIDA TOBING

050501106

Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi


(2)

ABSTRACT

Region autonomy is the right, authority and the duty of region to regulate and to manage the government business and the importance of the society according to law regulation by it self. The main aim of region autonomy is to lose all the feeling of injustice for all the society, to influence economic growth and to increase the democracy an all states of society in the region, or in other words is to increase the prosperity of society.

The aim of this research is to analyze the effects of region autonomy to the level of the prosperity of the society especially in Binjai since 1993 until 2007 by using Ordinary Least Squere (OLS).

The result of estimation data by using Ordinary Least Squere (OLS) shows that the region autonomy which showed by the Receipt Acquired from Autonomous Government and development budget have positively effect and significantly to the level of the prosperity society, especially in Binjai.

Keyword : Region autonomy, Receipt Acquired from Autonomous Government, development budget, the level of the prosperity society.


(3)

ABSTRAK

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan pearaturan perundang-undangan. Tujuan umum otonomi daerah adalah untuk menghilangkan berbagai perasaan ketidakadilan bagi masyarakat daerah, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan demokrasi diseluruh strata masyarakat didaerah, atau dengan kata lain ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyatakat.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan otonomi daerah terhadap tingkat kesejahteraan masyarkat khususnya Kota Binjai selama kurun waktu 1993-2007 dengan menggunakan Ordinary Least Squere (OLS).

Hasil Estimasi data dengan menggunakan Ordinary Least Squere (OLS) menunjukkan bahwa otonomi daerah yang digambarkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pembangunan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya Kota Binjai.

Kata kunci : otonomi daerah, pendapatan asli daerah (PAD), anggaran Pembangunan, tingkat kesejahteraan masyarakat.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Yesus Kristus atas kasih karuniaNya yang tak pernah berhenti mengalir sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP TINGKAT

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KOTA BINJAI. Meskipun proses

pengerjaan skripsi ini diwarnai oleh banyaknya kesalahan yang penulis lakukan tetapi selalu ada harapan untuk bisa berubah dan berkarya lebih baik lagi untuk Tuhanku, bangsaku, dan almamaterku tercinta.

Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Tanpa jasa-jasa mereka, sulit rasanya skripsi ini bisa diselesaikan. Sehingga dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang mendalam kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, MEc, selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Penasehat Akademik

3. Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, selaku Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Drs. Aman Tarigan, SU selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, pemikiran, saran dan dengan penuh kesabaran membimbing penulis sehingga skripsi ini bisa diselesaikan.

5. Bapak Kasyful Mahali, MSi selaku dosen penguji I dan Bapak DR.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku dosen penguji II. Saran dan kritikannya sangat berarti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lebih baik.

6. Seluruh dosen pengajar di Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penulis.


(5)

7. Seluruh staf administrasi di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan

8. Keluargaku tercinta: Ayahanda P. Lumban Tobing dan Ibunda R br. Hutabarat, dan saudari-saudari saya Magdalena Tobing,SPd, Rebecca Tobing, Putri Tobing dan Anggi Tobing yang senantiasa mendorong penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih untuk doa, kasih sayang, kesabaran, teguran dan motivasi yang telah memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini.

9. Sahabatku yang terkasih Sonder Maxmur Purba yang dengan sabar memotivasi dan membantu serta terima kasih atas doanya.

10.Teman-teman kelompak saya B’Evan, Yuyun, Eni, Sarah, Isma, dan Rut atas dukungan dan doanya.

11.Teman-teman seperjuangan di EP’05 Lisna, Resi, Andre, Luhut, Eko, Rudi, Manchon dan temen-teman yang lain, I lov U all . Terima kasih buat kebersamaan yang pernah ada selama perkuliahan.

12.Teman-teman kos di Berdikari 66 khususnya K‘Ganda, Meita dan Silvi, yang menjadi teman berbagi banyak hal dan selalu memberiku semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang ada dalam skripsi ini. Oleh karena itu saran dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga Bapa di Surga memberikan damai sejahtera dan anugerah kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Juni 2009


(6)

DAFTAR ISI

Halamam

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Hipotesis ... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Otonomi Daerah... 9

2.1.1 Pengertian Otonomi Daerah ... 9

2.1.2 Prinsip Otonomi Daerah ... 12

2.1.3 Otonomi Luas, Nyata dan Bertanggung Jawab ... 13

2.1.4 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 15

2.1.4.1 Peningkatan PAD ... 21


(7)

2.2 Desentralisasi ... 24

2.2.1 Ide Desentralisasi ... 24

2.2.2 Perjalanan Otonomi Daerah di Indonesia ... 27

2.3 Pembangunan Nasional dan Daerah ... 29

2.4 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat ... 32

2.5 Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB ) ... 36

2.5.1 Konsep ... 37

2.5.2 Metode Perhitungan ... 37

2.5.2.1 Metode Langsung ... 37

2.5.2.2 Metode Tidak Langsung/Alokasi ... 38

2.5.3 Perhitungan Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan ... 39

2.5.3.1 Perhitungan Atas Dasar Harga Berlaku ... 39

2.5.3.2 Perhitungan atas Dasar Harga Konstan ... 41

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 42

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 42

3.3 Metode dan Tehnik Pengumpulan Data ... 43

3.4 Pengelolaan Data ... 43

3.5 Model Analisis Data ... 43

3.6 Test Of Goodness Of Fit ( Uji Kesesuaian ) ... 45

3.6.1 Koefisien Determinasi ( R-Square ) ... 45

3.6.2 Uji t-statistik ( Uji Parsial ) ... 45


(8)

3.7 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 48

3.7.1 Multikolinieritas (Multicolonearity) ... 48

3.7.2 Autokorelasi ( Serial Correlation ) ... 48

3.8 Defenisi Operasional ... 51

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 52

4.1.1 Letak Geografis Kota Binjai ... 52

4.1.2 Perekonomian Kota Binjai ... 53

4.2 Deskriptif Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ) Binjai ... 55

4.2.1 Penerimaan Daerah Kota Binjai ... 55

4.2.2 Pengeluaran Pemerintah Kota Binjai ... 57

4.3 Perkembangan PDRB Kota Binjai ... 59

4.4 Analisis Hasil Penelitian ... 61

4.4.1 Interpretasi Model ... 61

4.4.2 Test Of Goodness Of Fit ( Uji Kesesuaian ) ... 63

4.4.2.1 Koefisien Determinasi ( R-Square) ... 63

4.4.2.2 Uji t-statistik ( Uji Parsial ) ... 63

1. Variabel Pendapatan Asli Daerah (X1) ... 64

2. Variabel Anggaran Pendapatan (X2) ... 65

3. Dummy (X3) ... 66

4.4.2.3 Uji f-statistik ... 67

4.4.3 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 68


(9)

4.4.3.2 Autokorelasi ( Serial Correlation ) ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 72 5.2 Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL No

Tabel Judul Halaman

2.1 Perbedaan Dekonsentralisasi dengan Desentralisasi 26 4.1 Penerimaan (APBD) Pemerintah Kota Binjai Tahun 2005 dan 2007 56 4.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Binjai Tahun 1993 - 2007 57 4.3 Perkembangan anggaran Pembangunan Kota Binjai Tahun 1993-2007 58 4.4 Perkembangan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kota Binjai Tahun 60

1993-2007


(11)

DAFTAR GAMBAR No

Gambar Judul Halaman

4.1 Uji t statistik variabel PAD (X1) 64

4.2 Uji t statistik variabel Anggaran Pembangunan (X2) 65

4.3 Uji t statistik variabel Dummy (X3) 66

4.4 Uji F statistik 68


(12)

ABSTRACT

Region autonomy is the right, authority and the duty of region to regulate and to manage the government business and the importance of the society according to law regulation by it self. The main aim of region autonomy is to lose all the feeling of injustice for all the society, to influence economic growth and to increase the democracy an all states of society in the region, or in other words is to increase the prosperity of society.

The aim of this research is to analyze the effects of region autonomy to the level of the prosperity of the society especially in Binjai since 1993 until 2007 by using Ordinary Least Squere (OLS).

The result of estimation data by using Ordinary Least Squere (OLS) shows that the region autonomy which showed by the Receipt Acquired from Autonomous Government and development budget have positively effect and significantly to the level of the prosperity society, especially in Binjai.

Keyword : Region autonomy, Receipt Acquired from Autonomous Government, development budget, the level of the prosperity society.


(13)

ABSTRAK

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan pearaturan perundang-undangan. Tujuan umum otonomi daerah adalah untuk menghilangkan berbagai perasaan ketidakadilan bagi masyarakat daerah, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan demokrasi diseluruh strata masyarakat didaerah, atau dengan kata lain ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyatakat.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan otonomi daerah terhadap tingkat kesejahteraan masyarkat khususnya Kota Binjai selama kurun waktu 1993-2007 dengan menggunakan Ordinary Least Squere (OLS).

