Penerapan Undang-undang oleh Hakim

commit to user 203

BAB IV PENGUJIAN KEABSAHAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA

OLEH HAKIM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

A. Penerapan Undang-undang oleh Hakim

Kewenangan pengujian keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara disingkat KTUN oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara disingkat PTUN adalah berdasarkan pada Pasal 47 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Pasal 47 tersebut berbunyi : Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara disingkat sengketa TUN. Kompetensi PTUN memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN tersebut timbul sebagai akibat dikeluarkannya KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN dalam bidang tata usaha negara. Pengertian Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku 315 . Pengertian KTUN 316 adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 315 Lihat Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 316 Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 commit to user 204 Suatu hal yang perlu mendapat perhatian bahwa tidak semua KTUN langsung diperiksa oleh hakim PTUN, artinya terdapat ketentuan yang mewajibkan kepada orang atau badan hukum perdata untuk menyelesaikan lebih dahulu melalui lembaga atau instansi yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 48, yaitu : 1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa TUN tertentu, maka sengketa TUN tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. 2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 jika seluruh upaya administatif yang bersangkutan telah digunakan. Upaya administratif dalam penyelesaian sengketa TUN dibedakan menjadi : a. Keberatan, adalah prosedur penyelesaian sengketa tata usaha negara secara administratif yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tersebut. Skema kompetensi absolut PTUN Pasal 47---sengketa TUN Pasal 1. 9--- sengketa timbul berdasarkan KTUN Termasuk KTUN adalah : Pasal 1.9 + Pasal 3 – Pasal 2 + Pasal 49. commit to user 205 b. Banding administratif, yaitu prosedur penyelesaian sengketa tata usaha negara secara administratif yang dilakukan oleh instansi atau atasan lain dari yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara. Terlepas dari kajian penyelesaian sengketa TUN yang langsung ke PTUN maupun tidak langsung ke PTUN, maka kajian dalam penelitian disertasi ini dititik beratkan pada sengketa TUN yang diselesaikan di PTUN. Sebagaimana dikemukakan bahwa PTUN mempunyai kewenangan untuk menguji keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dan pengujian tersebut berdasarkan pada Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan kedua dari Undang- undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Eksistensi PTUN dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara hanya sebatas melakukan pengujian terhadap KTUN yang disengketakan para pihak dari segipenerapan hukumnya saja rechtsmatigheid . Sehubungan dengan hal tersebut Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, mengemukakan sebagai ciri utama Pengadilan Administrasi Negara disebut PTUN salah satunya adalah wewenang hakim administrasi terbatas hanya penilaian dan pertimbangan jugdment , beoordelling tentang yuridiktas rechtsmatigheid , kesesuaian dengan hukum dari tindak hukum administrasi negara yang ditentang 317 . Pengujian dari segi hukum dilakukan dengan menilai apakah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku in strijd met de wet dan asas-asas umum pemerintahan yang baik 318 Keputusan Tata Usaha Negara atau obyek sengketa yang dikeluarkan tergugat atau beschhiking bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika : a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang bersifat proseduralformal 317 Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Loc. cit. Hlm. 21. 318 Lihat Pasal 53 ayat 2 huruf, a,b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. commit to user 206 b. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan- undangan yang bersifat materialsubstansial c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat yang tidak berwenang 319 Keputusan Tata Usaha Negara KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang onvoegdheid disebut keputusan yang cacad mengenai kewenangan bevoegdheidgebreken yang meliputi : a. Onbevoegdheid ratione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat yang tidak berwenang mengeluarkannya kompetensi absolut b. Onbevoegdheid ratione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya kompetensi relatif c. Onbevoegdheid ratione temporis, yaitu Badan atau Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan KTUN, misalnya jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru ketidakwenangan dari segi waktu Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, kemudian diubah dengan Undang- undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, bahwa KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas- asas umum pemerintahan yang baik. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi dan Nepotisme. 319 Penjelasan Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. commit to user 207 Penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar pengujian hakim terhadap keabsahan KTUN, sebelum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN direvisi, banyak menimbulkan pertanyaan. Seperti dikemukakan oleh Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, menanyakan apakah dengan demikian asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat diterapkan untuk menguji KTUN hanya terbatas pada dua hal tersebut 320 . Sehubungan dengan adanya keraguan dalam menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar untuk menguji keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN oleh hakim PTUN, maka dikeluarkanlah petunjuk pelaksanaan juklak oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 052Td.TUNIII1992, yang isinya : Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai alasan pembatalan penetapan, maka hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam diktum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan asas mana dari asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dilangar dan akhirnya harus mengacu pada Pasal 53 ayat 2. Juklak tersebut dinilai membatasi hakim PTUN dalam penggunaan sebagai dasar untuk menguji keabsahan KTUN. Seperti dikemukakan Y Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, hal yang sangat menarik dari isi juklak M.A tersebut adalah apakah dapat ditafsirkan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bisa digunakan oleh hakim PTUN dalam memutus sengketa TUN hanya yang tercantum dalam Pasal 53 ayat 2. Dengan demikian hanya ada dua asas yang dipakai. Kalau demikian halnya lalu KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, yang tidak terikat oleh hukum tertulis dan sekaligus tidak dapat diuji dengan kedua asas tersebut. Berarti hakim PTUN tidak mempunyai kesempatan untuk menggali asas-asas umum pemerintahan yang baik lainnya mengingat menurut juklak M.A. 320 Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Op. Cit. hlm. 97. commit to user 208 tersebut yang mengacu pada Pasal 53 ayat 2 nampaknya menutup kesempatan untuk itu 321 . Pandangan tentang penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar pengujian keabsahan KTUN oleh hakim PTUN, berbeda dengan setelah diubahnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, karena dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945. H.A. Muin Faisal, mengemukakan, berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, menjadikan asas-asas pemerintahan yang layak ABBB sebagai alasan bagi pembatalan atau tidak sahnya suatu KTUN. Tidak dicantumkannya lagi alasan penyalahgunaan wewenang „ deournement de pouvoir dan perbuatan sewenang-wenang „daa d van willekeur pada Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 dapat dipandang bahwasannya kedua alasan dimaksud di-absorb dalam alasan pengujian atas dasar asas-asas pemerintahan yang layak ABBB yang kini dijadikan toetsingsgronden bagi KTUN 322 . Pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 telah menempatkan AAUPB secara yuridis normatif sebagai dasar gugatan di PTUN dan juga sebagai dasar pengujian keabsahan KTUN bagi hakim PTUN. Di dalam penjelasan pasal tersebut ditentukan jenis-jenis AAUPB yang dapat digunakan sebagai dasar gugatan di PTUN dan dasar pengujian keabsahan KTUN oleh hakim PTUN, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Penegasan pengaturan asas-asas umum pemerintahan yang baik AAUPB dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, 321 Y. Sri Pudyatmoko dan W.Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 98.Lihat juga dalam W. Riawan Tjandra, 2009, PTUN Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, hlm, 140. 322 H.A. Muin Fahmal, Loc., cit., hlm. xi commit to user 209 sebagai dasar pengujian bagi hakim PTUN terhadap keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, berarti memberikan batas ruang gerak bagi hakim PTUN, karena AAUPB sudah merupakan norma yang harus dipatuhi oleh hakim, pengujian oleh hakim hanya sebatas yang telah ditentukan dalam penjelasan Pasal 53 ayat 2. Keadaan tersebut menimbulkan kontradiksi dalam kaitannya dengan tugas hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, dan larangan hakim untuk menolak perkara yang diajukan para pihak dengan dalih hukum kurang atau tidak jelas, melainkan hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga berkaitan dengan asas ius curia novit dan asas hakim aktif dalam PTUN. Sebagaimana dikemukakan bahwa pengujian KTUN keabsahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN oleh hakim PTUN, dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berkaitan dengan pengujian keabsahan KTUN yang disengketakan, maka hakim bertugas untuk mengumpulkan atau mengidentifikasi peraturan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN. Di dalam mengidentifikasi peraturan perundangan-undangan atau mengumpulkan fakta, sering menjumpai kekosongan hukum leemten in het recht , hukumnya ada, namun kurang atau tidak jelas, ketinggalan jaman atau usang, normanya kabur, dan juga adanya konflik norma hukum antinomi hukum. Demikian juga asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, yang digunakan sebagai dasar untuk menguji keabsahan KTUN, tidak sepenuhnya muncul dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. B. Positivisme Hukum Dalam Proses Peradilan Dalam kaitannya dengan penerapan hukum untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa, Gr.Van der Brught dan J.D.C. Winkelman, menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seorang hakim, yaitu : commit to user 210 a. Meletakan kasus dalam sebuah peta memetakan kasus atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtiar peta, artinya memaparkan secara singkat duduk perkaranya dari sebuah kasus menskematisasi b. Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilah yuridis mengkualifikasi, pengkualifikasian c. Menyeleksi aturan-aturan yang relevan d. Menganalisis dan menafsirkan interpretasi terhadap aturan-aturan hukum itu e. Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus f. Mengevaluasi dan menimbang mengkaji argumen-argumen dan penyelesaian g. Merumuskan formulasi penyelesaian 323 H. Ph. Visser‟t Hooft, mengemukakan bahwa hakim dalam menerapkan hukum harus berorientasi pada tiga acuan dasar yang bekerja dalam setiap tata hukum yang bekerja pada waktu yang bersamaan, yaitu : 1. Positivitas. Dalam pengacuan pada hukum, sebagai putusan lembaga peradilan, hakim memiliki otoritas untuk menemukan argumen-argumen yang secara historis menjadi kehendak pembentuk undang-undang dalam membentuk hukum positif. 2. Koherensi. Dalam menjalankan fungsinya untuk menerapkan hukum, hakim memiliki otoritas tidak saja terhadap adanya saling bertautan di antara aturan-aturan, tetapi juga adanya koherensi di antara aturan-aturan hukum. 3. Keadilan Dalam menjalankan fungsinya untuk menerapkan hukum, putusan hakim dapat dikatakan adil, manakala dapat diterima dalam pespektif keyakinan- keyakinan kemasyarakatan kontemporer. Putusan hakim dapat diterima secara adil dalam masyarakat, karena putusannya tidak bertentangan 323 Gr. Van der Brught dan J.D.C. Winkelman, dalam Sidharta, 2004, Karateristik Penalaran Hukum Dalam Konteks ke Indonesiaan, Bandung : Disertasi Program Ilmu Hukum Parahyangan, hlm. 177. commit to user 211 dengan akal sehat common sense dan para anggota masyarakat dapat menerima serta mengerti sebagai putusan yang rasional 324 Berkaitan dengan tugas hakim, Achmad Ali 325 menegaskan bahwa pertama kali yang mengemukakan adanya tiga tahap tugas hakim adalah Sudikno Mertokusumo, yaitu : 1. Tahap konstatir mengkonstatir, yaitu hakim mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan 2. Tahap kualifikasi, yaitu hakim mengkualifisir termasuk tindakan hukum apakah seseorang. 3. Tahap konstituir, yaitu hakim menetapakan hukumnya yang bersangkutan. Proses penemuan hukumoleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi dan berakhir pada tahap konstituir. Proses penerapan hukum AAUPB dalam penyelesaian sengketa di pengadilan administrasi dari pemeriksaan perkara sampai pada pengambilan putusan paling tidak melalui tiga tahapan seperti di bawah ini 326 : 324 H. Ph. Visser‟t Hooft, Filosofie de Rechtswetenschap, dalam terjemahana, B. Arief Sidharta, 2003, Filsafat Ilmu Hukum, Bandung : LH FH, Univ. Katolik Parahyangan. 325 . Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 120. 326 Jazim Hamidi, 1999, Op. Cit., hlm., 90. Lihat juga Adi Sulistiyono, 2002, disertasi Progarm Doktor Ilmu Hukum UNDIP, hlm., 186, secara normatif, pertama kali setelah menerima perkara, hakim haruslah mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan itu. Mengkonstatir berarti melihat, mengakui atau membenarkannya telah terjadi peristiwa yang diajukan tersebut, tetapi untuk sampai pada konstatering demikian itu, ia harus mempunyai kepastian. Hakim harus pasti akan konstateringnya itu, ia harus pasti akan kebenaran peristiwa yang dikonstatirnya, sehingga konstateringnya itu tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah saja tentang adanya peristiwa yang bersangkuta. Oleh karena itu, hakim harus menggunakan sarana-saranaatau alat-alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Hakim harus melakukan pembuktian dengan alat bukti yang sah menurut hukum untuk mendapatkan kepastian terhadap peristiwa yang diajukan kepadanya. Jadi mengkonstatir peristiwa berarti sekaligus juga membuktikan atau menganggap telah terbuktinya peristiwa yang bersangkutan. Tahap kedua, hakim mengkualifisir peristiwa itu. Mengkualifisir menilai peristiwa yang telah dianggap benar- benar terjadi itu termasuk hubungan hukum apa atau yang mana, atau dengan kata lain menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Untuk menemukan hukumnya, hakim sering melakukan penerapan hukum terhadap peristiwanya. Dicarikan dari peraturan yang ada, ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan pada peristiwa yang bersangkutan. Kalau peristiwanya sudah tersbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, maka penerapan hukumnya pada umumnya merupakan pekerjaan yang dikatakan mudah. Jadi mengkualifisir pada umumnya berarti menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa, suatu kegiatan yang pada umumnya bersifat logis, tetapi dalam kenyataannya menemukan hukum tidak sekedar menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa sja. Lebih-lebih kalau peraturan hukumnya tidak tegas dan tidak jelas, maka dalam hal ini hakim tidak harus menemukan hukumnya, melainkan menciptakan sendiri. Dalam hal ini menurut Cardozo, mantan hakim commit to user 212 1. Tahap pengumpulan data. Sebelum memasuki tahap pemeriksaan pokok perkara di muka sidang, di lingkungan peradilan administrasi terlebih dahulu dilakukan suatu proses administratif, yaitu dengan penelitian administratif oleh kepaniteraan, diikuti oleh proses dismissal, dan pemeriksaan persiapan. Setelah proses ini selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan sidang biasa dengan hakim majelis atau hakim tunggal. Tahap ini disebut tahap pengumpulan fakta. Tugas hakim adalah melakukan seleksi terhadap keseluruhan peristiwa dan melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti yang tersedia, guna memastikan kebenarannya. Tahap ini penting, karena pada tahap ini hakim dituntut untuk sungguh-sungguh dapat meyakini bahwa peristiwa yang sudah dikonstatirnya itu obyektif, sesuai dengan fakta-fakta yang ada, dan pada tahap ini pula putusan hakim harus disandarkan. Dalam hukum acara Amerika Serikat, menyebutkan : The law which .......the resulting product is not found but made. The process in its highest reaches is not discovery, but creation. Mengkualifisir peristiwa mengandung unsur kreatif, sehingga daya cipta hakim besar sekali peranannya, ia harus berani menciptakan hukum yang tidak bertentangan dengan keseluruhan sistem perundang-undangan dan memenuhi pandangan masyarakat serta kebutuhan zaman. Tahap ketiga, hakim harus mengkonstituir atau memberi konstitusinya. Hal ini berarti hakim menetapkan hukumnya kepada peristiwa yang bersangkutan, memberi keadilan. Dalam hal ini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan hukum , dan premise minor. Sekalipun ini merupakan silogisme, tetapi bukan semata-mata hanya logika saja yang menjadi dasar kesimpulannya. Keadilan yang diputuskan hakim bukanlah produk dari intelek hakim, but of his spirit, kata Sir Afferd Denning. Dalam kaitannya dengan penemuan hukum, Adi Sulistiyono, mengemukakan, 1. Aliran legisme, aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang- undang, sehingga hakim terikat pada perundang-undangan, sedangkan peradilan berarti semata- mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit. Hakim hanyalah subsumptie automaat, sedangkan metode yang digunakan adalah geometri yuridis. Kebiasan hanya mempunyai kekuatan hukum apabila ditunjuk oleh undang-undang. Hukum dan unadng-undang adalah identik, yang penting di sini adalah kepastian hkum. 2. Begriffsjurisprudenz. Aliran ini melihat hukum sebagai suatu sistem atau kesatuan tertutup yang menguasai semua tingkah sosial. Dasar dari hukum adalah suatu sistem asas-asas hukum serta pengertian dasar yang menyediakan kaidah yang sudah pasti untuk peristiwa konkret. Hakim memang bebas dari ikatan undang- undang, tetapi harus bekerja dalam sistem hukum yang tertutup. Menurut aliran ini, pengertian hukum tidaklah sebagai sarana, tetapi sebagai tujuan, sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian begriffsjurisprudenz suatu permainan tentang pengertian . Begriffsjurisprudenz ini mengkultuskan ratio dan logika, pekerjaan hakim semata-mata bersifat logis ilmiah. 3. Aliran yang berlaku sekarang, yang berpendapat bahwa sumber hukum tidak hanya undang-undang atau peradilan saja. Undang-undang yang merupakan peraturan umum yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang itu tidak lengkap, karena tidak mungkin mencakup segala kegiatan manusia. Ketidaklengkapan tersebut diisi oleh peradilan, di samping undang- undang dan peradilan masih terdapat hukum yang tumbuh di dalam masyarakat. commit to user 213 perdata, tahap ini disebut “tahap mengkonstatir”, atau secara metodologis termasuk dalam kerangka pendekatan induktif. 