Pembinaan dan Penataaan Usaha Agen Penjualan Tiket dan Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara sebagai Usaha Penunjang dalam Penyelenggaraan Angkutan Udara (Studi Pada PT. Graha Travel & Tour Medan)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku.
Adji, Sution Usman dan Joko Prakoso, dan Hari Pramono, 2001, Hukum
Pengangkutan di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Arrasjid, Chainur,2000, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004, Laporan Akhir Pengkajian tentang
Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distributor,
Departemen Kehakiman, Jakarta.
Basri, Hasnil, 2002, Hukum Pengangkutan, Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum USU, Medan.
Fuady, Munir, 2008, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era
Global, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Harahap, 2009, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
Juwana, Hikmahanto, 2009, Kontrak Keagenan Internasional, PT. Gramedia Group, .
Khairandy, Ridwan, 2006, Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung
Jawab Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara,
Rineka Cipta, Jakarta.
Listyawati, Peni Rinda.2004, Lembaga Keagenan (Upaya Menata Perantara
Dagang Secara Profesional, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Martono, K, 2007, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Alumni, Bandung, Alumni.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum Pengangkutan Darat, Laut Dan Udara, Citra Aditya Bakti, Bandung.
---; 2009, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. ---;2002, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Prawirohamidjojo, Soetojo dan Marthalena Pohan, 2009, Onrechmatige Daad, Jumali, Surabaya.
(2)
Purba, Hasim,2005, Hukum Pengangkutan di Laut, Pustaka Bangsa Press, Medan. Purwosutjipto, H.M.N, 2001. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3
Hukum Pengangkutan. Djambatan. Jakarta.
Salim, A. Abbas, 2003, Manajemen Transportasi, Jakarta, Rajawali Pers.
Saragih, Djasadin, 2005, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Setiawan, I Ketut Oka, 2006, Lembaga Keagenan: dalam Perdagangan dan
Pengaturannya di Indonesia, Ind.Hill Co., Bandung.
Setiawan, R. 2009, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Jakarta.
Simamora, Y.Sogar, 2006, Pemahaman Terhadap Beberapa Aspek Dalam
Perjanjian, Yuridika, Jakarta.
Soebagijo, Felix Oentoeng, 2006, Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan
dan Distribusi, dalam Hukum ekonomi, Penyunting Soemantoro, UI Press,
Jakarta.
Syahrani, Riduan, 2009, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung.
Subekti, R. 2005, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti,. Bandung ---; 2001, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001.
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Preneda Media, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2003. Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Tjakranegara. Soegijatna, 2005, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta.
Uli, Sinta, 2006, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transportasi
Angkutan Laut, Angkutan Darat, Angkutan Udara. USU Press, Medan.
Utari, Siti, 2006, Pengangkutan Laut di Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Watni, Syaiful dkk.2004, Penelitian Tentang Aspek Hukum Tanggung Jawab
Pengangkut dalam Sistem Pengangkutan Multimoda, Badan Pembinaan
(3)
Zainuddin, Achmad, 2003, Selintas Pelabuhan Udara, Yogyakarta, Penerbit Ananda.
Zazili, Ahmad, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pada
Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional, , Universitas Diponegoro,
Semarang.
B. Peraturan Perundang-Undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 51 Tahun 2000 tentang Perwakilan dan Agen penjualan Umum Perusahaan Angkutan Udara Asing.
Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor : SKEP/47/III/2007 tentang petunjuk pelaksanaan usaha kegiatan penunjang bandar udara
C. Internet
http://waterforgeo.blogspot.com/2011/01/fungsi-dan-manfaat-transportasi.html diakses tanggal 02 Oktober 2015 Pukul 08.00 Wib.
https://apustpicurug.wordpress.com/2009/10/05/kerjasama-angkutan-udara-niaga/ diakses tanggal 02 Oktober 2015 Pukul 09.00 Wib.
http://www.academia.edu/7718727/ Pengangkutan Udara Di_Indonesia, diakses tanggal 25 November 2015 Pukul 10.00 Wib.
https://id.wikibooks.org/wiki/Moda Transportasi/Moda Transportasi Udara, diakses tanggal 25 November 2015 Pukul 10.00 Wib
(4)
E. Pengertian Agen Penjualan Tiket dan Lingkup Pekerjaanya.
Menilik sejarah lahirnya lembaga keagenan di Indonesia dapat dilihat dari pelaksanaan Undang-undang No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan, yang menentukan bahwa perusahaan asing yang telah berakhir masa kegiatannya dapat terus melakukan usaha dagangnya dengan cara menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai penyalur atau agen dengan membuat surat perjanjian. Pada Pasal 7 PP Nomor 36 Tahun 1977 tersebut, dimuat ketentuan bahwa perusahaan asing dapat menunjuk perusahaan nasional sebagai perwakilan, pembagi, dan penyalur (agen, distributor, dan dealer). Sejak dikeluarkannya PP Nomor 36 Tahun 1977 tersebut, beberapa departemen teknis mengeluarkan surat keputusan yang mengatur mengenai masalah keagenan, akan tetapi peraturan-peraturan tersebut tidak mengatur hubungan perdata antara prinsipal dengan agen. b Undang-undang Hukum Perdata dan b Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengatur secara khusus tentang keagenan, namun berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian apa saja, termasuk perjanjian keagenan asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
(5)
Dasar hukum keagenan didapati dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Dalam KUH Perdata, yang di dalamnya terkandung asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata)
2. Dalam KUH Perdata tentang Sifat Pemberian Kuasa (yang diatur pada Pasal 1792 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1799 KUH Perdata). 3. Dalam KUH Dagang yang mengatur mengenai Makelar (Pasal 62
sampai dengan Pasal 73 KUHD).
4. Dalam KUH Dagang yang mengatur mengenai Komisioner (Pasal 76 sampai dengan Pasal 85 a).
5. Dalam bidang-bidang khusus, seperti dalam perundang-undangan di bidang pasar modal yang mengatur tentang dealer atau pialang saham. 6. Dalam peraturan administratif, semisal peraturan dari departemen
perdagangan dan perindustrian, yang mengatur masalah administrasi dan pengawasan terhadap masalah keagenan ini.55
Sekilas analisa mengenai dasar hukum yang digunakan dalam keagenan seperti tersebut diatas, perihal sifat pemberian kuasa, lazimnya pemberian kuasa dalam keagenan berupa pemberian kuasa secara khusus, yaitu pemberian kuasa hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Agen hanya diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu saja, misalnya dalam hal melakukan transaksi. Selanjutnya, perihal penggunaan dasar hukum dalam KUH Dagang mengenai Komisioner, apabila dikaitkan dengan karakteristik keagenan, sebenarnya keagenan cenderung lebih sesuai dengan pengaturan mengenai Makelar dalam KUH Dagang, karena antara makelar dengan agen memiliki kesamaan karakter yaitu bertindak untuk dan atas nama pihak yang memberikan kuasa, sedangkan komisioner bertindak untuk pihak yang memberikan kuasa, namun atas nama dirinya sendiri.
55
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 246.
(6)
Pada kegiatan perdagangan, yang dimaksud dengan agen adalah seseorang atau badan yang usahanya adalah menjadi perantara yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya melakukan transaksi atau membuat perjanjian antara seseorang dengan siapa ia mempunyai hubungan yang tetap (prinsipal) dengan pihak ketiga, dengan mendapatkan imbalan jasa.56
Agen bukanlah karyawan prinsipal, ia hanya melakukan perbuatan tertentu/mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga, dan pada pokoknya agen merupakan kuasa prinsipal. Secara lebih lanjut, keagenan diartikan sebagai suatu hubungan hukum dimana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama (pihak) prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan agen, sepanjang dilakukan dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya.57 Dengan perkataan lain, apabila seorang agen dalam bertindak melampaui batas kewenangannya, maka ia yang bertanggung jawab secara sendiri atas tindakan tersebut.
Hubungan antara prinsipal dengan agen adalah fiduciary relationship, dimana prinsipal mengijinkan agen untuk bertindak atas nama prinsipal, dan agen berada di bawah pengawasan prinsipal.58 Hal ini tentunya berbeda dengan pemberian kuasa, yang dalam pelaksanaannya penerima kuasa melaksanakan suatu perbuatan yang dikuasakan kepadanya guna mewakili pemberi kuasa.
56
Y.Sogar Simamora, Pemahaman Terhadap Beberapa Aspek Dalam Perjanjian, Yuridika, Jakarta, 2006, hal.74.
57 Ibid. 58
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Preneda Media, Jakarta, 2004, hal.41
(7)
Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa dalam keagenan terdapat 3 (tiga) pihak, yaitu:
1. Prinsipal, yaitu perorangan atau perusahaan yang memberi perintah/kuasa, mengangkat atau menunjuk pihak tertentu (agen) untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Pengangkatan atau penunjukan agen tersebut dapat dilakukan oleh prinsipal pada umumnya secara tertulis, sekalipun secara lisan tidak ada larangan, tetapi pada saat ini hubungan agen dengan prinsipalnya biasanya diikat oleh suatu persetujuan dalam bentuk kontraktuil.
2. Agen, yaitu pihak yang menerima perintah/kuasa untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum yang harus dilakukan tersebut biasanya tercantum dalam perjanjian termaksud. Pihak prinsipal dan pihak agen membuat perjanjian yang memuat perbuatan apa saja yang harus dilakukan seorang agen untuk prinsipalnya, hak yang diterima agen, serta kewajiban yang harus dipenuhi sekaligus hak yang dimiliki oleh prinsipal. Seluruhnya diatur di dalam perjanjian keagenan yang dibuat antara pihak agen dengan pihak prinsipal.
