LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Mengkaji penemuan hukum oleh hakim, maka pembahasannya tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan negara hukum. Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam penjelasan Undang- undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsmen, menjelaskan yang dimaksud negara hukum adalah negara yang dalam segala aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan dan bertanggung-jawab. Filosofi bernegara suatu masyarakat diletakkan pada konstitusinya. Pada umumnya, negara-negara dibentuk oleh masyarakat sebagai reaksi dari tekanan-tekanan yang membawa mereka untuk mandiri dan mempunyai dasar dalam melakukan perhubungan kemasyarakatan, yang kemudian dikenal dengan nama negara dan landasan filosofinya tercantum pada konstitusinya. Konstitusi suatu negara berisikan nilai-nilai yang telah menjadi pegangan hidup suatu masyarakat atau kekuatan-kekuatan yang dianggapnya dapat melanggengkan mereka hidup bermasyarakat 1 . Perkembangan konsep negara hukum yang dianut UUD 1945 mengalami pergeseran karena pengaruh globalisasi di segala bidang 2 . Konsep negara hukum berasal dari negara-negara Anglo Saxon yang dikenal negara 1 H.A. Muin Fahmal, 2006, Peran-peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Yogyakarta : UII Press., hlm., 74 2 UUD 1945 secara tegas mendasarkan rechtstaat sebagai konsep negara hukum. Dengan diubahnya UUD 1945, tidak sertamerta mengubah konsep negara hukum, namun demikian tidak menutup kemungkinan masuk konsep negara hukum yang lain, seperti the rule of law atau common law, sistem yang dianut negara-negara Anglo Saxon. Ciri rechtstaat tetap nampak, yaitu adanya pembagian lingkungan peradilan secara absolut salah satunya Peradilan Tata Usaha Negara. Ciri the rule of law, yaitu adanya equality before the law, dissenting opinion dan oposisi dalam bidang politik, dalam Abdullah, 2008, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Sidoarjo : Program Pascasarjana Univ. Sunan Giri, hlm., 1 commit to user 2 hukum dalam arti the rule of law. Menurut W. Friedmann negara hukum dalam arti rechtstaat tidak selalu sama dengan the rule of law. Negara hukum dalam arti rechtstaat lazim digunakan ahli hukum Eropa Barat, seperti Immanuel Kant dan Frederich Stahl. Rechtstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum 3 . Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas ada legalitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan equality setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Hal ini merupakan conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum sebagai akhir perjuangan. Individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannyapun harus dibatasi 4 . Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Sehubungan dengan hal tersebut, Philipus M.Hadjon, berpendapat bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum. Sebaliknya dalam negara totaliter tidak ada tempat bagi hak asasi manusia 5 . Dalam negara hukum yang pokok adalah adanya pembatasan oleh hukum, dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan, baik yang dilakukan oleh penguasa negara maupun oleh para warga negaranya berdasarkan hukum positif, sehingga terutama warga negaranya terbebas dari tindakan sewenang-wenang penguasa negara. Pembatasan kekuasaan 3 W. Friedmann, 1960, legal theory, London : Steven Son Limited, hlm., 456, dalam Abdullah, 2008, hlm., 1 4 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung : Alumni, hlm., 3. 5 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya : Bina Ilmu, hlm., 71 commit to user 3 pemerintah juga harus tunduk pada kehendak rakyat demokrasi dan haruslah dibatasi dengan aturan-aturan hukum yang pada tingkatan tertinggi disebut konstitusi. Salah satu ciri dan prinsip pokok dari negara hukum dan demokrasi adalah adanya lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak 6 . Hukum pada dirinya mengandung aspek-aspek idiil bilamana dikaitkan dengan fungsi dan tujuan hukum secara filosofis normatif. Isi hukum ditentukan oleh faktor-faktor idiil dan faktor-faktor kemasyarakatan. Faktor idiil adalah pedoman-pedoman yang tetap tentang keadilan yang harus ditaati oleh pembentuk undang-undang atau lembaga-lembaga pembentuk hukum lainnya di dalam menjalankan tugas-tugasnya. Faktor idiil mengandung arti sangat penting mengingat bahwa hal inilah yang merupakan tujuan langsung dari peraturan-peraturan hukum. Tujuan langsung ini tunduk kepada tujuan akhir dari hukum yakni kesejahteraan umum. Faktor-faktor kemasyarakatan yang langsung membentuk hukum berasal dari keadaan aktual di dalam lingkungan masyarakat 7 . Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, mengemukakan kajian terhadap eksistensi dan fungsi hukum tampaknya sarat dengan hal-hal yang berbau idealistis, tetapi yang lebih urgen adalah mempertanyakan ketika hukum sungguh-sungguh harus eksis dalam menangani masalah-masalah aktual. Setidaknya, satu hal yang perlu disepakati bahwa karena adanya salah satu fungsi yang implisit pada hukum sebagai pengendali, hukum adalah faktor terpenting dalam upaya mewujudkan tujuan welfare state 8 . Kegagalan paradigma negara “legal state” yang berprinsip “staatsonthouding” atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik, telah menyebabkan peralihan paradigma negara, dari paradigma negara “penjaga malam” nachtwakerstaat kepada paradigma negara kesejahteraan welfare state . Paradigma negara kesejahteraan, menempatkan warga negara ataupun orang-perorang menjadi subyek hukum, 6 Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm., 5 7 Amir Hamzah, 1988, Pengantar Ilmu Hukum, Malang : Universitas Brawijaya, hlm., 106 8 Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, 1996, Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, hlm., 12 commit to user 4 yang harus dilindungi dan disejahterakan dalam segala aspek kehidupannya. Negara dalam paradigma negara kesejahteraan, menempatkan warga negara sebagai subyek alinea 4 UUD 1945 dan tidak lagi menempatkan warga negara sebagai obyek. Negara mempunyai kewajiban untuk masuk ke dalam wilayah kehidupan warganya, dalam rangka menjalankan fungsinya, melayani dan mengupayakan kesejahteraan bestuurszorg 9 . Berbagai alasan dikemukakan untuk memberikan alasan legitimasi dari tindakan pemerintah dalam campur tangan dengan kepentingan warga masyarakat, seperti alasan kepentingan umum dan alasan kepentingan orang banyak untuk meningkatkan kesejahteraan warga masyarakatnya. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah barang tentu tugas pemerintah tidak hanya tertuju pada bidang pemerintahan saja, melainkan lebih luas lagi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sjachran Basah, pertumbuhan dan perkembangan hukum adminsitrasi negara yang sangat pesat itu, karena tugas pemerintah tidak semata-mata di bidang pemerintahan saja, melainkan juga harus melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara yang dijalankan melalui pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang bersifat multi-kompleks membawa akibat, bahwa pemerintah harus banyak turut campur tangan dalam kehidupan rakyat yang mendalam di semua sektor. Campur tangan tersebut tertuang dalam ketentuan perundang- undangan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pelaksana lainnya yang dilaksanakan oleh administrasi negara, selaku alat perlengkapan negara yang berarti, dalam mengemban tugas tersebut secara aktif administrasi negara harus dapat menjaga dan menjamin, bahwa tindakan- tindakannya tidak melanggar hak dan kewajiban asasi manusia, juga perlu dicari keseimbangan antara kepentingan negara atau yang mewakili kepentingan umum dan kepentingan rakyat atau perorangan 10 . 9 Yos Johan Utama, 2010, Membangun Peradilan Tata Usaha Negara yang Berwibawa, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm., 4 10 Sjachran Basah, 1992, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung : Alumni, hlm., 2-3 commit to user 5 Dalam negara hukum yang mempunyai konsep negara kesejahteraan welfare state , peran pemerintah cq negara terhadap kehidupan warga negaranya menjadi semakin besar, karena tugas pemerintah tidak hanya berurusan dengan penyelenggaraan pemerintahan saja, melainkan pemerintah ikut bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan warga negaranya. Sebagaimana dikemukakan oleh Edi Suharto : Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan welfare atau pelayanan sosial social services . melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Kesejahteraan negara juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri left wing view , seperti marxisme, sosialisme dan sosial demokratik 11 . Menyadari sepenuhnya peran aktif pemerintah dalam kehidupan masyarakat, maka pemerintah perlu mempersiapkan langkah untuk menghadapi timbulnya perbenturan atau perselisihan kepentingan atau sengketa di bidang tata usaha negara antara pemerintah Badan atau Pejabat TUN dengan warga negaranya. Untuk menghadapi sengketa tersebut, dari segi hukum perlu dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara disebut PTUN sebagaimana ditetapkan oleh MPR RI Nomor IVMPR1978, yang dihubungkan dengan Ketetapan MPR RI Nomor IIMPR1983 tentang GBHN. Eksistensi PTUN dikaitkan dengan sistem negara menurut UUD 1945 menampakkan urgensinya dengan tetap menyadari bahwa masih cukup perlu waktu untuk mengembangkan hukum administrasi materiil di Indonesia dalam rangka mewujudkan clean governance. Salah satu fungsi yang penting dari PTUN adalah sebagai alat kontrol terhadap tindakan hukum tata usaha negara yang menimbulkan akibat hukum bagi individu atau badan hukum perdata 12 . PTUN yang eksistensinya merupakan implementasi ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan 11 Edi Suharto, dalam W. Riawan Tjandra, 2009, Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, hlm., 2 12 Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Op. cit., hlm., 44 commit to user 6 Kehakiman, sebagai perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimaksudkan sebagai atau dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat dari tindakan hukum Badan atau Pejabat TUN. Eksistensi PTUN memang sangat dibutuhkan, mengingat dominasi pemerintah untuk mewujudkan tujuan negara tidak dapat lepas dari pergesekan atau benturan-benturan dengan kepentingan warga masyarakat yang perlu diberi pengayoman atau perlindungan hukum. Mengenai campur tangan pemerintah yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat, sebenarnya merupakan gejala umum di negara-negara yang sedang berkembang. Di negara-negara berkembang yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum, dirasakan perlu untuk mencari solusi atau cara- cara yang disatu pihak dapat menjamin kewenangan bertindak dan mengatur dari pemerintah, sedangkan dipihak lain dapat menjamin kewenangan bertindak dan mengatur yang bertambah itu tidak melanggar hak-hak asasi warga negara 13 . Berkaitan dengan hal terssebut, Sjachran Basah, mengemukakan, di sinilah peranan hukum dan Peradilan Administrasi Negara cukup besar. Hal ini karena inti atau hakikat hukum administrasi negara bersifat ganda, yaitu pertama, memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, kedua, melindungi warga negara terhadap sikap tindak administrasi itu sendiri 14 . Selanjutnya Wicipto mengemukakan, dalam negara hukum harus ada suatu lembaga yang diberi tugas dan kewenangan untuk menyatakan dengan suatu putusan, apakah tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah itu berlandaskan atas hukum atau tidak. Perwujudan PTUN diharapkan tidak sekedar hiasan bagi terpenuhinya unsur formal suatu negara hukum, tetapi justru demi tegaknya keadilan, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, perlindungan terhadap harkat kemanusiaan sebagai makhluk Alloh swt yang 13 Wicipto Setiadi, 1994, Hukum Acara Peradilan Tatta Usaha Negara Suatu Perbandingan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 16. 14 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Orasi Ilmiah, Dies Natalis XXIX Universitas Padjadjaran, tanggal 24 September 1986, hlm., 4, dalam Wicipto Setiadi, Ibid. commit to user 7 sama hak dan kewajiban asasinya. Selain itu juga diharapkan benar-benar menjadi lembaga penyaluran dan pengayoman keresahan dan penderitaan rakyat, yang diakibatkan oleh kebijakan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN. Yos Johan Utama, mengemukakan bahwa PTUN sebagai suatu akses keadilan yang melayani manusia, tentunya bukan sekedar mesin hukum yang dibentuk oleh ketentuan hukum normatif saja. Lembaga peradilan merupakan satu institusi yang nampak sebagai suatu organisasi yang mempunyai sifat interdependensi dengan banyak faktor kehidupan hukum dan sosial. Peradilan merupakan kesatuan dan konsep-konsep serta elemen, meliputi budaya hukumnya, norma-normanya, serta gerak pelaksanaan dari lembaga peradilan itu sendiri, maupun faktor-faktor sosial lainnya 15 . Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan tersebut, maka eksistensi PTUN sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman untuk meyelesaikan sengketa di bidang tata usaha negara menjadi sangat penting, pertama, karena Keputusan Tata Usaha Negara selanjutnya disebut KTUN yang disebut ketetapan beschkking yang dikeluarkan atau dibuat oleh Badan atau Pejabat TUN sebagai implementasi dari tindakan TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik perlu mendapatkan penilaian atau pengujian dari PTUN tentang keabsahannya. Kedua, dengan telah dilakukannya pengujian toetsing tentang keabsahan suatu ketetapan beschikking oleh PTUN, berarti PTUN telah dapat melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan pemerintah di bidang TUN. Ketiga, PTUN yang merupakan lembaga pelaksana kekuasaan kahakiman dapat memberikan pengayoman dan perlindungan hukum terhadap pelanggaran kepentingan atau hak-hak warga negara dari sikap tindak pemerintah. Hal tersebut sesuai dengan dasar filosofis pembentukan peradilan tata usaha negara atau peradilan administrasi, sebagaimana dikemukakan Paulus E. Lotulung, juka diruntut ke belakang dan berpegang kepada penjelasan resmi pemerintah pada waktu mengantarkan rancangan undang-undang 15 Yos Johan Utama, Op. cit., hlm., 10. commit to user 8 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29 April 1986, nampak jelas bahwa filosofi pembentukan undang-undangnya adalah dalam rangka menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah dengan warga negaranya akibat dari tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negara dengan tujaun untuk memberikan pelindungan hukum terhadap rakyat, baik perlindungan hukum terhadap hak-hak peroranganindividu maupun hak-hak masyarakat 16 . Dalam hal ide semula yang digulirkan oleh pemerintah pada waktu itu tidak melenceng dari hakikat atau substansi filosofi pembentukannya atau jika benar-benar dapat diwujudkan, maka Peradilan Tata Usaha Negara lebih dapat melakukan kontrol hukum terhadap penggunaan wewenang pemerintahan atau terhadap tindakan-tindakan pemerintahan yang melanggar hak-hak merugikan warga negara dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan cara tersebut, perlindungan hukum terhadap rakyat dari akibat tindakan pemerintahan yang merugikan dapat benar-benar diberkan oleh suatu badan peradilan administrasi yang secara khusus telah diakui eksistensinya oleh Undang-Undang Dasar vide Pasal 24 ayat 1 amandemen ke tiga UUD‟45. Suatu hal yang amat penting dalam negara yang berdasarkan hukum, bahwa tindakan pemerintah yang seharusnya berdasarkan pada undang- undang. Sebagaimana dikemukakan Siti Sundari Rangkuti, undang-undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan dari seluruh kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah 17 . Hal yang memprihatinkan pada kenyataannya tidak semua undang-undang yang menjadi dasar bertindak atau berbuat dari pemerintah baik dan dapat juga terjadi pemerintah yang tidak mengindahkan ketentuan undang-undang sebagai dasar pijakannya. Yuliandri, mengemukakan bahwa berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang, baik sebelum dan pasca amandemen UUD 1945, serta sebelum maupun sesudah ditetapkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 16 Paulus E. Lotulung, 1993, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bandung : Citra Aditya Bhakti, hlm., 135. 17 Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya : Airlangga University Press, hlm., 12. commit to user 9 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, senyatanya masih dihadapkan pada pelbagai problematik, baik secara substansial, teknis yuridis penyusunannya, maupun pelaksanaan dari penegakan hukumnya 18 . Selanjutnya dikatakan ketidakmampuan untuk melaksanakan program legislasi yang sudah disusun bersama antara DPR dengan pemerintah juga menimbulkan problematik. Misalnya untuk tahun 2005-2009, penyelesaian RUU yang pembahasannya dilakukan DPR, kenyataannya jauh dari yang direncanakan 19 . Dalam rentang waktu tahun 2005-2009 disusun sebanyak 284 buah RUU, tahun 2006 ditargetkan 55 buah RUU, namun hanya 12 undang- undang yang disahkan. Dicontohkan permasalahan dalam undang-undang, yaitu pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pada awal berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, mendapat kritik, karena timbulnya permasalahan yuridis dalam penerapannya. Prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya telah dimaknai secara berlebihan oleh daerah, sehingga menimbulkan implikasi yang luas 20 Dalam perkembangan berikutnya, terjadi kecenderungan orang danatau badan hukum yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh terbentuknya undang-undang, beramai-ramai mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD kepada Mahkamah Konstitusi disebut MK, sehingga terkesan Mahkamah Konstitusi merupakan tempat untuk menampung pelbagai kelemahan yang dimiliki undang-undang. Ketua MK mengeluhkan kualitas dari undang-undang yang dihasilkan DPR dan Presiden. Keluhan tersebut diucapkan pada saat pembacaan judicial review atas Pasal 30 ayat 2 sampai ayat 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Tanpa perancangan yang baik, suatu pasal bisa menimbulkan multitafsir di kalangan masyarakat. Jumlah 18 Yuliandri, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 3-4. 19 httpwww.hukumonline.com, diakses tanggal 28 Desember 2005, dalam Yuliandri 2009, hlm., 6. 20 Ibid.,hlm., 8. commit to user 10 perkara pengujian undang-undang sejak tahun 2003-2006 yang diajukan ke MK 91 buah 21 . Moh. Mahfud. MD, mengemukakan, meskipun reformasi sudah dijalankan, pembangunan tertib hukum belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Masih adanya peraturan perundang-undangan yang bermasalah baik secara vertikal maupun horizontal. Di sisi lain, ada kesan bahwa pembentukan hukum kurang terkoordinasi dengan baik, menyangkut materi muatan maupun teknis prosedural pembentukannya. Sejauh ini, ada beberapa problem yang teridentifikasi berkontribusi terhadap cengkarutnya bidang legislasi. Pertama, undang-undang sebagai produk legislasi belum memadai secara kualitas, sehingga kurang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Kedua, belum terpenuhinya target jumlah penyelesaian RUU yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional Prolegnas. Ketiga, proses pembahasan RUU dianggap kurang transparan, sehingga sulit diakses oleh publik. Keempat, masih lemahnya tingkat koordinasi di antara alat kelengkapan DPR dalam penyusunan dan pembahasan suatu RUU. Problem-problem itu kemudian menumbuhkan kesan bahwa pembentukan hukum kurang dipersiapkan dengan baik, sehingga banyak undang-undang yang tidak memenuhi asas- asas pembentukan undang-undang atau tidak layak sebagai undang- undang. Akibatnya, banyak undang-undang yang bukannya mengatasi masalah, tetapi justru menimbulkan problem baru di lapangan. Entah karena tidak dapat diimplementasikan atau tumpang tindih 22 . Antonius Sudirman, mengemukakan tidak dapat disangkal bahwa tidak ada undang-undang yang sempurna atau lengkap. Pasti saja ada kekurangan atau kelemahannya. Secara umum dapat dikemukakan bahwa ada dua kelemahan pokok yang potensial terdapat dalam perundang-undangan. Pertama, dari segi perumusannya terkadang kurang lengkap, jelas dan konkret. Kedua, dari aspek muatan materinya terkadang tidak relevan lagi dengan realitas sosial 23 . Pendapat yang sama dikemukakan Van Apeldorn, sesuai dengan keyakinan umum bahwa undang-undang tidak pernah lengkap, 21 Ibid., hlm., 10. 22 Moh. Mahfud. MD, Mengawal Arah Politik Hukum dari Prolegnas Sampai Judicial Review, Makalah pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret UNS Surakarta, di Hotel Sunan, Solo, Sabtu, 20 Februari 2010. 