Hati-nurani Hakim dalam Putusan

commit to user 320 sengketa hakim lebih mendasarkan pada fakta bukan menurut undang- undang.

B. Hati-nurani Hakim dalam Putusan

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, mengemukakan legalisme adalah cara berpikir yang mendasarkan diri pada aturan, prinsip, atau norma obyektif yang dianggap harus berlaku dalam situasi dan kondisi apapun. Menaati aturan berarti benar, melanggar aturan berarti salah, tidak ada kompromi. Legalisme, karenanya berbicara tentang apa yang benar dan apa yang salah secara hitam putih. Memang, cara berpikir seperti itu tentu banyak keuntungannya, ia memberi pegangan keputusan yang tegas dan jelas. Orang tidak perlu bingung tentang apa yang benar dan apa yang salah, asal saja hukumnya jelas. Dalam hal yang terakhir tersebut akan menghadapi kesulitan. Kehidupan manusia tersebut begitu kompleks dan begitu dinamis, sehingga hampir mustahil mempunyai hukum yang jelas bagi setiap kemungkinan. Selanjutnya dikemukakan, dalam legalisme, hakim hanya menjadi corong wet, hakim hanya boleh menerapak undang-undang secara mekanis. Legalisme, menyebabkan aturan menjadi berhala, kehidupan menjadi kaku, kenyataan yang kaya nuansa dilihat pakai kacamata kuda, kebenaran dan keadilan hanya menjadi persoalan legal tidak legal, kearifan dan akal sehat cenderung terdorong ke belakang, itulah legalisme. Sebuah semangat yang coute que coute, menentukan peraturan. Akibatnya, kepekaan, empati, dan dedikasi menghadirkan keadilan dan kebenaran menjadikan redup dan sayup-sayup di pojok yang paling jauh. Prinsip epikeia Aristoteles, ataupun equti- nya Plato yang fungsinya menjembatani gap antara kepastian dan keadilan, dianggap haram dalam legalisme. Kebekuan inilah yang diterobos oleh Holmes dan Frank 417 . Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 10 ayat 1, maka semakin jelas pijakan hakim dalam upaya memeriksa, 417 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Op., cit., hlm., 170. commit to user 321 memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang dijukan kepadanya, tidak saja hakim harus berdasarkan pada ketentuan dalam undang- undang sebagai dasar pertimbangan hukumnya untuk menjatuhkan putusan, melainkan dapat melakukan penemuan hukum dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Hakim dapat mengangkat dan menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang memang diharapkan oleh masyarakat dalam penyelesaian sengketanya. Dicontohkan hakim-hakim yang jujur, mempunyai keberanian, memutus berdasarkan hati nurani, empati dan perasaan, mereka berani menemukan hukum di luar ketentuan undang-undang atau berani melakukan lompatan sebagaimana dikemukakan Paul Scholten, dengan mengorbankan kedudukan atau jabatan sebagai taruhannya untuk membela kebenaran masyarakat atau membela keadilan berdasarkan kebenaran. Beliau adalah Birmar Siregar, Adi Andojo Soetjipto, Benyamin Mangkoedilaga, Asikin Kusuma Atmadja. Di tengah-tengah muramnya dunia kekuasaan kehakiman di Indonesia 418 , ternyata di sepanjang tahun 1995, muncul beberapa hakim yang mulai berani tampil beda. Mereka telah berupaya untuk mencoba berjuang menjadi hakim dalam arti yang sebenar-benarnya. Seorang hakim yang berani untuk menyatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Adi Andojo Soetjipto, membuat put usan yang “berani” ketika ia bersama hakim anggota lainnya, yaitu Tommy Bustomi dan Karlina Palmini AS, membebaskan sembilan terdakwa kasus pembunuhan buruh wanita Marsinah. Pada tingkat pertama dan tingkat banding para terdakwa dihukum tujuh bulan hingga 17 tahun penjara. Argumentasi Adi cukup jelas, yaitu diterapkan sistem “saksi mahkota” dalam kasus pembunuhan Marsinah. Dalam keadaan demikian, karena terikat sumpah, hak mangkir menjadi hilang. “Itu tergolong penemuan hukum dari pak Adi”, komentar Luhut MP. 418 http:www , hamline.eduapakabarbasisdata1996. commit to user 322 Integritas Adi 419 kembali ditunjukkan ketika dia menyatakan Ketua Umum SBSI Muchtar Pakpahan tokoh yang selalu mendapat kritik tajam dari aparat, dibebaskan. Sekalipun ada keberatan kasasi tersebut, majelis hakim kasasi memeriksa pemohonan kasasi Muchtar Pakpahan dan kuasa hukumnya, dengan pertimbangan hukum sendiri. Dalam putusanya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa bahwa putusan judex factie dinilai sebagai putusan yang salah menasirkan unsur menghasut yang tidak banyak berubah faham, ketika Undang-undang Hukum Pidana dibuat 85 tahun yang lalu. Majelis hakim kasasi membatalkan putusan majelis hakim pada Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Tinggi Medan. Majelis hakim kasasi berpendapat hakim seharusnya menerapkan undang-undang sekaligus menciptakan hukum yang merupakan gabungan antara keputusan yang berpola pikir pada masalah sosial yang konkret yang harus diputus dan ketentuan undang-undang yang baku. Dalam menafsirkan undang-undang, seharusnya hakim tidak mencari hasil deduksi dengan menggunakan logika dan undang-undang yang bersifat umum dan abstrak, tetapi resultante dari perbuatan menimbulkan semua kepentingan dari nilai-nilai dalam sengketa, di mana pada asasnya masalah sosial menjadi pusat perhatian dan ditempatkan terdepan. Menurut majelis hakim, apakah ucapan atau tindakan terdakwa bersifat menghasut atau tidak harus dilihat dari segi pertimbangan atas semua kepentingan dan masalah sosial yang menjadi sentral penilaian. Dengan demikian, tindakan terdakwa tidak dapat dikatakan menghasut. Ekses unjuk rasa tanggal 14 April 1994 di Medan juga di luar tanggung jawab terdakwa. Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim menyatakan terdakwa Muchtar Pakpahan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan sebagaimana didakwakan kepadanya, karena itu hakim membebaskan terdakwa serta memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung tersbut, pihak kejaksaan tidak dapat menerima putusan 419 A. Muhammad Asrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Jakarta : ELSAM, hlm., 180-182. commit to user 323 kasasi Mahkamah Agung dan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Sekalipun di luar ketentuan KUHAP, kejaksaan mengajukan peninjauan kembali, karena tidak puas atas putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut. Ada tiga alasan yuridis yang dikemukakan kejaksaan dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali, yaitu : pertama, dalam kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara dan kepentingan umum. Kedua, kepentingan umum menurut Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN adalah kepentingan bangsa dan negara danatau kepentingan masyarakat danatau kepentingan pembangunan. Ketiga, dalam KUHAP belum ada aturan yang tegas yang mengatur hak jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan ini untuk memperjelas dapat tidaknya jaksa mengajukan pemeriksaan peninjauan kembali yang belum diatur dalam KUHAP. Berdasarkan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali tersebut, maka majelis hakim peninjauan kembali membatalkan putusan kasasi dan menghukum Muchtar Pakpahan empat tahun penjara. Analisis terhadap putusan tersebut, yaitu putusan Pengadilan Negeri Medan, putusan Pengadilan Tinggi Medan dan putusan majelis hakim peninjauan kembali adalah masih menggunakan cara-cara yang lama, tradisional, mengandalkan aturan perundangan-undangan dan logika dan konstruksi cara berpikir legal- formalistik. Majelis hakim mengabaikan substansi dan konteks ucapan dan tindakan Muchtar Pakpahan. Majelis hakim seharusnnya membuka diri untuk memahami bahwa ucapan dan tindakan terdakwa dalam rangka memperbaiki kondisi perburuhan, yang ditandai dengan upah yang tidak seimbang dengan kebutuhan hidup layak, tidak adanya kebebasan beorganisasi dan tekanan aparat militer dan pemerintahan terhadap aktivis buruh. Keberanian hakim untuk berpikir secara kreatif, dengan hati nurani, dan memahami, menggali nila-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah dicontohkan hakim Benyamin Mangkoedilaga. Sengketa tersebut bermula dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Penerangan Nomor : 123KEPMENPEN1994, tanggal 21 Juni 1994 tentang Pembatalan commit to user 324 SIUPP Tempo. Berdasarkan keputasan menteri tersebut, Goenawan Mohamad mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29 Agustus 1994, dan pemeriksaan sengketa dimulai pada tanggal 17 Oktober 1994. Beberapa alasan diajukan oleh penggugat, namun hal dari beberapa alasan tersebut dikemukakan hal yang pokok, yaitu tindakan tergugat membatalkan SIUUP Tempo dengan alasan sesuai dengan ketentuan Pasal 33 huruf h Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01PERMENPEN1984 adalah perbuatan melawan hukum dan atau melanggarbertentangan dengan Undang-undang Pokok Pers yang berlaku, karena alasan-alasan sebagai berikut : a. Pasal 4 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 menegaskan terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan b. Istilahterminologi pembatalan SIUUP dalam Pasal 33 Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01PERMENPEN1984 pada hakikatnya mengandung