3. Pihak ketiga, yaitu pihak yang dihubungi oleh agen dengan siapa transaksi diselenggarakan. Agen membuat perjanjian dengan pihak ketiga mengenai transaksi yang dikuasakan kepadanya (agen) tersebut. Perjanjian dengan pihak ketiga tersebut dibuat oleh agen atas nama prinsipal, serta atas tanggung jawab prinsipal.59
Agen dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga, kedudukannya adalah merupakan kuasa prinsipal. Agen bukanlah karyawan prinsipal. Hubungan hukum antara agen dengan prinsipalnya tidak bersifat seperti antara majikan dengan buruhnya. Agen dan prinsipal ada pada posisi yang setingkat, selaku pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Oleh karena agen bertindak atas nama prinsipal, maka agen tidak melakukan pembelian dari prinsipalnya60, dengan demikian, barang yang menjadi objek transaksi tetap menjadi milik prinsipal sampai proses penjualan terselesaikan, yang berarti tidak ada perpindahan kepemilikan objek transaksi dari prinsipal kepada agen, yang ada
59
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 245. 60
(8)
hanyalah perpindahan kepemilikan objek transaksi dari prinsipal kepada pembeli ketika terjadi proses jual beli.
Di era globalisasi, kedudukan dan fungsi keagenan memainkan peranan yang strategis dan signifikan dalam menjembatani kebutuhan pelaku usaha di satu sisi dengan kebutuhan konsumen di sisi lain. Pelaku usaha membutuhkan pengembangan usaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya sehingga keberadaan keagenan dapat memperluas pangsa pasar pelaku usaha hingga ke pelosok daerah dan di sisi lain konsumen-konsumen yang berada di wilayah pelosok juga dengan mudah mendapatkan barang yang dibutuhkannya dengan adanya keagenan. Dengan demikian, peran utama jasa keagenan ialah melakukan perbuatan hukum bagi pihak lain yang memberi perintah (prinsipal) dan terhadap akibat hukum dari perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung jawab dari prinsipal.61
Keberadaan agen dan prinsipal dalam dunia usaha memiliki hubungan yang saling membutuhkan. Prinsipal membutuhkan jasa keagenan karena beberapa sebab, misalnya:
1. Prinsipal tidak menguasai area pemasaran untuk memasarkan barang dan/ atau jasanya.
2. Prinsipal terlalu sibuk dengan pekerjaan pokoknya sehingga harus melakukan pendelegasian pekerjaannya.
3. Prinsipal membutuhkan pihak lain yang memiliki koneksi atau hubungan bisnis serta jaringan pemasaran yang luas sehingga sasaran dan target pemasaran barang dan/ atau jasanya segera terealisasi.62
Sementara di sisi lain, jasa keagenan secara otomatis tumbuh karena dibutuhkan oleh pelaku usaha, yang memiliki hambatan penguasaan teritorial,
61 I Ketut Oka Setiawan, Lembaga Keagenan: dalam Perdagangan dan Pengaturannya di Indonesia, Ind.Hill Co., Bandung, 2006, hal. 22-23.
62
(9)
koneksi, dan kesibukannya, sehingga perlu pendelegasian pekerjaan. Terdapat sedikitnya lima manfaat (utility) dari jasa keagenan, yaitu:
1. Time utility (manfaat penggunaan waktu)
2. Place utility (manfaat penggunaan tempat).
3. Quantity utility (manfaat peningkatan volume produksi).
4. Assortment utility (berguna bagi konsumen untuk memilih jenis dan
kualitas barang secara lebih selektif).
5. Possession utility (jaminan bagi produsen terhadap kepemilikan
barangnya dan pendapatan yang pasti atas penjualan barangnya).63
Keagenan ini seringkali dipersamakan dengan distributorship, secara umum keduanya memang memiliki persamaan yaitu adanya pihak lain yang berfungsi sebagai middlemen. Namun, jika ditelaah berdasarkan konsep keagenan dan konsep distributorship, akan terlihat jelas bahwa keduanya memiliki konsep dan karakter yang berbeda satu sama lain. Karakter dari konsep distributorship adalah:
1. Membeli dan menjual barang untuk diri sendiri berdasarkan tanggung jawab dan risiko sendiri.
2. Memperoleh keuntungan berdasarkan margin harga jual dan harga beli. 3. Semua biaya yang dikeluarkan merupakan beban tanggung jawab sendiri. 4. Sistem manajemen dan akuntansi keuangan bersifat otonom.
Kegiatan angkutan udara niaga pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cara kerja sama dan harus disetujui Direktur Jenderal. kerjasama kegiatan angkutan udara niaga untuk angkutan udara dalam negeri dapat dalam bentuk:
a. Kerjasama operasi (joint operation). b. Bilateral code sharing.
c. Domestic code sharing, perusahaan angkutan udara niaga nasional yang
melakukan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri harus bertindak sebagai pengangkut nyata (actual carrier).
d. Bentuk kerja sama komersial lainnya sesuai perjanjian hubungan udara bilateral dan/atau multilateral. 64
63 Ibid, hal.25
64
https://apustpicurug.wordpress.com/2009/10/05/kerjasama-angkutan-udara-niaga/ diakses tanggal 02 Oktober 2015 Pukul 09.00 Wib.
(10)
Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal atau tidak berjadwal dilarang menjual seluruh kapasitas pesawat udara kepada agen penjualan tiket atau agen perjalanan umum yang kemudian oleh agen penjualan tiket atau agen perjalanan umum kapasitas tersebut dijual kepada umum secara eceran, kecuali pembelian kapasitas pesawat udara tersebut untuk angkutan udara niaga tidak berjadwal. Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal yang melanggar ketentuan, tidak diberikan persetujuan terbangnya.
Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dapat melakukan kerjasama permasaran dan penjualan tiket dengan agen penjualan tiket. Apabila dalam kerjasama, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal mewajibkan agen penjualan tiket menyerahkan uang jaminan, maka uang jaminan tersebut dapat dibayarkan melalui escrow account atau clearing house atau bank yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak.
F. Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara Lingkup Pekerjaannya dan Dasar Hukum
Secara khusus, belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perjanjian keagenan, namun eksistensi perjanjian keagenan di Indonesia diakui dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968) yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan (PP No. 36/1997) sebagai peraturan pelaksananya.
(11)
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan
Keselamatan Penerbangan.
4. PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 11 Tahun 2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional.
Pasal 7 PP No. 36/1997 menentukan bahwa perusahaan asing yang telah berakhir masa kegiatannya dapat terus melakukan usaha dagangnya dengan cara menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai penyalur atau agen dengan membuat surat perjanjian.65 Selain itu, terdapat beberapa departemen teknis, seperti Departemen Perdagangan dan Perindustrian yang mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang keagenan, antara lain Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/KP/III/78 tanggal 9 Maret 1978, Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 295/M/SK/7/1982 tentang Keagenan Tunggal, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/ atau Jasa.
Expedisi muatan pesawat udara adalah sebuah usaha yang mengurusi dokumen dan pekerjaan yang berhubungan dengan penerimaan dan pengiriman muatan yang dibawa melalui jalur udara menggunakan pesawat udara untuk
65
Peni Rinda Listyawati, Lembaga Keagenan (Upaya Menata Perantara Dagang Secara Profesional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 267.
(12)
diberikan kepada atau diterima dari perusahaan penerbangan untuk kemudian diberikan kepada si pemilik barang baik di dalam ataupun di luar negeri.66 Sedangkan perusahaan expedisi muatan pesawat udara itu sendiri artinya adalah perusahaan yang melayani di bidang jasa expedisi muatan pesawat udara.67
Expedisi muatan pesawat udara dapat dilakukan oleh badan hukum di Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas (PT), oleh koperasi yang didirikan khusus untuk bidang expedisi muatan pesawat udara dan memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan juga oleh badan usaha milik Negara (BUMN).
Untuk mendirikan sebuah perusahaan expedisi muatan pesawat udara harus terlebih dahulu membuat permohonan izin usaha expedisi muatan pesawat udara yang diajukan kepada dinas perhubungan yang sesuai dengan format yang tertulis dalam keputusan menteri perhubungan untuk perusahaan yang khusus bergerak di bidang expedisi muatan udara. Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha tersebut akan diberikan dalam kurun waktu 14 hari setelah permohonan diterima secara lengkap oleh dinas perhubungan, dan jika permohonan izin ditolak maka dinas perhubungan wajib memberitahukan alasan penolakannya dan permohonan izin dapat diajukan kembali setelah semua persyaratan dilengkapi, untuk mendapatkan izin usaha expedisi muatan udara ini tidak dipungut biaya sama sekali alias gratis.
Sebuah perusahaan expedisi muatan udara yang telah mendapatkan izin usaha tentunya wajib mematuhi aturan di bidang angkutan udara dan Bandar
66
Ibid, hal. 268 67
(13)
udara, dan wajib memberikan laporan tahunan kegiatan operasionalnya kepada dinas perhubungan.
Izin usaha expedisi muatan udara pun sewaktu-waktu dapat dicabut apabila perusahaan tidak menjalankan kegiatan usahanya selama 12 bulan secara berturut-turut, perusahaan dinyatakan pailit, perusahaan menyatakan membubarkan diri, tidak dapat lagi memberikan pelayanan di bidang expedisi muatan pesawat udara, tidak mempunyai nomor pokok wajib pajak, izin usahanya diperoleh dengan cara tidak sah, dan menjalankan kegiatan usaha dengan melanggar undang-undang yang berlaku.
G. Perjanjian Keagenan dan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara.
Perjanjian keagenan dan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara merupakan salah satu bentuk perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata dan KUHD. Meskipun terkandung aspek perwakilan, perjanjian keagenan dan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara tidak sepenuhnya sama dengan perjanjian pemberian kuasa (lastgeving)68 sebagai bentuk perjanjian khusus yang diatur dalam KUHPerdata maupun makelar dan komisioner sebagai pranata pedagang perantara sebagaimana diatur dalam KUHD. Perjanjian Keagenan (agency) yang sekarang banyak digunakan disamping mengadung sifat-sifat pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata dan sifat-sifat makelar sebagaimana diatur dalam Pasal 63 KUHD serta komisioner sebagaimana diatur dalam Pasal 79 ayat (1) KUHD, terdapat pula di dalamnya sifat-sifat agensi sebagaimana yang terdapat dalam sistem
68
(14)
hukum common law. Walaupun perjanjian keagenan memiliki sifat-sifat dari pemberian kuasa, namun terdapat kekhususan dari perjanjian keagenan, yakni:
1. Agen dilakukan dengan upah, sedangkan pemberian kuasa tidak selalu dengan upah.
2. Pemberian kuasa lebih bebas dari keagenan karena dapat dilakukan dengan hak substitusi atau tidak dan tanggungjawabnya bergantung pada ada atau tidaknya hak tersebut.
