Sediaan Padat Sediaan Cair Sediaan Inhalasi: sediaan obat luar yang digunakan dengan cara dihisap Sediaan Setengah Padat

Universitas Sumatera Utara 4. Obat psikotropika Obat psikotropika adalah obat bukan golongan narkotik yang berkhasiat mempengaruhi susunan syaraf pusat dan dapat menimbulkan perubahan yang khas pada aktivitas mental dan perilaku. Obat golongan ini hanya diperbolehkan untuk dijual melalui resep dokter. Tanda khusus berupa huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008.

5. Obat narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari turunan tanaman atau bahan kimia yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, menghilangkan rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan menimbulkan ketergantungan. Obat golongan ini hanya dapat diperoleh dengan resep dari dokter Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008. Gambar 2.4. Tanda Khusus Obat Narkotika Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI

2.3.3. Bentuk Sediaan Obat

Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008 tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan, ada empat bentuk sediaan obat yaitu:

1. Sediaan Padat

a. Tablet: sediaan padat kompak yang dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk pipih, kedua permukaannya rata atau cembung dan mengandung satu jenis obat atau lebih, dengan atau tanpa zat tambahan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara i. Tablet Bersalut: tablet yang bersalutberlapis dengan tujuan untuk melindungi zat aktif dari udara, kelembaban, dan cahaya, menutupi rasa dan bau, serta agar memiliki penampilan yang lebih baik. ii. Tablet Effervescent: tablet yang dilarutkan dalam air terlebih dahulu sebelum diminum. Tablet ini mengeluarkan gas CO2. iii. Tablet Kunyah: tablet yang penggunaannya dikunyah dengan tujuan memberikan rasa enak dan mudah ditelan. iv. Tablet Hisap: tablet yang penggunaannya dihisap, tidak langsung ditelan. b. Kapsul: sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam air dan terbuat dari gelatin atau bahan lain yang sesuai. c. PulvisPuyerTalk: campuran kering bahan obat yang dihaluskan untuk digunakan sebagai obat dalam atau obat luar.

2. Sediaan Cair

a. Syrup: sediaan cair yang digunakan sebagai obat dalam diminum. b. Larutan obat luar: larutan yang digunakan hanya untuk penggunaan luar tidak diminum. i. Cairan Tetes Hidung. ii. Cairan Tetes Telinga. iii. Cairan Tetes Mata. iv. Cairan Obat Kumur. v. Cairan Shampo. vi. Lotion.

3. Sediaan Inhalasi: sediaan obat luar yang digunakan dengan cara dihisap

melalui hidung.

4. Sediaan Setengah Padat

a. Salep: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit atau mata. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara b. Krim: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit dan kosmetik. c. Gel: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit, anus dan vagina. d. Aeorsol: sediaan setengah padat yang digunakan dengan cara semprot pada hidung atau mulut. e. Suppositoria: sediaan setengah padat berbentuk peluru digunakan untuk anus. f. Ovula: sediaan setengah padat berbentuk bulat telur digunakan untuk vagina.

2.4. Interaksi Obat

Ketika efek dari suatu obat berubah oleh karena adanya obat lain, maka interaksi dapat dikatakan telah terjadi Stockley, 2008. Interaksi tidak hanya dapat terjadi antara obat dengan obat, tetapi juga dapat terjadi antara obat dengan bahan makanan seperti susu, jus, alkohol, kafein dan sebagainya Bushra et al., 2010, serta antara obat dengan herbatumbuh-tumbuhan Fasinu et al., 2012. Interaksi yang terjadi pada pemberian beberapa obat secara bersamaan kepada pasien dapat mengubah efek farmakologis dari salah satu obat misalnya seperti meningkatkan efek obat tersebut sampai menjadi efek toksik atau sebaliknya menurunkan efek obat tersebut sehingga menghilangkan manfaat terapinya pada pasien Brunton et al., 2006. Menurut Carruthers et al. 2000, interaksi antara obat dengan obat dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu secara farmasetik, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Menurut Katzung et al. 2009, beberapa mekanisme bagaimana obat berinteraksi dapat dikategorikan menjadi interaksi pada proses farmakokinetik absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi, interaksi pada proses farmakodinamik efek aditif atau antagonis, dan interaksi kombinasi. Namun secara umum, interaksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 2.4.1. Interaksi Farmakokinetik Proses farmakokinetik merupakan proses dimana tubuh bekerja pada obat yang masuk ke dalam tubuh Brunton et al., 2006. Mekanisme interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat Rang et al., 2007.

2.4.1.1. Interaksi pada Proses Absorbsi

Ketika suatu obat diberikan kepada pasien secara ektravaskuler, misalnya secara peroral atau transdermal, obat akan diabsorbsidiserap melewati membran biologis, seperti dinding saluran pencernaan dan kulit, untuk mencapai sirkulasi sistemik. Efek farmakologis obat umumnya tertunda apabila diberikan secara ekstravaskuler karena obat perlu waktu untuk diabsorbsi ke sistem sirkulasi darah Dipiro et al., 2005. Penyerapan obat pada saluran pencernaan dapat dipengaruhi oleh obat lain yang mempunyai luar permukaan luas, berikatan atau kelasi, mengubah pH lambung, mengubah pergerakan saluran pencernaan, atau mempengaruhi protein transpor seperti glikoprotein-P dan transporter anion organik Katzung et al., 2009. Penyerapan suatu obat pada saluran cerna dapat diperlambat oleh obat lain yang dapat menghambat proses pengosongan lambung, misalnya atropin atau opiat, atau dipercepat oleh obat lain yang dapat mempercepat proses pengosongan lambung, misalnya metoklopramide Rang et al., 2007. Menurut Rang et al. 2007, interaksi farmasetik juga dapat terjadi ketika obat pertama berinteraksi dengan obat kedua dalam usus sedemikian rupa sehingga penyerapan obat kedua terhambat. Beberapa contoh obat yang berinteraksi secara farmasetik yaitu: 1. Ion kalsium dan zat besi dapat membentuk suatu kompleks yang tidak dapat larut insoluble complex dengan tetrasiklin sehingga menghambat penyerapan tetrasiklin Rang et al., 2007. 2. Kolestiramin, suatu resin yang mengikat empedu, dapat mencegah penyerapan beberapa obat, misalnya warfarin dan digoksin dengan cara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara berikatan dengan obat tersebut jika diberikan secara bersamaan Rang et al., 2007. 3. Penambahan adrenalinepinephrine pada suntikan anestesi lokal menyebabkan vasokonstriksi yang dapat memperlambat penyerapan obat anastesi tersebut sehingga efek lokal semakin panjang Rang et al., 2007. Menurut Stockley 2008, mekanisme interaksi obat pada proses absorbsi dapat dibagi menjadi lima, yaitu: 1. Efek perubahan pada pH saluran cerna. 2. Adsorbsi, kelasi dan mekanisme pembentukan kompleks lainnya. 3. Perubahan pada pergerakan saluran cerna. 4. Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat. 5. Malabsorbsi akibat obat.

2.4.1.2. Interaksi pada Proses Distribusi

Sistem sirkulasi darah berperan sebagai sarana transportasi bagi obat untuk mencapai tempatnya bekerja Dipiro et al., 2005. Setelah obat diabsorbsi atau telah mencapai sirkulasi darah, obat akan berdistribusi ke cairan interstisial dan intraseluler. Laju pengiriman dan jumlah obat yang terdistribusi ke jaringan dipengaruhi oleh curah jantung, aliran darah setempat, permeabilitas kapiler, dan volume jaringan Brunton et al., 2006. Sebagian obat juga ada yang tetap berada dalam sirkulasi darah dan berikatan dengan protein endogen seperti albumin atau glikoprotein. Ikatan ini bersifat reversibel sehingga terbentuk keseimbangan antara obat yang berikatan dengan protein dan obat yang tidak berikatan dengan protein Dipiro et al., 2005. Menurut Katzung et al. 2009, interaksi pada proses distribusi obat yang dapat terjadi yaitu kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma, perpindahan dari tempat ikatan pada jaringan, dan perubahan pada sawar jaringan lokal seperti hambatan glikoprotein-P pada sawar darah otak. Pergeseran obat dari tempat ikatannya binding sites dalam plasma atau jaringan akan meningkatkan konsentrasi obat yang bebastidak terikat secara transien, namun proses ini juga diikuti oleh peningkatan eliminasi obat, sehingga Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara terbentuk suatu keadaan tetap steady state yang baru dimana konsentrasi obat total dalam plasma berkurang tetapi konsentrasi obat yang bebas tetap sama dengan konsentrasi awalnya sebelum berinteraksi dengan obat kedua. Jadi interaksi obat pada proses distribusi jarang sekali penting secara klinis Rang et al., 2007. Namun menurut Rang et al. 2007, ada beberapa konsekuensi interaksi ini yang berpotensial penting secara klinis yaitu: 1. Toksisitas terjadi dari peningkatan transien konsentrasi obat yang bebas sebelum kondisi tetap steady state yang baru tercapai. 2. Jika dosis diatur berdasarkan pengukuran konsentrasi plasma total, maka harus diingat bahwa rentang konsentrasi terapetik target akan diubah oleh pemberian yang bersamaan dengan obat penggeser displacing drug. 3. Ketika obat penggeser displacing drug mengurangi eliminasi obat pertama sehingga konsentrasi obat yang bebas meningkat tidak hanya secara akut tetapi juga secara kronis pada kondisi tetap steady state yang baru dan toksisitas yang berat mungkin terjadi. Menurut Stockley 2008, mekanisme interaksi obat pada proses distribusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Interaksi pada ikatan protein. 2. Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat.

