commit to user 320
sengketa hakim lebih mendasarkan pada fakta bukan menurut undang- undang.
B. Hati-nurani Hakim dalam Putusan
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, mengemukakan legalisme adalah cara berpikir yang mendasarkan diri pada
aturan, prinsip, atau norma obyektif yang dianggap harus berlaku dalam situasi dan kondisi apapun. Menaati aturan berarti benar, melanggar aturan
berarti salah, tidak ada kompromi. Legalisme, karenanya berbicara tentang apa yang benar dan apa yang salah secara hitam putih. Memang, cara berpikir
seperti itu tentu banyak keuntungannya, ia memberi pegangan keputusan yang tegas dan jelas. Orang tidak perlu bingung tentang apa yang benar dan apa
yang salah, asal saja hukumnya jelas. Dalam hal yang terakhir tersebut akan menghadapi kesulitan. Kehidupan manusia tersebut begitu kompleks dan
begitu dinamis, sehingga hampir mustahil mempunyai hukum yang jelas bagi setiap kemungkinan. Selanjutnya dikemukakan, dalam legalisme, hakim hanya
menjadi corong
wet,
hakim hanya boleh menerapak undang-undang secara mekanis. Legalisme, menyebabkan aturan menjadi berhala, kehidupan
menjadi kaku, kenyataan yang kaya nuansa dilihat pakai kacamata kuda, kebenaran dan keadilan hanya menjadi persoalan legal tidak legal, kearifan
dan akal sehat cenderung terdorong ke belakang, itulah legalisme. Sebuah semangat yang
coute que coute,
menentukan peraturan. Akibatnya, kepekaan, empati, dan dedikasi menghadirkan keadilan dan kebenaran menjadikan redup
dan sayup-sayup di pojok yang paling jauh. Prinsip
epikeia
Aristoteles, ataupun
equti-
nya Plato yang fungsinya menjembatani gap antara kepastian dan keadilan, dianggap haram dalam legalisme. Kebekuan inilah yang
diterobos oleh Holmes dan Frank
417
. Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 10 ayat 1, maka semakin jelas pijakan hakim dalam upaya memeriksa,
417
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Op., cit., hlm., 170.
commit to user 321
memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang dijukan kepadanya, tidak saja hakim harus berdasarkan pada ketentuan dalam undang-
undang sebagai dasar pertimbangan hukumnya untuk menjatuhkan putusan, melainkan dapat melakukan penemuan hukum dengan menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Hakim
dapat mengangkat dan menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang memang diharapkan oleh masyarakat dalam penyelesaian sengketanya.
Dicontohkan hakim-hakim yang jujur, mempunyai keberanian, memutus berdasarkan hati nurani, empati dan perasaan, mereka berani menemukan
hukum di luar ketentuan undang-undang atau berani melakukan lompatan sebagaimana dikemukakan Paul Scholten, dengan mengorbankan kedudukan
atau jabatan sebagai taruhannya untuk membela kebenaran masyarakat atau membela keadilan berdasarkan kebenaran. Beliau adalah Birmar Siregar, Adi
Andojo Soetjipto, Benyamin Mangkoedilaga, Asikin Kusuma Atmadja. Di tengah-tengah muramnya dunia kekuasaan kehakiman di Indonesia
418
, ternyata di sepanjang tahun 1995, muncul beberapa hakim yang mulai berani
tampil beda. Mereka telah berupaya untuk mencoba berjuang menjadi hakim dalam arti yang sebenar-benarnya.
Seorang hakim yang berani untuk menyatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Adi Andojo Soetjipto, membuat put
usan yang “berani” ketika ia bersama hakim anggota lainnya, yaitu Tommy Bustomi dan Karlina
Palmini AS, membebaskan sembilan terdakwa kasus pembunuhan buruh wanita Marsinah. Pada tingkat pertama dan tingkat banding para terdakwa
dihukum tujuh bulan hingga 17 tahun penjara. Argumentasi Adi cukup jelas, yaitu diterapkan sistem “saksi mahkota” dalam kasus pembunuhan Marsinah.
Dalam keadaan demikian, karena terikat sumpah, hak mangkir menjadi hilang. “Itu tergolong penemuan hukum dari pak Adi”, komentar Luhut MP.
418
http:www , hamline.eduapakabarbasisdata1996.
commit to user 322
Integritas Adi
419
kembali ditunjukkan ketika dia menyatakan Ketua Umum SBSI Muchtar Pakpahan tokoh yang selalu mendapat kritik tajam dari aparat,
dibebaskan. Sekalipun ada keberatan kasasi tersebut, majelis hakim kasasi memeriksa pemohonan kasasi Muchtar Pakpahan dan kuasa hukumnya,
dengan pertimbangan hukum sendiri. Dalam putusanya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa bahwa putusan
judex factie
dinilai sebagai putusan yang salah menasirkan unsur menghasut yang tidak banyak berubah faham, ketika Undang-undang Hukum Pidana
dibuat 85 tahun yang lalu. Majelis hakim kasasi membatalkan putusan majelis hakim pada Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Tinggi Medan. Majelis
hakim kasasi berpendapat hakim seharusnya menerapkan undang-undang sekaligus menciptakan hukum yang merupakan gabungan antara keputusan
yang berpola pikir pada masalah sosial yang konkret yang harus diputus dan ketentuan undang-undang yang baku. Dalam menafsirkan undang-undang,
seharusnya hakim tidak mencari hasil deduksi dengan menggunakan logika dan undang-undang yang bersifat umum dan abstrak, tetapi resultante dari
perbuatan menimbulkan semua kepentingan dari nilai-nilai dalam sengketa, di mana pada asasnya masalah sosial menjadi pusat perhatian dan ditempatkan
terdepan. Menurut majelis hakim, apakah ucapan atau tindakan terdakwa bersifat menghasut atau tidak harus dilihat dari segi pertimbangan atas semua
kepentingan dan masalah sosial yang menjadi sentral penilaian. Dengan demikian, tindakan terdakwa tidak dapat dikatakan menghasut. Ekses unjuk
rasa tanggal 14 April 1994 di Medan juga di luar tanggung jawab terdakwa. Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim menyatakan terdakwa
Muchtar Pakpahan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan sebagaimana didakwakan kepadanya, karena itu hakim
membebaskan terdakwa serta memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Berdasarkan putusan kasasi
Mahkamah Agung tersbut, pihak kejaksaan tidak dapat menerima putusan
419
A. Muhammad Asrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Jakarta : ELSAM, hlm., 180-182.
commit to user 323
kasasi Mahkamah Agung dan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Sekalipun di luar ketentuan KUHAP, kejaksaan mengajukan peninjauan
kembali, karena tidak puas atas putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut. Ada tiga alasan yuridis yang dikemukakan kejaksaan dalam permohonan
pemeriksaan peninjauan kembali, yaitu : pertama, dalam kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara dan kepentingan umum. Kedua, kepentingan
umum menurut Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN adalah kepentingan bangsa dan negara danatau kepentingan masyarakat
danatau kepentingan pembangunan. Ketiga, dalam KUHAP belum ada aturan yang tegas yang mengatur hak jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung. Permohonan ini untuk memperjelas dapat tidaknya jaksa mengajukan
pemeriksaan peninjauan kembali yang belum diatur dalam KUHAP. Berdasarkan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali tersebut, maka
majelis hakim peninjauan kembali membatalkan putusan kasasi dan menghukum Muchtar Pakpahan empat tahun penjara. Analisis terhadap
putusan tersebut, yaitu putusan Pengadilan Negeri Medan, putusan Pengadilan Tinggi Medan dan putusan majelis hakim peninjauan kembali adalah masih
menggunakan cara-cara yang lama, tradisional, mengandalkan aturan perundangan-undangan dan logika dan konstruksi cara berpikir legal-
formalistik. Majelis hakim mengabaikan substansi dan konteks ucapan dan tindakan Muchtar Pakpahan. Majelis hakim seharusnnya membuka diri untuk
memahami bahwa ucapan dan tindakan terdakwa dalam rangka memperbaiki kondisi perburuhan, yang ditandai dengan upah yang tidak seimbang dengan
kebutuhan hidup layak, tidak adanya kebebasan beorganisasi dan tekanan aparat militer dan pemerintahan terhadap aktivis buruh.
Keberanian hakim untuk berpikir secara kreatif, dengan hati nurani, dan memahami, menggali nila-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat adalah dicontohkan hakim Benyamin Mangkoedilaga. Sengketa tersebut bermula dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Penerangan
Nomor : 123KEPMENPEN1994, tanggal 21 Juni 1994 tentang Pembatalan
commit to user 324
SIUPP Tempo. Berdasarkan keputasan menteri tersebut, Goenawan Mohamad mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29
Agustus 1994, dan pemeriksaan sengketa dimulai pada tanggal 17 Oktober 1994. Beberapa alasan diajukan oleh penggugat, namun hal dari beberapa
alasan tersebut dikemukakan hal yang pokok, yaitu tindakan tergugat membatalkan SIUUP Tempo dengan alasan sesuai dengan ketentuan Pasal 33
huruf h Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01PERMENPEN1984 adalah perbuatan melawan hukum dan atau melanggarbertentangan dengan
Undang-undang Pokok Pers yang berlaku, karena alasan-alasan sebagai berikut :
a. Pasal 4 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 menegaskan terhadap pers
nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan b.
Istilahterminologi pembatalan SIUUP dalam Pasal 33 Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01PERMENPEN1984 pada hakikatnya mengandung
arti dan berakibat sama dengan pembreidelan c.