3. Agen sangat dipengaruhi oleh prinsipal, sedangkan dalam pemberian kuasa tidak demikian.69
Begitu pula dengan perjanjian keagenan apabila dibandingkan dengan komisioner dan makelar, maka:
1. Agen lahir dari penunjukkan prinsipal atau melalui persetujuan para pihak, sedangkan komisioner dan makelar terjadi dari perbuatan sepihak ditambah dengan campur tangan pemerintah dalam pengangkatannya.
2. Agen dapat bertindak atas nama prinsipalnya dan dapat pula bertindak
atas namanya sendiri yang dikenal dengan ajaran “undisclosed principal”, sedangkan penerima kuasa harus bertindak atas nama
prinsipalnya.70
Perjanjian keagenan lahir dari adanya asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak yang secara implisit dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yaitu: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” yang memungkinkan para pihak menciptakan hubungan hukum baru. Makna asas kebebasan berkontrak antara lain bahwa adalah kebebasan dalam menentukan isi dan bentuk perjanjian. Namun, asas kebebasan berkontrak tidak serta merta memberikan kebebasan mutlak bagi para pihak, namun kebebasan tersebut masih dibatasi hal-hal tertentu. Dalam hal bentuk, terdapat pembatasan untuk perjanjian-perjanjian tertentu dalam arti harus
69
R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti,. Bandung , 2005, hal. 158 70
(15)
dipenuhi syarat-syarat tertentu agar sah. Dalam perjanjian formal, perjanjian harus dibuat secara tertulis, misalnya pembuatan perjanjian polis asuransi yang diatur dalam Pasal 258 KUHD, karenanya harus dibuat dalam bentuk tertentu, cukup dengan akta di bawah tangan. Bilamana ternyata dibuat dengan lisan, sehingga syarat bentuk tidak terpenuhi, dengan sendirinya perjanjian yang telah ditutup menjadi batal. Perjanjian riil juga merupakan pembatasan kebebasan berkontrak dalam hal bentuk. Di sini diisyaratkan adanya penyerahan benda yang menjadi objek perjanjian. Selama penyerahan belum dilakukan perjanjian belum sah, misalnya perjanjian penitipan Pasal 1694 KUHPerdata.71
Begitu pula dalam menentukan isi perjanjian, terdapat pembatasan isi perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.” Dengan demikian kebebasan para pihak dalam menentukan isi perjanjian dibatasi oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pentingnya causa/sebab (yang diperbolehkan) adalah memberikan kepada hakim suatu sarana untuk melindungi kepentingan para pihak atau pihak ketiga yaitu dengan menguji keabsahan perjanjian dengan melihat apakah terdapat atau tidak causa di dalamnya.72 Atas dasar itu, seorang hakim, karena jabatannya berwenang menyatakan batalnya suatu perjanjian bila tidak dipenuhi syarat causa atau membatasi syarat-syarat dalam perjanjian sepanjang kausa terlarang.
71 Felix Oentoeng Soebagijo, Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi, dalam Hukum ekonomi, Penyunting Soemantoro, UI Press, Jakarta, 2006, hal. 243.
72
(16)
Intinya, batas kebebasan berkontrak adalah masalah itikad baik. Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Itikad baik adalah bahwa para pihak wajib saling berbuat secara layak dan patut satu dengan yang lain. Dalam hukum
Romawi itikad baik disebut “bona fides” artinya kedua belah pihak harus berlaku yang satu terhadap yang lain seperti yang patut di antara orang-orang yang sopan, tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga melihat kepentingan pihak lain.
Dengan demikian, ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian dalam KUHPerdata, beberapa ketentuan mengenai pemberian kuasa dalam BW dan beberapa ketentuan mengenai makelar dan komisioner dalam KUHD, serta UU No. 6/1968, PP No. 36/1997 jis. PP No. 19/1998 jis. PP No. 35/1996 jis. PP No. 41/1997 jis. PP No. 15/1998 dan peraturan perundang-undangan teknis lain yang mengatur mengenai keagenan merupakan bagian dari aturan yang membatasi kebebasan berkontrak yang dilakukan oleh para pihak dalam pembentukan perjanjian keagenan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, perjanjian keagenan lahir dengan ciri dan karakteristik sebagai berikut:
1. Agen akan menjual barang dan/ atau jasa atas nama prinsipal, dimana dalam melakukan transaksi dengan pihak ketiga, agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal.
2. Prinsipal akan bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan agen, sepanjang tindakan tersebut sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh prinsipal kepada agen.
3. Agen mendapatkan pendapatan berupa komisi dari hasil penjualan berupa barang dan/atau jasa kepada konsumen.
(17)
4. Barang-barang yang akan dijual ke konsumen tetap menjadi milik prinsipal dan dikirim langsung dari prinsipal ke konsumen.
5. Pembayaran harga barang langsung dilakukan dari konsumen kepada prinsipal tanpa melalui agen.73
Dari karakteristik tersebut, terlihat bahwa dalam perjanjian keagenan, berlaku beberapa ketentuan mengenai pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata dan beberapa ketentuan mengenai makelar dan komisioner sebagaimana diatur dalam KUHD, serta peraturan perundang-undangan khusus lainnya. Definisi agen dalam perjanjian keagenan sendiri adalah orang yang diberi kuasa oleh orang lain yang disebut prinsipal, untuk mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama prinsipal, dengan mendapatkan imbalan jasa. Hubungan antara principal dengan agen adalah fiduciary relationship, dimana prinsipal mengijinkan agen untuk bertindak atas nama prinsipal, dan agen tersebut berada di bawah pengawasan prinsipal.74 Dengan kata lain, agen merupakan seseorang yang melakukan suatu perbuatan hukum dan menciptakan akibat hukum untuk kepentingan orang lain.75 Sedangkan yang dimaksud dengan Prinsipal adalah pihak yang memberi perintah untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dari pengertian di atas dapat kita lihat bahwa dalam keagenan terdapat 3 (tiga) pihak, yaitu pihak yang memberi perintah/kuasa untuk melakukan perbuatan hukum disebut prinsipal. Pihak yang diberi perintah/kuasa untuk melakukan perbuatan hukum disebut agen; dan pihak yang dihubungi oleh agen dengan siapa transaksi diselenggarakan disebut sebagai pihak ketiga.
73 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distributor, Departemen Kehakiman, Jakarta, 2004, hal. 10
74
Suharnoko, Op.Cit, hal. 41. 75
(18)
Perjanjian dengan pihak ketiga ini dibuat oleh agen untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan pemberian wewenang/ kuasa dari prinsipalnya. Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan agen sepanjang tindakan-tindakan tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan yang diberikan. Dengan perkataan lain, apabila seseorang agen dalam bertindak melampaui batas wewenangnya maka ia yang bertangung jawab secara sendiri-sendiri atas tindakan tersebut.76 Oleh karena agen bertindak atas nama prinsipal, maka agen tidak melakukan pembelian dari prinsipalnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1797 dan Pasal 1801 KUHPerdata.
Perjanjian keagenan yang mengatur hubungan keagenan dengan prinsipal tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata. Oleh sebab itu ketentuan-ketentuan perjanjian pada umumnya yang bersifat memaksa dalam KUHPerdata berlaku pula untuk perjanjian keagenan. Menurut ketentuan perundang-undangan, terhadap perjanjian keagenan akan diberlakukan ketentuan-ketentuan yang menyangkut pemberian kuasa (volmacht) yang merupakan bagian dari lastgeving (pemberian kuasa) ditambah dengan beberapa ketentuan mengenai makelar dan komisioner dan peraturan-peraturan khusus yang dikeluarkan oleh beberapa departemen teknis.77 Hubungan keagenan adalah hubungan perwakilan karena apa yang dilakukan oleh agen merupakan representasi dari apa yang hendak dilakukan oleh prinsipal. Karakteristik hubungan tersebut menimbulkan konsekuensi hukum bahwa apa yang menjadi hak agen di satu sisi akan menjadi kewajiban prinsipal di
76
Yohanes Sogar Simamora, Op.Cit, hal. 74. 77
(19)
sisi lain, dan apa yang menjadi kewajiban agen secara otomatis pula akan menjadi hak prinsipal pada ujung yang lain. Agen dalam kegiatannya bertindak mewakili prinsipalnya berdasarkan pemberian kuasa maka hubungan antara agen dengan prinsipal, sifatnya tidak seperti hubungan antara majikan dengan buruh. Dalam perjanjian perburuhan, yang penting adalah penyediaan tenaga kerja semata-mata untuk memperoleh upah, disamping itu tedapat kedudukan buruh yang lebih rendah dari majikan, dimana hal demikian itu tidak dijumpai pada hubungan antara agen dan prinsipal.
Agen dan prinsipal ada pada posisi yang setingkat. Agen bertindak melakukan perbuatan hukum misalnya menjual barang dan atau jasa tidak atas namanya sendiri tetapi atas nama prinsipal.78 Agen dalam hal ini berkedudukan sebagai perantara. Jika agen mangadakan transaksi (negosiasi) dengan konsumen/pihak ketiga maka barang dikirimkan langsung dari prinsipal kepada konsumen. Pembayaran atas barang yang telah diterima oleh konsumen langsung kepada prinsipal bukan melalui agen, sedangkan pembayaran kepada agen berupa komisi dari hasil penjualannya.
H. Hak dan Kewajiban Para Pihak.
Hak-hak dan kewajiban agen dituang dalam perjanjian keagenan yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Hak-hak agen sehubungan dengan jasa keagenan adalah:
78
(20)
1. Hak atas komisi.
2. Hak untuk meminta pembayaran kembali (reimbursement) dari prinsipal.
3. Hak untuk dibebaskan dari segala tanggung jawab hukum. Hak untuk menerima komisi dari prinsipal atas jasa-jasa yang diberikan oleh agen adalah hak yang melekat dalam praktik bisnis jasa keagenan.79
Hubungan bisnis keagenan didasarkan pada perjanjian, maka pada umumnya komisi yang menjadi hak agen ditentukan secara eksplisit dalam perjanjian keagenan. Jika tidak ditentukan dalam perjanjian keagenan, maka hakim dapat menetapkan besarnya komisi bagi agen yang telah melakukan kegiatan bisnis keagenan. Selain itu, agen berhak pula untuk meminta pembayaran kembali (reimbursement) semua biaya dan pengeluaran-pengeluaran yang ia lakukan sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan keagenan untuk kepentingan prinsipal.
