Pengaruh Struktur Mikro terhadap Sifat mMkanis Baja Stainless Steel M303 Extra untuk Bahan Mata Pisau Pemanen Sawit

(1)

PENGARUH STRUKTUR MIKRO TERHADAP

SIFAT MEKANIS BAJA STAINLESS STEEL M303 EXTRA

UNTUK BAHAN MATA PISAU PEMANEN SAWIT

SKRIPSI

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

INDRA RUKMANA 080401014

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

ABSTRAK

Perlakuan panas (heat treatment) didefenisikan sebagai kombinasi operasi pemanasan dan pendinginan yang terkontrol dalam keadaan padat untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu pada baja/logam atau paduan. Salah satu metode perlakuan panas tersebut adalah dengan proses quenching dan tempering. Proses ini dilakukan pada temperatur austenite (1000°C) selama 60 menit kemudian didinginkan dengan oli dan air es, kemudian di-temper pada temperatur 300°C, 350°C, 400°C, 450°C, 500°C, 550°C, 600°C dengan lama waktu penahanan 1 jam. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa nilai kekerasan optimum adalah 506,6 BHN setelah quenching dengan oli pada suhu 10000C dan pada proses tempering rata – rata kekerasanya secara bertahap menurun dengan bertambahnya temperatur tempering. Sedangkan nilai kekerasan setelah quenching dengan air es pada suhu 1000°C adalah 499,2 BHN dan pada proses tempering kekerasan yang didapat rata – rata secara bertahap menurun dengan bertambahnya temperatur tempering, namun pada temperatur tempering 450°C kekerasannya naik yang didapat 426,6 BHN. Hal ini disebabkan laju difusi lambat hanya sebagian kecil karbon yang dibebaskan, hasilnya sebagian struktur tetap keras tetapi mulai kehilangan kerapuhanya. Hasil pengujian tarik memperlihatkan nilai yang optimum diperoleh tegangan luluh (yield strength) 1155,671 MPa dan tegangan batas (ultimate strength) 1335,313 MPa. Hasil pengujian Fatique diperoleh kekuatan lelah maksimum pada siklus 313833600 N selama 307680 detik dengan beban 7 kg pada raw material. Menurunnya besar butir dari raw material 3,83 μm menjadi 2,86 μm dan 2,47 μm setelah quenching dengan oli dan air es, dan setelah tempering rata – rata kenaikan besar butir secara bertahap dengan bertambahnya temperatur tempering . Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa pada proses tempering dapat menurunkan nilai kekerasan dan kekuatan tarik. Sementara hasil mikro struktur memperlihatkan bahwa diameter butiran bahan menunjukkan menurunnya diameter butiran selama proses hardening dengan quenching oli. Dimana semakin kecil diameter butiran maka sifat mekanis bahan meningkat. Kata Kunci: Heat Treatment, Baja Stainless Steel M303 Extra, Sifat Mekanis,


(9)

ABSTRACT

Heat treatment is defined as a combination of heating and cooling operations are controlled in the solid state to obtain certain properties in the steel / metals or alloys. One of these is a method of heat treatment with quenching and tempering process. This process is carried out at a temperature of austenite (1000°C) for 60 minutes and then cooled with ice water and oil, then in-tempering at 300°C, 350°C, 400°C, 450°C, 500°C, 550°C, 600°C with a holding time 1 hour long. The test results showed that the optimum value is 506.6 BHN hardness after quenching in oil at a temperature of 1000°C and the tempering process average hardness gradually decreases with increasing tempering temperature. While the value of hardness after quenching with ice water at a temperature of 1000°C is 499.2 BHN and the process of tempering hardness obtained average gradually decreased with increasing tempering temperature, but at temperatures of 450°C tempering hardness obtained up 426.6 BHN. This is due to slow diffusion rate only a small fraction of carbon that was released, the result is still hard but most of the structure began to lose brittleness. Tensile test results showed that the optimum value obtained yield stress (yield strength) 1155.671 MPa and limit strength (ultimate strength) 1335.313 MPa. Fatigue test results obtained maximum fatigue strength at 313833600 N cycles for 307680 Second with 7 kg load the raw material. Decreasing grain size of the raw material 3.83 μm to 2.86 μm and 2.47 μm after quenching with oil and ice water, and after tempering average - average grain size increase gradually with increasing tempering temperature. From the research it can be concluded that the tempering process can reduce the value of hardness and tensile strength. While the results showed that the diameter of the micro-structure of granular materials exhibit decreasing grain diameter during the process of heat treatment with quenching oil. Where the greater diameter of the granules decreased mechanical properties of materials.

Keywords: Heat Treatment, Steel Stainless Steel Extra M303, Mechanical Properties, Microstructure


(10)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah saya ucapkan Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga tugas sarjana ini dapat selesai. Tugas sarjana yang berjudul “Pengaruh Struktur Mikro Terhadap Sifat Mekanis Baja Stainless Steel M303 Untuk Bahan Mata Pisau Pemanen Sawit” ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Teknik Mesin Program Reguler di Departemen Teknik Mesin – Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Tugas sarjana ini berisikan penelitian yang berhubungan dengan pembentukan ukuran butiran pada skala mikro dengan menggunakan teknik heattreatment diatas temperatur rekristalisasi terhadap material baja stainless steel M303 extra sehingga diharapkan terjadi perubahan sifat-sifat mekanis pada material tersebut.

Selama pembuatan tugas sarjana ini dimulai dari penelitian sampai penulisan, saya banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Kedua orangtua saya, Yusfi darwis dan Ibunda Ernawati yang telah memberikan perhatian, do’a, nasehat dan dukungan baik moril maupun materil, juga abang-abang saya Endi Farma, Son Farma, Yendri Farma, Adi Chandra, dan Iwan Chandra yang terus menerus memberikan masukan selama pembuatan tugas sarjana ini.

2. Bapak Dr. Eng. Ir. Indra, MT selaku dosen pembimbing Tugas Sarjana yang telah banyak membantu menyumbang pikiran dan meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tugas sarjana ini.

3. Bapak Dr. Ing- Ir. Ikhwansyah Isranuri selaku ketua Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi di Departemen Teknik Mesin, Kak Ika, Kak Sonta, Bapak Syawal, Bang Sarjana, dan Bang Lilik yang telah banyak membantu dan memberikan ilmu selama perkuliahan.


(11)

5. Seluruh anggota dalam tim penelitian ini, Maujan Yudika, Aldiansyah Leo, Daniansyah, Ismail Husin Tanjung, Royan Nasution dan Sahir Bani. Penelitian ini merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga bagi saya untuk dapat meningkatkan ilmu, dan kualitas, serta pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.

6. Seluruh teman – teman stambuk 2008, Zulfadli, Fahrul Rozzy, Felix Asade, Maraghi Mutaqin, Ikram, Ramadhan, Putra Setiawan, dan yang lainnya yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan baik selama perkuliahan maupun dalam pembuatan tugas sarjana ini.

Saya menyadari bahwa tugas sarjana ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik dari pembaca sekalian sangat diharapkan demi kesempurnaan skrispi ini. Semoga tugas sarjana ini bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.

Medan, 9 November 2013

Indra Rukmana NIM : 080401014


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR NOTASI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Batasan Masalah ... 5

1.6 Sistematika Penulisan ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pisau Egrek ... 7

2.2 Baja ... 11

2.2.1 Klasifikasi Baja ... 12

2.2.2 Sifat-Sifat Baja ... 18

2.2.3 Diagram Fasa Fe-C ... 21

2.2.4 Diagram TTT ... 25

2.3 Perlakuan Panas (Heat Treatment) ... 27

2.3.1 Annealing ... 27

2.3.2 Normalizing ... 28

2.3.3 Quenching ... 28

2.3.4 Tempering ... 31

2.4 Media Pendingin ... 32

2.5 Pengujian Kekerasan ... 35

2.6 Pengujian Tarik ... 36

2.7 Pengujian Fatique... 40

2.8 Analisis Struktur Butir ... 45

2.8.1 Pertumbuhan Struktur Butir ... 45


(13)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49

3.1 Waktu dan Tempat... 49

3.2 Alat dan Bahan ... 49

3.2.1 Peralatan ... 49

3.2.2 Bahan ... 50

3.3 Spesifikasi Spesimen ... 50

3.3.1 Spesifikasi Spesimen Kekerasan ... 50

3.3.2 Spesifikasi Spesimen Uji Tarik ... 51

3.3.3 Spesifikasi Spesimen Uji Fatique ... 52

3.3.4 Spesifikasi Spesimen Uji Metallografi ... 52

3.4 Proses Heat Treatment... 53

3.5 Pengujian ... 56

3.5.1 Pengujian Kekerasan ... 57

3.5.2 Pengujian Tarik ... 58

3.5.3 Pengujian Fatique ... 60

3.5.4 Pengujian Metallografi ... 63

3.6 Diagram Alir Penelitian ... 67

3.7 Diagram Alir Pengujian ... 68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

4.1 Hasil ... 69

4.1.1 Hasil Uji Kekerasan ... 70

4.1.2 Hasil Uji Tarik ... 73

4.1.3 Hasil Fatique ... 76

4.1.4 Hasil Pengamatan Metalografi ... 78

4.2 Pembahasan ... 82

4.2.1 Hubungan Antara Kekuatan Tarik dengan Kekerasan ... 82

4.2.2 Hubungan Antara Kekerasan dengan Diameter Butir 83

4.2.3 Hubungan Antara Kekuatan Tarik dengan Diameter Butir ... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

5.1 Kesimpulan ... 86

5.2 Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Pisau Egrek ... 7

Gambar 2.2 Mesin Tempa (Hammer) ... 8

Gambar 2.3 Mesin Gerinda Kasar ... 10

Gambar 2.4 Diagram Fasa Besi Karbon (fe-C) ... 23

Gambar 2.5 Diagram TTT Untuk Baja Hypoeutectoid ... 26

Gambar 2.6 Struktur Kristal Martensite BCT ... 30

Gambar 2.7 Kurva Tegangan Regangan Baja ... 37

Gambar 2.8 Bentuk Penampang Patahan ... 39

Gambar 2.9 Bentuk Siklus Tegangan Lelah ... 41

Gambar 2.10 Kurva S – N Untuk Logam Ferro dan Non Ferro ... 42

Gambar 2.11 Bentuk Tegangan Pada Pengujian Fatique Rotary Bending ... 44

Gambar 2.12 Perhitungan Butiran Menggunakan Metode Planimetri ... 47

Gambar 3.1 (a) Spesimen Kekerasan, (b) Dimensi Spesimen(mm) ... 51

Gambar 3.2 Spesimen Uji Tarik ... 51

Gambar 3.3 (a) Spesimen Uji Fatique, (b) Dimensi Spesimen(mm) ... 52

Gambar 3.4 (a) Spesimen Metallografi, (b) Dimensi Spesimen (mm) ... 52

Gambar 3.5 Skema Proses Heat Treatment dan Quenching Oli SAE 40 ... 53

Gambar 3.6 Skema Proses Heat Treatment dan Quenching Air Es ... 53

Gambar 3.7 Pemanasan Spesimen di dalam Furnace ... 54

Gambar 3.8 Thermocouple Digital Tipe K ... 56

Gambar 3.9 Alat Uji Brinell ... 57

Gambar 3.10 Alat Uji Tarik Torsee Type INSTRON ... 59

Gambar 3.11 (a) Mesin Uji Fatique TECO 3-Phase Induction, (b) Beban ... 62

Gambar 3.12 Mikroskop optic ... 65

Gambar 3.13 Diagram Alir Penelitian ... 67


(15)