Undang-undang Pers mempunyai kedudukanhierarki yang jauh lebih tinggi dari Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01PERMENPEN1984,
asas umum yang berlaku tidak membenarkan produk hukum yang lebih rendah bertentanganmelanggar produk hukum yang lebih tinggi.
Setelah melalui beberapa kali pesidangan, majelis hakim pengadilan tata usaha negara pada tanggal 3 Mei 1995 menjatuhkan putusan mengabulkan
seluruh gugatan pemimpin redaksi Tempo Goenawan Mohamad dan berdasarkan putusan tersebut pengadilan memerintahkan pencabutan Surat
Keputusan Menteri Penerangan Nomor 123PERMENPEN1994 tentang Pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers Tempo. Adapun pertimbangan
hukum yang dipergunakan oleh majelis hakim dalam menjatuhkan putusan adalah pembatalan SIUUP Tempo cacat hukum baik dari segi formal maupun
substansialmaterial. Keputusan Menteri penerangan tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, yaitu jiwa dan semangat Undang-undang Pokok
Pers sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 yang diperbarui dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967
commit to user 325
dan Undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982. Tindakan menteri penerangan juga bertentangan dengan empat rekomendasi yang disampaikan
oleh dewan pers dalam rapat tanggal 14 Juni 1994, yaitu supaya pers mawas diri, masyarakat pers harus melakukan pembinaan, memberi kesempatan
kepada beberapa penerbitan kalau perlu dengan peringatan keras terakhir, dan jika memang terpaksa mengganti pemimpin redaksinya. Pertimbangan hukum
lain yang dikemukakan majelis hakim adalah bahwa pembatalan SIUUP sama dan identik dengan prembedeilan.
Tergugat tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kemudian mengajukan banding ke PTTUNdan setelah majelis hakim
memeriksa materi banding, mejelis hakim PTTUN yang diketuai oleh Charis Soebijanto, menguatkan putusan PTUN Jakarta
420
. Sengketa tata usaha negara tersebut akhirnya dimenangkan oleh tergugat pada tingkat kasasi dan
penggugat Goenawan Mohamad tidak mengajukan upaya peninjauan kembali. Hal yang menarik dalam sengketa tersebut adalah keberanian majelis
hakim yang diketuai oleh Benyamin Mangkoedilaga, dan kemudian dikuatkan di PTTUN adalah putusan pengadilan yang jujur, tetapi sekaligus keputusan
politik yang berani. Pertimbangan hukum majelis hakim PTUN dan PTTUN jelas memperlihatkan putusan hakim yang sesuai dengan logika hukum,
karena Keputusan Menteri Penerangan RI yang membatalkan SIUUP Tempo bertentangan dengan Undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982,
yaitu tidak mengenal pembredeilan pers. Pengaruh baik pembredeilan pres melalui pencabutan surat ijin terbit maupun pembatalan SIUUP akan sama-
sama mengakibatkan matinya suatu media
421
. Menurut analisis peneliti tehadap putusan yang dikeluarkan atau
dijatuhkan majelis hakim baik di PTUN maupun di PTTUN adalah putusan hakim yang betul-betul berani, karena pada waktu itu kekuasaan yang
dipegang oleh Soeharto sangat kuat dan dominan sekali, sehingga siapapun yang tidak memberikan dukungan terhadap eksistensi kekuasaannya akan
420
A. Muhammad Asrun, Ibid., hlm., 209 – 210.
421
Ibid., hlm,. 212.
commit to user 326
menerima risiko yang berat. Putusan majelis hakim PTUN dan PTUN Jakarta tersebut membuka mata bagi para hakim yang masih berpandangan atau
terpengaruh oleh aliran hukum positif atau legisme, yaitu hakim hanya sebagai corong undang atau membunyikan ketentuan dalam undang-undang, untuk
dapat dipergunakan contoh dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang diperiksanya.
Keberanian majelis hakim yang diketuai oleh Benyamin Mangkeodilaga pada tingkat pertama dan dikuatkan oleh PTTUN adalah dapat memberikan
motivasi agar dalam penyelesaian sengketa, hakim tidak terkungkung atau berkutat pada atau dalam paradigma oleh aturan-aturan yang bersifat formal
dan kaku saja. Hakim harus berani keluar dari kungkungan legal-formal, dengan berbekal tugas hakim demi masyarakat, modal dedikasi yang tinggi
terhadap nilai-nilai keadilan di atas kebenaran, apa yang benar dikatakan benar, hakim sebagai aktor mempunyai banyak pilihan dengan mendasarkan
pada kemampuan yang dimilikinya. Pilihan-pilihan yang ditetapkan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai,
dengan menetapkan cara dan alat yang dapat membimbing ke arah pencapaian tujuan hukum tentang keadilan dengan mendasarkan pada kebenaran. Dalam
tingkat yang masih sederhana, hakim diperbolehkan untuk berpikir dengan menggunakan IQ sebagaimana dikemukakan Zohar dan Marshall, namun
untuk mencapai pada tingkat yang lebih luas, hakim harus menambah cara berpikirnya, yaitu hakim harus aktif, kreatif dan tranformatif, dan
menggunakan pemikiran yang lebih menitik beratkan pada hati nurani, empati atau Zohar dan Marshall memberikan nama dengan menggunakan EQ dan SQ.
Putusan majelis hakim yang diketuai oleh Benyamin Mangkoedilaga dalam sengketa tata usaha negara yang memenangkan pihak penggugat, yaitu
Goenawan Mohamad dan memerintahkan kepada Menteri Penerangan Harmoko untuk mencabut obyek sengketa atau Surat Keputusan yang
dikeluarkan oleh Menteri Penerangan, menurut Satjipto Rahardjo, merupakan putusan tergolong
the right decision on the right time.
Ia merintis suatu tradisi dan merupakan salah satu langkah awal untuk menegakkan kembali wibawa
commit to user 327
hukum yang beberapa waktu terakhir mengalami gangguan. Benyamin mengkoreksi Kaditsolpol DKI melanggar asas berpemerintahan yang baik
karena mencabut rekomendasi lembaga di luar dirinya. Putusan majelis hakim peradilan tata usaha negara tingkat pertama tersebut, kemudian dikuatkan oleh
pengadilan banding PTTUN Jakarta yang diketuai oleh Charis, dengan hakim anggota Amarullah Salim dan Jenny Ratulangi, Poppy Yayati, Aisyah.
Berkaitan dengan penemuan hukum tersebut, Utrecht, mengemukakan bahwa hukum itu dinamis, artinya terus-mnerus dalam proses pekembangan.
Hal tersebut akan membawa konsekuensi bahwa hakim dapat, bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistem hukum
422
. hakim atau pengadilan merupakan unsur yang penting dalam penemuan hukum. Jelas
bahwa pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-
ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum
rechtvorming
dan penemuan hukum
rechtvinding
. Dengan kata lain, hakim atau pengadilan dalam sistem hukum di Indonesia, yang pada dasarnya tertulis, mempunyai
fungsi membuat hukum baru
creation of new
law. Karena itu, walaupun sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum tertulis, tetapi merupakan
sistem terbuka
open
system. Fungsi membentuk hukum baru oleh pengadilan atau hakim harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan
dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum tertulis tidak jelas atau tidak ada
423
. Di dalam proses pemeriksaan untuk menguji keabsahan
rechtsmatigheid
suatu keputusan tata usaha negara, acapkali dijumpai beberapa keadaan aturan hukum yang memerlukan metode tertentu untuk mengatasinya
424
. Di dalam masyarakat terdapat kekosongan hukum
leemten in het recht
, maka hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan menggunakan metode interpretasi hukum
dan konstruksi hukum, sedangkan apabila terdapat antinomi hukum konflik antar
422
Utrecht, dalam Pontang Moerad, Op., cit., hlm., 15.
423
Mochtar Kusumaatmadja B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,
Bandung : Alumni, hlm., 99.
424
Pranjoto, dalam W. Riawan Tjandra, Op.,cit., hlm., 106
commit to user 328
norma hukum, metode untuk mengatasinya dapat digunakan asas-asas penyelesaian konflik seperti
lex posterior derogat legi priori, lex specialis derogat legi generali, lex superior derogat legi inferiori.
Adapun langkah- langkah metode untuk mengatasinya adalah pertama, pengingkaran
disavowal
, yaitu metode untuk mengatasi terjadinya antinomi atau konflik antar norma
hukum yang dilakukan dengan cara tidak diterapkannya suatu ketentuan yang bersifat umum, tetapi diterapkannya ketentuan yang bersifat khusus berdasarkan
prinsip
lex specialis.