Hak atas komisi bagi agen, melekat pula hak retensi (lien) bagi agen untuk menahan barang-barang bergerak milik prinsipal yang masih berada di tangan agen selama prinsipal belum membayar komisi kepada agen tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1812 KUHPerdata, dimana apabila dalam jangka waktu tertentu prinsipal masih belum melakukan pembayaran, maka barang-barang bergerak tersebut dapat dimintakan kepada pengadilan untuk dilelang yang hasil pelelangannya dapat digunakan untuk membayar komisi kepada agen.
Hak agen untuk dibebaskan dari segala tanggungjawab hukum (the right to
indemnity) hanya mencakup semua tindakan-tindakan agen yang termasuk dalam
ruang lingkup kewenangan yang diatur dalam perjanjian keagenan. Oleh karena
79
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 43.
(21)
posisi agen dipahami sebagai wakil dari prinsipal, yang memiliki hak untuk dibebaskan dari segala tindakan hukum, maka agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, perlu diatur secara terinci dan spesifik hak-hak apa saja yang diserahkan kepada agen di dalam perjanjian keagenan.
Kewajiban-kewajiban agen pada prinsipnya dapat ditentukan secara tersurat oleh para pihak (prinsipal dan agen) dalam perjanjian keagenan. Namun demikian ada kewajibankewajiban yang mungkin tidak diatur dalam perjanjian, tetapi berdasarkan asas kepatutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata, kewajiban-kewajiban tersebut melekat dalam jasa keagenan dan dianggap selalu ada walaupun tidak diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian keagenan, misalnya:
1. Kewajiban untuk berhati-hati.
2. Kewajiban untuk melaksanakan sendiri tugas-tugas yang diserahkan kepadanya.
3. Kewajiban untuk melindungi kepentingan prinsipal.
4. Kewajiban untuk bertindak hati-hati (duty of exercising reasonable
care), adalah kewajiban yang melekat pada pemberian jasa keagenan.80
Agen adalah pihak yang dipercaya oleh prinsipal, dan kepercayaan tersebut didasarkan pada kemampuan, keahlian dan pengalaman dalam bidang pekerjaan yang membuat prinsipal percaya.
Kewajiban untuk melaksanakan sendiri (personal performance) tugas yang dipercayakan oleh prinsipal. Karakteristik pribadi seorang agen menjadi alasan prinsipal mempercayakan pekerjaannya kepada agen tersebut. Keyakinan pribadi prinsipal menjadi dasar utama pemberian pekerjaan kepada agen, sehingga secara
80
(22)
moral (asas kepatutan) agen tidak boleh menyerahkan pekerjaan keagenan kepada pihak lain.
Kewajiban untuk melindungi kepentingan prinsipal (fiduciary duties), yang mencakup kewajiban untuk menghindari benturan kepentingan (avoiding the
conflict of interest), kewajiban untuk tidak boleh mengambil keuntungan secara
rahasia dari jasa keagenan (non secret profit making), kewajiban untuk tidak boleh menerima suap (no bribetaking), dan kewajiban untuk memelihara pembukuan terpisah (duty to separate account) dengan harta kekayaan prinsipal.
Selain hal-hal tersebut di atas, kewajiban dari agen terhadap prinsipal adalah agen harus bertindak berdasarkan itikad baik untuk kepentingan prinsipal. Kewajiban lain yang perlu mendapat pengaturan adalah kewajiban agen untuk memberi informasi hal-hal yang terkait dengan pemasaran dari produk atau jasa prinsipal. Misalnya agen memiliki kewajiban untuk memberitahu kepada prinsipal kegiatan dalam rangka memasarkan produk atau jasa prinsipal, atau keadaan dari pangsa pasar termasuk pesaing bisnis dari prinsipal.
Hak-hak Prinsipal adalah hak-hak yang muncul sebagai konsekuensi dari pelaksanaan fiduciary duties dari agen yang mengakibatkan fiduciary rights dari prinsipal. Kewajiban-kewajiban agen untuk :
1. Menghindari benturan kepentingan dengan kepentingan prinsipal
(avoiding the conflict of interest).
2. Tidak boleh mengambil keuntungan secara rahasia dari jasa keagenan
(non secret profit making).
3. Tidak boleh menerima suap (no bribe taking), (iv) memelihara pembukuan terpisah (duty to separate account) dengan harta kekayaan prinsipal, menimbulkan hak prinsipal pada sisi yang lain. Dengan demikian, pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban tersebut oleh agen, memberikan hak bagi prinsipal untuk menuntut tanggung jawab hukum kepada agen.81
81
(23)
Hak-hak yang melekat pada diri agen akan menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi pihak prinsipal di sisi yang lain. Kewajiban-kewajiban-kewajiban tersebut misalnya:
1. Kewajiban untuk membayar komisi kepada agen.
2. Kewajiban untuk melakukan pembayaran kembali (reimbursement) semua biaya dan pengeluaran-pengeluaran yang dikeluarkan agen sehubungan dengan pekerjaan keagenannya.
3. Kewajiban untuk membebaskan agen dari tanggung jawab hukum apabila agen melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh prinsipal.82
Selain kewajiban-kewajiban tersebut, prinsipal juga memiliki kewajiban etik, yaitu kewajiban yang timbul dari pertimbangan etika bisnis semata-mata, karena kewajiban-kewajiban tersebut tidak atau lupa dicantumkan dalam klausula perjanjian keagenan. Kewajiban-kewajiban tersebut. Misalnya:
1. Kewajiban untuk tidak boleh menunjuk agen lain untuk melakukan satu pekerjaan yang sama, kecuali hal tersebut secara eksplisit disepakati dalam perjanjian atau sekurang-kurangnya telah diberitahukan kepada agen yang bersangkutan.
2. Kewajiban prinsipal untuk tidak boleh berhubungan langsung dengan pihak ketiga dimana pihak ketiga tersebut sedang melakukan kontak bisnis dan negosiasi dengan agen untuk melakukan satu pekerjaan yang sama yang telah dipercayakan oleh prinsipal.
3. Kewajiban prinsipal untuk tidak boleh membatalkan surat penunjukan keagenan (bila hubungan keagenan didasarkan pada surat penunjukan) ketika pekerjaan keagenan hampir rampung dan transaksi hampir terealisasi.83
Kewajiban dari prinsipal diantaranya adalah kewajiban untuk memberi informasi kepada agen tentang produk atau jasa yang dijual, daftar harga, katalog atau berbagai informasi yang dibutuhkan bagi konsumen. Disamping itu juga informasi yang diberikan kepada konsumen tentang keberadaan agen, sampai
82
Ibid, hal.48 83
(24)
dimana agen dapat dimintai pertanggungjawaban bila berhadapan dengan konsumen.
Prinsipal juga memiliki kewajiban untuk memberitahukan kepada agen dalam waktu yang segera atas penerimaan atau penolakan order yang dilakukan oleh agen bila ada pembelian atau permintaan dari konsumen. Selanjutnya ada kewajiban untuk menyampaikan informasi bila ada keluhan dari konsumen atau penyampaian informasi pada konsumen di wilayah tertentu.
Prinsipal juga berkewajiban untuk segera menyampaikan informsi kepada agen bila persediaan produk berada ditingkat rendah (sehingga tidak dapat memenuhi permintaan konsumen) ataupun tidak dapat mensuplai kebutuhan yang diminta oleh konsumen melalui agen.84
84
Hikmahanto Juwana, Kontrak Keagenan Internasional, PT. Gramedia Group, Jakarta, 2009, hal.17
(25)
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENATAAAN USAHA AGEN PENJUALAN TIKET DAN PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA SEBAGAI
USAHA PENUNJANG DALAM PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA
A. Tanggung jawab Agen Penjualan Tiket dan Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara dalam Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara.
Bukti perjanjian pengangkutan udara adalah adanya tiket. Dalam pelaksanaan penjualan tiket angkutan udara ini, perusahaan penerbangan tidak menjual sendiri, melainkan bekerja sama dengan perusahaan lain yang bergerak di bidang penjualan tiket yang bertindak sebagai agen. Agen perusahaan menurut Purwosutjipto adalah: Orang yang melayani beberapa pengusaha sebagai perantara dengan pihak ketiga. Orang ini mempunyai hubungan tetap dengan pengusaha dan mewakilinya untuk mengadakan dan selanjutnya melaksanakan perjanjian dengan pihak ketiga. Hubungannya dengan pengusaha bukan merupakan hubungan perburuhan, dan juga bukan hubungan pelayanan berkala. Bukan hubungan perburuhan, karena hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha bersifat subordinasi, bukan hubungan seperti majikan dan buruh, tetapi hubungan antara pengusaha dengan pengusaha. Karena agen perusahaan juga mewakili pengusaha, maka di sini ada hubungan pemberian kuasa.85
Prinsipnya sebagaimana sebuah kontrak, ada tiga hal yang diatur yaitu bagian pendahuluan, bagian isi yang berisi pasal-pasal yang menjadi kesepakatan serta bagian penutup. Bagian pendahuluan terdiri dari tiga hal yaitu sub bagian pembukaan yang tercantum judul perjanjian, penyingkatan perjanjian, dan tanggal
85
(26)
perjanjian. Sub bagian pencantuman identitas para pihak. Terakhir adalah sub bagian penjelasan yang menguraikan latar belakang dari dibuatnya perjanjian keagenan. Selanjutnya dalam bagian isi terdapat empat hal yang diatur, yaitu klausula definisi (bila berbagai definisi disatukan dalam sebuah pasal), klausula transaksi, klausula yang terkait dengan transaksi secara spesifik (selanjutnya disebut sebagai “klausula spesifik”) dan klausula antisipatif yang sering disebut sebagai ketentuan umum (general provisions).86
Dalam klausula definisi diatur tentang berbagai istilah yang disepakati oleh prinsipal dan agen sehingga terhindar dari penafsiran yang berbeda. Penafsiran yang berbeda dari suatu istilah bisa berujung pada sengketa antara para pihak. Untuk menghindari hal inilah maka perlu ditetapkan definisi-definisi yang disepakati oleh para pihak untuk istilah tertentu. Definisi-definisi yang telah disepakati maka akan berakibat sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Hal ini sebagaimana prinsip pacta sund servanda yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Klausula transaksi dalam perjanjian keagenan berisi tentang Penunjukan prinsipal terhadap agen dan penerimaan penunjukan oleh agen dari prinsipal. Ini penting untuk dicantumkan dalam perjanjian keagenan karena atas dasar inilah ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian ada. Selanjutnya klausula spesifik yang terdiri dari banyak pasal yang mengatur berbagai hal yang terkait dengan keagenan itu sendiri, seperti kesepakatan tentang awal dan berakhirnya suatu keagenan, produk atau jasa yang dipasarkan, wilayah pemasaran, komisi agen, pengaturan tentang eksklusifitas (Exclusive Agency
86
(27)
Rights), pengaturan tentang pemberian kuasa kepada agen untuk membuat
perjanjian atas nama prinsipal dengan pelanggan, pengaturan tentang hak agen untuk menerima pembayaran atas nama prinsipal dari pelanggan hingga pengaturan tentang penerimaan dan pembatalan order oleh agen, layanan purna jual dan berakhirnya kontrak.
