bahwa memisahkan antara laki-laki dan perempuan di sekolah itu tidaklah baik untuk perkembangannya. Siswa yang berada di
single sex schools menjadi lebih menerima gender stereotype Conley, 2011. Di Amerika, single sex schools lebih dibandingkan
kepada sekolah yang lebih khusus dimana kebanyakan single sex schools ini
berisikan siswa yang berlatar belakang sosioekonomi dan agama yang lebih homogen daripada di
coeducational schools Mael, 1998.
2.3 Perbedaan kecerdasan sosial siswa single sex schools dan coeducational
schools
Single sex schools merupakan sekolah yang memiliki siswa dengan jenis kelamin sama dan
coeducational schools merupakan sekolah dengan siswa yang berjenis kelamin berbeda atau campuran. Di Indonesia terdapat dua jenis sekolah ini.
Salah satu contohnya adalah Sekolah Menengah Kejuruan SMK. SMK merupakan pendidikan kejuruan dengan berbagai program keahlian. Akibat memiliki berbagai
program keahlian tersebut maka hal ini dapat memisahkan minat antara laki-laki dan perempuan sehingga akibatnya ada sekolah yang hanya memiliki siswa laki-laki saja
atau perempuan saja. Telah banyak perdebatan maupun penelitian mengenai keuntungan dan
kerugian dari single sex schools dan coeducational schools ini, mulai dari performa
akademik, sikap terhadap akademik, disiplin di sekolah, kenyamanan di sekolah, aspirasi siswa dan ketertarikan kerja terutama bagi perempuan,
self-esteem siswa,
Universitas Sumatera Utara
dan kesuksesan setelah sekolah Mael, 1998. Dunia sekolah seharusnya menjadi agen sosialisasi dalam mengenalkan kepada anak mengenai dunia sosialnya dalam
konsep yang heterogen Hendrastomo, 2012. Di single sex schools, hanya terdapat
teman sebaya yang berjenis kelamin sama dan kebanyakan single sex schools juga
merupakan sekolah yang berlatar belakang siswa dengan level sosioekonomi dan agama yang homogen juga Mael, 1998.
Kecerdasan sosial merupakan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan sekumpulan keterampilan kesadaran situasi, kehadiran,
authenticity, kejelasan dan empati yang digunakan untuk berinteraksi dengan sukses dengan
orang lain Albrecht, 2006. Goleman 2006, juga menjelaskan kecerdasan sosial sebagai kemampuan untuk memahami orang lain dan bagaimana reaksi mereka dalam
situasi yang berbeda. Kecerdasan sosial juga memiliki dua komponen yaitu kesadaran sosial yang terdiri dari empat aspek, empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik,
dan kognisi sosial, komponen yang kedua adalah fasilitas sosial yang terdiri dari sinkronisasi, presentasi diri, pengaruh dan kepedulian Goleman, 2006. Jadi, yang
paling ditekankan dalam kecerdasan sosial adalah kemampuan memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan menggunakan kemampuan verbal dan non-verbal
secara tepat dan sesuai dengan situasi yang ada. Kecerdasan sosial ini dipengaruhi oleh faktor sekolah. Jenis sekolah yang
ditempati anak akan berpengaruh terhadap prestasi akademik dan perkembangan sosialnya Woodward, 1999. Ada jenis sekolah berdasarkan siswa yang berjenis
Universitas Sumatera Utara
kelamin sama yang disebut single sex schools dan berjenis kelamin campuran yang
disebut dengan coeducational schools. Dalam coeducational schools, laki-laki dan
perempuan dapat saling berdiskusi mengenai pendapat masing-masing dan berinteraksi secara natural sebagaimana kehidupan nyata di dunia sosial yang
sesungguhnya. Sering sekali perspektif antara laki-laki dan perempuan berbeda-beda dan dengan saling interaksi mereka menjadi dapat pemahaman mengenai perspektif
masing-masing www.cathedral-school.co.ukco-education.html. Dale dalam Mael, 1998 mengatakan bahwa
coeducational schools lebih menunjukkan keadaan lingkungan interaksi sosial di dunia yang sebenarnya, sehingga sekolah ini lebih baik
mempersiapkan generasi muda dalam berinteraksi dan berintegrasi dengan lawan jenis di dalam masyarakat. Dale juga mengatakan
coeducational schools juga memenuhi kebutuhan para remaja dalam bidang sosial dan juga akademisnya.