2.4.1.3. Interaksi pada Proses Metabolisme

Metabolisme obat atau disebut juga reaksi biotransformasi obat dibagi menjadi dua yaitu reaksi fungsionalisasi fase I dan reaksi biosintesis atau konjugasi fase II. Pada reaksi fase I, obat mengalami proses hidrolisis yang dapat menyebabkan hilangnya aktivitas farmakologis obat tersebut atau sebaliknya meningkatkan aktivitas farmakologis seperti pada prodrug. Pada reaksi fase II, obat yang telah mengalami reaksi fase I akan dikonjugasikan dengan asam glukoronat, sulfat, glutation, asam amino atau asetat untuk membentuk senyawa kovalen yang polar sehingga dapat dengan cepat diekskresikan melalui urin atau feses Brunton et al., 2006. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Beberapa organ seperti hati, dinding saluran pencernaan, dan paru-paru memiliki enzim untuk melakukan proses metabolisme obat, namun pada umunya metabolisme terjadi di organ hati. Proses ini dapat menghasilkan metabolit yang inaktif atau sebaliknya memiliki efek farmakologis. Selain itu, pembuluh darah juga memiliki enzim esterase yang dapat memutuskan ikatan ester pada molekul obat sehingga obat menjadi inaktif Dipiro et al., 2005. Metabolisme suatu obat dapat distimulasi atau sebaliknya dihambat oleh obat lain Katzung et al., 2009. Menurut Stockley 2008, mekanisme interaksi obat pada proses metabolisme dapat dibagi menjadi lima, yaitu: 1. Perubahan pada first-pass metabolism. 2. Induksi enzim. 3. Inhibisi enzim. 4. Faktor genetik. 5. Isoenzim sitokrom P450.

2.4.1.4. Interaksi pada Proses Ekskresi

Menurut Brunton et al. 2006, obat dapat dieliminasi dalam bentuk yang tidak berubah dari bentuk semulanya atau dalam bentuk metabolit yang telah dikonversi. Organ-organ ekskresi lebih efisien mengeliminasi senyawa polar larut dalam air daripada senyawa yang memiliki kelarutan dalam lemak yang tinggi, kecuali organ paru-paru. Senyawa yang larut dalam lemak akan dikonversikan menjadi senyawa polar agar dapat dieksresi. Organ ginjal dapat mengekskresi obat melalui filtrasi glomerulus atau dengan proses aktif melalui sekresi tubulus proksimal. Selain itu, obat juga dieliminasi melalui empedu yang dihasilkan oleh organ hati atau diekspirasikan melalui organ paru-paru. Dipiro et al., 2005 Menurut Katzung et al. 2009, ekskresi suatu obat dapat dipengaruhi oleh obat lain yang dapat mengubah pH urin atau yang dapat menghambat transporter pada tubulus ginjal. Mekanisme interaksi obat pada proses ekskresi, menurut Stockley 2008, dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1. Perubahan pada pH urin. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 2. Perubahan pada ekskresi aktif tubulus ginjal. 3. Perubahan pada aliran darah ginjal. 4. Ekskresi bilier dan entero-hepatic shunt.

2.4.2. Interaksi Farmakodinamik