udara, dan wajib memberikan laporan tahunan kegiatan operasionalnya kepada dinas perhubungan.
Izin usaha expedisi muatan udara pun sewaktu-waktu dapat dicabut apabila perusahaan tidak menjalankan kegiatan usahanya selama 12 bulan secara
berturut-turut, perusahaan
dinyatakan pailit,
perusahaan menyatakan
membubarkan diri, tidak dapat lagi memberikan pelayanan di bidang expedisi muatan pesawat udara, tidak mempunyai nomor pokok wajib pajak, izin usahanya
diperoleh dengan cara tidak sah, dan menjalankan kegiatan usaha dengan melanggar undang-undang yang berlaku.
G. Perjanjian Keagenan dan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara.
Perjanjian keagenan dan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara merupakan salah satu bentuk perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur
secara khusus dalam KUHPerdata dan KUHD. Meskipun terkandung aspek perwakilan, perjanjian keagenan dan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara tidak
sepenuhnya sama dengan perjanjian pemberian kuasa lastgeving
68
sebagai bentuk perjanjian khusus yang diatur dalam KUHPerdata maupun makelar dan
komisioner sebagai pranata pedagang perantara sebagaimana diatur dalam KUHD. Perjanjian Keagenan agency yang sekarang banyak digunakan disamping
mengadung sifat-sifat pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata dan sifat-sifat makelar sebagaimana diatur dalam Pasal 63 KUHD
serta komisioner sebagaimana diatur dalam Pasal 79 ayat 1 KUHD, terdapat pula di dalamnya sifat-sifat agensi sebagaimana yang terdapat dalam sistem
68
I Ketut Oka Setaiwan, Op.Cit., hal. 1
Universitas Sumatera Utara
hukum common law. Walaupun perjanjian keagenan memiliki sifat-sifat dari pemberian kuasa, namun terdapat kekhususan dari perjanjian keagenan, yakni:
1. Agen dilakukan dengan upah, sedangkan pemberian kuasa tidak selalu
dengan upah. 2.
Pemberian kuasa lebih bebas dari keagenan karena dapat dilakukan dengan hak substitusi atau tidak dan tanggungjawabnya bergantung
pada ada atau tidaknya hak tersebut. 3.
Agen sangat dipengaruhi oleh prinsipal, sedangkan dalam pemberian kuasa tidak demikian.
69
Begitu pula dengan perjanjian keagenan apabila dibandingkan dengan komisioner dan makelar, maka:
1. Agen lahir dari penunjukkan prinsipal atau melalui persetujuan para
pihak, sedangkan komisioner dan makelar terjadi dari perbuatan sepihak ditambah dengan campur tangan pemerintah dalam
pengangkatannya.
2. Agen dapat bertindak atas nama prinsipalnya dan dapat pula bertindak
atas namanya sendiri yang dikenal dengan ajaran “undisclosed principal
”, sedangkan penerima kuasa harus bertindak atas nama prinsipalnya.
70
Perjanjian keagenan lahir dari adanya asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak yang secara implisit dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat 1
KUHPerdata yaitu: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
” yang memungkinkan para pihak menciptakan hubungan hukum baru. Makna asas kebebasan berkontrak antara lain
bahwa adalah kebebasan dalam menentukan isi dan bentuk perjanjian. Namun, asas kebebasan berkontrak tidak serta merta memberikan kebebasan mutlak bagi
para pihak, namun kebebasan tersebut masih dibatasi hal-hal tertentu. Dalam hal bentuk, terdapat pembatasan untuk perjanjian-perjanjian tertentu dalam arti harus
69
R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti,. Bandung , 2005, hal. 158
70
Ibid, hal.160
Universitas Sumatera Utara
dipenuhi syarat-syarat tertentu agar sah. Dalam perjanjian formal, perjanjian harus dibuat secara tertulis, misalnya pembuatan perjanjian polis asuransi yang diatur
dalam Pasal 258 KUHD, karenanya harus dibuat dalam bentuk tertentu, cukup dengan akta di bawah tangan. Bilamana ternyata dibuat dengan lisan, sehingga
syarat bentuk tidak terpenuhi, dengan sendirinya perjanjian yang telah ditutup menjadi batal. Perjanjian riil juga merupakan pembatasan kebebasan berkontrak
dalam hal bentuk. Di sini diisyaratkan adanya penyerahan benda yang menjadi objek perjanjian. Selama penyerahan belum dilakukan perjanjian belum sah,
misalnya perjanjian penitipan Pasal 1694 KUHPerdata.