2. Mengidentifikasi hukum. Pada tahap ini, hakim administrasi melakukan suatu penilaian atau pengujian terhadap fakta hukum atau peristiwa hukum yang sudah dikonstatirnya, kemudian dikualifisir masuk pada hubungan hukum mana. Berarti hakim sudah masuk pada tahap penerapan hukum termasuk penerapan AAUPPL atau AAUPB atau secara metodologis memasuki langkah deduktif. Langkah awalnya, hakim melakukan identifikasi aturan hukum dan melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap aturan hukum yang sekiranya dapat diterapkan dalam peristiwa konkrit. Di samping menerapkan norma hukum yang tertulis, hakim dapat menerapkan juga kaidah hukum tidak tertulis berupa AAUPPL atau AAUPB untuk menguji keabsahan keputusan administrasi negara. Hasil identifikasi hukum yang ditindaklanjuti oleh penerapan hukum, biasanya dirumuskan dalam pertimbangan hukum sang hakim. 3. Merumuskan AAUPPL atau AAUPB. Pada tahap ini, hakim administrasi telah mengetahui pokok sengketanya, juga sudah memberikan pertimbangan hukum mengenai penerapan AAUPPL atau AAUPB-nya. Dengan demikian hakim administrasi tinggal menentukan apakah keputusan administrasi negara yang disengketakan itu bertentangan dengan AAUPPL atau AAUPB atau tidak, kemudian menentukan keabsahan keputusan administrasi negara melalui putusannya dan tahap ini disebut mengkonstituir. Penerapan hukum oleh hakim terhadap suatu peristiwa atau untuk memberikan putusan terhadap suatu perkara yang diajukan di muka sidang dalam praktik tidak semudah orang membalikan tangan. Hal tersebut terutama berkaitan dengan keberadaan peraturan perundang-undanganya sendiri, seperti terhadap suatu peristiwa tidak diatur secara jelas atau kabur, diatur tetapi sudah ketinggalan jaman, kurang atau tidak lengkap. Bambang Sutiyoso mengemukakan, dalam praktik tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang commit to user 214 belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun telah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap atau jelas-sejelasnya. Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia, sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan kompleks serta tidak terhitung jumlahnya dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dengan demikian, pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu sesuai dengan tujuan hukum atau mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan 327 Hal senada dikemukkan oleh Philipus M. Hadjon, permasalahan dari segi aspek penerapan hukum antara lain meliputi interpretasi hukum menafsirkan makna hukum positif dan kekosongan hukum leemten in het recht atau sering disebut rechtsvacuum, kekosongan undang-undang wet recht , antinomi konflik norma hukum dan norma yang kabur varge normen 328 .Dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang nyaris tidak memberikan peluang diskresi bagi hakim optiman esse legem, quae minimum reliquit arbitrio judicis, it guod certitude ejus pr aestat , dalam praktiknya banyak ditemukan bahwa undang-undang ternyata tidak lengkap atau tidak jelas, meskipun dalam penjelasan undang-undang sudah disebutkan secara jelas. Oleh karena itu, sang hakim harus mencari dan menemukan hukumnya rechtsvinding , karena setiap aturan hukum perlu dijelaskan dan memerlukan penafsiran sebelum dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu 329 327 Bambang Sutiyoso, 2009, Op., cit., hlm. 28 328 Philipus M. Hadjon, dalam Johnny Ibrahim, Op., cit., hlm., 215. 329 Johnny Ibrahim, Op., cit., hlm., 215. commit to user 215 Sehubungan dengan adanya norma yang kabur atau kurang jelas, Sudikno Mertokusumo 330 , mengemukakan undang-undang itu tidak sempurna. Memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas, meskipun tidak lengkap dan tidak jelas undang-undang harus dijalankan. Dalam hal terjadi pelanggaran undang-undang, hakim harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat menangguhkan pelaksanaan atau penegakkan undang-undang yang telah dilanggar. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang atau tidak ada hukumnya. Mau tidak mau ia harus menjatuhkan putusan Pasal 22 AB, Pasal 14 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 10 Undang- undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan ketiga dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Selanjutnya beliau mengemukakan, oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum rechtsvinding . Penegakkan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. Dalam tugasnya melaksanakan atau menerapkan undang-undang sebagai upaya menyelesaikan sengketa yang diajukan pihak penggugat, hakim seluruhnya tunduk pada ketentuan dalam undang-undang atau hakim tidak tunduk pada ketentuan dalam undang-undang. Dalam hal ini, Sudikno Mertokusumo, mengemuakan, dalam penemuan hukum hakim dapat sepenuhnya tunduk pada undang-undang. Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-peraturan di luar diri hakim. Pembentuk undang- undang membuat peraturan umumnya, sedangkan hakim hanya mengkonstatir 330 Sudikno Mertokusumo, 2005, Op.,cit, 162. Lihat juga Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo, 1993, Op., cit., hlm., 3. commit to user 216 bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut undang-undang. Dengan demikian, maka penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang secara logis terpaksa sebagai silogisme 331 . Dalam hal ini, hakim tidak menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Hakim hanyalah corong dari undang-undang yang tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang. Wiarda menyebut jenis penemuan hukum tersebut bersifat heteronom , karena hakim mendasarkan pada peraturan peraturan di luar dirinya, hakim tidak mandiri, karena harus tunduk pada undang-undang. Sejak kurang lebih 1850 orang condong pada peranan yang mandiri dalam pembentukan hukum oleh hakim. Hakim bukan lagi corong dari undang-undang, tetapi pembentuk hukum yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan hukum. Hakim dalam menjatuhkan putusanya dimbimbing oleh pandangan-pandangan atau pikiranya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Pelaksanaan undang-undang oleh hakim bukanlah semata-mata merupakan persoalan logika dan penggunaan pikiran yang tepat saja, tetapi lebih merupakan pemberian bentuk yuridis kepada asas-asas hukum materiil yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasarkan pada pengalaman dan penilaian yuridis daripada mendasarkan pada akal yang abstrak. Undang- undang tidak mungkin lengkap, undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktek hukum dari hakim 332 Achmad Ali 333 , mengambil pendapat Carbonnier, mengemukakan les choses out toujours du se passer ainsi, des millenaires gu‟ily a dsejuges, et gui 331 Knottenbetl, Inleiding in het Nederlandse recht, hlm., 98. Dalam Sudikno Mertokusumo, 2005, Op., cit., hlm., 164. 332 Sudikno Mertokusumo,2005., Op., cit., hlm., 165. 333 Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 102. commit to user 217 pensent demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun, dituntut adanya para hakim yang berpikir. Kemudian kaitannya antara tugas hakim dengan eksistensi undang-undang, beliau mengemukakan : 1. Bagi kaum dogmatik, hukum adalah peraturan tertulis, yaitu undang- undang. Dalam hal ini tugas hakim adalah menghubungkan antara fakta konkrit yang diperiksanya dengan ketentuan undang-undang. Kaum dogmatik melihat adanya dua kemungkinan, adanya suatu proses di antara dua elemen tadi peraturan dan fakta. a. Proses penerapan hukum oleh hakim. Di sini hakim hakim hanya menggunakan hukum-hukum logis, yaitu silogisme. b. Proses pembentukan hukum oleh hakim Di sini, hakim tidak lagi sekedar mengunakan hukum-hukum logika, melainkan sudah memberikan penilaian, yang disebut dengan interpretasi dan konstruksi dan oleh kaum legis hal ini tidak dibolehkan. 2. Bagi kaum nondogmatik yang melihat hukum tidak hanya sekedar kaidah, tetapi juga kenyataan dalam masyarakat, maka undang-undang bukan satu- satunya hukum. Bagi kaum nondogmatik, undang-undang bukan satu- satunya sumber hukum, tetapi masih ada sumber hukum lain, yaitu kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin, kaidah agama, bahkan nilai-nilai kepatutan yang hidup di dalam masyarakat. Dalam pandangan kaum dogmatik, tugas hakim adalah menghubungkan antara sumber hukum bukan hukum dengan fakta konkeit yang diperiksanya. Dalam penghubungan antara sumber hukum dan fakta konkrit itu, hakim melakukan penilaian, yang disebut Achmad Ali sebagai penemuan hukum. Selanjutnya beliau mengemukakan orang yang mengatakan bahwa yang berlaku adalah aturan perundang-undangan, misalnya, tentu akan sulit menjawab pertanyaan :”mengapa dari pasal undang-undang yang sama, berbed a dalam kenyataan penerapannya di pengadilan?”. Jawabanya tidak commit to user 218 lain, karena memang bukan aturan perundang-undangan itu yang berlaku. Aturan perundang-undangan hanya merupakan sumber dari putusan pengadilan. Putusan pengadilan itulah yang merupakan hukum dalam perkara tersebut. Senada dengan pendapat Achmad Ali, yaitu Sudikno Mertokusumo, beliau mengemukakan bahwa ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya yang konkrit dan khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkritnya, kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan. Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Peraturan hukum yang abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan pada peristiwa yang cocok 334 . Selanjutnya dikemukakan boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan lebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Achmad Ali 335 , mengemukakan selama berabad-abad, hubungan antara perudang-undangan dengan putusan hakim menimbulkan polemik yang tak putus-putusnya dan melahirkan berbagai aliran pememikiran dalam ilmu hukum. Mula-mula dikenal aliran legis, yang cenderung memandang hakim hanya sekedar terompet undang-undang bouche de la loi . Kemudian muncul aliran penemuan hukum oleh hakim yang memandang bahwa hakim dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dengan jalan konstruksi hukum atau interpretasi hukum. Terakhir, muncul aliran realis di Amerika Serikat dan Skandinavia yang pada pokoknya memandang hakim tidak sekadar 334 Sudikno Mertokusumo, 1993, Op., cit., hlm., 12-13. 335 Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 104. commit to user 219 “menemukan hukum”, melainkan “membentuk hukum” melalui putusanya. Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang ada pengaruhnya terhadap putusan hakim, tetapi hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh prasangka politik, ekonomi ataupun moral, bahkan perasaan simpati dan pribadi turut mempengaruhi putusan hakim. Pada abad ke-19 munculah pandangan legisme atau legalitas yang menganggap bahwa hukum adalah undang-undang. Undang-undang dianggap keramat, sebagai peraturan yang dikukuhkan Alloh sendiri atau sebagai sistem logis yang berlaku bagi semua perkara karena bersifat rasional yang disebut teori rasionalitas atau teori indeenjurisprudenz 336 . Perkembangan selanjutnya, muncul teori ajaran hukum bebas Frei Rechtslehre atau Free Law Theory yang merupakan antitese terhadap teori “ ideenjurisprudenz ”. Ajaran ini merupakan suatu ajaran sosiologis radika, yang dikemukakan oleh mazhab realisme hukum Amerika. Akhirnya muncul idealisme yuridis baru atau new legal idealism 337 . Pembahasan dalam kaitannya dengan permasalahan yang pertama, maka digunakan teori legal positivisme. Teori legas positivisme berkembang pada era kodifikasi sampai pada abad ke-19, dalam konsepsi ini dikembangkan dari ecole de l‟exegese sampai ke Jerman rechtwissenschaft, hukum dikemas sempurna dengan positive order yang berasal dari kegiatan legislatif suatu negara. Paham ini disebut kelompok imperativist, coercivist, legalist conception yang ditegakkan melalui hukum yang literal tertulis, interpretasi norma tertulis secara mekanis oleh penerjemah, khususnya hakim 338 . Pada abad ke-19 kepercayaan pada ajaran hukum alam yang rasionalistis hampir ditinggalkan orang sama sekali, karena pengaruh aliran cultur historisch school. Dengan ditinggalkan aliran tersebut, maka semakin kuat aliran yang menggantikannya, yaitu aliran positivisme hukum rechts 336 L. Pospisil, dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, Ibid., hlm., 40. 337 M. Friedman, dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, Ibid., hlm., 40. 338 Ade Maman Suherman, 2004, Op., cit, hlm., 37 commit to user 220 positivisme , yang disebut juga dengan legitimisme 339 . Aliran legitimisme sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini beranggapan tidak ada norma hukum di luar hukum positif, semua persoalan di dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Pandangan yang sangat mengagung-agungkan hukum tertulis pada positivisme hukum ini, pada hakikatnya merupakan penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tetulis itu, sehingga dianggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan kekuasaan itu adalah hukum 340 . Positivisme hukum dikenal sebagai suatu teori hukum yang menganggap bahwa pemisahan antara hukum dan moral, merupakan hal yang teramat penting. Positivisme membeda kan secara tajam antara :” what it is for a norm to exist as a valid law standard” dengan :” what it is for a norm to exist as a valid moral standard” Roger A. Shine, dalam Denins Patterson, 1999. Jadi positivisme secara tegas membedakan apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai suatu standar hukum yang valid dan apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai suatu standar moral yang valid. Bagi kaum positivis, norma-norma hukum yang yang tergolong bengispun, dapat diterima sebagai hukum, asalkan memenuhi kriteria formal yang ada tentang hukum. sesuatu itu hukum atau bukan hukum, sama sekali tidak ditentukan oleh apakah sesuatu itu adil atau tidak adil. Positivisme menerima kemungkinan adanya hukum yang tidak adil atau yang dirasakan tidak adil, tetapi ia tidak berhenti menjadi hukum hanya karena ia dirasakan tidak adil. John Austin 1970-1859 ditempatkan sebagai “the founding father of legal positivism”, dikenal sebagai pakar hukum paling terkemuka di awal abad ke-19. Menurut eksponen utama positivisme hukum, John Austin adalah :” Law is a command set, either directly or circuitously, by a sovereign individual or body, to a member or members of some independent political society in which his au thority is supreme”. Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa 339 Utrecht, dalam H. Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm. 43. 340 Amin , dalam H. Riduan Syahrani, Ibid., hlm., 44. commit to user 221 kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, di mana otoritasnya pihak yang berkuasa merupakan otoritas tertinggi 341 . Di samping John Austin, pengikut positivisme yang lain adalah Hart, mengemukakan berbagai arti dari positivisme adalah : a. Hukum adalah perintah b. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis dan penilaian kritis c. Keputusan-keputusan dapat dideduksi secara logis dari peraturan- peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk pada tujuan- tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas d. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian. e. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan 342 . Sebelum lahirnya aliran positivisme, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum dikenal sebagai legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh diberbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Aliran ini mengidentikan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Di Jerman pandangan ini banyak dianut dan dipertahankan oleh misalnya, Paul Laband, Jellinek, Rudolf von Jehring, Hans Kelsen. Di Inggris berkembang dalam bentuk yang agak lain dengan positivisme hukum dari John Austin dengan analitytical jurisprudence atau positivismenya. Agak berlainan oleh karena hukum yang berlaku di negara Inggris adalah common law tidak tertulis. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup closed logical 341 Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm. 56. 342 Satjipto Rahardjo, dalam H. Riduan Syahrani, Op., cit., hlm., 45. commit to user 222 system , hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk 343 Positivisme hukum mendapat penekanan fundamentalnya dari dua tokoh terkemuka pada bidang itu, yaitu John Austin dan Hans Kelsen. Menurut John Austin, pertama, hukum merupakan perintah penguasa law is a command of the law giver , hukum dipandang sebagai perintah dari pihak pemegang kekuasaan tertinggi kedaulatan, hukum merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah itu diberikan oleh makhluk yang berpikir yang memegang kekkuasaan. Kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup closed logical system , pandangan ini jelas mendapat pengaruh ketat dari cara berpikir sains modern. Ilmu dianggap sebagai bidang penyelidikan mandiri yang obyeknya harus dipisahkan dari nilai. Obyek sains apapun itu, dianggap sekedar sebagai benda. Ketiga, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Di luar itu bukanlah hukum, melainkan moral positif positive morality . Penegasan lain mengenai sistem logika tertutup, diberikan oleh Hans Kelsen. Menurut Kelsen, hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya. Hukum harus dibebaskan dari unsur moral sebagaimanadiajarkan oleh aliran hukum alam unsur etika , juga dari persepsi hukum kebiasaan sosiologis, dan konsepsi- konsepsi keadilan politis unsur politis 344 . Selanjutnya dikemukakan, menurut Kelsen, hukum termasuk dalam sollen-skatagori hukum sebagai keharusan, bukan seinskatagori hukum sebagai kenyataan. Orang mentaati hukum karena memang mereka harus mentaati hukum sebagai perintah negara. Pelalaian terhadap perintah akan mengakibatkan orang itu berurusan dengan akibat-akibat kelalaiannya sanksi. Ajaran lain Kelsen adalah tentang stufentheorie- nya, sistem hukum hakikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi. Hukum yang lebih 343 Lili Rasjidi, 1996, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 59. 344 Lili Rasyidi, dan I.B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Mandar Maju, hlm., 120. commit to user 223 rendah harus berdasar, bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu. Sebaliknya, hukum yang lebih tinggi merupakan dasar dan sumber dari hukum yang lebih rendah. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya, dan semakin rendah peringkatnya, semakin nyata dan operasional sifat norma yang dikandungnya. Berdasarkan teori hukum positif yang dikemukakan tersebut, kiranya tidak dapat disalahkan begitu saja apabila para hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya di muka sidang peradilan, menggunakan sebagai dasar atau pedoman untuk memutus sengketanya. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan adalah sebagai manusia yang mempunyai kemampuan dan dalam menjalankan tugasnya, kemudian untuk sampai mengambil putusan mempunyai alasan-alasan sendiri yang sulit diketahuinya. Demi alasan untuk aman dan kemudahan dalam tugasnya, ia lebih cenderung menerapkan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan terhadap peristiwanya, ia lebih cenderung untuk berpikir logis, mekanis, linear dan sekedar membunyikan undang-undang, ia lebih menitik beratkan pada kepastian hukum dibandingkan dengan rasa keadilan yang diinginkan masyarakat. Pilihan-pilihan tersebut tidak dapat begitu saja menjadikan hakim dikerdilkan dari pergaulan dalam tugasnya, karena ia juga menjalankan tugasnya berpedoman pada undang-undang yang berlaku dan sistem, cara tersebut juga tidak dilarang, dalam arti jika hakim tidak mentaati akan dikenakan sanksi atau hukuman, misalnya diturunkan pangkatnya atau dicopot sebagai hakim. Dipihak lain tugas hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk mempunyai pandangan dan wawasan yang luas yang mengedepan, hakim tidak hanya memeriksa, memutus dan menyelesaikan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saja, melainkan ia sebagai hakim atau aktor yang mempunyai kemampuan untuk dapat memilih dari beberapa alternatif pilihan yang tersedia yang dapat commit to user 224 memberikan perlindungan dan kesejahteraan sesuai perkembangan dalam masyarakat. Hakim tidak hanya dituntut untuk berpikir secara sederhana mungkin yang membiarkan tujuan hukum tidak tercapai, tetapi ia berpikir tidak saja secara linear, subsumptif automat, menerapkan pasal-pasal ketentuan peraturan perundang-undangan, hakim dituntut untuk berpikir dengan menggunakan ema pati, perasaan, hati nurani, kreatif, aktif dan transformatif sesuai dengan tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Alangkah lebih baik apabila hakim tidak hanya memutus sengketa untuk tercapainya kepastian hukum, putusan hakim harus dapat mencerminkan nilai- nilai hukum dan rasa keadilan, walaupun tidak mudah untuk tercapainya putusan berdasarkan kepastian hukum dan keadilan. Suatu hal yang perlu diperhatikan hakim adalah bahwa putusannya dapat memberikan rasa aman, tenteram dan kebahagian, tercapainya kepastian hukum dan rasa keadilan, sehingga tugas yang dijalankan tidak membebani dalam hidupnya. Tugas hakim PTUN, yaitu untuk menguji keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, khususnya pengujian dari sudut penerapan hukumnya. Pengujian keabsahan KTUN tersebut, yaitu berdasarkan Pasal 53 ayat 2 huruf a, b, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, bahwa KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berkaitan dengan proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara yang dilakukan oleh hakim peradilan tata usaha negara tersebut, peneliti telah mengadakan penelitian di PTUN Semarang dan PTUN Yogyakarta, dan PTUN Surabaya. Wawancara dilakukan di PTUN Semarang dan PTUN Yogaykarta, sedangkan untuk analisis putusan diambil dari ke tiga PTUN. Berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, yaitu apakah di dalam melakukan pengujian terhadap keabsahan KTUN yang dikemukakan di muka sidang PTUN, hakim selalu memutus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau hakim memutus dengan menggali nilai-nilai yang hidup dalam commit to user 225 masyarakat. Pertanyaan ini diajukan sesuai dengan permasalahan yang pertama dalam disertasi. Dalam penyajian hasil penelitian, maka disajikan secara bersama-sama antara hasil penelitian yang diperoleh dari PTUN Yogyakarta maupun dari PTUN Semarang. Jawaban yang dikemukakan hakim PTUN Yogyakarta, bapak Agus sekarang sedang studi S3 di Pasca Sarjana UGM bahwa dalam pengujian KTUN yang dilakukan oleh hakim Agus Budi Susilo, sekarang hakim PTUN Yogyakarta, dahulu di Semarang tidak selalu didasarkan pada undang-undang sebagai pedoman yang kaku atau harus diikuti oleh hakim. Pandangan beliau terhadap tugas hakim yang selama ini hanya dipandang sebagai terompet undang-undang atau hakim hanya membunyikan undang-undang, beliau tolak dengan memberikan jawaban dan hal tersebut dibuktikan dengan putusannya pada waktu beliau tugas di PTUN Semarang, bersama dengan Maftuh Effendi, putusan Nomor 04G2009PTUN.SMG. Pandangan dan wawasan beliau sangat luas, bahwa tugas hakim tidak hanya memutus sengketa berdasarkan undang-undang yang ada, menurut beliau undang-undang hanya dipergunakan sebagai pedoman saja. Dalam arti, hakim dapat menyimpang dari undang-undang, jika ternyata undang-undang tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kemanfaatan di dalam masyarakat 345 . Putusan PTUN Semarang, Nomor 04G2009PTUN.SMG. 1. Subyek atau pihak-pihak yang bersengketa. Pihak-pihak yang bersengketa adalah yayasan wahana lingkungan hidup Indonesia WALHI, yang diwakili oleh Berry Nahdian Forqan dkk. Masing-masing sebagai ketua, sekretaris dan anggota yayasan WALHI, memberi kuasa kepada Siti Rakhmah Mary Herwati dkk, sebagai penggugat melawan 1. Kepala kantor Pelayanan perijinan Terpadu Kabupaten Pati, diwakili oleh kuasa hukumnya bernama St. Hery Haryadi, sebagai tergugat I. 2. Ir. Suharto, untuk atas nama PT. Semen Gresik Tbk. Memberi kuasa kepada Fredrik J. Pinakunary dkk, sebagai tergugat II. 345 Wawancara, dengan Agus, hakim PTUN Yogyakarta, Kamis, 13 Oktober 2011, jam 09.00- 13.00 commit to user 226 2. Obyek Sengketa. Obyek sengketa adalah Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor. 5400522008, tertanggal 5 November 2008, yang dikeluarkan oleh tergugat, tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor 5400402008, tentang Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian Golongan C Batu Kapur atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron, alamat : Komplek Pondok Jati AM-6 Sidoarjo Jawa Timur. Bertindak untuk dan atas nama PT. Semen Gresik Persero Tbk.di desa Gadudero, desa Kedumulyo, desa Tempegunung, desa Sukolilo, desa Sumbersoko, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati Jawa Tengah. 3. Permasalahan dalam kasus. Hal yang digugat oleh penggugat adalah Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor 400522008, tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor 5400402008 tentang Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian Golongan C Batu Kapur atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron, alamat Komplek Pondok Jati AM-6 Sidoarjo Jawa Timur. Dalam kaitannya dengan kegiatan pertambangan daerah eksplorasi, terdapat ketentuan yang mengaturnya, yaitu Pasal 18 ayat 1 undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan, setiap usaha danatau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL, untuk memperoleh ijin melakukan usaha danatau kegiatan. Pasal 15 menyebutkan, setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Pasal 3 ayat 1, menyebutkan, usaha dan atau kegiatan yang keungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi, a. Perubahan bentuk lahan dan bentang alam, b. eksplorasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui. commit to user 227 Peraturan Menteri Negara LH Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi AMDAL, dalam lampiran G Bidang Perindustrian menyebukan bahwa industri semen termasuk salah satu jenis usaha dan atau kegiatan yang harus dilengkapi dengan dokumen AMDAL. 4. Pertimbangan hukum dan putusan PTUN Tindakan tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa KTUN, secara formal dan substansi dalam beberapa telah sesuai ketentuan dan sah, namun masih kurang dilengkapi dengan AMDAL Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Tidak memperhatikan aspirasi masyarakat setempat, yaitu masyarakat adat atau samin atau sedulur sikep, dengan demikian bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas keterbukaan, asas kebijaksanaan, asas perlindungan atau pandangan hidup. Tergugat juga tidak mendengarkan pendapat masyarakat ketika obyek sengketa belum diterbitkan ijin lingkungan. Masih adanya pro dan kontra dalam kaitannya dengan obyek sengketa, berarti terdapat indikasi kurang adanya keterbukaan dan komunikasi yang intensif antara masyarakat dengan tergugat. Hakim diamanatkan dalam undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka keputusan penerbitan ijin eksplorasi yang dikeluarkan tergugat mengandung cacat hukum dengan demikian tuntutan penggugat agar Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Pati Nomor 5400522008, tanggal 5 November 2008, tentang Perubahan atas Keputusan Kepala kantor Pelayanan Perijijnan Terpadu Nomor 5400402008 tentang Ijin Pertambangan Eksplorasi atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron, dibatalkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tenatng PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, karena penerbitan keputusan pemberian ijin Kepala kantor Pelayanan Perijinan terpadu telah terbukti. Oleh karena commit to user 228 itu tuntutan penggugat dikabulkan dan mewajibkan tergugat untuk mencabut keputusan tersebut. 5. Analisis putusan hakim. Pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan hakim pada kasus obyek sengketa, yaitu Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Pati Nomor 5400522008 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor 5400402008 tentang Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian Golongan C Batu Kaput atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron, alamat Komplek Pondok Jati AM-6 Sidoarjo Jawa Timur bertindak untuk atas nama PT. Semen Gresik persero Tbk. Di desa Gadudero, desa Kedumulyo, desa Tompegunung, desa Sukolilo, desa Sumbersoko, Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah. Pertama, Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu tersebut dinilai ada beberapa hal yang sesuai dengan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan prosedurformal dan substansi dalam peraturan perundang-undang yang berlaku. Memang agar suatu keputusan atau beschikking yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat TUN tersebut tidak digugat harus dipenuhi tentang cara dan syarat-syarat beschikking tersebut dibuat. Dalam pengamatan peneliti, hal tersebut terutama kaitannya dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu atau Badan atau Pejabat TUN, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan atau secara substansi atau jika dikaitkan dengan tindakan adminstrasi negara atau Badan atau Pejabat TUN, maka tindakan Kepala Kantor tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara substansi, karena pemberian ijin eksplorasi pertambangan sebagai perubahan ijin yang mendahuluinya atau yang telah dikeluarkan sebelumnya, usaha atau kegiatan tersebut tidak dilengkapi dengan AMDAL. Kewajiban untuk melengkapi AMDAL, bagi suatu usaha atau kegiatan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Pasal commit to user 229 15 ayat 1 menyebutkan setiap rencana usaha danatau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Ketentuan yang mewajibkan adanya AMDAL bagi setiap rencana usaha danatau kegiatan diatur juga dalam Peraturan pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, Peraturan menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006, Pertimbangan hukum lain yang digunakan sebagai dasar untuk memutus adalah keputusan yang dikeluarkan tidak atau kurang memperhatikan atau mendengar aspirasi masyarakat ijin lingkungan. Majelis hakim menilai bahwa tindakan tergugat dalam menerbitkan keputusan dikatagorikan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, padahal dalam suatu negara hukum semua warga negara termasuk pemerintah dalam berperilaku menjalankan tugasnya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Menurut majelis hakim, asas-asas umum pemerintahan yang baik yang tidak diperhatikan adalah asas keterbukaan, asas kebijaksanaan, perlindungan hukum dan pandangan hidup, padahal asas tersebut tidak termuat dalam hukum positif yang berlaku dan dipegunakan oleh hakim sebagai dasar untuk memutus sengketa yang diajukan. Pertimbangan hukum dengan menggunakan asas yang tidak dimuat dalam hukum positif, menunjukkan bukti bahwa dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa, hakim tidak hanya mendasarkan pada undang-undang yang bentuknya tertulis. Mereka menilai bahwa peraturan perundang-undangan atau undang-undang dalam bentuknya yang tertulis, hanya dipergunakan sebagai pedoman atau dasar dan sebagai pedoman dapat tidak ditaati 346 . Mereka tidak terpengaruh oleh aliran hukum positif yang memandang atau mengidentikan hukum sama dengan undang-undang, hakim tidak 346 Wawancara, dengan Maftuh E. Dan Teguh Satya Bakti, hakim PTUN Semarang dan Agus Budi Saputro, dan Retno N, Roni Erry S. PTUN Yogyakarta, hari Senin, 10 Oktober 2011 dan Kamis, 24 Oktober 2011. commit to user 230 dipebolehkan untuk melakukan interpretasi atau penafsiran hukum, karena hakim dalam aliran hukum positif cenderung berpikir linear, subsumptie automat, mekanis dan mengandalkan logika. Berdasarkan logika dalam pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk memutus, maka putusan hakim PTUN Semarang dalam sengketa tersebut lebih mencerminkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, mereka sangat memperhatikan kearifan lokal, karena dengan beroperasinya pabrik semen dikawasan atau daerah Sukolilo akan merugikan kepentingan warga masyarakat terutama dalam kaitannya dengan sumber mata air yang dipergunakan sebagai irigasi bagi petani. Pertanian di daerah tersebut merupakan mata pencaharian pokok. Pertimbangan hukum dengan mendasarkan pada asas keterbukaan, asas kebijaksanaan, asas perlindungan hukum dan pandangan hidup, merupakan kearifan lokal yang diperhatikan. Dalam kehidupan masyarakat di Jawa Tengah, terhadap segala permasalahan yang menyangkut kepentingan orang banyak perlu adanya pembicaraan yang bersifat terbuka, dimusyawarahkan lebih dahulu agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar. Hal tersebut sudah merupakan kebiasaan yang telah lama hidup dan eksistensinya dijaga, dipertahankan dan dilestarikan, namun tidak terakomodasi dalam hukum positif atau perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 53 ayat 2. Hakim memperhatikan, menggali, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah sebagai wujud amanat undang-undang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, pemikiran hakim yang dituangkan dalam pertimbangan hukum tersebut, maka hakim di samping berpikir dengan IQ, juga sudah menggunakan SQ atau mungkin sudah sampai pada penggunaan EQ, sebagaimana dikemukakan Danar Zohar dan John Marshall. Dalam hal ini teori aksi yang dikemukakan Tallcot Parsons, sebagai pengikut utama Weber, menjadi sangat penting untuk digunakan oleh hakim dalam menguji atau menganalisis permasalahan yang commit to user 231 dikemukakan dalam sengketa tersebut. Hakim sebagai aktor mempunyai kemampun untuk memilih tujuan yang lebih baik sesuai dengan amanat yang diberikan undang-undang keuasaan kehakiman, yaitu menggali, memahami, mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, nilai keadilan ditonjolkan oleh hakim dalam pertimbangan hukum sebagai dasar putusan yang diambilnya. Nilai keadilan tersebut diinterpretasikan dari keadaan suatu masyarakat desa yang lemah, dan mata air merupakan sumber penghidupan yang utama untuk dipergunakan sebagai irigasi dalam pertanian. Putusan Nomor 16G2010PTUNSmg. 1. Subyek Sengketa. Pramono, wiraswasta, desa Wolo RT.08RW. III, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Ika Fitri Mashabi, wiraswasta, desa Wolo, RT. 08 RW. III, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. dkk., memberikan kuasa khusus kepada, 1. Khairul Anwar, 2. R. Agoeng Oetoyo, 3. Akhmad Zaenal Abidin, 4. Ani Triwati, kewargaan Indonesia, pekerjaan advokat, beralamat di kantor Anwar Agoeng Associates, advocates legal consultans, alamat, Jl. Jatingaleh 1 Nomor 242 A Semarang. untuk selanjutnya disebut penggugat, melawan Kepala Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Jl. Pahlawan Nomor 11 Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Gorbogan. Selanjutnya disebut tergugat. 2. Obyek Sengkteta. Keputusan Kepala Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Nomor 141.305xii2009, tanggal 22 Desember 2009 tentang Penetapan Kepala Urusan Pembangunan dan Perekonomian Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Gorbogan atas nama Zamroni Makhsun. Desa Wolo, RT. 02RW. 03, Kecamatan penawangan, Kabupaten Grobogan. commit to user 232 3. Duduk Perkara Penggugat adalah sebagai calon perangkat Desa lainnya Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan yang dinyatakan telah memenuhi syarat adminstrasi untuk mengikuti ujian penyaringan perangkat desa lainnya untuk formasi Kepala Urusan pembangunan dan Perekonomian sesuai Keputusan Kepala Desa Wolo, Kecamatan penawangan, Kabupaten Grobogan, Nomor 14104XI2009 tanggal 4 November 2009 tentang Penetapan Calon Perangkat Desa Lainnya Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. Peserta ujian ada sembilan orang. Dalam rangka pelaksanaan pengisian kekosongan perangkat tersebut, Kepala Desa dengan pesetujuan BPD telah mengajukan permohonan persetujuan kepada Bupati dan berdasarkan Keputusan Kepala Desa Nomor 14102IX2009 tanggal 11 September 2009, panitia telah dibentuk. Dalam pelaksanaan penyaringanujian menurut pengggugat ada indikasi kecurangan dilakukan oleh Zamroni Makhsun, mendapat nilai 80. Tergugat tidak memperhatikan laporan adan kecurangan, tetapi justru menerbitkan Keputusan Nomor 141.303XI2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penetapan Kepala Urusan Pembangunan dan Perekonomian Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, atas nama Zamroni Makhsun dan selanjutnya yang bersangkutan dilantik. Berdasarkan adanya keputusan tersebut, penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara Semarang, karena atau dengan alasan kepentingan para penggugat merasa dirugikan atau hak-hak para penggugat telah dilanggar dengan terbitnya keputusan Kepala Desa Wolo. 4. Pertimbangan hukum sebagai dasar putusan hakim. Sebenarnya dalam sengketa tersebut ada tiga hal yang dipertimbangkan oleh majelis hakim, namun dua pertimbangan tidak dikatagorikan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan. Dua pertimbangan tersebut adalah, pertama bahwa dalam pembentukan panitia commit to user 233 ujian dibentuk panitia pembantu, hal tersebut dipergunakan sebagai alasan pengajuan gugatan oleh penggugat, namun ditolak oleh majelis hakim. Kedua, adalah panitia tidak memotong lembar jawaban peserta ujian dan berdasarkan Surat Bupati Grobogan Nomor 141.33117II tanggal 16 Juli 2009, pada huruf C angka 1, disebutkan bahwa lembar jawaban ujian dipotong pada Nomor dan nama peserta ujian serta diberi kode tertentu. Alasan tergugat tidak memotong karena tidak tahu dan baru tahu dalam persidangan ini. Hal tersebut dikuatkan oleh keterangan saksi Rasyidi sebagai ketua panitia dan saksi Caecilia Susilowati Sumardi sebagai Sekretaris desa, yaitu tidak pernah menerima surat Bupati tersebut. Berdasarkan keterangan saksi Munawar SIP, ada kelemahan dalam surat-menyurat di Kecamatan Penawangan, yaitu tidak ada petugas yang mengantar dan hanya diberikan atau dimasukkan dalam kotak yang ada di Kecamatan, sehingg dapat saja diambil petugas lain mungkin di seluruh Jawa Tengah, demikian juga di Dik Nas. Gugatan penggugat yang kedua ditolak. Ketiga, apakah ada pelangaran hukum berupa kecurangan yang dilakukan oleh peserta ujian pengisian perangkat desa, khususnya oleh pemegang surat keputusan yang digugat atau tidak. Berdasarkan alat bukti P-7 dan bukti T-24 mengenai lembar jawaban saksi Zumroni Makhsun bahwa sebagai Kepala Urusan pembangunan dan Perekonomian terpilih, dibandingkan dengan bukti P-4 dan P-6, masing-masing berupa lembar jawaban saksi Sri Siti Ambarwati dan Mastur sebagai kepala Urusan Umum terpilih dan Kepala Urusan Pemerintahan terpilih, maka Majelis hakim memperoleh fakta hukum bahwa jawaban ketiga saksi tersebut sama persis satu sama lain mulai dari jawaban Nomor 1 sampai dengan jawaban Nomor 100. Sehubungan jawaban ketiga orang saksi tersebut sama persis, maka sudah pasti jawaban yang benar ataupun salah serta nilai ketiganya sama persis, yaitu 80 delapan puluh. Di samping itu, dari ketiga lembar jawaban para saksi tersebut, majelis hakim juga memperoleh fakta hukum adanya jawaban yang berpola, yaitu DACBCABD yang diulang-ulang dari commit to user 234 jawaban Nomor 1 sampai dengan jawaban Nomor 100. Pada saat pemeriksaan di persidangan, saksi Zamroni Makhsun memberi keterangan tidak mengenal Sri Ambarwati dan Mastur, dan membantah tidak mendapat bocoran jawaban soal ujian, tidak saling mencontek dan duduknya pada waktu ujian saling berjauhan. Berdasarkan fakta hukum mengenai jawaban ketiga orang saksi tersebut yang sama persis, sehingga jawaban yang benar atau salah serta nilai ketiganya juga sama persis yaitu 80, meskipun pada waktu pelaksanaan ujian posisi duduk ketiganya saling berjauhan serta adanya jawaban yang berpola DACBCABD yang diulang-ulang dari jawaban Nomor 1 sampai dengan Nomor 100 menjadi bukti surat juga merupakan bukti petunjuk bagi hakim. Hal tersebut menimbulkan kayakinan pada diri hakim bahwa saksi Sri Ambarawati, Mastur dan Zamroni Makhsun telah melakukan kecurangan di dalam pelaksanaan ujian pengisian perangkat Desa Wolo yang dilaksanakan pada tanggal 7 Desember 2009, sebab tidak mungkin ketiga jawaban saksi tersebut sama persis jika pengerjaannnya dilakukan secara jujur. Oleh karena keterangan ketiga saksi yang membantah atau menyangkal adanya rekayasa jawaban ujian pengisian perangkat Desa Wolo tidak berdasar fakta hukum yang sesungguhnya dan menurut majelis hakim harus dikesampingkan. Berkaitan adanya kecurangan dalam pelaksanaan ujian pengisian perangkat Desa Wolo, maka berdasarkan Pasal 22 ayat 1 dan 2 huruf c dan Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 9 Tahun 2006 bukti P-12 = T-4 menyebutkan bahwa dalam hal terdapat kebocoran materi ujian atau terdapat kecurangan lainnya sebelum, pada saat atau setelah pelaksanaan ujian, Kepala Desa membatalkan pelaksanaan danatau hasil ujian penyaringan. Menurut majelis hakim tergugat mengetahui adanya kebocoran dan seharusnya membatalkan ujian penyaringan tersebut, ternyata tidak dilakukan, maka majelis hakim berpendapat tindakan tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Pasal 22 ayat 1 dan 2 huruf c Peraturan Bupati Grobogan commit to user 235 Nomor 10 Tahun 2009 dan Nomor 9 Tahun 2006 dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas kepastian hukum, asas profesionalisme, karena tergugat bertindak tidak profesional dengan membiarkan adanya indikasi kecurangan yang dilakukan oleh peserta ujian pengisian perangkat Desa Wolo. Berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, yaitu tindakan tergugat di dalam menerbitkan keputusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan batal surat keputusan yang menjadi obyek sengketa. 5. Analisis pertimbangan hukum Pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan oleh majelis hakim dalam sengketa tersebut adalah karena adanya kecurangan yang dilakukan oleh peserta pada saat ujian penyaringan dilaksanakan, tergugat tidak membatalkan ujian tersebut, tetapi justru menerbitkan Surat Keputusan penetapan atau pengangkatan Zamroni Makhsun sebagai Kepala Urusan Pembangunan dan Perekonomian. Berdasarkan fakta tersebut, majelis hakim menilai bahwa tindakan tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang belaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas kepastian hukum dan asas profesionalitas, majelis menyatakan obyek sengketa batal. Menurut analisa peneliti mengenai kecurangan yang dilakukan peserta ujian pada saat dilaksanakan ujian penyaringan tidak seluruhnya argumentasi majelis hakim dapat diterima. Pertama, karena pada saat pelaksanaan ujian penyaringan duduknya antara ketiga peserta ujian yang dijadikan saksi sangat berjauhan. Hal yang demikian sulit untuk mencurigai adanya kerjasama di antara ketiga peserta ujian tersebut dan lagi pula pada saat ujian berlangsung ada pengawasnya. Majelis hakim seharusnya juga mendatangkan pengawas untuk dimintai keterangan sehubungan dengan pelaksanaan ujian dan juga tidak disebutkan dalam commit to user 236 berita acara adanya kecurangan yang dilakukan peserta ujian, jika ada kecurangan sudah semestinya ditulis dalam berita acara dan hal tersebut harsus diperhatikan dan ditindaklanjuti atau ada penanganan yang serius, karena berdasarkan surat Bupati apabila dalam pelaksanaan ujian ada kecurangan, hasil ujian harus dibatalkan. Dalam surat tersebut juga ditegaskan, apabila terjadi kecurangan baik sebelum, pada saat dan sesudah pelaksanaan ujian, harus diadakan ujian ulangan dan peserta yang terbukti melakukan kecurangan tidak diperbolehkan mengikuti ujian ulangan. Kedua, nilai yang sama adalah dimungkinkan, demikian juga pekerjaan yang sama, karena alternatif jawaban yang tersedia sifatnya pasti, jadi peserta tidak mungkin memberikan jawaban yang lain jika sudah pasti jawabannya dianggap pasti dan benar. Lagi pula apabila kecurangan itu dicurigai terjadi sebelum ujian dilaksanakan dengan memberikan kunci jawaban oleh panitia, maka sulit untuk diterima karena daya ingat manusia sangat terbatas, sehingga untuk menghapalkan kunci jawaban dari Nomor 1 sampai dengan 100 adalah suatu hal yang tidak mudah. Putusan Nomor 81G2009PTUN. Smr. 1. Subyek Sengketa Agus Riyanto, kewargaan Indonesia, bertempat tinggal di desa Klaling Rt. 06. Rw. V. Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Pekerjaan Perangkat Desa, Jabatan Kepala Dusun III, Desa Klaling, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Memberi kuasa khusus kepada Seno Wibowo, disebut penggugat, melawan Kepala Desa Klaling, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus Memberi kuasa khusus kepada Suprayitno Widodo, dkk. Beralamat Canggrang Rt. 04 Rw. 03, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, disebut tergugat. commit to user 237 2. Obyek Sengketa. Surat Keputusan Nomor 14192009, tanggal 4 November 2009 tentang tidak dengan hormat Sdr. Agus Riyanto jabatan Kepala Dusun III sebagai perangkat desa Klaling, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. 3. Duduk Perkara. Setelah dinyatakan lulus seleksi ujian perangkat desa, Agus Riyanto berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa Klaling Nomor 14105X2003, tanggal 25 Oktober 2003 diangkat sebagai Perangkat Desa Klaling, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Kepada desanya Haryadi. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 14192009, tanggal 4 November 2009, Sdr. Agus Riyanto diberhentikan dari Jabatan Kepada Dusun III, dengan Kepala Desa, yaitu Sutrimo. Alasan pemberhentian, yaitu melanggar Pasal 38 ayat 2 huruf b Perda. Kabupaten Kudus Nomor 20 Tahun 2006 jo. Pasal 58 ayat 2 huruf b Peraturan Bupati Kudus Nomor 1 Tahun 2008. 3. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan PTUN. Berdasarkan alat bukti yang diajukan, majelis hakim berpendapat bahwa penggugat masih mempunyai itikad baik untuk bekerja dan melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya sebagai perangkat Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat 2 Perda Kabupaten kudus Nomor 13 Tahun 2006. Penerapan Pasal 38 ayat 2 huruf b Perda Kabupaten Kudus Nomor 20 Tahun 2006 jo. Pasal 58 ayat 2 huruf b, Peraturan Bupati Kudus Nomor 1 Tahun 2008, oleh tergugat sebagai dasar pemberhentian penggugat adalah kurang tepat dan tidak memadai. Alasan ketidakaktifan penggugat, seharusnya tergugat memanggil sejak awak memangku jabatan, dengan memberi peringatan atau teguran. Obyek sengketa menurut majelis hakim bertentangan dengan ketentuan Pasal 38 ayat 2 huruf b Perda Kabupaten Kudus jo. Pasal 58 ayat 2 huruf b Peraturan Bupati Kudus Nomor 1 Tahun 2008, maka obyek sengketa harus dibatalkan. Penggugat tidak terbukti selama dua tahun enam bulan tidak masuk untuk melaksanakan pekerjaannya. Obyek sengketa yang dikeluarkan tergugat bertentangan commit to user 238 dengan asas keterbukaan dan asas proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf b, yang menunjuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Sehubungan dengan obyek sengketa dibatalkan, tergugat wajib mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi sengketa dan merehabilitasi penggugat dalam jabatan semula. 4. Analisis Putusan Hakim. Putusan hakim dalam sengketa tersebut masih didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu ketentuan Pasal 53 ayat 2 huruf b tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas keterbukaan dan asas proporsionalitas. Asas keterbukaan yang dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hukum berkaitan dengan tidak adanya keterbukaan penggugat untuk memperoleh informasi dan perlakuan yang diskriminatif dalam pelaksanaan tugas, ada perbedaan disebabkan pada waktu pemilihan Kepala Desa dan berlanjut pada hubungan tugas. Asas proporsionalitas, karena dalam hubungan tugas tersebut sudah tidak terjadi keharmonisan yang berbuntut pada pekerjaaan. Dalam penilaian majelis hakim, bahwa obyek sengketa bertentangan dengan peraturan dasar dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh tergugat, karena dalam kenyataannya dan didukung dengan pembuktian yang sah, penggugat adalah aktif menjalankan tugasnya. Putusan Nomor 03G.TUN2000PTUNYK. 1. Subyek Sengketa Sumardiyono, yang memberikan kuasa khusus tertanggal 15 Februari 2000, kepada Joko Pitono dan Purwoko, disebut penggugat melawan Bupati Kepala Daerah Tk. II. Bantul, yang memberi kuasa khusus kepada Siti Asfijah Kepala Bagian Hukum Sekda Bantul, A. Diah Satiawati Kepala Sub. Bagian Perundang-undangan pada Bagian Hukum Sekda Bantul, Umaryati Purwaningsih Kepala Sub. Bagian Bantuan Hukum pada Bagian Hukum Sekda Bantul, disebut sebagai tergugat. commit to user 239 2. Obyek Sengketa. Surat keputusan tergugat Nomor 17KepSwn1999, tanggal 20 Desember 1999 tentang Pemberhentian sdr, Sumardiyono dari Jabatan Kepala Urusan Pemerintahan Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul. 3. Duduk Perkara Penggugat semula adalah kepala bagian keamanan desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Dati. II Bantul, diangkat menjadi Kepala Urusan Pemerintahan desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Dati. II Bantul, sebagaimana tercantum dalam kutipan dari daftar Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk. II Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Nomor 201AKepBt1987, tanggal 21 Agustus 1987. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepada Dati Tk. II Bantul, Nomor 17KEPSwn1999, tanggal 20 Desember 1999, diberhentikan sebagai KAUR Pemerintahan desa Bangunharjo, karena perbuatan penggugat telah dinyatakan bersalah melanggar Pasal 303 KUHP tentang perjudian dengan pidana penjara tiga bulan 15 hari. Surat tersebut diterbitkan, karena penggugat telah melanggar Pasal 7 ayat 3 Keputusan Bupati Kepada Dati. II Bantul Nomor 585AKepBt.1996 tanggal 15 Oktober 1996, yang menyatakan bahwa Sekretaris desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun yang diberhentikan sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dapat diberhentikan apabila yang bersangkutan telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 48Pid98PTY. Tanggal 19 Desember 1998, menyatakan sdr Sumardiyono secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, tanpa hak dengan sengaja memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk melakukan permainan judi. Memidana terdakwa dengan pidana penjara selama tiga bulan 15 hari. Berdasarkan surat keputusan tergugat Nomor 17KepSwn1999 tersebut penggugat mengajukan gugatan ke PTUN Yogyakarta, karena kepentingan commit to user 240 tergugat merasa dirugikan dengan diterbitkannya keputusan tersebut. Pengajuan gugatan penggugat tersebut sesuai dengan ketentuan psal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, namun seharusnya penggugat menggunakan upaya administrasi yang berupa keberatan lebih dahulu. 4. Dasar Pertimbangan hukum putusan PTUN. Pertimbangan hukum majelis hakim untuk sampai pada putusan, yaitu tindakan tergugat menerbitkan Surat Keputusan tentang pemberhentian sdr. Sumardiyono tanpa mempertimbangkan kepentingan- kepentingan yang tersangkut menurut nalar dan fakta-fakta yang relevan yang mana fakta-fakta tersebut mempunyai kedudukan atau arti penting yang harus dipertimbangkan dalam atau sebelum keputusan yang dikeluarkan. Perbuatan tergugat tersebut dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal. Fakta-fakta tersebut apabila dipertimbangkan oleh tergugat pada waktu akan mengambil keputusan , maka hakim mempunyai pandangan bahwa tergugat tidak akan sampai mengeluarkan keputusan yang isinya memberhentikan penggugat. Pertimbangan hukum lain yang dipegunakan sebagai dasar untuk mengambil putusan adalah tergugat di dalam menerbitkan surat keputusan di samping melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal, tergugat juga telah secara sewenang-wenang menerapkan sanksi yang tidak diperhitungkan keseimbangannya antara bobot pelanggaran yang telah dilakukan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada penggugat, dengan demikian tergugat telah melanggar asas keseimbangan. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, majelis hakim memutuskan keputusan tergugat tersebut dibatalkan. 5. Analisis putusan hakim. Pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk mengambil putusan hakim adalah tindakan tergugat melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal. Asas commit to user 241 kecermatan formal yang dimaksud oleh majelis hakim seperti ancaman hukuman atas diri penggugat tidak maksimal lima tahun, hanya tiga bulan 15 hari adalah waktu yang relatif pendek, sehingga yang bersangkutan masih dapat melaksanakan tugasnya setelah keluar dari hukuman. Perjudian yang dilakukan penggugat baru sekali dan itupun sebagai iseng jagak lek, bukan merupakan perbuatan sebagai mata pencaharian yang dilakukan setiap hari. Perbuatan yang dilakukan sebenarnya ada tujuan lain yang hendak dicapai, yaitu sebagai mata-mata untuk mencari informasi sehubungan di daerah tersebut ada kasus pembunuhan, sehingga tidak adil jika penggugat diberhentikan dari jabatannya sebagai Kaur desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon. Pertimbangan hukum lain sebagai dasar putusan bahwa tergugat melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas keseimbangan. Hal ini dapat diketahui dari sanksi yang dijatuhkan tergugat berupa pemberhentian penggugat sebagai Kepala Urusan desa Bangunharjo, bobot yang pelanggaran yang dilakukan penggugat tidak seimbang dengan sanksi yang dijatuhkan tergugat. Perbuatan tergugat yang menerbitkan keputusan tentang pemberhentian penggugat sebagai Kepala Urusan desa Bangunharjo, di dasarkan pada Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul Nomor 587AKepBt1996, adalah termasuk surat keputusan yang bebas, sehingga tergugat dalam hal ini mempunyai keleluasan untuk menerbitkan atau tidak menerbitkan surat keputusan tersebut keputusan pemberhentian. Perbuatan tergugat adalah perbuatan sewenang-wenang, sebagai perbuatan kebijaksanaan atau yang didasarkan freies ermessen, seharusnya memberikan manfaat kepada pengugat bukan yang terjadi sebaliknya. Berkaitan dengan pertimbangan hukum tersebut, sebenarnya asas kecermatan formal dan asas keseimbangan tidak diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, commit to user 242 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik menujuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas. Dengan demikian pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan putusan hakim tersebut, digali, dipahami oleh hakim dalam kehidupan masyarakat yang dalam kesehariannya dipelihara, dipertahankan dan dilestarikan dalam menghadapi permasalahan. Asas kesimbangan dimaksudkan untuk mendapatkan keadilan atau paling tidak dapat memberikan kepuasan para pihak yang bersengketa dan hal ini yang diharapkan dalam penyelesaian sengketa. Asas kecermatan dimaksudkan agar para pihak tidak gegabah, tidak ceroboh, tetapi diharapkan untuk sangat hati-hati, berkepala dingin sebelum mengambil atau keputusan, kemudian setelah terdapat kesepakatan berdasarkan musyawarah para pihak, keputusan dapat diambil atau dijatuhkan. Keputusan tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan tentang pemberhentian penggugat sebagai Kepala Urusan desa Bangunharjo, adalah secara prosedural atau formal telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat keputusan yang diterbitkan tergugat yang berisi pemberhentian penggugat sebagai Kepala Urusan Pemerintahan mengacu atau berdasarkan kepada peraturan dasar yang mengaturnya, yaitu : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1981 tentang Pesyaratan, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun. Perda Kabupaten Dati II Bantul Nomor 7 Tahun 1984 tentang Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun. Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk II Bantul Nomor 587AKepBt1996, tanggal 15 Oktober 1996 tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian Sekretaris Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun. commit to user 243 Majelis hakim dalam pemeriksaan sengketa tersebut, kurang memperhatikan adanya upaya banding yang harus ditempuh oleh penggugat terlebih dahulu, karena tidak semua sengketa tata usaha negara dapat langsung diselesaikan di pengadilan tata usaha negara. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, menyebutkan pengadilan tata usaha negara baru berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, jika seluruh prosedur dan kesempatan tersebut upaya administratif telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, barulan persoalannya dapat digugat dan diajukan ke pengadilan. Berdasarkan ketentuan tersebut, sengketa tata usaha negara antara Sumardiyono dengan Bupati Kepala Daerah Tk II Bantul seharusnya ditempuh melalui upaya administratif lebih dahulu. Dalam pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan hakim, tidak mengemukakan alasan bahwa tindakan tergugat yang menerbitkan Surat Keputusan tentang pemberhentian penggugat sebagai Kepala Urusan desa Bangunharjo bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik secara prosedural atau formal, secara substansi atau materiil dan kewenangan. Majelis hakim mendasarkan pada alasan bahwa tindakan tergugat melanggar atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal dan asas keseimbangan, berarti majelis hakim sangat memperhatikan, menggali,memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyasrakat. Hakim dalam menyelesaikan sengketa tersebut, mempunyai pandangan yang luas dan sangat memperhatikan rasa keadilan, berarti hakim dalam menjatuhkan putusan tidak hanya berpikir secara formal saja, tidak hanya menggunakan logika silogisme, mengikuti cara-cara yang lama sebagaimana diajarkan oleh aliran hukum positif dan aliran legisme, hakim sudah berpikir dengan menggunakan hati nurani, commit to user 244 empaty dan putusan hakim sudah meninggalkan cara-cara tradisional. Putusan hakim yang mendasarkan pada penggunaan berpikir hati nurani, empaty dan berpikir aktif dan kreatif adalah cara berpikir yang dikemukakan Zohar dan Marshall, sehingga putusan hakim akan membumi dan dapat diterima masyarakat. Putusan hakim PTUN Yogyakarta dan PTUN Semarang tersebut nampaknya sudah mengikuti Zohar dan Marshall, juga teori aksi yang dikemukakan oleh Tallcot Parsons, hakim dalam menghadapi rangsangan atau stimulus tidak langsung ditanggapi dalam bentuk tindakan, tetapi hakim sebagai aktor mempunyai kemampuan untuk memilih cara dan alat untuk mencapai tujuan dari berbagai alternatif yang tersedia. Putusan Nomor 10G.TUN2004PTUN. Yk. 1. Subyek sengketa. Musein Madhal, dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai penggugat, melawan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang memberi kuasa khusus kepada Sudijono, Kepala Biro Administrasi Keuangan dan Umum IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, Muchtar Jamil, Kabag Kepegawaian Biro Administrasi Keuangan dan umum IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Oom Komarudin Maskar, Kabag Perencanaan dan Sistem Informasi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, selanjutnya disebut tergugat. 