Gambar 4.1 Grafik Hubungan Antara Kekerasan dan Jenis Perlakuan ... 72

Gambar 4.2 Grafik Hubungan Antara Kekuatan Tarik dan Jenis Perlakuan Tempering ... 75

Gambar 4.3 Grafik Kurva S – N Raw Material ... 77

Gambar 4.4 Grafik Kurva S – N Hardening (1000°C) ... 77

Gambar 4.5 Grafik Kurva S – N Tempering (350°C Air Es) ... 78

Gambar 4.6 Foto Mikro Raw Material Perbesaran 500X ... 79

Gambar 4.7 Foto Mikro Pembesaran 500X ... 80

Gambar 4.8 Grafik Hubungan Antara Diameter Butir Dengan Jenis Perlakuan Heat Treatment ... 82

Gambar 4.9 Grafik Hubungan antara Kekuatan Tarik Dengan Kekerasan .... 83

Gambar 4.10 Grafik Hubungan antara Kekerasan Dengan Diameter Butir ... 84

Gambar 4.11 Grafik Hubungan antara Kekuatan Tarik Dengan Diameter Butir ... 85


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Syarat Mutu Egrek – SNI 11

Tabel 2.2 Hubungan Antara Perbesaran Yang Digunakan Dengan Pengali Jeffries ... 48

Tabel 4.1 Sifat Mekanis Raw Material ... 69

Tabel 4.2 Hasil Uji Komposisi Kimia Baja Stainless Steel M303 Extra ... 69

Tabel 4.3 Pengujian Kekerasan Bedasarkan Skala Brinell (BHN) ... 71

Tabel 4.4 Tabel Data Hasil Uji Tarik ... 74

Tabel 4.5 Tabel Data Hasil Uji Fatique ... 76

Tabel 4.6 Tabel Hasil Pengukuran Diameter Butir ... 81


(17)

DAFTAR NOTASI

Lambang Keterangan Satuan

A Luas penampang mm2

d Diameter butir Μm

D Diameter mm2

ε Regangan %

f Pengali Jeffries butiran/mm2

F Gaya tarik N

L Panjang Mm

σ Tegangan MPa

N Jumlah Butir -

Δ Perubahan -


(18)

ABSTRAK

Perlakuan panas (heat treatment) didefenisikan sebagai kombinasi operasi pemanasan dan pendinginan yang terkontrol dalam keadaan padat untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu pada baja/logam atau paduan. Salah satu metode perlakuan panas tersebut adalah dengan proses quenching dan tempering. Proses ini dilakukan pada temperatur austenite (1000°C) selama 60 menit kemudian didinginkan dengan oli dan air es, kemudian di-temper pada temperatur 300°C, 350°C, 400°C, 450°C, 500°C, 550°C, 600°C dengan lama waktu penahanan 1 jam. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa nilai kekerasan optimum adalah 506,6 BHN setelah quenching dengan oli pada suhu 10000C dan pada proses tempering rata – rata kekerasanya secara bertahap menurun dengan bertambahnya temperatur tempering. Sedangkan nilai kekerasan setelah quenching dengan air es pada suhu 1000°C adalah 499,2 BHN dan pada proses tempering kekerasan yang didapat rata – rata secara bertahap menurun dengan bertambahnya temperatur tempering, namun pada temperatur tempering 450°C kekerasannya naik yang didapat 426,6 BHN. Hal ini disebabkan laju difusi lambat hanya sebagian kecil karbon yang dibebaskan, hasilnya sebagian struktur tetap keras tetapi mulai kehilangan kerapuhanya. Hasil pengujian tarik memperlihatkan nilai yang optimum diperoleh tegangan luluh (yield strength) 1155,671 MPa dan tegangan batas (ultimate strength) 1335,313 MPa. Hasil pengujian Fatique diperoleh kekuatan lelah maksimum pada siklus 313833600 N selama 307680 detik dengan beban 7 kg pada raw material. Menurunnya besar butir dari raw material 3,83 μm menjadi 2,86 μm dan 2,47 μm setelah quenching dengan oli dan air es, dan setelah tempering rata – rata kenaikan besar butir secara bertahap dengan bertambahnya temperatur tempering . Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa pada proses tempering dapat menurunkan nilai kekerasan dan kekuatan tarik. Sementara hasil mikro struktur memperlihatkan bahwa diameter butiran bahan menunjukkan menurunnya diameter butiran selama proses hardening dengan quenching oli. Dimana semakin kecil diameter butiran maka sifat mekanis bahan meningkat. Kata Kunci: Heat Treatment, Baja Stainless Steel M303 Extra, Sifat Mekanis,


(19)

ABSTRACT

Heat treatment is defined as a combination of heating and cooling operations are controlled in the solid state to obtain certain properties in the steel / metals or alloys. One of these is a method of heat treatment with quenching and tempering process. This process is carried out at a temperature of austenite (1000°C) for 60 minutes and then cooled with ice water and oil, then in-tempering at 300°C, 350°C, 400°C, 450°C, 500°C, 550°C, 600°C with a holding time 1 hour long. The test results showed that the optimum value is 506.6 BHN hardness after quenching in oil at a temperature of 1000°C and the tempering process average hardness gradually decreases with increasing tempering temperature. While the value of hardness after quenching with ice water at a temperature of 1000°C is 499.2 BHN and the process of tempering hardness obtained average gradually decreased with increasing tempering temperature, but at temperatures of 450°C tempering hardness obtained up 426.6 BHN. This is due to slow diffusion rate only a small fraction of carbon that was released, the result is still hard but most of the structure began to lose brittleness. Tensile test results showed that the optimum value obtained yield stress (yield strength) 1155.671 MPa and limit strength (ultimate strength) 1335.313 MPa. Fatigue test results obtained maximum fatigue strength at 313833600 N cycles for 307680 Second with 7 kg load the raw material. Decreasing grain size of the raw material 3.83 μm to 2.86 μm and 2.47 μm after quenching with oil and ice water, and after tempering average - average grain size increase gradually with increasing tempering temperature. From the research it can be concluded that the tempering process can reduce the value of hardness and tensile strength. While the results showed that the diameter of the micro-structure of granular materials exhibit decreasing grain diameter during the process of heat treatment with quenching oil. Where the greater diameter of the granules decreased mechanical properties of materials.

Keywords: Heat Treatment, Steel Stainless Steel Extra M303, Mechanical Properties, Microstructure


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Baja adalah salah satu logam ferro yang banyak digunakan dalam dunia teknik, misalnya digunakan untuk membuat alat-alat perkakas, alat-alat pertanian, komponen-komponen otomotif, kebutuhan rumah tangga, dan semua struktur logam akan terkena pengaruh gaya luar berupa tekanan dan tegangan gesek. Usaha menjaga agar baja lebih tahan tekanan atau gesekkan adalah dengan cara perlakuan panas pada baja, hal ini memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kekerasan baja sesuai kebutuhan [1].

Selama ini baja yang sering digunakan oleh pandai besi untuk pembuatan mata pisau pemanen sawit berupa baja karbon sedang yaitu pegas belakang mobil (pegas daun), Seperti yang telah diketahui bahwa cukup banyak kekurangan dari mata pisau pemanen sawit yang dibuat dipasaran, terutama pada kekerasannya yang tidak merata akibat proses penempaan konvesional, juga sifat ketangguhannya yang masih rendah yang menyebabkan mudah mengalami korosi, sering patah atau lecetnya mata pisau sehingga umur pakai mata pisau lebih singkat [2].

Alasan yang mendasari peneliti mengambil baja bohler stainless steel M303 Extra karena baja tersebut banyak dipergunakan dalam bidang teknik atau industri salah satunya untuk pembuatan cetakan (PVC), extrusion Tool yang akan diaplikasikan pada mata pisau egrek/dodos. Baja ini memiliki daya ketanguhan yang sangat baik terhadap panas dan gesekan, keras, ulet, tahan aus, dan tahan


(21)

terhadap korosi,dapat ditempa ,mudah dipolish, sehingga cocok untuk komponen yang membutuhkan kekerasan, keuletan, maupun ketahanan terhadap gesekan serta umur pakai yang panjang [3].

Salah satu upaya mendapatkan sifat mekanis baja yang baik maka dikembangkan baja dengan penambahan unsur paduan seperti carbon, silicon, mangan, chromium, nickel, molebdenum, vanadium dan sebagainya [4].

Perlakuan panas adalah kombinasi dari waktunya pemanasan dan pendinginan diterapkan pada logam tertentu atau paduan dalam keadaan padat dengan cara seperti untuk menghasilkan mikro tertentu dan sifat mekanik yang diinginkan (kekerasan, ketangguhan, kekuatan luluh, kekuatan tarik, dan persentase elongasi) [5].

Pengerasan (hardening), yaitu proses pemanasan baja sampai suhu di daerah atau diatas daerah kritis disusul dengan pendinginan yang cepat dinamakan quench. Metode quenching adalah berupa pencelupan baja yang telah dipanaskan mencapai fasa austenit ke dalam bak berisi media pendingin sehingga panas pada baja terabsorbsi ke media pendingin yang akan menghasilkan peningkatan derajat kekerasan sebagai akibat perubahan struktur mikronya [6].

Akibat proses hardening pada baja, maka timbulnya tegangan dalam (internal stresses), dan rapuh (britles), sehingga baja tersebut belum cocok untuk segera digunakan. Oleh karena itu pada baja tersebut perlu dilakukan proses lanjut yaitu temper. Dengan proses temper kegetasan dan kekerasan dapat diturunkan sampai memenuhi syarat penggunaan, kekuatan tarik turun sedangkan keuletan dan ketangguhan meningkat. Namun yang menjadi permasalahan sejauh mana sifat –


(22)

sifat yang memenuhi syarat yang diinginkan ini dapat dicapai melalui proses temper [7].

Proses tempering didefenisikan sebagai proses pemanasan baja setelah dikeraskan pada temperatur tempering (dibawah suhu kritis) sehingga diperoleh keuletan (ductility) tertentu, yang dilanjutkan dengan proses pendinginan. Prosesnya adalah memanaskan kembali berkisar antara suhu 150 - 650oC dan didingikan secara perlahan-lahan tergantung sifat akhir baja tersebut [8].

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, oleh karena itu penulis perlu melakukan penelitian lanjut dengan proses perlakuan panas. Proses heat treatment dilakukan dengan proses hardening dengan quenching kemudian dilanjutkan dengan proses tempering. Perbaikan sifat mekanis dapat dikendalikan dengan proses tempering sehingga akan menghasilkan pembuatan mata pisau yang lebih baik lagi untuk pisau pemanen kelapa sawit yang dikenal dengan pisau egrek/dodos.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan Akan menjadi pokok perumusan masalah adalah: 1. Bagaimana pengaruh tempering terhadap sifat mekanis bahan seperti

kekerasan, kekuatan tarik, fatique dan struktur mikro baja stainless steel M303 Extra sebelum dan setelah di uji heat treatment.

2. Bagaimana pengaruh ukuran butir terhadap sifat mekanis bahan baja stainless steel M303 Extra.


(23)

3. Bagaimana memilih bahan yang tepat pada mata pisau sawit

4. Apakah baja stainless steel M303 Extra yang telah diproses dengan heat treatment memiliki sifat mekanis lebih baik dari bahan awal tanpa perlakuan apapun.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan yang akan dicapai, yaitu:

1. Melihat dan mengamati pengaruh tempering terhadap sifat mekanis bahan seperti kekerasan, kekuatan tarik, fatique dan struktur mikro baja stainless steel M303 Extra sebelum dan setelah di uji heat treatment.