71
Begitu pula dalam menentukan isi perjanjian, terdapat pembatasan isi perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
” Dengan demikian kebebasan para pihak dalam menentukan isi perjanjian dibatasi oleh undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pentingnya causasebab yang diperbolehkan adalah memberikan kepada hakim suatu sarana untuk melindungi
kepentingan para pihak atau pihak ketiga yaitu dengan menguji keabsahan perjanjian dengan melihat apakah terdapat atau tidak causa di dalamnya.
72
Atas dasar itu, seorang hakim, karena jabatannya berwenang menyatakan batalnya
suatu perjanjian bila tidak dipenuhi syarat causa atau membatasi syarat-syarat dalam perjanjian sepanjang kausa terlarang.
71
Felix Oentoeng Soebagijo, Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi, dalam Hukum ekonomi, Penyunting Soemantoro, UI Press, Jakarta, 2006, hal. 243.
72
M. Yahaya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2009, hal.38
Universitas Sumatera Utara
Intinya, batas kebebasan berkontrak adalah masalah itikad baik. Dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata me
nyatakan bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
” Itikad baik adalah bahwa para pihak wajib saling berbuat secara layak dan patut satu dengan yang lain. Dalam hukum
Romawi itikad baik disebut “bona fides” artinya kedua belah pihak harus berlaku yang satu terhadap yang lain seperti yang patut di antara orang-orang yang sopan,
tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga melihat kepentingan
pihak lain. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian dalam
KUHPerdata, beberapa ketentuan mengenai pemberian kuasa dalam BW dan beberapa ketentuan mengenai makelar dan komisioner dalam KUHD, serta UU
No. 61968, PP No. 361997 jis. PP No. 191998 jis. PP No. 351996 jis. PP No. 411997 jis. PP No. 151998 dan peraturan perundang-undangan teknis lain yang
mengatur mengenai keagenan merupakan bagian dari aturan yang membatasi kebebasan berkontrak yang dilakukan oleh para pihak dalam pembentukan
perjanjian keagenan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, perjanjian keagenan lahir
dengan ciri dan karakteristik sebagai berikut: 1.
Agen akan menjual barang dan atau jasa atas nama prinsipal, dimana dalam melakukan transaksi dengan pihak ketiga, agen bertindak untuk
dan atas nama prinsipal. 2.
Prinsipal akan bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan agen, sepanjang tindakan tersebut sesuai dengan wewenang yang diberikan
oleh prinsipal kepada agen. 3.
Agen mendapatkan pendapatan berupa komisi dari hasil penjualan berupa barang danatau jasa kepada konsumen.
Universitas Sumatera Utara
4. Barang-barang yang akan dijual ke konsumen tetap menjadi milik
prinsipal dan dikirim langsung dari prinsipal ke konsumen. 5.
Pembayaran harga barang langsung dilakukan dari konsumen kepada prinsipal tanpa melalui agen.
73
Dari karakteristik tersebut, terlihat bahwa dalam perjanjian keagenan, berlaku beberapa ketentuan mengenai pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam
KUHPerdata dan beberapa ketentuan mengenai makelar dan komisioner sebagaimana diatur dalam KUHD, serta peraturan perundang-undangan khusus
lainnya. Definisi agen dalam perjanjian keagenan sendiri adalah orang yang diberi kuasa oleh orang lain yang disebut prinsipal, untuk mengadakan perjanjian dengan
pihak ketiga atas nama prinsipal, dengan mendapatkan imbalan jasa. Hubungan antara principal dengan agen adalah fiduciary relationship, dimana prinsipal
mengijinkan agen untuk bertindak atas nama prinsipal, dan agen tersebut berada di bawah pengawasan prinsipal.