Hasil Estimasi data dengan menggunakan Ordinary Least Squere (OLS) menunjukkan bahwa otonomi daerah yang digambarkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pembangunan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya Kota Binjai.

Kata kunci : otonomi daerah, pendapatan asli daerah (PAD), anggaran Pembangunan, tingkat kesejahteraan masyarakat.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perjalanan otonomi Daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji, karena semenjak pendiri negara menyusun format negara, isu menyangkut Pemerintah lokal telah diakomodasikan dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Pemerintah Daerah dalam pengaturan pasal 18 UUD 1945 telah mengakui adanya keragaman dan hak asal-usul yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun Negara Republik Indonesia menganut prinsip Negara kesatuan dengan Pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun beragam tingkat pendidikan masyarakat, maka desentralisasi atau distribusi kekuasaan/kewenangan diberikan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang berotonom.

Dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah yang baru, yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan warna tersendiri sebagai sebuah produk perundang-undangan dimasa yang penuh dengan perubahan. Misalnya dalam undang-undang tersebut diberikan penegasan tentang makna otonomi daerah, seperti Pasal 1 ayat 5: “ bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan pearaturan perundang-undangan”


(15)

Sedangkan pada Pasal 1 ayat 6 menyatakan pengertian dari daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus ususan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia “.

Pemberian hak otonomi didasarkan pada kemampuan fisik suatu daerah untuk membiayai dirinya sendiri dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut UU No.32 Tahun 2004, bahwa prinsip otonomi daerah dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Otonomi yang seluas-luasnya adalah daerah yang diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah tersebut memiliki kewenangan membuat kebijakan daerahnya demi member pelayanan, peneingkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

2. Otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas,wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan hidup serta berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerh tersebut.

3. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonom yang dalam peyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan maksud pemberian otonomi yang ada yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah


(16)

termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Diseluruh Indonesia dewasa ini sedang sibuk mempersiapkan diri untuk berotonomi. Pemerintah otonomi Tingkat II bersama DPRD yang mewakili rakyat daerah yang bersangkutan bersiap-siap menyusun dan membuat berbagai Peraturan Daerah (PerDa) yang akan mengatur sekaligus dijadikan pedoman memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan warganya. Disadari bahwa pada tingkatan terakhir, otonomi pada pemerintah paling kecil yaitu desa adalah paling mementukan bagi kemajuan kesejahteraan dan kecerdasan peduduk. Sebagaimana yang ditegaskan pada UU Nomor 32 tahun 2004 daerah Kabupaten/Kota dianggap lebih dekat dengan rakyat dibanding provinsi. Dengan jumlah penduduk rata-rata 540.000 jiwa, daerah Kabupaten/Kota dianggap berhak mempunyai lembaga legislatif sendiri dan dengan demikian dapat mengelola daerahnya secara demokratis sesuai aspirasi penduduknya.

Kota Binjai sebagai salah satu kota di Propinsi Sumatera Utara yang hanya berjarak ± 22 KM dari Kota Medan (± 20 menit perjalanan), berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat, serta berada pada jalur Transportasi Utama yang menghubungkan Propinsi Sumatra Utara dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) serta ke Objek Wisata Bukit Lawang Kabupten Langkat menjadikan kota ini cukup strategis, membuat Binjai punya potensi sebagai kota satelit persinggahan banyak orang. Kota Binjai sebagai Kota Jasa dan Perdagangan telah berupaya memacu laju pertumbuhan Pembangunan yang mendukung Pertumbuhan ekonomi Kota Binjai,


(17)

Dengan pemberian otonomi diharapkan pada pemerintah daerah ( Kota Binjai) untuk memanfaatkan dan mengelola peluang dan potensi yang dimiliki daerah tersebut demi kesejahteraan masyarakatnya melalui pembangunan didaerahnya dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat/daerah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah merupakan wujud dari pembangunan nasional daerah. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitaraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut.

Tolak ukur kebersihan pembangunan dapat dilihat dari pembangunan ekonomi, struktur ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar daerah dan antar sektor. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan dan hasil pertumbuhan ekonomi dapat pula dinikmati masyarakat sampai lapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah. Pertumbuhan harus beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan hasil pembangunan. Dengan demikian daerah yang miskin, tertinggal tidak produktif akan menjadi produktif dan mempercepat pertumbuhan itu sendiri.

Tujuan umum otonomi daerah adalah untuk menghilangkan berbagai perasaan ketidakadilan bagi masyarakat daerah, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan demokrasi diseluruh strata masyarakat didaerah, atau dengan kata lain ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyatakat, tingkat kesejahteraan yang dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang


(18)

merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu negara/wilayah/daerah. PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilakan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB Perkapita merupakan jumlah keseluruhan PDRB dibagikan dengan jumlah seluruh penduduk. Atau sama dengan rata-rata jumlah pendapatan masyarakat pertahunnya. PDBR perkapita menurut harga konstan merupakan produk didasarkan atas harga pada tahun tertentu. Tahun yang dijadikan patokan harga disebut tahun dasar untuk penentuan harga konstan. Pada perhitungan atas dasar harga konstan berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau sektoral. PDRB perkapita menurut harga berlaku merupakan jumlah seluruh nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi yang beroperasi pada suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. PDRB yang masih ada unsur inflasi.

PDRB Perkapita kota Binjai pada tahun 1989 sebesar Rp. 671.799,- dan pada tahun 1999 tejadi peningkatan menjadi Rp. 3.361.913,-. Dan sampai tahun 2007 PDRB Perkapita kota Binjai menunjukan peningkatan yang bagus yaitu menjadi Rp.13.338.251-. Dan untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah daerah memiliki sumber pendanaan sendiri berupa pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan daerah yang sah. PAD merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dalam memenuhi belanja daerah, selain itu merupakan usaha daerah guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana (subsidi) dari pemerintah pusat. PAD tahun 1989 sebesar Rp.746.661.000,- terjadi peningkat pada


(19)

tahun 1999 menjadi Rp.2.753.257.000,- serta tahun 2007 menjadi Rp.13.332.463.000,-. Anggaran pembangunan pada tahun 1989 sebesar Rp.1.682.303.000,- dan pada tahun 1999 sebesar Rp.12.753.268.000,- untuk tahun 2007 terjadi peningkatan yang cukup besar yaitu menjadi Rp.172.267.000.000,-.

Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang.

Berdasarkan hal diatas, Siagian (1995) mengemukakan bahwa “ desentralisasi merupakan suatu konsep yang dianggap mampu untuk mengatasi masalah pelayanan sosial diberbagai sektor publik. Dengan konsep desentraliasi diharapkan terjadi efisiensi dan efektifitas serta pemerataan dan kesejahteraan masyarakat akan terwujud “.

Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba menganalisa sejauh mana pelaksanaan otonomi diterapkan diberbagai daerah di Sumatera Utara khususnya didaerah Kabupatean/Kota melalui pembangunan sarana dan prasarana fisik yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Penulis mencoba menuangkannya dalam penulisan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Tingkat Kesejahteraan Mayarakat Kota Binjai ”.


(20)

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dibuat untuk lebih mempermudah dan membuat lebih sistematis penulisan skripsi serta rumusan masalah ini diperlukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan skripsi. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat kota Binjai ?

2. Apakah besarnya Anggaran Pembangunan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat kota Binjai ?

1.3. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian dimana tingkat kebenarannya masih perlu diuji. Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut :

1. Besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat kota Binjai.

2. Besarnya Anggaran Pembangunan berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat kota Binjai.


(21)

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Binjai.

2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Anggaran Pembangunan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Binjai.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

2. Sebagai tambahan wawasan ilmiah dan ilmu pengetahuan penulis dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni.

3. Sebagai masukan atau bahan kajian bagi kalangan akademis dan peneliti yang tertarik membahas topik yang sama.

4. Sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi pemerintah atau instansi- instansi yang terkait.


(22)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Otonomi Daerah

2.1.1 Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengertian "otonomi" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.

Pengertian Otonomi Daerah secara etimologis menurut (Situmorang ,1993) berasal dari bahasa latin “ Autos “ yang arting sendiri, dan “Nomos”, yang artinya aturan. Jadi dapat diartikan bahwa otonomi adalah mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri. Otonomi berasal dari perkataan “ Autonomi “ (Inggris), “ Auto” artinya sendiri dan “Nomy” sama artinya dengan “Nomos” yang berarti aturan atau Undang-Undang jadi “Autonomy” adalah mengatur diri sendiri. Sementara itu


(23)

(Saleh,1993) mengemukakan bahwa Otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah diri sendiri atas inisiatif dan kemauan sendiri. Hak yang diperoleh dari pemerintah pusat.