2. Obyek sengketa. Surat Keputusan Rektor IAIN Sunan Kalijaga, tanggal 22 April 2004, Nomor 115Ba.OA2004 tentang Pengangkatan Dekan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kaljaga periode 2004-2008. 3. Duduk perkara Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melaksanakan pemilihan calon Dekan Fakultas Dakwah periode 2004-2008 dengan tahapan sebagai berikut, a. Tanggal 16 Desember 2003, rapat senat Fakultas Dakwah membentuk Tim Penyusun Tata Tertib dan membentuk Panitia Pemilihan Dekan commit to user 245 b. Tanggal 14 Januari 2004, rapat senat Fakultas Dakwah mengesahkan Tata Tertib Pemilihan Dekan c. Tanggal 31 Januari 2004, Panitia melaksanakan penjaringan terhadap bakal Calon Dekan termasuk penggugat, yang diikuti oleh unsur dosen dan mahasiswa semester V ke atas d. Tanggal 5 Februari 2004, rapat senat menetapkan Calon Dekan yang berhak untuk dipilih e. Tanggal 14 Februari 2004, penyampaian visi, misi dan program Calon Dekan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Pada tanggal 19 Februari 2004, panitia melaksanakan pemilihan calon Dekan diikuti dosen dan perwakilan mahasiswa dengan hasil : No Nama Jumlah Suara 1 2 3 4 5 Afif Rifai Kholiti Akhmad Rifai M.Musein Madhal Nasrudin Harahap 28 suara mengundurkan diri 27 suara 1 suara Berkaitan dengan diterbitkannya surat keputusan Rektor IAIN Nomor 115Ba.OA2004, tentang Pengangkatan Afif Rifai sebagai Dekan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga periode 2004-2008 tersebut, maka penggugat mengajukan gugatan ke PTUN Yogyakarta. Adapun alasan pengajuan gugata tersebut adalah bahwa Panitia Pemilihan Calon Dekan telah melakukan pelanggaran terhadap statuta khususnya Pasal 127 ayat 2 huruf e, Juncto Pasal 167 ayat 1, yaitu dalam menetapkan hak suaru perwakilan mahasiswa sebanyak lima orang, padahal seharusnya dua orang. Pasal 127 ayat 2 huruf e, menyebutkan panitia melaksanakan pemilihan langsung yang diikuti oleh semua dosen tetap dan wakil mahasiswa masing-masing satu orang dari badan eksekutif dan legislatif kemahasiswaan atas bakal calon dekan yang ditetapkan senat fakultas. Pasal 167 ayat 1 menyebutkan, perubahan tersebut hanya dapat dilakukan oleh senat institut dan baru berlaku setelah ditetapkan oleh Menteri Agama, padahal perubahan tersebut belum dimintakan commit to user 246 persetujuan Menteri Agama. Penetapan lima orang mahasiswa yang seharusnya dua orang bertentangan dengan Keputusan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Nomor 1511999 tentang Anggaran Dasar Keluarga Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, Pasal 13 huruf f dan h, yaitu BEMJ adalah lembaga eksekutif di tingkat jurusan dan Presma Fakultas adalah Lembaga Eksekutif Kemahasiswaan di tingkat fakultas. Jadi penafsiran Badan Eksekutif pada Pasal 127 ayat 2 huruf e adalah Lembaga Presma Fakultas, bukan Lembaga BEMJ. Pemilihan Calon Dekan adalah di tingkat fakultas, bukan di tingkat jurusan, maka yang berhak memilih adalah Lembaga Eksekuitf dari Presma Fakultas, bukan dari Lembaga Eksekutif BEMJ. Pemilihan juga bertentangan dengan SK Dekan Fakultas Dakwah IAIN Nomor 5KPTSDD2004, Pasal 7 ayat 1, pencoblosan di rumah sakit, padahal menurut kesepakan rapat senat hak pilih harus hadir, jika tidak hadir suaranya dinyatakan gugur. 4. Pertimbangan hukum putusan PTUN Berdasarkan statuta IAIN Sunan Kalijaga Pasal 127 ayat 2 e, bahwa hak perwakilan mahasiswa adalah satu dari badan eksekutif dan satu dari legislatif kemahasiswaan, dan aturan itu bersifat imperatif, artinya perubahan hak suara perwakilan mahasiswa dari dua menjadi lima adalah merupakan wewenang senat institut dan baru berlaku setelah mendapat persetujuan dari Menteri Agama. Majelis berpendapat senat fakultas tidak berwenang merubah apa yang telah diatur secara tegas dalam statuta, keputusan senat fakultas yang telah menetapkan perwakilan mahsiswa menjadi lima orang adalah keputusan yang telah melampaui wewenang yang ada padanya dan keputusan tersebut adalah tidak ada. Keputusan yang diterbitkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat proseduralformal, karena diterbitkan berdasarkan alas hukum yang tidak sah, maka keputusan Rektor dinyatakan batal. 5. Analisis kasus. Pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan hakim adalah bahwa senat fakultas tidak berwenang merubah apa commit to user 247 yang telah tegas diatur dalam statuta, berarti majelis hakim dalam mengambil putusan mengikuti cara-cara lama atau yang masih tradisional, tidak memberikan penafsiran terhadap undang-undang, pemikiran hakim masih mengikuti ajaran hukum positif, bersifat linear, logis analitis, karena penafsiran senat Fakultas dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat proseduralformal. Pertimbangan hukum yang dikemukakan majelis hakim tersebut juga diperbolehkan, namun sebenarnya terdapat kekurang telitian atau ketidakjelian hakim dalam memeriksa sengketa tata usaha negara tersebut. Penafsiran yang dilakukan senat fakultas adalah bahwa statuta telah memberi wewenang kepada senat fakultas untuk menjabarkan kebijakan dan peraturan IAIN untuk fakultas yang bersangkutan, yaitu berdasarkan Pasal 68 statuta dan dalam konteks ini fakultas Dakwah. Penafsiran senat fakultas terhadap statuta, yaitu menetapkan perwakilan mahasiswa dua menjadi lima berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 84 Tahun 2000, yang merupakan pembetulan SK Rektor Nomor 151 Tahun 1999 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga keluarga Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Keluarga Mahasiswa, yang antara lain menyatakan Presma adalah Presidium Eksekutif Mahasiswa Fakultas dan BEMJ adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan. Berdasarkan hal tersebut, senat fakultas menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 127 ayat 2 e statuta yang menyebut satu orang dari Badan Eksekutif Mahasiswa adalah dari BEMJ dan karena jurusan di fakultas Dakwah ada empat jurusan, maka Badan Eksekutif Mahasiswa diwakili empat orang. Tergugat mendalilkan bahwa ketentuan yang memberi hak suara menjadi lima orang kepada mahasiswa adalah berdasarkan keputusan Senat Fakultas Dakwah Nomor 05KPTSDD2004 tanggal 14 Januari 2004 yang juga ditandatangani penggugat selaku sekretaris senat. Penfsiran perwakilan suara mahasiswa dari dua orang menjadi lima orang mahasiswa juga dibandingkan dengan fakultas lain di lingkungan IAIN commit to user 248 Sunan Kalijaga, yaitu Fakultas Adab dan fakultas Ushuluddin dan hal tersebut tidak ada permasalahan. Dengan demikian penilaian majelis hakim yang dituangkan dalam pertimbangan hukum tentang penafsiran senat fakultas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu secara prosedural atau formal, pelu ditinjau kembali atau mendapat kajian yang lebih seksama. Menurut pengamatan penelti bahwa keputusan senat yang memberikan hak suara kepada perwakilan mahasiswa yang lebih banyak dalam pemilihan dekan, merupakan pengembangan demokrasi dalam pemilihan dekan, karena dengan semakin banyak suara yang memilih berarti dekan terpilih diharapkan mempunyai kualitas dan kemampuan untuk memajukan fakultas tersebut. Pertimbangan hukum yang lain adalah bahwa senat fakultas telah melampaui batas wewenang yang diberikan padanya, sehingga hakim menjatuhkan putusan mengabulkan gugatan penggugat. Majelis juga tidak dapat disalahkan begitu saja, karena pandangan mereka yang masih mengikuti cara yang diberikan oleh ajaran hukum positif. Menurut hemat peneliti, senat fakultas sebagai pihak eksekutif juga diberikan ruang lingkup untuk bergerak, seperti freies ermessen, sehingga senat fakultas dapat mengambil kebijakan yang dipandang perlu dan penting dengan tujuan yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Penafsiran terhadap statuta yang sudah tegas mengatur tentang pemilihan calon dekan juga dilakukan oleh fakultas lain dalam lingkungan IAIN Sunan Kalijaga, yaitu fakultas Adab dan fakultas ushuluddin dan ternyata tidak menimbulkan permasalahan belum atau tidak diangkat dalam pertimbangan hukum sebagai dasar putusan. Hal tersebut sangat menarik, karena dalam satu lingkungan dapat berlaku yang berbeda terhadap permasalahan yang sama, yaitu pemilihan calon dekan. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam sengketa tata usaha negara tersebut adalah upaya administratif yang seharusnya ditempuh oleh penggugat lebih dahulu kepada instansi yang ditunjuk, baru setelah seluruh upaya commit to user 249 adminstratif ditempuh dan penggugat tidak puas, maka sengketa dapat diajukan ke pengadilan tata usaha negara. Putusan PTUN Nomor 10 G.TUN2004PTUNYk. dimenangkan penggugat tersebut, karena tergugat tidak puas terhadap putusan PTUN tersebut, tergugat mengajukan banding ke PTTUN Surabaya, kedudukan tergugat dalam hal ini sebagai pembanding dan penggugat sebagai terbanding. Tergugatpembanding mengajukan memori banding tertanggal 17 Desember 2004 dan diterima oleh Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta tanggal 8 Januari 2005 dan telah diberitahukan kepada pihak penggugatterbanding sesuai dengan surat pemberitahuan dan penyerahan memori banding tertanggal 10 Januari 2005 Nomor 10G.TUN2004PTUNYk. Pihak penggugatterbanding telah mengajukan kontra memori banding tertanggal 10 Januari 2005 dan diterima oleh Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta tertanggal 12 Januari 2005 dan telah diberitahukan kepada tergugatpembanding sesuai dengan surat pemberitahuan dan penyerahan kontra memori banding tertanggal 12 Januari 2005 Nomor 10G.TUN2004PTUNYk. Duduk perkara dan pertimbangan hukumnya, tergugatpembanding mengajukan memori banding yang pada pokoknya menyatakan keberatan atas putusan PTUN Yogyakarta dan mohon agar PTTUN Surabaya menjatuhkan putusan membatalkan putusan PTUN Yogyakarta tanggal 3 November 2004 Nomor 10G.TUN2004PTUNYk. Terhadap permohonan banding tersebut, maka PTTUN Surabaya, sebelum mengambil putusan mengambil langkah-langkah sebagai berikut, Menimbang bahwa setelah Majelis Tingkat Banding memeriksa dan meneliti secara seksama terhadap sengketa ini dan berkas perkaranya yang terdiri dari salinan resmi putusan PTUN Yogyakarta Nomor 10G.TUN.2004PTUNYk tanggal 3 November 2004 yang dimohonkan banding, berita acara persidangan dan alat bukti dari kedua belah pihak serta memori banding dan kontra memori banding mempertimbangkan sebagai berikut, bahwa penggugatterbanding dalam gugatannya pada commit to user 250 pokonya mendalilkan bahwa Panitia Pemilihan Calon Dekan Fakultas Dakwah periode 2004-2008 telah melakukan pelanggaran terhadap statuta khususnya Pasal 127 ayat 2 huruf e jo. Pasal 167 ayat 1, karena dalam hal menetapkan hak suara perwakilan mahasiswa sebanyak lima orang yang seharusnya dua orang, demikian juga terhadap perubahan tersebut hanya dapat dilakukan oleh senat institut dan baru berlaku setelah ditetapkan oleh Menteri Agama. Penggugatterbanding mendalilkan bahwa pelaksanaan pemilihan calon dekan tersebut cacat hukum, karena dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan untuk menguatkan dalilnya, penggugatterbanding telah mengajukan bukti-bukti surat dan tiga orang saksi. Di pihak tergugatpembanding dalam jawabannya menyatakan bahwa penerbitan surat keputusan obyek sengketa tidak betentangan dengan undang-undang maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik dan guna mengukuhkan sangkalannya tersebut, tergugatpembanding telah mengajukan bukti-bukti surat dan dua orang saksi. Majelis hakim tingkat pertama dalam putusannya mengabulkan gugatan penggugatterbanding dengan pertimbangan hukumnya bahwa statuta IAIN Sunan Kalijaga Pasal 127 ayat 2 huruf e, bukti P.2 = T.1 telah ditentukan, untuk pemilihan calon dekan hak suara mahasiswa dua orang, yaitu satu orang dari badan eksekutif dan satu orang dari badan legislatif kemahasiswaan, aturan tersebut bersifat imperatif dan jika ada perubahan hak suara dua menjadi lima orang adalah merupakan wewenang senat institut dan perubahan tersebut baru berlaku setelah mendapat persetujuan dari Menteri Agama, senat fakultas tidak berwenang menambahmengatur apa yang sudah diatur secara tegas dalam statuta. Keputusan senat fakultas yang menetapkan perwakilan mahasiswa menjadi lima orang adalah melampaui wewenang yang ada padanya, oleh karena itu tidak sah. Berdasarkan fakta dan dihubungkan dengan alat bukti, bahwa penggugatterbanding sendiri telah ikut sebagai calon dekan, majelis hakim tingkat banding berpendapat bahwa penggugatterbanding telah menyetujui seluruh persyaratan pemilihan calon dekan fakultas dakwah commit to user 251 IAIN Sunan Kalijaga, sehingga dengan demikian penggugatterbanding tidak dapat lagi dan tidak berkualitas lagi untuk mempersoalkan tentang keabsahan pesyaratan pencalonan tersebut. Majelis hakim tingkat banding berpendapat bahwa putusan PTUN Yogyakarta Nomor 10G.TUN.2004PTUNYk tanggal 3 November 2004 haruslah dibatalkan dan menyatakan gugatan penggugatterbanding tidak dapat diterima. Analisis terhadap putusan majelis hakim tingkat banding yang membatalkan putusan Nomor 10G.TUN2004PTUNYk dengan pertimbangan hukum bahwa pengggugatterbanding adalah sebagai pihak yang ikut menyetujui tentang persyaratan pencalonan dekan fakultas dakwah IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta, sehingga penggugatterbanding tidak mempunyai kualitas sebagaai penggugat. Pertimbangan hukum yang demikian itu adalah masuk akal dan kiranya dapat diterima, karena sebagaiman yang berlaku dalam lalu lintas hukum dan khususnya dalam hukum perjanjian, bahwa kesepakan yang diberikan dalam perjanjian berlaku sebagai undang- undang dan sudah semestinya harus ditaati serta dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya. Suatu hal yang kurang patut untuk dikemukakan bahwa sebenarnya perubahan perwakilan mahasiswa dari dua orang menjadi lima orang tersebut pertama kali yang mengusulkan menurut keterangan saksi yang hadir berarti saksi melihat, mendengar dan mengetahui sendiri, bukan dari orang lain adalah pihak penggugatterbanding. Analisis terhadap pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk mengambil putusan antara majelis hakim peradilan tata usaha negara tingkat pertama, yaitu PTUN Yogyakarta dengan majelis hakim peradilan tingkat banding, yaitu PTTUN Surabaya terdapat perbedaan. Peradilan tata usaha negara tingkat pertama, pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk memutus sengketa tata usaha negara adalah bahwa surat keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat atau Badan atau Pejabat TUN, yaitu Rektor IAIN Sunan Kalijaga bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang berlaku secara prosedural atau formal. Pertimbangan hukum yang lain adalah bahwa tergugat tidak berwenang atau commit to user 252 senat fakultas tidak mempunyai kewenangan untuk mengadakan perubahan, karena yang berwenang mengadakan perubahan adalah senat institut dan perubahan tersebut baru berlaku setelah mendapat persetujuan dari Menteri Agama. Pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk mengambil putusan majelis hakim tingkat banding, yaitu PTTUN Surabaya adalah bahwa penggugatterbanding tidak mempunyai kualitas sebagai penggugat, penggugatterbanding sebagai pihak yang ikut memberikan persetujuan atau kesepakatan tentang persyaratan pemilihan calon dekan, pihak penggugatterbanding bukan merupakan pihak yang kepentingannya dirugikan atau hak-hak dilanggar oleh tergugatpembanding. Hal tersebut juga tidak dibantah oleh pihak penggugatterbanding bahwa ia memberikan persetujuan tentang adanya persyaratan pemilihan calon dekan fakultas dakwah IAIN Sunan Kalijaga periode 2004-2008 dan menurut keterangan saksi, penggugatterbanding yang mempunyai idea yang pertama atau pendapat pertama yang mengusulkan adanya perubahan perwakilan suara mahasiswa dari dua orang menjadi lima orang. Majelis hakim tingkat banding berpendapat bahwa penggugatterbanding telah menyetujui seluruh persyaratan pemilihan calon dekan fakultas dakwah IAIN Sunan Kalijaga, sehingga penggugatterbanding tidak dapat lagi dan tidak berkualitas untuk mempersoalkan tentang keabsahan persyaratan tersebut, seperti yang dilakukannya dengan mengajukan gugatan. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara PTTUN Surabaya Nomor 29BTUN2005PT. TUN. SBY, yang memenangkan pihak tergugatpembanding dan berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut penggugatpembanding mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada kedua belah pihak pada tanggal 11 April 2005, kemudian oleh penggugatterbanding diajukan permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan tata usaha negara Yogyakarta pada tanggal 27 April 2005, sedangkan pemberitahuan isi putusan yang dimohonkan kasasi, yaitu putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 29B.TUN2005PT.TUN.SBY, tanggal 1 Maret 2005 telah commit to user 253 terjadi pada 11 April 2005, dengan demikian permohanan kasasi tersebut telah melampaui tenggang waktu yang ditetapkan dalam Pasal 46 ayat 1 Undang- undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 5 Tahun 2004, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan demkian putusan kasasi tersebut dimenangkan tergugatpembanding, tanpa adanya pemeriksaan terhadap sengketa tata usaha negara, karena permohonan kasasi penggugatterbanding telah melampaui tenggang waktu yang ditetapkan dalam undang-undang. Suatu hal yang menarik dalam putusan yang dijatuhkan terhadap sengketa tata usaha negara yang diajukan oleh Husein Madhal, sebagai penggugat melawan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai tergugat. Sebagaimana diketahui bahwa dalam putusan sengketa tersebut, pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan berbeda atau tidak sama, padahal yang diajukan dalam materi yang sama. Pertimbangan hukum majelis hakim PTUN Yogyakarta adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan dari sudut prosedural atau secara formal dan tindakan tergugat dengan mengadakan perubahan suara perwakilan mahasiswa dinlai oleh majelis hakim PTUN Yogyakarta sebagai tindakan yang melampaui batas kewenangan yang diberikan padanya. Kemudian pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh majelis hakim tingkat banding, yaitu PTTUN, penggugat tidak mempunyai kualitas sebagai penggugat, karena ikut memberikan persetujuan tentang persyaratan pemilihan calon dekan fakultas dakwah IAIN Sunan Kalijaga periode 2004-2008, ia justru mempermasalahkan adanya cacat dan sebagainya. Berdasarkan perbedaan pandangan atau pendapat tentang pertimbangan hukum tersebut, maka terhadap sengketa yang sama diputus berbeda, dalam waktu yang relatif singkat. Peradilan tata usaha negara Yogyakarta, memenangkan pihak penggugat, sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya, memenangkan pihak tergugat. Dalam kaitannya dengan perbedaan tersebut, sebenarnya hakim memang tidak dilarang untuk berbeda pendapat, hal ini commit to user 254 sesuai dengan apa yang dikemukakan Glendon Schubert, hakim itu setuju atau tidak setuju terhadap suatu putusan, bukan karena mereka melakukan penalaran yang sama atau berlainan, melainkan karena mereka mempunyai sikap-sikap yang sama atau berlainan. Para hakim berbeda-beda dalam sikapnya, oleh karena masing-masing pada akhirnya memiliki beberapa hal untuk dipercayainya dan menolak yang lain sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Putusan Nomor 11G2010PTUNYk. 