23 Antonius Sudirman, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku Behavioral Jurisprudence Kasus HakimBismar Siregar, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 57. commit to user 11 jelas dan tuntas mengatur kehidupan masyarakat 24 . Menurut Ch. J. Enschede, bahwa undang-undang bukan merupakan endapan sistem nilai yang koheren. Seluruh perundang-undangan tidak pernah merupakan satu keseluruhan. Undang-undang berasal dari kurun waktu kebudayaan yang berbeda dan merupakan endapan pendapat, perbedaan, dan kompromi politik yang acapkali berhubungan jauh dengan problematis kini dan nanti. Materi yang sama dalam kurun waktu setengah abad atau satu abad tunduk pada peraturan yang bertumpu atas titik tolak yang berlawanan secara diametral 25 Eksistensi PTUN dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara hanya sebatas melakukan pengujian terhadap KTUN yang disengketakan para pihak dari segi hukumnya saja rechtsmatigheid . Sehubungan dengan hal tersebut, Y.Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, mengemukakan sebagai ciri utama Pengadilan Administrasi Negara juga disebut PTUN salah satunya adalah wewenang hakim administrasi terbatas hanya penilaian dan pertimbangan jugdment, beoordelling tentang yuridiktas rechtsmatigheid, kesesuaian dengan hukum dari tindak hukum administrasi negara yang ditentang 26 . Pengujian dari segi hukum dilakukan dengan menilai apakah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku in strijd met de wet dan asas-asas umum pemerintahan yang baik 27 . Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika : a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang bersifat proseduralformal b. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang bersifat materialsubstansial 24 J.L.J. Van Apeldorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta , Pradnya Paramita, hlm., 112. 25 W. Van Geven, 1990, Kebijaksanaan Hakim, Terjemahan Hartini Tranggono, Jakarta : Airlangga, hlm., 108. 26 Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Op. cit., hlm., 21. 27 Lihat Pasal 53 ayat 2 huruf a, b, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. commit to user 12 c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang 28 . Keputusan Tata Usaha Negara disebut KTUN yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang onvoegdheid disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan bevoegdheidgebreken yang meliputi : a. Onbevoegdheid ratione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang mengeluarkannya b. Onbevoegdheid ratione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya geografis c. Onbevoegdheid ratione temporis, yaitu Badan atau Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan KTUN, misalnya karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, di samping bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam penjelasan Undang- undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tugas hakim PTUN adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, terutama dalam pengujian terhadap KTUN atau 28 Lihat penjelasan Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. commit to user 13 ketatapan beschikking yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas- asas umum pemerintahan yang baik atau tidak. Pengujian yang dilakukan oleh hakim PTUN adalah sebatas penerapan hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sengketa tata usaha negara. Kewenangan hakim PTUN hanya sebatas menguji keabsahan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dari segi penerapan hukum saja rechtmatigheid . Jazim hamidi, mengemukakan bahwa urgensi keberadaan Asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak disebut AAUPPL, di samping sebagai ”pedoman” bagi administrasi negara dalam menjalankan service public, ia merupakan ”alat uji” yang dapat digunakan oleh hakim administrasi negara 29 . W. Riawan Tjandra, mengemukakan, penjelasan Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 sebelum direvisi menyebutkan pengadilan dalam menguji dari segi hukum KTUN beschikking, administrative act yang menjadi obyek sengketa kompetensi absolut PTUN akan melakukan : a. Melihat fakta yang relevan yang telah dikumpulkan b. Mencocokkannya dengan rumusan dalam peraturan dasarnya Penjelasan tersebut mempersempit dasar pengujian KTUN yang terkesan hanya dapat mempergunakan dasar pengujian berdasarkan norma hukum tertulis. Hal itu disebabkan istilah hukum dipersempit menjadi rumusan dalam peraturan dasarnya yang konotasinya hanya menyangkut norma hukum tertulis. Hal itu menimbulkan kesan bahwa pengujian hakim berdasarkan AAUPB tidak diberikan ruang gerak yang memadai karena adanya penyempitan makna hukum dalam penjelasan Pasal 53 ayat 2 UU No 5 Tahun 1986 sebelum revisi 30 . Berkaitan dengan hal tersebut, Muchsan, mengemukakan sekarang ini AAUPB ABBB telah ditempatkan sebagai norma hukum dalam penjelasan Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, sehingga hal itu justru membatasi hakim. Seharusnya, AAUPB tetap sebagai etika, tidak perlu 29 Jazim Hamidi, 1999, Penerapan Asas-asas Umum Penyelengaraan Pemerintahan yang Layak AAUPPL di Lingkungan Peradilan Administrasi Negara, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 11 30 W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 140. commit to user 14 dimasukkan dalam undang-undang, sehingga bisa menjadi ruang diskresi bagi hakim dalam menguji KTUN 31 . W.Riawan Tjandra, sependapat dengan Muchsan, yaitu AAUPB lebih baik tetap tumbuh dan berkembang dalam bentuk norma hukum tak tertulis sebagai code of ethics dari Badan atau Pejabat TUN. Hal itu akan memberikan ruang leluasa bagi hakim dan praktek PTUN untuk menggali dan menemukan AAUPB yang lebih sesuai dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Di samping itu, melalui putusannya hakim dapat memberikan AAUPB sebagai norma hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara yurisprudensial 32 .Muchsan sehubungan dengan eksistensi AAUPB dalam sistem pengujian terhadap KTUN, mengemukakan mengenai perlunya mengacu pada AAUPB yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, tidak harus sepenuhnya mengacu pada AAUPB yang bersumber dari budaya bangsa lain. Contoh asas menghormati pandangan hidup di Belanda, yaitu samen leven dihormati sebagai bagian dari pandangan hidup, padahal tidak dapat diterapkan untuk budaya bangsa Indonesia 33 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Undang-undang sebagai landasan untuk bertindak dari pemerintah masih banyak menimbulkan problematik. Sehubungan dengan hal tersebut E. Utrecht, pernah mengemukakan, Indonesia sampai sekarang masih banyak ditemukan praktik Badan atau Pejabat TUN mengesampingkan opzij zetten peraturan perundang-undangan berasal dari jaman kolonial tidak sesuai dengan keadaan sosial sekarang 34 . Pengesampingan peraturan perundang-undangan pada masa yang akan datang pasti masih akan berlanjut, mengingat Mahkamah Agung Republik Indonesia telah membuka peluang untuk melakukan pengujian toetsingrecht terhadap KTUN yang disengketakan 35 .Pendapat Marshall, 31 Muchsan, dalam W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 142. 