arti dan berakibat sama dengan pembreidelan c. Undang-undang Pers mempunyai kedudukanhierarki yang jauh lebih tinggi dari Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01PERMENPEN1984, asas umum yang berlaku tidak membenarkan produk hukum yang lebih rendah bertentanganmelanggar produk hukum yang lebih tinggi. Setelah melalui beberapa kali pesidangan, majelis hakim pengadilan tata usaha negara pada tanggal 3 Mei 1995 menjatuhkan putusan mengabulkan seluruh gugatan pemimpin redaksi Tempo Goenawan Mohamad dan berdasarkan putusan tersebut pengadilan memerintahkan pencabutan Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 123PERMENPEN1994 tentang Pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers Tempo. Adapun pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh majelis hakim dalam menjatuhkan putusan adalah pembatalan SIUUP Tempo cacat hukum baik dari segi formal maupun substansialmaterial. Keputusan Menteri penerangan tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, yaitu jiwa dan semangat Undang-undang Pokok Pers sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 yang diperbarui dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 commit to user 325 dan Undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982. Tindakan menteri penerangan juga bertentangan dengan empat rekomendasi yang disampaikan oleh dewan pers dalam rapat tanggal 14 Juni 1994, yaitu supaya pers mawas diri, masyarakat pers harus melakukan pembinaan, memberi kesempatan kepada beberapa penerbitan kalau perlu dengan peringatan keras terakhir, dan jika memang terpaksa mengganti pemimpin redaksinya. Pertimbangan hukum lain yang dikemukakan majelis hakim adalah bahwa pembatalan SIUUP sama dan identik dengan prembedeilan. Tergugat tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kemudian mengajukan banding ke PTTUNdan setelah majelis hakim memeriksa materi banding, mejelis hakim PTTUN yang diketuai oleh Charis Soebijanto, menguatkan putusan PTUN Jakarta 420 . Sengketa tata usaha negara tersebut akhirnya dimenangkan oleh tergugat pada tingkat kasasi dan penggugat Goenawan Mohamad tidak mengajukan upaya peninjauan kembali. Hal yang menarik dalam sengketa tersebut adalah keberanian majelis hakim yang diketuai oleh Benyamin Mangkoedilaga, dan kemudian dikuatkan di PTTUN adalah putusan pengadilan yang jujur, tetapi sekaligus keputusan politik yang berani. Pertimbangan hukum majelis hakim PTUN dan PTTUN jelas memperlihatkan putusan hakim yang sesuai dengan logika hukum, karena Keputusan Menteri Penerangan RI yang membatalkan SIUUP Tempo bertentangan dengan Undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982, yaitu tidak mengenal pembredeilan pers. Pengaruh baik pembredeilan pres melalui pencabutan surat ijin terbit maupun pembatalan SIUUP akan sama- sama mengakibatkan matinya suatu media 421 . Menurut analisis peneliti tehadap putusan yang dikeluarkan atau dijatuhkan majelis hakim baik di PTUN maupun di PTTUN adalah putusan hakim yang betul-betul berani, karena pada waktu itu kekuasaan yang dipegang oleh Soeharto sangat kuat dan dominan sekali, sehingga siapapun yang tidak memberikan dukungan terhadap eksistensi kekuasaannya akan 420 A. Muhammad Asrun, Ibid., hlm., 209 – 210. 421 Ibid., hlm,. 212. commit to user 326 menerima risiko yang berat. Putusan majelis hakim PTUN dan PTUN Jakarta tersebut membuka mata bagi para hakim yang masih berpandangan atau terpengaruh oleh aliran hukum positif atau legisme, yaitu hakim hanya sebagai corong undang atau membunyikan ketentuan dalam undang-undang, untuk dapat dipergunakan contoh dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang diperiksanya. Keberanian majelis hakim yang diketuai oleh Benyamin Mangkeodilaga pada tingkat pertama dan dikuatkan oleh PTTUN adalah dapat memberikan motivasi agar dalam penyelesaian sengketa, hakim tidak terkungkung atau berkutat pada atau dalam paradigma oleh aturan-aturan yang bersifat formal dan kaku saja. Hakim harus berani keluar dari kungkungan legal-formal, dengan berbekal tugas hakim demi masyarakat, modal dedikasi yang tinggi terhadap nilai-nilai keadilan di atas kebenaran, apa yang benar dikatakan benar, hakim sebagai aktor mempunyai banyak pilihan dengan mendasarkan pada kemampuan yang dimilikinya. Pilihan-pilihan yang ditetapkan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, dengan menetapkan cara dan alat yang dapat membimbing ke arah pencapaian tujuan hukum tentang keadilan dengan mendasarkan pada kebenaran. Dalam tingkat yang masih sederhana, hakim diperbolehkan untuk berpikir dengan menggunakan IQ sebagaimana dikemukakan Zohar dan Marshall, namun untuk mencapai pada tingkat yang lebih luas, hakim harus menambah cara berpikirnya, yaitu hakim harus aktif, kreatif dan tranformatif, dan menggunakan pemikiran yang lebih menitik beratkan pada hati nurani, empati atau Zohar dan Marshall memberikan nama dengan menggunakan EQ dan SQ. Putusan majelis hakim yang diketuai oleh Benyamin Mangkoedilaga dalam sengketa tata usaha negara yang memenangkan pihak penggugat, yaitu Goenawan Mohamad dan memerintahkan kepada Menteri Penerangan Harmoko untuk mencabut obyek sengketa atau Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan, menurut Satjipto Rahardjo, merupakan putusan tergolong the right decision on the right time. Ia merintis suatu tradisi dan merupakan salah satu langkah awal untuk menegakkan kembali wibawa commit to user 327 hukum yang beberapa waktu terakhir mengalami gangguan. Benyamin mengkoreksi Kaditsolpol DKI melanggar asas berpemerintahan yang baik karena mencabut rekomendasi lembaga di luar dirinya. Putusan majelis hakim peradilan tata usaha negara tingkat pertama tersebut, kemudian dikuatkan oleh pengadilan banding PTTUN Jakarta yang diketuai oleh Charis, dengan hakim anggota Amarullah Salim dan Jenny Ratulangi, Poppy Yayati, Aisyah. Berkaitan dengan penemuan hukum tersebut, Utrecht, mengemukakan bahwa hukum itu dinamis, artinya terus-mnerus dalam proses pekembangan. Hal tersebut akan membawa konsekuensi bahwa hakim dapat, bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistem hukum 422 . hakim atau pengadilan merupakan unsur yang penting dalam penemuan hukum. Jelas bahwa pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan- ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum rechtvorming dan penemuan hukum rechtvinding . Dengan kata lain, hakim atau pengadilan dalam sistem hukum di Indonesia, yang pada dasarnya tertulis, mempunyai fungsi membuat hukum baru creation of new law. Karena itu, walaupun sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum tertulis, tetapi merupakan sistem terbuka open system. Fungsi membentuk hukum baru oleh pengadilan atau hakim harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum tertulis tidak jelas atau tidak ada 423 . Di dalam proses pemeriksaan untuk menguji keabsahan rechtsmatigheid suatu keputusan tata usaha negara, acapkali dijumpai beberapa keadaan aturan hukum yang memerlukan metode tertentu untuk mengatasinya 424 . Di dalam masyarakat terdapat kekosongan hukum leemten in het recht , maka hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan menggunakan metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum, sedangkan apabila terdapat antinomi hukum konflik antar 422 Utrecht, dalam Pontang Moerad, Op., cit., hlm., 15. 423 Mochtar Kusumaatmadja B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, hlm., 99. 424 Pranjoto, dalam W. Riawan Tjandra, Op.,cit., hlm., 106 commit to user 328 norma hukum, metode untuk mengatasinya dapat digunakan asas-asas penyelesaian konflik seperti lex posterior derogat legi priori, lex specialis derogat legi generali, lex superior derogat legi inferiori. Adapun langkah- langkah metode untuk mengatasinya adalah pertama, pengingkaran disavowal , yaitu metode untuk mengatasi terjadinya antinomi atau konflik antar norma hukum yang dilakukan dengan cara tidak diterapkannya suatu ketentuan yang bersifat umum, tetapi diterapkannya ketentuan yang bersifat khusus berdasarkan prinsip lex specialis. Kedua, penafsiran reinterpretation adalah langkah untuk mengatasi terjadinya antinomi atau konflik antar norma hukum dengan cara hakim menafsirkan kembali suatu ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar penetapan suatu keputusan tata usaha negara untuk memberikan solusi hukum atas terjadinya sengketa tata usaha negara. Langkah- langkah yang ketiga adalah pembatalan invalidation bahwa hakim tata usaha negara dapat membatalkan berlakunya suatu keputusan tata usaha negara, karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembatalan atas keputusan tata usaha negara yang diuji di peradilan tata usaha negara tersebut dimaksudkan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan atau dibatalkan oleh hakim peradilan tata usaha negara dapat disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis lebih tinggi oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang membuat keputusan tata usaha negara. Pembatalan keputusan tata usaha negara oleh hakim peradilan tata usaha negara dapat dicontohkan sengketa