Pengembangan Hipotesis Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek Indonesia m.anas

commit to user 34 34 lebih baik seharusnya membayar dividen yang tinggi kepada para pemegang sahamnya, sehingga antara ukuran perusahaan dan pembayaran dividen memiliki hubungan yang positif Farinha 2002. Suatu perusahaan besar yang sudah mapan akan memiliki akses yang mudah menuju pasar modal, sementara perusahaan yang baru dan yang masih kecil akan banyak mengalami kesulitan untuk memiliki akses ke pasar modal. Karena kemudahan akses ke pasar modal cukup berarti untuk fleksibilitas dalam rangka memperoleh dana yang lebih besar, maka perusahaan dengan size yang besar memiliki rasio pembayaran dividen lebih tinggi daripada perusahaan dengan size yang kecil Chang dan Rhee 1990.

B. Pengembangan Hipotesis

Dalam penelitian ini digunakan empat variabel independen yaitu: kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, profitabilitas dan financial leverage , dan satu variabel kontrol yaitu ukuran perusahaan. Adapaun variabel dependen dalam penelitian ini adalah kebijakan dividen. Pengaruh masing-masing variabel independen dan variabel kontrol dengan variabel dependen diuraikan berikut ini: 1. Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Kebijakan Dividen Pada agency theory yang disebut principal adalah pemegang saham dan yang dimaksud agent adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Dalam manajemen keuangan, sebagaimana dikemukakan oleh Brigham dan Gapenski 1996 tujuan utama perusahaan adalah memaksimumkan kemakmuran pemegang commit to user 35 35 saham. Untuk itu maka manajer yang diangkat oleh pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham, tetapi ternyata sering ada konflik antara manajemen dan pemegang saham. Konflik ini disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Manajemen perusahaan mempunyai kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya pihak lain. Perilaku ini biasa disebut sebagai keterbatasan rasional bounded rationality dan pemegang saham cenderung tidak menyukai risiko risk averse . Jensen dan Meckling 1976 menyatakan bahwa agency problem akan terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari 100 sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasar maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan, termasuk kebijakan dividen. Lebih lanjut Jensen dan Meckling 1976 menyatakan bahwa kondisi di atas merupakan konsekuensi dari pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi kepemilikan atau sering disebut dengan the separation of the decision-making and risk bearing functions of the firm . Manajemen tidak menanggung risiko atas kesalahan dalam mengambil keputusan, risiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pemegang saham principal . Oleh karena itu manajemen cenderung melakukan pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak produktif untuk kepentingan pribadinya, seperti peningkatan gaji dan status. Penyebab lain terjadinya konflik antara manajer dengan pemegang saham adalah keputusan dividen. Para pemegang saham hanya peduli terhadap risiko sistematik dari saham perusahaan, karena mereka melakukan investasi pada commit to user 36 36 portofolio yang teridentifikasi dengan baik. Namun manajer sebaliknya lebih peduli pada risiko perusahaan secara keseluruhan. Ada dua alasan yang mendasarinya, yaitu: 1 Bagian substantif dari kekayaan mereka di dalam specific human capital perusahaan, yang membuat mereka non diversifiable , dan 2 Manajer akan terancam reputasinya, demikian juga kemampuan menghasilkan earnings perusahaan, jika perusahaan menghadapi kebangkrutan. Dalam konteks agency cost model yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling 1976, kebijakan dividen digunakan untuk meminimalisasi agency cost yang timbul dari potensi conflict of interests antara agen dan principal akibat adanya pemisahan antara kedua belah pihak tersebut. Agency cost merupakan biaya yang timbul dalam rangka mengendalikan atau memonitor tindakan manajer agar sesuai dengan kepentingan principal . Dasar dari agency cost model ini adalah ketika manajer disadari bertindak tidak sesuai dengan kepentingan investorpemegang saham, maka pemegang saham menggunakan mekanisme tertentu untuk mengontrol tindakan manajer tersebut. Salah satu dari mekanisme ini adalah melalui pembayaran dividen dengan payout yang tinggi Beiner, 2001. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Easterbrook 1984 bahwa keefektifan dividen sebagai salah satu sarana monitoring bergantung pula pada keberadaan sarana-sarana monitoring lainnya, misalnya struktur kepemilikan dan struktur modal perusahaan. Untuk menguji pengaruh struktur kepemilikan dengan kebijakan dividen ini Sugeng 2009 melakukan penelitian empiris. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa struktur kepemilikan terbukti tidak berpengaruh secara commit to user 37 37 signifikan terhadap kebijakan dividen. Menurut Sugeng 2009 hal tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan dengan struktur kepemilikan dengan porsi insider’s holding dan institutional holding yang lebih tinggi tidak terbukti secara meyakinkan berdampak kepada pembayaran dividen yang lebih kecil karena keberadaan mereka dianggap mampu menekan agency problem . Temuan ini terjadi diduga karena adanya keunikan dari struktur kepemilikan di lingkungan perusahaan-perusahaan public di Indonesia yang umumnya didominasi oleh institutional holding yang tidak independen dengan pihak manajemen. Institutional holding ini umumnya terdiri dari holding companies yang merupakan perusahaan-perusahaan keluarga di mana manajemen merupakan bagian di dalamnya. Kouki dan Guizani 2009 juga menyatakan bahwa lebih tinggi kepemilikan dari lima pemegang saham terbesar semakin tinggi pembayaran dividen yang dilakukan perusahaan. Jensen dan Meckling 1976 mengemukakan bahwa agency cost akan rendah di dalam perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang tinggi, karena hal ini memungkinkan adanya penyatuan antara kepentingan pemegang saham dengan kepentingan manajer yang dalam hal ini berfungsi sebagai agen sekaligus sebagai principal . Dalam situasi yang demikian perusahaan tidak perlu membayar dividend payout yang tinggi untuk mengendalikan agency cost . Rasionalnya adalah bahwa dengan kepemilikan manajerial yang tinggi agency problem menjadi rendah antara manajer dengan pemegang saham. Atau, dengan kata lain, semakin tinggi struktur kepemilikan dikuasai oleh insiders manajemen atau semakin kecil yang dikuasai oleh pihak outsiders maka semakin berkurang agency commit to user 38 38 problems , karena semakin selarasnya kepentingan manajemen dengan kepentingan pemilik yang sebagian besar adalah manajemen sendiri. Dalam hal demikian semakin kecil ketergantungan kepada dividen sebagai mekanisme monitoring. Pendapat Jensen tersebut diperkuat beberapa hasil penelitian emipris sebagaimana dilakukan oleh Rozeff 1992, Alli dan Madura 1996, Mollah et al. 2000, Myers dan Bacon 2004, Kania dan Bacon 2005, dan Dewi 2008 yang menyatakan bahwa semakin tinggi kepemilikan saham oleh managerial maka semakin rendah kebijakan dividen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila tingkat kepemilikan managerial tinggi maka perusahaan cenderung mengalokasikan laba pada laba ditahan daripada membayar dividen dengan alasan sumber dana internal lebih efisien dibandingkan sumber dana eksternal, dan apabila tingkat kepemilikan manajerial lebih rendah, perusahaan melakukan pembagian dividen yang besar untuk memberikan sinyal yang bagus tentang kinerja di masa yang akan datang sehingga meningkatkan reputasi perusahaan di hadapan investor. Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis-1 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. 2. Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Kebijakan Dividen Menurut teori keagenan, sebagaimana dikemukakan Jensen dan Meckling 1976 dinyatakan bahwa perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dengan fungsi kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan agency conflict . Penyebab konflik antara manajer dengan pemegang saham di commit to user 39 39 antaranya adalah pembuatan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan dividen Kania dan Bacon 2005; Myers dan Bacon 2004; Weston dan Copeland 1997. Untuk mengawasi dan menghalangi perilaku oportunis manajer maka pemegang saham harus bersedia mengeluarkan kos pengawasan tersebut, kos ini dinamakan kos keagenan agency cost . Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi agency cost , yaitu: 1 dengan meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen, 2 dengan meningkatkan dividend payout ratio , 3 meningkatkan pendanaan dengan utang, 4 institutional investor sebagai monitoring agents . Adapun peranan kepemilikan institusional ini Moh’d et al. 1995 dalam Kania dan Bacon 2005 menyatakan bahwa distribusi saham antara pemegang saham dari luar yaitu institutional investor dan shareholders dispersion dapat mengurangi agency cost . Karena kepemilikan mewakili suatu sumber kekuasaan source of power akan dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap keberadaan manajemen, maka adanya kepemilikan oleh investor institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen. Kepemilikan institusional adalah proporsi saham yang dimiliki oleh pihak institusi pada akhir tahun yang diukur dalam prosentase Kania dan Bacon 2005. Proporsi kepemilikan saham oleh institusional yang tinggi akan menghasilkan upaya-upaya pengawasan yang lebih insentif sehingga dapat membatasi perilaku oportunistik manajer, yang dapat berupa pelaporan laba oleh commit to user 40 40 manajemen secara oportunistik untuk memaksimumkan kepentingan pribadinya Siregar 2008. Kania dan Bacon 2005 melakukan penelitian empiris untuk menguji hipotesis teori yang dikemukakannya yaitu “ Institutional ownership berpengaruh signifikan positif terhadap kebijakan dividen ”. Bertolak belakang dengan hipotesis yang dikemukakannya, Kania dan Bacon 2005 menemukan bahwa ternyata institutional ownership berhubungan negatif dengan dividend payout . Sejalan dengan hasil penelitian Kania dan Bacon 2005, Baker et al. 2001 dalam Ismiyati dan Hanafi 2003 menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin kuat kontrol eksternal terhadap perusahaan dan mengurangi agency cost . Hasil penelitian Putri dan Nasir 2006 juga menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Hal ini disebabkan semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin kuat kontrol eksternal terhadap perusahaan sehingga mengurangi kos keagenan dan perusahaan akan cenderung memberikan dividen yang rendah. Lebih jauh, penelitian yang dilakukan oleh Kouki dan Guizani 2009 menghasilkan temuan bahwa ada korelasi signifikan negatif antara kepemilikan institusional dan dividen per lembar saham, dan terdapat hubungan signifikan negatif antara kepemilikan oleh negara dan tingkat dividen yang dibagikan kepada para pemegang saham. Selanjutnya Kouki dan Guizani 2009 memberikan argumen atas temuannya tersebut dengan menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan di Tunisia commit to user 41 41 membayarkan dividen yang lebih rendah ketika kepemilikan institusionalnya lebih besar. Hal ini disebabkan karena mayoritas institutional ownership nya adalah bank, dalam hal ini perusahaan perbankan tersebut disamping sebagai shareholders juga sebagai debtholders . Perusahaan-perusahaan atau institusi yang disamping sebagai shareholders juga berperan sebagai debtholders disebut blockholders . Tentu mereka lebih mementingkan membayar bunga bagi mereka sendiri daripada membagikan dividen kepada pemegang saham. Argumen lain yang dapat menjelaskan temuan ini adalah bahwa peran pengawasan investor institusional. Jika para manajer tidak diawasi oleh blockholders ini, mereka dapat mengalihkan sumber daya perusahaan untuk kepentingan mereka sendiri daripada membayarkannya dalam bentuk dividen. Namun demikian, dipihak lain, banyak penelitian yang menghasilkan temuan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Berdasarkan studi empirisnya Moh’d et al 1995 dalam Kania dan Bacon 2005 menemukan bahwa jika kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan bertambah maka dividend payout juga akan bertambah. Temuan tersebut diperkuat oleh Myers dan Bacon 2004. Dengan menggunakan ukuran share turnover untuk institutional ownership , hasil penelitiannya menyatakan bahwa kepemilikan institusional mempunyai pengaruh yang positif terhadap dividend payout pada tingkat signifikansi 1. Dia mendefinisikan bahwa “institutional ownership is the percent of stock held by all reporting institutions as a group” Myers dan Bacon, 2004: 4. Abdelsalam et al. 2008 juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara dividen dengan kepemilikan commit to user 42 42 institusional. Hal yang sama dikemukakan oleh Tandelilin dan Wilberforce 2002 dalam Dewi 2008 yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa kepemilikan institusional lebih mementingkan stabilitas pendapatan return melalui pembagian dividen. Berdasarkan argumen-argumen teoritik sebagaimana dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis-2 : Kepemilikan institusional Institutional ownership berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. 