32 W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 142. 33 Muchsan, dalam W.Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 146. 34 E. Utrecht, 1957, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta : Balai Buku Indonesia, hlm., 47. 35 Lihat pada Juklak M.A. Nomor 052Td. TUNIII1992, 24 Maret 1992. commit to user 15 sehubungan pengujian hakim, sebagaimana dikutip Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, mengemukakan : ” it is one of the porpuses of written constitution to define end limit the powers of legislature. The legeslature can not be permitted to pass statutes contrary to constitution, if the later is to prevail as superior law. A court avoid choosing betwwen the constitution and a conflicting statute when both are relevant to a case which the court is ask to decide. Since the constitution is paramount law, judges have to choice but to prefer it to refuse to give effect to teh later” Menurut Marshall, hakim dapat menguji peraturan perundang- undangan yang ada dan menyatakan bahwa undang-undang negara bagian sebagai undang-undang yang tidak sah dan bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat. Hal itu dilakukan demi tegaknya hukum dan keadilan dalam menangani kasus konkret yang dihadapi hakim 36 . Pengujian yang dilakukan oleh hakim PTUN terhadap keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, diatur dalam Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN dan telah diubah dengan Undang- undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Pengujian hakim PTUN yang didasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, Indroharto mengemukakan, berkaitan dengan pengajuan gugatan dalam Pasa 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebelum direvisi, bahwa rumusan Pasal 53 tersebut lebih luas daripada rumusan dasar gugatan dalam artikel 8 Wet AROB. Hal tersebut, karena kesulitan untuk menentukan kedudukan hukum dari asas-asas umum pemerintahan yang baik AAUPB atau yang dikenal dalam bahasa Belanda sebagai Algemene beginselen van behoorlijke bestuur atau dalam bahasa Inggris The Principles of good administration, Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut pada akhirnya direvisi melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. 36 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Yogyakarta : UII Press, hlm., 110. commit to user 16 Sehubungan dengan kedudukan hukum dari AAUPB dalam sistem hukum acara PTUN sebelum dilakukan amandemen atas Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Indroharto menyatakan bahwa AAUPB harus dianggap secara diam-diam telah terkandung pada Pasal 53 ayat 2 huruf a dengan nama KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Praktik PTUN selama ini menunjukkan bahwa beberapa macam AAUPB yang merupakan asas-asas hukum tak tertulis yang bersumber dari doktrin ilmu hukum administrasi negara tersebut telah diberikan kedudukan hukum melalui yurisprudensi, antara lain asas persamaan, asas kepastian hukum dan asas fair play 37 . Selanjutnya W. Riawan Tjandra mengemukakan, Pasa 53 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 telah menempatkan AAUPB secara yuridis normatif sebagai dasar gugatan di PTUN. Penjelasan Pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan jenis-jenis AAUPB yang dapat digunakan sebagai dasar gugatan di PTUN yang menunjuk pada asas-asas umum penyelenggaraan negara AAUPN yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Penempatan AAUPB sebagai landasan normatif pengajuan gugatan di PTUN tersebut, bisa dinilai sebagai suatu upaya untuk mengubah asas-asas yang semula tak tertulis menjadi norma hukum positif yang bersifat tertulis. AAUPB yang dikenal dalam ilmu hukum administrasi negara sebenarnya menjadi pedoman bagi penggunaan wewenang jabatan termasuk diskresi Badan atau Pejabat TUN, sehingga sifatnya tak tertulis dan selalu berkembang secara dinamis. Kebebasan hakim dalam menguji keabsahan KTUN tidak perlu dibatasi oleh rincian secara ketat jenis-jenis AAUPB, sehingga hakim dapat melakukan penemuan hukum untuk mengembangkan norma-norma hukum pengawasan bagi Badan atau Pejabat TUN dalam menggunakan wewenang tata usaha negaranya 38 . 37 Indroharto, dalam W. Riawan Tjandra, Op.cit., hlm., 7-8. 38 W. Riawan Tjandra, Op. cit., hlm., 8-9. commit to user 17 Asas-asas umum pemerintahan yang baik yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut pada awalnya ditujukan untuk para penyelenggaran negara secara keseluruhan, berbeda dengan asas- asas dalam AAUPL yang sejak semula hanya ditujukan pada pemerintah dalam arti sempit, sesuai dengan istilah ” bestuur ” pada algemeen beginselen van behoorlijke bestuur , bukan regering atau overheid, yang mengandung arti pemerintah dalam arti luas. Seiring dengan perjalanan waktu, asas-asas dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam proses peradilan di PTUN, yaitu setelah adanya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN 39 . Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, mengatur asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan dimasukkannya sebagian unsur-unsur asas-asas umum pemerintahan yang layak menjadi kaidah normatif. Selanjutnya Undang- undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, juga mereduksi asas- asas umum pemerintahan yang layak sebagai dasar pengujian KTUN 40 . Penegasan pengaturan asas-asas umum pemerintahan yang baik AAUPB dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagai dasar pengujian bagi hakim PTUN terhadap keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, berarti memberikan batas ruang gerak bagi hakim PTUN, karena AAUPB sudah merupakan suatu norma yang harus dipatuhi oleh hakim. Pengujian oleh hakim hanya sebatas yang telah ditentukan dalam penjelasan Pasal 53 ayat 2. Keadaan tersebut menimbulkan kontradiksi dalam kaitannya dengan tugas hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, serta hakim dilarang untuk menolak perkara yang diajukan para pihak dengan dalih hukum kurang atau tidak jelas, melainkan hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, seperti diamanatkan dalam undang 39 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 255. 