Lebih lanjut UU No.5 Tahun 1974 mendefinisikan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu dalam UU No.22 Tahun 1999 mendefinisikan bahwa Otonomi Daerah adalah wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setelah direvisi kembali UU No 22 Tahun 1999 berganti menjadi UU No 32 Tahun 2004 yang menyatakan Otonomi Daerah sebagai hak,wewenang dan kewajiban daerah otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan. Dari berbagai rumusan otonomi daerah diatas maka Otonomi Daerah adalah kewenangan dan kemandirian daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Sejak kemerdekaan sampai saat ini distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Daerah selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda. Perbedaan ini sangat jelas terlihat dengan mengunakan konsep bandul yang selalu bergerak secara sistematis pada dua sisi yaitu Pusat dan Daerah. Dengan kata lain, bahwa pada suatu waktu kekuasaan terletak pada Pemerintah Pusat, pada kesempatan lain bobot kekuasaan ada pada Pemerintah Daerah. Kondisi yang demikian ini


(24)

disebabkan karena dua hal. Pertama, karena pengaturan undang-ndang tentang Pemerintah Daerah, sejak kemerdekaan sampai tahun 2005 (1945-2007) Indonesia telah memiliki 8 (delapan) UU tentang Pemeintah Daerah.

Kronologis perubahan Undang-Undang tentang pemerintahan daerah

1. UNDANG‐UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1945 2. UNDANG‐UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1948 3. UNDANG‐UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1957 4. UNDANG‐UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1959 5. UNDANG‐UNDANG NOMOR 18 TAHUN 1965 6. UNDANG‐UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1974 7. UNDANG‐UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 8. UNDANG‐UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 

Masing-masing UU Pemerintah Daerah tersebut memiliki ciri dan karakteristik tersendiri, termasuk pengaturan tentang seberapa besar pembagian bobot kekuasaan antara pusat dan daerah. Jika kita cermati secara analitis terlihat bahwa titik berat bobot kekuasaan ternyata berpindah-pindah pada masing-masing kurun waktu berlakunya suatu Undang-Undang Pemerintah Daerah. Kedua, disebabkan adanya perbedaan interpretasi dan implementasi terhadap Undang-Undang Pemerintah Daerah yang disebabkan kepentingan penguasa pada masa berlakunya Undang-Undang Pemerintah Daerah.


(25)

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat.

2.1.2 Prinsip Otonomi Daerah

Pembanguan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab penyelenggaraan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan partisipasi masyarakat dan bertanggungjawaban kepada masyarakat. Upaya untuk melaksanakan Otonomi Daerah yang telah di gulirkan 1 Januari 2001, yaitu tahun fiskal 2001 adalah merupakan tekat bersama, baik aparat yang di pusat maupun yang di daerah. Tentu dalam hal ini harus dilaksanakan dengan hati-hati, seksama namun tidak mengurangi jangka waktu yang telah dittapkan agar mencapai hasil maksimal dalam pelaksanan Otonomi Daerah. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah

1. Memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman


(26)

3. Otonomi daerah yang luas dan utuh untuk Kabupaten, Otonomi daerah yang terbatas untuk Propinsi

4. Sesuai dengan konstitusi sehingga terjamin hubungan serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah

5. Lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom sehingga dalam kabupaten/kota tidak ada wilayah administrasi

6. Peningkatan peran dan fungsi Badan Legislatif Daerah wilayah administrasi 7. Asas dekonsentrasi diletakkan pada Propinsi sebagai wilayah administrasi 8. Asas Tugas Pembantuan diberikan dari Pemerintah kepada Daerah serta dari

Pemerintah dan Daerah kepada Desa

2.1.3 Otonomi Luas, Nyata dan Bertanggung Jawab

Otonomi disebut “luas” artinya kewenangan sisi (residu) berada ditangan pusat (seperti pada negara federal); sedangkan “nyata” berarti kewenangannya menyangkut hal-hal yang diperlukan, tumbuh dan hidup, serta berkembang di daerah; dan akhirnya disebut “bertanggung jawab” karena kewenangan yang diserahkan harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan Otonomi Daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat agar semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antardaerah. Otonomi seluas-luasnya atau keleluasaan (discration) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, implementasi, pengawasan, pengendalian


(27)

dan evaluasi. Kewenangan yang diahlikan ke daerah disertai juga penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.

Transfer kewenangan dari pusat ke daerah berdasarkan prinsip negara kesatuan dengan semangat federalisme. Sejumlah kewenangan yang dikelola pusat hampir sama dengan yang dikelola oleh pemerintah di negara federal : hubungan luar negeri, pertahanan dan keamana, peradilan, moneter, dan agama serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien bila ditangani secara sentralistik oleh pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, perimbangan keuangan, standarisasi nasional, administrasi pemerintah, pengembangan tehnologi tinggi serta badan usaha milik negara. Daerah provinsi memiliki kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Sementara itu kabupaten/kota punya kewenangan wajib untuk melaksanakan : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industry dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja.

Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat secara penuh pada tahun 2000 diujicobakan dan pada akhirnya dilaksanakan penuh pada tahun anggaran 2001. Maka otonomi telah berjalan di Indonesia selama 8 tahun dan Undang-Undang itu akhirnya disempurnakan menjadi UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah. Dengan otonomi ini terjadi cukup banyak perubahan mekanisme penentuan anggaran


(28)

penerimaan dan belanja daerah (APBD) khususnya pada tingkat Daerah Tingkat II (Kabupataen/Kota). Dengan diberikan kewenangan lebih besar oleh pemerintah nasional kepada daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) dan diimbangi juga dengan makin besar dana perimbangan yang di transfer kepada daerah, membuat pemerintah daerah harus semakin bertanggung jawab terhadap naik turunnya pembangunan ekonomi daerah, dan fluktuasi ekonomi daerah juga sangat dipengaruhi oleh pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang dibiayai melalui APBD. Oleh sebab itu, APBD menjadi salah satu kunci penentu keberhasilan pembangunan ekonomi daerah. Artinya, APBD akan efektif mempengaruhi pembangunan ekonomi daerah, apabila alokasi-alokasi pembiayaan sesuai arah prioritas pembangunan daerah untuk mewujudkan masyarakat makin sejahtera, pengangguran dan jumlah penduduk miskin semakin menurun, dan pertumbuhan ekonomi semakin berkualitas. Pengaruh otonomi daerah dapat dilihat dari APBD daerah tersebut yaitu perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan anggaran pembangunan didaerah tersebut.

2.1.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Besarnya PAD menunjukkan kemampuan daerah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan memelihara serta mendukung hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang, Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah seluruh penerimaan yang masuk ke kas daerah, yang diatur dengan peratuaran yang berlaku, yang digunakan untuk menutupi pengeluaran daerah. PAD merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah


(29)

dalam mendapatkan dana pembangunan dalam memenuhi belanja daerah, selain itu merupakan usaha daerah guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana (subsidi) dari pemerintah pusat. Sumber PAD merupakan penerimaan murni daerah dan peranannya merupakan indikator sejauh mana telah dilaksanakan otonomi tersebut secara luas, nyata, dan bertanggungjawab.

Dalam rangka pelaksanaan otonomi tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa dalam rangka menjalankan otonomi sepenuhnya didalam implementasinya diperlukan dana yang memadai. Oleh karena itu, melalui UU No.32 Tahun 2004 kemampuan daerah untuk untuk memperoleh dana dapat ditingkatkan. Sebagai daerah otonom daerah dituntut untuk dapat mengembangkan dan mengoptimalkan semua potensi daerah yang digali dari dalam daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat serta menjaga dan memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan dalam Pasal 157 bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas :

a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu :

1. Hasil pajak daerah,

Yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang. Yang dapat


(30)

dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digfunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Menurut UU No.34 Tahun 2000 ayat (2) jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari : (1) Pajak Hotel, (2) Pajak Restoran, (3) Pajak Hiburan, (4) Pajak Reklame, (5) Pajak Penerangan Jalan, (6) Pajak pengambilan Bahan Galian, (7) Pajak Parkir.

2. Hasil retribusi daerah;

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang Khusus disediakan dan /atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sebagai salah satu komponen dalam PAD, retribusi diharapkan dapat menjadi salah satu sumber penerimaan yang dapat menunjang terselenggaranya kegiatan pelayannan public didaerah tingkat II (Kabupaten/Kota). Untuk itu peningkatan kualitas pelayanan yang didukung cara kerja yang professional ditambanh dengan konsistensi dalam penerapan ketentuan perundang-undangan yang berlaku khususnya UU No. 18 Tahun 1997 perlu terus menerus dilaksanakan oleh aparat pemerintah daerah karena hal itu secara langsung dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar retribusi.