3. Pengaruh Profitabilitas terhadap Kebijakan Dividen Profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Sartono 2000 mengemukakan bahwa profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba, yang dikaitkan dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Selanjutnya Nugroho 2004 mendefinisikan profitabilitas sebagai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba setelah pajak earnings after tax berdasarkan total aset perusahaan. Berdasarkan definisi tersebut maka pengukuran profitablitas dapat dilakukan dengan menggunakan dua macam rasio, yaitu Return on Investment atau Return on Assets ROIROA dan Return on Equity ROE. Studi empiris untuk menguji keterkaitan antara profitabilitas dengan kebijakan dividen telah banyak dilakukan, namun menghasilkan temuan yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Chang dan Rhee 1990 menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. commit to user 43 43 Temuan ini diperkuat oleh Dewi 2008 yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi profitabilitas semakin rendah kebijakan dividen. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa apabila perusahaan memiliki laba yang semakin tinggi maka perusahaan akan menggunakan laba tersebut untuk kegiatan operasi perusahaan atau untuk investasi sehingga akan mengurangi dividen yang dibagikan kepada pemegang saham. Demikian halnya dengan Kania dan Bacon 2005, yang menyatakan bahwa profitabilitas diukur dengan ROE berhubungan signifikan negatif dengan dividend payout ratio . Dalam penelitian ini, profitabilitas diukur dengan ROA. Ang 1997 menyatakan bahwa Return on Assets ROA adalah tingkat keuntungan bersih yang berhasil diperoleh perusahaan dalam menjalankan operasionalnya. ROA diukur dari laba bersih setelah pajak earning after tax terhadap total aset yang dimiliki perusahaan, yang mencerminkan kemampuan perusahaan tersebut dalam penggunaan investasinya untuk menjalankan operasinya dalam rangka menghasilkan laba. ROA, yang merupakan salah satu ukuran profitabilitas, juga mencerminkan efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva tetap yang digunakan untuk operasi. Dengan demikian semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin baik karena menghasilkan tingkat pengembalian investasi return yang semakin tinggi. Return yang diterima oleh investor dapat berupa pendapatan dividen dividend yield , dan capital gain . Dengan demikian meningkatnya ROA akan mengakibatkan meningkatnya pendapatan dividen, terutama dividen kas. commit to user 44 44 Parthington 1989 secara eksplisit mengemukakan bahwa profitabilitas earnings after tax dan aset merupakan variabel yang penting sebagai dasar pertimbangan para manajer perusahaan dalam rangka menentukan kebijakan dividen. Meningkatnya profitabilitas yang dicapai oleh suatu perusahaan akan meningkatkan harapan investor untuk memperoleh pendapatan dividen yang lebih tinggi pula. Oleh karena dividen diambilkan dari keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan, maka keuntungan tersebut akan mempengaruhi besarnya dividend payout . Perusahaan yang memperoleh keuntungan cenderung akan membayar porsi keuntungan yang lebih besar sebagai dividen. Semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka akan semakin besar pula kemampuan perusahaan membayar dividen Damayanti dan Achyani, 2006. Berdasarkan studi empiris yang telah dilakukannya Jensen et al. 1992 mengemukakan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Sejalan dengan temuan Jansen, Hanafi 2004 menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai aliran kas atau profitabilitas yang baik bisa membayar dividen atau meningkatkan dividen. Hal yang sebaliknya akan terjadi jika aliran kas tidak baik. Dengan demikian, perusahaan yang mempunyai profitabilitas yang tinggi akan menarik minat investor untuk menginvestasikan dananya dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang tinggi pula. Puspita 2009 melalui studi empirik terhadap perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2005-2007 juga menemukan bahwa ROA berpengaruh positif dan signifikan terhadap dividend payout . commit to user 45 45 Berdasarkan beberapa argumen tersebut di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis-3 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. 