40 H.A. Muin Fahmal, Op.cit., hlm., 8. commit to user 18 kekuasaan kehakiman. Hakim bukan hanya sekedar pelaksana dari ketentuan undang-undang. Bagir Manan, mengemukakan bahwa pelaksanaan hukum tidak sekedar mulut undang-undang, tetapi juga harus menggunakan asas dan kaidah undang-undang sebagai dasar untuk menjamin penerapan hukum yang sesuai dengan cita-cita dan dasar suatu negara yang berdaulat. Hakim harus selalu sungguh-sungguh mempertimbangkan faktor-faktor kultural yang hidup nyata dalam masyarakat. Hakim dapat mengesampingkan kaidah- kaidah hukum yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau negara 41 . Menurutnya, ketentuan hukum sejauh mungkin akomodatif dengan budaya hukum masyarakat dan para pelaksana hukum harus pula berdasar pada rasa keadilan masyarakat. Pada dasarnya, sebuah keputusan hukum yang tidak berdasar pada rasa keadilan masyarakat akan melahirkan ketidak- percayaan masyarakat pada pelaksanaan hukum. Hakim dalam menjalankan tugas yudikatifnya tidak hanya menjalankan atau menerapkan ketentuan dalam undang-undang saja, atau lebih dikenal dengan hakim hanya sebagai corong undang-undang. Munir Fuady, berpendapat, mengingat adanya disparitas penerapan hukuman dan hal-hal lain yang bermuara pada penggunaan kebebasan hakim yang meskipun diakui oleh undang-undang dan memang nyatanya diperlukan, tetapi seringkali dipergunakan secara kebablasan, maka para hakim dan penegak hukum lainnya sangat diharapkan untuk berlaku arif, sambil mencari dan menggali hukum yang hidup dalam masyarakat dan hukum yang modern. Dalam memutus hukum, mereka diminta untuk tidak hanya melakukan pekerjaan rutin belaka, sebab rutinitas tersebut dapat menghambat kreatifitas 42 . Barda Nawawi Arief, berpendapat bahwa kebiasaan menerima, memahami dan menerapkan sesuatu norma dan pengetahuan hukum yang bersifat ”statis” dan ”rutin” inilah, terlebih apabila diterima sebagai suatu 41 Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH. UII Press, hlm., 264. 42 Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 49-50. commit to user 19 ”dogma” yang dapat menjadi salah satu faktor penghambat upaya pengembangan dan pembaharuan hukum pidana 43 . Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif maupun legislatif. Dengan kebebasan yang dimilikinya itu, diharapkan hakim dapat mengambil putusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Demikian, hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum 44 . Dalam praktik tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundang- undangan yang sangat lengkap atau sejelas-jelasnya. Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia, sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepenjang masa, oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalanmenemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam- idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan 45 . Yudha Bhakti Ardhiwisastra, mengemukakan bahwa sudah barang tentu hakim harus mempelajari berbagai cara menemukan hukum yang 43 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa aspek kebijakan Penegakkan dan P engembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 104. 44 Mochtar Kusumaatmadja, dalam Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta : UII Press, hlm., 320. 45 Bambang Sutiyoso, 2009., Ibid., hlm., 28. commit to user 20 memang sudah disediakan oleh ilmu hukum, karena merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap hakim dalam mengemban tugas luhurnya itu. Cara menemukan itu dikenal dengan metode penafsiran hukum dan konstruksi hukum, sehingga penemuan hukum ini merupakan kewajiban hukum bagi hakim. Selanjutnya ia, mengemukakan tugas penting dari hakim adalah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang nyata di masyarakat, apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan perkataan lain, apabila undang-undang tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya, sehingga ia dapat membuat suatu putusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum 46 , karena itu, orang dapat mengatakan bahwa menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim 47 . Dalam konteks negara hukum, para pelaksana hukum diingatkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya agar mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat 48 , bahkan hakim sebagai penegak hukum dianggap sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu, ia harus terjun di tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menyadari akan kekurangan dari Undang-undang, John Rawis, mengemukakan bahwa ”like wise laws and institutions no matter how efficientand well-arranged must be reformed or abolished of they are unjust” undang-undang dan institusi betapapun efisien dan diatur dengan amat baik harus direformasi atau dihapus apabila tidak adil 49 . Dalam arti jika undang-undang yang ada tidak mampu menangkap rasa keadilan masyarakat, hakim tidak boleh menjadi tawanan undang-undang istilah Satjipto Rahardjo dengan bertindak sebagai terompet undang-undang semata let‟terknechten der wet, tetapi hakim perlu secara kreatif melakukan 46 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung : Alumni., hlm., 1-2. 47 Utrecht, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Ibid., hlm., 8. 48 Achmad Ali, Harapan untuk Mahkamah Agung RI di Era Reformasi, Makalah Seminar Nasional, Makasar, 24 Februari 2001, dalam H.A. Muin Fahmal, 2006, hlm., 15 49 John Rawis, dalam Antonius Sudirman, Op.cit., hlm., 62. commit to user 21 terobosan hukum lewat penciptaan hukum melalui putusan-putusannya judge made law . Meskipun dengan mengorbankan kepastian hukum yang merupakan salah satu asas yang fundamental dalam hukum pidana 50 . Berkaitan dengan penemuan hukum, Laica mengingatkan bahwa para hakim seyogyanya menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai sosial budaya hukum masyarakat, utamanya yang terpaut dengan perilaku administrasi yang mendukung budaya hukum setempat. Penggalian hukum tersebut, diharapkan bakal dapat menemukan dan mengembangkan asas-asas pemerintahan yang layak. Hal ini juga dimaksudkan sebagai pendorong diberlakukannya asas-asas umum pemerintahan yang layak selaku salah satu alasan pengujian toetsing keabsahan KTUN pemerintah 51 . Van Eikema Hommes, mengemukakan bahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret 52 . Sudikno Mertokusumo, berkaitan dengan penemuan hukum mengatakan bahwa sejak kurang lebih 1850 orang condong pada peranan yang mandiri dalam pembentukan hukum oleh hakim. Hakim bukan lagi corong undang-undang, tetapi pembentukan hukum yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan- kebutuhan hukum. Hakim dalam menjatuhkan putusan dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikiranya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut apresiasi sendiri. Hakim menjalankan tugas yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum konkret. Pandangan baru ini yang oleh Van Eikema Hommes disebut 50 Antonius Sudirman, Kontra Peninjauan Kembali dalam Kasus Ruislag Bulog-Goro:Antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Jurnal Ilmu Hukum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung, Pro Justitia, No. 2 Tahun ke- 20, April 2002, hlm., 68. 