1. Subyek sengketa Dwi Sukamto, pekerjaan petani, alamat Dusun Karangasem RT. 05RW. 03, Desa Kedungsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, memberi kuasa khusus kepada 1. A. Muslim Murjiyanto, 2. Widodo Priyanta, keduanya advokad beralamat di yogyakarta, selanjutnya disebut sebagai penggugat, melawan Ketua Badan Permusyawaratan Desa BPD Desa Kedungsari, selanjutnya disebut sebagai tergugat. 2. Obyek sengketa Obyek sengketa dalam kasus ini adalah Surat Keputusan Badan Permusyawaratan Desa BPD Kedungsari Nomor 04KEPBPD2010 tentang Penolakan Permintaan Persetujuan Penetapan Dwi Sukamto Sebagai Staf Desa Kedungsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, tertanggal 24 Juni 2010. 3. Duduk perkara Di Desa Kedungsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dibutuhkan seorang staf, maka sesuai dengan Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2007 tertanggal 26 Maret 2007 tentang Pengisian Perangkat Desa lainnya, dan penggugat merupakan salah satu bakal calon staf yang mendaftarkan diri untuk ikut seleksi. Penggugat telah memenuhi dan melengkapi semua persyaratan administrasi, bersama dengan yang commit to user 255 lain, semuanya berjumlah sembilan orangpeserta.dan berhak mengikuti ujian tertulis. Pada hari Jum‟at 28 Mei 2010, jam 19.30 WIB, semua peserta mendapat penjelasan tentang persiapan ujian tertulis dan berdasarkan undian, maka penggugat memperoleh nomor dua. Pada hari minggu, 30 Mei 2010, diadakan ujian tertulis di Balai Desa kedungsari, diawasi empat orang, setelah selesai semua pekerjaan kertas harus dibalik dan peserta menunggu hasilnya. Pada jam 12.30 WIB, korektor dan peserta tidak dapat diketahui, rahasia dan hasilnya penggugat dinyatakan sebagai calon yang lulus serta memperoleh nilai tertinggi. Berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 2007, Pasal 12 ayat 1 Kepala Desa Kedungsari menyampaikan permintaan persetujuan penetapan staf kepada BPD dengan dilampiri berita acara, namun ternyata BPD menolak permintaan persetujuan tersebut dengan Keputusan Nomor 04KEPBPD2010 tentang Penolakan Permintaan Persetujuan Penetapan Dwi Sukamto sebagai staf Desa kedungsari, tertanggal 24 Juni 2010. Berdasarkan penetapan tersebut, Dwi Sukamto, memberikan kuasa khusus kepada advokad untuk mengajukan gugatan ke PTUN Yogyakarta. 4. Pertimbangan hukum dalam putusan. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim PTUN adalah tindakan tergugat di dalam menerbitkan obyek sengketa atau keputusan bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik, yaitu asas fair play, dan tindakan tergugat dinilai oleh majelis hakim merupakan tindakan sewenang-wenang. Hal dapat diketahui bahwa tergugat di dalam menerbitkan keputusan tentang penolakan persetujuan penetapan Dwi Sukamto sebagai staf desa Kedungsari di dasarkan pada rumor, dugaan ataupun indikasi, tanpa adanya pembuktian yang bedasarkan hukum, kecurigaan tentang nilai yang diperoleh Dwi sukamto nilai 97 dan di bawahnya 66 berdasarkan pengaduan peserta lain tanpa dibuktikan lebih dahulu, ujian tidak dilaksanakan secara transparan dan ada indikasi tindakan aparat yang commit to user 256 menguntungkan penggugat. BPD menolak memberikan persetujuan penetapan, karena Kepala Desa tidak meminta pendapat, saran dan pertimbangan terlebih dahulu dan koordinasi dengan BPD. 5. Analisis kasus Pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh majelis hakim terhadap keputusan tergugat adalah bahwa tindakan tergugat dalam menerbitkan keputusan tentang penolakan pemberian persetujuan penetapan Dwi Sukamto, melanggar atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas fair play dan tndakan sewenang- wenang. Dalam hukum positif, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, dan diubah lagi dengan Undang- undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, kedua asas tersebut tidak diatur secara tegas atau tidak mendapat kedudukan secara yuridis normatif. Dalam kaitan dengan hal tersebut, berarti hakim tidak hanya bepikir secara logis, mekanis, serial thinking , subsumptie automat, dengan mengikuti cara-cara yang lama, tetapi hakim sudah meninggalkan cara berpikir tradisional, melaksanakan apa yang diamanatkan oleh undang-undang kekuasaan kehakiman, yaitu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim sudah berani tampil dengan hal-hal yang baru atau berbeda dengan temannya, hakim tidak hanya menggunakan IQ saja, tetapi sudah merangkak dengan sedikit menggunakan EQ, yaitu hakim yang kreatif, aktif, sebagaimana dikembangkan oleh Danah Zohar dan John Marshall. Penggunaan asas-asas yang tidak diatur dalam hukum positif, berarti hakim telah melangkah untuk menggunakan asas-asas yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk menguji keabsahan keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh administrasi negara atau Badan atau Pejabat TUN. Hakim diharuskan untuk menggali, menemukan dan menerapkan hukum yang hidup dalam masyarakat, kapan suatu commit to user 257 prinsip hukum sudah dapat dianggap sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga hakim harus menerapkan dalam putusan yang dibuatnya. Penemuan suatu prinsip sebagai dasar untuk menguji keabsahan beschikking tidak sekedar menempelkan atau mencomot begitu saja sesuai dengan kehendak hakim, tetapi suatu prinsip tersebut harus memenuhi salah satu atau beberapa syarat sebagaimana dikemukakan Munir Fuady. Seperti sudah menjadi yurisprudensi, yaitu sudah pernah dipertimbangkan oleh putusan pengadilan sebelumnya, sudah masuk aturan hukum, atau aturan administrasi yang tidak mendapat kecaman terus menerus dari masyarakat, banyak mendapat bahasan dan diterima di kalangan akademis atau di kalangan ahli, tidak bersifat partisan, yaitu tidak hanya dianut oleh masyarakat kecil atau sekelompok tertentu, sudah merupakan prinsip umum yang sudah menjadi konsensus nasoinal atau menjadi kesadaran nasional atau diterima secara universal, sudah merupakan praktik yang umum secara nasional atau uinversal, meskipun belum banyak diterima orang, tetapi mempunyai alasan yang kuat, cerah dan futuristic. Prinsip tersebut tidak terlihat dengan jelas dalam masyarakat dan hanya ditemukan oleh hakim pencerahan yang kreatif, dengan naluri yang tajam dan dengan jangkauan yang jauh ke depan. Putusan Nomor 10G2010PTUN.Yk. 1. Subyek Sengketa. Drs. Hasan Zubaidi, kewargaan Indonesia, PNS pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sleman, Bertempat tinggal di Desa Taskumbang, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten dan memberikan kuasa khusus kepada Moelyadi, Boma Aryo Nugroho, pekerjaan AdvokadKonsultan Hukum pada Kantor AdvokadKonsultan Hukum Moelyadi Partner beralamat Kantor di Jl. Taman Siswa, Tohpat, Nyutran MG. II1752 D. Yogyakarta, disebut penggugat. Melawan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama propinsi DIY, Berkedudukan di commit to user 258 Jalan Sukonandi Nomor 8 Yogyakarta, memberi kuasa khusus kepada Maskul Haji dkk, pekerjaaan PNS pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi DIY, di Jalan Sukonandi Nomor 8 Yogyakarta, di sebut tergugat. 2. Obyek Sengketa. Surat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY Nomor Kw. 12.12KP.07.517242010, perihal jawaban permohonan Mutasi menjadi Guru atas nama Drs. Hasan Zubaidi, bertanggal 19 Juni 2010. 3. Duduk Perkara. Penggugat mengajukan gugatan berdasarkan obyek sengketa yang dikeluarkan oleh tergugat, yaitu Surat Kepla Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY Nomor Kw. 12.1Kp. 07.517242010, perihal jawaban permohonan mutasi menjadi Guru atas nama penggugat. Dalam pengajuan permohonan tersebut, semua syarat telah dipenuhi penggugat, namun permohonan tersebut ditolak tergugat dengan alasan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. 4. Pertimbangan Hukum dalam Putusan PTUN. Berdasarkan pemeriksaan sengketa di depan sidang dan pembuktiannya, majelis hakim memutuskan bahwa Keputusan MENPAN Nomor 84 Tahun 1993 yang digunakan sebagai dasar dikeluarkannya obyek sengketa obyek sengketa keluar tanggal 19 Juni 2010 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu karena telah berlaku Peraturan MENPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, mulai berlaku pada tanggal 10 November 2009. Seharusnya obyek sengketa dikeluarkan berdasarkan Peraturan MENPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009. Obyek sengketa secara prosedural maupun material sudah tepat, namun dari segi bentuk formal vorm keputusan obyek sengketa khususnya mengenai dasar hukum kaitannya dengan materi syarat-syarat pengangkatan PNS dari jabatan lain ke dalam fungsional guru commit to user 259 bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas yang dilanggar adalah asas kecermatan dan motivasi yang menghendaki suatu keputusan harus mempunyai alasan yang cukup jelas, pasti, tegas dan benar sebagai dasar keputusan. Penerbitan obyek sengketa mengandung cacat yuridis dari segi bentuk formal. 5. Analisis Putusan PTUN. Hakim dalam memutus dan menyelesaikan sengketa tidak hanya terbelenggu atau berkutat pada aturan-aturan yang bersifat formal semata, menerapkan undang-undang dalam pandangan yang tertulis sebagai produk legislatif, tetapi hakim mempunyai kebebasan untuk menafsirkan dasar hukum yang bentuknya tertulis seperti undang-undang. Hakim telah keluar dari undang-undang yang dipergunakan sebagai pedoman untuk menguji keabsahan obyek sengketa atau beschikking. Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak hanya mengandalkan atau mengedepankan aturan dan dengan pengolahan logika, namun mereka dengan pandangan jauh ke depan, dengan hati-nurani dan empati, hakim bersifat aktif dan kreatif mampu mengajukan dasar pertimbangan hukum yang digunakan untuk menjatuhkan putusannya. Asas kecermatan dan asas motivasi sebagai salah satu dasar yang dipergunakan untuk membatalkan obyek sengketa tidak diatur secara yuridis formal dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, namun hakim dengan berbagai pertimbangan dan argumentasi menggunakan sebagai dasar putusan. Putusan Nomor 07G.TUN2005PTUNYk. 1. Subyek sengketa Dika Harvika Yenata, wiraswastapenanggung jawab organisasi new regent, alamat Yogyakarta. Hindarto Tanu Wijaya, wiraswasta penanggung jawab mataram pusat lipuran, Yogyakarta. Selanjutnya memberi kuasa khusus kepada Eko Widiyanto, H, Advokat, berkantor di jalan KH. Wahid Hasyim Nomor 39 Yogyakarta, disebut penggugat, melawan Kepala Kepolisian Daerah KAPOLDA Daerah Istimewa commit to user 260 Yogyakarta, alamat Jalan Lingkar Utara Condong Catur, Depok, Sleman, DIY, memberi kuasa khusus kepada Komisaris Polisi Marpaung, dkk, selanjutnya disebut sebagai tergugat. 2. Obyek sengketa. Surat Perintah Nomor Pol. B1274V2005Dit Reskrim tanggal 10 Mei 2005 tentang Penutupan Permainan Ketangkasan Terhadap PerusahaanOrganisasi, yang sebelumnya telah menerbitkan Surat Pemberitahuan dari tergugat dengan Surat Nomor B1175IV2005Dit. Reskrim tanggal 3 April 2005 tentang Penutupan Permainan Ketangkasan di Yogyakarta. 3. Duduk Perkara Para penggugat adalah pimpinanpenanggung jawab ketangkasan yang telah memperoleh ijin untuk menjalankan usahanya dari instansi yang berwenang dan pengusaha berhakberwenang mengoperasikan usahanya sesuai dengan ketentuan perijinan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Prinsip dasar ijin adalah memperbolehkan sesuatu yang dilarang dan bagi pemegang ijin berhak mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan opini masyarakat bahwa usaha ketangkasan ada indikasi penyalahgunaanmelanggar ketentuan hukum yang berlaku, maka tergugat menerbitkan Surat Perintah Nomor Pol. B1274V2005Dit. tanggal 10 Mei 2005 tentang Penutupan Permainan Ketangkasan Terhadap PerusahaanOrganisasi. Surat keputusan tersebut dirasa menimbulkan kerugian bagi penggugat, maka berdasarkan surat keputusan tersebut penggugat mengajukan gugatan ke PTUN Yogyakarta. 4. Pertimbangan hukum dalam putusan PTUN. Penerbitan surat perintah sebagai obyek sengketa oleh tergugat didasarkan pada ketentuan Pasal 7 huruf J KUHAP, yang berbunyi mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Menurut majelis hakim, ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang memberikan kewenangan untuk melakukan kebebasan bertindak kepada tergugat, hal tersebut di dalam hukum administrasi disebut dengan commit to user 261 kewenangan yang bersifat diskresi freies ermessen . Kewenangan yang begitu luas tidak lepas dari batasan-batasan yang diberikan oleh norma, kaidah, asas dan hak-hak dasar dalam melaksanakan fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Tindakan tergugat yang menafsirkan pelaksanaan ketentuan Pasal 7 huruf J KUHAP yang menjadi obyek sengketa, yang secara substansi adalah berisi tindakan berupa sanksi administrasi, yaitu perintah untuk menutup usaha ketangkasan milik para penggugat yang telah mempunyai ijin dari pejabat yang berwenang, merupakan tindakan tergugat yang kurang cermat atau kurang teliti dalam mempertimbangkan aspek wewenang dari instansi-instansi lain yang terkait, selain itu dalam penerbitan surat perintah penutupan usaha tersebut tidak didukung oleh fakta dan tidak relevan karena tidak terbukti adanya tindak pidana perjudian dalam usaha ketangkasan dari para penggugat serta penggugat tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap ijin yang diberikan tersebut. Sanksi administrasi lazimnya dilakukan langsung oleh pejabat administrasi yang berwenang pemerintah kota Yogyakarta, yaitu sesuai dengan Pasal 18 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999, yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ijin adalah wewenang Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Pertimbangan hukum lain yang dipergunakan sebagai untuk menjatuhkan putusan oleh majelis hakim adalah bahwa berkas sengketa yang diperoleh berdasarkan penyidikan yang dilakukan oleh tergugat, dikembalikan kepada tergugat, karena usaha permainan ketangkasan dari para penggugat tidak terdapat adanya unsur perjudian. Menurut majelis hakim, dasar gugatan dalam menerbitkan obyek sengketa dengan mengkaitkan pada ketentuan hukum acara pidana dan hukum pidana adalah tidak beralasan menurut hukum administrasi. Menurut majelis hakim jika usaha permainan ketangkasan milik para penggugat tersebut commit to user 262 akan dilakukan penutupan, seharusnya terlebih dahulu dilakukan pencabutan ijin dari instansi yang berwenang memberikan ijin berdasarkan adanya bukti bahwa para penggugat melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, majelis hakim berpendapat tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa telah melanggar asas kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sehingga beralasan hukum bahwa majelis hakim menyatakan batal obyek sengketa yang diterbitkan oleh tergugat dan sekaligus memerintahkan kepada tergugat untuk mencabutnya. 5. Analsis kasus. Pertimbangan hukum yang dikemukakan majelis hakim dalam sengketa tata usaha negara tersebut sangat teliti, hakim menilai bahwa pencabutan ijin bukan kewenangan dari tergugat, namun menjadi kewenangan dari pemberi ijin, yaitu Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Dalam hal tersebut dinilai oleh majelis hakim agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam kaitannya dengan pencabutan ijin yang berakibat pada penutupan usaha ketangkasan dari para penggugat. Dalam kaitan tersebut, masih ada yang perlu dikemukakan dalam pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh majelis hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap sengketa yang diperiksanya. Tergugat menerbitkan surat keputusan tentang penutupan usaha ketangkasan dari para penggugat atau menerbitkan obyek sengketa berdasarkan KUHAP dan hukum pidana lihat dalam menimbang, yaitu Pasal 7 huruf J KUHAP, juga dalam jawaban tergugat angka 1, menyatakan namun dalam pelaksanaannya usaha tersebut bertentangan dengan Undang-undang, yaitu ketentuan Pasal 303 ayat 3 KUHP dan tindakan tergugat sesuai dengan ketentuan Pasal 7 hurf J KUHAP. Menurut analisa peneliti, tindakan tergugat menerbitkan obyek sengketa dengan mendasarkan pada Pasal 303 ayat 3 KHUP dan tindakannya commit to user 263 sesuai dengan Pasal 7 huruf J KUHAP, adalah bukan termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Pengertian keputusan tata usaha negara adalah Pasal 1 angka 9 + Pasal 3 – Pasal 2 + Pasal 49. Penerbitan obyek sengketa oleh tergugat yang didasarkan pada Pasal 303 ayat 3 KHUP dan Pasal 7 huruf J KUHAP adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN,dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, yang berbunyi: tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara menurut undang-undang ini adalah keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. Dengan demikian, sengekata tersebut sebanarnya dapat ditolak oleh pengadilan tata usaha negara sejak awal atau sejak sengketa tersebut diajukan, dengan alasan bukan merupakan kewenangan absolut dari pengadilan tata usaha negara. Penolakan sejak awal akan banyak keuntungan yang diperoleh dari para pihak yang bersangkutan, termasuk dari majelis hakim, seperti menghemat waktu, biaya dan tenaga. Putusan Nomor 25G2009PTUN.Sby. 1. Subyek sengketa Subyek sengketa dalam kasus ini adalah antara Sutomo, kewargaan Indonesia, pekerjaan NotarisPPAT, alamat Jl. Puspowarno Nomor 28 RT. 02 RW. 01, Kelurahan Mangkujayan, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, yang dalam hal ini diwakili oeh kuasa khususnya, 1. Achmad Drajat, advokat, alamat Jl. Mawar IV Nomor 3 Lowok Waru, Kota commit to user 264 Malang. 2. M.NG. Soedartono, advokat, alamat Jl. Mawar IV Nomor 3 Lowok Waru, Kota Malang. 3. Sukriyanto, advokat, alamat, Jl. Margatama Blok A. Nomor 10 Perum Margatama Asri Madiun. Selanjutnya disebut penggugat, melawan Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Madiun, alamat JL. Jend. Sudirman Nomor 15 Kota Madiun, memberikan kuasa khusus kepada Mas Sri Mulyono, advokat, alamat Jl. Jatijajar Nomor 30 Taman-Kota Madiun, selanjutnya disebut tergugat. 2. Obyek sengketa Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasa 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tergugat telah mengeluarkan Surat Nomor 8MPNNMII2009, tanggal 18 Februari 2009 tentang Pemanggilan Notaris berdasarkan permohonan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia cq. Kapolwil Madiun selaku penyidik Nomor POL : B13II2009Reskrim, tertanggal 13 Februari 2009. 