Klausula berikutnya adalah klausula antisipatif. Klausula ini mengatur hal-hal yang belum tentu terjadi namun bila terjadi kondisi yang dipikirkan maka akan terdapat jalan keluar. Klausula antisipatif dalam perjanjian keagenan antara lain, adalah klausula dalam jangka waktu tertentu agen (bila telah mandiri) tidak boleh bersaing dengan prinsipal yang sering disebut sebagai “Non-Competitive Clause”. Pengaturan lain adalah pengaturan atas biaya perjalanan atau biaya lainnya yang dikeluarkan oleh agen, penggunaan merek ataupun hak kekayaan intelektual yang dimiliki prinsipal oleh agen. Hal lain adalah pengaturan tentang hukum yang berlaku, penyelesaian sengketa, amandemen ataupun addendum,87 alamat dari masing-masing pihak, pengaturan tentang boleh tidaknya pengalihan hak dan kewajiban, pengaturan tentang bahasa. Setelah bagian isi maka hal terakhir adalah bagian penutup. Bagian penutup terdiri dari sub bagian kata penutup dan penempatan tandatangan dari para pihak.88
Klausula pokok dalam perjanjian keagenan, antara lain; klausula penunjukan prinsipal terhadap agen dan penerimaan penunjukan oleh agen dari prinsipal, klausula jangka waktu, wilayah pemasaran, pengalihan, berakhirnya
87
Munir Fuady, Op.Cit, hal.51. 88
(28)
perjanjian/pemutusan perjanjian (termination clause), hukum yang berlaku, dan klausula tentang asas “Privity”.89
Klausula penunjukan prinsipal terhadap agen dan penerimaan penunjukan oleh agen dari prinsipal. Ini penting untuk dicantumkan dalam perjanjian keagenan karena atas dasar inilah ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian ada. Klausula jangka waktu, para pihak bebas menetapkan jangka waktu perjanjian keagenan, tetapi ketentuan yang berlaku menyebutkan bahwa penunjukan sebagai agen/distributor harus dilakukan untuk jangka waktu minimal tiga tahun. Tujuan penetapan jangka waktu minimal untuk melindungi kepentingan perusahaan nasional. Klausula wilayah pemasaran, erat kaitannya dengan masalah apakah penunjukan agen harus dalam bentuk agen tunggal atau tidak.
Pelanggaran suatu kewajiban kontraktual (wanprestasi) menciptakan bagi debitur yang lalai suatu perikatan untuk membayar ganti rugi (Pasal 1243 KUHPerdata). Tetapi disini perikatan untuk membayar ganti rugi mempunyai sifat subsidiair, sejauh selalu didahului oleh pelanggaran pemenuhan perikatan (yang primair). Di samping itu, ganti rugi dalam wanprestasi selalu diberikan dalam bentuk uang. Sedangkan kewajiban membayar ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum dikualifikasikan oleh pembuat undang-undang sebagai suatu perikatan. Tetapi pembayaran ganti rugi ini bersifat primair karena tidak didahului pelanggaran suatu perikatan, melainkan pelanggaran suatu kewajiban yang tidak obligatoir.
Dalam perbuatan melanggar hukum, pemberian ganti rugi tidak selalu dalam bentuk uang. Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi.
89
(29)
Jika ia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa maka debitur dianggap melakukan ingkar janji (wanprestasi). Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu tidak memenuhi prestasi sama sekali, terlambat memenuhi prestasi atau memenuhi prestasi secara tidak baik.90 Ingkar janji (wanprestasi) membawa akibat yang merugikan bagi debitur, karena sejak saat tersebut debitur berkewajiban mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat daripada ingkar janji tersebut.
Dalam hal debitur melakukan ingkar janji, kreditur dapat menuntut pemenuhan perikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti rugi, ganti rugi, pembatalan persetujuan timbal balik atau pembatalan dengan ganti rugi. Berdasarkan Pasal 1246 KUHPerdata, tidak setiap kerugian yang diderita oleh kreditur harus diganti oleh debitur. Undang-undang menentukan bahwa debitur hanya wajib membayar ganti rugi atas kerugian yang memenuhi dua syarat, yaitu apabila kerugian yang dapat diduga atau sepatutnya diduga pada waktu perikatan dibuat dan kerugian yang merupakan akibat langsung dan serta merta daripada ingkar janji. Debitur hanya wajib membayar ganti rugi jika ada hubungan kausal antara wanprestasi dengan kerugian.
Menurut yurisprudensi, hubungan kausal ada apabila bukan hanya wanprestasi yang merupakan condition sine qua non untuk timbulnya kerugian, tetapi juga kerugian itu adalah akibat yang secara wajar dapat diharapkan (diduga) dari adanya wanprestasi tersebut.91 Dalam Pasal 1248 KUHPerdata menentukan
bahwa penggantian kerugian hanya dapat diberikan sebagai “akibat yang langsung
90
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.77. 91
(30)
dan seketika tidak dipenuhinya perikatan”. Sedangkan menurut Pasal 1247 KUHPerdata, debitur yang wanprestasi namun tanpa tipu daya, dalam hal dapat diduga akan timbul kerugian jika tidak ada pemenuhan, tetapi kerugian itu tidak demikian luasnya, hanya wajib mengganti bagian kerugian yang dapat diduga pada waktu penutupan kontrak.92
Jenis tanggung gugat sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata disebut sebagai tanggung gugat atas dasar kesalahan (liability based on fault atau
schuldaansprakelijkheid). Jenis tanggung gugat ini dikaitkan dengan kewajiban
tergugat kepada penggugat yang merasa haknya dirugikan. Menurut Djasadin Saragih bahwa syarat-syarat tanggung gugat menurut Pasal 1365 KUHPerdata, jika :
1. Perbuatan yang menimbulkan kerugian itu bersifat melanggar hukum (perbuatan melawan hukum).
2. Kerugian itu timbul sebagai akibat perbuatan tersebut (hubungan kausal). 3. Pelaku tersebut bersalah (kesalahan).
4. Norma yang dilanggar mempunyai “strekking” untuk mengelakkan timbulnya kerugian (relativitas).93
Konsumen yang merasa dirugikan bisa menggugat prinsipal dengan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dengan berbagai macam petitum, yakni: ganti rugi; pernyataan hukum (verklaring voor recht) dan perintah atau larangan hakim. Sedangkan agen yang merasa dirugikan oleh prinsipalnya juga dapat mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi di samping gugatan berdasarkan
92 Ibid, hal.89. 93
Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hal.. 72.
(31)
perbuatan melanggar hukum. Apabila kerugian yang dialami oleh agen timbul dari adanya pelanggaran klausula-klausula perjanjian keagenan yang telah disepakati oleh para pihak berdasarkan prinsip pacta sund servanda sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dan prinsip privity of contract sebagaimana diatur dalam Pasal 1340 ayat (1), maka agen dapat mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi kepada prinsipalnya. Begitu pula sebaliknya, manakala prinsipal merasa dirugikan oleh agennya karena terjadi pelanggaran perjanjian keagenan, maka prinsipal dapat mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi. Sedangkan, apabila kerugian yang dialami oleh agen berasal dari pelanggaran prinsipal atas kewajiban etiknya atau dengan kata lain, prinsipal melakukan pelanggaran atas asas kepatutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata, maka agen dapat mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata kepada prinsipalnya.
Tanggung jawab agen penjualan tiket dan perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara dalam kegiatan usaha penunjang angkutan udara tidak ada diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara. Pasal 16 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara dan Pasal 54 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara hanya mengatur tentang kewajiban yang harus dijalankan oleh perusahaan angkutan udara yaitu:
(32)
(1) Pemegang izin usaha angkutan udara niaga diwajibkan:
a. Melakukan kegiatan usahanya secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara selambat-lambatnya 12 (dua belas bulan) sejak izin diterbitkan.
b. Melakukan kegiatan usahanya kembali secara nyata selambat-lambatnya 90 (sembilan pulh) hari kalender setelah berhenti beroperasi untuk perusahaan yang pernah beroperasi.
c. Memenuhi ketentuan wajib angkut sesuai peraturan peerundang-undangan yang berlaku.
d. Melaporkan kepada Direktur Jenderal apabila terjadi perubahan data yang tercantum dalam izin usaha yang dimiliki.
e. Menguasai sekurang-kurangnya 2 (dua) pesawat udara yang laik udara bagi perusahaan angkutan udara niaga berjadwal.
f. Mematuhi ketentuan di bidang :
1) Teknis dan pengoperasian pesawat udara. 2) Keamanan dan keselamatan penerbangan. 3) Kegiatan angkutan udara niaga.
g. Menyerahkan rekaman persetujuan terbang (flight approval) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal kepada pejabat yang berwenang di bandar udara apabila :
1) Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal untuk kegiatan angkutan udara niaga dalam dan atau luar negeri melakukan : (a) Kegiatan angkutan udara di luar jadwal yang telah
ditetapkan.