51 Laica, Jurnal Meritokrasi, Volume 1 Nomor 1, Agustus, Tahun 2002, Otonomi Daerah dan Implementasinya Bagi PTUN, hlm., 23, dalam H.A. Muin Fahmal, 2006, hlm., 15. 52 Van Eikema Hommes, dalam Sudikno Mertokusumo, 1993, hlm., 4. commit to user 22 pandangan yang materiil yuridis, di Jerman dipertahankan oleh Oskar Bullow dan Eugen Erlich 53 . Dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan-perubahan dalam masyarakat yang begitu pesat dan kebutuhan manusia yang semakin kompleks, sehingga tak dapat terakomodasi oleh hukum sebagai pengendali dan pengaturnya. Hukum sebagai sub sistem dalam masyarakat tidak dapat terlepas dari perubahan tersebut. Sebagaimana dikemukakan Adi Sulistiyono, memasuki abad teknologi informasi, kemajuan ilmu dan teknologi, maka perubahan-perubahan dalam masyarakat akan terjadi dengan sangat cepat dan kompleks, bahkan perubahan-perubahan tersebut sering terjadi tanpa kita rencanakan lebih dahulu atau tidak dapat diramalkan sebelumnya unpredictable . Demikian hukum sebagai salah satu sub sistem dalam masyarakat akan terkena imbas perubahan tersebut 54 . Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, oleh karena itu sudah sangat jelas perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada di belakang hukum. Hukum itu sendiri tidak bisa dielakkan selalu berkembang, dan perkembangannya tidak dapat dipastikan berkembang kepada arah-arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya, juga membawa perubahan setelah bersenyawa dengan bertarungnya berbagai kepentingan yang berada di belakang hukum itu sendiri, hukum berseerat dengan masyarakat, dan apabila masyarakat berubah hukum juga harus berubah. Masyarakat Indonesia sudah merdeka dari bangsa jajahan, maka hukumnya juga harus berjalan dengan perubahan itu 55 . Dalam kaitan tersebut, maka tugas hakim menjadi semakin berat dan oleh karena itu hakim tidak hanya sekedar penerap undang-undang dalam menyelesaikan permasalahan yang semakin kompleks dalam masyarakat. Hakim diharapkan untuk lebih aktif dalam tugasnya, kreatif dan 53 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 7-8. 54 Adi Sulistiyono, 2004, Menggugat Dominasi Positivisme dalam Ilmu Hukum, Surakarta :Sebelas Maret University Press, hlm., 51. 55 Sabian Utsman, 2008, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm., 3-4. commit to user 23 inovatif, agar peristiwa konkret yang telah diatur kurang atau tidak jelas hakim dapat menemukan hukumnya. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat, karena pengaruh berbagai kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, mengharuskan hakim mengambil langkah untuk mengadakan lompatan dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa konkret, yaitu dengan penemuan hukum 56 . Sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo, kalaupun undang-undang itu jelas, tidak mungkin undang-undang itu lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas, karena kegiatan kehidupan manusia itu tidak terbilang banyaknya. Kecuali itu undang-undang adalah hasil karya manusia yang sangat terbatas kemampuannya. Ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya konkret dan khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkretnya peristiwa hukum harus dikonstruksi, kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan. Boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang perlu dijelaskan, ditafsirkan lebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya 57 . Penemuan hukum oleh hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa konkret, hakim tidak perlu ragu-ragu, tetapi hakim harus mempunyai keberanian, aktif, kreatif dan inovatif, agar putusannya dapat mencerminkan kepastian hukum, memenuhi rasa keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat. Penemuan hukum yang dilakukan hakim didasarkan pada Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1, yaitu hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan 56 Penemuan hukum, lihat juga Achmad Ali, Harapan untuk MARI di Era Reformasi, Makalah Seminar Nasional, Makasar, 24 Februari 2001, Laica, Jurnal Meritokrasi, Volume 1, Nomor 1, Agustus Tahun 2002, Otonomi dan Implementasinya bagi PTUN, HLM., 23. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, hlm., 153. Johnny Ibrahim, 2006, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, hlm., 216-217. Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, hlm., 125. Adi Sulistiyono, 2002, Menggugat Dominasi Positivisme dalam Ilmu Hukum, hlm., 20.Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, hlm., 195-224. 57 Sudikno Mertokusumo, dan A. Pitlo 1993, Op.cit., hlm., 12. commit to user 24 memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 10 ayat 1 yang berbunyi pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dalam membangun konstruksi penemuan hukum, hakim harus berani keluar dari terali besi undang-undang yang membatasinya dalam pengertian sebagai kajian hukum tertulis produk legislatif, yang mengedepankan aturan dengan analisis logikanya, bersifat mekanistik, deterministik, linear thinking, yang hasilnya dapat diprediksi berupa keadilan yang bersifat formal atau prosedural. Peradilan yang bersifat tradisional tersebut tidak membuat adanya niat atau memberi motivasi pencari keadilan untuk menyelesaikan sengketanya melalui peradilan, bahkan dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan. I.S. Susanto, mengemukakan bahwa pengadilan tidak mampu mengangkat isu keadilan seperti yang diharapkan masyarakat. Para hakim hanya memproses sebuah perkara secara formalitas saja, putusanya hanya formal, padahal yang diinginkan masyarakat adalah hal yang sangat substansial, bukan sekedar aturan formal 58 . Adi Sulistiyono mengemukakan, dalam hal hakim mampu menjalankan tugasnya dengan baik, maka kepercayaan masyarakat akan terpelihara. Sebaliknya, apabila hakim melakukan „perbuatan kotor‟ pada saat menyelesaikan sengketa, akan merusak kepercayaan disrust pihak-pihak yang bersengketa pada pengadilan. Kalau hal tersebut berlangsung terus- menerus akan men yebabkan „krisis‟ yang mengganggu rutinitas praktik- praktik penyelesaian sengketa yang terjadi di pengadilan 59 . Krisis pengadilan yang parah tersebut menyebabkan masyarakat tidak lagi mempercayai kredibilitasnya 60 58 I.S. Susanto, dalam Anthon F Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Konrol Akuntabilitas Peradilan Pidana, Bandung : Refika Aditama, hlm., 4. 59 Adi Sulistiyono, 2006, Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia, Surakarta : LPP dan UPT UNS UNS Press, hlm., 6. 