yang terjadi antara Goenawan Mohamad yang mewakili Tempo melawan Menteri Penerangan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 123KEPMENPEN1994, tanggal 21 Juni 1994 tentang Pembatalan SIUUP Tempo sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Pertimbangan hukum yang dikemukakan majelis hakim peradilan tata usaha negara diketuai oleh Benyamin Mangkoedilaga, bersama anggotanya Soemaryono dan Tengku Abdurrachman yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan, antara lain dasar hukum yang dipergunakan untuk menerbitkan atau mengeluarkan keputusan tata usaha negara oleh tergugat bertentangan dengan commit to user 329 peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar hukum yang dipergunakan oleh tergugat atau Menteri Penerangan untuk mengeluarkan keputusan adalah Keputusan Menteri Penerangan Nomor 01PERMENPEN1984 bertentangan dengan Undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982 dan memerintahkan kepada Menteri Penerangan untuk mencabut surat keputusan yang telah dikeluarkan atau yang menjadi obyek sengketa. Metode keempat sebagai langkah untuk mengatasi terjadinya konflik antar norma hukum atau antinomi adalah metode pembetulan remedy . Metode pembetulan merupakan solusi pilihan antara penfsiran kembali dengan pembatalan norma hukum. Remedy juga merupakan pertimbangan kembali, yaitu pembatalan, perubahan atau pembentukan yang baru penerapan norma-norma sekunder yang berkaitan dengan aturan-aturan konflik. Norma hukum yang tidak diterapkan tidak dikesampingkan, namun dapat dipilih sebagai suatu solusi konflik ketika norma primer dipandang lemah. Bismar Siregar pernah melakukan terobosan hukum dengan menganalogikan kemaluan wanita sebagai barang, namun sayang terobosan yang dilakukan oleh Bismar Siregar harus berhenti pada putusan Mahkamah Agung, yaitu putusan Bismar Siregar dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dalam kasus Bismar Siregar, yang perlu mendapat perhatian adalah keberanian Bismar dalam menegakkan keadilan yang diharapkan oleh masyarakat, walaupun ketentuan dalam perundang-undangannya tidak mengaturnya secara jelas. Dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, Bismar Siregar terinspirasi apa yang diamanatkan undang-undang kekuasaan kehakiman, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dapat juga Bismar terilhami oleh penderitaan kaum wanita yang begitu mendalam dirasakan setelah ditinggalkan begitu saja oleh calon suaminya, sehingga hati nurani, dan empati Bismar bangkit ikut dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar untuk memutus perkaranya, yaitu mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Keaktifan, kreatif dan keikutsertaan hati nurani, perasaan dalam suatu pertimbangan hukum, menunjukkan pemikiran atau logika penalaran hukumnya yang mempunyai kualitas dan kemampuan yang commit to user 330 melebihi dibandingkan dengan hakim yang hanya menggunakan pemikiran secara logis-dogmatis saja. Keberanian hakim mengadakan lompatan dalam menjatuhkan putusan hakim yang aktif, kreatif, menggunakan hati nurani, empati sudah barang tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berkaitan dengan hal tersebut, Aloysius Wisnusubroto, mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan putusannya, yaitu faktor subyektif dan faktor obyektif. Faktor subyektif adalah meliputi sikap perilaku hakim yang apriori, emosional, sikap arogance power, dan moral, sedangkan faktor obyektif meliputi latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan profesionalisme hakim 425 Berkaitan dengan hal tersebut, K. Kwancik Saleh 426 , mengemukakan salah satu tugas utama hakim adalah menegakkan keadilan gerech‟tigdheid, bukan kepastian hukum rechts ze‟kerheid. Antonius Sudirman, mengemukakan keadilan adalah bukan keadilan menurut bunyi perkataan undang-undang semata let‟terknechten der wet , menurut versi penguasa atau berdasarkan selera kaum powerfull, melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menyadari bahwa keadilan yang diperjuangkan oleh hakim adalah keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dalam setiap putusannya, sang hakim tidak boleh hanya bersandar pada undang-undang, melainkan juga harus sesuai dengan hati nuraninya yang tulus. Dengan kata lain, dalam setiap putusannya, hakim tidak boleh mengabaikan suara hati nuraninya demi mencari keuntungan materiil bagi diri sendiri, memberikan kepuasan bagi penguasa, menguntungkan kaum powerfull secara politik dan ekonomi atau demi menjaga kepastian semata. Suara hati-nurani yang dimaksud adalah suara hati-nurani untuk kepentingan masyarakat banyak. Hakim harus mampu menciptakan hukum sendiri melalui putusan-putusannya yang biasa disebut judge made law hukum yang dibuat oleh hakim 427 . 425 Aloysius Wisnusubroto, 1997, Hukum dan Pengadilan di Indonesia, Yogyakarta : Unika AtmaJaya, hlm., 91 426 K. Kwancik Saleh, 1977, Kehakiman dan Peradilan, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm., 39. 427 Antonius Sudirman, Op.,cit., hlm., 51. commit to user 331 BAB VI MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA UNTUK MEWUJUDKAN TUJUAN HUKUM Manusia terus menerus membangun dunia, membentuk pemahaman mengenai keberadaan diri dalam perubahan yang terus berlangsung. Bergerak melalui apa yang disebut sebagai proses konstruksi besar-besaran. Manusia berusaha melakukan interpretasi terhadap kondisi lingkungan terus berubah, mereka bertindak dan berjuang keras untuk “mengubah dunia”, yaitu alam sekitarnya dan masyarakat, atau berusaha memeliharanya agar tetap pada kondisi yang telah ada. Arah kehendak untuk mengubah atau mempertahankan adalah arah model yang menghasilkan kompleks pemikiran yang memberi petunjuk bagi munculnya permasalahan, konsep-konsep dan bentuk-bentuk pemikiran mereka. Sesuai dengan konteks kegiatan kolektif tertentu yang mereka lihati, manusia cenderung melihat secara berbeda-beda dunia sekitarnya 428 . Berkaitan dengan hal tersebut, Esmi Warassih, mengemukakan dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, maka sistem hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum dapat dikatakan efektif, apabila perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan- aturan hukum yang berlaku. Dalam hubungan ini persyaratan yang diajukan oleh Fuller, perlu diperhatikan 429 . Selanjutnya dikemukakan, bahwa hampir setiap 428 Anthon F. Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Bandung : Refika Aditama, hlm., 25. 429 Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Semarang : Suryanaru Utama, hlm., 95. Lon L. Fuller, berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai suatu sistem, maka harus dicermati apakah ia memenuhi 8 asas atau principle of legality, berikut ini : 1. Sistem hukum harus mengandungperaturan-peraturan, artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. 3. Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang commit to user 332 bidang kehidupan sekarang ini diatur oleh peraturan-peraturan hukum. Melalui penormaan terhadap tingkah laku manusia ini hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia. Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan, artinya hukum harus bisa menjadi institusi yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat 430 . Dalam kehidupan sekarang ini, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol terhadap tindakan pemerintah saja, melainkan hukum harus mampu mengendalikan permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam masyarakat yang semakin kompleks. Hukum harus mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat, kesejahteraan dalam masyarakat dan terwujudnya keadilan dan kebagaiaan dalam masyarakat. Menurut Beccaria sebagaimana dikutip oleh Rostov 1971, bahwa hukum itu pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungki orang to provide the greatest happiness devided among the greatest number 431 . Hukum merupakan salah satu proses produksi manusia sebagai aktor dalam membangun dunianya yang dapat dicermati dan ditelaah melalui inteaksi yang berlangsung di dalam masyarakat. Fenomena ini mampu menampilkan hukum lebih mengedepankan persoalan-persoalan yang berkembang di dalam masyarakat. Aktivitas masyarakat terus menerus dalam kehidupan sehari-hari memberikan makna penting bagi pembentukan hukum 432 . Sabian Ustman 433 , mengemukakan dalam berhukum bagi Indonesia, karena masih bepandangan bahwa hukum adalah undang-undang tanpa memperhatikan gejolak masyarakat, sehingga tidak ada komitmen dan moralitas untuk membangun hukum yang ideal berkeadilan, di samping berkepastian yang profesional bukan transaksional sebagai sarana memperkaya diri sendiri atau bertentangan satu sama lain. 6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7. Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah. 8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanannya sehari-hari. 430 Esmi Warassih, Ibid., hlm., 91 431 Esmi Warassih, Ibid., hlm., 66 432 Anthon F. Susanto,2004, Op., cit., hlm., 36 433 Sabian Utsman, Op., cit., hlm.,6 commit to user 333 golongan, saya melihat sudah begitu parahnya di negeri ini. Begitu menyedihkannya supremasi hukum kita dengan konsep-konsep yang melangit dalam tatanan law in the books yang berkutat pada paradigma positivistik, maka terjadilah institusi pengadilan mekanistik berfungsi sebagai tempat orang-orang korup dan pendosa untuk mencari perlindungan yang aman safe haven . S ebagaimana diungkapkan Satjipto Rahardjo : “... sistem lama, yang notabene adalah liberal itu, telah menimbulkan “penyakit-penyakit” sendiri, seperti juga telah banyak dikritik di Amerika Serikat di Indonesia, dalam konteks pemberantasan korupsi, sering dikatakan bahwa pengadilan telah menjadi tempat perlindungan yang aman safe haven bagi para koruptor 434 . Selanjutnya Sabian Utsman mengemukakan, untuk menggagas bagaimana Indonesia berhukum, maka harus berangkat dari perspektif kolektif dalam struktur sistem peradilan, sehingga membentuk konstruksi sebagai satu kesatuan yang searah kepada sasaran tertentu. Lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, dipandang oleh masyarakat sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan semua permasalahan yang timbul dalam kehidupan mereka. Pandangan ini tidak berlebihan, karena lembaga tersebut dihuni oleh orang-orang yang mempunyai pemahaman terhadap hukum, kualitas dan profesi yang berbeda dengan warga masyarakat. Kepercayaaan masyarakat untuk menyerahkan permasalahan ke lembaga tersebut masih cukup banyak, walapun lembaga tersebut setiap hari diguncang kritik dan hujatan. Adi Sulistiyono, mengemukakan sampai sekarang pengadilan masih dipercaya masyarakat sebagai lembaga untuk menyelesaikan sengketa, bahkan sebagian masyarakat pernah memberikan cap sebagai “benteng Keadilan” 435 . Selanjutnya, dengan mengambil pendapat Satjipto Rahardjo, dikemukakan bahwa secara teori keberadaan pengadilan merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk mengkoordinasi sengketa-sengketa yang terjadi dalam masyarakat, dan merupakan „rumah pengayom‟ bagi masyarakat pencari keadilan, yang mempercayai jalur litigasi serta dianggap sebaga i „perusahaan keadilan‟ yang mampu mengelola sengketa dan mengeluarkan produk keadilan yang bisa 434 Satjipto Rahardjo, dalam Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 7 435 Adi Sulistiyono, 2006, Krisis...., Op., cit., hlm., 2-3 commit to user 334 diterima oleh semua masyarakat. Berkaiatn dengan hal tersebut, Sabian Utsman mengemukakan, harus dingat bahwa berbibara hukum itu adalah berbibara dinamika, yaitu berbicara dalam konteks tantangan dan disisi lain jawaban dalam suatu persoalan challenge and response dan hukum itu sendiri memang seharusnya dirancang berdasarkan asumsi-asumsi tertentu, keadaan-keadaan tertentu, teritorial-teritorial tertentu, prinsip-prinsip tertentu dan dalam normalisasi-normalisasi tertentu serta pada susunan tertentu pula 436 . Satjipto Rahardjo, mengemukakan, dinamika hukum itu mengikuti pola “tantangan dan jawaban” challenge and response . Hukum itu dirancang berdasarkan asumsi- asumsi tetentu, yang kita sebut sebagai keadaan normal. Normalisasi itulah yang dipakai sebagai bahan untuk menyusun sekalian kelengkapan suatu bangsa dalam berhukum, seperti susunan institut-institut hukum, kewenangan, prosedur. Dalam keadaan norma itu tidak lagi ada, hukum tidak lagi dapat bertahan lebih lama dengan cara berhukum yang lama 437 . Hukum berfungsi sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia atau masyarakat, masyarakat selalu berkembang, maka kepentingan manusia pun berkembang secara makro maupun mikro. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum, oleh karena itu hukum harus ditegakkan dan melalui penegakkan itulah hukum menjadi kenyataan. Dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum rechtssicherheit , kemanfaatan zweckmassigkeit dan keadilan gerechtigkeit 438 . Sebagaimana dikemukakan oleh Radbruch 439 , dalam proses konstruksi mengandung tuntutan akan tiga hal yang oleh Radbruch, disebut dengan “nilai-nilai dasar dari hukum, yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian hukum 440 .Ketiga unsur tersebut dipergunakan sebagai penopang cita hukum idee des rechts . Cita hukum tersebut akan membimbing manusia dalam kehidupan 436 Sabian Utsman, Loc., cit. Hlm., 6 437 Satjipto Rahardjo, dalam Sabian Utsman, Loc., cit.,., hlm., 6 438 Sudikono Mertokusumo dan A. Pitlo, Op., cit., hlm., 1 439 Georges Gurvich, 1963, Sosiologi Hukum, Jakarta : Bhatara, hlm., 182 440 Radbruch, dalam Anthon F. Susanto, 2004, Op., cit., hlm., 46 commit to user 335 berhukum dan ketiga nilai dasar tersebut harus ada secara seimbang, namun seringkali ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis, melainkan satu sama lain saling berhadapan, bertentangan, ketegangan spannunggsverhaltnis . Dalam hal tejadi pertentangan demikian, yang mestinya dikedepankan adalah keadilan. Ketiga nilai dasar tersebut juga menjadi landasan bagi penegakan hukum 441 . Proses peradilan dari waktu ke waktu selalu berubah. Hal ini tentu saja berpengaruh pada peran hakim sebagai orang yang berwenang memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan ke pengadilan. Dari abad 19-20 dapat disaksikan secara pelan-pelan terjadinya perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan untuk rakyat. Pengadilan yang terisolasi ini juga dinyatakan dalam ungkapan pengadilan sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak kurang. Memang semangat liberal dan legalisme positivistik yang sangat luas pada abad 19 itu memberikan landasan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan berada. Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan judicial dictatorship . Hakim dalam memutus perkara semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsiranya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Oleh karena itu menjadikan pengadilan terisolasi dari keseluruhan kehidupan masyarakat dan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat tersebut 442 . Dikemukakan bahwa sementara itu dinamika masyarakat menampilkan pengorganisasian baru, seperti perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat, seperti buruh yang mengubah peta sosial politik secara mendalam. Kalau hukum liberal abad ke 19 banyak dikaitkan pada golongan borjuis, maka menjelang da memasuki abad ke 20 kata kincinya adalah rakyat. Naiknya peran dan partisipasi rakyat ini tidak dengan mudah diakomodasikan oleh institusi hukum, termasuk pengadilan. Sementara 441 Bambang Sutiyoso, Op., cit., hlm., 12 442 Satjipto Rahardjo, 2008, Membedah...., Loc., cit., hlm. 38 commit to user 336 pengadilan juga mengubah peranya dari semata-mata menjadi corong undang- undang, kepada pengadilan yang mewakili dan mendengarkan, bahkan ada ajaran, bahwa pengadilan hendaknya mampu menyuarakan mereka atau golongan- golongan yang unreppresented dan under-represented 443 . Satjipto Rahardjo 444 , para penegak hukum yang berjihad untuk memunculkan kekuatan hukum akan senantiasa memeras dan mendorong kata- kata dari teks hukum sampai ke titik paling jauh ultimate , sehingga kekuatan hukum keluar dari persembunyiannya. Pengadilan tidak lagi semata-mata menjadi tempat untuk menerapkan undang-undang. Hakim bukan lagi les bouches, qui prononcent les paroles de la loi mulut yang mengucapkan kata-kata undang- undang, melainkan seorang vigilante atau mujtahid. Dalam hal hakim memutus perkara dengan menggali nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat, maka akan lebih dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, karena pada prinsipnya hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Dengan demikian ketika masyarakat berubah, maka hakim dalam penegakan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dinamika kehidupan masyarakat. Pengadilan bukanlah institusi hukum yang steril, yang hanya berurusan dengan pengkonkritan undang-undang, melainkan memiliki jangkauan yang lebih luas. Pengadilan sudah menjadi institusi sosial yang peka terhadap dinamika perkembangan masyarakat. Pengadilan sarat dengan pikiran keadilan, pembelaan rakyat dan nasib bangsanya. Ternyata pengadilan juga berhati nurani concience of the court . Hakim sebagai penegak hukum di pengadilan harus benar-benar memperhatikan dinamika masyarakat. Hakim berhati nurani dalam memutus perkara, sehingga benar-benar bisa memberikan keadilan bagi masyarakat. Menurut Roscoe Pound 445 , ada tiga langkah yang dilakukan hakim dalam mengadili suatu perkara : 443 Satjipto Rahardjo, 2008, Loc., cit., hlm., 38 444 Satjipto Rahardjo, 2009, Op., cit., hlm., 56 445 Roscoe Pound, An Introduction to The Philosophy of Law, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, 1972, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta : Bhatara, hlm., 62 commit to user 337 1. Menemukan hukum, menetapkan kaidah mana dari sekian banyak kaidah di dalam sistem hukum yang akan diterapkan, atau jika tidak ada yang dapat diterapkan yang mungkin atau tidak mungkin dipakai sebagai satu kaidah untuk perkara lain sesudahnya berdasarkan bahan yang sudah ada menurut suatu cara yang ditunjukkan oleh sistem hukum. 2. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau ditetapkan secara demikian, yaitu menentukan maknanya sebagaimana pada saat kaidah itu dibentuk dan berkenaan dengan keluasannya yang dimaksud 3. Menerapkan pada perkaranya yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan dan ditafsirkan demikian Achmad Ali, mengemukakan dalam keadaan yang mendesak, perundang- undangan memang harus disesuaikan dengan perubahan masyarakat, tetapi tidak mesti demikian, sebab sebenarnya hukum tertulis atau perundang-undangan mempunyai “senjata ampuh” untuk mengatasi sementara terhadap kesenjangan tersebut. Senjata ampuh tersebut adalah penemuan hukum oleh hakim, dalam praktiknya hakim dapat melakukan konstruksi hukum dan atau penafsiran hukum, jika melihat kenyataan bahwa peraturan perundang-undang yang ada belum mengatur peristiwa tetentu atau belum jelas 446 . Undang-undang pada hakikatnya memang dimaksudkan untuk melindungi baik individu maupun masyarakat, tetapi pembentuk undang-undang kiranya mustahil untuk dapat memperhitungkan, memperhatikan dan menuangkan segala ragam bentuk kehidupan masyarakat dalam membuat suatu ketentuan yang bersifat umum. Oleh karena itu tidak mungkin mengatur segala-galanya secara terperinci, sehingga perlu sebagian tugasnya itu diserahkan kepada hakim 447 . Tugas hakim sebagaimana diamatkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan di muka sidang. Tujuan para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau perkaranya di pengadilan adalah untuk mendapatkan putusan yang benar dan adil, sehingga bermanfaat dalam kehidupannya. Putusan pengadilan atau hakim terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala putusan, pertimbangan atau konsideran dan amar atau diktum putusan. 446 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta : Gunung Agung, hlm., 192 447 Sudikno Mertokusumo, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta : Liberty, hlm., 23 commit to user 338 Dalam pertimbangan tersebut dapat diketahui logika hukum yang dibangun oleh hakim. Abdullah, mengemukakan bahwa esensi penalaran hukum dalam pertimbangan hukum putusan merupakan alat untuk menyusun argumen-argumen yang dapat membimbing pencari keadilan untuk memahami logika pemikiran dan pendapat hakim dalam memutus perkara. Dengan menerapkan penalaran hukum, maka suatu pertimbangan hukum putusan dapat diketahui alur pikir yang dibangun oleh hakim, konstruksi yuridis, baik berupa penafsiran hukum maupun argumentasi sebagai dasar dan menuntun kearah amar putusan. Dengan penalaran yang benar, maka suatu pertimbangan hukum putusan dapat diketahui logika berpikir yang digunakan hakim untuk membuktikan bersalah tidaknya tidaknya perbuatan terdakwa menurut hukum 448 . Dalam perimbangan hukum memuat uraian tentang korelasi antara fakta hukum yang terungkap di persidangan dengan aturan hukum yang dijadikan dasar pengujian KTUN yang disengketakan. Berkaitan dengan hal tersebut, hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap sengketa yang diajukan para pihak tidak boleh ceroboh, gegabah, emosi dan berat sebelah, sehingga putusannya akan menimbulkan permasalahan baru. Menurut Djokosoetono, hakim harus berpikir secara yuridis, sistematis dan teratur atau geordendenken, sehingga setiap persoalan hukum dapat dipecahkan secara baik dan benar dan putusannya dapat diterima secara yuridis, sosiologis dan filosofis 449 . Dalam putusan hakim yang paling penting adalah bahwa putusan tersebut dapat diterima oleh pencari keadilan dalam masyarakat secara ikhlas dan legowo, oleh karena itu dalam pertimbangan hukum yang memuat penalaran hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan hakim harus diperhatikan benar oleh hakim. Hakim di samping memperhatikan ketentuan dalam peraturan peundang-undang juga tidak boleh mengesampingkan atau meninggalkan begitu saja nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penalaran hukum menjadi lebih urgen dalam mengambil putusannya. Sebagaimana dikemukakan Abdullah, masyarakat menjadi mengerti dan memahami makna dan 448 Abdullah, Op.,cit., hlm., xiii 449 Purwoto S. Gandasubrata, 1994, Tugas Hakim Indonesia, Jakarta : Bina Yustisia Litbang MARI, hlm., 17 commit to user 339 fungsi penalaran hukum dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan. Dengan menerapkan penalaran hukum dalam perimbangan hukum, maka menunjukkan kualitas putusan, profesionalisme dan integritas moral hakim. Dalam menemukan esensi pertimbangan hukum putusan pengadilan, dapat dilakukan melalui penerapan teori kebenaran dan keadialn. Ada 3 teori kebenaran yang dapat diterapkan dalam pertimbangan hukum, yaitu teori koherensi, koresponden dan pragmatis. Dalam mengadili perkara, hakim tidak terlepas dari maksud dan tujuan pencari keadilan melimpahkan perkaranya melalui pengadilan, yaitu untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan, baik secara yuridis, sosiologis dan filosofis 450 . Selanjutnya dikemukakan, putusan pengadilan sebagai putusan hukum memuat beberapa hal antara lain, penalaran hukum yang di dalamnya memuat teori-teori sebagai landasan argumentasi hukum. Pengujian tahap pertama dalam persidangan menggunakan teori kebenaran koresponden dan koheren. Pengujian ini tidak hanya dilakukan oleh majelis sendiri, melainkan juga oleh para pihak. Teori ini sangat penting untuk menguji kebenaran alat bukti yang diajukan dan terungkap dipersidangan. Kebenaran koresponden dapat digunakan untuk menguji korelasi antara alat bukti yang satu dengan yang lain, apabila ada korelasi antara dalil-dalil dengan alat bukti, maka secara korespondensi adalah benar. Pengujian ini memperoleh kebenaran empiris dan menggunakan pola pikir induktif. Kebenaran koherensi dapat digunakan untuk melakukan sinkronisasi antara dalil- dalil dengan peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi yang pernah ada. Mendasarkan yurisprudensi bukan berarti mendasarkan pada asas preseden. Kebenaran pragmatis menyangkut manfaat dari putusan, karena sifatnya futuristik. Manfaat putusan pengadilan dapat diketahui setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan putusan tersebut baru memenuhi kebenaran pragmatis, apabila dapat dilaksanakan atau eksekusi 451 . Sebagaimana dikemukakan bahwa tugas hakim adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara atau sengketa yang diajukan para pihak di 450 Abdullah, Op., cit., hlm., 25 451 Abdullah, Op., cit., hlm., 30 commit to user 340 muka sidang, seperti yang diamanatkan dalam undang-undang Nomor 48 Tahun2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tugas tersebut, sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo : Tahap pertama, kalau diajukan kepadanya suatu perkara, hakim haruslah mengkontatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan itu. Mengkonstatir berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya suatu peristiwa yang diajukan tersebut dan untuk sampai pada konstatering, hakim harus mempunyai kepastian. Hakim harus pasti akan konstateringnya itu, ia harus pasti akan kebenaran peristiwa yang dikonstatirnya, sehingga konstateringnya itu tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah tentang adanya peristiwa yang bersangkutan. Dalam hal tersebut, hakim harus menggunakan sarana-sarana atau alat-alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Hakim harus melakukan pembuktian dengan alat-alat tersebut untuk mendapatkan kepastian tentang peritiwa yang diajukan kepadanya. Jadi mengkonstatir peristiwa berarti sekaligus juga membuktikan atau menganggap telah terbuktinya peristiwa yang bersangkutan. Tahap kedua, hakim mengkualifisir peristiwa itu. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan apa atau yang mana, dengan perkataan lain menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Untuk menemukan hukumnya hakim sering melakukan penerapan hukum terhadap peristiwanya. Dicarikan dari peraturan hukum yang ada, ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan pada peristiwa yang bersangkutan. Kalau peristiwanya sudah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, maka penerapan hukumnya pada umumnya merupakan pekerjaan yang boleh dikatakan mudah. Jadi mengkualifisir pada umumnya berarti menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa, suatu kegiatan yang pada umumnya bersifat logis. Dalam kenyataannya menemukan hukum tidak sekedar menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwanya saja. Lebih-lebih kalau peaturan hukumnya tidak tegas dan tidak jelas, maka dalam hal ini hakim tidak lagi harus menemukan hukumnya, melainkan menciptakan sendiri. Dalam kaitan dengan hal ini menurut Cardozo, seorang hakim terkenal dari commit to user 341 Amerika, menyebutkan :” The law which is the resulting product is not found but made. The process in its bighest rea ches is not discovery, but creation” . Mengkualifisir peristiwa mengandung unsur kreatif, sehingga daya cipta hakim besar sekali peranannya. Ia harus berani menciptakan hukum yang tidak bertentangan dengan keseluruhan sistem perundang-undangan dan memenuhi pandangan masyarakat serta kebutuhan jaman. Tahap ketiga, hakim harus mengkonstitur