Kedua, penafsiran
reinterpretation
adalah langkah untuk mengatasi terjadinya antinomi atau konflik antar norma hukum dengan cara
hakim menafsirkan kembali suatu ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar penetapan suatu keputusan tata usaha negara untuk
memberikan solusi hukum atas terjadinya sengketa tata usaha negara. Langkah- langkah yang ketiga adalah pembatalan
invalidation
bahwa hakim tata usaha negara dapat membatalkan berlakunya suatu keputusan tata usaha negara, karena
dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembatalan atas keputusan tata usaha negara yang diuji di peradilan tata usaha
negara tersebut dimaksudkan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan atau dibatalkan oleh hakim peradilan tata usaha negara dapat
disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis lebih tinggi oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang membuat keputusan tata
usaha negara. Pembatalan keputusan tata usaha negara oleh hakim peradilan tata usaha
negara dapat dicontohkan sengketa yang terjadi antara Goenawan Mohamad yang mewakili Tempo melawan Menteri Penerangan menerbitkan Surat Keputusan
Nomor 123KEPMENPEN1994, tanggal 21 Juni 1994 tentang Pembatalan SIUUP Tempo sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Pertimbangan hukum
yang dikemukakan majelis hakim peradilan tata usaha negara diketuai oleh Benyamin Mangkoedilaga, bersama anggotanya Soemaryono dan Tengku
Abdurrachman yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan, antara lain dasar hukum yang dipergunakan untuk menerbitkan atau
mengeluarkan keputusan tata usaha negara oleh tergugat bertentangan dengan
commit to user 329
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar hukum yang dipergunakan oleh tergugat atau Menteri Penerangan untuk mengeluarkan keputusan adalah
Keputusan Menteri Penerangan Nomor 01PERMENPEN1984 bertentangan dengan Undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982 dan memerintahkan
kepada Menteri Penerangan untuk mencabut surat keputusan yang telah dikeluarkan atau yang menjadi obyek sengketa. Metode keempat sebagai langkah
untuk mengatasi terjadinya konflik antar norma hukum atau antinomi adalah metode pembetulan
remedy
. Metode pembetulan merupakan solusi pilihan antara penfsiran kembali dengan pembatalan norma hukum.
Remedy
juga merupakan pertimbangan kembali, yaitu pembatalan, perubahan atau
pembentukan yang baru penerapan norma-norma sekunder yang berkaitan dengan aturan-aturan konflik. Norma hukum yang tidak diterapkan tidak
dikesampingkan, namun dapat dipilih sebagai suatu solusi konflik ketika norma primer dipandang lemah.
Bismar Siregar
pernah melakukan
terobosan hukum
dengan menganalogikan kemaluan wanita sebagai barang, namun sayang terobosan yang
dilakukan oleh Bismar Siregar harus berhenti pada putusan Mahkamah Agung, yaitu putusan Bismar Siregar dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dalam kasus
Bismar Siregar, yang perlu mendapat perhatian adalah keberanian Bismar dalam menegakkan keadilan yang diharapkan oleh masyarakat, walaupun ketentuan
dalam perundang-undangannya tidak mengaturnya secara jelas. Dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, Bismar Siregar terinspirasi apa yang
diamanatkan undang-undang kekuasaan kehakiman, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Dapat juga Bismar terilhami oleh penderitaan kaum wanita yang begitu mendalam dirasakan setelah ditinggalkan begitu saja oleh calon
suaminya, sehingga hati nurani, dan empati Bismar bangkit ikut dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar untuk memutus perkaranya, yaitu
mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Keaktifan, kreatif dan keikutsertaan hati nurani, perasaan dalam suatu pertimbangan hukum, menunjukkan pemikiran atau
logika penalaran hukumnya yang mempunyai kualitas dan kemampuan yang
commit to user 330
melebihi dibandingkan dengan hakim yang hanya menggunakan pemikiran secara logis-dogmatis saja.
Keberanian hakim mengadakan lompatan dalam menjatuhkan putusan hakim yang aktif, kreatif, menggunakan hati nurani, empati sudah barang tentu
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berkaitan dengan hal tersebut, Aloysius Wisnusubroto, mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi hakim
dalam mempertimbangkan putusannya, yaitu faktor subyektif dan faktor obyektif. Faktor subyektif adalah meliputi sikap perilaku hakim yang apriori, emosional,
sikap
arogance power,
dan moral, sedangkan faktor obyektif meliputi latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan profesionalisme hakim
425
Berkaitan dengan hal tersebut, K. Kwancik Saleh
426
, mengemukakan salah satu tugas utama hakim adalah menegakkan keadilan
gerech‟tigdheid, bukan kepastian hukum
rechts ze‟kerheid. Antonius Sudirman, mengemukakan keadilan adalah bukan keadilan menurut bunyi perkataan undang-undang semata
let‟terknechten
der wet
, menurut versi penguasa atau berdasarkan selera kaum
powerfull,
melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menyadari bahwa keadilan yang diperjuangkan oleh hakim adalah keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dalam setiap putusannya, sang hakim tidak boleh hanya bersandar pada undang-undang, melainkan juga harus
sesuai dengan hati nuraninya yang tulus. Dengan kata lain, dalam setiap putusannya, hakim tidak boleh mengabaikan suara hati nuraninya demi mencari
keuntungan materiil bagi diri sendiri, memberikan kepuasan bagi penguasa, menguntungkan kaum
powerfull
secara politik dan ekonomi atau demi menjaga kepastian semata. Suara hati-nurani yang dimaksud adalah suara hati-nurani
untuk kepentingan masyarakat banyak. Hakim harus mampu menciptakan hukum sendiri melalui putusan-putusannya yang biasa disebut
judge made law
hukum yang dibuat oleh hakim
427
.
425
Aloysius Wisnusubroto, 1997, Hukum dan Pengadilan di Indonesia, Yogyakarta : Unika AtmaJaya, hlm., 91
426
K. Kwancik Saleh, 1977, Kehakiman dan Peradilan, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm., 39.
427
Antonius Sudirman, Op.,cit., hlm., 51.
commit to user
331
BAB VI
MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA UNTUK MEWUJUDKAN
TUJUAN HUKUM
Manusia terus menerus membangun dunia, membentuk pemahaman mengenai keberadaan diri dalam perubahan yang terus berlangsung. Bergerak
melalui apa yang disebut sebagai proses konstruksi besar-besaran. Manusia berusaha melakukan interpretasi terhadap kondisi lingkungan terus berubah,
mereka bertindak dan berjuang keras untuk “mengubah dunia”, yaitu alam sekitarnya dan masyarakat, atau berusaha memeliharanya agar tetap pada kondisi
yang telah ada. Arah kehendak untuk mengubah atau mempertahankan adalah arah model yang menghasilkan kompleks pemikiran yang memberi petunjuk bagi
munculnya permasalahan, konsep-konsep dan bentuk-bentuk pemikiran mereka. Sesuai dengan konteks kegiatan kolektif tertentu yang mereka lihati, manusia
cenderung melihat secara berbeda-beda dunia sekitarnya
428
. Berkaitan dengan hal tersebut, Esmi Warassih, mengemukakan dalam setiap usaha untuk merealisasikan
tujuan pembangunan, maka sistem hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya
akan menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum dapat dikatakan efektif, apabila perilaku-perilaku manusia
di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan- aturan hukum yang berlaku. Dalam hubungan ini persyaratan yang diajukan oleh
Fuller, perlu diperhatikan
429
. Selanjutnya dikemukakan, bahwa hampir setiap
428
Anthon F. Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,
Bandung : Refika Aditama, hlm., 25.
429
Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Semarang : Suryanaru Utama, hlm., 95. Lon L. Fuller, berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai suatu sistem, maka
harus dicermati apakah ia memenuhi 8 asas atau principle of legality, berikut ini : 1. Sistem hukum harus mengandungperaturan-peraturan, artinya ia tidak boleh mengandung sekadar
keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. 3. Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan
yang bisa dimengerti. 5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
commit to user 332
bidang kehidupan sekarang ini diatur oleh peraturan-peraturan hukum. Melalui penormaan terhadap tingkah laku manusia ini hukum menelusuri hampir semua
bidang kehidupan manusia. Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan
hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan, artinya hukum harus bisa menjadi institusi yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat
430
. Dalam kehidupan sekarang ini, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat
kontrol terhadap tindakan pemerintah saja, melainkan hukum harus mampu mengendalikan permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam masyarakat
yang semakin kompleks. Hukum harus mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat, kesejahteraan dalam masyarakat dan terwujudnya keadilan
dan kebagaiaan dalam masyarakat. Menurut Beccaria sebagaimana dikutip oleh Rostov 1971, bahwa hukum itu pada dasarnya bertujuan untuk memberikan
kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungki orang
to provide the greatest happiness devided among the greatest number
431
. Hukum merupakan salah satu proses produksi manusia sebagai aktor dalam membangun dunianya yang
dapat dicermati dan ditelaah melalui inteaksi yang berlangsung di dalam masyarakat. Fenomena ini mampu menampilkan hukum lebih mengedepankan
persoalan-persoalan yang berkembang di dalam masyarakat. Aktivitas masyarakat terus menerus dalam kehidupan sehari-hari memberikan makna penting bagi
pembentukan hukum
432
. Sabian Ustman
433
, mengemukakan dalam berhukum bagi Indonesia, karena masih bepandangan bahwa hukum adalah undang-undang tanpa
memperhatikan gejolak masyarakat, sehingga tidak ada komitmen dan moralitas untuk membangun hukum yang ideal berkeadilan, di samping berkepastian yang
profesional bukan transaksional sebagai sarana memperkaya diri sendiri atau
bertentangan satu sama lain. 6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7. Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah. 8. Harus ada
kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanannya sehari-hari.
430
Esmi Warassih, Ibid., hlm., 91
431
Esmi Warassih, Ibid., hlm., 66
432
Anthon F. Susanto,2004, Op., cit., hlm., 36
433
Sabian Utsman, Op., cit., hlm.,6
commit to user 333
golongan, saya melihat sudah begitu parahnya di negeri ini. Begitu menyedihkannya supremasi hukum kita dengan konsep-konsep yang melangit
dalam tatanan
law in the books
yang berkutat pada paradigma positivistik, maka terjadilah institusi pengadilan mekanistik berfungsi sebagai tempat orang-orang
korup dan pendosa untuk mencari perlindungan yang aman
safe haven
. S
ebagaimana diungkapkan Satjipto Rahardjo : “... sistem lama, yang notabene adalah
liberal itu, telah menimbulkan “penyakit-penyakit” sendiri, seperti juga
telah banyak dikritik di Amerika Serikat di Indonesia, dalam konteks pemberantasan korupsi, sering dikatakan bahwa pengadilan telah menjadi tempat
perlindungan yang aman
safe haven
bagi para koruptor
434
. Selanjutnya Sabian Utsman mengemukakan, untuk menggagas bagaimana Indonesia berhukum, maka
harus berangkat dari perspektif kolektif dalam struktur sistem peradilan, sehingga membentuk konstruksi sebagai satu kesatuan yang searah kepada sasaran tertentu.
Lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, dipandang oleh masyarakat sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan semua permasalahan
yang timbul dalam kehidupan mereka. Pandangan ini tidak berlebihan, karena lembaga tersebut dihuni oleh orang-orang yang mempunyai pemahaman terhadap
hukum, kualitas dan profesi yang berbeda dengan warga masyarakat. Kepercayaaan masyarakat untuk menyerahkan permasalahan ke lembaga tersebut
masih cukup banyak, walapun lembaga tersebut setiap hari diguncang kritik dan hujatan. Adi Sulistiyono, mengemukakan sampai sekarang pengadilan masih
dipercaya masyarakat sebagai lembaga untuk menyelesaikan sengketa, bahkan sebagian masyarakat pernah memberikan cap sebagai “benteng Keadilan”
435
. Selanjutnya, dengan mengambil pendapat Satjipto Rahardjo, dikemukakan
bahwa secara teori keberadaan pengadilan merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk mengkoordinasi sengketa-sengketa yang terjadi dalam
masyarakat, dan merupakan „rumah pengayom‟ bagi masyarakat pencari keadilan, yang mempercayai jalur litigasi serta dianggap sebaga
i „perusahaan keadilan‟ yang mampu mengelola sengketa dan mengeluarkan produk keadilan yang bisa
434
Satjipto Rahardjo, dalam Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 7
435
Adi Sulistiyono, 2006, Krisis...., Op., cit., hlm., 2-3
commit to user 334
diterima oleh semua masyarakat. Berkaiatn dengan hal tersebut, Sabian Utsman mengemukakan, harus dingat bahwa berbibara hukum itu adalah berbibara
dinamika, yaitu berbicara dalam konteks tantangan dan disisi lain jawaban dalam suatu persoalan
challenge and response
dan hukum itu sendiri memang seharusnya dirancang berdasarkan asumsi-asumsi tertentu, keadaan-keadaan
tertentu, teritorial-teritorial tertentu, prinsip-prinsip tertentu dan dalam normalisasi-normalisasi tertentu serta pada susunan tertentu pula
436
. Satjipto Rahardjo, mengemukakan, dinamika hukum itu mengikuti pola “tantangan dan
jawaban”
challenge and response
. Hukum itu dirancang berdasarkan asumsi- asumsi tetentu, yang kita sebut sebagai keadaan normal. Normalisasi itulah yang
dipakai sebagai bahan untuk menyusun sekalian kelengkapan suatu bangsa dalam berhukum, seperti susunan institut-institut hukum, kewenangan, prosedur. Dalam
keadaan norma itu tidak lagi ada, hukum tidak lagi dapat bertahan lebih lama dengan cara berhukum yang lama
437
. Hukum berfungsi sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia atau
masyarakat, masyarakat selalu berkembang, maka kepentingan manusia pun berkembang secara makro maupun mikro. Agar kepentingan manusia terlindungi,
hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum, oleh karena itu hukum
harus ditegakkan dan melalui penegakkan itulah hukum menjadi kenyataan. Dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu
kepastian hukum
rechtssicherheit
, kemanfaatan
zweckmassigkeit
dan keadilan
gerechtigkeit
438
. Sebagaimana dikemukakan oleh Radbruch
439
, dalam proses konstruksi mengandung tuntutan akan tiga hal yang oleh Radbruch, disebut
dengan “nilai-nilai dasar dari hukum, yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian hukum
440
.Ketiga unsur tersebut dipergunakan sebagai penopang cita hukum
idee des rechts
. Cita hukum tersebut akan membimbing manusia dalam kehidupan
436
Sabian Utsman, Loc., cit. Hlm., 6
437
Satjipto Rahardjo, dalam Sabian Utsman, Loc., cit.,., hlm., 6
438
Sudikono Mertokusumo dan A. Pitlo, Op., cit., hlm., 1
439
Georges Gurvich, 1963, Sosiologi Hukum, Jakarta : Bhatara, hlm., 182
440
Radbruch, dalam Anthon F. Susanto, 2004, Op., cit., hlm., 46
commit to user 335
berhukum dan ketiga nilai dasar tersebut harus ada secara seimbang, namun seringkali ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu berada dalam hubungan yang
harmonis, melainkan satu sama lain saling berhadapan, bertentangan, ketegangan
spannunggsverhaltnis
. Dalam hal tejadi pertentangan demikian, yang mestinya dikedepankan adalah keadilan. Ketiga nilai dasar tersebut juga menjadi landasan
bagi penegakan hukum
441
. Proses peradilan dari waktu ke waktu selalu berubah. Hal ini tentu saja
berpengaruh pada peran hakim sebagai orang yang berwenang memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan ke pengadilan. Dari abad 19-20 dapat
disaksikan secara pelan-pelan terjadinya perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan untuk rakyat.
Pengadilan yang terisolasi ini juga dinyatakan dalam ungkapan pengadilan sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak kurang. Memang semangat
liberal dan legalisme positivistik yang sangat luas pada abad 19 itu memberikan landasan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika
masyarakat di mana pengadilan berada. Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan
judicial dictatorship
. Hakim dalam memutus perkara semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsiranya dikehendaki
oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Oleh karena itu menjadikan pengadilan terisolasi dari
keseluruhan kehidupan masyarakat dan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat tersebut
442
. Dikemukakan bahwa sementara itu dinamika masyarakat menampilkan
pengorganisasian baru, seperti perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat, seperti buruh yang mengubah peta
sosial politik secara mendalam. Kalau hukum liberal abad ke 19 banyak dikaitkan pada golongan borjuis, maka menjelang da memasuki abad ke 20 kata kincinya
adalah rakyat. Naiknya peran dan partisipasi rakyat ini tidak dengan mudah diakomodasikan oleh institusi hukum, termasuk pengadilan. Sementara
441
Bambang Sutiyoso, Op., cit., hlm., 12
442
Satjipto Rahardjo, 2008, Membedah...., Loc., cit., hlm. 38
commit to user 336
pengadilan juga mengubah peranya dari semata-mata menjadi corong undang- undang, kepada pengadilan yang mewakili dan mendengarkan, bahkan ada ajaran,
bahwa pengadilan hendaknya mampu menyuarakan mereka atau golongan- golongan yang
unreppresented
dan
under-represented
443
. Satjipto Rahardjo
444
, para penegak hukum yang berjihad untuk memunculkan kekuatan hukum akan senantiasa memeras dan mendorong kata-
kata dari teks hukum sampai ke titik paling jauh
ultimate
, sehingga kekuatan hukum keluar dari persembunyiannya. Pengadilan tidak lagi semata-mata menjadi
tempat untuk menerapkan undang-undang. Hakim bukan lagi
les bouches, qui prononcent les paroles de la loi
mulut yang mengucapkan kata-kata undang- undang, melainkan seorang
vigilante
atau
mujtahid.
Dalam hal hakim memutus perkara dengan menggali nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat, maka
akan lebih dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, karena pada prinsipnya hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk
hukum. Dengan demikian ketika masyarakat berubah, maka hakim dalam penegakan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam
dinamika kehidupan masyarakat. Pengadilan bukanlah institusi hukum yang steril, yang hanya berurusan dengan pengkonkritan undang-undang, melainkan memiliki
jangkauan yang lebih luas. Pengadilan sudah menjadi institusi sosial yang peka terhadap dinamika perkembangan masyarakat. Pengadilan sarat dengan pikiran
keadilan, pembelaan rakyat dan nasib bangsanya. Ternyata pengadilan juga berhati nurani
concience of the court
. Hakim sebagai penegak hukum di pengadilan harus benar-benar memperhatikan dinamika masyarakat. Hakim
berhati nurani dalam memutus perkara, sehingga benar-benar bisa memberikan keadilan bagi masyarakat.
Menurut Roscoe Pound
445
, ada tiga langkah yang dilakukan hakim dalam mengadili suatu perkara :
443
Satjipto Rahardjo, 2008, Loc., cit., hlm., 38
444
Satjipto Rahardjo, 2009, Op., cit., hlm., 56
445
Roscoe Pound, An Introduction to The Philosophy of Law, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, 1972, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta : Bhatara, hlm., 62
commit to user 337
1. Menemukan hukum, menetapkan kaidah mana dari sekian banyak
kaidah di dalam sistem hukum yang akan diterapkan, atau jika tidak ada yang dapat diterapkan yang mungkin atau tidak mungkin dipakai
sebagai satu kaidah untuk perkara lain sesudahnya berdasarkan bahan yang sudah ada menurut suatu cara yang ditunjukkan oleh sistem
hukum.
2. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau ditetapkan secara demikian, yaitu
menentukan maknanya sebagaimana pada saat kaidah itu dibentuk dan berkenaan dengan keluasannya yang dimaksud
3. Menerapkan pada perkaranya yang sedang dihadapi kaidah yang
ditemukan dan ditafsirkan demikian Achmad Ali, mengemukakan dalam keadaan yang mendesak, perundang-
undangan memang harus disesuaikan dengan perubahan masyarakat, tetapi tidak mesti demikian, sebab sebenarnya hukum tertulis atau perundang-undangan
mempunyai “senjata ampuh” untuk mengatasi sementara terhadap kesenjangan tersebut. Senjata ampuh tersebut adalah penemuan hukum oleh hakim, dalam
praktiknya hakim dapat melakukan konstruksi hukum dan atau penafsiran hukum, jika melihat kenyataan bahwa peraturan perundang-undang yang ada belum
mengatur peristiwa tetentu atau belum jelas
446
. Undang-undang pada hakikatnya memang dimaksudkan untuk melindungi baik individu maupun masyarakat, tetapi
pembentuk undang-undang kiranya mustahil untuk dapat memperhitungkan, memperhatikan dan menuangkan segala ragam bentuk kehidupan masyarakat
dalam membuat suatu ketentuan yang bersifat umum. Oleh karena itu tidak mungkin mengatur segala-galanya secara terperinci, sehingga perlu sebagian
tugasnya itu diserahkan kepada hakim
447
. Tugas hakim sebagaimana diamatkan dalam Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan di muka sidang. Tujuan para pihak
untuk menyelesaikan sengketa atau perkaranya di pengadilan adalah untuk mendapatkan putusan yang benar dan adil, sehingga bermanfaat dalam
kehidupannya. Putusan pengadilan atau hakim terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala putusan, pertimbangan atau konsideran dan amar atau diktum putusan.
446
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta : Gunung Agung, hlm., 192
447
Sudikno Mertokusumo, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta : Liberty, hlm., 23
commit to user 338
Dalam pertimbangan tersebut dapat diketahui logika hukum yang dibangun oleh hakim. Abdullah, mengemukakan bahwa esensi penalaran hukum dalam
pertimbangan hukum putusan merupakan alat untuk menyusun argumen-argumen yang dapat membimbing pencari keadilan untuk memahami logika pemikiran dan
pendapat hakim dalam memutus perkara. Dengan menerapkan penalaran hukum, maka suatu pertimbangan hukum putusan dapat diketahui alur pikir yang
dibangun oleh hakim, konstruksi yuridis, baik berupa penafsiran hukum maupun argumentasi sebagai dasar dan menuntun kearah amar putusan. Dengan penalaran
yang benar, maka suatu pertimbangan hukum putusan dapat diketahui logika berpikir yang digunakan hakim untuk membuktikan bersalah tidaknya tidaknya
perbuatan terdakwa menurut hukum
448
. Dalam perimbangan hukum memuat uraian tentang korelasi antara fakta hukum yang terungkap di persidangan dengan
aturan hukum yang dijadikan dasar pengujian KTUN yang disengketakan. Berkaitan dengan hal tersebut, hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
sengketa yang diajukan para pihak tidak boleh ceroboh, gegabah, emosi dan berat sebelah, sehingga putusannya akan menimbulkan permasalahan baru. Menurut
Djokosoetono, hakim harus berpikir secara yuridis, sistematis dan teratur atau
geordendenken,
sehingga setiap persoalan hukum dapat dipecahkan secara baik dan benar dan putusannya dapat diterima secara yuridis, sosiologis dan
filosofis
449
. Dalam putusan hakim yang paling penting adalah bahwa putusan tersebut
dapat diterima oleh pencari keadilan dalam masyarakat secara ikhlas dan legowo, oleh karena itu dalam pertimbangan hukum yang memuat penalaran hukum yang
dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan hakim harus diperhatikan benar oleh hakim. Hakim di samping memperhatikan ketentuan dalam peraturan
peundang-undang juga tidak boleh mengesampingkan atau meninggalkan begitu saja nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penalaran
hukum menjadi lebih urgen dalam mengambil putusannya. Sebagaimana dikemukakan Abdullah, masyarakat menjadi mengerti dan memahami makna dan
448
Abdullah, Op.,cit., hlm., xiii
449
Purwoto S. Gandasubrata, 1994, Tugas Hakim Indonesia, Jakarta : Bina Yustisia Litbang MARI, hlm., 17
commit to user 339
fungsi penalaran hukum dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan. Dengan menerapkan penalaran hukum dalam perimbangan hukum, maka menunjukkan
kualitas putusan, profesionalisme dan integritas moral hakim. Dalam menemukan esensi pertimbangan hukum putusan pengadilan, dapat dilakukan melalui
penerapan teori kebenaran dan keadialn. Ada 3 teori kebenaran yang dapat diterapkan dalam pertimbangan hukum, yaitu teori koherensi, koresponden dan
pragmatis. Dalam mengadili perkara, hakim tidak terlepas dari maksud dan tujuan pencari keadilan melimpahkan perkaranya melalui pengadilan, yaitu untuk
mendapatkan kebenaran dan keadilan, baik secara yuridis, sosiologis dan filosofis
450
. Selanjutnya dikemukakan, putusan pengadilan sebagai putusan hukum
memuat beberapa hal antara lain, penalaran hukum yang di dalamnya memuat teori-teori sebagai landasan argumentasi hukum. Pengujian tahap pertama dalam
persidangan menggunakan teori kebenaran koresponden dan koheren. Pengujian ini tidak hanya dilakukan oleh majelis sendiri, melainkan juga oleh para pihak.
Teori ini sangat penting untuk menguji kebenaran alat bukti yang diajukan dan terungkap dipersidangan. Kebenaran koresponden dapat digunakan untuk menguji
korelasi antara alat bukti yang satu dengan yang lain, apabila ada korelasi antara dalil-dalil dengan alat bukti, maka secara korespondensi adalah benar. Pengujian
ini memperoleh kebenaran empiris dan menggunakan pola pikir induktif. Kebenaran koherensi dapat digunakan untuk melakukan sinkronisasi antara dalil-
dalil dengan peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi yang pernah ada. Mendasarkan yurisprudensi bukan berarti mendasarkan pada asas preseden.
Kebenaran pragmatis menyangkut manfaat dari putusan, karena sifatnya futuristik. Manfaat putusan pengadilan dapat diketahui setelah putusan
berkekuatan hukum tetap dan putusan tersebut baru memenuhi kebenaran pragmatis, apabila dapat dilaksanakan atau eksekusi
451
. Sebagaimana dikemukakan bahwa tugas hakim adalah memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara atau sengketa yang diajukan para pihak di
450
Abdullah, Op., cit., hlm., 25
451
Abdullah, Op., cit., hlm., 30
commit to user 340
muka sidang, seperti yang diamanatkan dalam undang-undang Nomor 48 Tahun2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tugas tersebut, sebagaimana
dikemukakan Sudikno Mertokusumo : Tahap pertama, kalau diajukan kepadanya suatu perkara, hakim haruslah
mengkontatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan itu. Mengkonstatir berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya suatu peristiwa yang
diajukan tersebut dan untuk sampai pada konstatering, hakim harus mempunyai kepastian. Hakim harus pasti akan konstateringnya itu, ia harus pasti akan
kebenaran peristiwa yang dikonstatirnya, sehingga konstateringnya itu tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah tentang adanya
peristiwa yang bersangkutan. Dalam hal tersebut, hakim harus menggunakan sarana-sarana atau alat-alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran peristiwa
yang bersangkutan. Hakim harus melakukan pembuktian dengan alat-alat tersebut untuk mendapatkan kepastian tentang peritiwa yang diajukan kepadanya. Jadi
mengkonstatir peristiwa berarti sekaligus juga membuktikan atau menganggap telah terbuktinya peristiwa yang bersangkutan.
Tahap kedua, hakim mengkualifisir peristiwa itu. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan
apa atau yang mana, dengan perkataan lain menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Untuk menemukan hukumnya hakim sering melakukan
penerapan hukum terhadap peristiwanya. Dicarikan dari peraturan hukum yang ada, ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan pada peristiwa yang
bersangkutan. Kalau peristiwanya sudah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, maka penerapan hukumnya pada umumnya merupakan pekerjaan yang
boleh dikatakan mudah. Jadi mengkualifisir pada umumnya berarti menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa, suatu
kegiatan yang pada umumnya bersifat logis. Dalam kenyataannya menemukan hukum tidak sekedar menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwanya saja.
Lebih-lebih kalau peaturan hukumnya tidak tegas dan tidak jelas, maka dalam hal ini hakim tidak lagi harus menemukan hukumnya, melainkan menciptakan sendiri.
Dalam kaitan dengan hal ini menurut Cardozo, seorang hakim terkenal dari
commit to user 341
Amerika, menyebutkan :”
The law which is the resulting product is not found but made. The process in its bighest rea
ches is not discovery, but creation”
.
