C. Ciri-ciri Budaya politik
Affan Gaffar 1999 dalam bukunya Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi mengatakan bahwa budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri
dominan yaitu sebagai berikut.
1. Hierarki yang tegas
Sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat hierarkis yang menunjukkan adanya pembedaan atau tingkatan atas dan bawah.
Stratifikasi sosial yang hierarkis
ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat kebanyakan. Masing-masing terpisah melalui tatanan hierarkis yang sangat
ketat. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada cara penguasa memandang dirinya dan
rakyatnya. Mereka cenderung merendahkan rakyatnya. Karena penguasa sangat baik, pemurah, dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh,
tunduk, setia, dan taat kepada penguasa negara. Bentuk negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa membentuk semua
agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan
kurang didengar aspirasinya.
2. Kecenderungan patronage
Kecenderungan patronage, adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, baik di kalangan penguasa dan masyarakat maupun
pola hubungan patron-client. Pola hubungan ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu patron dan client, terjadi interaksi timbal balik dengan
mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan,
perlindungan, perhatian dan kasih sayang, bahkan materi. Kemudian, client memiliki sumber daya berupa dukungan, tenaga, dan kesetiaan. Menurut
Yahya Muhaimin, dalam sistem bapakisme hubungan bapak-anak, ”bapak” patron dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan
kebutuhan material dan bahkan spiritual serta pelepasan kebutuhan emosional ”anak” client. Sebaliknya, para anak buah dijadikan tulang
punggung bapak.
3. Kecenderungan Neo-patrimonialistik
Dikatakan neo-patrimonalistik karena negara memiliki atribut atau kelengkapan yang sudah modern dan rasional, tetapi juga masih
memperhatikan atribut yang patrimonial. Negara masih dianggap milik pribadi atau kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah
keluarga. Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonalistik penyelenggaraan pemerintah berada di bawah kontrol langsung pimpinan
negara. Adapun menurut Affan Gaffar, negara patrimonalistik memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut.
a. Penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan umum
dan kepentingan publik. b.
Rule of law lebih bersifat sekunder apabila dibandingkan dengan kekuasaan penguasa.
c. Kebijakan seringkali bersifat partikularistik daripada bersifat
universalistik. d.
Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya lebih besar Rini
Setyani dan Dyah Hartati, 2011:8-10.
D. Faktor-faktor berkembangnya budaya politik
Budaya politik yang berkembang dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan budaya
politik masyarakat. b.
Tingkat ekonomi masyarakat, yaitu makin tinggi tingkat ekonomi atau kesejahteraan masyarakat, partisipasi masyarakat pun makin besar.
c. Reformasi politikpolitical will, yaitu semangat merevisi dan mengadopsi
sistem politik yang lebih baik. d.
Supremasi hukum, yaitu adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas.
e. Media komunikasi yang independen, yaitu media tersebut berfungsi sebagai
kontrol sosial, bebas, dan mandiri Suyatmi dan Henny Hendrastuti, 2011:12.
E. Budaya Politik yang Berkembang di Indonesia
Berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi, dan kecakapan politik yang dimiliki, orientasi warga negara terhadap kehidupan politik memengaruhi
penggolongannya ke dalam kebudayaan politik. Suatu model budaya politik