60 Ibid., hlm., 19. commit to user 25 Pendapat lain dikemukakan, Anis Ibrahim, jika dicermati, setidak- tidaknya ada dua faktor utama mengapa kehidupan hukum di Indonesia terpuruk. Pertama, disebabkan oleh perilaku bangsa dan aparat penegak hukum professional jurist yang koruptif. Kedua, cara bekerja dan berpikir para jurist Indonesia yang masih terkungkung oleh arus utama pikiran yang legalistik-posivistik 61 . Dalam pandangan tersebut, hukum dikonsepkan sebagai aturan dan logika, undang-undang mempunyai peranan sentral sebagai pedoman untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, hakim dalam membangun kontruksi penemuan hukum harus melakukan perubahan-perubahan yang signifikan. Membangun dalam arti mampu memperbaiki atau menggeser cara-cara berpikir berhukum yang lama, yang mengandalkan undang-undang sebagai produk legislatif. Memperbaiki atau menggeser cara berpikir dalam penemuan hukum yang mengandalkan logika deduktif semata dengan cara- cara menyelesaikan sengketa mengedepankan hati-nurani, empati dan perasaan. Hakim turut merasakan penderitaan penggugat, hakim aktif dan kreatif. Hakim berupaya membiasakan dan membudayakan cara berpikir yang lebih mengedepankan hati nurani, empati dan perasaan, serta berpandangan ke depan. Hal tersebut dimaksudkan agar pengadilan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengadilan sebagai instansi yang dapat menyelesaikan permasalahan. Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim melalui putusan-putusannya yang dituangkan dalam argumentasi penalaran hukum atau racio decidendi, dengan tidak hanya mengeja atau berkutat pada teks undang-undang, melainkan dengan melihat realitas dalam masyarakat agar putusannya dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. 61 Anis Ibrahim, 2007, Merekontruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum di Milinium ketiga, Malang : In-TRANS, hlm., 32-33. commit to user 26 Dalam menggagas berhukum di Indonesia, maka harus berangkat dari keberanian hakim secara individual atau sebagai kelompok minoritas dan kebersamaan untuk membentuk suatu konstruksi dalam mencapai tujuannya. Interpretasi, konstruksi dan hermeneutika hukum sebagai alat atau metode bagi hakim untuk melakukan konstruksi dalam penemuan hukum harus lebih didayagunakan. Hakim tidak boleh terikat pada teks undang-undang. Dalam pandangan Ricouer, sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk dilakukan “dekontekstualisasi” dan “rekontekstualisasi”. Kegiatan dekontekstualisasi memiliki arti bahwa materi teks „melepaskan diri‟ dari konteks pengarang untuk masuk ke konteks pembaca yang lebih luas lagi rekontekstualisasi 62 . Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim, dimulai dari pemikiran hakim dalam proses di pengadilan untuk mampu memperbaiki atau dapat menggeser pemikiran hakim yang berkutat pada undang-undang semata untuk berijtihad keluar dari teks undang-undang, sehingga undang-undang mempunyai makna yang hakiki dalam realitas komunitas masyarakatnya. Memperbaiki atau mampu menggeser pemikiran hakim dalam melakukan interpretasi, konstruksi dan hermeneutika hukum untuk menemukan hukum tidak sekedar hakim mampu melengkapi, menjelaskan undang-undang yang kabur, kurang jelas, namun hakim harus mampu melakukan kostruksi dengan menggali dan melihat kultur hukum dalam realita masyarakat. Hukum adalah merupakan budaya masyarakat yang tumbuh dan berkembang sebagai cermin dalam masyarakat. Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim dimaksudkan agar hakim mampu merubah pemikiran hukum dalam proses peradilan atau dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya mendasarkan pada ketentuan dalam undang-undang yang lebih mengedepankan aturan-aturan dengan pengolahan logika deduktif semata. Hakim tidak harus terbelenggu atau terikat oleh undang-undang dalam bentuknya yang formal, dan terulis sebagai dihasilkan oleh pembuat undang-undang. Dalam kenyataannya undang- 62 E. Sumaryono, 1993, Hermeneutik Sebuah Metode Filsa fat, Yogyakarta : Kanisius, hlm., 101. commit to user 27 undang tidak sempurna, tidak lengkap, tidak atau kurang jelas, ketinggalan jaman, sehingga tidak dapat menyelesaikan sengketa secara tuntas. Sehubungan dengan hal tersebut, hakim harus mampu merubah pandangan atau memperluas pandangan dengan melihat ke depan dengan menggali, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam komunitas masyarakat sebagai kearifan lokal. Perkembangan pemikiran kritis tentang hukum di Indonesia cukup menggembirakan terutama dikalangan aktivis dan akademisi, meskipun tantangan untuk dapat memberi pengaruh pada perombakan sistem hukum nasional masih merupakan pekerjaan berat dan jangka panjang. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh para peminat pemikiran kritis tentang hukum adalah kemampuannya untuk mendekonstruksi pemikiran hukum dominan di Indonesia yang pondasi teoritiknya berbasiskan pemikiran legal positivisme. Dekontruksi yang dimaksud tidak berarti menegasikan pentingnya pemikiran legal positivisme, tetapi bagaimana agar sistem hukum nasional Indonesia lebih mengejar perwujudan nilai keadilan dan kemanfaatan untuk rakyat, ketimbang hanya bersikukuh mengutamakan nilai kepastian hukum. aspek kepastian hukum merupakan isu utama dalam pemikiran legal positivisme, sementara itu tantangan yang lebih operasional dan konkret adalah bagaimana membumikan pemikiran kritis tentang hukum ke dalam bahasa sederhana yang mudah diterima dan dimengerti masyarakat. dengen begitu, diharapkan muncul kesadaran baru yang lebih kritis dikalangan rakyat banyak, bahwa hukum bukan selalu merupakan ancaman, tetapi juga merupakan perlindungan, karena adanya nilai keadilan dan kemanfaatan yang dikandungnya 63 Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan dekonstruksi harus bekerja untuk segera menampilkan pihak yang selama ini kepentingannya tidak ditampilkan dan karena itu juga tidak dibicarakan. Dekonstruksi melalui penafsiran ulang isi kandungan sebuah norma hukum yang ada dilakukan berdasarkan ide the free play of the text. Dikatakan bahwa suatu teks undang-undang atau teks amar putusan itu begitu selesai dirumuskan 63 Donny Donardono, 2007, Wacana Pembabaruan Hukum di Indonesia, Jakarta : Huma, hlm., iii. commit to user 28 akan begitu terbebas dari maksud perumusannya yang semula 64 . Dikemukakan bahwa setiap generasi akan mengubah isi teks itu kembali lewat berbagai kesempatan berijtihad, sedangkan generasi terdahulu penciptanya tidak lagi ada daya untuk mencegahnya. Satjipto Rahardjo mengemukakan, pelajaran hidup bernegara hukum selama berpuluh tahun terlalu mahal untuk membuat berani melakukan pemikiran ulang terhadap cara-cara memahami hukum, undang-undang dan negara hukum. Hal tersebut menyebabkan diajukan gagasan agar berani melakukan dekonstruksi terhadap cara-cara berpikir mengenai hukum. Intisari pikiran mendekonstruksi hukum, kredo jawa yang diajukan adalah tidak boleh menjadi tawanan undang-undang, itulah esensi dekonstruksi yang meliputi aspek kognitif maupun afektif. Lebih dalam lagi, maka filsafat yang mengilhami adalah hukum itu untuk manusia dan tidak sebaliknya 65

B. PERUMUSAN MASALAH