Standar Praktik Kefarmasian TINJAUAN PUSTAKA

9 2 Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

2.2 Standar Praktik Kefarmasian

Pedoman praktik farmasi yang baik didasarkan pada asuhan kefarmasian yang diberikan para apoteker. Pedoman ini merekomendasikan agar standar nasional ditetapkan untuk: peningkatan kesehatan, penyediaan obat-obatan, alat- alat medis, perawatan diri pasien dan peningkatan pemberian resep dan penggunaan obat oleh aktivitas apoteker. International Pharmaceutical Federation FIP mendesak organisasi farmasi dan pemerintah untuk bekerjasama dalam menyusun standar yang tepat atau, di mana standar nasional sudah ada, dalam meninjau standar ini sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang ditetapkan dalam dokumen praktik farmasi yang baik.Semua apoteker yang berpraktik wajib menjamin bahwa layanan yang mereka berikan kepada setiap pasien mempunyai kualitas yang tepat FIP, 1997. Menurut WHOFIP 1997, persyaratan praktik farmasi yang baik adalah: 1. Praktik farmasi yang baik mengharuskan agar perhatianutama apoteker dalam keadaan apapun adalah kesejahteraan pasien. 2. Praktik farmasi yang baik mengharuskan agar inti aktivitas farmasi adalah penyediaan obat dan produk perawatan kesehatan lainnya dengan mutu terjamin, informasi dan nasehat yang tepat untuk pasien dan pemonitoran efek penggunaan. 3. Praktik farmasi yang baik mengharuskan agar bagian integral dari kontribusi apoteker adalah peningkatan penulisan resep yang rasional dan ekonomis dan penggunaan obat yang tepat. Universitas Sumatera Utara 10 4. Praktik farmasi yang baik mengharuskan agar tujuan dari masing-masing unsur layanan farmasi relevan dengan pasien, didefinisikan dengan jelas dan disampaikan dengan efektif kepada semua pihak yang terlibat. Dalam memenuhi persyaratan di atas, diperlukan kondisi sebagai berikut: 1. Profesionalisme haruslah menjadi falsafah utama yang mendasari praktik, walaupun faktor ekonomi juga penting. 2. Apoteker harus memberi masukan mengenai keputusan penggunaan obat. Harus ada sistem yang memungkinkan apoteker dapat melaporkan kejadian yang merugikan, kesalahan obat, kualitas produk yang cacat atau deteksi produk palsu. Pelaporan ini bisa mencakup informasi tentang penggunaan obat yang disediakan pasien atau profesional kesehatan, secara langsung atau melalui apoteker. 3. Hubungan yang berkelanjutan dengan profesional kesehatan lainnya, terutama dokter, haruslah dipandang sebagai kemitraan terapeutik yang melibatkan saling percaya dan keyakinan atas segala hal yang terkait dengan farmakoterapeutik. 4. Hubungan antara sesama apoteker haruslah sebagai sesama rekan yang berusaha meningkatkan layanan farmasi, dan bukan sebagai sesama pesaing. 5. Dalam kenyataannya, organisasi, praktik kelompok dan manager apotek haruslah menerima berbagai tanggungjawab atas definisi, evaluasi dan peningkatan kualitas. 6. Apoteker haruslah mengetahui informasi tentang medis dan obat-obatan penting setiap pasien. Memperoleh informasi sedemikian menjadi lebih mudah Universitas Sumatera Utara 11 jika pasien memilih hanya menggunakan satu apotek atau jika profil obat pasien tersedia. 7. Apoteker membutuhkan informasi independen, komprehensif, objektif dan terkini tentang terapeutik dan obat-obatan yang digunakan. 8. Apoteker di setiap lingkungan praktik haruslah menerima tanggungjawab pribadi atas pemeliharaan dan penilaian kompetensinya sendiri sepanjang masa kerja profesional mereka. 9. Program pendidikan profesi haruslah menangani perubahan saat ini dan masa mendatang dengan tepat yang bisa diperkirakan dalam praktik farmasi. 10. Standar praktik farmasi nasional yang baik haruslah ditetapkan dan haruslah dipatuhi para praktisi. Praktik farmasi yang baik melibatkan empat kelompok aktivitas utama, yaitu: a. aktivitas yang terkait dengan peningkatan kesehatan yang baik, penghindaran penyakit dan pencapaian tujuan kesehatan; b. aktivitas yang terkait dengan penyediaan dan penggunaan dan item-item untuk pemberian obat atau untuk aspek pengobatan lainnya aktivitas ini bisa dilaksanakan di apotek, di institusi atau di lingkungan perawatan rumah; c. aktivitas yang terkait dengan swamedikasi, yang meliputi nasehat tentang dan, di mana dianggap tepat, penyediaan obat atau pengobatan lainnya untuk gejala-gejala penyakit yang memungkinkannya bagi pengobatan sendiri; d. aktivitas yang terkait dengan penulisan resep dan penggunaan obat-obatan. 2.3 Profesionalisme Profesionalismedapat didefinisikan sebagaisejauh manasuatu profesiatau anggota profesimenunjukkankarakteristikprofesi.Banyak penelitiantelah Universitas Sumatera Utara 12 dilakukan untukmenentukan tingkatprofesionalismeapoteker dansiswa farmasi.Kebanyakaninstrumenyang dirancang untuk menilaiprofesionalismetelahdiukurberdasarkan karakteristikklasikprofesi, seperti: pengetahuan khusus tentang teknik, cara-cara berperilaku dan nilai dalam bertingkah laku,altruisme,asosiasi profesidan identitas, gengsi, fungsi sosial,otonomi,hubungan klienkhusus,intelektualdasar termasuk komitmen dalam seni liberal, melanjutkan pendidikan, danpenelitian, sosialisasi yang unik darianggotamahasiswa,pengakuan hukummelalui lisensi, kesetaraan lengkap dari anggota,kepraktisan,dan keterampilan pekerjaan Hammer, et al., 2000. Profesionalismeditunjukkan dalam cara apotekerberperilaku dalam situasiyang profesional.Definisi inimenunjukkansikapyang diciptakan melaluikombinasiperilaku, termasukkesopananketika berhadapandengan pasien,teman sebaya, danperawatan kesehatanprofesional lainnya.Apotekerharuskonsistendalam menghormati orang laindan memeliharanyasesuaibatas-batasprivasi dankebijaksanaan. Sangat penting untukmemilikisikap-sikap yang empatik, apakahsaat berurusandengan pasienatau berinteraksidengan orang laindalam timperawatan kesehatanHammer, et al., 2000.

2.4. Manajerial