2. Mengetahui pengaruh ukuran butir terhadap sifat mekanis bahan baja stainless steel M303 Extra.

3. Mengetahui memilih bahan yang tepat pada mata pisau sawit

4. Melihat apakah baja stainless steel M303 Extra yang telah diproses dengan heat treatment memiliki sifat mekanis lebih baik dari bahan awal tanpa perlakuan apapun.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman tentang material dan ilmu logam fisik khususnya proses heat treatment.

2. Bagi akademik, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan untuk penelitian tentang mikrosturktur logam.


(24)

3. Bagi industri dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman dalam pembuatan bahan pisau egrek atau dodos sawit yang dapat diproduksi dalam skala besar. Hal ini dapat ditingkatkan dengan heat treatment atau termomekanikal sehingga dapat mengurangi biaya produksi sekaligus meningkatkan kualitas produk khususnya sifat mekanisnya

1.5. Batasan Masalah

Adapun pembatasan masalah pada skripsi ini yaitu:

1. Material yang digunakan adalah baja stainlees steel M303 Extra termasuk baja paduan (high alloy steel) dengan komposisi Fe (70,525), C(0,480), Si(0,225), Mn(0,638), P(0,025), S(0,020), Cr(24,749), Mo(0,154), Ni(3), Cu (0,040), Ti(0,055), V(0,89).

2. Pemanasan awal dilakukan pada suhu 1000oC dan diikuti dengan proses waktu tahan selama 1 jam lalu di quenching dengan media pendingin oli SAE 40 dan air es dipanasi kembali pada temperature 300oC, 350oC, 400oC, 450oC, 500oC, 550 oC, 600 oC dengan waktu tahan 1 jam (proses tempering), dan didinginkan hingga mencapai temperatur kamar.

3. Pengujian sifat mekanis setelah dilakukan proses heat treatment meliputi uji kekerasan, uji tarik, uji fatique Pengamatan struktur mikro setelah dilakukan proses heat treatment.

1.6.Sistematika Penulisan


(25)

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka yang berisi tentang baja dan aplikasinya, pengaruh unsur paduan, dan teori dasar pengujian sifat mekanik (uji kekerasan, uji tarik, uji fatique dan struktur mikro), dan materi yang berhubungan dengan judul tugas akhir.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian yang dilakukan mencakup diagram alir penelitian berdasarkan data-data yang diperoleh, pemilihan bahan, persiapan bahan, proses pengerjaan dan proses pengujian.

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

Pembahasan meliputi hasil uji kekerasan, uji tarik, dan uji fatique pengamatan struktur mikro setelah pengujian.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran berisikan tentang hasil pengujian tersebut pada bab sebelumnya akan diperoleh kesimpulan tentang sifat mekanik dan struktur mikro pada baja yang diuji.

DAFTAR PUSTAKA

Berisikan daftar buku-buku yang menjadi referensi dalam penelitian. LAMPIRAN


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pisau Egrek

Bahan baku alat pemanen sawit dalam hal ini pisau egrek seperti pada gambar 2.1 biasanya menggunakan baja karbon sedang dari pegas daun mobil yang dalam bentuk potongan platstrip sesuai dengan ukuran pisau egrek dan tipe yang ada. Proses produksi egrek ini dilakukan dengan pembakaran arang kayu atau dipanaskan didalam furnace guna untuk mempermudah proses tempa

(hammer). Proses pembakaran arang kayu atau furnace dapat dilakukan sesuai

dengan bahan yang akan di tempa.

Sumber

Gambar 2.1 Pisau Egrek/Pisau Pemanen Sawit

Dalam proses produksi egrek, beberapa tahapan yang harus dilalui antara lain: 1. Proses tempa (hammer)

Baja karbon sedang yang sudah dalam bentuk potongan platstrip dibakar dalam tungku pembakaran dengan waktu kurang lebih 45 menit tujuannya agar baja karbon sedang tersebut mudah untuk dibengkokkan


(27)

karena pada awal tahap ini dilakukan proses tarik ekor yaitu pada ujung potongan baja karbon sedang. Proses tarik ekor ini dilakukan dengan menggunakan mesin tempa manual. Setelah proses tarik ekor, potongan baja karbon sedang dipanaskan kembali. Akibat pemanasan ini, ukuran baja karbon sedang semakin memanjang karena mengalami proses pemuaian. Selanjutnya dilakukan proses buka bagian depan dengan menggunakan mesin tempa. Agar ukuran/dimensi platstrip tersebut rata, maka dibawa ke tempat pemotongan dan dipotong dengan menggunakan mesin potong. Kemudian dipanaskan kembali di tungku pembakaran agar baja karbon sedang tersebut dapat dibengkokkan dengan menggunakan mesin rolling sesuai dengan bentuk egrek yang sudah standard dan dipukul rata dengan menggunakan mesin tempa. Seperti ditunjukan pada gambar 2.2.

Sumber : Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan


(28)

2. Proses Polishing

Hasil akhir dari proses tempa (hammer) sudah dalam bentuk egrek tetapi masihmemerlukan pemolesan kembali agar sesuai dengan ukuran standard perusahaan. Tahap pertama proses ini adalah penggambaran pola. Dalam penggambaran polaini, digunakan egrek yang sudah terstandar sebagai acuan. Dengan menggambarpola ini, maka operator dapat dengan mudah memformat dengan menggunakanmesin format dan mempertajam bagian tepinya. Setelah selesai diformat, egrek dibawa ke proses flating. Proses flating ini merupakan proses pemukulan dengan menggunakan palu, tujuannya agar egrek tersebut tidak baling.

3. Gerinda kasar

Setelah selesai dari proses format yang ditunjukan pada gambar 2.3 egrek dibawa ke stasiun gerinda kasar.Pada tahap ini dilakukan kegiatan tekuk ekor dengan menggunakan mesin gerinda sehingga bagian ujungnya runcing dan bagian tepinya juga makin dipertajam. Proses ini merupakan proses paling lama karena membutuhkan waktu sekitar 7 menit untuk menyelesaikannya. Setelah kegiatan gerinda selesai, maka kembali. dibawa ke tempat flating untuk dipukul dengan palu. Tiap akhir proses selalu dilakukan proses pemukulan yang tujuannya agar egrek tersebut tidak baling karena biasanya setelah mengalami proses permukaan egrek tersebut tidak rata.


(29)

Sumber : Pandai Besi Pancur Batu

Gambar 2.3 Mesin Gerinda Kasar

4. Penyepuhan

Setelah mengalami proses gerinda kasar, egrek tersebut di sepuh dengan memanaskan pada tungku pembakaran. Oleh karena itu sebelum disepuh, arang dibakar selama 5 menit pada tungku pemanasan sehingga suhu mencapai diatas 850˚C. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengeluarkan kandungan karbon sehingga egrek tersebut makin keras. Pada tahap penyepuhan ini terjadi dua proses yaitu proses pengerasan (hardening) dan proses tempering. Pada proses hardening, egrek dipanaskan agar kandungan karbon hilang namun apabila pada tahap pemanasan suhu sudah terlalu tinggi maka egrek dapat patah maka dilanjutkan dengan tahap tempering agar panas pada egrek dapat disesuaikan. Sesudah disepuh, egrek masih mengalami proses flating untuk meratakan permukaan egrek (agar tidak baling).

5. Gerinda halus

Egrek yang sudah disepuh dibawa ke mesin gerinda halus untuk digerinda. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memutihkan permukaan egrek sehingga tampak mengkilap dan tampak lebih tajam.


(30)

6. Finishing

Tahap finishing merupakan tahap pengecatan dengan menggunakan tiner. Egrek direndam sebentar dalam wadah yang berisi tiner kemudian ditiriskan pada lemari oven dengan temperatur 600˚C. Dalam lemari oven ini, bertujuan untuk mengeringkan cat clear dan dibutuhkan waktu sekitar 30 menit agar cat clear tersebut dapat benar-benar kering. Setelah itu, egrek yang sudah selesai dibawa ke gudang produk jadi dengan menggunakan beko.

Tabel 2.1. Syarat Mutu Egrek – SNI

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Tampak Luar - Tidak cacat

2 Sisi Potong - Tajam

3 Bahan Baku - Baja karbon sedang

atau setara

4 Kekerasan Sisi Potong

Dilakukan Perlakuan Panas

HRC 45,3

Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit

2.2. Baja

Baja adalah logam paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja berkisar antara 0,1% hingga 1,7% sesuai tingkatannya. Dalam proses pembuatan baja akan terdapat unsur-unsur lain selain karbon yang akan tertinggal di dalam baja seperti mangan (Mn), silikon (Si), kromium (Cr), vanadium (V), dan unsur lainnya.


(31)

Baja adalah paduan logam yang tersusun dari besi sebagai unsur utama dan karbon sebagai unsur penguat.Unsur karbon banyak berperan sebagai peningkatan kekerasan.Perlakuan panas dapat mengubah sifat fisis baja jadi lunak seperti kawat menjadi keras seperti pisau. Perlakuan panas mengubah struktur mikro baja dan struktur kristal dari bcc ke fcc yang bersifat paduan dan bila didinginkan tiba-tiba terjadi perubahan struktur kristal dari fcc ke bcc.

Baja merupakan bahan dasar vital untuk industri. Semua segmen kehidupan, mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator pembangkit listrik, sampai kerangka gedung dan jembatan menggunakan baja. Baja menduduki peringkat pertama di antara barang tambang logam dan produknya melingkupi hampir 90 % dari barang berbahan logam.

2.2.1.Klasifikasi Baja

Berdasarkan komposisi dalam prakteknya baja terdiri dari beberapa macam yaitu: Baja Karbon (Carbon Steel), dan Baja Paduan (Alloy Steel)

Berdasarkan tinggi rendahnya presentase karbon di dalam baja, baja karbon diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel)

Baja karbon rendah mengandung karbon antara 0,10 s/d 0,30 %. Baja karbon ini dalam perdagangan dibuat dalam plat baja, baja strip dan baja batangan atau profil. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung dalam baja, maka baja karbon rendah dapat digunakan atau dijadikan baja-baja sebagai berikut:


(32)

a. Baja karbon rendah yang mengandung 0,04 % - 0,10% C. untuk dijadikan baja – baja plat atau strip.

b. Baja karbon rendah yang mengandung 0,10 - 0,15% C digunakan untuk keperluan badan-badan kendaraan.

c. Baja karbon rendah yang mengandung 0,15% - 0,30% C digunakan untuk konstruksi jembatan, bangunan, membuat baut atau dijadikan baja konstruksi.

2. Baja Karbon Menengah (Medium Carbon Steel)

Baja karbon menengah mengandung karbon antara 0,30% - 0,60% C. Baja karbon menengah ini banyak digunakan untuk keperluan alat-alat perkakas bagian mesin. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung dalam baja maka baja karbon ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk keperluan industri kendaraan, roda gigi, pegas dan sebagainya.

3. Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel)

Baja karbon tinggi mengandung kadar karbon antara 0,60% - 1,7% C dan setiap satu ton baja karbon tinggi mengandung karbon antara 70 – 130 kg. Baja ini mempunyai tegangan tarik paling tinggi dan banyak digunakan untuk material tools. Salah satu aplikasi dari baja ini adalah dalam pembuatan kawat baja dan kabel baja. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung didalam baja maka baja karbon ini banyak digunakan dalam pembuatan pegas, alat-alat perkakas seperti: palu, gergaji atau pahat potong. Selain itu baja jenis ini banyak digunakan untuk keperluan industri lain seperti pembuatan kikir, pisau cukur, mata gergaji dan lain sebagainya.


(33)

Baja karbon rendah merupakan baja yang paling murah diproduksi, mudah dimachining dan dilas, serta keuletan dan ketangguhannya sangat tinggi tetapi kekerasannya rendah dan tahan aus. Sehingga pada penggunaannya, baja jenis ini dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan komponen mobil, struktur bangunan, pipa gedung, jembatan, pagar, dan lain-lain.

Selain baja dengan paduan karbon (C), ada juga baja dengan paduan lainnya seperti Cr, Mn, Ni, S, Si, P, dan lain-lain. Baja paduan didefenisikan sebagai suatu baja yang dicampur dengan satu atau lebih unsur campuran yang berguna untuk memperoleh sifat-sifat baja yang dikehendaki seperti sifat kekuatan, kekerasan, dan keuletannya. Paduan dari beberapa unsur yang berbeda memberikan sifat khas dari baja. Misalnya baja yang dipaduan dengan Ni dan Cr akan menghasilkan baja yang mempunyai sifat keras dan ulet. Berdasarkan kadar paduannya, baja paduan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Baja Paduan Rendah (Low Alloy Steel)

Baja paduan rendah merupakan baja paduan yang elemen paduannya kurang dari 2,5% wt.

2. Baja Paduan Menengah (Medium Alloy Steel)

Baja paduan menengah merupakan baja paduan yang elemen paduannya antara 2,5% - 10% wt.

3. Baja Paduan Tinggi (High Alloy Steel)

Baja paduan tinggi merupakan baja paduan yang elemen paduannya lebih dari 10% wt.


(34)

Pada umunya, baja paduan mempunyai sifat yang unggul dibandingkan dengan baja karbon biasa, diantaranya adalah mempunyai keuletan yang tinggi tanpa pengurangan kekuatan tarik, tahan terhadap korosi dan keausan yang tergantung pada jenis paduannya, tahan terhadap perubahan suhu, serta memiliki butiran yang halus dan homogen. Berdasarkan golongan paduannya,baja paduan dibagi dua golongan, yaitu:

1. HSS (High speed steel)

kandungan karbonnya antara 0,70%-1,50%.kegunaanya untuk membuat alat-alat potong seperti pengebor (drills),pembentuk lembaran baja (reamers), dan peniling (milling cutters). Disebut sebagai HSS karena alat potong tersebut dapat dioperasikan dua kali lebih cepat dibandingkan dengan baja karbon.

2. Baja paduan khusus (special alloy steel)

baja jenis ini mengadung satu atau lebih logam-logam seperti nikel (Ni), Krom (Cr), mangan (Mn), molybdenum (Mo) dan vanadium (V). Dengan menambahkan unsure-unsur tersebut kedalam baja maka sifat mekanik dan kimianya berubah, seperti menjadi keras, kuat dan ulet dibandingkan dengan baja karbon.

Baja paduan khusus dibedakankan lagi menjadi: 1. Baja Perkakas (Tool Steel)

Mempunyai sifat-sifat yang harus memiliki yaitu tahan pakai/awet, Tajam atau mudah di asah, tahan panas, kuat dan ulet. Pemilihan baja perkakas tergantung pada syarat pemakiannya,misalnya baja perkakas


(35)

pemotong harus tahan aus dan tangguh. Perkakas penumbuk seperti pahat, pemukul, paku keeling, harus memiliki ketangguhan yang baik.

2. HSLS (High Strength Low Alloy Steel)

Sifat dari HSLS adalah memiliki kuat luluh (tensile strength) yang tinggi, anti bocor, tahan terhadap abrasi, mudah dibentuk tahan terhadap korosi, ulet, sifat mampu mesin (diproses/dibentuk) yang baik dan sifat mampu las yang tinggi (weld ability). Untuk mendapatkan sifat-sifat di atas maka baja ini diproses secara khusus dengan menambahkan unsur-unsur paduan seperti : Tembaga (Cu), Nikel (Ni), Krom (Cr), Molibdenum (Mo), Vanadium (V) dan kolumbium.

3. Baja Tahan Karat (Stainless Steel)

Baja stainless steel sebenarnya adalah baja paduan dengan kadar paduan tinggi, dimana terdapat unsur paduan kromium pada sistem paduan besi dan karbon. untuk membatasi paduan ini masuk kedalam jenis paduan baja (alloy steel) atau paduan ini masuk ke dalam golongan stainless steel, the american iron and steel institute (AISI) memberikan batasan kandungan 4% kromium. Bila kandungan kromium dalam paduan melebehi 4% maka paduan tersebut sudah memenuhi syarat masuk kedalam golongan stainless. Baja stainless steel ini memiliki daya tahan yang baik terhadap panas, tahan temperatur rendah maupun tinggi tahan korosi, keras, ulet ,dan tahan aus, dapat ditempa, mudah dipolish serta mengkilat.

Pengaruh unsur-unsur paduan dalam baja adalah sebagai berikut: 1. Unsur Karbon (C)

Karbon merupakan unsur terpenting yang dapat meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja. Kandungan karbon di dalam baja sekitar 0,3 – 1,7%,


(36)

sedangkan unsur lainnya dibatasi sesuai dengan kegunaan baja. Unsur paduan yang bercampur di dalam lapisan baja adalah untuk membuat baja bereaksi terhadap pengerjaan panas dan menghasilkan sifat-sifat yang khusus. Karbon dalam baja dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasan tetapi jika berlebihan akan menurunkan ketangguhan.

2. Unsur Mangan (Mn)

Semua baja mengandung mangan karena sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan baja. Kandungan mangan kurang lebih 0,6% tidak mempengaruhi sifat baja, dengan kata lain mangan tidak memberikan pengaruh besar pada struktur baja dalam jumlah yang rendah. Penambahan unsur mangan dalam baja dapat menaikkan kekuatan tarik sehingga baja dengan penambahan mangan dapat memiliki sifat kuat dan ulet.

3. Unsur Silikon (Si)

Silikon merupakan unsur paduan yang ada pada setiap baja dengan kandungan lebih dari 0,4% yang mempunyai pengaruh untuk menaikkan tegangan tarik dan menurunkan laju pendinginan kritis. Silikon dalam baja dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan, kekenyalan, ketahanan aus, dan ketahanan terhadap panas dan karat.

4. Unsur Nikel (Ni)

Nikel mempunyai pengaruh yang sama seperti mangan, yaitu memperbaiki kekuatan tarik dan menaikkan sifat ulet, tahan panas, jika pada baja paduan terdapat unsur nikel sekitar 2,5% maka baja dapat tahan terhadap korosi. Unsur nikel yang bertindak sebagai tahan korosi disebabkan nikel bertindak sebagai lapisan penghalang yang melindungi permukaan baja.


(37)

5. Unsur Kromium (Cr)

Sifat unsur kromium dapat menurunkan laju pendinginan kritis (kromium sejumlah 1,5% cukup meningkatkan kekerasan dalam media pendinginan minyak). Penambahan kromium pada baja menghasilkan struktur yang lebih halus dan membuat sifat baja dikeraskan lebih baik karena kromium dan karbon dapat membentuk karbida. Kromium dapat menambah kekuatan tarik dan keplastisan serta berguna juga dalam membentuk lapisan pasif untuk melindungi baja dari korosi serta tahan terhadap suhu tinggi.

2.2.2. Sifat-Sifat Baja

Untuk dapat menggunakan bahan teknik dengan tepat, maka bahan tersebut harus dapat dikenali dengan baik sifat-sifatnya yang mungkin akan dipilih untuk digunakan. sifat-sifat tersebut tentunya sangat banyak macamnya, untuk itu secara umum sifat-sifat bahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Sifat Kimia

Dengan sifat kimia diartikan sebagai sifat bahan yang mencakup antara lain kelarutan bahan terhadap larutan kimia, basa atau garam dan pengoksidasiannya terhadap bahan tersebut. Salah satu contoh dari sifat kimia yang terpenting adalah Korosi

2. Sifat Teknologi

Sifat teknologi adalah sifat suatu bahan yang timbul dalam proses pengolahannya. Sifat ini harus diketahui terlebih dahulu sebelum mengolah atau mengerjakan bahan tersebut.


(38)

Sifat-sifat teknologi antara lain : sifat mampu las (weldability), sifat mampu dikerjakan dengan mesin (machineability), sifat mampu cor (castability), dan sifat mampu dikeraskan (hardenability)

3. Sifat Mekanik

Sifat mekanik suatu bahan adalah kemampuan bahan untuk menahan beban-beban yang dikenakan padanya. Beban-beban tersebut dapat berupa beban tarik, tekan, bengkok, geser, puntir, atau beban kombinasi.

Sifat-sifat mekanik yang terpenting antara lain: a. Kekuatan (strength)

Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa menyebabkan bahan tersebut menjadi patah. Kekuatan ini ada beberapa macam, dan ini tergantung pada beban yang bekerja antara lain dapat dilihat dari kekuatan tarik, kekuatan geser, kekuatan tekan, kekuatan puntir, dan kekuatan bengkok.

b. Kekerasan (hardness)

Dapat didefenisikan sebagai kemampuan bahan untuk bertahan terhadap goresen, pengikisan (abrasi), penetrasi. Sifat ini berkaitan erat dengan sifat keausan (wear resistance). Dimana kekerasan ini juga mempunyai korelasi dengan kekuatan.

c. Kekenyalan (elasticity)

Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk yang permanen setelah tegangan dihilangkan. Bila suatu bahan mengalami tegangan maka akan terjadi perubahan bentuk. Bila tegangan yang bekerja besarnya tidak


(39)

melewati suatu batas tertentu maka perubahan bentuk yang terjadi bersifat sementara, perubahan bentuk ini akan hilang bersamaan dengan hilangnya tegangan, akan tetapi bila tegangan yang bekerja telah melampaui batas, maka sebagian bentuk itu tetap ada walaupun tegangan telah dihilangkan.

Kekenyalan juga menyatakan seberapa banyak perubahan bentuk yang permanen mulai terjadi, dengan kata lain kekenyalan menyatakan kemampuan bahan untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah menerima beban yang menimbulkan deformasi.

d. Kekakuan (stiffness)

Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan/beban tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk (deformasi) atau defleksi. Dalam beberapa hal kekakuan ini lebih penting daripada kekuatan.

e. Plastisitas (plasticity)

Menyatakan kemampuan bahan untuk mengalami sejumlah deformasi plastis yang permanen tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan. Sifat ini sangat diperlukan bagi bahan yang akan diproses dengan berbagai proses pembentukan seperti, forging, rolling, extruding dan sebagainya. Sifat ini sering juga disebut sebagai keuletan/kekenyalan (ductility). Bahan yang mampu mengalami deformasi plastis yang cukup tinggi dikatakan sebagai bahan yang mempunyai keuletan / kekenyalan tinggi, dimana bahan tersebut dikatakan ulet / kenyal (ductile). Sedang bahan yang tidak menunjukan terjadinya deformasi plastis dikatakan


(40)

sebagai bahan yang mempunyai keuletan rendah atau dikatakan getas / rapuh (brittle).

f. Ketangguhan (toughness)

Menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap sejumlah energi tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan. Juga dapat dikatakan sebagai ukuran banyaknya energi yang diperlukan untuk mematahkan suatu benda kerja, pada suatu kondisi tertentu. Sifat ini dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga sifat ini sulit untuk diukur.

g. Kelelahan (fatigue)

Merupakan kecenderungan dari logam untuk patah apabila menerima tegangan berulang-ulang (cyclic stress) yang besarnya masih jauh dibawah batas kekuatan elastisitasnya. Sebagian besar dari kerusakan yang terjadi pada komponen mesin disebabkan oleh kelelahan. Karenanya kelelahan merupakan sifat yang sangat penting tetapi sifat ini juga sulit diukur karena sangat banyak faktor yang mempengaruhinya. h. Keretakan (creep)

Merupakan kecenderungan suatu logam mengalami deformasi plastis yang besarnya merupakan fungsi waktu, pada saat bahan tersebut menerima beban yang besarnya relatif tetap.

2.2.3. Diagram Fasa Fe-C

Diagram keseimbangan besi karbon seperti pada gambar 2.4 adalah diagram yang menampilkan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan yang lambat


(41)

dengan kadar karbon. Diagram ini merupakan dasar pemahaman untuk semua operasi-operasi perlakuan panas. Dimana fungsi diagram fasa adalah memudahkan memilih temperatur pemanasan yang sesuai untuk setiap proses perlakuan panas baik proses anil, normalizing maupun proses pengerasan.

Besi karbon terbagi atas dua bagian yaitu baja (steel) dan cast iron. Baja adalah paduan besi dengan karbon maksimal sampai sekitar 2%, sedangkan cast iron adalah paduan besi dengan karbon diatas 2%. Baja dibagi dua bagian yaitu baja yang mengandung kurang dari 0,83% disebut hypoetectoid dan baja yang mengandung lebih dari 0,83% sampai dengan 2% karbon disebut dengan hyperetectoid.

Pemanasan pada suhu 723 0C dengan komposisi 0,8 % C disebut dengan titik eutectoid. Apabila dilakukan pemanasan sebelum mencapai titik eutectoid, pada titik hypoeutectoid terbentuk fasa pearlit dan ferrit. Sedangkan dibawah hypereutectoid mempunyai fasa pearlit dan sementit. Pada pemanasan melewati garis eutectoid, terjadi perubahan fasa pearlit menjadi austenit.

Ketika paduan A (A1) mencapai suhu 7230C (suhu eutektoid) sisa austenit sekitar 0,8% C (meskipun sebenarnya jumlah komposisinya 0,4%). Oleh karena itu, pada titik eutectoid reaksi yang terjadi adalah perubahan sisi austenite menjadi pearlite (α + Fe3C). ketika paduan A (A3) mencapai suhu 9100C, ferit bcc mulai berubah bentuk menjadi austenite. Ini merupakan reaksi solid dan dipengaruhi oleh difusi karbon pada austenit. Ferrit yang berisi karbon terbentuk dengan sangat lambat. Keadaaan paduan A (Acm) transformasi Fe3C menjadi austenit secara keseluruhan pada suhu ini, seperti


(42)

prediksi pada diagram. Seluruh sistem austenit fcc dengan kadar karbon 0.95 %.

Dari gambar 2.4 andaikan suatu bahan dipanaskan sampai sekitar suhu 800-12000C dengan komposisi 0,68 % karbon sampai fasa austenit, kemudian didinginkan sampai 6000C fasa yang terbentuk adalah fasa pearlit tetapi bila didinginkan sampai batas kritis 7380C, fasa gamma sebagian akan terdistorsi menjadi fasa alpha, dan bila dilanjutan pendinginan di bawah sedikit batas kritis, ferrit akan bergabung didalam pearlit dan austenite akan bertransformasi menjadi karbida (sementit). Andaikan didinginkan cepat, fasa akan bertransformasi menjadi sementit dan pearlit. Dalam hal ini, pengaruh waktu tahan sangat menetukan pada pembetukan perubahan butir.

(Sumber: file.upi.edu) Gambar 2.4. Diagram Fasa Fe-C


(43)

Adapun macam – macam struktur yang ada pada besi karbon adalah sebagai berikut:

1. Ferrit

Ferrit adalah fasa larutan padat yang memiliki struktur BCC (body centered cubic). Ferrit terbentuk akibat proses pendinginan yang lambat dari austenit baja hypotectoid pada saat mencapai A3. Ferrit bersifat sangat lunak, ulet dan memiliki kekerasan sekitar 70 - 100 BHN dan memiliki konduktifitas yang tinggi.

2. Austenit

Fasa Austenit memiliki struktur atom FCC (Face Centered Cubic). Dalam keadaan setimbang fasa austenit ditemukan pada temperatur tinggi. Fasa ini bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada temperatur tinggi. Kelarutan atom karbon di dalam larutan padat austenit lebih besar jika dibandingkan dengan kelarutan atom karbon pada fasa ferrit dan memiliki kekerasan sekitar 200 BHN.

3. Sementit

Sementit adalah senyawa besi dengan karbon yang umum dikenal sebagai karbida besi dengan kandungan karbon 6,67% yang bersifat keras sekitar 5-68 HRC

4. Perlit

Perlit adalah campuran sementit dan ferit yang memiliki kekerasan sekitar 10-30HRC. Perlit yang terbentuk sedikit dibawah temperatur eutectoid memiliki kekerasan yang lebih rendah dan memerlukan waktu inkubasi yang lebih banyak.


(44)

5. Bainit

Bainit merupakan fasa yang kurang stabil yang diperoleh dari austenit pada temperatur yang lebih rendah dari temperatur transformasi ke perlit dan lebih tinggi dari transformasi ke martensit.

6. Martensit

Martensit terbentuk oleh pendinginan cepat austenit dimana atom karbon terperangkap sehingga tidak punya waktu untuk berdifusi dari kristal. Martensit terbentuk pada suhu diatas suhu ruang, atau dibawah temperatur uetektoid dimana struktur austenit menjadi tidak stabil. Martensit mempunyai struktur kristal yang sama dengan austenit dengan komposisi yang hampir sama. Martensit sebagai fasa menstabil yang mengadung larutan padat dalam struktur. Tidak mengubah bentuk diagram besi – karbida. Pada suhu dibawah euktektoid setelah waktu tertentu,larutan lewat jenuh karbon dalam besi terus berubah sehingga membentuk ferrit dan karbida yang lebih stabil.

2.2.4 Dagram TTT (Time Temperature Transformation)

Pada Gambar 2.5 menunjukkan diagram TTT untuk jenis baja hypoeutectoid, dimana garis ordinat menunjukkan temperatur sedangkan garis absis menunjukkan waktu. Melalui diagram TTT ini, dapat diketahui kapan transformasi austenit dimulai serta waktu yang dibutuhkan untuk membentuk austenit sempurna. Untuk mencapai martensit, kecepatan turunnya suhu dapat relatif dipercepat dengan menggunakan media pendingin air.Seiring dengan turunnya suhu, pembentukan mendekati seratus persen martensit. Terbentuknya struktur mikro bainit dengan kecepatan suhu yang relatif


(45)

lambat yaitu dengan menggunakan media pendinginan udara. Dimana media pendinginan udara diberikan secara alam, sehingga lamanya untuk dingin membutuhkan waktu yang lambat.

Sumber: R.E.Smallman dan R.J. Bishop (2000) Gambar 2.5Diagram TTT Untuk Baja Hypoeutectoid

Dari gambar 2.5 di atas menunjukkan hidung (nose) sebagai batasan waktu minimum dimana sebelum waktu tersebut bertransformasi austenite ke perlit tidak akan terjadi. Posisi hidung dari diagram TTT dapat bergeser menurut kadar karbon, semakin kekanan berarti kadar karbon makin mudah untuk membentuk bainit/martensite atau makin mudah dikeraskan.


(46)

2.3. Perlakuan Panas (Heat Treatment)

Perlakuan panas atau heat treatment mempunyai tujuan untuk meningkatkan keuletan, menghilangkan tegangan internal (internal stress), menghaluskan ukuran butir kristal dan meningkatkan kekerasan atau tegangan tarik logam. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perlakuan panas, yaitu suhu pemanasan, waktu yang diperlukan pada suhu pemanasan, laju pendinginan dan lingkungan atmosfir. Cara yang dipakai ialah memanaskan logam sehingga terbentuk suatu fasa, kemudian diikuti dengan pendinginan cepat. Dengan cara ini pada temperature kamar akan terbentuk satu fasa yang kelewat jenuh. Bila logam dalam keadaan tersebut dipanaskan maka fasa-fasa yang larut akan mengendap.

Perlakuan panas adalah kombinasi anatara proses pemanasan atau pendinginan dari suatu logam atau paduannyadalam keadaan padat untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu. Untuk mendapatkan hal ini maka kecepatan pendinginan dan batas temperatur sangat menentukan (Daryanto,2010).

Perlakuan panas dibedakan: (a) proses laku panas dengan kondisi equilibrium, seperti annealing, normalising (b) proses laku panas non-equilibrium, seperti pengerasan (hardening).

Jenis-jenis perlakuan panas antara lain:

2.3.1 Annealing

Proses annealing atau melunakkan baja adalah proses pemanasan baja diatas temperatur kritis (723oC) selanjutnya dibiarkan berapa lama sampai temperatur merata disusul dengan pendinginan secara perlahan-lahan sambil


(47)

dijaga agar temperatur bagian luar dan dalam kira-kira sama hingga diperoleh struktur yang diinginkan dengan menggunakan media pendingin udara.

Tujuan proses annealing yaitu :

• Melunakkan material logam

• Menghilangkan tegangan dalam/sisa • Memperbaiki butir-butir logam 2.3.2 Normalizing

Normalizing adalah proses pemanasan logam hingga mencapai fase austenite yang kemudian didinginkan secara perlahan-lahan dengan media pendingin udara. Hasil pendinginan ini berupa perlit dan ferit namun hasilnya jauh lebih mulus dari annealing. Prinsip proses normalizing adalah melunakkan logam. Namun pada baja karbon tinggi atau paduan tertentu dengan proses ini belum tentu memperoleh baja lunak. Mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung dari kadar karbon.

Normalizing dilakukan untuk mendapatkan struktur mikro dengan butir halus dan seragam. Proses ini dapat diartikan sebagai pemanasan dan mempertahankan pemanasan pada suhu yang sesuai diatas batas perubahan diikuti dengan pendinginan secara bebas di dalam udara luarsupaya menjadi seragam dan juga untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik dari baja tersebut 2.3.3 Quenching

Pengertian pengerasan ialah perlakuan panas terhadap baja dengan sasaran meningkatkan kekerasan alami baja.Perlakuan panas menuntut


(48)

pemanasan benda kerja menuju suhu pengerasan dan pendinginan secara cepat dengan kecepatan pendinginan kritis (Schonmetz,1985).

Faktor penting yang dapat mempengaruhi proses hardening terhadap kekerasan baja yaitu oksidasi oksigen udara. Selain berpengaruh terhadap besi, oksigen udara berpengaruh terhadap karbon yang terikat sebagai sementit atau yang larut dalam austenit. Oleh karena itu pada benda kerja dapat berbentuk lapisan oksidasi selama proses hardening. Pencegahan kontak dengan udara selama pemanasan atau hardening dapat dilakukan dengan jalan menambah temperatur yang tinggi karena bahan yang terdapat dalam baja akan bertambah kuat terhadap oksigen. Jadi, semakin tinggi temperatur, semakin mudah untuk melindungi besi terhadap oksidasi (Sconmetz,1985).

Proses quenching atau pengerasan baja adalah suatu proses pemanasan logam sehingga mencapai batas austenit yang homogen. Untuk mendapatkan ke-homogenan ini maka austenite perlu pemanasan yang cukup.Selanjutnya secara cepat baja tersebut dicelupkan ke media pendingin, tergantung pada kecepatan pendinginan yang kita inginkan untuk mencapai kekerasan baja (Daryanto,2010).

Pada waktu pendinginan yang cepat pada fase austenit tidak sempat berubah menjadi ferit atau pearlit karena tidak ada kesempatan bagi atom-atom karbon yang telah larut dalam austenite untuk mengadakan pergerakan difusi dan berbentuk sementit oleh karena iti terjadi fase yang martensit, ini berupa fase yang sangat keras dan tergantung pada keadaan karbon.


(49)

Menurut Edih Supardi (1999) dasar pengujian pengerasan pada bahan baja yaitu suatu proses pemanasan dan pendinginan untuk mendapatkan struktur kerasyang disebut martensit. Martensit yaitu fasa larutan padat lewat jenuh dari karbondalam sel satuan tetragonal pusat badan atau mempunyai bentuk Kristal Body Centered Tetragonal (BCT) seperti pada gambar 2.6.

Sumber : ASM International, Material Park

Gambar 2.6Struktur Kristal Martensit-Body Centered Tetragonal (BCT)

Makin tinggi derajat kelewatan jenuh karbon, maka makin besar perbandingan satuan sumbu sel satuannya, martensit makin keras tetapi getas. Martensit adalah fasa metastabil terbentuk dengan laju pendinginan cepat, semua unsur paduan masih larut dalam keadaan padat.Pemanasan harus dilakukan secara bertahap (preheating) dan perlahan-lahan untuk memperkecil deformasi ataupun resiko retak.Setelah temperatur pengerasan (austenitizing) tercapai, ditahan dalam selang waktu tertentu (holding time) kemudian didinginkan cepat.

Tahap pendinginan lambat pada baja mengakibatkan suatu keadaan yang relatif lunak atau plastis.Untuk menambah kekerasan baja, dapat


(50)

dilakukan dengan pengerjaan yang dimana baja dipanaskan sampai suhu 830oC kemudian didinginkan secara cepat (quenching).Tujuan pengerjaan ini dengan maksud pengerasan baja adalah mendinginkan atau melindungi suatu perubahan austenitic dari pada pendinginan.

2.3.4 Tempering

Tempering didefinisikan sebagai proses pemanasan logam setelah dikeraskan (quenching) pada temperatur tempering (di bawah suhu kritis) sehingga diperoleh ductility tertentu, yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (Koswara, 1999). Prosesnya adalah memanaskan kembali berkisar antara suhu 150oC – 650 oC dan didinginkan secara perlahan-lahan tergantung sifat akhir baja tersebut. Menurut Schonmetz (1985) tujuan proses tempering dibedakan sebagai berikut:

a. Tempering pada suhu rendah (150 oC - 300oC)

Perlakuan ini hanya untuk mengurangi tegangan-tegangan kerut dan kerapuhan dari baja, biasanya untuk alat-alat kerja yang tidak mengalami beban berat seperti alat-alat potong, mata bor dan sebagainya.

b. Tempering suhu menengah (300oC - 550oC)

Bertujuan untuk menambah keuletan, dan kekerasannya sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat-alat kerja yang mengalami beban berat, misalnya palu, pahat, pegas.


(51)

c. Tempering pada suhu tinggi (550oC -650oC)

Tempering pada suhu tinggi bertujuan untuk memberikan daya keuletan yang besar dan sekaligus kekerasannya menjadi agak rendah, misalnya pada roda gigi, poros, batang penggerak dan sebagainya.

Pada dasarnya baja yang telah dikeraskan bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan. Melalui temper, kekerasan, dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi persyaratan. Kekerasan turun, kekuatan tarik akan turun, sedang keuletan dan ketangguhan akan meningkat (Djafrie, 1985).

Meskipun proses ini menghasilkan baja yang lebih lemah, proses ini berbeda dengan annealing karena dengan proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak, mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung oleh kadar karbon.

Pada saat tempering proses difusi dapat terjadi yaitu karbon dapat melepaskan diri dari martensit berarti keuletan (ductility) dari baja naik, akan tetapi kekuatan tarik, dan kekerasan menurun. Senada dengan itu Djafrie (1986) menyatakan sifat-sifat mekanik baja yang telah dicelup, dan di-temper dapat diubah dengan cara mengubah temperatur tempering.

2.4. Media Pendingin

Media pendingin yang digunakan untuk mendinginkan baja bermacam-macam.Berbagai bahan pendingin yang digunakan dalam proses perlakuan panas antara lain:


(52)

1. Air

Pendinginan dengan menggunakan air akan memberikan daya pendinginan yang cepat. Biasanya ke dalam air tersebut dilarutkan garam dapur sebagai usaha mempercepat turunnya temperatur benda kerja dan mengakibatkan bahan menjadi keras.

Air memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh senyawa kimia yang lain. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut (Dugan, 1972; Hutchinson, 1975; Miller, 1992). Pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan, yakni 0oC (32o F) – 100oC, air berwujud cair.Suhu 0oC merupakan titik beku (freezing point) dan suhu 100o C merupakan titik didih (boiling point) air.

Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang sangat baik.Sifat ini memungkinkan air tidak menjadi panas atau dingin dalam seketika. Air memerlukan panas yang tinggi dalam proses penguapan. Penguapan (evaporasi) adalah proses perubahan air menjadi uap air. Proses ini memerlukan energi panas dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan air es dalam proses pendinginan setelah proses heat treatment karena dapat mendinginkan logam yang telah dipanaskan secara cepat. Suhu air es berkisar antara 0°C-5°C, densitas (berat jenis) air maksimum sebesar 1 g/cm3 terjadi pada suhu 3,95o C. Pada suhu lebih besar maupun lebih kecil dari 3,95o C, densitas air lebih kecil dari satu (Moss, 1993; Tebbut, 1992).


(53)

2. Minyak

Minyak yang digunakan sebagai fluida pendingin dalam perlakuan panas adalah benda kerja yang diolah. Selain minyak yang khusus digunakan sebagai bahan pendingin pada proses perlakuan panas, dapat juga digunakan oli.

Penggunaan pelumas atau oli sebagai media pendingin akan menyebabkan timbulnya selaput karbon pada spesimen tergantung dari besarnya viskositas pelumas. Atas dasar tujuan untuk memperbaiki sifat baja tersebut,oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan oli SAE 40 dalam proses pendinginan setelah proses heat treatment.

3. Udara

Pendinginan udara dilakukan untuk perlakuan panas yang membutuhkan pendinginan lambat. Untuk keperluan tersebut udara yang disirkulasikanke dalam ruangan pendingin dibuat dengan kecepatan yang rendah. Udara sebagai pendingin akan memberikan kesempatan kepada logam untuk membentuk kristal – kristal dan kemungkinan mengikat unsur – unsur lain dari udara. Adapun pendinginan pada udara terbuka akan memberikan oksidasi oksigen terhadap proses pendinginan.

4. Garam

Garam dipakai sebagai bahan pendingin disebabkan memiliki sifat mendinginkan yang teratur dan cepat. Bahan yang didiginkan di dalam cairan garam yang akan mengakibatkan ikatannya menjadi lebih keras karena pada permukaan benda kerja tersebut akan meningkat zat arang.


(54)

Kemampuan suatu jenis media dalam mendinginkan spesimen bisa berbeda-beda, perbedaan kemampuan media pendingin disebabkan oleh temperatur, kekentalan, kadar larutan dan bahan dasar media pendingin.

2.5. Pengujian Kekerasan

Kekerasan logam didefinisikan sebagai ketahanan terhadap penetrasi, dan memberikan indikasi cepat mengenai perilaku deformasi (Smallman, 2000). Alat uji kekerasan menekankan bola kecil, piramida atau kerucut ke permukaan logam dengan beban tertentu, dan bilangan kekerasan (Brinell atau piramida Vickers) diperoleh dari diameter jejak. Kekerasan dapat dihubungkan dengan kekuatan luluh atau kekuatan tarik logam, Karena sewaktu indentasi, material di sekitar jejak mengalami deformasi plastis mencapai beberapa persen regangan tertentu. Bilangan kekerasan Vickers (VPN) didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan jejak piramida dan dinyatakan dalam satuan kgf/mm2 dan besarnya sekitar tiga kali tegangan luluh untuk material yang tidak mengalami pengerasan kerja yang berarti. Bilangan kekerasan Brinell (BHN) diberikan oleh persamaan (2.1). Dimana bilangan Brinell didefinisikan sebagai tegangan P/A, dalam satuan kgf/mm2, diamana P adalah beban dan A adalah luas permukaan kutub bola yang membentuk indentasi. Jadi

BHN =

2�

��(�−��2−�2)...(2.1) dimana d adalah diameter jejak dan D adalah diameter indentor. Agar diperoleh hasil yang kosisten maka rasio d/D harus kecil dan diusahakan agar tetap konstan. Dengan begini nilai BHN untuk material lunak adalah sama.


(55)

Pengujian kekerasan penting, baik untuk pengendalian kerja maupun penelitian, khususnya bilamana diperlukan informasi mengenai getas pada suhu tinggi.

2.6. Pengujian Tarik

Pengujian tarik dilakukan terhadap batang uji yang standar. Pada bagian tengah batang uji merupakan bagian yang menerima tegangan yang uniform, danpada bagian ini diukurkan panjang uji (gauge length), yaitu bagian yang dianggap menerima pengaruh dari pembebanan. Pada bagian inilah yang selalu diukur panjangnya dalam proses pengujian.

Dasar yang digunakan untuk mengetahui kekuatan tarik dari suatu material adalah kurva tegangan dan regangan. Donan (1952) menyatakan, The parameters which are used to describe the stress - strain curve of metals are the tensile strength, yield strength, percent elongation and reduction of area. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa komponen-komponen utama dari kekuatan tarik adalah kekuatan maksimum (tensile strength), tegangan luluh dari material, regangan yang terjadi saat penarikan dan pengurangan luas penampang seperti.

Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasil uji tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva seperti digambarkan pada gambar 2.7. Kurva ini menunjukkan hubungan antara tegangan dengan regangan.

Perubahan panjang dalam kurva disebut sebagai regangan teknik (εeng.), yang didefinisikan sebagai perubahan panjang yang terjadi akibat perubahan statik (∆L)


(56)

terhadap panjang batang mula-mula (L0). Tegangan yang dihasilkan pada proses

ini disebut dengan tegangan teknik (σeng), dimana didefinisikan sebagai nilai pembebanan yang terjadi (F) pada suatu luas penampang awal (A0).

Sumber : Pengujian Bahan Logam, Engkos Koswara Gambar2.7 Kurva Tegangan Regangan Baja

Tegangan normal tesebut akibat gaya tarik dapat ditentukan berdasarkan persamaan (2.2) (Koswara, 1999).

Ao F =

σ

...(2.2)

Dimana:

σ = Tegangan tarik (MPa) F= Gaya tarik (N)

Ao = Luas penampang spesimen mula-mula (mm2)

Dalam uji tarik dikenal juga sifat ulet. Keuletan ini dinyatakan dengan regangan maksimum yang bisa dicapai oleh bahan, yaitu pada saat patah. Semakin


(57)

besar regangan yang bias dicapai oleh bahan, semakin ulet bahan tersebut. Regangan (e) merupakan perbandingan antara perpanjangan yang terjadi dengan panjang awal dari spesimen. Regangan akibat beban tekan statik dapat ditentukan berdasarkan persamaan (2.3) (Koswara, 1999).