Di single sex schools, siswa hanya berinteraksi dan bekerja sama dengan
teman sebaya yang berjenis kelamin sama. Siswa perempuan di single sex schools
lebih mampu mengembangkan keterampilan sosial yang baik dibandingkan dengan yang berada di
coeducational schools Carpenter dalam Smyth, 2010. Sedangkan siswa laki-laki di
coeducational schools lebih terjauhkan dari perilaku kekerasan dan perilaku anti sosial JonesThompson dalam Mael, 1998. Kecerdasan sosial juga
berhubungan dengan perilaku agresif seseorang, dimana orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi maka prilaku agresifnya akan semakin rendah Wulandari,
2010.
Universitas Sumatera Utara
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh coeducational
schools dan single sex schools ini terhadap prestasi akademik siswanya. Namun, hasil yang didapatkan tidak konsisten, ada yang hasilnya menyatakan bahwa
coeducational schools lebih baik dalam pencapaian akademis dan ada yang hasilnya single sex
schools lebih baik dalam pencapaian akademis, bahkan ada yang mengatakan tidak ada perbedaan pencapaian akademis dari kedua sekolah. Studi longitudinal telah
dilakukan di New Zealand mengenai efek coeducational schools dan single sex
schools terhadap prestasi akademis, yang memberikan hasil bahwa siswa yang bersekolah di
single sex schools lebih memiliki prestasi akademis yang lebih baik daripada siswa yang bersekolah di
coeducational schools Woodward, 1999. Namun, juga dengan catatan melihat sisi personal dari siswa, latar belakang sosial, fungsi
keluarga dan orang tua serta faktor sekolah. Penelitian juga dilakukan mengenai
self-concept dari siswa yang bersekolah di
coeducational schools dan single sex schools, hasilnya menyatakan bahwa siswa yang sekolah di
single sex schools lebih dapat mengurangi jarak yang ada antara konsep diri perempuan dan laki-laki Smyth, 2010. Ini berarti bahwa di
single sex schools, perempuan ataupun laki-laki tidak merasa canggung untuk memilih jenis
kegiatan yang bersifat “feminin” atau “maskulin” sehingga mereka lebih mampu mengembangkan potensinya tanpa ragu-ragu.
Penelitian mengenai konsekuensi dari coeducational schools dan single sex
schools ini ketika telah dewasa juga telah dilakukan Smyth, 2010. Sullivan, dalam
Universitas Sumatera Utara
Smyth 2010 menemukan bahwa wanita yang bersekolah di single sex schools, akan
lebih suka untuk mengambil pekerjaan yang “maskulin” dibandingkan “feminim”. Hal ini bisa disebabkan karena kebebasan berekspresi ketika di
single sex schools dan tidak ada rasa malu atau segan terhadap lawan jenis.
Dari uraian di atas, dapat dilihat mengenai perbedaan antara siswa coeducational schools dan single sex schools. Masing-masing sekolah tersebut
memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Single sex schools memiliki
kelebihan dalam penekanan terhadap konsep diri dan prestasi akademik yang didapatkan siswa. Sedangkan
coeducational schools lebih menekankan keuntungan sebagai bentuk dunia sosial yang sebenarnya, sehingga para siswa lebih positif
perkembangannya, tidak hanya terbatas dari akademis saja namun juga sosialnya. Sesuai dengan penelitian Cicilia 1999, bahwa sikap seorang siswa terhadap sekolah
homogen atau single sex schools akan berpengaruh terhadap sikap heteroseksualnya.
Semakin positif sikap seorang siswa terhadap single sex schools, yang berarti dia
menerima semua homogenitas di sekolahnya tersebut, maka semakin negatif sikap heteroseksualnya, yang diartikan sebagai pergaulan mereka terhadap lawan jenis. Ini
berarti bahwa single sex schools akan mempengaruhi kepedulian siswa terhadap
lawan jenis. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka dapat diasumsikan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan sosial siswa di
single sex schools dan coeducational schools.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Hipotesis penelitian