Mengkualifisir peristiwa mengandung unsur kreatif, sehingga daya cipta hakim besar sekali peranannya. Ia harus berani menciptakan hukum yang tidak
bertentangan dengan keseluruhan sistem perundang-undangan dan memenuhi
pandangan masyarakat serta kebutuhan jaman. Tahap ketiga, hakim harus mengkonstitur atau memberi konstitusinya. Hal
ini berarti hakim menetapkan hukumnya terhadap peristiwa yang bersangkutan, memberi keadilan. Hakim mengambil kesimpulan dari adanya
premise mayor
, yaitu peraturan hukum dan
premise minor,
yaitu peristiwanya. Sekalipun ini merupakan silogisme, tetapi bukan semata-mata hanya logika saja yang menjadi
dasar kesimpulannya. Keadilan yang diputuskan oleh hakim bukanlah produk dari intelek hakim,
“but of his spirit”, kata Sir Alferd Denning, seorang hakim terkenal di Inggris
452
. Achmad Ali, mengemukakan bahwa proses penemuan hukum dimulai
pada tahap kualifikasi dan berakhir pada tahap konstutir
453
. Berkaitan dengan penemuan hukum oleh hakim, bahwa menurut pandangan klasik yang
dikemukakan oleh Montesquieu dan Kant, hakim dalam menerapkan undang- undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya
secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang
bouche la
loi
, sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak pula dapat menguranginya. Menurut
Montesquieu, undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif, oleh karena itu demi kepastian hukum, kesatuan hukum dan kebebasan warga negara
yang terancam kebebasan hakim, maka hakim harus berada di bawah undang- undang. Peradilan tidak lain hanyalah bentuk silogisme
454
. Menurut pandangan klasik semua hukum terdapat lengkap dan sistematis dalam undang-undang dan
tugas hakim adalah mengadili sesuai atau menurut bunyi undang-undang, disebut
452
Sudikno Mertokusumo, dalam Adi Sulistiyono, 2006, Op., cit., hlm., 75-76, lihat juga dalam Bambang Sutiyoso, 2006, hlm., 17-18
453
Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 120
454
Sudikno Mertokusumo, 2010, Op., cit., hlm., 53
commit to user 342
dengan penemuan hukum heteronom. Ternyata pandangan
typis logicistis
atau heteronom tersebut tidak dapat dipertahankan, karena sejak kurang lebih tahun
1850 perhatian ditujukan kepada peran penemuan hukum yang mandiri. Hakim tidak lagi dipandang sebagai corong undang-undang, tetapi sebagai pembentuk
hukum yang secara mandiri memberi bentuk kepada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuahn-kebutuhan. Pandangan ini dikenal sebagai
pandangan
materiil yuridis
atau otonom dan tokohnya antara lain Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, Francois Geny, Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Paul
Scholten
455
. Berkaitan dengan hal penemuan hukum oleh hakim, khususnya penemuan
hukum oleh hakim PTUN, maka timbul pertanyaan bagaimana hakim PTUN membangun konstruksi penemuan hukum dalam memeriksa, memutus dan
mengadili sengketa TUN yang diajukan pihak penggugat di muka sidang?. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tugas hakim dalam menyelesaikan
perkara atau sengketa hanya sekedar menerapkan undang-undang terhadap peristiwanya heteronom dan hakim menjelaskan atau melengkapi undang-
undang untuk diterapkan pada peristiwanya otonom. Dalam hukum positif, terdapat ketentuan tentang kebebasan hakim dalam kaitan dengan penerapan
undang terhadap peristiwa yang dihadapinya, seperti pada Pasal 1 ayat 1, Pasal 4 ayat 1, Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa tertentu tidak perlu
ragu-ragu lagi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pijakan hakim untuk menemukan
hukum kiranya sudah jelas, maka harus ada keberanian dari hakim, karena dalam mengambil putusan kreativitas hakim sangat dibutuhkan.
Berdasarkan hal tersebut, maka hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus berpandangan luas dan mendalam, mempunyai kemampuan dan
kreativitas dalam tugasnya sebagai penerap undang-undang, hakim dapat menyelesaikan sengketa yang diajukan di muka sidang karena ia diangap tahu
455
Sudikno Mertokusumo, 2010, Op., cit., hlm., 55
commit to user 343
hukum, hakim harus berani menjatuhkan putusan dengan melakukan terobosan hukum, sekalipun undang-undang telah mengaturnya terhadap suatu peristiwa,
karena ketentuan dalam undang-undang tersebut telah usang atau ketinggalan jaman. Tugas hakim PTUN adalah menguji
toetsings
keabsahan KTUN yang disengketakan para pihak di muka sidang, pengujian KTUN tersebut didasarkan
pada undang-undang yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengujian tersebut khususnya terhadap penerapan hukum dari KTUN yang
disengketakan. Ketentuan pengujian tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a, b Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan
kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, adalah sebagai pedoman atau dasar untuk menguji
teotsingsgronden, grounds for review
keabsahan KTUN. Terdapat keberanian dari hakim PTUN untuk melakukan terobosan dari ketentuan dalam Pasal 53 ayat 2 yang sebenarnya dipergunakan
sebagai pedoman atau dasar untuk menguji keabsahan KTUN, ia melakukan penyimpangan demi rasa keadilan masyarakat. Seperti putusan PTUN Semarang,
Nomor 08G2009PTUN, SMG. Putusan tersebut mengabulkan gugatan karena jangka waktu gugatan telah
habis atau lewat 90 hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Putusan Nomor 04G2009PTUNSMG,
lebih menitik beratkan pada nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Putusan Nomor 03GTUN2000PTUNYk, hakim cenderung
memperhatikan keadilan penggugat, karena hanya berjudi satu kali dan sebenarnya perjudian yang dilakukan untuk mencari informasi tentang
pembunuhan, Sumardiyono harus diberhentikan dari jabatannya. Hakim PTUN, seperti Teguh Satya Bhakti, Maftuh Effendi, Retno dan Agus, pada dasarnya
mempunyai pendapat yang sama bahwa ketentuan di dalam undang-undang tersebut pada prinsip sebagai pedoman saja, karena sebagai pedoman, maka dapat
disimpangi atau tidak selalu dipedomani, demi keadilan masyarakat. Solusi membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim, ditawarkan
oleh Paul Scholten, masa keemasan hakim memperlakukan hukum seperti pekerjaan matematis yang memproses undang-undang seperti memproses angka-
commit to user 344
angka secara logis
hanteren van logische figuren
sudah lewat. Pekerjaan hukum itu lebih dari sekedar silogisme. Putusan hukum tidak dibuat semata-mata
menurut jalur logika, melainkan melompat
in de beslissing zit altijd ten slotte een
sprong. Satu hal yang diangkat oleh Scholten, mengajukan gagasan mengenai “
logische expansiekracht van het recht
”, kekuatan hukum untuk mengembangkan diri. Menurut beliau hukum bukan merupakan bangunan logis yang tetutup
logische geslotenheid
, ada kekuatan yang tersembunyi dalam hukum
456
. Membangun kontruksi dalam kaitannya dengan penemuan hukum oleh
hakim dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara dapat dilakukan dengan memperbaiki pemikiran hakim, bahwa hakim dalam menyelesaiakn sengketa tidak
harus mendasarkan pada ketentuan dalam undang-undang yang bersifat normatif semata, hakim tidak hanya berkutat dengan aturan-aturan yang mengedepankan
bentuk formalnya sebagai produk legeslatif, yang bersifat mekanistik, deterministik dan lebih cenderung untuk menghasilkan keadilan yang bersifat
prosedural atau formal. Membangun dalam arti mampu menggeser pemikiran- pemikiran hakim yang didominasi ajaran positivisme hukum atau legisme yang
menganggap hukum sebagai satu-satunya sumber hukum, dan anggapan bahwa di luar undang-undang bukan merupakan hukum. Membangun konstruksi
dimaksudkan sebagai solusi untuk mengadakan perubahan penafsiran atau interpretasi, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum dalam proses peradilan,
hakim tidak harus terbelenggu atau terikat dengan aturan-aturan formal dan pengolahan logika.
Membangun kontruksi penemuan hukum oleh hakim dimaksudkan hakim berani melakukan penafsiran untuk keluar dari makna teks undang-undang agar
dapat berfungsi mewujudkan dan memberikan perlindungan bagi komunitas masyarakat pencari keadilan, namun dalam kenyataan banyak tantangan.
Sebagaimana dikemukakan, perkembangan pemikiran kritis tentang hukum di Indonesia cukup menggembirakan terutama di kalangan aktivis dan akademisi,
meskipun tantangan untuk dapat memberi pengaruh pada perombakan sistem hukum nasional masih merupakan pekerjaan berat dan jangka panjang. Tantangan
456
Paul Scholten, dalam Satjipto Rahardjo,2009, Lapisan...Op., cit., hlm., 57
commit to user 345
terbesar para peminat pemikiran kritis tentang hukum adalah kemampuannya untuk mendekonstruksi pemikiran hukum dominan di Inodnesia yang pondasi
teoritiknya berbasiskan pemikiran legal positivisme
457
.Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan, hukum perundang-undangan nasional, berikut konkretisasinya
dalam bentuk amar-amar putusan pengadilan, dicitakan selalu terbuka terhadap berbagai kajian dan kritik dekonstruktif yang dilakukan lewat berbagai gerakan
sosial peduli hukum, agar hukum nasional dapat berfungsi sebagai salah satu kekuatan penggalang kehidupan masyarakat Indonesia baru mampu bertindak
responsif untuk kepentingan publik
458
Satjipto Rahardjo, mengemukakan gagasan hukum progresif yang sejak 2002 dicoba untuk dikembangkan merupakan lahan persemaian yang bagus bagi
pengembangan kekuatan yang tersimpan dalam hukum. Hukum progresif menolak cara berhukum yang menyebabkan hilangnya dinamika hukum. Hukum menjadi
statis dan stagnan manakala tidak berusaha untuk menyiangi dan menyingkirkan hambatan-hambatan yang menyebabkan hukum menjadi stagnan. Salah satu hal
yang akan terhambat adalah tidak munculnya kekuatan yang sebenarnya ada secara inheren dalam hukum. Kekuatan yang tersimpan itu menjadi tidak muncul,
karena para penegak hukum sendiri yang menyebabkannya. Penghambatnya adalah caracara berhukum yang hanya dengan mengeja teks undang-undang.