(31)

3. Perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;

Dalam hal ini, antara lain adalah bagian laba, deviden dan penjualan saham milik daerah. Menurut Nick Devas (1989) dalam buku Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia mengemukakan bahwa Pemerintah Daerah dimungkinkan untuk mendirikan perusahaan daerah dengan pertimbangan :

 Menjalankan idiologi yang dianutnya bahwa sarana produksi milik masyarakat

 Untuk melindungi konsumen dalam hal monopoli alami

 Dalam rangka mengambil alih perusahaan asing

 Untuk menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi di daerah.

b. Dana perimbangan, yaitu :

1. Pasal UU No. 25 Tahun 1999 mengatur tentang Dana Perimbangan yang menjadi hak pemerintah Pusat, Daerah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, yang terdiri dari : Bidang Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan , Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan Penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA).


(32)

2. Dana Alokasi Umum

Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No. 25 Tahun 1999). DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. Dan dari 25% tersebut dirinci lagi yang 10% untuk DAU daerah provinsi, sedangkan yang 90% digunakan untuk DAU daerah kabupaten/kota. Pembangian DAU dibagi berdasarkan :

 Bobot Daerah,

Yang ditetapkan variable minimum yang dipergunakan dalam mementukan bobot daerah adalah : jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis dan tingkat pendapatan masyarakat.

 Potensi Ekonomi Daerah

Sedangkan variable minimum yang digunakan dalam menentukan potensi ekonomi daerah adalah : potensi industri, potensi Sumber Daya Alam (SDA), potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).


(33)

Variabel bobot daerah dan potensi daerah tersebut menunjukkan sifat yang statis, sehingga untuk menampung pertumbuhan daerah yang relatif cepat, diperlukan variabel-variabel yang lain yang bersifat dinamis, seperti : laju pertumbuhan ekonomi, kontribusi daerah terhadap penerimaan nasional, pengembangan wilayah perkotaan dan pedesaan serta tingkat pendidikan umum dan lain-lain.

DAU untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh daerah kabupaten / kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi daerah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Porsi daerah yang bersangkutan merupakan proporsi bobot daerah kabupaten /kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua daerah kabupaten / kota di Indonesia. 3. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus (DAK) ini diatur dalam pasal 8 UU No.25 Tahun 1999 dalam pengertian bahwa dana tersebut membiayai kebutuhan Khusus dengan memperhatikan tersedianya dalam APBD, DAK diantaranya termasuk yang berasal dari dana Reboisasi dibagi dengan pertimbangan sebagai berikut :

 40% dibagi dengan daerah penghasil sebagai DAK


(34)

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah, antara lain adalah hasil penjualan asset tetap daerah dan jasa giro.

Peranan pemerintah daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat didaerah. Jadi ciri utama yang menentukan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin kecil dan diharapkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian terbesar dalam memobalisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila PAD dijadikan salah satu tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah.

2.1.4.1. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Peningkatan PAD merupakan upaya konvensional yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerahnya. Perbedaan potensi ekonomi daerah yang cukup besar memungkinkan beberapa daerah tertentu untuk mengupayakan peningkatan PAD ini melalui upaya penggalian potensi ekonomi daerah yang ada dan belum banyak di manfaatkan. Dalam hal ini, revisi UU No.18 tahun 1998 tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRB) memungkinkan pula pemerintah daerah untuk menetapkan jenis pungutan baru sepanjang tidak bertentangan dengan UU tersebut.


(35)

Pada dasarnya ada tiga upaya utama yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan PAD suatu daerah yaitu :

1. Penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan harga dan tingkat inflasi. Hal ini perlu dilakukan mengingat banyak sekali tarif pajak daerah tersebut telah ditetapkan sejak lama dan tidak pernah dirubah. Akibatnya penetapan tarif tersebut telah terlalu rendah dibandingkan dengan perkembangan harga. Karena itu, melalui penyesuaian tarif pajak daerah tersebut, peningkatan PAD akan dapat pula diupayakan.

2. Dicari kemungkinan penetapan jeni pajak baru sesuai dengan UU yang berlaku. Upaya ini akan memerlukan studi yang cukup mendalam terhadap beberapa potensi wajib pajak baru yang ada di daerah bersangkutan.

3. Meningkatkan efisiensi pengelolaan PAD dengan melibatkan pihak swasta dalam pengelolaan objek pajak tertentu. Ketiga upaya ini dapat dilalukan sekaligus guna lebih memaksimalkan peningkatan penerimaan Pad daerah yang bersangkutan.

2.1.5. Anggaran Pembangunan

Anggaran merupakan suatu alat perencanaan mengenai pengeluaran dan penerimaan (atau pendapatan) dimasa yang akan datang, umumnyta disusun untuk satu tahun. Disamping itu anggaran merupakan alat control atau pengaeas terhadap baik pengeluaran maupaun pendapatan dimasa yang akan datang. Sebagai alat control atau pengawas anggaran (budget) mempunyai tiga macam fungsi utama yaitu fungsi


(36)

memenuhi kebutuhan masyarakat (public), fungsi perbaikan distribusi pendapatan dan fungsi stabilisasi perkonomian.

Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan instrument kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi daerah masing-masing serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berpotensi pada kepentingan masyarakat. Peran anggaran pembanguan dalam penentuan arah dan kebijakan Pemerintah Daerah, tidak terlepas dari kemampuan anggaran pembangunan tersebut dalam mencapai tujuan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu Pemerintah Daerah perlu memperhatikan bahwa pada hakekatnya anggaran daerah merupakan perwujudan amanan rakyat pada pihak eksekutif dan legislatif untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam basis otonomi daerah yang dimilikinya.

Era transisi yang sedang kita lewati saat ini menjadi bagian juga dari era otonomi daerah. Dengan diberikan kewenangan lebih besar oleh pemerintah pusat kepada daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) dan diimbangi juga dengan makin besar dana perimbangan yang di transfer kepada daerah, membuat pemerintah daerah harus semakin bertanggung jawab terhadap naik turunnya pembangunan ekonomi daerah, dan fluktuasi ekonomi daerah juga sangat dipengaruhi oleh pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang dibiayai melalui APBD. Oleh sebab itu, APBD menjadi


(37)

salah satu kunci penentu keberhasilan pembangunan ekonomi daerah. Artinya, APBD akan efektif mempengaruhi pembangunan ekonomi daerah, apabila alokasi-alokasi pembiayaan sesuai arah prioritas pembangunan daerah untuk mewujudkan masyarakat makin sejahtera, pengangguran dan jumlah penduduk miskin semakin menurun, dan pertumbuhan ekonomi semakin berkualitas

2.2. Desentralisasi

2.2.1 Ide Dasar Desentralisasi

Rondinelli menyatakan bahwa desenralisasi dalam arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada pemerintah daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan didaerah. Apabila dalam hal kewenangan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah, konsep tersebut dikenal dengan devolusi. Adapu dekonsentrasi adalah apabila sebuah kewenangan dilimpahkan kepada pejabat-pejabat pusat yang ditugaskan didaerah. Dengan demekian desenrtakisasi ini dapat dipilah minimal dalam tiga pemahaman besar : dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang hanya merupakan penyerahan tanggung jawab kepada daerah. Sedangkan delegasi hanya merupakan kewenangan pembuatan keputusan dan manejemen untuk menjalankan fugnsi-fungsi politik tertentu pada organisasi tertentu. Dan devolusi merupakan wujud kongkrit dari desentralisasi politik (political decentralization). Mengenai desentralisasi Rondinelli (1981) menyatakan :


(38)

“the transfer or delegation of legal and authority to plan, make decisions and manage public functions from the central governmental its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government ,semi autonomous public coparation, area wide or regional development authorities; functional authorities, autonomous local government, or non-govermental organizations”

(desentralisasi adalah pemindahan wewenang perencanaan, pembuatan keputusan, dan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi-organisasi setengah swastatra-otorita, pemerintah daerah dan non pemerintah daerah).

Selanjutnya satuan-satuan organisasi pemerintah tersebut disebut sebagai daerah otonom, sedangkan wewenang untuk menyelenggarakan kepentingan daerah yang diterima dari pemerintah pusat disebut sebagai otonomi. Sejarah perekonomian mencatat desentralisasi sudah muncul kepermukaan sebagai parakdima baru dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dasawarsa 1970-an. Tumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya terkait dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat. Karena itu dengan penuh keyakinan para pelopor desentralisasi mengajukan sederet panjang alasan dan argument tentang pentingnya desentralisasi dalam perencanaan dan administrasi di Negara Dunia Ketiga ( sedang berkembang ).

Ada berbagai pengertian desentralisasi. Leemans, misalnya, membedakan dua macam desentralisasi : representative local government dan field administration (Leemans, 1970). Maddick mendefinisikan desentralisasi sebangai proses dekonsentrasi dan devolusi ( Maddick, 1983). Devolusi adalah penyerahan


(39)

kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu kepada pemerintah daerah; sedang dekonsentrasi merupakan pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang tinggi diluar kantor pusat.

