commit to user 197
Gambar 2 . Model Analisis Interaktif.
Keterangan :
Model analisis tersebut saling berputar dan saling melengkapi antara masing-masing komponen analisis atau dengan kata lain mengalami proses
siklus. Dalam hal ini ketika peneliti mulai melakukan pengumpulan data, maka data yang sudah terkumpul akan langsung dilakukan analisis guna
memperoleh reduksi data dan sajian data sementara. Kemudian pada saat pengumpulan data peneliti mulai berusaha untuk menarik kesimpulan
berdasarkan semua hal bersama-sama dalam reduksi data dan sajian datanya tersebut. Apabila hasilnya kurang memuaskan karena masih
adanya data yang belum tercakup dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti akan berusaha menggali kembali data yang sudah terkumpul
dari buku catatan khusus yang meralat tentang data yang terkumpul dari lapangan.
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian.
Variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan diteliti
304
. Dalam penelitian ini yang merupakan perlu dijelaskan sebagai berikut : membangun
305
, adalah bersifat memperbaiki, kritik yang sangat diharapkan. Berasal dari kata dasar bangun, yaitu bangkit, berdiri. Konstruksi
adalah 1 susunan model, tata letak suatu bangunan. 2 susunan dan
304
Rianto Adi, 2005, Metode Peneltian Sosial dan Hukum, Jakarta : Granit, hlm., 27.
305
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Jakarta : 2002, hlm., 103.
Pengumpulan data
Penarikan Kesimpulanverfiikasi
Penyajian data Reduksi data
commit to user 198
hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata : makna suatu kata ditentukan dalam kalimat atau kelompok kata
306
. Dalam bahasa Inggris
construction,
pembuatan, bangunan, tafsiran, susunanbentuk.
Construct
: gagasan, konsepsi.
Construction
: 1 ketetapan pemikiranpemikiran. 2 intrepretasi dari hukum atau peraturan, mengenai
masalah-masalah khusus
307
. Dalam pemahaman peneliti, membangun kontruksi dalam kaitannya dengan penemuan hukum adalah usaha untuk
memperbaiki sesuatu yang sudah ada menjadi lebih baik atau sempurna dari sebelumnya atau membuat sesuatu hal yang baru.
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang
bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret
308
. Selanjutnya dikemukakan bahwa oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak
jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum
rechtsvinding
. Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar
penerapan hukum. B. Arief Sidharta mengemukakan, hakim dituntut untuk memilih
aturan hukum yang akan diterapkan , kemudian menafsirkannya untuk menentukanmenemukan suatu bentuk perilaku yang tercantum dalam aturan
itu serta menemukan pula kandungan maknanya guna menetapkan penerapannya dan menafsirkan fakta-fakta yang ditemukan untuk menentukan
apakah fakta-fakta tersebut termasuk ke dalam makna penerapan aturan hukum tersebut. Dengan demikian, melalui penyelesaian perkara konkret
306
Ibid., hlm., 590.
307
I.P.M. Ranuhandoko, 2003, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hlm., 163.
308
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Op., cit., hlm., 4.
commit to user 199
dalam proses peradilan dapat terjadi juga penemuan hukum
309
. Menurut Utrecht, apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau
belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk
menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang- undangan tidak dapat membantunya. Tindakam hakim inilah yang dinamakan
dengan penemuan hukum
310
. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, hakim adalah hakim pada pengadilan tata usaha
negara dan hakim pada pengadilan tinggi tata usaha negara. Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka dalam kajian penelitian ini adalah hakim
pada pengadilan tata usaha negara. Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara adalah dengan melihat ketentuan dalam Pasal 1 ayat 10 Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata
usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka kajian dalam
penulisan disertasi ini berangkat dari asumsi bahwa karena adanya pengaruh atau dominasi yang kuat dari aliran positivisme hukum dalam proses
penerapan undang-undang oleh hakim dalam menyelesaikan hanya berkutat kepada peraturan perundang-undangan yang tertulis saja, hakim terbelenggu
oleh aturan yang sifatnya normatif, lebih mengedepankan aturan-aturan formal dan mengolahnya melalui logika, cara berhukum yang sifatnya subsumtif,
serial
thinking,
hakim terjebak oleh kekakuan perundang-undangan, hakim hanya membunyikan ketentuan dalam undang-undang, hakim tidak keluar dari
309
B. Arief Sidharta, Peranan Praktisi Hukum dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian Unpad, Nomor 1 Tahun 1999, Bandung,
hlm. 15-17, dalam Ahmad Rifai, Op., cit., hlm., 23.
310
Utrecht, Op., cit., hlm., 248.
commit to user 200
makna undang-undang yang mengkredilkan pemikirannya, mematikan kreatif dan keaktifan hakim.