4. Pengaruh Financial Leverage terhadap Kebijakan Dividen Dalam Financial Accounting Standard Boards FASB didefinisikan bahwa utang liability sebagai pengorbanan manfaat ekonomi yang kemungkinan besar akan terjadi di masa yang akan datang akibat adanya keharusan badan usaha tertentu pada saat ini untuk mentransfer aktiva dan memberikan pelayanan kepada badan usaha lain di masa yang akan datang sebagai akibat dari transaksi dan peristiwa masa lalu Smith dan Watts 1992. Kebijakan utang diperoleh dengan pembagian antara total utang baik current liability maupun long term liability dan total assets yang dimiliki oleh perusahaan. Agency problems terkait struktur modal disebabkan karena agency problem tidak hanya timbul antara manajer dengan pihak pemegang saham saja malainkan juga bisa timbul antara pihak pemegang saham dengan para kreditor. Kreditor selain memiliki klaim terhadap aliran eranings perusahaan dalam bentuk pembayaran bunga dan pokok pinjaman, juga terhadap aset perusahaan apabila perusahaan dinyatakan bangkrut. Namun demikian, pemegang saham memiliki kontrol, yaitu melalui manajemen, terhadap keputusan-keputusan penting perusahaan yang mempengaruhi profitabilitas dan risiko perusahaan. Sedangkan kreditor tidak demikian, mereka hanya meminjamkan dana kepada perusahaan dengan tingkat bunga rate of return yang ditetapkan di muka. commit to user 46 46 Sebagai contoh, para pemegang saham, melalui manajemen, bisa menyebabkan perusahaan memutuskan untuk melaksanakan sebuah proyek investasi baru yang memiliki tingkat risiko yang lebih besar dari yang diharapkan oleh kreditor dan dengan ekspektasi keuntungan yang lebih besar pula. Kenaikan risiko ini akan menyebabkan return yang diharapkan required rate of return atas utang semakin tinggi yang pada gilirannya akan membuat nilai atas surat utang yang diterbitkan perusahaan menurun. Jika proyek investasi berhasil, maka semua keuntungan akan mengalir kepada pemegang saham, karena return yang diterima kreditor tetap. Sebaliknya jika proyek gagal, maka kreditor menerima bagian atas kegagalan tersebut. Lebih jauh pemegang saham mungkin bisa melakukan apa yang disebut dengan wealth transfer dari kreditor kepada pemegang saham selain risk transfer sebagaimana digambarkan di atas, misalnya melalui pembayaran dividen kepada pemegang saham. Baker et al. 2001 berargumen bahwa pembayaran dividen yang tinggi menyebabkan utang menjadi lebih beresiko dan karenanya akan menurunkan nilainya. Cara yang bisa ditempuh oleh kreditor untuk melindungi dirinya dari upaya-upaya tersebut adalah dengan membuat perjanjian utang yang bersifat membatasi restrictive debt covenant termasuk di dalamnya pembatasan terhadap pembayaran dividen kepada para pemegang saham. Karena kreditor melalui perjanjian utang akan cenderung membatasi dividen maka diharapkan terdapat hubungan negatif mengenai agency problem yang terjadi antara kreditor dengan pemegang saham dengan dividen. Mollah 2000 dalam Sugeng 2009 mengemukakan bahwa perusahaan yang memiliki commit to user 47 47 lebih banyak aset yang bersifat collateral memiliki agency problem yang lebih kecil antara kreditor dengan pemegang sahamnya karena aset demikian bisa berfungsi sebagai jaminan atas utang. Mengingat collateralizable assets berfungsi memperkecil agency problem maka diharapkan collateralizable assets yang dimiliki perusahaan akan berhubungan positif dengan dividen. Disamping itu, juga ada kecenderungan bahwa long-term debt yang diperoleh perusahaan berpengaruh negatif terhadap jumlah dividen yang dibayarkan. Alasannya adalah bahwa bagi perusahaan-perusahaan dengan tingkat leverage tinggi maka pembayaran dividend payout yang tinggi akan memperbesar beban tetap perusahaan. Atas dasar pemikiran tersebut, perusahaan-perusahaan yang demikian secara sengaja mungkin akan mempertahankan kebijakan dividend payout yang rendah guna menghindari adanya penurunan dividen atau bahkan tidak membayar dividen di masa-masa yang akan datang. Demikian pula, bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki risiko operasi atau instabilitas operating earnings juga mungkin lebih baik memilih kebijakan dividend payout rendah. Sugeng 2009 berargumen bahwa mengingat semakin besar porsi modal perusahaan yang berasal dari kreditor utang semakin tinggi intensitas monitoring yang dilakukan oleh pihak kreditor terhadap perilaku manajemen, maka hal yang demikian ini memberikan kontribusi yang semakin besar pula terhadap pengendalian agency problems antara manajemen dengan pemegang saham, dan pada gilirannya, akan semakin kecil ketergantungan perusahaan kepada dividen sebagai sarana atau mekanisme monitoring. Namun, berdasarkan hasil studi empiris yang telah dilakukannya, Sugeng 2009 menemukan adanya pengaruh commit to user 48 48 positif signifikan struktur modal terhadap kebijakan inisiasi dividen. Ini menunjukkan bahwa perusahaan dengan porsi utang yang lebih besar dalam struktur modal mereka akan membayar dividen pertama yang lebih besar dibanding perusahaan dengan porsi utang yang lebih kecil dalam struktur modalnya. Pada konteks perusahaan-perusahaan di Indonesia, bisa diinterpretasikan bahwa para manajer dari perusahaan-perusahaan public di Indonesia relatif tidak mengindahkan potensi risiko financial distress akibat tingginya financial leverage . Juga dalam konteks pasar modal di Indonesia, diindikasikan bahwa perilaku perusahaan-perusahaan pembiayaan kreditor terutama lembaga perbankan tampaknya cenderung lebih mengutamakan aspek agunan berupa harta jaminan collateralizable assets daripada bentuk-bentuk pengawasan atau sarana monitoring yang lain, misalnya pembatasan-pembatasan dalam bentuk debt covenant perjanjian kredit dan jaminan berupa kelayakan usaha, dalam rangka memperkecil risiko kredit. Ada kesan bahwa agunan terutama berupa harta benda tak bergerak merupakan segalanya dari kreditor dalam melindungi dirinya dari risiko. Hal ini memang sepintas terkesan rasional dari perspektif kreditor karena cara tersebut dianggap paling praktis, murah dan aman. Temuan empiris Sugeng 2009 tersebut memperkuat temuan Kania dan Bacon 2005 serta Myers dan Bacon 2004 yang menyatakan bahwa debt to total assets ratio dan debt to equity berhubungan positif dengan dividend payout ratio .. Perusahaan-perusahaan yang diobservasi dalam penelitian ini mementingkan pembayaran dividen yang lebih tinggi untuk kepentingan mencapai pertumbuhan commit to user 49 49 atau financial leverage . Bahkan dengan pertumbuhan dan utang, perusahaan akan memberikan dividen pertama yang lebih besar. Temuan ini memberikan dukungan yang kuat untuk menempatkan nilai perusahaan pada dividend signaling teori pensinyalan. Penelitian Jensen et al. 1992 didukung oleh Fitrijanti dan Hartono 2002, Ismiyanti dan Hanafi 2003, Dewi 2008, dan Kouki dan Guizani 2009 menyatakan bahwa kebijakan utang mempengaruhi kebijakan dividen secara negatif. Perusahaan dengan tingkat utang yang tinggi akan berusaha mengurangi agency cost of debt dengan mengurangi utangnya. Pengurangan utang tersebut dapat dilakukan dengan membiayai investasinya dengan sumber dana internal sehingga pemegang saham akan merelakan dividennya untuk membiayai investasinya. Berdasarkan argument-argumen teoritik tersebut di atas, maka pengaruh financial leverage terhadap kebijakan dividen dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis-4 : Kebijakan utang financial leverage berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. 5. Pengaruh Ukuran Perusahaan Firm Size terhadap Kebijakan Dividen. Perusahaan yang besar biasanya mempunyai akses yang lebih baik ke pasar modal dan lebih mudah untuk mendapatkan dana dengan biaya yang lebih rendah, juga perusahaan dengan ukuran ini lebih sedikit kendala yang dihadapinya bila dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Selain itu perusahaan commit to user 50 50 besar lebih memungkinkan untuk membayar dividen lebih tinggi kepada para pemegang saham Farinha 2002. Ada beberapa acuan yang dapat digunakan untuk menentukan ukuran perusahaan, misalnya, penjualan, aset, dan kapitalisasi. Fitrijanti dan Hartono 2002 mendefinisikan ukuran perusahaan firm size sebagai nilai buku total asset, sedangkan Farinha 2002 menggunakan log natural dari total aktiva untuk menentukan ukuran perusahaan. Secara operasional log natural dari total aktiva tersebut diukur dari natural logaritma nilai pasar ekuitas perusahaan pada akhir tahun, yaitu jumlah saham yang beredar pada akhir tahun dikali dengan harga pasar saham akhir tahun Siregar 2005. Secara matematis Hatta 2002 merumuskan log natural dari total aset untuk mengukur size tersebut sebagai berikut: Studi empiris terkait hubungan antara ukuran perusahaan firm size dengan kebijakan dividen telah banyak dilakukan, namun menghasilkan temuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Smith Watts 1992 menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara equity to value EV dengan ukuran perusahaan, dan ukuran perusahaan secara signifikan memiliki hubungan positif dengan kebijakan dividen, sedangkan penelitian Gaver Gaver 1993 menunjukkan bahwa perusahaan yang bertumbuh secara signifikan merupakan perusahaan yang lebih besar. Koefisien variabel size positif signifikan menjelaskan kebijakan pendanaan. Hasil penelitian Hartono 1999 menunjukkan Size = Ln of Total Asset commit to user 51 51 bahwa variabel kontrol aktiva tetap memiliki hubungan positif dengan kebijakan pendanaan, sehingga disimpulkan bahwa sesuai dengan secured debt hypothesis , semakin besar aktiva tetap perusahaan semakin mudah perusahaan tersebut memperoleh utang lebih besar. Namun sebaliknya, Fitrijanti dan Hartono 2002 mengemukakan bahwa perusahaan bertumbuh memiliki leverage dan kebijakan dividen lebih rendah relatif terhadap perusahaan tidak bertumbuh, perusahaan bertumbuh cenderung merupakan perusahaan besar, dan bahwa perusahaan besar memiliki korelasi negatif dengan kebijakan dividen. Chang dan Rhee 1990 melakukan penelitian empiris dengan menghasilkan simpulan bahwa suatu perusahaan besar yang sudah mapan akan memiliki akses yang mudah menuju pasar modal, sementara perusahaan yang baru dan yang masih kecil akan banyak mengalami kesulitan untuk memiliki akses ke pasar modal. Karena kemudahan akses ke pasar modal cukup berarti untuk fleksibilitas dan kemampuannya untuk memperoleh dana yang lebih besar, sehingga perusahaan mampu memiliki rasio pembayaran dividen yang lebih tinggi daripada perusahaan kecil. Hasil penelitian Smith dan Wattz 1992 menunjukkan dasar teori atas pengaruh ukuran size perusahaan terhadap dividend payout yang sangat kuat. Selanjutnya Farinha 2002 menyatakan bahwa perusahaan besar dengan akses pasar yang lebih baik seharusnya membayar dividen yang tinggi kepada pemegang sahamnya, sehingga ukuran perusahaan dan pembayaran dividen memiliki hubungan yang positif. Hatta 2002 mengidentifikasi bahwa ukuran atau besarnya perusahaan memainkan peranan dalam menjelaskan rasio pembayaran dividen dalam commit to user 52 52 perusahaan. Perusahaan yang besar cenderung untuk lebih mature dan mempunyai akses yang lebih mudah dalam pasar modal. Hal tersebut akan mengurangi ketergantungan mereka pada pendanaan internal, sehingga perusahaan akan memberikan pembayaran dividen yang tinggi. Argumen yang dikemukakan Hatta 2002 menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki aset besar cenderung membayar dividen yang besar kepada pemegang saham untuk menjaga reputasi di kalangan investor. Penelitian Fitrijanti dan Hartono 2002 menunjukkan hasil yang kontradiktif, yang menyatakan bahwa variabel ukuran perusahaan pada seluruh model kebijakan dividen memiliki koefisien negatif signifikan tidak signifikan. Ini berarti konsisten dengan hipotesis kontrak yang menyatakan bahwa perusahaan bertumbuh memiliki kebijakan pendanaan dan dividen relatif lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan tak bertumbuh dan hipotesis packing order . Hipotesis packing order adalah hipotesis yang menyatakan bahwa perusahaan yang profitable memiliki dorongan membayar dividen relatif rendah dalam rangka memiliki dana internal lebih banyak untuk membiayai proyek- proyek investasinya. Bahkan bagi perusahaan bertumbuh, peningkatan dividen dapat menjadi berita buruk karena diduga perusahaan telah mengurangi rencana investasinya Hartono 1999. Penelitian Chang dan Rhee 1990 menyebutkan bahwa perusahaan besar cenderung membagikan dividen yang lebih besar daripada perusahaan kecil, karena perusahaan yang memiliki aset besar lebih mudah memasuki pasar modal. Sedangkan perusahaan yang memiliki aset sedikit akan cenderung membagikan commit to user 53 53 dividen yang rendah karena laba dialokasikan pada laba ditahan untuk menambah aset perusahaan. Berdasarkan argument-argumen teoritik tersebut di atas, maka pengaruh ukuran perusahaan terhadap kebijakan dividen dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis-5 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen.

C. Kerangka Berfikir