Tabel 2.1 Perbedaan Dekonsentrasi dengan Desentralisasi

Istilah dikaitkan

dengan Dekonsentrasi Desentralisasi

Deconcentration Decentralization (French Writers) (French Writers)

Deconsentration Devolution (UN Report) (UN Report)

Bereautcratic Decentralization Democratic Decentralization Administrative Decentralization Prinsip Organisasi

Political Desentralisation Field Administration Local Government Regional Administration Local Self Government Struktur di mana

prinsip ini

mendominasi Perfectoral Administration

Municipal Administration Praktek Delegation of Power Devolution of Power Sumber : Kuncoro, 2004

Tabel diatas barangkali dapat membantu untuk membedakan kedua istilah yang seringkali digunakan oleh berbagai penulis. Terlihat bahwa pemerintah daerah pada umumnya dianggap sebagai manifestasi structural dari desentralisasi (political decentralization). Sementara itu, administrasi lapangan (field administration) atau desentralisasi administratif adalah kata lain dari dekonsentralisasi.

Pemerintah pusat dapat memilih apakah akan menekankan pada pemerintah daerah (Pemda) ataukah pada administrasi lapangan. Pilihan tergantung pada apakah administrasi lapangan dapat seefektif Pemda dalam mengurangi tekanan pusat dan mengembangkan periferi. Tujuan desentralisasi adalah upaya-upaya untuk


(40)

menciptakan kemampuan unit pemerintah secara mandiri dan independen. Pemerintah pusat harus rela melepaskan fungsi-fungsi tertentu untuk menciptakan unit-unit pemerintahan yang baru yang otonom dan berada diluar kontrol langsung pemerintah pusat. Dengan kewenangan pemerintah pusat yang sangat kecil dan hanya berhubungan ha-hal tertentu saja, maka pusat hanya memainkan peran pengawasan dan kordinasi.

Guna memperkuat kemampuan masyarakat dibawahnya, yang secara teoritik jelas akan berada langsung dibawah wewenang kekuasaan lokal daripada pusat. Ada peralihan kekuatan ke unit-unit pemerintah local yang terletak diluar struktur formal pemerintah pusat sendiri atau yang lazim disebut dengan desentralisasi. Di Indonesia, dekonsentrasi dan desentralisasi agaknya merupakan klasifikasi sistem administrasi pemerintah daerah yang lebih popular digunakan. Ini tercermin dari pasal 18 UUD 1945 beserta undang-undang yang mengatur implementasinya.

2.2.2 Perjalanan Desentralisasi di Indonesia

Dalam kacamata sejarah, praktik desentralisasi di Indonesia nenurut Kuncoro (2004) seperti ayuna pendulum. Pola zig-zag terjadi antara desentralisasi dan sentralisasi. Rangkiman kaleidoskop perjalanan desentralisasi dan sentralisasi di Indonesia sejak tahun 1990 (masa penjajahan Belanda), pendudukan Jepang, revolusi, Orde Lama, Orde Baru hingga sekarang. Upaya desentaralisasi sudah dicoba diterapkan pada masa penjajahan Belanda (1900-1940) dan revolusi (1945-1949); diluar periode itu sentralisasi secara adminisrtatif, politik dan fiscal amat terasa (Jaya dan Dick,2001; Kuncoro,2004).


(41)

Mengikuti penjelasan Abdulwahab (2002), perkenalan bangsa Indonesia untuk pertama kali dengan konsep pemerintah modern, khususnya konsep desentralisasi dalam bidang pemerintahan agaknya baru dimulai saat negeri ini dibawah kendali kekuasaan pemerintah colonial Belanda. Semasa Indonesia masih dibawah kekuasaan pemerintah colonial Belanda (Nederland Indische/Hindia Belanda) ketentuan perundangan yang berlaku saat itu adalah Decentralization Wet 1903 yang, sesudah berlangsung beberapa tahun, dan dijabarkan lebih lanjut dalam Bestuurshervoorming Wet 1993.

Ketentuan-ketentuan tersebutt selain dimaksudkan oleh pemerintah Kolonial Belanda sebagai landasan yuridis formal bagi daerah-daerah untuk mengatur ikhwal rumah tangganya sendiri, juga untuk membagi daerah-daerah otonom yang mereka kuasai itu menjadi gewest (identik dengan pemerintah provinsi sekarang), regenschaap (identik dengan pemerintahan kabupaten), staatgemeente (identik dengan pemerintah kota).

Ketentuan perundangan buatan pemerintah kolonial Belanda tersebut terus berlaku tatkala Indonesia di bawah kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang. Sebab, ketika pemerintah pendudukan Jepang menguasai Indonesia selama tiga setengah tahun, mereka tidak sempat membentuk undang-undang tersendiri. Dalam masa pendudukan Jepang yang relatif pendek itu mereka praktis hanyalah melanjutkan ap yang telah digariskan pemerintah kolonial Belanda.

Perubahan politik dalam pemerintah di Indonesia baru terjadi sesudah negeri ini merdeka. Dengan beracu pada ketentuan yang termuat dalam pasal 18 UUD 1945 maka dikeluarkanlah UU No. 1/1945 mengenai Komite Nasional Daerah dan


(42)

Ketentuan Pokok Pemerintah Daerah, yang berlaku sejak 23 November 1945. Undang-undang ini saat di Indonesia terbentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) digunakan sebagai basis dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Desentalisasi di Indonesia mempunyai catatan sejarah yang cukup panjang. Selama kemerdekaan saja Indonesia telah memiliki 8 buah UU Pemerintah Daerah : UU No. 1/1945, UU No.22/1948, UU No. 1/1957, UU No.6/1959, UU No.18/1965, UU No.5/1974, UU No.22/1999, UU No.32/2004.

2.3. Pembangunan Nasional dan Daerah

Pembanguna ekonomi adalah suatu cara untuk memajukan dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat yang merupakan usaha untuk menghilangkan suatu mata rantai dari lingkungan kemiskinan yang dihadapi negara berkembang, sedangkan dalam pembangunan UUD 1945, disebutkan bahwa bangsa Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap individu dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umun, mencerdaskan kehidupan bangsa, maka sudah sewajarnyalah Indonesia melakukan pembangunan yang telah tercermin dalam GBHN yang antara lain berisikan tujuan pembangunan secara has dari pembangunan itu sendiri, yaitu untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata secara material dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah NKRI yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat yang bernuansa perikehidupan yang aman, damai serta dalam lingkunagn pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.


(43)

Defenisi pembangunan yang dikemukakan oleh Todaro (1996) dalam bukunya “Economics For Development World and Introduction To Principles Problem and Policres For Development” sebagai berikut :

“ Economics Development should there part neceived a multidimentional process involving the reorganization and reorientation of enterie economic and social system,

it typically involves radical changes institutional social and anministrative structure as well as in popular attitucles and sometimes even custom and belief finally, development is usually in nation contex, its indespread realization may necessitate

fundamental modification of the international economics and social system” Dari uraian diatas pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses multidimentional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap “ mental yang sudah terbiasa”, lembaga nasional termasuk pula percepatan ekselerasi pra ekonomi pengurangan dan pemberantasan kemiskinan yang absolute. Pengertian pembangunan telah mengalami perubahan yang mencakup dimensi yang lebih luas, terpadu dan mencakup sebagai aspek kehidupan oleh sebab itu pengertian pembanguan harus dilihat secara dinamis dan bukan sebai konsep yang statis.

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal juga mempengaruhi orientasi kebijakan pembangunan daerah. Dalam era sentralisasi, pembangunan daerah sifatnya hanya sebagai pendukung pelaksanaan kebijaksanaan dan perencanaan nasional. Akibatnya, perenanan yang dimainkan oleh kebijakan pembangunan daerah juga tidak terlalu penting. Akan tetapi dalam era otonomi daerah akan mengalami perubahan dan peranannya menjadi semakin penting. karena dalam era otonomi daerah campur tangan pusat akan semakin berkurang dan daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengelola pembangunan didaerahnya


(44)

masing-masing, maka sistem perencanaan pembangunan daerah yang semula lebih besifat sektoral akan berubah menjadi lebih bersifat regional.

Perencanaan pembangunan daerah yang disusun lebih banyak memperhatikan potensi dan karakteristik khusus daerah. Sedangkan perencanaan nasinal lebih banyak bersifat makro dan hanya akan memberikan arah dan sasaran umum agar pembangunan daerah dapat dikoordinasikan dengan baik dan efisien.

Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain. Oleh sebab itu perencanaan pembangunan ekonomi suatu daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah. Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah. Keinginan kuat dari pemerintah daerah untuk membuat strategi pengembangan ekonomi daerah dapat membuat masyarakat ikut serta membentuk bangun ekonomi daerah yang dicita-citakan. Dengan pembangunan ekonomi daerah yang terencana, pembayar pajak dan penanam modal juga dapat tergerak untuk mengupayakan peningkatan ekonomi. Kebijakan pertanian yang mantap, misalnya, akan membuat pengusaha dapat melihat ada peluang untuk peningkatan produksi pertanian dan perluasan ekspor.


(45)

Dengan peningkatan efisiensi pola kerja pemerintahan dalam pembangunan, sebagai bagian dari perencanaan pembangunan, pengusaha dapat mengantisipasi bahwa pajak dan retribusi tidak naik, sehingga tersedia lebih banyak modal bagi pembangunan ekonomi daerah pada tahun depan. Pembangunan ekonomi daerah perlu memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang terhadap isu-isu ekonomi daerah yang dihadapi, dan perlu mengkoreksi kebijakan yang keliru. Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh.

2.4. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat

Pembangunan diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang, dari defenisi ini mengandung tiga unsur yaitu :

 Suatu proses yang berarti perubahan yang terus menerus yang didalamnya telah mengandung unsure-unsur kekuatan sendiri untuk investasi.

 Usaha peningkatan pendapatan perkapita

 Berlangsung dalam jangka panjang.

Perkembangan ekonomi selalu dipandang sebagai kenaikan dalam pendapatan perkapita merupakan suatu pencerminan dari timbulnya perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat namun masalah pembangunan merupakan suatu jalinan eksitensi dari masalah sosial dan ekonomi, oleh karena itu kebijakan


(46)

pembangunan ekonomi yang dilaksanakan perlu pertimbangan faktor-faktor yang bersifat non-ekonomi.

Pembanguan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berdasarkan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemampuan nasional dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperjatikan tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaannya mengaju pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, keadilan, sejahtera, maju dan kukuh kekuatan moral dan etikanya.

Dalam pelaksanan UU No.6 Tahun 1974 tentang ketentuan pokok kesejahteraan sosial disebutkan bahwa usaha kesejahteraan sosial mempunyai ruang lingkup yang khusus tertuju pada manusia sebagai perorangan manusia atau faktor-faktor dari luar mengatasi kehilangan kemampuan untuk melaksanakan peran sosialnya (disfungsi sosial). Dunkam (1999) mengemukakan yang dimaksud kesejahteraan sosial adalah bagian kegiatan yang terorganisir dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui pembangunan dan bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan didalam berbagai situasi seperti kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang dan hubungan sosial.

Dari pengertian tentang kesejahteraan sosial diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat adalah suatu cara dan penghidupan sosial materil dan spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin


(47)

yang meningkat bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosissal bagi diri, keluarga dan masyarakat.

Adapaun tahap keluarga sejahtera menurut kantor mentri negara kependudukan (BKKBN) dibagi lima tahap yaitu :

a. Keluarga prasejahtera

Yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimual seperti kebutuhan pangan,sandang, kesehatan, dan keluarga berencana.

b. Keluarga sejahtera I

Yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kegiatan sosial psikologisnya seperti kebutuhan akan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi.

c. Keluarga sejahtera II

Yaitu keluarga yang telah memenuhi kebutuhan fisik dan sosial psikologisnya dan pengembangan namun kebutuhan pengembangan seperti kebutuhan untuk menabung dan informasi.

d. Keluarga sejahtera III

Yaitu keluarga yang telah memenuhi fisik, sosial psikologisnya dan pengembangan namun belum dapat memberikan sumbangan dan peran serta aktif menjadi pengurus lembanga kemasyarakatan yang ada.


(48)

e. Keluarga sejahtera plus

Yaitu keluarga yang telah memenuhi seluruh kebutuhan serta memiliki suatu kepedulian yang tinggi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga sekitarnya.

Bilamana kemakmuran masyarakat (people prosperity) merupakan sasaran utama pembangunan daerah, maka tekanan utama pembangunan akan lebih banyak diarahkan pada pembangunan penduduk setempat. Dalam kaitan dengan hal ini, program dan kegiatan lebih banyak diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bentuk pengembangan pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat dan peningkatsn penerapsn teknologi tepat guna. Disamping itu, perhatian juga akan lebih diarahkan untuk meningkatkan kegiatan produksi masyarakat setempat dalam bentuk pengembangan kegiatan pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, peikanan dan kehutanan, serta kegiatan ekonomi kerakyatan lainnya. Sejalan dengan hal tersebut dilakukan pula peningkatan pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan kemampuannya dalam pengembangan usaha agar tidak ketinggalan dari penduduk pendatang yang biasanya mempunyai kemampuan yan lebih baik.

Bila upaya pembangunan wilayah lebih banyak diarahkan pada peningkatan kemakmuran masyarakat ini, biasanya laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan. Penyediaan lapangan kerja pada daerah bersangkutan cenderung bertumbuh lambat dibandingkan bila sasaran pembangunan diarahkan pada peningkatan kemakmuran wilayah. Hal ini terjadi karena, upaya pembangunan lebih banyak diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dam pemberdayaan masyarakat yang


(49)

biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan upaya pembangunan fisik wilayah. Akibatnya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja daerah cenderung menjadi lebih rendah yang selanjutnya mengakibatkan pula kinerja pembangunan daerah bersangkutan akan cenderung akan lebih lambat.

2.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu negara/ wilayah/ daerah. Pertumbuhan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya infrastruktur ekonomi. PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilakan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar penghitungannya.

PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan harga konstan dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Dengan demikian, PDRB merupakan indikator untuk mengatur sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan.


(50)

2.5.1. Konsep dan Defenisi

Dalam menghitung pendapatan regional hanya dipakai konsep Domestik. Berarti seluruh nilai tambah yang ditimbulkan oleh berbagai sektor/lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu wilayah (dalam hal ini propinsi/kabupaten/kota) dihitung dan dimasukkan tanpa memperhatikan kepemilikan atas faktor produksi. Dengan demikian pendapatan/balas jasa kepada faktor-faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tersebut.

2.5.2. Metode Penghitungan

Ada dua metode yang dapat dipakai untuk menghitung PDRB yaitu metode langsung dan metode tidak langsung.

2.5.2.1. Metode Langsung

Penghitungan didasarkan sepenuhnya pada data daerah, hasil penghitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Pemakaian metode ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu:

a. Pendekatan Produksi

PDRB merupakan jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) atau nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu wilayah/region dalam suatu periode tertentu, biasanya satu tahun. Sedangkan NTB adalah Nilai Produksi Bruto (NPB/Output) dari barang dan jasa tersebut dikurangi seluruh biaya antara yang digunakan dalam proses produksi.


(51)

b. Pendekatan Pendapatan

PDRB adalah jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah/region dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berdasarkan pengertian tersebut maka NTB adalah jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB ini termasuk pola komponen penyusutan dan pajak tak langsung neto.

c. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk pengeluaran konsumsi rumahtangga dan lembaga swasta nirlaba, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan inventori dan ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor), di dalam suatu wilayah/region dalam periode tertentu, biasanya satu tahun. Dengan metode ini, penghitungan NTB bertitik tolak pada penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi.

2.5.2.2. Metode Tidak Langsung/Alokasi

Menghitung nilai tambah suatu kelompok ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam masing-masing kelompok kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang palin besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.


(52)

Pemakaian masing-masing metode pendekatan sangat tergantung pada data yang tersedia. Pada kenyataannya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling menunjang satu sama lain karena metode langsung akan mendorong peningkatan kualitas data daerah sedangkan metode tidak langsung akan merupakan koreksi dalam pembanding bagi data daerah.

2.5.3. Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan

Hasil penghitungan PDRB disajikan atas dasar harga berlaku dan harga konstan.

2.5.3.1. Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku

PDRB atas dasar harga berlaku merupakan jumlah seluruh NTB atau nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu periode tertentu, biasanya satu tahun, yang dinilai dengan harga tahun yang bersangkutan.

NTB atas dasar harga berlaku yang didapat dari pengurangan NPB/Output dengan biaya antara masing-masing dinilai atas dasar harga berlaku. NTB menggambarkan perubahan volume/kuantum produksi yang dihasilkan den tingkat perubahan harga dari masing-masing kegiatan, subsektor dan sektor. Mengingat sifat barang dan jasa yang dihasilkan oleh setiap sektor maka penilaian NPB/Output dilakukan sebagai berikut:

1.Untuk sektor primer yang diproduksinya bisa diperoleh secara langsung dari alam seperti pertanian, pertambangan dan penggalian, pertama kali dicari kuantum produksi dengan satuan standard yang biasa digunakan. Setelah itu


(53)

ditentukan kualitas dari jenis barang yang dihasilkan. Satuan dan kualitas yang dipergunakan tidak selalu sama antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. Selain itu diperlukan juga data harga per unit/satuan dari barang yang dihasilkan Harga yang dipergunakan adalah harga produsen, yaitu harga yang diterima oleh produsen atau harga yang terjadi pada transaksi pertama antara produsen dengan pembeli/konsumen. NPB/Output atas dasar harga berlaku merupakan perkalian antara kuantum produksi dengan harga masing-masing komoditi pada tahun yang bersangkutan. Selain menghitung nilai produksi utama, dihitung pula nilai produksi ikutan yang dihasilkan dengan anggapan mempunyai nilai ekonomi. Produksi ikutan yang dimaksudkan adalah produksi ikutan yang benar-benar dihasilkan sehubungan dengan proses produksi utamanya.