(b) Penambangan frekuensi angkutan udara dan atau perubahan rute yang telah ditetapkan.
(c) Perubahan tipe pesawat udara yang digunakan.
2) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal melakukan : (a) Pengangkutan penumpang dan kargo dalam negeri dengan
menggunakan pesawat udara dengan kapasitas lebih dari 30 tempat duduk.
(b) Pengangkutan penumpang dan kargo luar negeri.
3) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal pada rute luar negeri.
h. Menyerahkan laporan kinerja perusahaan angkutan udara niaga kepada Direktur Jenderal.
(2) Pemgang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diwajibkan: a. Melakukan kegiatan angkutan udara bukan niaga
selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan setelah izin diterbitkan.
b. Melaporkan apabila terjadi perubahan data sebagaimana tercantum dalam izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.
c. Mematuhi ketentuan di bidang :
1) Teknis dan pengoperasian pesawat udara. 2) Keamanan dan keselamatan penerbangan. 3) Kegiatan angkutan udara bukan niaga.
(33)
d. Menyerahkan manifest penumpang dan kargo setia melakukan kegiatan angkutan udara dalam dan luar negeri kepada pejabat yang berwenang di bandar udara pemberangkatan dan bandar udara kedatangan.
e. Menyerahkan rekaman persetujuan terbang (flight approval) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal kepada pejabat yang berwenang di bandar udara apabila melakukan pengangkutan penumpang dalam negeri dengan menggunakan pesawat udara dengan kapasitas lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk atau melakukan angkutan udara bukan niaga luar negeri.
f. Menyerahkan laporan kinerja perusahaan angkutan udara niaga kepada Direktur Jenderal.
B. Pembinaan dan Penataaan Usaha Agen Penjualan Tiket dan Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara dalam Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara.
Untuk melakukan usaha Ekspedisi Muatan Pesawat Udara maka wajib memiliki izin usaha yang sah. Izin usaha berlaku selama perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan usahanya. Untuk melakukan usaha Ekspedisi Muatan Pesawat Udara harus terlebih dahulu mengajukan permohonan izin usaha Ekspedisi Muatan Pesawat Udara yang diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah sesuai dengan untuk perusahaan-perusahaan yang didirikan khusus untuk kegiatan perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara.
Menurut Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor : SKEP/47/III/2007 tentang petunjuk pelaksanaan usaha kegiatan penunjang bandar udara bahwa pelayanan jasa kegiatan penunjang bandar udara meliputi :
1. Pelayanan jasa penunjang kegiatan penerbangan. 2. Pelayanan jasa penunjang kegiatan bandar udara.
(34)
Berdasarkan Pasal 2 huruf b Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor : SKEP/47/III/2007 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Usaha Kegiatan Penunjang Bandar Udara bahwa pelayanan jasa penunjang kegiatan bandar udara terdiri dari :
1. Jasa penyediaan penginapan/hotel yaitu kegiatan untuk melayani jasa perhotelan bagi penumpang dan pengunjung bandar udara yang meliputi pemesanan hotel (hotel reservation services) dan penyelenggaraan hotel. 2. Jasa penyediaan toko yaitu kegiatan usaha penjualan barangbarang untuk
melayani keperluan penumpang dan pengunjung bandar udara.
3. Jasa penyediaan restoran dan bar yaitu kegiataan usaha untuk penjualan makanan dan minuman untuk melayani keperluan penumpang dan pengunjung bandar udara.
4. Jasa penempatan kendaraan bermotor/parkir yaitu kegiatan penyelenggaraan perparkiran kendaraan bermotor di bandar udara.
5. Jasa perawatan pada umumnya yaitu kegiatan jasa yang melayani pembersihan dan pemeliharaan gedung dan kantor di bandar udara.
6. Jasa penyediaan otomatisasi pelaporan keberangkatan penerbangan
(automatic check-in system services).
7. Jasa penunjang kegiatan bandar udara lainnya, antara lain :
a. Penjualan bahan bakar dan pelumas kendaraan bermotor di bandar udara yaitu kegiatan melayani kebutuhan bahan bakar dan pelumas kendaraan bermotor di bandar udara.
b. Jasa pelayanan pengangkutan barang penumpang di terminal kedatangan dan pemberangkatan.
c. Jasa pelayanan pos (postal services) yaitu kegiatan untuk melayani kebutuhan jasa pos bagi penumpang dan pengunjung bandar udara. d. Jasa pelayanan telekomunikasi (telecommunication services) yaitu
kegiatan untuk melayani jasa telekomunikasi bagi penumpang dan pengunjung bandar udara; jasa tempat bermain dan rekreasi (play
ground and recreation centre) yaitu kegiatan menyelenggarakan tempat
bermain dan rekreasi bagi penumpang dan pengunjung bandar udara. e. Jasa aluan wisata (greeting service) yaitu kegiatan untuk penjemputan
dan atau pengantaran penumpang pesawat udara di gedung terminal. f. Agen perjalanan (travel agent) yaitu kegiatan yang mengatur dan
menyelenggarakan perjalanan penumpang dan pengunjung bandar udara.
g. Bank untuk pelayanan jasa perbankan di bandar udara.
h. Penukaran uang (money changer) yaitu kegiatan untuk melayani penukaran mata uang asing di bandar udara.
i. Jasa pelayanan angkutan darat (ground transportation services) yaitu kegiatan jasa angkutan darat bagi penumpang dan atau barang serta pengunjung bandar udara, antara lain taksi dan bus.
(35)
j. Penitipan barang (left baggage services) yaitu kegiatan penitipan barang-barang milik penumpang dan pengunjung bandar udara.
k. Jasa advertensi (advertising services) yaitu kegiatan usaha periklanan bandar udara.
l. First class lounge, bussines class lounge dan VIP Room yaitu kegiatan
untuk memberikan pelayanan ruangan secara khusus kepada penumpang pesawat udara yang meliputi antara lain penyediaan makanan kecil dan minuman, penyediaan bahan bacaan serta pelayanan khusus lainnya.
m.Hairdresser and beauty salon yaitu kegiatan pelayanan pangkas,
penataan rambut dan perawatan kecantikan pada umumnya.
n. Agrobisnis services yaitu kegiatan dibidang pertanian dengan
memanfaatkan lahan didaerah bandar udara untuk jenis tanaman tertentu berumur pendek.
o. Nursery yaitu kegiatan pelayanan penitipan bayi di bandar udara.
p. asuransi (insurance agent) yaitu kegiatan pelayanan di bidang asuransi. q. Jasa penyediaan ruangan (bussines center) yaitu kegiatan pelayanan
ruangan dan penyediaan peralatan maupun tenaga untuk keperluan pertemuan dan atau usaha.
r. Vending machine yaitu kegiatan penjualan barang atau jasa dengan
menggunakan mesin otomatis. s. Jasa pengolahan limbah buangan t. Jasa pelayanan kesehatan.
u. Jasa penyediaan kawasan industri.
v. Jasa lainnya yang secara langsung atau tidak langsung menunjang kegiatan bandar udara.
Menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor : SKEP/47/III/2007 tentang petunjuk pelaksanaan usaha kegiatan penunjang bandar udara bahwa pelayanan jasa penunjang kegiatan penerbangan meliputi
1. Penyediaan hanggar pesawat udara antara lain kegiatan penyediaan gedung hanggar untuk keperluan penyimpanan pesawat udara, perbaikan termasuk kantor sebagai penunjang kegiatan tersebut.
2. Perbengkelan pesawat udara (aircraft services and maintenance) yaitu kegiatan yang antara lain mempersiapkan pesawat udara dan komponennya pada tingkat laik udara berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk merawat peralatan dalam keadaan tidak laik udara menjadi laik udara yang mencakup overhaul, modifikasi, inspeksi dan atau
maintenance.
3. Pergudangan (warehousing) yaitu kegiatan penampungan dan penumpukan barang-barang dengan mengusahakan gudang baik tertutup
(36)
maupun terbuka di bandar udara dengan menerima sewa penyimpan barang (lay over charge).
4. Jasa boga pesawat udara (aircraft catering) yaitu kegiatan yang ditunjuk untuk melayani penyediaan makanan dan minuman untuk penumpang dan crew pesawat udara.
5. Pelayanan jasa ramp (ramp services), yaitu pelayanan jasa penanganan bagasi (baggage handling services), pelayanan jasa pemanduan pesawat udara di darat (marshalling services), pelayanan jasa pemarkiran pesawat udara (parking services), pelayanan jasa pendingin/pemanas udara untuk pesawat udara (colling and heating services), pelayanan jasa komunikasi dari ramp ke flight deck (ramp to flight deck communication services), pelayanan jasa pemuatan dan bongkar muat pesawat udara (loading and
unloading services), pelayanan jasa penyalaan mesin pesawat udara (starting services), pelayanan jasa jaminan keselamatan (safety measure services), pelayanan jasa pembersihan eksterior dan interior pesawat udara (exterior and interior clearing services), pelayanan jasa pembersihan dan
penyediaan sarana untuk toilet pesawat udara (toilet services), Pelayanan jasa air minum untuk di pesawat udara (water services), pelayanan jasa pengaturan atau pemasangan peralatan di kabin (cabin equipment services) dan pelayanan jasa kegiatan ramp untuk catering (catering ramp handling
services).