Tidak dimunculkannya kekuatan yang ada di dalam hukum itu menyebabkan hukum yang seharusnya mampu atau tajam menjadi tumpul dan tidak mampu
menyelesaikan pesoalan yang dihadapinya. Hukum dan penegakkan hukum perlu memasuki ranah psikologi, berarti hukum tidak hanya berurusan dengan peraturan
melainkan juga perilaku. Perilaku yang dibutuhkan untuk memunculkan kekuatan hukum adalah apa yang dalam bahasa jawa disebut sebagai “
mesu budi
”, yaitu mengerahkan kekuatan spiritual. Pekerjaan hukum adalah lebih dari hanya logis-
rasional, melainkan sesuatu yang menurut kreativitas dari para pelakunya. Di sinilah pekerjaan memunculkan kekuatan hukum itu memperoleh tempatnya
459
.
457
Huma, Loc., cit., hlm., iii.
458
Soetandyo Wignjosoebroto, 2007, Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Jakarta : Huma, hlm, 98.
459
Satjipto Rahardjo,2009, Lapisan, Op., cit., hlm., 57-58
commit to user 346
Dalam kesempatan lain, Satjipto Rahardjo mengemukakan, apakah pengadilan membutuhkan suatu rekonstruksi besar-besaran? Sangat mungkin
memang itu yang dibutuhkan . Barangkali bukan hanya rekonstruksi, tetapi sebelumnya itu rupa-rupanya kita perlu melakukan dekonstruksi terhadap
pengadilan kita lebih dahulu. Dekonstruksi di sini adalah membuang cara kerja pengadilan yang lama, dekonstruksi sebaiknya bermula dari sikap para hakim
terhadap pekerjaannya dan cara berpikir mereka. Berdasarkan pertanyaan tersebut saya lebih condong kepada pengubahan perilaku dan pikiran hakim daripada
merubah hukum, terutama untuk mengembalikan lembaga pengadilan dan Mahkamah Agung menjadi “
credible
” dan “
reliable
” sekarang ini, lebih diperlukan “perubahan manusia” daripada “perubahan hukum”
460
. Dekonstruksi yang dianjurkan dan dikerjakan di sini berlangsung
berdasarkan kebijakan “pembalikan hierarki” dan upaya metode penemuan metode baru untuk menafsir ulang maksud yang terkandung dalam norma hukum.
Mengenai kebijakan yang disebut
the reserval of hierarchies
yang dalam bahasa aslinya norma hukum mengandung dua nilai kepentingan, yaitu suatu dominan
yang lebih diutamakan dan lainnya tidak diutamakan yang tidak perlu ditampilkan. Dekonstruksi harus bekerja untuk segera menampilkan pihak yang
selama ini kepentingannya tidak ditampilkan dan karena itu tidak dibicarakan. Dekonstruksi melalui penafsiran ulang isi kandungan sebuah norma hukum yang
ada dilakukan berdasarkan ide
the free play of the text.
Suatu teks undang-undang atau teks amar putusan hakim itu begitu selesai dirumuskan akan begitu terbebas
dari maksud perumusannya yang semula. Setiap teks mempunyai riwayat hidupnya sendiri. Setiap generasi akan mengubah isi teks itu kembali lewat
berbagai kesempatan berijtihad, sedangkan generasi terdahulu penciptanya tidak lagi ada dayanya untuk mencegahnya
461
. Selanjutnya dikemukakan bahwa mendekonstruksikan teks harus bermodal kesediaan untuk memaknakan isi teks
460
Satjipto Rahardjo, Rekonstruksi Pembangunan Hukum Menuju Pembangunan Pengadilan yang Independen dan Berwibawa,
Makalah seminar diselenggarkan oleh Universitas Ahmad Dahlan , Yogyakata, 28 Maret 2000, hlm., 3-4. Dalam Anthon F. Susanto, 2004, hlm., 15
461
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta : Elsam, Huma, hlm., 80.
commit to user 347
secara berbeda menurut konteks yang nyatanya telah berbeda pula. Mengartikan suatu isi teks berdasarkan makna aslinya adalah pekerjaan sia-sia dan tidak perlu.
Kerja rekonstruksi harus tetap menjadi bagian dari strategi kerja-kerja dekonstruksi.
Pelajaran hidup bernegara selama berpuluh tahun adalah terlalu mahal untuk tidak membuat kita menjadi berani melakukan pemikiran ulang terhadap
cara-cara memahami hukum, undang-undang, dan negara hukum. Hal tersebut yang menyebabkan diajukan gagasan berani melakukan dekonstruksi terhadap
cara-cara berpikir mengenai hukum. Intisari dari pikiran mendekonstruksi hukum,
kredo
jawa yang dijukan berbunyi tidak boleh menjadi tawanan undang-undang, itulah esensi dekonstruksi yang meliputi aspek kognitif dan afektif. Lebih dalam
lagi, maka falsafah yang mengilhami adalah hukum itu untuk manusia dan tidak sebaliknya
462
John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, telah melakukan sesuatu yang besar, sehingga
Supreme Court
yang sebelum itu disebut sebagai bagian yang paling lemah dalam kenegaraan dibanding dengan eksekutif
dan legislatif, muncul sebagai kekuatan di samping keduanya. John Marshall menyatakan, bahwa Mahkamah Agung memiliki kekuatan untuk menyatakan
undang-undang
act of conggres
sebagai tidak konstitusional
463
. Hakim Agung Earl Warren sangat kreatif pada waktu dihadapkan kepada tuntutan irama
perubahan sosial yang besar di Amerika Serikat menghadapi abad ke-20. Warren menempatkan diri sebagai transformator menuju Amerika baru, yaitu dengan
menerima tugasnya bukan hanya sebagai hakim, tetapi legislator. Dalam tugasnya tersebut, ia banyak mengubah
corpus
hukum konstitusi Amerika Serikat
464
Perubahan perilaku yang dimaksud, diharapkan mampu memberikan pemahaman holistik terhadap persoalan peradilan menyangkut struktur, kultur dan
model aturan, bahkan apabila mungkin dapat diharapkan membangun kecerdasan peradilan menuju era pencerahan. Aparatur hukum tidak hanya bekerja mengikuti
aturan, berpikir logis dan rasional atau hanya berdasarkan emosi untuk mengenali
462
Satjipto Rahardjo, 2006, Loc., cit., hlm., 120.
463
Satjipto Rahardj, 2007, Op., cit., hlm., 100.
464
Ibid., hlm., 102.
commit to user 348
pola, dan membentuk kebiasaan, namun mereka harus mampu menangkap secara utuh mengenai realitas yang mereka hadapi, inilah sebuah cita menuju
pemahamahan yang utuh dan holistik, yaitu menu ju “konteks makna”.
Dikemukakan bahwa peradilan tidak dapat dan memang bukan saatnya bermain- main dengan dunianya sendiri, namun harus mendengarkan kepentingan lebih
luas, karena beban yang ditanggung semakin berat mengingat harapan pencari keadilan, fungsi kontrol harus menyentuh dimensi mendasar daripada sekedar
menggantungkan harapan kepada aturan hukum atau membuat aturan-aturan baru. Hal ini karena aturan cenderung otoriter dan sering memberikan pemahaman
rumit serta berbelit-belit daripada menjelaskan tujuan sebenarnya
465
. Oleh karena itu kontrol yang dibangun melalui perilaku dan di dalamnya menunjuk kepada
peran kedirian proses dialektika dalam diri aparatur hukum diharapkan dapat mendorong terciptanya kinerja bertanggung jawab dan kualitas kelembagaan yang
secara otomatis memberikan penegasan akan pentingnya penerapan aturan. Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dapat melalui metode
penafsiran atau interpretasi dan konstruksi hukum. Metode interpretasi dilakukan dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelaskurang jelas untuk diterapkan pada
peristiwa konkret, sedangkan metode konstruksi hukum dilakukan memang peraturannya tidak ada terhadap peristiwa konkret, sehingga terjadi kekosongan
hukum atau kekosongan undang-undang. Menurut Anthon F. Susanto, menafsirkan atau melakukan pembacaan bukan hanya merupakan analisis, tetapi
juga sebuah upaya penghancuran, bukan hanya membagi keutuhan ke dalam uraian parsial, tetapi juga menyimpulkan bagian-bagian ke dalam suatu
pandangan global. Dengan kata lain, menafsirkan adalah mencari hakekat sesuatu. Menafsirkan adalah menemukan sesuatu yang baru antara hukum dengan
realitas
466
. Pada suatu saat para penegak hukum hakim mendapat permasalahan terutama berkaitan dengan teks yang tersusun statis dan kaku, hakim harus berani
465
Nonet Selznick, menjelaskan “The rule of law” in modern society in no less authoritarian than the rule of men in pre modern society; it enforces the maldistribution of wealth and power as
of old, but it does this in such complicated and indirect ways as to leave the observer bewidered”, dalam law and society in transsition, hlm., 5, dalam Anthon F. Susanto, hlm., 16.
