Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850 – 1940

89 dengan penerapan sistem eksploitasi tanah yang menyengsarakan rakyat. Mereka tak jarang menyerang tuan tanah, penyewa tanah, rentenir, petinggi, dan para petani serta pedagang kaya.Perlawanan para bandit di masa lalu tak terorganisasi dengan baik, kerap muncul sebagai letupan kecil: sesaat ada dan kemudian lenyap. Namun, di kemudian hari, peran mereka turut menyulut lahirnya beberapa bentuk perlawanan lain yang lebih terorganisir, mapan, dan koordinatif, hingga bangsa Indonesia meraih kemerdekaan

d. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850 – 1940

Studi Kuntowijoyo 2002 mengenai perubahan dan kelangsungannya di Madura ini berbicara mengenai kekuatan-kekuatan alam dan sejarah memengaruhi masyarakat di tiga kerajaan pribumi: Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep selama satu abad sebelum Indonesia merdeka. Rentangan waktu dalam studi ini, 1850-1940, tidaklah secara langsung menunjuk pada suatu periodisasi, sebab dalam perkembangan sosial dan sejarah tidak ada permulaan maupun akhir. Batasan waktu yang dipilih di sini lebih mengarah pada kemudahan mencari sumber.Tidak jarang studi ini bergerak maju maupun mundur melewati batas waktu yang ditetapkan.Selain itu, tahun 1850 menjadi tanda batas dari dasawarsa penguasa-penguasa pribumi terpaksa menyerah kepada penguasa kolonial Belanda.Belanda memperkenalkan sebuah sistem pemerintahan ganda dengan menetapkan pengangkatan patih atau perdana menteri rijksbestierder di Kerajaan Bangkalan 1847 dan Sumenep 1854.Kemudian menyusul diterapkannya kekuasaan langsung di Kerajaan Pamekasan tahun 1858.Tahun 1940, sebagai batasan waktu terakhir, merupakan tahun-tahun terakhir peranan Belanda sebelum pendudukan Jepang di Asia Tenggara. Sesuai dengan geografi politik tradisional, Madura adalah sebuah nama yang digunakan untuk sebuah sebuah kerajaan, yang kemudian bernama Bangkalan, di wilayah barat pulau utama Madura. Bagi Belanda, Madura yang tidak subur pada mulanya hanya memiliki nilai ekonomis yang kecil bagi Belanda. Hasil utamanya adalah manusia, yang melakukan migrasi besar-besaran ke Jawa Timur untuk kehidupan yang elbih baik.Madura juga merupakan sumber serdadu kolonial, dan inilah nilai yang utama bagi Belanda.Baru pada pertama abad XIX setelah tahun 1870, Madura memiliki nilai ekonomis besar sebagai 90 pemasok utama garam di seluruh Nusantara, di mana garam menjadi monopoli yang menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Nama Madura oleh Belanda digunakan untuk menggambarkan keseluruhan pulau yang mereka tetapkan sebagai Keresidenan Madura pada tahun 1857. Keresidenan Madura terdiri dari tiga kelompok pulau: 1 pulau utama Madura dan yang berada di sekitar pulau itu, yakni yang berada di sebelah selatan dang tenggara: Pulau Mandangin, Gili Duwa, Gili Bitah, Gili Guwa, Gili Yang, Gili Ginting, Gili Luwak, Puteran dan Pondi; 2 kelompok Pulau Sapudu, Raas, Supanjang, paliat, Sabunten, Sapeken, dan Kangean di sebelah timur Madura; dan 3 jauh dari pantai pulau-pulau itu, ada pulau Solombo di sebelah timur laut dan Bawean di sebelah barat laut Madura. Di Pulau Madura sendiri terdapat tiga kerajaan pribumi: Bangkalan di sebelah barat, Pamekasan di tengah, dan Sumenep di sebelah Timur. Terletak di sebelah pinggir timur laut Jawa, Madura secara geografis, historis, dan kultural merupakan bagian dari Jawa.Perekonomian Madura tergantung dari wilayah produksi padi di Jawa sebagai penyuplai makanan, agar Madura tetap bertahan dan dapat hidup terus.Setelah menikmati kebebasannya yang relatif pendek selama persaingan dinasti pada masa awal Islam di Jawa, Madura tidak berhasil mempertahankan kemerdekaannya melawan kekuatan Mataram. Karena hal itu, akhirnya Belandalah yang menjamin kebebasan kerajaan-kerajaaan Madura dari dominasi Jawa. Pada tahun 1705 Sumenep dan Pamekasan mendapat jaminan dari Belanda dan Bagkalan pada tahun 1743.Belanda kemudian memberikan gelar tertinggi kepada raja-raja di Madura yang disamakan dengan gelar raja-raja di Surakarta dan Yogyakarta, sedangkan kenyataannya dengan pemberian gelar itu, Belanda mennganggap raja-raja Madura sebgai bawahannya. Gelar Sultan dianugerahkan kepada Raja Sumenep pada tahun 1825 – sebiah gelar yang sudah pernah diberikan kepada Raja Bangkalan oleh Letnan Gubernur Inggris, Raffles, pada tahun 1815, dan dikukuhkan kembali oleh Belanda.Belakangan, Raja Pemekasan 1830 dan Raja Bangkalan 1847 diberi gelar panembahan.Seterusnya gelar panembahan lazim digunakan untuk menyebut semua raja-raja di tiga kerajaan pribumi. Belanda selanjutnya memperkuat kontrol politiknya atas Madura dengan menetapkan Keresidenan Madura pada tahun 1857 dengan ibukotanya di Pamekasan, tempat kedudukan Residen Belanda.Belanda menetapkan asisten 91 residen masing-masing di dua kerajaan, Bangkalan dan Sumenep, yang mereka anggap sebagai kabupaten-kabupaten. Pada tahun-tahun berikutnya terlihat sedikit demi seikit Belanda telah menyusutkan lebih jauh kerajaan-kerajaan pribumi sampai akhirnya diputuskan untuk dihapuskan – tahun 1858 Kerajaan Pamekasan, tahun 1883 Sumenep, dan tahun 1885 Bangkalan. Sementara itu, tahun 1864 Belanda telah memaksa Panembahan Bangkalan untuk menjadikan Sampang terpisah sendiri sebagai subregensi atau ronggo yang secara resmi berada di bawah panembahan, tetapi dalam praktik-praktik urusan administrasi ditangani oleh asisten residen Belanda. Setelah tahun 1885 Belanda membagi Madura menjadi empat afedeeling dan empat kabupaten – afdeeling dikepalai asisten residen, dan kabupaten dikepalai oleh Bupati.Jadi, Keresidenan Madura terdiri dari afdeeling-afdeeling dan kabupaten-kabupaten, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Pada tahun 1858 Madura direorganisasi lagi menjadi dua keresidenan: Madura Timur dengan ibukota keresidenan di Pamekasan, dan Madura Barat dengan ibukota keresidenan di Bangkalan, dengan masing-masing keresidenan dikepalai oleh seorang residen Belanda.

1. Pengaruh Ekologi terhadap Sistem Pertanian