2. Untuk sektor sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air minum, dan sektor bangunan, penghitungannya sama dengan sektor primer. Data yang diperlukan adalah kuantum produksi yang dihasilkan serta harga produsen masing-masing kegiatan, subsektor dan sektor yang bersangkutan. NPB/output atas dasar harga berlaku merupakan perkalian antara kuantum produksi dengan harga masing-masing komoditi pada tahun yang bersangkutan. Selain itu dihitung juga produksi jasa yang digunakan sebagai pelengkap dan tergabung menjadi satu kesatuan usaha dengan produksi utamanya.

3.Untuk sektor-sektor yang secara umum produksinya berupa jasa seperti sektor perdagangan, restoran dan hotel, pengangkutan dan komunikasi, bank dan


(54)

lembaga keuangan lainnya, sewa rumah dan jasa perusahaan serta pemerintah dan jasa-jasa, untuk penghitungan kuantum produksinya dilakukan dengan cara mencari indikator produksi yang sesuai dengan masing-masing kegiatan, subsektor dan sektor. Pemilihan indikator produksi didasarkan pada karakteristik jasa yang dihasilkan serta disesuaikan dengan data penunjang lainnya yang tersedia. Selain itu diperlukan juga indikator harga dari masing-masing kegiatan, subsektor dan sektor yang bersangkutan. NPB/Output atas dasar harga berlaku merupakan perkalian antar indikator harga masing-masing komoditi/jasa pada tahun yang bersangkutan.

2.5.3.2. Penghitungan Atas Dasar Harga Konstan

Penghitungan atas dasar harga konstan pengertiannya sama dengan atas dasar harga berlaku tapi penilaiannya dilakukan dengan harga suatu tahun dasar tertentu. NTB atas dasar harga konstan menggambarkan perubahan volume/kuantum produksi saja. Pengaruh perubahan harga telah dihilangkan dengan cara menilai dengan harga suatu tahun dasar tertentu. Penghitungan atas dasar harga konstan berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau sektoral, juga untuk melihat perubahan struktur perekonomian suatu daerah dari tahun ke tahun.


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang dilakukan dalam mengumpulkan informasi empiris guna memecahkan masalah dan menguji hipotesis dari penelitian. Data dan atau informasi yang tepat dan relevan dengan masalah yang dibahas diharapkan dapat menggambarkan kesimpulan yang lebih baik dan bermutu.

3.1Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah Kota Binjai, dimana penelitian ini mengamati tentang pengaruh otonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat kota Binjai.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari sumber informasi yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu: Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara dan Badan Pusat Statistik (BPS) kota Binjai. Disamping itu, data lainnya yang mendukung penelitian ini diperoleh dari sumber bacaan seperti, jurnal,dan buku bacaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series (runtun waktu) dengan kurun waktu 15 tahun (1993-2007).


(56)

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan kepustakaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, jurnal, artikel, majalah, dan laporan-laporan penelitian yang ada hubungannya dengan topik yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan pencatatan secara langsung dari sumber informasi yang berkaitan dengan penelitian ini.

3.4 Pengolahan Data

Penulis melakukan pengolahan data dengan metode statistika menggunakan program komputer E-Views 5.1 untuk mengolah data dalam skripsi ini.

3.5 Model Analisis Data

Model analisis yang digunakan dalam menganalisis data adalah model ekonometrika. Dalam menganalisis data yang diperoleh untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat maka digunakan model ekonometrik dengan meregresikan variabel-variabel yang ada dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Squere). Data yang digunakan dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan analisis statistika yaitu persamaan regresi linier berganda.

Model persamaannya adalah sebagai berikut :


(57)

Kemudian fungsi tersebut dispesifikasikan kedalam bentuk model persamaan regresi linier sebagai berikut :

Y = 1X12X2 3X3 ... (2)

Dimana :

Y = PDRB perkapita berdasarkan harga berlaku ( Juta Rupiah ) X1 = Pendapatan Asli Daerah (Milliar Rupiah)

X2 = Anggaran Pembangunan (Milliar Rupiah)

X3 = Dummy

 = Intercept / Konstanta 2

1,

 ,3 = Koefisien Regresi

 = Term of Error ( Kesalahan Pengganggu )

Bentuk hipotesis di atas secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

, 0 1

 X

Y

Artinya jika X1 (PAD) meningkat maka Y (PDRB) akan

mengalami peningkatan, ceteris paribus.

, 0 2

 X

Y

Artinya jika X2 (Anggaran Pembangunan) meningkat maka Y

(PDRB) akan mengalami peningkatan, ceteris paribus.

, 0 3

 X

Y

Artinya jika X3 (Dummy) meningkat maka Y (PDRB) akan


(58)

3.6. Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian) 3.6.1. Koefisien Determinasi (R-Square)

Koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersama-sama memberi penjelasan terhadap variabel dependen . Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1 (0<R2 ≤1).

3.6.2. Uji t-statistik ( Uji Parsial )

Uji t-statistik merupakan suatu pengujian secara parsial yang bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai berikut :

H0 : bi = b Ha : bi b

Dimana bi adalah koefisien variabel independen ke-i nilai parameter hipotesis, biasanya b dianggap = 0. Artinya tidak ada pengaruh variabel X terhadap Y. Bila nilai t-hitung > t-tabel maka pada tingkat kepercayaan tertentu H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap variabel dependen. Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus :

t-hitung =

Sb b bi

Dimana :

bi = Koefisien variabel independen ke-i b = Nilai hipotesis nol


(59)

Sbi = Simpangan baku dari variabel independen ke-i

Kriteria pengambilan keputusan :

H0 :  0 H0 diterima (t*<t-tabel) artinya variabel independen secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Ha :  0 Ha diterima (t*>t-tabel) artinya variabel independen secara

parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

3.6.3. Uji F-statistik

Uji F-statistik ini adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh koefisien regresi secara bersama-sama terhadap variabel dependen.

Untuk pengujian ini digunakan hipotesa sebagai berikut :

... bk = 0 (tidak ada pengaruh) bk

b b


(60)

... i = 1 (ada pengaruh) 0

:b2  Ha

Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai statistik dengan F-tabel. Jika F-hitung > F-tabel maka H0 ditolak, yang berarti variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Nilai F-hitung dapat diperoleh dengan rumus :

F-hitung =

 

R

n k

k R    2 2 1 1 Dimana :

R2 = Koefisien determinasi k = Jumlah variabel independen n = Jumlah sampel

Kriteria pengambilan keputusan : 0

: 1 2

0   

H H0 diterima (F*<F-tabel) artinya variabel independen secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

0 :1 2

a

H H0 diterima (F*>F-tabel) artinya variabel independen secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.


(61)

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik 3.7.1. Mulikolinieritas ( Multicolineanity)

Mulikolinieritas adalah alat untuk mengetahui suatu kondisi apakah terdapat korelasi variabel independen diantara satu sama lainnya. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearity dapat dilihat dari nilai R2, F-hitung, t-hitung, dan standart error.

Adanya multikolinearity ditandai dengan :

 Standart error tidak terhingga

 Tidak ada satupun t-statistik yang signifikan pada α = 1%, α = 5%, α = 10%

 Terjadi perubahan tanda atau tidak sesuai dengan teori


(62)

3.7.2. Autokorelasi (Serial Correlation)

Serial Correlation didefenisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dan ruang. Model regresi linear klasik mengasumsikan autokorelasi tidak terdapat didalamnya distribusi atau gangguan μi dilambangkan dengan :

i : j

0

E   ij

Ada beberapa cara untuk menguji keberadaan autokorelasi, yaitu : 1. Dengan menggunakan atau memplot grafik

2. Dengan D-W Test (Uji Durbin-Watson) Uji D-W ini dirumuskan sebagai berikut :

Dw-hitung =

  2 2 1) ( t t t e e e

Dengan hipotesis sebagai berikut : ,

0 : 0  

H artinya tidak ada autokorelasi ,

0 : 

a

H artinya ada autokorelasi

Dengan jumlah sampel tertentu dan jumlah variabel independen tertentu diperoleh nilai kritis dl dan du dalam tabel distribusi Durbin-Watson untuk berbagai nilai α. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut :


(63)

Dengan jumlah sampel tertentu dan jumlah variabel independen tertentu diperoleh nilai kritis dl dan du dalam tabel distribusi Durbin-Watson untuk berbagai nilai α. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut :

Gambar 3.3 Kurva Durbin-Watson

Keterangan :

H0 : Tidak ada korelasi

DW<dl : Tolak H0 (ada korelasi positif) DW>4-dl : Tolak H0 (ada korelasi negatif) du<DW<4-du : Terima H0 (tidak ada korelasi)

dlDw<4-du : Tidak bisa disimpulkan (inconclusive) (4-du) Dw (4-dl)   : Tidak bisa disimpulkan (inconclusive)


(64)

3.8. Defenisi Operasional

1. Tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan PDRB Perkapita kota Binjai berdasarkan harga berlaku, yang dihitung dalam juta rupiah.

2. PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah seperti pajak, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah, dan lain-lain. yang dihitung dalam miliar rupiah.

3. Anggaran pembangunan merupakan besarnya anggaran pembangunan dalam Anggaran Penerima Belanja Daerah (APBD) dihitung dalam miliar rupiah (diasumsikan semua memakai tahun anggaran masehi/ kelender)

4. Dummy merupakan variabel boneka yang menjelaskan kondisi sebelum dan sesudah Otonomi Daerah, yaitu

 D = 0 (nol) = tahun sebelum otonomi daerah (1993-1999)


(65)

BAB IV

ANALISI DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak Geografis Kota Binjai

Binjai adalah salah satu kota (dahulu daerah tingkat II berstatus kotamadya) dalam wilayah provinsi Sumatra Utara, Indonesia. Binjai terletak 22 km di sebelah barat ibukota provinsi Sumatra Utara, Medan. Sebelum berstatus kotamadya, Binjai adalah ibukota Kabupaten Langkat yang kemudian dipindahkan ke Stabat. Binjai berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat di sebelah barat dan utara serta Kabupaten Deli Serdang di sebelah timur dan selatan. Binjai merupakan salah satu daerah dalam proyek pembangunan Mebidang yang meliputi kawasan Medan, Binjai dan Deli Serdang. Saat ini, Binjai dan Medan dihubungkan oleh jalan raya Lintas Sumatera yang menghubungkan antara Medan dan Banda Aceh. Oleh karena ini, Binjai terletak di daerah strategis di mana merupakan pintu gerbang Kota Medan ditinjau dari provinsi Aceh.

Letak geografis Binjai 03°03'40" - 03°40'02" LU dan 98°27'03" - 98°39'32" BT. Ketinggian rata-rata adalah 28 meter di atas permukaan laut. Sebenarnya, Binjai hanya berjarak 8 km dari Medan bila dihitung dari perbatasan di antara kedua wilayah yang dipisahkan oleh Kabupaten Deli Serdang. Jalan Raya Medan Binjai yang panjangnya 22 km, 9 km pertama berada di dalam wilayah Kota Medan, Km 10 sampai Km 17 berada dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang dan mulai Km 17 adalah berada dalam wilayah Kota Binjai.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh pendapatan asli daerah (PAD), anggaran pembangunan (AP) dan Dummy terhadap PDRB perkapita Kota Binjai (Y), maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Koefesien Determinasi (R-square) sebesar 0.991264 atau 99,13% hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan variasi yang terjadi pada variabel independen (Pendapatan asli daerah (PAD) dan Anggaran pembangunan (AP)) dapat menjelaskan variabel dependen (PDRB perkapita Kota Binjai (Y)) sebesar 99,13% sedangkan sisanya sebanyak 0,87% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model estimasi.

2. Pendapatan asli daerah (PAD) memiliki pengaruh positif terhadap PDRB perkapita Kota Binjai (Y). Hal ini dapat kita lihat atau ditunjukkan oleh koefisien pendapatan total yaitu sebesar 0,597471 . Artinya setiap kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 1 Milyar Rupiah pertahun maka akan menyebabkan peningkatan PDRB perkapita Kota Binjai 0,597471 Juta Rupiah, cateris paribus.

3. Anggaran pembangunan (AP) memiliki pengaruh positif terhadap PDRB perkapita Kota Binjai (Y). Hal ini dapat kita lihat atau ditunjukkan oleh koefisien anggaran pembangunan (AP) yaitu sebesar 0.022401. artinya setiap


(2)

kenaikan Anggaran Pembangunan (AP) sebesar 1 Milyar maka akan menyebabkan peningkatan PDRB perkapita Kota Binjai (Y) sebesar 0.022401 5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian serta kesimpulan yang telah dirumuskan diatas maka diberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Otonomi daerah berdampak positif bagi pendapatan daerah, oleh karena itu Pemerintah Daerah diharapkan dapat menjalankan fungsinya dengan baik sehingga pendapatan masyarakat (dilihat dari PDRB perkapita) terjadi merata di semua lapisan masyarakat, dengan demikian kesenjangan sosial menjadi kecil maka tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Binjai meningkat.

2. Dengan dilaksanakannya otonomi daerah di Kota Binjai maka peran serta pemerintah pusat dalam pengambilan keputusan / kebijakan menjadi kecil oleh sebab itu Pemerintah Daerah diharapkan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat. Pengawasan terhadap dana-dana yang dialokasikan untuk tiap bidangnya haruslah sesuai dengan program-program yang telah dicanangkan. Jika ditemukan ketidaksesuaian hendaknya pemerintah Kota Binjai dapat mengambil langkah-langkah yang bijaksana guna terciptanya tujuan yang diharapkan. Dan jika telah tercapai tujuan yang diharapkan tinggal bagaimana meningkatkan dan mempertahankannya agar menjadi lebih baik lagi.

3. Bagi peneliti-peneliti yang ingin malakukan penelitian yang sama dengan penelitian ini agar memasukan variable-variabel lain dalam penelitiannya untuk memperoleh hasil yang signifikan. Dan juga memperhatikan periode


(3)

waktu yang digunakan, akan lebih baik jika periode waktu yang digunakan lebih banyak dan lebih aktual dari penelitian ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Sritua, 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi, Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara; Sumatera Utara Dalam Angka (1993-2008); Badan Pusat Statistik (BPS).

Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, Indikator Kesejahteraan Masyarakat Sumatera Utara. (1993-2008); Badan Pusat Statistik (BPS).

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Binjai; Binjai Dalam Angka (1993-2008) ; Badan Pusat Statistik (BPS).

Boediono,2001, Teori Pertumbuhan Ekonomi, BPFE Yogyakarta

Jhinghan, M.L, 1975. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Kuncoro,Mudrajat, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Jakarta; Erlangga. Mubyarto,2001, Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis

Ekonomi, Yogyakarta; BPFE Yogyakarta.

Manurung, Jonni J, Adler Haymans Manurung dan Ferdinand Dehoutman Saragih, 2005, Ekonomertika Teori dan Aplikasi, Jakarta; Elex Media Komputindo. Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat, 2007, Pedoman Praktis Penggunaan

Eviews Dalam Ekonometrika, Medan; USU Press.

Safi’i, H.M, 2007, Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Perspektif Teoritik, Malang; Averroes Press


(5)

Siagian, Faisal, 1995, Kepemimpinan dan Politik Kewarganegaraan Menuju Abad XXI, Jakarta; AIPI

Sjafrizal, 2008, Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi, Padang ; Praninta Offset Supranto, J, 2001, Statistik Teori dan Aplikasi Edisi Keenam, Jakarta; Erlangga

Todaro, Michael P, dan Smith, Stephen C, 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan, Jakarta : Penerbit Erlangga

Widjaja, HAV, 2002, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta ; RajaGrafindo Persada


(6)

Lampiran I

Data Variabel Penelitian

PDRB perkapita atas dasar harga berlaku (Y), Pendapatan Asli Daerah (X1),

Anggaran Pembangunan (X2)

Dummy/variable Boneka (X3)

Kota Binjai , 1993-2007

No. Tahun Y

( Rp. juta)

X1 ( Rp. Miliar)

X2 (Rp.miliar)

X3

1 1993 1.01 1.03 5.0 0

2 1994 1.62 1.15 4.6 0

3 1995 1.77 1.44 7.3 0

4 1996 1.86 2.13 7.1 0

5 1997 1.94 2.62 8.1 0

6 1998 2.79 2.66 6.8 0

7 1999 3.36 2.75 12.7 0

8 2000 3.89 2.9 14.7 1

9 2001 4.56 3.91 40.4 1

10 2002 6.84 5.7 71.6 1

11 2003 7.82 8.31 58.5 1

12 2004 9.04 11.51 54.9 1

13 2005 10.48 13.21 52.3 1

14 2006 11.83 13.32 81.6 1