466
Anthon F.Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan, Yogyakarta : GentaPublishing, hlm., 49
commit to user 349
mengambil langkah melakukan terobosan. Sebagaimana dikemukakan, faisal
467
, ketika muncul persoalan dalam peradilan Asrori, semestinya penegak hukum tidak dapat terkungkung oleh
dimensi teks hukum secara statis, justru dengan menggunakan instrumen penafsiran produktif, pencarian makna keadilan lebih tepat dirasa untuk
dilakukan, ketimbang wacana tuturan harus berbanding lurus dengan wacana tertulis yang mana hal itu mengakibatkan penafsiran yang bermakna keadilan sulit
untuk diwujudkan. Faisal lebih cenderung mengambil hermeneutika Paul Ricouer, sebagai metode yang mampu mendamaikan dan memberikan horizon baru bagi
pemaknaan relasi antara pengarang, teks dan pembaca. Dalam pandangan Ricouer, wacana tuturan yang telah menjadi wacana tuklisan teks dapat bersifat
otonom untuk dilakukana “
dekontekstualisasi
” dan “
rekontekstualisasi
”. Kegiatan dekontekstualisasi mempunyai arti
bahwa materi teks „melepaskan diri‟ dari konteks pengarang, untuk masuk ke konteks pembaca yang lebih luas lagi
rekontekstualisasi
468
. Faisal dalam menginterpretasi teks adalah sejalan dengan semangat hermeneutika teks Ricouer, ia tidak menginginkan teks hukum harus
ditafsir secara mekanistik. Disebabkan oleh proses distansiasi, maka teks hukum menjadi teks terbuka untuk ditafsirkan
469
. Demikian pernyataan Machteld Boot, bahwa setiap norma hukum
membutuhkan interpretasi
470
. Senada dengan Boot adalan Van Bemmelen dan V
an Hattum, yang secara tegas menyatakan : “
elke geschreven wetgeving behoefl
interpretatie”, setiap aturan perundang-undangan tertulis membutuhkan interpretasi
471
. Satjipto Rahardjo, mengemukakan hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran, oleh karena itu hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut
agar menjadi lebih adil dan membumi. Membuat hukum
legislation
adalah satu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat itu merupakan keharusan
467
Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta : Rangkang Education, hlm., 138
468
Secara normatif “dekontekstualisasi” berarti proses „pembebasan‟ dari konteks, sedangkan “rekontekstualisasi” bermakna sebagai proses masuk kembali ke dalam konteks, Fauzi Fashri,
dalam Faisal, hlm., 138.
469
Faisal, Ibid., hlm., 139.
470
Machteld Boot, dalam, Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana,
Jakarta : Erlangga, hlm., 65
471
Van Bemmelen En Van Hattum, dalam Eddy O.S. Hiariej, Ibid., hlm., 65
commit to user 350
berikutnya
472
. Aturan model aturan perundang-undangan tidak begitu saja jatuh dari langit, namun merupakan produk manusia, atau paling tidak ada peran serta
manusia di dalam prosesnya, bahkan dalam banyak hal, aturan dapat mengikat masyarakat bukan karena aturan tersebut seharusnya mengikat, tetapi karena
faktor yang di luar aturan hukum yaitu para pembuatnya. Aturan perlu interpretasi, sehingga mampu menjawab realitas, bahkan seharusnya realitas itu
mewujudkan dalam aturan, sehingga dapat diaktualisasikan melalui kinerja aparatur hukum. Aturan selalu berkait dengan apa yang disebut sebagai wacana
simbol, yang pada akhirnya akan memunculkan tafsiran-tafsiran yang bersifat pluralis dan perpektif, ketimbang keseragaman dan obyektif
473
. Berkaitan dengan penemuan hukum oleh hakim PTUN, yaitu dalam
membangun konstruksi penemuan hukum dalam pengujian keabsahan KTUN yang disengketakan di muka sidang, maka hakim PTUN dapat melakukan dengan
metode penafsiran atau interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Hakim PTUN tidak boleh terjebak atau terkungkung oleh aliran positivisme, yang mengajarkan
bahwa undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum, sebagai hakim yang hanya membunyikan undang-undang atau terompet undang-undang, dalam
memutus perkara semata-mata menuruti apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum atau undang-undang. Hakim PTUN dalam menguji
keabsahan KTUN tidak boleh terjebak oleh rutinitas atau formalitas saja, melainkan harus berani melakukan terobosan hukum, karena berbicara hukum
berarti bicara tentang dinamika. Satjipto Rahardjo, mengemukakan bahwa hukum untuk manusia dan
bukan sebaliknya, hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai yang berlaku atau hidup dalam masyarakat dan hukum yang baik adalah muncul dari nilai-nilai
hukum dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah waktunya penemuan hukum yang dilakukan hakim PTUN meninggalkan cara kerja yang
lama hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang , hakim harus berani membangun konstruksi penemuan hukum yang dilakukan melalui metode
472
Satjipto Rahardjo, dalam Anthon F. Susanto, 2005, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna,
Bandung : Refika Aditama., hlm., 6
473
Anthon F. Susanto, 2004, Op., cit., hlm., 20-21
commit to user 351
penafsiran atau interpreasi dan konstruksi hukum, hakim tidak boleh terkungkung oleh bingkai peraturan yang tidak dapat keluar dari lingkaran, hakim tidak boleh
terbelenggu pada kebenaran formal dan prosedural, mekanistik saja. Hakim PTUN dalam tugasnya harus berani melakukan dekonstruksi terhadap pengadilan yang
ditawarkan Satjipto Rahardjo. Dekonstruksi adalah membuang cara kerja yang lama yang bermula dari sikap hakim terhadap pekerjaannya dan cara berpikir
mereka dan beliau lebih condong kepada perubahan terhadap perilaku dan pikiran hakim daripada merubah hukum. Perilaku dan berpikir hakim dalam
melaksanakan tugasnya, yaitu menerapkan undang terhadap peristiwanya, hakim harus mampu untuk merubah rutinitas penerapan hukum yang mendasarkan pada
logika deduktif saja, mereka harus berani melepaskan ajaran legisme yang selama ini menghantuinya. Putusan hakim sebagai upaya mewujudkan kebenaran dan
keadilan dapat diterima oleh masyarakat, karena sesuai dengan prinsip-prinsip sebagaimana telah dikemukakan Gustav Radbruch, yaitu kepastian hukum
rechtssicherhiet
, keadilan
gerechtigkeit
dan kemanfaatan
zweckmassigkeit
. Hakim dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, yaitu menguji
atau menilai keabsahan ketetapan
beschikking
seharusnya tidak lagi terbelenggu pada aturan-aturan normatif belaka, hakim harus berani meninggalkan cara-cara
lama atau tradisional yang dipengaruhi oleh aliran hukum positif atau legisme, tidak diperbolehkan menafsirkan ketentuan dalam undang-undang, meninggalkan
cara berpikir dengan menggunakan logika deduktif yang lebih cenderung menerapkan pasal-pasal tanpa dibarengi dengan keaktifan, kreatifan hakim, tidak
hanya terbelenggu pada pemikiran yang linear dan tidak menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul sampai keakar-akarnya. Dalam dinamika
masyarakat yang semakin kompleks, hukum dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan tersebut, karena hukum untuk manusia sebagaimana dikemukakan
Satjipto Rahardjo. Hakim sebagai unsur penegak hukum dan keadilan, sudah barang tentu dalam kaitannya dengan tugasnya dalam peradilan yang produknya
melalui putusannya berupa hukum, harus dapat diterima oleh masyarakat atau putusan yang membumi. Hakim sebagai aktor mempunyai kemampuan untuk
mengadakan pilihan-pilihan sesuai yang dengan tujuan yang hendak dicapai
commit to user 352
dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap cara menggunakan alat dan caranya. Satjipto Rahardjo mengemukakan, hakim harus berani melakukan
perubahan terhadap perilaku berpikir yang lama dekonstruksi daripada merubah undang-undangnya. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan, yaitu berbagai
pendapat atau pandangan dari para ahli atau doktrin, dan aliran-aliran hukum yang telah diakui keberadaannya sebagai upaya untuk melakukan konstruksi penemuan
hukum oleh hakim dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara, maka usaha konstruksi penemuan hukum terutama dalam kitannya dengan pemikiran hakim
tersebut meliputi : pemikiran positivism hukum, mengaplikasikan kebebasan hakim.
Berkaitan dengan rekonstruksi, Roberto Unger merupakan penulis yang visioner. Unger menuliskan agenda rekonstruksinya dalam bentuk ajakan untuk
melakukan gerakan menuju ke apa yang ia namakan
emporewed democracy
dan keterkembangkannya
transformative politics.
Unger berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat itu merupakan suatu
bangunan hierarkis yang amat kaku dan tak gampang responsif pada tuntutan publik. Suatu gerakan harus dilancarkan untuk membikin struktur tersebut dapat
berubah lebih responsif, demokratis, peka pada permasalahan manusia, dan kemudian bersedia untuk dimintai pertanggung-jawaban
474
Sebagaimana diketahui bahwa dalam banyak literatur dikemukakan hakim dalam menerapkan undang-undang hanya membunyikan bunyi ketentuan dalam
undang-undang, hakim hanya sebagai corong undang-undang
la bouche de la loi
, hakim hanya menerapkan undang-undang dan tidak diperbolehkan untuk menafsirkan undang-undang, berpikir secara logika dan lebih mengandalkan pada
rasio, mekanistik dan
serial thinking
yang belum menyelesaikan permasalahan hukum sampai keakar-akarnya. Cara berpikir hakim yang demikian itu, tak lepas
dari pengertian-pengertian dasar yang mereka peroleh, juga karena adanya tauladan yang diberikan oleh hakim yang terdahulu, modal dasar yang mereka
dalam waktu penggemblengan calon hakim dan tiadanya petunjuk atau nasihat cara kerja yang dibutuhkan pasar atau masyarakat pencari keadilan, tidak ada
474
Soetandyo Wignjosoebroto, Op., cit., hlm., 81
commit to user 353
teguran terhadap cara kerja yang dilakukan berdasarkan ketentuan dalam undang- undang. Dalam arti apa yang dikerjakan hakim dengan berdasarkan pada norma
hukum tertulis saja, tanpa memperhatikan kearifan lokal dan hukum tak tertulis atau nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah sah-
sah saja. Paradigma hukum positif banyak berpengaruh terhadap cara pemikiran manusia, sebagaimana dikemukakan Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra
475
.
A. Membangun Konstruksi Penemuan Hukum.