6. Pelayanan Jasa Penumpang (passanger service), yaitu pelayanan penumpang kedatangan dan keberangkatan serta transit/transfer, penanganan kehilangan dan penemuan bagasi (lost and found services), pelayanan jasa transportasi inter-modal, baik dengan kereta api, perjalanan darat atau laut (inter-modal transportation by rail, road or, sea services). 7. Pelayanan jasa kargo dan surat (cargo and mail services), yaitu pelayanan
jasa penyediaan dan pengurusan fasilitas pergudangan, equipment untuk pelayanan kargo dan surat, serta penerimaan dan pengaturan kargo dan pos udara, pelayanan jasa penyiapan dokumen serta pengaturan fisik kargo untuk keperluan pemeriksaan kepabeanan (customs control services), pelayanan jasa tindakan segera untuk irregularaities, seperti: kehilangan dan kerusakan (irregularaities handling), pelayanan jasa penyiapan dokumen-dokumen penerbangan untuk kargo (document handling), pelayanan jasa penerimaan kargo, penumpukan kargo, penimbangan, pengiriman kargo ke pesawat udara, pelayanan pemeriksaan kargo datang terhadap dokumennya, serta pendistribusian kargo datang kepada penerima/consignee (physical handling outbond/ inbound), pelayanan jasa kargo transfer/transit (transfer/transit cargo), pelayanan jasa surat kantor pos (post office mail). Kegiatan untuk melayani angkutan kargo dari gudang ke pesawat udara atau sebaliknya.
8. Pelayanan jasa load control, komunikasi dan operasi penerbangan (load
control, communications and flight operations services), yaitu pelayanan
jasa penyiapan dan pembuatan dokumen penerbangan, seperti loading
instruction, loadsheets, weight and balance charts dan lainlain (load control), pelayanan jasa komunikasi dari darat ke pesawat di udara,
(37)
pelayanan jasa operasi penerbangan secara umum, pelayanan jasa penyiapan rencana penerbangan serta dokumen-dokumen meteorologi dan aeronautika di tempat pemberangkatan pesawat udara (flight preparation
services at the airport of departure), penyiapan rencana penerbangan serta
dokumen meteorologi dan aeronautika di airport lain yang berbeda dengan tempat pemberangkatan pesawat udara (flight preparation services at the
different point from the airport of departure), pelayanan jasa monitoring
dan bantuan selama penerbangan (flight operation monitoring and
en-route flight assistance), pelayanan jasa bantuan untuk crew yang datang
dan pendistribusian dokumen dan laboran ke pihak yang berkepentingan
(flight operation and post-flight activities), pelayanan jasa untuk
menganalisis informasi meteorologi dan kondisi operasi penerbangan untuk pemberangkatan ulang (flight operation and en-rute re-despatch), pelayanan jasa pendistribusian informasi jadwal crew kepada pihak yang berkepentingan, pelayanan jasa administrasi lainnya untuk kepentingan
crew (flight operation and crew administration).
9. Pelayanan jasa pengamanan (security services), yaitu pengamanan dan pemeriksaan untuk penumpang serta pemeriksaan dan pencocokan bagasi
(passenger and baggage screening and reconciliation), pelayanan jasa
pengamanan kargo dan surat kantor pos (cargo and post office mail
services), pelayanan jasa pengamanan jasa boga (catering services),
pelayanan jasa pengamanan pesawat udara (aircraft), dan pelayanan jasa pengamanan tambahan lainnya (additional security services).
10.Pelayanan jasa pemeliharaan dan perbaikan pesawat udara (aircraft
maintenance services), yaitu pelayanan jasa pemeriksaan rutin (routine services), pelayanan jasa pemeriksaan dan perbaikan non-rutin (non-routin services), pelayanan jasa pengelolaan material (material handling services), pelayanan jasa penyediaan dan pengurusan area services).
11.Pelayanan supply bahan bakar pesawat udara.
Menurut Pasal 4 Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor : SKEP/47/III/2007 bahwa pelayanan jasa kegiatan penunjang bandar udara dapat dilakukan oleh:
1. Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Bandar Udara, pada Bandar udara yang diselenggarakan oleh pemerintah.
2. Unit Pelaksana dari Badan Usaha Kebandarudaraan, pada Bandar udara yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Kebandarudaraan.
3. Badan Hukum Indonesia atau perorangan atas persetujuan dari Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Bandar Udara, pada Bandar udara yang diselenggarakan oleh pemerintah atau Unit Pelaksana dari Badan Usaha Kebandarudaraan, pada Bandar udara yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Kebandarudaraan.
(38)
Badan Hukum Indonesia atau perorangan untuk dapat melaksanakan jasa kegiatan penunjang bandar udara didasarkan atas persetujuan dari penyelenggara bandar udara umum. Persetujuan dari penyelenggara bandar udara umum diberikan oleh :
1. Kepala Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Bandar Udara pada bandar udara yang diselenggarakan oleh pemerintah.
2. Kepala Unit Pelaksana dari Badan Usaha Kebandarudaraan, pada bandar udara yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Kebandarudaraan.
Persetujuan dapat berupa Surat persetujuan tertulis dan/atau suatu Perjanjian atau Kesepakatan Bersama tentang pelaksanaan jasa kegiatan penunjang bandar udara yang saling menguntungkan dan merupakan perjanjian dan/atau sewa menyewa dengan penyelenggara bandar udara umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Setiap penyelenggara bandar udara harus membuat prosedur dan persyaratan persetujuan yang memuat sekurang-kurangnya :
1. Jenis bidang usaha. 2. Waktu proses.
3. Persyaratan untuk mendapat persetujuan. 4. Hak dan kewajiban.
5. Masa berlaku persetujuan 6. Penyelesaian perselisihan.
Pembinaan dan penataaan usaha agen penjualan tiket dan perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara dalam kegiatan usaha penunjang angkutan udara apabila tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan, maka menurut Pasal 100
(39)
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara bahwa pemegang izin usaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang tidak melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawaat udara selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut, maka izin usaha atau izin kegiaan angkutan udara yang diterbitkan, tidak berlaku dengan sendirinya.
Pencabutan izin angkutan udara juga diatur dalam Pasal 56 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara yang menyebutkan:
(1) Izin usaha angkutan udara niaga dan izin kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dicabut apabila pemegang izin melanggar salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan.
(3) Apabila peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak ditaati, dilanjutkan dengan pembekuan izin untuk jangka waktu 1 (satu) bulan. (4) Apabila pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) habis
jangka waktunya dan tidak ada usaha perbaikan, izin dicabut.
C. Upaya Hukum Jika Terjadi Wanprestasi Di Antara Para Pihak.
Perjanjian penunjukkan agen dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 KUHPerdata, dan memenuhi karakteristik perjanjian penunjukkan agen di antaranya dibuat secara tertulis sehingga mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang bagi perusahaan penerbangan dan agen sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Perjanjian keagenan tersebut tidak dapat dibatalkan secara sepihak, pembatalan hanya diperkenankan jika kedua belah pihak mencapai kata sepakat atau oleh peraturan
(40)
perundang-undangan diperkenankan untuk itu sesuai dengan Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata. Hal ini berarti bahwa selama perjanjian penunjukkan agen berlangsung, maka pembatalan secara sepihak adalah dilarang dan jika mengakibatkan agen menderita kerugian, maka dapat digunakan sebagai dasar agen untuk menuntut ganti kerugian.
Pengakhiran hubungan keagenan antara perusahaan perbangan dengan para agen disebabkan karena izin penerbangan dicabut oleh pemerintah, yang berarti bahwa pengakhirian hubungan keagenan tersebut dibenarkan oleh undang-undang sesuai dengan Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata. Namun tidak jarang dalam perjanjian tersebut tercantum klausula mengesampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata, bahwa setiap perjanjian yang bersifat timbal balik syarat batal selalu dianggap dicantumkan di dalamnya. Perjanjian tersebut tidak batal dengan sendirinya, melainkan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan tersebut tetap harus dimintakan meskipun klausula syarat batal telah dicantumkan dalam perjanjian penunjukkan agen.
Dalam perspektif Hukum Perikatan, penyimpangan terhadap Pasal 1266 KUHPerdata masih menimbulkan perbedaan penafsiran, menyangkut sifat dari ketentuan ini, yakni bersifat melengkapi (aanvullend/voluntary) atau memaksa (dwinged/mandatory). Jika mengacu pada sifat yang pertama maka ketentuan ini boleh saja disimpangi, sebaliknya jika dinilai memaksa tentu penyimpangan tidak akan mempunyai kekuatan hukum dalam arti tidak mengikat.15 Perbedaan itu terutama bersumber dari Pasal 1266 ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan,
“Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan
(41)
Umumnya dipahami, untuk menentukan sifat suatu ketentuan, dalam bidang perdata, salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan mengidentifikasi konstruksi atau susunan kalimat dalam ketentuan itu. Dengan demikian cara ini tergolong penafsiran gramatikal. Adanya kata “harus” atau
“wajib” misalnya, mengindikasikan bahwa ketentuan yang bersangkutan bersifat
dwingend/mandatory. Sebaliknya, rumusan, “jika tidak telah diadakan perstujuan
lain” atau “jika tidak diper-janjikan sebaliknya” misalnya, mengindikasi bahwa ketentuan itu bersifat aanvullend/ voluntary. Dengan cara ini maka tak dapat lain untuk tidak mengatakan bahwa Pasal 1266 KUHPerdata bersifat dwingend dan karenanya tidak dapat disimpangi.94
Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan memahami strekking dari ketentuan dimaksud, yakni dengan mengkaitkan suatu ketentuan dengan ketentuan lain. Pada hakekatnya ini merupakan jenis penafsiran sistematis karena penafsiran dilakukan dengan memahami suatu ketentuan dihubungkan dengan pemahaman terhadap seluruh aturan yang terkait. Dari segi strekkingnya Pasal 1266 KUHPerdata juga harus dinilai dwingend karena syarat batal dalam Pasal ini tergolong syarat batal relatif dan bukan syarat batal mutlak seperti ketentuan sebelumnya, yakni Pasal 1265 KUHPerdata. Perbedaan keduanya terletak pada momen terjadinya kebatalan. Pada syarat batal mutlak, jika syarat terpenuhi maka dengan sendirinya perikatan batal, sedangkan pada syarat batal relatif, sekalipun syarat terpenuhi perikatan tidak otomatis batal melainkan harus dimintakan kepada hakim. Juga jika dilihat dari segi tujuannya, penilaian terhadap Pasal 1266
94
(42)
KUHPerdata akan sampai pada kesimpulan bahwa pasal ini bersifat dwingend karena tujuan pasal ini untuk melindungi salah satu pihak dan penilaian subjektif pihak yang lain. Adalah tidak adil jika penilaian mengenai tidak dipenuhinya suatu kewajiban (wanprestasi) digantungkan pada pihak lain. Hakimlah yang berwenang melakukan penilaian itu.