atau memberi konstitusinya. Hal ini berarti hakim menetapkan hukumnya terhadap peristiwa yang bersangkutan, memberi keadilan. Hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor , yaitu peraturan hukum dan premise minor, yaitu peristiwanya. Sekalipun ini merupakan silogisme, tetapi bukan semata-mata hanya logika saja yang menjadi dasar kesimpulannya. Keadilan yang diputuskan oleh hakim bukanlah produk dari intelek hakim, “but of his spirit”, kata Sir Alferd Denning, seorang hakim terkenal di Inggris 452 . Achmad Ali, mengemukakan bahwa proses penemuan hukum dimulai pada tahap kualifikasi dan berakhir pada tahap konstutir 453 . Berkaitan dengan penemuan hukum oleh hakim, bahwa menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kant, hakim dalam menerapkan undang- undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang bouche la loi , sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak pula dapat menguranginya. Menurut Montesquieu, undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif, oleh karena itu demi kepastian hukum, kesatuan hukum dan kebebasan warga negara yang terancam kebebasan hakim, maka hakim harus berada di bawah undang- undang. Peradilan tidak lain hanyalah bentuk silogisme 454 . Menurut pandangan klasik semua hukum terdapat lengkap dan sistematis dalam undang-undang dan tugas hakim adalah mengadili sesuai atau menurut bunyi undang-undang, disebut 452 Sudikno Mertokusumo, dalam Adi Sulistiyono, 2006, Op., cit., hlm., 75-76, lihat juga dalam Bambang Sutiyoso, 2006, hlm., 17-18 453 Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 120 454 Sudikno Mertokusumo, 2010, Op., cit., hlm., 53 commit to user 342 dengan penemuan hukum heteronom. Ternyata pandangan typis logicistis atau heteronom tersebut tidak dapat dipertahankan, karena sejak kurang lebih tahun 1850 perhatian ditujukan kepada peran penemuan hukum yang mandiri. Hakim tidak lagi dipandang sebagai corong undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk kepada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuahn-kebutuhan. Pandangan ini dikenal sebagai pandangan materiil yuridis atau otonom dan tokohnya antara lain Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, Francois Geny, Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Paul Scholten 455 . Berkaitan dengan hal penemuan hukum oleh hakim, khususnya penemuan hukum oleh hakim PTUN, maka timbul pertanyaan bagaimana hakim PTUN membangun konstruksi penemuan hukum dalam memeriksa, memutus dan mengadili sengketa TUN yang diajukan pihak penggugat di muka sidang?. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tugas hakim dalam menyelesaikan perkara atau sengketa hanya sekedar menerapkan undang-undang terhadap peristiwanya heteronom dan hakim menjelaskan atau melengkapi undang- undang untuk diterapkan pada peristiwanya otonom. Dalam hukum positif, terdapat ketentuan tentang kebebasan hakim dalam kaitan dengan penerapan undang terhadap peristiwa yang dihadapinya, seperti pada Pasal 1 ayat 1, Pasal 4 ayat 1, Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa tertentu tidak perlu ragu-ragu lagi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pijakan hakim untuk menemukan hukum kiranya sudah jelas, maka harus ada keberanian dari hakim, karena dalam mengambil putusan kreativitas hakim sangat dibutuhkan. Berdasarkan hal tersebut, maka hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus berpandangan luas dan mendalam, mempunyai kemampuan dan kreativitas dalam tugasnya sebagai penerap undang-undang, hakim dapat menyelesaikan sengketa yang diajukan di muka sidang karena ia diangap tahu 455 Sudikno Mertokusumo, 2010, Op., cit., hlm., 55 commit to user 343 hukum, hakim harus berani menjatuhkan putusan dengan melakukan terobosan hukum, sekalipun undang-undang telah mengaturnya terhadap suatu peristiwa, karena ketentuan dalam undang-undang tersebut telah usang atau ketinggalan jaman. Tugas hakim PTUN adalah menguji toetsings keabsahan KTUN yang disengketakan para pihak di muka sidang, pengujian KTUN tersebut didasarkan pada undang-undang yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengujian tersebut khususnya terhadap penerapan hukum dari KTUN yang disengketakan. Ketentuan pengujian tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a, b Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, adalah sebagai pedoman atau dasar untuk menguji teotsingsgronden, grounds for review keabsahan KTUN. Terdapat keberanian dari hakim PTUN untuk melakukan terobosan dari ketentuan dalam Pasal 53 ayat 2 yang sebenarnya dipergunakan sebagai pedoman atau dasar untuk menguji keabsahan KTUN, ia melakukan penyimpangan demi rasa keadilan masyarakat. Seperti putusan PTUN Semarang, Nomor 08G2009PTUN, SMG. Putusan tersebut mengabulkan gugatan karena jangka waktu gugatan telah habis atau lewat 90 hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Putusan Nomor 04G2009PTUNSMG, lebih menitik beratkan pada nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Putusan Nomor 03GTUN2000PTUNYk, hakim cenderung memperhatikan keadilan penggugat, karena hanya berjudi satu kali dan sebenarnya perjudian yang dilakukan untuk mencari informasi tentang pembunuhan, Sumardiyono harus diberhentikan dari jabatannya. Hakim PTUN, seperti Teguh Satya Bhakti, Maftuh Effendi, Retno dan Agus, pada dasarnya mempunyai pendapat yang sama bahwa ketentuan di dalam undang-undang tersebut pada prinsip sebagai pedoman saja, karena sebagai pedoman, maka dapat disimpangi atau tidak selalu dipedomani, demi keadilan masyarakat. Solusi membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim, ditawarkan oleh Paul Scholten, masa keemasan hakim memperlakukan hukum seperti pekerjaan matematis yang memproses undang-undang seperti memproses angka- commit to user 344 angka secara logis hanteren van logische figuren sudah lewat. Pekerjaan hukum itu lebih dari sekedar silogisme. Putusan hukum tidak dibuat semata-mata menurut jalur logika, melainkan melompat in de beslissing zit altijd ten slotte een sprong. Satu hal yang diangkat oleh Scholten, mengajukan gagasan mengenai “ logische expansiekracht van het recht ”, kekuatan hukum untuk mengembangkan diri. Menurut beliau hukum bukan merupakan bangunan logis yang tetutup logische geslotenheid , ada kekuatan yang tersembunyi dalam hukum 456 . Membangun kontruksi dalam kaitannya dengan penemuan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara dapat dilakukan dengan memperbaiki pemikiran hakim, bahwa hakim dalam menyelesaiakn sengketa tidak harus mendasarkan pada ketentuan dalam undang-undang yang bersifat normatif semata, hakim tidak hanya berkutat dengan aturan-aturan yang mengedepankan bentuk formalnya sebagai produk legeslatif, yang bersifat mekanistik, deterministik dan lebih cenderung untuk menghasilkan keadilan yang bersifat prosedural atau formal. Membangun dalam arti mampu menggeser pemikiran- pemikiran hakim yang didominasi ajaran positivisme hukum atau legisme yang menganggap hukum sebagai satu-satunya sumber hukum, dan anggapan bahwa di luar undang-undang bukan merupakan hukum. Membangun konstruksi dimaksudkan sebagai solusi untuk mengadakan perubahan penafsiran atau interpretasi, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum dalam proses peradilan, hakim tidak harus terbelenggu atau terikat dengan aturan-aturan formal dan pengolahan logika. Membangun kontruksi penemuan hukum oleh hakim dimaksudkan hakim berani melakukan penafsiran untuk keluar dari makna teks undang-undang agar dapat berfungsi mewujudkan dan memberikan perlindungan bagi komunitas masyarakat pencari keadilan, namun dalam kenyataan banyak tantangan. Sebagaimana dikemukakan, perkembangan pemikiran kritis tentang hukum di Indonesia cukup menggembirakan terutama di kalangan aktivis dan akademisi, meskipun tantangan untuk dapat memberi pengaruh pada perombakan sistem hukum nasional masih merupakan pekerjaan berat dan jangka panjang. Tantangan 456 Paul Scholten, dalam Satjipto Rahardjo,2009, Lapisan...Op., cit., hlm., 57 commit to user 345 terbesar para peminat pemikiran kritis tentang hukum adalah kemampuannya untuk mendekonstruksi pemikiran hukum dominan di Inodnesia yang pondasi teoritiknya berbasiskan pemikiran legal positivisme 457 .Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan, hukum perundang-undangan nasional, berikut konkretisasinya dalam bentuk amar-amar putusan pengadilan, dicitakan selalu terbuka terhadap berbagai kajian dan kritik dekonstruktif yang dilakukan lewat berbagai gerakan sosial peduli hukum, agar hukum nasional dapat berfungsi sebagai salah satu kekuatan penggalang kehidupan masyarakat Indonesia baru mampu bertindak responsif untuk kepentingan publik 458 Satjipto Rahardjo, mengemukakan gagasan hukum progresif yang sejak 2002 dicoba untuk dikembangkan merupakan lahan persemaian yang bagus bagi pengembangan kekuatan yang tersimpan dalam hukum. Hukum progresif menolak cara berhukum yang menyebabkan hilangnya dinamika hukum. Hukum menjadi statis dan stagnan manakala tidak berusaha untuk menyiangi dan menyingkirkan hambatan-hambatan yang menyebabkan hukum menjadi stagnan. Salah satu hal yang akan terhambat adalah tidak munculnya kekuatan yang sebenarnya ada secara inheren dalam hukum. Kekuatan yang tersimpan itu menjadi tidak muncul, karena para penegak hukum sendiri yang menyebabkannya. Penghambatnya adalah caracara berhukum yang hanya dengan mengeja teks undang-undang. Tidak dimunculkannya kekuatan yang ada di dalam hukum itu menyebabkan hukum yang seharusnya mampu atau tajam menjadi tumpul dan tidak mampu menyelesaikan pesoalan yang dihadapinya. Hukum dan penegakkan hukum perlu memasuki ranah psikologi, berarti hukum tidak hanya berurusan dengan peraturan melainkan juga perilaku. Perilaku yang dibutuhkan untuk memunculkan kekuatan hukum adalah apa yang dalam bahasa jawa disebut sebagai “ mesu budi ”, yaitu mengerahkan kekuatan spiritual. Pekerjaan hukum adalah lebih dari hanya logis- rasional, melainkan sesuatu yang menurut kreativitas dari para pelakunya. Di sinilah pekerjaan memunculkan kekuatan hukum itu memperoleh tempatnya 459 . 457 Huma, Loc., cit., hlm., iii. 458 Soetandyo Wignjosoebroto, 2007, Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Jakarta : Huma, hlm, 98. 459 Satjipto Rahardjo,2009, Lapisan, Op., cit., hlm., 57-58 commit to user 346 Dalam kesempatan lain, Satjipto Rahardjo mengemukakan, apakah pengadilan membutuhkan suatu rekonstruksi besar-besaran? Sangat mungkin memang itu yang dibutuhkan . Barangkali bukan hanya rekonstruksi, tetapi sebelumnya itu rupa-rupanya kita perlu melakukan dekonstruksi terhadap pengadilan kita lebih dahulu. Dekonstruksi di sini adalah membuang cara kerja pengadilan yang lama, dekonstruksi sebaiknya bermula dari sikap para hakim terhadap pekerjaannya dan cara berpikir mereka. Berdasarkan pertanyaan tersebut saya lebih condong kepada pengubahan perilaku dan pikiran hakim daripada merubah hukum, terutama untuk mengembalikan lembaga pengadilan dan Mahkamah Agung menjadi “ credible ” dan “ reliable ” sekarang ini, lebih diperlukan “perubahan manusia” daripada “perubahan hukum” 460 . Dekonstruksi yang dianjurkan dan dikerjakan di sini berlangsung berdasarkan kebijakan “pembalikan hierarki” dan upaya metode penemuan metode baru untuk menafsir ulang maksud yang terkandung dalam norma hukum. Mengenai kebijakan yang disebut the reserval of hierarchies yang dalam bahasa aslinya norma hukum mengandung dua nilai kepentingan, yaitu suatu dominan yang lebih diutamakan dan lainnya tidak diutamakan yang tidak perlu ditampilkan. Dekonstruksi harus bekerja untuk segera menampilkan pihak yang selama ini kepentingannya tidak ditampilkan dan karena itu tidak dibicarakan. Dekonstruksi melalui penafsiran ulang isi kandungan sebuah norma hukum yang ada dilakukan berdasarkan ide the free play of the text. Suatu teks undang-undang atau teks amar putusan hakim itu begitu selesai dirumuskan akan begitu terbebas dari maksud perumusannya yang semula. Setiap teks mempunyai riwayat hidupnya sendiri. Setiap generasi akan mengubah isi teks itu kembali lewat berbagai kesempatan berijtihad, sedangkan generasi terdahulu penciptanya tidak lagi ada dayanya untuk mencegahnya 461 . Selanjutnya dikemukakan bahwa mendekonstruksikan teks harus bermodal kesediaan untuk memaknakan isi teks 460 Satjipto Rahardjo, Rekonstruksi Pembangunan Hukum Menuju Pembangunan Pengadilan yang Independen dan Berwibawa, Makalah seminar diselenggarkan oleh Universitas Ahmad Dahlan , Yogyakata, 28 Maret 2000, hlm., 3-4. Dalam Anthon F. Susanto, 2004, hlm., 15 461 Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta : Elsam, Huma, hlm., 80. commit to user 347 secara berbeda menurut konteks yang nyatanya telah berbeda pula. Mengartikan suatu isi teks berdasarkan makna aslinya adalah pekerjaan sia-sia dan tidak perlu. Kerja rekonstruksi harus tetap menjadi bagian dari strategi kerja-kerja dekonstruksi. Pelajaran hidup bernegara selama berpuluh tahun adalah terlalu mahal untuk tidak membuat kita menjadi berani melakukan pemikiran ulang terhadap cara-cara memahami hukum, undang-undang, dan negara hukum. Hal tersebut yang menyebabkan diajukan gagasan berani melakukan dekonstruksi terhadap cara-cara berpikir mengenai hukum. Intisari dari pikiran mendekonstruksi hukum, kredo jawa yang dijukan berbunyi tidak boleh menjadi tawanan undang-undang, itulah esensi dekonstruksi yang meliputi aspek kognitif dan afektif. Lebih dalam lagi, maka falsafah yang mengilhami adalah hukum itu untuk manusia dan tidak sebaliknya 462 John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, telah melakukan sesuatu yang besar, sehingga Supreme Court yang sebelum itu disebut sebagai bagian yang paling lemah dalam kenegaraan dibanding dengan eksekutif dan legislatif, muncul sebagai kekuatan di samping keduanya. John Marshall menyatakan, bahwa Mahkamah Agung memiliki kekuatan untuk menyatakan undang-undang act of conggres sebagai tidak konstitusional 463 . Hakim Agung Earl Warren sangat kreatif pada waktu dihadapkan kepada tuntutan irama perubahan sosial yang besar di Amerika Serikat menghadapi abad ke-20. Warren menempatkan diri sebagai transformator menuju Amerika baru, yaitu dengan menerima tugasnya bukan hanya sebagai hakim, tetapi legislator. Dalam tugasnya tersebut, ia banyak mengubah corpus hukum konstitusi Amerika Serikat 464 Perubahan perilaku yang dimaksud, diharapkan mampu memberikan pemahaman holistik terhadap persoalan peradilan menyangkut struktur, kultur dan model aturan, bahkan apabila mungkin dapat diharapkan membangun kecerdasan peradilan menuju era pencerahan. Aparatur hukum tidak hanya bekerja mengikuti aturan, berpikir logis dan rasional atau hanya berdasarkan emosi untuk mengenali 462 Satjipto Rahardjo, 2006, Loc., cit., hlm., 120. 463 Satjipto Rahardj, 2007, Op., cit., hlm., 100. 464 Ibid., hlm., 102. commit to user 348 pola, dan membentuk kebiasaan, namun mereka harus mampu menangkap secara utuh mengenai realitas yang mereka hadapi, inilah sebuah cita menuju pemahamahan yang utuh dan holistik, yaitu menu ju “konteks makna”. Dikemukakan bahwa peradilan tidak dapat dan memang bukan saatnya bermain- main dengan dunianya sendiri, namun harus mendengarkan kepentingan lebih luas, karena beban yang ditanggung semakin berat mengingat harapan pencari keadilan, fungsi kontrol harus menyentuh dimensi mendasar daripada sekedar menggantungkan harapan kepada aturan hukum atau membuat aturan-aturan baru. Hal ini karena aturan cenderung otoriter dan sering memberikan pemahaman rumit serta berbelit-belit daripada menjelaskan tujuan sebenarnya 465 . Oleh karena itu kontrol yang dibangun melalui perilaku dan di dalamnya menunjuk kepada peran kedirian proses dialektika dalam diri aparatur hukum diharapkan dapat mendorong terciptanya kinerja bertanggung jawab dan kualitas kelembagaan yang secara otomatis memberikan penegasan akan pentingnya penerapan aturan. Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dapat melalui metode penafsiran atau interpretasi dan konstruksi hukum. Metode interpretasi dilakukan dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelaskurang jelas untuk diterapkan pada peristiwa konkret, sedangkan metode konstruksi hukum dilakukan memang peraturannya tidak ada terhadap peristiwa konkret, sehingga terjadi kekosongan hukum atau kekosongan undang-undang. Menurut Anthon F. Susanto, menafsirkan atau melakukan pembacaan bukan hanya merupakan analisis, tetapi juga sebuah upaya penghancuran, bukan hanya membagi keutuhan ke dalam uraian parsial, tetapi juga menyimpulkan bagian-bagian ke dalam suatu pandangan global. Dengan kata lain, menafsirkan adalah mencari hakekat sesuatu. Menafsirkan adalah menemukan sesuatu yang baru antara hukum dengan realitas 466 . Pada suatu saat para penegak hukum hakim mendapat permasalahan terutama berkaitan dengan teks yang tersusun statis dan kaku, hakim harus berani 465 Nonet Selznick, menjelaskan “The rule of law” in modern society in no less authoritarian than the rule of men in pre modern society; it enforces the maldistribution of wealth and power as of old, but it does this in such complicated and indirect ways as to leave the observer bewidered”, dalam law and society in transsition, hlm., 5, dalam Anthon F. Susanto, hlm., 16. 466 Anthon F.Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan, Yogyakarta : GentaPublishing, hlm., 49 commit to user 349 mengambil langkah melakukan terobosan. Sebagaimana dikemukakan, faisal 467 , ketika muncul persoalan dalam peradilan Asrori, semestinya penegak hukum tidak dapat terkungkung oleh dimensi teks hukum secara statis, justru dengan menggunakan instrumen penafsiran produktif, pencarian makna keadilan lebih tepat dirasa untuk dilakukan, ketimbang wacana tuturan harus berbanding lurus dengan wacana tertulis yang mana hal itu mengakibatkan penafsiran yang bermakna keadilan sulit untuk diwujudkan. Faisal lebih cenderung mengambil hermeneutika Paul Ricouer, sebagai metode yang mampu mendamaikan dan memberikan horizon baru bagi pemaknaan relasi antara pengarang, teks dan pembaca. Dalam pandangan Ricouer, wacana tuturan yang telah menjadi wacana tuklisan teks dapat bersifat otonom untuk dilakukana “ dekontekstualisasi ” dan “ rekontekstualisasi ”. Kegiatan dekontekstualisasi mempunyai arti bahwa materi teks „melepaskan diri‟ dari konteks pengarang, untuk masuk ke konteks pembaca yang lebih luas lagi rekontekstualisasi 468 . Faisal dalam menginterpretasi teks adalah sejalan dengan semangat hermeneutika teks Ricouer, ia tidak menginginkan teks hukum harus ditafsir secara mekanistik. Disebabkan oleh proses distansiasi, maka teks hukum menjadi teks terbuka untuk ditafsirkan 469 . Demikian pernyataan Machteld Boot, bahwa setiap norma hukum membutuhkan interpretasi 470 . Senada dengan Boot adalan Van Bemmelen dan V an Hattum, yang secara tegas menyatakan : “ elke geschreven wetgeving behoefl interpretatie”, setiap aturan perundang-undangan tertulis membutuhkan interpretasi 471 . Satjipto Rahardjo, mengemukakan hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran, oleh karena itu hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi. Membuat hukum legislation adalah satu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat itu merupakan keharusan 467 Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta : Rangkang Education, hlm., 138 468 Secara normatif “dekontekstualisasi” berarti proses „pembebasan‟ dari konteks, sedangkan “rekontekstualisasi” bermakna sebagai proses masuk kembali ke dalam konteks, Fauzi Fashri, dalam Faisal, hlm., 138. 469 Faisal, Ibid., hlm., 139. 470 Machteld Boot, dalam, Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta : Erlangga, hlm., 65 471 Van Bemmelen En Van Hattum, dalam Eddy O.S. Hiariej, Ibid., hlm., 65 commit to user 350 berikutnya 472 . Aturan model aturan perundang-undangan tidak begitu saja jatuh dari langit, namun merupakan produk manusia, atau paling tidak ada peran serta manusia di dalam prosesnya, bahkan dalam banyak hal, aturan dapat mengikat masyarakat bukan karena aturan tersebut seharusnya mengikat, tetapi karena faktor yang di luar aturan hukum yaitu para pembuatnya. Aturan perlu interpretasi, sehingga mampu menjawab realitas, bahkan seharusnya realitas itu mewujudkan dalam aturan, sehingga dapat diaktualisasikan melalui kinerja aparatur hukum. Aturan selalu berkait dengan apa yang disebut sebagai wacana simbol, yang pada akhirnya akan memunculkan tafsiran-tafsiran yang bersifat pluralis dan perpektif, ketimbang keseragaman dan obyektif 473 . Berkaitan dengan penemuan hukum oleh hakim PTUN, yaitu dalam membangun konstruksi penemuan hukum dalam pengujian keabsahan KTUN yang disengketakan di muka sidang, maka hakim PTUN dapat melakukan dengan metode penafsiran atau interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Hakim PTUN tidak boleh terjebak atau terkungkung oleh aliran positivisme, yang mengajarkan bahwa undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum, sebagai hakim yang hanya membunyikan undang-undang atau terompet undang-undang, dalam memutus perkara semata-mata menuruti apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum atau undang-undang. Hakim PTUN dalam menguji keabsahan KTUN tidak boleh terjebak oleh rutinitas atau formalitas saja, melainkan harus berani melakukan terobosan hukum, karena berbicara hukum berarti bicara tentang dinamika. Satjipto Rahardjo, mengemukakan bahwa hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya, hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai yang berlaku atau hidup dalam masyarakat dan hukum yang baik adalah muncul dari nilai-nilai hukum dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah waktunya penemuan hukum yang dilakukan hakim PTUN meninggalkan cara kerja yang lama hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang , hakim harus berani membangun konstruksi penemuan hukum yang dilakukan melalui metode 472 Satjipto Rahardjo, dalam Anthon F. Susanto, 2005, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Bandung : Refika Aditama., hlm., 6 473 Anthon F. Susanto, 2004, Op., cit., hlm., 20-21 commit to user 351 penafsiran atau interpreasi dan konstruksi hukum, hakim tidak boleh terkungkung oleh bingkai peraturan yang tidak dapat keluar dari lingkaran, hakim tidak boleh terbelenggu pada kebenaran formal dan prosedural, mekanistik saja. Hakim PTUN dalam tugasnya harus berani melakukan dekonstruksi terhadap pengadilan yang ditawarkan Satjipto Rahardjo. Dekonstruksi adalah membuang cara kerja yang lama yang bermula dari sikap hakim terhadap pekerjaannya dan cara berpikir mereka dan beliau lebih condong kepada perubahan terhadap perilaku dan pikiran hakim daripada merubah hukum. Perilaku dan berpikir hakim dalam melaksanakan tugasnya, yaitu menerapkan undang terhadap peristiwanya, hakim harus mampu untuk merubah rutinitas penerapan hukum yang mendasarkan pada logika deduktif saja, mereka harus berani melepaskan ajaran legisme yang selama ini menghantuinya. Putusan hakim sebagai upaya mewujudkan kebenaran dan keadilan dapat diterima oleh masyarakat, karena sesuai dengan prinsip-prinsip sebagaimana telah dikemukakan Gustav Radbruch, yaitu kepastian hukum rechtssicherhiet , keadilan gerechtigkeit dan kemanfaatan zweckmassigkeit . Hakim dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, yaitu menguji atau menilai keabsahan ketetapan beschikking seharusnya tidak lagi terbelenggu pada aturan-aturan normatif belaka, hakim harus berani meninggalkan cara-cara lama atau tradisional yang dipengaruhi oleh aliran hukum positif atau legisme, tidak diperbolehkan menafsirkan ketentuan dalam undang-undang, meninggalkan cara berpikir dengan menggunakan logika deduktif yang lebih cenderung menerapkan pasal-pasal tanpa dibarengi dengan keaktifan, kreatifan hakim, tidak hanya terbelenggu pada pemikiran yang linear dan tidak menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul sampai keakar-akarnya. Dalam dinamika masyarakat yang semakin kompleks, hukum dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan tersebut, karena hukum untuk manusia sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo. Hakim sebagai unsur penegak hukum dan keadilan, sudah barang tentu dalam kaitannya dengan tugasnya dalam peradilan yang produknya melalui putusannya berupa hukum, harus dapat diterima oleh masyarakat atau putusan yang membumi. Hakim sebagai aktor mempunyai kemampuan untuk mengadakan pilihan-pilihan sesuai yang dengan tujuan yang hendak dicapai commit to user 352 dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap cara menggunakan alat dan caranya. Satjipto Rahardjo mengemukakan, hakim harus berani melakukan perubahan terhadap perilaku berpikir yang lama dekonstruksi daripada merubah undang-undangnya. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan, yaitu berbagai pendapat atau pandangan dari para ahli atau doktrin, dan aliran-aliran hukum yang telah diakui keberadaannya sebagai upaya untuk melakukan konstruksi penemuan hukum oleh hakim dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara, maka usaha konstruksi penemuan hukum terutama dalam kitannya dengan pemikiran hakim tersebut meliputi : pemikiran positivism hukum, mengaplikasikan kebebasan hakim. Berkaitan dengan rekonstruksi, Roberto Unger merupakan penulis yang visioner. Unger menuliskan agenda rekonstruksinya dalam bentuk ajakan untuk melakukan gerakan menuju ke apa yang ia namakan emporewed democracy dan keterkembangkannya transformative politics. Unger berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat itu merupakan suatu bangunan hierarkis yang amat kaku dan tak gampang responsif pada tuntutan publik. Suatu gerakan harus dilancarkan untuk membikin struktur tersebut dapat berubah lebih responsif, demokratis, peka pada permasalahan manusia, dan kemudian bersedia untuk dimintai pertanggung-jawaban 474 Sebagaimana diketahui bahwa dalam banyak literatur dikemukakan hakim dalam menerapkan undang-undang hanya membunyikan bunyi ketentuan dalam undang-undang, hakim hanya sebagai corong undang-undang la bouche de la loi , hakim hanya menerapkan undang-undang dan tidak diperbolehkan untuk menafsirkan undang-undang, berpikir secara logika dan lebih mengandalkan pada rasio, mekanistik dan serial thinking yang belum menyelesaikan permasalahan hukum sampai keakar-akarnya. Cara berpikir hakim yang demikian itu, tak lepas dari pengertian-pengertian dasar yang mereka peroleh, juga karena adanya tauladan yang diberikan oleh hakim yang terdahulu, modal dasar yang mereka dalam waktu penggemblengan calon hakim dan tiadanya petunjuk atau nasihat cara kerja yang dibutuhkan pasar atau masyarakat pencari keadilan, tidak ada 474 Soetandyo Wignjosoebroto, Op., cit., hlm., 81 commit to user 353 teguran terhadap cara kerja yang dilakukan berdasarkan ketentuan dalam undang- undang. Dalam arti apa yang dikerjakan hakim dengan berdasarkan pada norma hukum tertulis saja, tanpa memperhatikan kearifan lokal dan hukum tak tertulis atau nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah sah- sah saja. Paradigma hukum positif banyak berpengaruh terhadap cara pemikiran manusia, sebagaimana dikemukakan Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra 475 .

A. Membangun Konstruksi Penemuan Hukum.