% 100 x L

L ∆ =

ε

...(2.3)

Dimana:∆L=L-L0 Keterangan:

ε = Regangan akibat gaya tarik

L = Perubahan panjang spesimen akibat beban tekan (mm) Lo = Panjang spesimen mula-mula (mm)

Pada praktiknya nilai hasil pengukuran tegangan pada suatu pengujian tarik pada umumnya merupakan nilai teknik. Regangan akibat gaya tarik yang terjadi, panjang akan menjadi bertambah dan diameter pada spesimen akan menjadi kecil, maka ini akan terjadi deformasi plastis (Nash, 1998). Hubungan antara stress dan strain dirumuskan pada persamaan (2.4) (Koswara, 1999).

E = σ / ε ...(2.4)

E adalah gradien kurva dalam daerah linier, di mana perbandingan tegangan (σ) dan regangan (ε) selalu tetap. E diberi nama “Modulus Elastisitas” atau “Young Modulus”. Kurva yang menyatakan hubungan antara strain dan stress seperti ini kerap disingkat kurva SS (SS curve).


(58)

Sifat lainnya dalam uji tarik adalah adanya reduksi penampang. Reduksi penampang atau reduction of area pada saat patah. Sebenarnya sifat ini erat kaitannya dengan regangan yang dialami oleh bahan. Sifat ini dinyatakan dengan persamaan (2.5) (Koswara, 1999).

∆�= A−A₀

A X 100% ...(2.5)

Keterangan :

∆� : Reduksi penampang

A : Luas penampang akhir (mm2) A0 : Luas penampang awal (mm2)

Saat spesimen mengalami patah, maka akan terbentuk suatu penampang patah yang bentuknya dapat diklasifikasikan menurut bentuk teksturnya. Jenis-jenis perpatahan menurut bentuknya adalah simetri, kerucut mangkok (cup cone), rata dan tak teratur bermacam-macam bentuk tekstur adalah silky (seperti sutera), butir halus, butir kasar atau granular, berserat (fibrous), kristalin, glassy (seperti kaca) dan pudar seperti terlihat pada gambar 2.8.

Sumber : Pengujian Bahan Logam, Engkos Koswara Gambar 2.8Bentuk Penampang Patahan


(59)

Tujuan pengujian tarik untuk mengetahui sifat-sifat mekanik dan perubahan-perubahan dari suatu logam terhadap pembebanan tarik. Dalam setiap pengujian tentang logam, pengujian tarik wajib dilakukan.

2.7. Pengujian Fatigue

Batas lelah merupakan batas tegangan suatu spesimen saat spesimen tersebut masih dapat menerima tegangan bolak-balik yang tak hingga tanpa terjadi patah. Batas lelah material dapat ditentukan dari pengujian lelah lentur putar (rotary bending

fatique test) terhadap beberapa specimen uji. Beban yang diberikan pada

masing-masing specimen uji dibuat berbeda-beda.

Bentuk penampang patahan akibat pembebanan dinamik dapat dicirikan oleh adanya : a. Retakan awal (crack inisiation)

b. Daerah rambatan retak (crack growth) c. Daerah beban berlebih (overload area)

Faktor utama yang menyebabkan terjadinya patah lelah adalah fluktuasi tegangan, dan secara umum kondisi tegangan dibagi menjadi tiga jenis dan dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Tegangan pembalikan (reversed stress) gambar 1(a) menunjukkan kondisi tegangan balik dengan bentuk sinusoidal hal ini dapat terjadi bila dalam keadaan ideal. Misalnya poros yang berputar dengan kecepatan konstan tanpa beban lebih sehingga keadaan tegangan maksimum dan minimum yang terjadi sama besar.

b. Tegangan berulang (repeated stress) pada gambar 1(b) terlihat bahwa tegangan maksimum dan tegangan minimum tidak sama dan keduanya


(60)

dalam keadaan tarik. Tegangan berulang ini dapat juga terjadi dalam keadaan tekan kedua-duanya.

c. Tegangan tidak beraturan (irregular stress) gambar 1(c) keadaan tegangan tidak teratur, hal ini terjadi pada bagian sayap pesawat terbang karena factor aerodinamik sehingga besar kecilnya beban yang mengenai sayap tidak dapat dideteksi pada setiap periode waktu.

Gambar 2.9 . Bentuk Siklus Tegangan Lelah

Perbandingan antara tegangan minimum dengan tegangan maksimum disebut stress ratio diberi notasi R, hasilnya dapat dihitung dengan persamaan berikut ini.

...(2.6)

Sedangkan pada pengujian fatik ada beberapa sistim penbebanan yang dapat digunakan seperti berikut ini:

- Tegangan tarik rata-rata (tensile mean stress), R= +1

- Tegangan balik sempurna (completely reversed stress ), R= -1 - Tegangan tarik pulsa (pulsating tension), 0 < R < 1


(61)

- Tegangan tarik bolak-balik rata-rata (alternating tensile mean stress), -1 < R < 0

- Tegangan tekan bolak-balik rata-rata (alternating compressive mean stress)

- tak terhingga < R < 0

Pada pengujian fatik suatu bahan yang dilaksanakan di Laboratorium biasanya tegangan yang dipakai disederhanakan serta hasilnya diperlihatkan dalam bentuk diagram S – N , disebut juga Wohler diagram.

1. Kurva tegangan Vs Jumlah siklus

Metode dasar untuk memperlihatkan data-data fatik adalah dengan menarik kurva tehadap nilai logaritmik jumlah siklus dimana bahan itu gagal. Nilai tegangan yang dipakai dapat berupa nilai tegangan maksimum, tegangan minimum, tegangan rata-ratanya. Nilai tegangan dapat berupa tegangan nominal atau tegangan maksimum , pada gambar 2.10 dapat dilihat satu bentuk kurva S – N dari suatu pengujian Fatique rotary bending.


(62)

Jumlah siklus pada kurva tegangan bahan yang tahan terhadap perpatahan akan meningkat dengan menurunnya tegangan. Pengujian fatik untuk baja pada tegangan rendah dapat mencapai jumlah siklus sampai dengan 106 siklus, dan untuk bahan bukan besi sampai 107 siklus. Untuk beberapa jenis logam seperti baja dan titanium, garis pada kurva S – N akan berbentuk garis horizontal pada nilai tegangan tertentu yang lazim disebut sebagai batas kelelahan (endurance limit). Bila beban bahan bekerja dibawah garis horizontal ini berarti bahwa bahan dapat menahan beban tanpa mengalami patah.

Hampir semua bahan bukan besi (non ferrous metal) seperti Al, Mg, Cu tidak menunjukkan garis horizontal dan hanya mempunyai kemiringan yang bertahap dengan meningkatnya jumlah siklus sampai pada suatu saat akan patah. Pengujian yang dilakukan akan menghasilkan data yang menyebar, ini disebabkan sifat-sifat internal bahan juga proses pembuatan benda uji. Untuk mendapatkan data yang dapat mewakili kurva S – N maka dilakukan pengolahan data secara statistik.

Mekanisme patah lelah rotary bending, yang diakibatkan oleh pembebanan dinamis tersebut merupakan suatu proses pemisahan dari dua bidang padat akibat tegangan. proses perpatahan ini terdiri dari tiga fase yaitu: Inisiasi retakan (crack initiation), perambatan retak (crack propagation), Patah akhir ( fracture failure).

Pembebanan pada uji Fatique rotary bending pada dasarnya merupakan penerapan momen lentur yang dihasilkan oleh gaya berat pada lengan pemberat. Pada pengujian rotary bending ini, tegangan yang bekerja pada benda uji seperti ditunjukkan pada gambar 2.11.


(63)

Sumber : ASTM E 466, ASTM Handbook

Gambar 2.11. Bentuk Tegangan Pada Pengujian Fatique Rotary Bending .

Tegangan bending yang terjadi pada permukaan benda uji dapat ditentukan dengan menggunakan momen inersia dan jarak melintang benda uji dengan persamaan sebagai berikut:

...(2.7) dimana:

σb = Tegangan bending pada benda uji ( kg/cm2 ) Mb = Momen bending pada benda uji ( kg cm ) I = Momen inersia ( cm2 )

Dan besarnya momen bending yang terjadi pada benda uji adalah :

...(2.8) dimana:

Mb = Besar momen bending ( kg cm ) W = Beban yang dipergunakan ( kg )


(64)

2.8. Analisa Struktur Butir

Tiap volume yang mempunyai orientasi tertentu disebut butir dan daerah tidak teratur antar butir disebut batas butir. Lebar batas butir sekitar dua atau tiga deretan atom. Sebetulnya, butir dan batas butir berdimensi tiga. Dan gambar hanya menampilkan penampang tertentu. Gelembung polyhedral yang terbentuk bila larutan sabun kita kocok merupakan model tiga dimensi dari kristal dengan batas butirnya.

Butir kristal tidak sepenuhnya berbentuk polyhedral, tetapi dapat mempunyai bentuk yang berbeda, bergantung pada riwayat termal dan mekanik bahan utuh. Sifat mekanik turut ditentukan oleh ukuran butir. Makin halus butir, makin keras bahan dan kekuatan luluh; keuletan dan ketangguhan bahan juga lebih tinggi. Hubungan antara besar butir dan kekuatan diberikan oleh persamaan Petch yang dirumuskan pada persamaan (2.9).

�� = �1+���−1 2� ...(2.9)

Dimana:

σy = Tegangan luluh

σ1= Tegangan friksi (friction stress)

k= Koefisien penguat (strengthening coefficient) d= ukuran (diameter) butir

2.8.1. Pertumbuhan Struktur Butir

Struktur kristal logam akan rusak pada titik cairnya (Alexander, 1991). Batas butir akan lenyap dan kekuatan mekanik tidak akan berarti lagi. Struktur kristal akan terbentuk kembali jika logam didinginkan. Sewaktu


(65)

membeku, energi dilepaskan dalam bentuk panas laten pembekuan, dan laju pembekuan bergantung pada jumlah panas yang dapat dilepaskan.

Bila pendinginan berlangsung secara perlahan-lahan, terbentuklah kelompok atom pada permukaan cairan yang kemudian menjadi inti butiran padat. Selama solidifikasi dengan laju pendinginan lambat, inti pertama bertambah besar akibat kepindahan atom dari cairan kebahan padat. Akhirnya, semua cairan bertransformasi dan butir bertambah besar. Batas butir merupakan titik pertemuan pertumbuhan berbagai inti. Bila pendinginan cepat, jumlah kelompok bertambah dan tiap-tiap kelompok tumbuh dengan cepat hingga akhirnya saling bertemu. Sebagai hasil akhir, diperoleh logam dengan jumlah butir yang banyak atau disebut logam padat berbutir halus.

Bila logam direntangkan melampaui batas elastik dan mengalami deformasi tetap sebagian energi deformasi tertumpuk dalam butir sebagai distorsi kisi dan rangkaian dislokasi. Struktur coran logam yang langsung membeku dari cairan tidak mengadung energi deformasi mekanik. Oleh karena itu, struktur akan stabil dan hampir-hampir tidak mempunyai kecederungan untuk berubah. Pemanasan hingga suhu tinggi hanya akan mengubah bentuk butir secara terbatas, terkecuali pada besi dan baja. Pada logam ini, transformasi struktur padat terjadi jauh dibawah titik cair, dan mempunyai efek memperhalus butir struktur coran. Akan tetapi, umumnya bahan teknik tidak mengalami transformasi seperti itu dan struktur coran akan tetap ada sampai dipecahkan secara mekanik.