Prinsip-prinsip dan norma hukum yang diterapkan jika terjadi kegagalan pemenuhan kewajiban pemenuhan prestasi pada kontrak penunjukkan agen yang di dalamnya tidak tercantum mengenai sanksi bagi pelanggar perjanjian adalah prinsip-prinsip sebagaimana diatur di dalam Buku III KUHPerdata, tentang Perikatan. Prinsip kontrak penunjukkan agen adalah didasarkan atas buku III KUHPerdata, yang menganut asas terbuka atau kebebasan berkontrak dan asas pelengkap. Apabila dalam kontrak penunjukkan agen tidak mengadakan penyimpangan dari buku III KUHPerdata, maka akan dilengkapi oleh pasal-pasal buku III KUHPerdata dengan adanya kelengkapan ini menjadikan kontrak penunjukkan agen dapat berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan maksud dibuatnya kontrak penunjukkan agen tersebut.
Selain itu dalam perjanjian penunjukkan agen perusahaan penerbangan mengesampingkan ketentuan pasdal 1267 KUH Perdata, yang berarti membatasi diri dari tuntutan ganti kerugian atas dasar wanprestasi, di mana ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata memberikan pilihan kepada pihak yang dirugikan untuk meminta agar perjanjian keagenan dibatalkan disertai dengan ganti kerugian ataui ganti kerugian saja atau poembatalan disertai dengan penggantian kerugian. Gugatan ganti kerugian merupakan hak dari pihak yang dirugikan akibat adanya
(43)
wanprestasi, oleh karena itu jika pihak yang mengakibatkan terjadinya kerugian atau perusahaan penerbangan yang membatalkan secara sepihak dan akibat pembatalan tersebut pihak agen dirugikan, maka peraturan perundang-undangan memberikan hak untuk menggugat ganti kerugian. Sehingga jika perjanjian mengesampingkan mengenai gugatan ganti kerugian adalah tidak berlandaskan hokum. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata bahwa mengikatnya perjanjian bukan hanya sebatas pada hal-hal yang tercantum dalam perjanjian saja, melainkan juga harus memperhatikan pula kebiasaan, kepatutan dan undang-undang.
Berdasarkan hal tersebut di atas yang berhubungan dengan pembatalan perjanjian keagenan, pembatalan perjanjian disebabkan karena izin usaha angkutan udara dicabut oleh pemerintah. Pembatalan perjanjian penunjukkan keagenan yang demikian adalah diperkenankan sebagaimana Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata, bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Sehingga termasuk pembatalan perjanjian secara sepihak yang didasarkan atas alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Dengan dibatalkannya perjanjian kerjasama keagenan tersebut, maka sesuai dengan kesepakatan perusahaan penerbangan mengembalikan uang jaminan yang diserahkan oleh agen sebagai syarat dari penunjukkan keagenan dalam penjualan tiket atau karcis penumpang angkutan udara. Kenyataannya tidak mengembalikan uang jaminan penunjukkan sebagai agen penjualan tiket
(1)
ABSTRAK M. Aldillah*
Sinta Uli, SH. M.Hum** Aflah, SH.M.Hum**
Moda transportasi udara merupakan moda transportasi yang memilki karakteristik yang dapat melayani angkutan penumpang yang membutuhkan waktu tempuh lebih cepat dibanding moda transportasi lainnya, selain itu transportasi udara mempunyai jangkauan yang lebih luas bahkan sampai ke wilayah yang tidak terjangkau. Keberadaan agen penjualan sebagai usaha kegiatan penunjang angkutan udara diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara Berdasarkan latar belakang di atas, dipilih judul tentang "Pembinaan Dan Penataaan Usaha Agen Penjualan Tiket Dan Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara Sebagai Usaha Penunjang Dalam Penyelenggaraan Angkutan Udara (Studi Pada PT. Graha Travel & Tour Medan).
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana tanggungjawab PT. Graha Travel & Tour Medan sebagai agen penjualan umum dalam melakukan kegiatan usaha penunjang angkutan udara, bagaimana pembinaan dan penatausahaan agen penjualan tiket dan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara dalam kegiatan usaha penunjang angkutan udara, bagaimana upaya hukum jika terjadi wanprestasi di antara para pihak.
Metode penelitian skripsi ini adalah metode hukum Normatif dan sifat dari penulisan ini adalah bersifat deskriptif sebab akan menggambarkan dan melukiskan asas-asas atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penulisan ini.
Keberadaan agen penjualan umum ini dalam angkutan udara merupakan upaya dalam memasarkan/menjual tiket transportasi udara agar para calon penumpang dapat memperoleh tiket secara cepat dan mudah. Dalam hal ini agen penjualan sebagai distributor resmi tiket angkutan udara mempunyai peranan, kewajiban, tanggung jawab, menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak yang terkait didalamnya dan mencegah serta mnyelesaikan masalah yang timbul apabila terjadi wanprestasi diantara para pihak. Tanggungjawab PT. Graha Travel & Tour Medan sebagai agen penjualan umum dalam melakukan kegiatan usaha penunjang angkutan udara adalah memasarkan/menjual tiket transportasi udara sehingga calon penumpang dapat memperoleh tiket secara cepat dan mudah. Apabila terjadi pelanggaran, maka izin usaha angkutan udara dapat dicabut setelah sebelumnya melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan dan jika tidak ditaati, dilanjutkan dengan pembekuan izin untuk jangka waktu 1 (satu) bulan. Pihak yang merasa dirugikan baik agen penjualan tiket penumpang angkutan udara dan perusahaan angkutan udara dapat mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap pihak yang melakukan wanprestasi.
Kata Kunci : Pembinaan, Agen, Angkutan Udara
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(2)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur terhadap Allah Swt karena dengan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul : "Pembinaan Dan Penataaan Usaha Agen Penjualan Tiket Dan Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara Sebagai Usaha Penunjang Dalam Penyelenggaraan Angkutan Udara (Studi Pada PT. Graha Travel & Tour Medan) yang membahas tentang agen penjualan sebagai usaha kegiatan penunjang angkutan udara yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.
Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah dengan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan I FH. USU Medan
(3)
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.MH. DFM sebagai Wakil Dekan II FH. USU Medan.
4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan III FH. USU Medan 5. Bapak Prof. Dr. H. Hasim Purba, SH.M. Hum sebagai Ketua Departemen
Hukum Perdata.
6. Ibu Rabiatul Syariah, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata
7. Ibu Sinta Uli, SH.M.Hum selaku ketua program kekhususan dagang sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi.
8. Ibu Aflah, SH.M.Hum sebagai Pembimbing II yang bersedia memberikan masukan dan perbaikan dalam penulisan skripsi ini.
9. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.
10.Para pihak PT. Graha Travel & Tour Medan atau nara sumber yang telah bersedia memberi waktunya untuk mengisi kuisioner dari penulis.
11.Terima kasih yang sebesar-besarnya dari penulis kepada ayahanda Ir. Ali Gusnar dan Ibunda Nurhayati yang dengan susah payah membesarkan, mendidik dan membiayai pendidikan penulis.
12.Buat om dan tante, Ir. Teuku Ambiya dan Rosaidah, S.Psi atas pengorbanan, doa dan kasih sayang yang tidak terhingga kepada penulis.
13.Buat kakak tersayang Ira Amelia, SE dan adekku Cut Ratna Dewi yang telah mendukung penulis agar tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi.
14.Buat para teman dan sahabatku Zulfahmi Syahputra Lubis, ST, Hana Fairuz Prikania Lubis, Mahfira Ramadhani, S.K.G., Tasya Nst, S. Ked, Rizky Nadra, Yudifri, M. Fahrullah, Abdul Haris, Ferryal Huseini, Reza Rizky Ananda, SE, Ilhamsyah, Rifqi Hasim, S.Ked, Daniel Ferdoli, Fauzan Zaki, M. Arbi Utama, S.STP, Ridha Tw, SH, Upi, Dody, Zi, Dinda Anwar serta Piti yang membantu dan menemani serta memberi motifasi dan masukan kepada penulis dalam masa pengerjaan skripsi ini.
(4)
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah Swt yang dapat membalas budi baik semuanya.
Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.
Medan, Desember 2015 Penulis
(5)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI. ... v
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Metode Penelitian... 10
F. Sistematika Penulisan... 13
G. Keaslian Penulisan ... 14
BAB II : HUKUM PENGANGKUTAN UDARA DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009 ... 16
A. Asas dan Tujuan Diselenggarakannya Pengangkutan Udara . 16 B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Pengangkutan Udara . 28 C. Manfaat serta Fungsi Jasa Angkutan Udara dan Pelaksanaan Pengangkutan Udara ... 32
D. Kegiatan Usaha Penunjang dalam Angkutan Udara ... 42
BAB III : AGEN PENJUALAN TIKET DAN PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA SEBAGAI SALAH SATU ASPEK KEGIATAN PENUNJANG ANGKUTAN UDARA ... 46
A. Pengertian Agen Penjualan Tiket dan Lingkup Pekerjaanya .. 46
B. Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara Lingkup Pekerjaannya dan Dasar Hukum ... 52
C. Perjanjian Keagenan dan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara .. 55
(6)
BAB IV : PEMBINAAN DAN PENATAAAN USAHA AGEN PENJUALAN TIKET DAN PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA SEBAGAI USAHA
PENUNJANG DALAM PENYELENGGARAAN ANGKUTAN
UDARA ... 67
A. Tanggungjawab Agen Penjualan Tiket dan Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara dalam Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara. ... 67
B. Pembinaan dan Penataaan Usaha Agen Penjualan Tiket dan Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara dalam Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara ... 75
C. Upaya Hukum Jika Terjadi Wanprestasi Di Antara Pihak... 81
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 95
A. Kesimpulan ... 95
B. Saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA ... 97 LAMPIRAN.
1. Surat Pengantar Penelitian dari Fakultas Hukum USU.
2. Surat Balasan Penelitian dari PT. Graha Travel & Tour Medan.
3. Hasil Wawancara dengan Kepala Divisi Marketing PT. Graha Travel & Tour Medan.