74
Dengan kata lain, agen merupakan seseorang yang melakukan suatu perbuatan hukum dan menciptakan akibat hukum untuk
kepentingan orang lain.
75
Sedangkan yang dimaksud dengan Prinsipal adalah pihak yang memberi perintah untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dari
pengertian di atas dapat kita lihat bahwa dalam keagenan terdapat 3 tiga pihak, yaitu pihak yang memberi perintahkuasa untuk melakukan perbuatan hukum
disebut prinsipal. Pihak yang diberi perintahkuasa untuk melakukan perbuatan hukum disebut agen; dan pihak yang dihubungi oleh agen dengan siapa transaksi
diselenggarakan disebut sebagai pihak ketiga.
73
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distributor, Departemen Kehakiman, Jakarta, 2004, hal. 10
74
Suharnoko, Op.Cit, hal. 41.
75
R. Subekti, Op.Cit, hal. 158
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian dengan pihak ketiga ini dibuat oleh agen untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan pemberian wewenang kuasa dari prinsipalnya. Prinsipal
akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan agen sepanjang tindakan-tindakan tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan yang
diberikan. Dengan perkataan lain, apabila seseorang agen dalam bertindak melampaui batas wewenangnya maka ia yang bertangung jawab secara sendiri-
sendiri atas tindakan tersebut.
76
Oleh karena agen bertindak atas nama prinsipal, maka agen tidak melakukan pembelian dari prinsipalnya. Hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 1797 dan Pasal 1801 KUHPerdata. Perjanjian keagenan yang mengatur hubungan keagenan dengan prinsipal
tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata. Oleh sebab itu ketentuan- ketentuan perjanjian pada umumnya yang bersifat memaksa dalam KUHPerdata
berlaku pula untuk perjanjian keagenan. Menurut ketentuan perundang-undangan, terhadap perjanjian keagenan akan diberlakukan ketentuan-ketentuan yang
menyangkut pemberian kuasa volmacht yang merupakan bagian dari lastgeving pemberian kuasa ditambah dengan beberapa ketentuan mengenai makelar dan
komisioner dan peraturan-peraturan khusus yang dikeluarkan oleh beberapa departemen teknis.
77
Hubungan keagenan adalah hubungan perwakilan karena apa yang dilakukan oleh agen merupakan representasi dari apa yang hendak dilakukan
oleh prinsipal. Karakteristik hubungan tersebut menimbulkan konsekuensi hukum bahwa apa yang menjadi hak agen di satu sisi akan menjadi kewajiban prinsipal di
76
Yohanes Sogar Simamora, Op.Cit, hal. 74.
77
R. Subekti, Op. Cit, hal. 162.
Universitas Sumatera Utara
sisi lain, dan apa yang menjadi kewajiban agen secara otomatis pula akan menjadi hak prinsipal pada ujung yang lain. Agen dalam kegiatannya bertindak mewakili
prinsipalnya berdasarkan pemberian kuasa maka hubungan antara agen dengan prinsipal, sifatnya tidak seperti hubungan antara majikan dengan buruh. Dalam
perjanjian perburuhan, yang penting adalah penyediaan tenaga kerja semata-mata untuk memperoleh upah, disamping itu tedapat kedudukan buruh yang lebih
rendah dari majikan, dimana hal demikian itu tidak dijumpai pada hubungan antara agen dan prinsipal.
Agen dan prinsipal ada pada posisi yang setingkat. Agen bertindak melakukan perbuatan hukum misalnya menjual barang dan atau jasa tidak atas
namanya sendiri tetapi atas nama prinsipal.
78
Agen dalam hal ini berkedudukan sebagai perantara. Jika agen mangadakan transaksi negosiasi dengan
konsumenpihak ketiga maka barang dikirimkan langsung dari prinsipal kepada konsumen. Pembayaran atas barang yang telah diterima oleh konsumen langsung
kepada prinsipal bukan melalui agen, sedangkan pembayaran kepada agen berupa komisi dari hasil penjualannya.
H. Hak dan Kewajiban Para Pihak.