Dengan demikian, penyelesaian sengketa yang dilakukan hakim tidak banyak memperhatikan keadilan yang diharapkan dalam masyarakat, yaitu
nilai keadilan yang bersifat material atau substansial, tetapi lebih cenderung menghasilan keadilan prosedural atau formal. Hasil putusan hakim tersebut,
ternyata tidak menyelesaikan permasalahan hukum sampai ke akar-akarnya, belum bersifat menyeluruh. Hakim masih sangat kental terhadap eksistensi
undang-undang dan mereka nampak belum banyak melakukan penafsiran dan konstruksi hukum, hermneutika hukum sebagai upaya melakukan penemuan
hukum untuk menjembatani atau sebagai solusi pemecahan masalahnya. Hal demikian tersebut, akhirnya banyak mengundang sinisme terhadap pengadilan,
ketidak percayaan masyarakat terhadap peradilan dan tidak dapat dihindari justru caci maki dan kritik yang terus mengalir kepada pengadilan atau
hakimnya. Keadaan tersebut sangat memprihatinkan dalam dunia hukum dan peradilan, karena sebenarnya dengan tugasnya yang disebut sebagai misi suci
sebagai penegak hukum dan keadilan, justru akan tercoreng dan kehilangan makna yang hakiki.
Sehubungan dengan tersebut, Satjipto Rahardjo mengemukakan, perlu diadakan dekonstruksi. Dekonstruksi di sini adalah membuang cara kerja
pengadilan yang lama, sebaiknya bermula dari sikap para hakim terhadap pekerjaannya dan pemikiran hakim, dan beliau lebih cenderung untuk perilaku
pemikiran hakim lebih dahulu daripada merubah hukum terutama untuk mengembalikan lembaga pengadilan dan Mahkamah Agung menjadi
“
credibel
” dan “
reliable
” sekarang ini, lebih diperlukan “perubahan manusia” daripada “perubahan hukum
311
. Pandangan yang serupa dikemukakan Lili Rasjidi, permasalahan
hukum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia telah diupayakan untuk dicarikan jalan keluarnya dengan memperbaiki perundang-undangan yang dinilai
memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat tidak aspiratif, dengan membuat undang-undang baru untuk dapat mengganti
311
Satjipto Rahardjo, Rekonstruksi pembangunan Hukum Menuju Pembangunan Pengadilan yang Independen dan Berwibawa, Makalah seminar diselenggarkan oleh Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta, 28 Maret 2000, hlm., 3-4, dalam Anthon F. Susanto, 2004, hlm., 15.
commit to user 201
perundang-undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat tidak aspiratif, dengan melakukan
penelitian-penelitian mendalam oleh kalangan ilmuwan dan akademisi terhadap perundang-undangan yang dinilai bermasalah, dengan penemuan
hukum
rechtsvinding
oleh para hakim sebagai penegak hukum
312
. Proses pengadilan dari waktu ke waktu selalu berubah. Hal ini tentu
saja berpengaruh pada peran hakim sebagai orang yang berwenang memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan ke pengadilan. Dari abad
19-20 dapat disaksikan secara pelan-pelan terjadinya perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi
pengadilan untuk rakyat. Pengadilan yang terisolasi diungkapkan dengan ungkapan pengadilan sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak
kurang. Selanjutnya dikemukakan, sementara itu dinamika masyarakat menampilkan pengorganisasian baru, seperti perkembangan demokrasi dan
bangkitnya kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat, buruh yang mengubah peta sosial politik secara mendalam. Kalau hukum liberal abad ke-19 banyak
dikaitkan pada golongan borjuis, maka menjelang dan memasuki abd ke-20 kata kuncinya adalah rakyat. Naiknya peran dan partisipasi rakyat ini tidak
dengan mudah diakomodasikan oleh institusi hukum, termasuk pengadilan. Sementara pengadilan juga mengubah perannya dari semata-mata menjadi
corong undang-undang, kepada pengadilan yang mewakili dan mendengarkan, bahkan ada ajaran bahwa pengadilan hendaknya mampu menyuarakan mereka
atau golongan-golongan yang
unreppresented
dan
underrepresented
313
.
Berdasarkan hal-tersebut, maka sesuai dengan permasalahan yang telah diajukan, kajian dalam disertasi ini lebih berfokus kepada perubahan
pemikiran hakim PTUN dalam kaitannya dengan pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara, sesuai dengan peran hakim sesudah memasuki
abad ke-20 atau dapat dikatakan peran hakim dalam kaitan dengan kemajuan
312
Lili Rasjidi, 2009, Kapita Selekta Tinjauan Kritis Atas Situasi Dan Kondisi Hukum di Indonesia, SeiringPerkembangan Masyarakat Nasional Internasional,
Bandung : Widya Padjadjaran, hlm., 7-8.
313
Satjipto Rahardjo, 2008, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Buku Kompas, hlm., 38.
commit to user 202
dan perkembangan masyarakat yang semakin pesat. Dalam perkembangan masyarakat yang demikian maju dan kompleks, pemikiran-pemikiran hakim
akan mengikuti dan menyesuaikan dengan keadaan masyarakatnya. Demikian juga penemuan hukum oleh hakim yang hanya berkutat kepada ketentuan
perundang-undangan yang tertulis sebagaimana dipengaruhi oleh ajaran positivisme hukum, mereka akan melakukan perubahan pemikiran yang
bersifat holistik dengan melihat dan menengok kepada realitas dalam masyarakat. Danah Zohar dan John Marshall mengembangkan pemikiran
hakim yang tidak hanya menggunakan cara berpikir dengan IQ
intellectual quotient
, tetapi juga dilengkapi dengan berpikir secara EQ
emotional quotient
, yaitu dengan hati-nurani, perasaan, dan dilengkapi dengan berpikir secara SQ
spiritual quotient
, yaitu hakim harus kreatif dan secara holistik
314
.
314
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta : UKI Press, hlm., 16.
commit to user
203
BAB IV PENGUJIAN KEABSAHAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA