Pengaruh Ekologi terhadap Sistem Pertanian

91 residen masing-masing di dua kerajaan, Bangkalan dan Sumenep, yang mereka anggap sebagai kabupaten-kabupaten. Pada tahun-tahun berikutnya terlihat sedikit demi seikit Belanda telah menyusutkan lebih jauh kerajaan-kerajaan pribumi sampai akhirnya diputuskan untuk dihapuskan – tahun 1858 Kerajaan Pamekasan, tahun 1883 Sumenep, dan tahun 1885 Bangkalan. Sementara itu, tahun 1864 Belanda telah memaksa Panembahan Bangkalan untuk menjadikan Sampang terpisah sendiri sebagai subregensi atau ronggo yang secara resmi berada di bawah panembahan, tetapi dalam praktik-praktik urusan administrasi ditangani oleh asisten residen Belanda. Setelah tahun 1885 Belanda membagi Madura menjadi empat afedeeling dan empat kabupaten – afdeeling dikepalai asisten residen, dan kabupaten dikepalai oleh Bupati.Jadi, Keresidenan Madura terdiri dari afdeeling-afdeeling dan kabupaten-kabupaten, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Pada tahun 1858 Madura direorganisasi lagi menjadi dua keresidenan: Madura Timur dengan ibukota keresidenan di Pamekasan, dan Madura Barat dengan ibukota keresidenan di Bangkalan, dengan masing-masing keresidenan dikepalai oleh seorang residen Belanda.

1. Pengaruh Ekologi terhadap Sistem Pertanian

Ekologi tegal di Madura ditandai dengan kurangnya curah hujan, formasi marl napal, tanah liat yang mengandung kapur, formasi batu kapur, dan tiadanya sungai yang berarti. Pada mulanya umumnya permukaan tanah adalah tegal, dengan sedikit sawah tadah hujan dan sangat sedikit sawah basah.Pada pertengahan abad ke-19 hutan tinggal sedikit, dan habis pada permulaan abad ke-20, selain dulu ada oro-oro dan juga rawa.Pohonan yang menonjol adalah kaktus dan siwalan.Di tegal orang menanam palawija, yang pada umumnya adalah jagung.Tembakau juga ditanam di tegal.Ekologi tegal juga cocok untuk beternak sapi yang tidak banyak memerlukan air. Kondisi tanah di Madura yang mengandung batu kapur, kecuali di beberapa daerah, tak banyak memberi kemungkinan produksi padi.Curah hujan amat diperlukan untuk pertanian padi basah dan semakin ke arah timur Pulau Madura curah hujan semakin berkurang.Akibatnya, Madura tidak cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan padi sendiri.Hasil-hasil pangan berupa jagung dan beberapa tanaman lainnya seperti ubi, kentang, dan kacang. Tanaman-tanaman 92 pangan itu dapat ditanam di tiga jenis tanah: sawah basah, sawah tadah hujan, dan tegal. Tegal merupakan jenis tanah yang dominan. Kemungkinan perluasan tanah pertanian terbatas, meskipun pada pertengahan abad XIX beberapa persedian tanah masih ada di sana sini. Dibukanya kembali hutan-hutan untuk permukiman penduduk mengakibatkan persediaan air di dalam tanah menjadi terbatas.Sungai-sungai yang berada di selatan Pulau Madura dan sungai yang lebih kecil di utara, menyediakan sedikit air pada musim kemarau sehingga banyak daerah yang dibiarkan tandus pada musim itu.Irigasi memang telah diusahakan selama masa raja-raja pribumi, dan setelah tahun 1900 Belanda semakin mempercepat usaha- usaha itu.Tetapi iklim yang berubah-ubah acap kali memengaruhi pengolahan tanah – metode dan teknik pertanian yang dipakai ketinggalan jauh dengan petani-petani di Jawa, kecuali yang berhubungan dengan pemupukan.Resiko pertanian seperti itu yang menyebabkan investasi kapital menjadi tinggi dan sering kali kerja terasa sia-sia.Namun, tanaman komersial seperti tebu dan tembakau banyak ditanam di bagian selatan pulau. Perusahaan swasta Eropa telah memperkenalkan tanaman tebu pada tahun 1830-an dan tanaman tanaman tembakau pada tahun 1860-an.

2. Pengaruh Ekologi terhadap Pola Permukiman Penduduk