(66)

2.8.2.Perhitungan Diameter Butir

Ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mengukur besar butir dari struktur mikro suatu material salah satunya adalah metode Planimetri yang dikembangkan oleh Jeffries. Dimana metode ini cukup sederhana untuk menetukan jumlah butir persatuan luas pada bagian-bidang yang dapat dihubungkan pada standar ukuran butir ASTM E 112. Metode planimetri ini melibatkan jumlah butir yang terdapat dalam suatu area tertentu yang dinotasikan dengan NA. Secara skematis proses perhitungan menggunakan metode ini seperti pada gambar 2.12.

Gambar 2.12 Perhitungan Butiran Menggunakan Metode Planimetri

Jumlah butir bagian dalam lingkaran (Ninside) ditambah setengah jumlah butir yang bersingungan (Nintercepted) dengan lingkaran dikalikan oleh pengali Jeffries (f) dapat dituliskan pada persamaan (2.10).

�� =� (�������+ ������������2 ) ...(2.10)

Dimana pengali Jeffries yang dipergunakan tergantung pada perbesaran yang digunakan pada saat melihat struktur mikro dan dapat ditetukan melalui tabel 2.2.

Untuk selanjutnya setelah diperoleh nilai NA maka ukuran butir dapat dihitung dengan rumus persamaan (2.11).


(67)

Tabel 2.2. Hubungan antara perbesaran mikroskop optik yang digunakan dengan pengali Jeffries

Perbesaran (M) Pengali Jefrries( f) untuk menetukan butiran/mm2

1 0.0002

10 0.02

25 0.125

50 0.5

75 1.125

100 2.0

150 4.5

200 8.0

250 12.5

300 18.0

500 50.0

750 112.5

1000 200.0


(68)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai waktu dan tempat penelitian, alat dan bahan, spesifikasi spesimen, perlakuan panas, serta metode pengujian.

3.1. Waktu dan Tempat

Waktu penelitian ini direncanakan selama empat bulan yang dimulai dari maret sampai dengan november 2013. Tempat dilaksanakan penelitian ini adalah di Laboratorium Teknologi Mekanik, Laboratorium Metalurgi Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dan Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan (BARISTAND INDUSTRI MEDAN).

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat

Adapun peralatan yang di pergunakan selama penelitian ini adalah:

1. Tungku Pemanas (Furnace Wilmonn) 2. Thermocouple Type-K

3. Jangka sorong 4. Penjepit spesimen 5. Mesin poles (polisher) 6. Mikroskop optic 7. Mikroskop VB 8. Teropong Indentor


(69)

9. Mesin Sekrap

10. Alat uji kekerasan Brinell

11. Mesin uji tarik Torsee INSTRON model 100 HDX - GIB

12. Wadah cairan pendingin air es dan wadah pendinginan oli SAE 40

3.2.2 Bahan

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Baja stainless stell M303 Extra (Sumber: PT. BHINNEKA BAJANAS)

2. Kertas pasir dengan grade 120, 220, 400, 600, 800, 1000, 1200 dan 1500.

3. Larutan etsa HCl 75% 4. Larutan H2O 100% 5. Larutan FeCl 5gram 6. Kain Panel

7. Larutan alumina

Adapun banyaknya jumlah spesimen dalam penelitian ini berjumlah 29 spesimen, dengan perincian 17 spesimen uji kekerasan, 9 spesimen uji tarik, 3 spesimen uji fatique dan 9 spesimen uji, metallografi.

3.3. Spesifikasi Spesimen

Spesimen yang dipergunakan dalam pengujian ini ada 4 yaitu spesimen uji kekerasan, uji tarik, uji fatique dan struktur mikro. Seperti yang diperlihatkan pada spesimen kekerasan ASTM E-10 gambar 3.1, spesimen uji tarik dari ASTM


(70)

E-8M gambar 3.2, spesimen uji kelelahan (Fatigue) sesuai ASTM E 466 gambar 3.3, serta spesimen struktur mikro gambar 3.4.

3.3.1. Spesifikasi Spesimen Kekerasan

Sebelum diuji, pada masing-masing spesimen terlebih dahulu dipotong dengan menggunakan alat mesin gergaji dengan dimensi seperti terlihat pada gambar 3.1

(a) (b) Sumber : ASTM E-10, ASTM Handbook

Gambar 3.1 (a) Spesimen Kekerasan (b) Dimensi Spesimen (mm)

Spesimen kekerasan pada benda uji ini dilakukan pada beberapa titik secara acak untuk mengetahui kekerasan serta kekerasan rata-rata pada daerah tersebut dengan metode Brinell atau BHN (Brinell Hardness Number).

3.3.2. Spesifikasi Spesimen Uji Tarik

Sebelum diuji, pada masing-masing spesimen dipotong dan dibentuk dengan menggunakan mesin skrap sehingga sesuai dengan standar uji tarik untuk baja sheet atau lembaran yaitu ASTM E-8M seperti terlihat pada gambar 3.2


(71)

200

60 60

R 12

.5

1

3

5

Sumber : ASTM E-8M, ASTM Handbook

Gambar 3.2 Spesimen Uji Tarik

Spesimen uji tarik pada benda uji ini dilakukan untuk mengetahui besarnya kekuatan tarik dan pertambahan panjang yang terjadi setelah di uji tarik.

3.3.3 Spesifikasi Spesimen Uji Fatique

Sebelum diuji, pada masing-masing spesimen dipotong dan dibentuk dengan menggunakan mesin bubut sehingga sesuai dengan standar uji fatique untuk baja stainless steel M303 extra yaitu ASTM E 466 seperti terlihat pada gambar 3.3.

(a)

(b)

Sumber : ASTM E 466, ASTM Handbook

Gambar 3.3 (a) Spesimen Uji Kelelahan (b) Dimensi Spesimen


(72)

15

15 5

3.3.4. Spesifikasi Spesimen Uji Metallografi

Spesimen untuk metallografi sebelumnya dipotong dari spesimen kekerasan pada bagian ujungnya sesuai dengan gambar 3.4 yang kemudian dimasukan ke dalam cetakan resin yang telah dikeraskan agar spesimen dapat dipegang pada saat dilakukannya proses pe-molishan dan pengetsaan.

(a) (b)

Gambar 3.4 (a) Spesimen Metallografi (b) Dimensi Spesimen (mm) Pengamatan struktur mikro atau metallografi dalam pengujian ini sangat diperlukan untuk mengetahui besar atau diameter dari butiran spesimen.

3.4 Proses Heat Treatment

Pemanasan awal memberikan pengaruh pada sifat mekanis bahan. Setelah dipanaskan pada temperatur 1000°C, spesimen didinginkan dengan media pendingin (Quenching) oli SAE 40 dan air es. Dalam penelitian ini digunakan thermocouple digital untuk mendapatkan pembacaan suhu yang akurat di dalam furnace. Berikut ini adalah skema proses Heat Treatment yang dilakukan dalam penelitian ini seperti terlihat pada gambar 3.5 adalah skema proses skema proses heat treatment dan quenching oli dan pada gambar 3.6 adalah proses skema proses heat treatment dan quenching air es.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Wibowo, Tri Bambang. 2006. Tugas Akhir : Pengaruh Temper dengan Quechin Media Pendinginan Oli Mesran Sae 40 Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Baja ST 60, UNNES, Semarang.

[2]. Murtiono, Arief. 2012. Tugas Akhir : Pengaruh Quenching dan

Tempering Terhada Kekerasan dan Kekuatan Tarik Serta Struktur Mikro Karbon Sedang untuk Matapisau pemanen sawit,USU, Medan.

[3].

[4]. Yudiono, Heri. 2012. Tugas Akhir : Pengaruh Temperatur Pemanasan Terhadap Kekuatan Tarik Material Baja Karbon C1045 Akibat Tempering, UNNES,Semarang.

[5]. D. A. Fadare , T. G. Fadara and O. Y. Akanbi. 2011. Tugas Akhir : Effect Of Heat Treatment OnMechanical Properties And Microstructure Of NST 37-2 Steel, University Of Ibadan, Nigeria.

[6]. Djafri, Sriati. 1987. Terjemahan dari Mechanical Metallurgy, Jakarta, Erlangga : Metallurgy Mekanik

[7]. LI Hong-ying, HU Ji-dong, LI Jun, CHEN Guang, SUN Xiong-jie. 2013. Tugas Akhir : Effect Of Tempering Temperature On Microstructure And Mechanical Properties Of AISI6150 steel,

Central South University Press and Springer Verlag Berlin Heidelberg, China

[8]. Koswara, Engkos. 1999. Pengujian Bahan Logam.Bandung : Humaniora Utama Press

[9]. Schonmetz, Alois dan Karl Gruber.1985. Pengetahuan Bahan dalam Pengerjaan Logam. Bandung : Angkasa.


(2)

LAMPIRAN 1

Nilai Kekerasan (BHN) Pada Proses Hardening 10000C (Quenching) Oli Lama

Proses Hardening dan Tempering Adalah 1 Jam

Spesimen Nilai Kekerasan (BHN) BHN

Rata-rata

Standar Deviasi

1 2 3 4 5

Raw Material 285 285 269 269 269 275,4 7,84 Hardening

1000°C 514 514 477 514 514 506,6 14,80 Tempering

300°C 461 444 461 461 461 457,6 6,80 Tempering

350°C 444 461 444 444 444 447,4 6,80 Tempering

400°C 444 444 444 461 444 477,4 6,80 Tempering

450°C 429 429 444 444 444 438 7,35 Tempering

500°C 444 429 444 444 444 441 6,00 Tempering

550°C 415 415 444 415 415 420,8 11,60 Tempering

600°C 341 341 341 363 341 345,4 8,80

Nilai Kekerasan (BHN) Pada Proses Hardening 1000°C (Quenching) Air Es Dan

Lama Proses Hardening dan Tempering Adalah 1 Jam

Spesimen Nilai Kekerasan (BHN) BHN

Rata-rata

Standar Deviasi

1 2 3 4 5


(3)

Hardening

1000°C 514 477 477 514 514 499,2 18,13 Tempering

300°C 429 429 461 429 429 435,4 12,80 Tempering

350°C 444 415 415 415 415 420,8 11,60 Tempering

400°C 415 388 415 415 415 409,6 10,80 Tempering

450°C 444 415 415 444 415 426,6 14,21 Tempering

500°C 388 415 415 415 415 409,6 10,80 Tempering

550°C 388 363 388 388 388 383 10,00 Tempering


(4)

(5)

(6)

LAMPIRAN 4

PERBANDINGAN HARGA BAJA KARBON SEDANG (BEKAS PEGAS BELAKANG MOBIL / PEGAS DAUN) DENGAN BAJA STAINLESS STEEL

M303 EXTRA

Parameter Baja Karbon Sedang (Bekas Pegas Belakang Mobil /

Pegas Daun)

Baja Stainless Steel M303 Extra

Ukuran ( p x l x t ) 50 cm x 9 cm x 1,2 cm

50 cm x 9 cm x 1,2 cm

Harga Per Kilogram Bahan Rp. 7.000 Rp.96.000

Berat Bahan 3,8 Kg 3,8 Kg

Harga Bahan Rp. 26.600 Rp. 366.700 Ongkos Upah Bahan Rp. 75.000 Rp. 75.000 Hasil Yang Didapat Dari

Ukuran Tersebut

3 Pisau Egrek 3 Pisau Egrek

Total Rp. 101.600 Rp. 441.700