3. Duduk perkara Penggugat adalah Notaris PPAT. Kabupaten Ponorogo. Penggugat dalam menjalankan tugasnya diatur pada Pasal 15-17 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Penggugat dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum di bawah pengawasan Menkumham RI. Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Majelis Pengawas, yang terdiri dari : 1. Majelis Pengawas Daerah, 2. Majelis pengawas Wilayah, 3. Majelis Pengawas Pusat. Kewenangan Menkumham RI di bidang pengawasan terhadap Notaris sesuai dengan Pasal 67 ayat 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, didelegasikan pada Majelis Pengawas selaku delegatoris. Majelis Pengawas sebagai delegatoris dari Menkumham RI mempunyai wewenang untuk mengawasi notaris sepenuhnya, tanpa perlu mengembalikan wewenangnya kepada Menkumham RI selaku delegans. Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Madiun tergugat sebagai Badan atau Pejabat commit to user 265 TUN berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mempunyai kewenangan: a. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan prsetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : 1. Mengambil fotokopi minuta akta dan surat-surat yang dilekatkan pada akta minuta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris 2. Memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris. b. Pengambilan fotokopi minuta akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dibuat berita acara penyerahan. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tergugat tersebut, tergugat telah mengeluarkan Surat Nomor 8MPDNMII2009, tanggal 18 Februari 2009 tentang Pemanggilan Notaris berdasarkan permohonan dari Kepolisian Negara RI cq. Kapolwil Madiun selaku penyidik Nomor Pol. B13II2009Reskrim, tanggal 13 Februari 2009. Penerbitan surat keputusan tersebut menimbulkan akibat hukum bagi penggugat, ada kepentingan yang dirugikan dengan diterbitkannya obyek sengketa tersebut, berdasarkan obyek sengketa yang menimbulkan akibat hukum, maka penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. 4. Pertimbangan hukum putusan PTUN Menurut majelis hakim, obyek sengketa yang berupa surat Nomor : 8MPDNMII2009 tanggal 18 Februari 2009 perihal pemanggilan notaris yang diterbitkan tergugat adalah merupakan keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo. Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN dan tidak tidak termasuk sebagai keputusan tata usaha negara yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. commit to user 266 Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tergugat berwenang untuk menerbitkan obyek sengketa menurut majelis hakim. Prosedur pemberian persetujuan oleh Majelis Pengawas Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tidak diatur secara jelas baik di dalam undang-undang tersebut maupun dalam peraturan dasar lainnya, sehingga menurut majelis hakim menimbulkan kewenangan diskresi pada tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa. Sehubungan obyek sengketa yang diterbitkan oleh tergugat berdasarkan kewenangan diskresi, maka hakim akan mengujinya apakah obyek sengketa telah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan fakta di persidangan terbukti bahwa sebelum tergugat menerbitkan obyek sengketa, tergugat tidak pernah melakukan klarifikasi dengan memanggil penggugat untuk didengar keterangannya terlebih dahulu sebelum persetujuan pemanggilan terhadap diri penggugat dikeluarkan tergugat. Seharusnya sebelum persetujuan ijin obyek sengketa dikeluarkan tergugat, maka pihak penggugat dipanggil terlebih dahulu untuk dimintai keterangannya. Sehubungan dengan hal tersebut, majelis hakim berpendapat, bahwa tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik khususnya asas audi et alteram parterm. Dengan demikian cukup beralasan untuk menyatakan obyek sengketa yang diterbitkan tergugat batal. 5. Analisis kasus. Pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh majelis hakim untuk menjatuhkan putusan adalah bahwa obyek sengketa yang ditebitkan oleh tergugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik khususnya asas audi et alteram parterm. Asas tersebut tidak secara tegas diatur dalam undang-undang atau tidak terdapat dalam hukum positif, seperti dalam Undang-undang tentang PTUN, namun hakim mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya sebagai dasar putusannya. commit to user 267 Berarti hakim melaksanakan apa yang diamanatkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim tidak lagi berpikir secara logis belaka, linear, dan tidak lagi terpengaruh oleh aliran hukum positif atau aliran legisme yang mengidentikan hukum sama dengan undang-undang, undang-undang menurutnya merupakan pedoman dan hal tersebut dapat tidak ditaati. Cara berpikir hakim pengadilan tata usaha negara Surabaya dalam mengemukakan pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan, sama dengan majelis hakim pengadilan tata usaha negara Semarang dan Yogyakarta, yaitu menganggap undang- undang hanya sebagai pedoman saja dan sebagai pedoman tidak dilarang untuk tidak taat atau tidak menggunakannya sebagai dasar untuk menguji keabsahan keputusan tata usaha negara atau obyek sengketa yang diterbitkan oleh tergugat 347 . Penggunaan asas-asas yang belum atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undang, berarti hakim telah menemukan asas hukum yang digali, diikuti dan dipahami dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Suatu hal yang menimbulkan pertanyaan adalah mengapa hakim membolehkan notaris yang sebenarnya adalah berkedudukan atau berkualitas sebagai Badan atau pejabat tata usaha negara dapat beracara di pengadilan tata usaha negara. Sebagaimana diketahui bahwa yang dapat menjadi subyek dalam sengketa tata usaha negara, berdasarkan Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Thaun 2004 tentang PTUN, kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, adalah seseorang dan badan hukum perdata sebagai penggugat dan Badan atau Pejabat tata usaha negara sebagai tergugat. Dalam hal ini apa merupakan penyimpangan atau 347 Wawancara, Semarang, Senin 3 Oktober 2011, dan Yogyakarta, Senin 24 Oktober 2011. commit to user 268 terobosan, dalam obyek sengketa yang dituju adalah jabatan, jadi bukan pribadi Sutomo. Putusan Nomor :19G2008PTUN, Sby. 1. Subyek Sengketa. Ny. Semiaji, pekerjaan swasta, tempat tinggal Jl. Cemara No. 184, Karangsari, Kecamatan Sukorejo, Blitar, disebut sebagai penggugat I. Husein Setio, swasta, tempat tinggal, Jl. Cemara No. 184, Karangsari, Kecamatan Sukorejo, Blitar, disebut penggugat II. Selanjutnya memberi kuasa khusus kepada Soehartono Soemarto, RA. Zestiena Coda Asrini, Slamet Supriyadi, pekerjaan Advokat yang berkantor di Graha 18 Lantai 1, Jl. Tidar Sakti No. 18 Malang, selanjutnya disebut para penggugat. Melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota Blitar, berkedudukan di Jl. S. Spriyadi No. 15 Blitar, memberi kuasa khusus kepada Supranto Retno Widodo, Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara, M. Saiful Hartawan, Kepala Sub. Seksi Perkara, selanjutnya disebut tergugat. 2. Obyek Sengketa Obyek sengketa adalah Surat Keterangan Pendaftaran Tanah SKPT Nomor 21SKPTXII2007, tertanggal 14 Desember 2007 yang diterbitkan tergugat atas permohonan penggugat II terhadap SHM. Nomor 258 Kelurahan Karangsari, dalam catatan bahwa telah diletakkan sita jaminan sesuai Berita Acara Penyitaan Jaminan conservatoir Beslaag , tanggal 8 Mei 2002, Nomor 34Pdt. G2002PN, Blitar. Tercatat bahwa surat dari Lncy Helena Maria Wisudha, tanggal 8 Mei 2002, perihal pemberitahuan untuk tidak menerbitkan atau mengalihkan kepemilikan dan telah terdaftar di PN Blitar Nomor 34Pdt. G2002PN. Blt. 3. Duduk perkara Pada tahun 2002, penggugat I bersengketa dengan seseorang yang bernama Lancy Helena Maria Wisudha di Pengadilan Negeri Blitar. Dengan adanya sengketa tersebut, tanah bangunan yang terletak di jalan Cemara Nomor 184 Blitar milik para penggugat diletakkan sita jaminan commit to user 269 oleh Pengadilan Negeri atas permintaan Sdr. Lancy Helena Maria Wisudha, dalam perkara perdata Nomor 34Pdt. G2002PN. Blt. Kemudian pada awal tahun 2007, penggugat II berkehendak untuk menjual sebidang tanah lain yang tidak tersangkut dalam sengketa pada orang lain, yaitu sebidang tanah sebagaimana Sertifikat Hak Milik Nomor 258 Kelurahan Karangsari luas 644 M. Pada saat transaksi akan berlangsung, terdapat hambatan yang menyebutkan tanah sebagaimana Sertifikat Hak Milik Nomor 258 Kelurahan Karangsari tersebut tidak dapat dipindah tangankan, karena telah diletakkan sita jaminan. Berdasarkan kenyataan tersebut, pada tanggal 30 Oktober 2007, penggugat II mengajukan permohonan penerbitan SKPT untk tanah yang sebagian milik penggugat II, sebagaimana hak milik Nomor 258 Kelurahan Karangsari. Kemudian tergugat menerbitkan SKPT Nomor 21SKPTXII2007 tertanggal 14 Desember 2007, dengan dasar warkah tanah yang ada pada tergugat, ternyata di dalam SKPT tersebut terdapat catatan bahwa atas tanah yang dimohonkan SKPT, yaitu :”...Hak Milik Nomor 258 Keluarahan Karangsari, luas 644 M, tercatat atas nama Ny. Semiaji dan Husein Setio telah diletakan sita jaminan sesuai berita acara penyitaan jaminan conservatoir beslaag tanggal 8 Mei 2002 Nomor 34Pdt.G2002PN. Blt”. 4. Pertimbangan Hukum Putusan PTUN. Sehubungan dengan telah terbukti bahwa dalam pencatatan sita jaminan oleh Pengadilan Negeri Blitar dalam perkara Nomor 34Pdt.G2002PN. Blitar, tidak terkait dengan tanah yang termuat dalam sertifikat Hak Milik Nomor 258 Keluarahan Karangsari, tetapi penyitaan tersebut dimaksudkan terhadap tanah dan bangunan di jalan Cemara Nomor 184 Blitar sebagaimana yang termuat dalam sertifikat Hak Milik Nomor 47 Keluarahan Karangsari, sehingga tindakan tergugat tersebut bertentangan dengan asas profesionalisme. Berdasarkan hal tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa tindakan tergugat yang menerbitkan SKPT Nomor 21SKPTXII2007 tanggal 14 Desember 2007, yang commit to user 270 memuat adanya catatan berupa telah diletakkan sita jaminan sebagaimana dalam Berita Acara Penyitaan Jaminan conservation beslaag tertanggal 8 Mei 2002 Nomor 34Pdt.G2002PN. Blt adalah mengandung cacat yuridis, sehingga beralasan hukum pula majelis hakim menyatakan batal SKPT yang diterbitkan tergugat. 5. Analisis Kasus. Putusan PTUN Surabaya yang membatalkan obyek sengketa yang dikeluarkan oleh tergugat, yaitu SKPT Nomor 21SKPTXII2007 tanggal 14 Desember 2007, didasarkan atas pertimbangan hukum bahwa fakta hukum yang digunakan oleh Pengadilan Negeri Blitar dalam melakukan penyitaan jaminan dalam Nomor Perkara 34Pdt.G2002PN. Blt tidaklah menunjuk sertifikat tertentu, tetapi hanya menunjuk alamat dan batas-batas tanah dan bangunan. Di samping itu, pertimbangan hukum lain yang digunakan sebagai dasar pertimbangan hukum untuk menjatuhkan putusan adalah berdasarkan keterangan kuasa hukum tergugat BPN di persidangan menjelaskan bahwa tindakan tergugat BPN untuk melakukan pencatatan dalam warkah buku tanah Hak Milik Nomor 258Karangsari atas nama para penggugat semata-mata mendasarkan pada surat dari Lancy Helena Maria Wisudha sebagai pihak penggugat dalam Nomor Perkara 34Pdt. G2002PN. Blitar, yang menyatakan bahwa tanah dan bangunan yang terletak di jalan Cemara 184 Blitar tersebut adalah sebagaimana termuat dalam sertifikat Hak Milik Nomor 258Karangsari telah dilakukan sita jaminan oleh Pengadilan Negeri Blitar, meskipun dalam penyitaan jaminan dari Pengadilan Negeri Blitar sama sekali tidak menunjuk nomor sertifikat tertentu. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka analisis terhadap putusan majelis hakim adalah bahwa sebenarnya dalam sengketa tersebut terdapat perbedaan penafsiran dari majelis hakim PTUN dengan pihak tergugat BPN. Tergugat berdasarkan permohonan penggugat menerbitkan obyek sengketa, yaitu SKPT Nomor 21SKPTXII2007, padahal tanah yang dimohonkan SKPT tersebut diletakkan sita jaminan oleh Pengadilan commit to user 271 Negeri Blitar atas permintaan Lancy Helena Maria Wisudha dalam perkara perdata Nomor 34Pdt.G2002PN. Blitar. Kemudian SKTP tersebut dibatalkan oleh majelis hakim PTUN Surabaya, dengan penafsiran penyitaan didasarkan atas surat dari Lancy Helena Maria Wisudha tidak kuat dan dinilai kurang hati-hati dan kurang cermat, di samping adanya keterangan dari kuasa hukum tergugat yang menyatakan tidak ada kesesuaian mengenai batas-batas antara sertifikat Nomor 258Karangsari dengan batas-batas tanah di jalan Cemara 184 Blitar yang termuat dalam Berita Acara Penyitaan Jaminan dari Pengadilan Negeri Blitar. Penafsiran yang dilakukan oleh majelis hakim lebih memperhatikan dengan kenyataan dari obyeknya, majelis hakim melihat kebenaran berdasarkan apa yang diketahui dan ternyata ada kekeliruan atau ketidakjelasan pada obyek sengketa yang dimintakan oleh Lancy Helena Maria Wisudha dan sertifikat Hak Milik Nomor 258Karangsari tidak dilakukan penyitaan jaminan oleh Pengadilan Negeri Blitar. Tindakan tergugat BPN menerbitkan SKPT Nomor 21SKPTXII2007 tanggal 14 Desember 2007 tersebut ada unsur kurang hati-hati, sehingga obyek sengketa yang diterbitkan tergugat dibtalkan oleh majelis hakim adalah merupakan putusan yang tidak mendasarkan pada hukum dalam bentuknya yang tertulis, tetapi juga memperhatikan berlakunya hukum dalam masyarakat atau kenyataan dalam masyarakat. Bentuk formal dari undang-undang hanya akan mengedepankan keadilan yang bersifat formal juga atau keadilan prosedural, sedangkan hukum yang tidak tertulis lebih mencerminkan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan akan menghasilkan keadilan yang substansial atau keadilan material yang diharapkan dalam masyarakat. Keberanian hakim PTUN Yogyakarta dalam memutus sengketa dengan menyimpang dari ketentuan undang-undang dapat dicontohkan pada Putusan 03G.TUN2000PTUN Yogyakarta. Obyek sengketa Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul Propinsi DIY, Nomor 17KepSwn1999, tanggal 20 Desember 1999 tentang Pemberhentian commit to user 272 Sumardiyono dari jabatan KAUR Pemerintahan Desa Bangunharjo, Kec. Sewon, Bantul. Penggugat semula adalah Kepala Bagian Keamanan Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, kemudian berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daearah Tingkat II Bantul Propinsi DIY, Nomor 201AKepBt1987, tangggal 21 Agustus 1987, diangkat menjadi Kepala Urusan Pemerintahan Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon. Penggugat diberhentikan dari jabatanya, karena ia berjudi dan perkaranya telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 48Pid98PTY, tanggal 19 Desember 1998, ia dijatuhi pidana penjara selama tiga bulan, 15 hari. Oleh karena penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat 3 Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul Nomor 587AKepBt1996, yang berbunyi bahwa Sekretaris Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun yang diberhentikan sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dapat diberhentikan apabila yang bersangkutan telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana hukuman penjara atas keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti. Hakim PTUN Yogyakarta dalam memeriksa sengketa tersebut, mempunyai pandangan yang luas dan bahkan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Betul bahwa perbuatan yang dilakukan penggugat merupakan perbuatan yang tidak terpuji, karena penggugat adalah pamong desa yang seharusnya memberikan suri tauladan kepada anggota masyarakatat, di samping itu perbuatan penggugat adalah dilarang oleh agama. Berdasarkan beberapa alat bukti dan beberapa saksi yang diajukan para pihak di muka sidang, hakim PTUN Yogyakarta mempunyai wawasan yang luas untuk ke depan visioner dan sangat matang dalam menjatuhkan putusanya, bahkan majelis hakim melakukan contra legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan peraturan perundang- perundangan yang berlaku. Majelis Hakim juga memperhatikan fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang mengawali terbitnya surat Keputusan Bupati Bantul. Perbuatan penggugat yang dijerat dengan Pasal 303 KUHP, adalah commit to user 273 dilakukan baru sekali dan hanya sebagai “cagak lek”, bukan merupakan perbuatan monoton atau routine untuk mendapatkan kemenangan dan dapat dipergunakan sebagai mata pencaharian. Hakim berpendapat bahwa perbuatan penggugat merupakan perbuatan iseng saja dan merupakan kealpaan bagi seorang manusia, di samping itu perbuatan yang dilakukan penggugat sebagai mata-mata untuk mencari data atau fakta dalam kaitannya dengan adanya peristiwa pembunuhan yang terjadi di daerahnya. Hakim berpendapat bahwa Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul yang memberhentikan penggugat berdasarkan perbuatan judi yang hanya sekali dilakukan adalah merupakan sesuatu yang tidak adil dan keputusan tersebut melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal dan hakim menilai perbuatan tergugat telah secara sewenang-wenang menerapkan sanksi yang tidak dipertimbangkan keseimbangannya antara bobot pelanggaran yang telah dilakukan dangan hukuman yang dijatuhkan kepada pengggugat, dengan demikian tergugat telah melanggar asas keseimbangan. Hakim mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan batal Surat Keputusan tergugat Nomor 17KepSwn1999, tanggal 20 Desember 1999 tentang pemberhentian Penggugat dari jabatan Kepala Urusan Pemerintahan Desa Bangunharjo. Putusan PTUN Yogyakarta yang dapat dikategorikan sebagai penemuan hukum atau sebagai upaya menjalan amanat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, khususnya Pasal 5 ayat 1 adalah putusan Nomor 10G.TUN2004PTUN.Yk. Obyek sengketa, yaitu Surat Keputusan Rektor Nomor 115Ba.OA2004, tanggal 22 April 2004 tentang Pengangkatan Alif Rifai sebagai dekan fakultas dakwah IAIN Sunan Kalijaga periode 2004-2008. Menurut penggugat panitia pemilihan dekan telah melakukan pelanggaran terhadap statuta khususnya Pasal 127 ayat 2 huruf e Jucnto Pasal 167 ayat 1, karena dalam hal menetapkan hak suara perwakilan mahasiswa sebanyak lima orang yang seharusnya dua orang. Hal tersebut bertentangan dengan commit to user 274 ketentuan Pasal 127 ayat 2 huruf e, yang menyebutkan bahwa panitia melaksanakan pemilihan langsung yang diikuti oleh semua dosen tetap dan wakil mahasiswa masing-masing satu orang dari badan eksekutif dan legislatif kemahasiswaan atas bakal calon dekan yang ditetapkan oleh senat fakultas. Selanjutunya Pasal 167 ayat 1 menyebutkan bahwa perubahan tersebut hanya dapat dilakukan oleh senat institut dan baru berlaku setelah ditetapkan oleh Menteri Agama, padahal perubahan tersebut belum dimintakan persetujuan Menteri Agama. Pemilihan dekan juga bertentangan dengan keputusan dekanketua senat fakultas dakwah IAIN Kalijaga Nomor 05KPTSDD2004 tentang tata cara pemilihan calon dekan fakultas dakwah IAIN Kalijaga, Pasal 7 ayat 1, yaitu panitia menyelenggarakan pemungutan suara secara langsung, bebas dan rahasia yang diikuti oleh dosen tetap yang mengajar pada fakultas dakwah IAIN Sunan Kalijaga dan wakil mahasiswa dalam waktu satu hari yang berlangsung sejak pukul 08.00-14.00 WIB serta kesepakatan rapat senat fakultas yang mengharuskan pemilih hadir di tempat pemilihan secara langsung, kecuali terhadap dosen yang belajar ke luar negeri. Panitia mendatangi sdr sulisyanto, salah satu dosen yang berada di rumah sakit untuk melalkukan pencoblosan, padahal dalam rapat senat tanggal 14 Januari 2004, atas usulan salah satu calon telah disepakati bahwa jika ada dosen yang memiliki hak suara untuk memilih itu sakit dan berhalangan hadir di tempat, maka hak suaranya dinyatakan gugur. Berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah dikemukakan di muka sidang, hakim berpendapat bahwa statuta IAIN Klijaga khususnya Pasal 127 ayat 2 huruf e, hak suara perwakilan mahasiswa adalah satu dari badan eksekutif dan satu dari badan legislatif kemahasiswaan dan itu aturan yang bersifat imperatif, artinya perubahan hak suara perwakilan mahasiswa dari dua menjadi lima suara adalah merupakan wewenang senat institut yang baru berlaku setelah mendapat persetujuan dari Menteri Agama sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat 1 statuta, oleh karena itu commit to user 275 majelis hakim berpendapat bahwa senat fakultas tidak berwenang untuk merubahmengatur apa yang telah diatur secara tegas dalam statuta dan keputusan senat fakultas yang telah menetapkan perwakilan mahasiswa menjadi lima orang adalah keputusan yang telah melampaui wewenang yang ada padanya dan oleh karenanya keputusan tersebut adalah tidak sah. Hakim berkesimpulan bahwa terbitnya KTUN yang menjadi obyek sengketa bertentangan dengan ketentuan yang bersifat proseduralformal, karena diterbitkan berdasarkan keputusanalas hukum yang tidak sah, oleh karena itu KTUN yang menjadi obyek sengketa in litis harus dinyatakan batal dan mewajibkan tergugat untuk mencabut obyek sengketa. Menurut beliau pak Agus jika ketentuan undang-undang kabur, maka hakim harus berani menerobos undang-undang tersebut, dicontohkan putusan PTUN Semarang waktu beliau tugas di Semarang, yaitu putusan Nomor 08G2009PTUN.SMG. Demikian juga dalam kaitannya dengan keberadaan AAUPB sebagai dasar pengujian keabsahan KTUN yang disengketakan, hakim tidak terikat, hakim diperbolehkan untuk menggali, mengikuti dan memahami eksistensi AAUPB sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan yang lebih mencerminkan rasa keadilan 348 . Berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan, yaitu apakah di dalam memeriksa, mengadili sengketa TUN selalu berdasarkan pada undang- undang yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, peneliti memperoleh jawaban dalam bentuk tertulis yang disampaikan oleh Maftuh Effendi 349 hakim PTUN Semarang, yaitu secara normatif berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1989 tentang PTUN, bahwa dasar pengujian toetsingsgroden, grodens for review bagi hakim administrasi meliputi :a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang- 348 Wawancara, di PTUN Yogyakarta , Senin, 10 Oktober 2011, jam 09.00 – 12.00 349 Wawancara, di PTUN Semarang, Senin 3 Oktober 2011, jam 09.00-12.00 commit to user 276 undangan yang berlaku, b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari aspek prosedur, substansi dan wewenang. Selanjutnya bertentangan dengan aspek wewenang dapat dilihat dari ketidakwenangan dari materi onbevoegheid ratione materiae , ketidakwenangan dari segi waktu onbevoegheid ratione temporis , ketidakwenangan dari segi tempat onbevoegheid ratione loci . Hakim peradilan admintrasi PTUN dalam memutus suatu sengketa yang dihadapi tidak sekedar membunyikan pasal dari undang- undang, karena kadang-kadang suatu undang-undang tidak secara otomatis dapat mengikuti perubahan perkembangan masyarakat, sehingga sering dijumpai: 1. Undang-undang yang mengatur suatu norma tertentu tidak jelas vage normen , 2. Normanya jelas dan tidak usang, tetapi tidak tepat diterapakan dalam suatu peristiwa konkrit, jika dipaksa diterapkan akan menciderai prinsip-prinsip keadilan, 3. Undang-undangnya sudah usang atau ketinggalan jaman contra legem atau bahkan 4. Suatu peristiwa konkrit tersebut sama sekali belum diatur dalam undang-undang atau dalam hukum wet vacuumrechts vacuum . Dalam keadaan demikian, hakim administrasiPTUN dalam memutus suatu sengketa dengan berpedoman pada Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim dan hakim konstitusi wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berarti dalam menghadapi sengketa yang demikian, hakim akan menafsirkan suatu ketentuan undang-undang berdasarkan kaidah-kaidah ilmu hukum agar ketentuan tersebut dapat diterapkan pada suatu peristiwa konkret tertentu. Dicontohkan dalam penyelesaian sengketa Nomor 4G2009PTUN.SMG. Dalam sengketa tersebut antara lain mempersoalkan apakah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ijin pertambangan daerah eksplorasi bahan galian C batu kapur commit to user 277 wajib dilengkapi dengan AMDAL ?. ketentuan Pasal 15 ayat 1 Undang- undang Nomor 23 Tahun 1997, hanya menyatakan setiap rencana usaha danatau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL. Menurut Mahtuf Effendi, ketentuan tersebut tidak jelas apakah yang dimaksud usaha danatau kegiatan itu juga termasuk eksplorasi atau tidak untuk menentukan wajib tidaknya eksplorasi tersebut dengan AMDAL. Berdasarkan pertimbangan yang saya kutip dari putusan perkara tersebut Nomor.04G2009PTUN.SMG, majelis hakim menafsirkan ketentuan Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, dengan mengkaitkan seluruh aturan hukum dan bukti-buktialat bukti di persidangan PTUN, sampai pada kesimpulan bahwa “secara yuridis ijin pertambangan daerah eksplorasi bahan galian golongan C batu kapur yang luasnya kurang lebih 700 ha, meskipun belum jelas masuk atau tidaknya dikawasan lindung kars kawasan sekitar mata air, tetapi sudah dipastikan lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung kars wajib dilengkapi dengan AMDAL”. lihat putusan PTTUN Surabaya Nomor 138B2009PT.TUN.Sby. dan putusan kasasi Nomor 103.KTUN2010. Demikian pula perkara Nomor 08G2009PTUN.SMG, meskipun dalam ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, Jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, disebutkan gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabatan Tata Usaha negara. Ketentuan pasal tersebut secara normatif masih berlaku, namun apabila ketentuan tersebut diterapkan dalam kasus yang diajukan pihak penggugat akan mencederai nilai keadilan. Oleh karena itu, majelis hakim mengesampingkan ketentuan Pasal 55 tersebut teori penyimpangan dan selajutnya memeriksa perkara. Pertimbangan majelis hakim mengesampingkan ketentuan Pasal 55, antara lain, 1. Sengketa tersebut telah diajukan ke pengadilan umum dan pengadilan menyatakan pengadilan umum tidak berwenang memeriksa commit to user 278 dan memutus sengketa tersebut. 2. Dalam persidangan terungkap fakta hukum bahwa akta nikah yang menjadi dasar penerbitan akta kelahiran obyek sengketa ada indikasi kuat terdapat pemalsuan. Berdasarkan hal tersebut, untuk menelusuri supremasi nilai substansinya berupa keadilan, maka penegakkan hukum itu bukan sekedar menuruti kata-kata atau kalimat yang kaku dalam suatu peraturan according to the letter , melainkan harus juga menelusuri, memahami semangat dan makna yang lebih dalam dari peraturan tersebut to the very meaning . Di samping pendapat Maftuh Effendi yang mengemukakan bahwa hakim PTUN tidak terikat oleh bunyi ketentuan dalam undang-undang, sebagaimana diajarkan aliran legisme yang menyatakan satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Teguh Satya Bhakti 350 , hakim PTUN Smr, beliau mengemukakan bahwa ketentuan dalam undang-undang tidak membatasi hakim untuk terus merumuskan dan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat jawaban tertulis. Selanjutnya dikemukakan, hakim harus terjun ke tengah-tengah kehidupan masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Beliau juga tidak mau dikatakan hakim hanya sebagai corong undang-undang atau hanya membunyikan ketentuan dalam undang-undang, bahwa undang-undang menurut beliau hanya sebagai pedoman dan hal tersebut hakim diperbolehkan untuk menyimpang dari ketentuan dalam undang-undang dalam kaitannya dengan memutus sengketa yang diajukan para pihak di muka sidang. Teguh Satya Bhakti mengemukakan, hakim dalam memutus perkara selalu didasarkan pada fakta atau peristiwa, bukan hanya menurut undang-undang. Menurut peneliti, apa yang dikemukakan Teguh Satya Bhakti tersebut bahwa hakim lebih menitik beratkan pada kebenaran 350 Wawancara, di PTUN Semarang, Senin, 3 Oktober 2011, jam 09.00-12.00. commit to user 279 terjadinya suatu peristiwa yang didasarkan pada alat bukti yang diajukan di muka sidang, jawaban-jawaban yang dikemukakan para pihak di muka sidang, sehingga dapat diketemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta. Selanjutnya beliau mengemukakan, apabila ternyata ditemukan bahwa undang-undanghukumnorma yang menurut hakim tidak mampu menyelesaikan perkara yang diajukan di muka sidang berupa pemenuhan rasa keadilan kepada semua pihak, hakim dapat menyimpangi ketentuan dalam undang-undang tersebut, sepanjang pertimbangan hakim berorientasi kepada nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan bagi kedua pihak yang berperkara. Beliau menolak aliran legisme yang lebih menekankan pada hukum tertulis saja atau ketentuan dalam undang-undang saja sebagai satu-satunya yang harus dipedomani oleh hakim. Hakim dalam melaksanakan tugasnya sejatinya atau yang paling utama bukan menegakkan hukum, melainkan menegakkan keadilan yang berdasarkan hukum. Hukum yang dimaksud tidak hanya diartikan sebagai undang- undang atau aturan tertulis saja, melainkan juga meliputi hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat 351 . Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Retno hakim PTUN Yogyakarta, bahwa dalam memeriksa, memutus dan mnyelesaikan sengketa TUN yang diajukan para pihak di muka sidang, beliau lebih condong untuk memperhatikan, memahami, dan menggali nilai-nilai hukum dan keadilan di dalam masyarakat. Alasan yang beliau kemukakan, bahwa undang-undang itu bersifat abstrak atau umum, sehingga untuk diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu, undang-undang tersebut masih harus dikonkretkan melalui penafsiran hukum. Beliau lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan yang dikehendaki oleh pencari keadilan dibandingkan dengan kepastian hukum yang kurang melihat sisi keadilan 352 . Hal senada dikemukakan oleh Maftuh Effendi, dan Teguh Satya Bhakti, dasar pertimbangan hakim memutus sengketa harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, namun menurut beliau landasan yuridis tersebut hanya merupakan alat untuk menuju inti penegakan hukum berupa keadilan. Karena keadilan tersebut pada hakikatnya merupakan wujud pencapaian yang tertinggi dalam suatu penegakkan hukum. 351 Wawancara, Senin, 3 Oktober 2011, jam 09.00-12.00 352 Wawancara, di PTUN Yogyakarta, Senin, 24 Oktober 2011, jam 11.00-13.00. commit to user 280 Hakim melaksanakan amanat Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, dibuktikan dengan Putusan PTUN Yogyakarta, Nomor 11G2010PTUN.Yogyakarta. adapun yang menjadi obyek sengketa adalah keputusan Ketua Badan Permusyawaratan Desa BPD Kedungsari Nomor : 04KEPBPD2010 tentang Penolakan Permintaan Persetujuan Penetapan Dwi Sukamto sebagai Staf Desa Kedungsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, tanggal 24 Juni 2010. Di desa tersebut dibutuhkan seorang staf dan sesuai dengan Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2007 tertanggal 26 Maret 2007 tentang Pengisian Perangkat Desa Lainnya, Pasal 6 ayat 1 penggugat telah memenuhi dan melengkapi semua persyaratan administrasi yang diwajibkan untuk mengikuti pendaftaran menjadi bakal calon staf. Pada tanggal 28 Mei 2010 jam 19.30 WIB, semua calon staf 9 orang memperoleh undangan dari panitia peneliti dan penguji di Balai Desa Kedungsari untuk diberi penjelasan persiapan ujian tertulis. Pada hari Minggu tanggal 30 Mei 2010 jam 09.00 WIB, semua bakal calon staf mengikuti ujian tertulis, dan hasilnya penggugat dinyatakan sebagai calon yang lulus serta memperoleh nilai tertinggi. Berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 2007, Pasal 12 ayat 1, Kepala Desa Kedungsari menyampaikan permintaan persetujuan penetapan staf kepada BPD dengan dilampiri berita acara, namun ternyata BPD Kedungsari menolak permintaan persetujuan penetapan staf tersebut dengan keputusan Nomor : 04KEPBPD2010 obyek sengketa. Alasan penolakan BPD adalah sejak pembentukan panitia peneliti dan penguji muncul rumor dan kekhawatiran masyarakat bahwa terdapat indikasi dan dugaan panitia akan melakukan tindakan yang menguntungkan calon atas nama penggugat rumor muncul dari calon yang nilainya di bawah penggugat dan tidak dibuktikan berdasarkan hukum oleh BPD. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan para pihak di muka sidang termasuk pembuktian, maka commit to user 281 majelis hakim berpendapat bahwa tindakan tergugat di dalam menerbitkan obyek sengketa in litis selain bertentangan dengan asas fair paly, tergugat dinilai telah melakukan tindakan sewenang-wenang. Putusan majelis hakim yang mendasarkan pada pertimbangan asas fair flay tersebut tidak diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b, berarti majelis hakim mendasarkan putusannya dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Asas fair flay digunakan sebagai pedoman dalam memutus sengketa TUN yang obyek sengketanya berupa penolakan Dwi Sukamto penggugat yang diusulkan oleh kepala desa untuk minta persetujuan BPD. Penggugat sebagai calon staf mempunyai kualitas dan kemampuan untuk bekerja, hal tersebut dibuktikan dengan perolehan nilai 97 dan calon lain di bawah penggugat memperoleh nilai 66. Penemuan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, di samping sebagai upaya memberikan perlindungan hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat juga dimaksudkan sebagai kontrol terhadap tindakan Badan atau Pejabat TUN yang bertindak sewenang-wenang. Putusan majelis hakim yang menyatakan batal keputusan Badan atau Pejabat TUN, yaitu Badan Permusyawaratan Desa Kedungsari, merupakan hak patut mendapat perhatian atau dapat dicontoh oleh hakim lain, karena dasar pertimbangan yang digunakan untuk memutus obyek sengketa dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang tidak diatur dalam undang-undang. Putusan yang demikian untuk sementara menolak suara masyarakat yang mengatakan hakim sebagai corong undang-undang la bouche de la loi atau hakim hanya membunyikan ketentuan dalam undang-undang. Pada era globaliasi dan tuntutan masyarakat terhadap nilai-nilai keadilan yang bergema dalam kehidupan sehari-hari, maka dalam tugas yang demikian diperlukan dan dibutuhkan hakim yang kreatif, inovatif, commit to user 282 kritis dan ada keberanian karena memperjuangkan kebenaran berdasarkan keadilan. Keberanian hakim untuk menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, kiranya tidak boleh dipandang sebelah mata, karena di samping hakim tersebut mempunyai kualitas dan kemampuan membaca permasalahannya, ia dipandang sebagai pahlawan yang memperjuangkan kebenaran dan hal tersebut harus didukung oleh mental yang kuat dan baik. Dalam menjalankan tugasnya, untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa atau perkara, tidak sedikit variabel atau faktor yang datang untuk mempengaruhi putusannya, maka dibutuhkan iman yang kuat, moral yang baik, kejujuran yang obyektif dan wawasan yang luas. Putusan Nomor 25G2009PTUN.SBY. Subyek hukum dalam sengketa tersebut adalah Sutomo, pekerjaan notarisPPAT, sebagai penggugat melawan Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Madiun, sebagai tergugat. Obyek gugatan Surat Nomor 8MPDNMII2009, tanggal 18 Februari 2009 perihal pemanggilan notaris berdasarkan permohonan dari Kepolisian Negara RI Cq. Kapolwil Madiun selaku penyidik Nomor Pol. : B13II2009Reskrim, tanggal 13 Februari 2009. Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Madiun tergugat sebagai Badan atau Pejabat TUN berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 mempunyai kewenangan : 1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : a. Mengambil fotokopi minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris b. Memanggil notaris unutk hadir dalam pemeriksaan yang bekaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris 2. Pengambilan fotokopi minuta akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dibuat berita acara penyerahan. commit to user 283 Surat tersebut dibuat oleh tergugat untuk menjawab surat permohonan Kapolwil Madiun selaku penyidik, yaitu tentang pemanggilan notaris penggugatsutomo untuk diminta keterangannya sebagai saksi. Pendapat hakim berdasarkan perimbangan hukumnya, bahwa obyek sengketa tersebut adalah KTUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang- undang Nomor 5 Tahun 1986 jo, Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan tidak termasuk KTUN sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 huruf d Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. KTUN yang dikeluarkan oleh Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris, menurut pendapat hakimbertentangan dengan AAUPB terutama audi et alteram partern, karena KTUN tersebut dibuat, penggugat belum pernah dipanggil untuk diklarifikasi atau diminta keterangan terlebih dahulu. Asas tersebut tidak diatur dalam Undang-undang tentang PTUN, berarti hakim menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jawaban hakim PTUN sebagaimana dikemukakan tersebut, menurut peneliti merupakan jawaban hakim berpandangan dan berwawasan luas dan mendalam membumi, karena dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tidak hanya mendasarkan pada ketentuan undang- undang saja. Hakim PTUN tersebut, berarti mereka mampu menggali, memahami dan mengikuti apa yang diamanatkan dalam Pasal 5 Undang- undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mereka telah berani menerobos pagar yang dibangun oleh aliran legisme dan positivisme, yang mengganggap undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Algra dan van Duyvendijk 353 , aliran positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tidak hukum di luar undang-undang. Undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikan. Amin 354 , mengatakan ajaran 353 Algra dan van Duyvendijk, dalam H. Riduan Syahrani, Op., cit., hlm., 45 354 Amin, dalam H Riduan Syahrani, Op., cit., hlm., 44 commit to user 284 legitimisme sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini beranggapan tidak ada norma hukum di luar hukum positf, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Pandangan yang sangat mengagung-agungkan hukum tertulis pada positivisme hukum ini, pada hakikatnya merupakan penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis itu, sehingga dianggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan kekuasaan adalah hukum. Anis Ibrahim 355 , mengemukakan bahwa aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan logika. Bagi ilmu hukum positif dogmatik, kebenaran terletak dalam tubuh peraturan. Selanjutnya Anis Ibrahim, mengemukakan, pandangan ini melihat sebagai suatu institusi yang sederhana, linier, mekanistik dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Kebiasaan yang dominan adalah melihat dan memahami hukum sebagai sesuatu yang rasional-logis, yang penuh kerapian dan keteraturan rasional. Tegasnya hukum adalah sebuah order – sebuah perintah, sebuah keteraturan yang diterapkan terhadap dan karenanya manusia harus tunduk kepadanya. Pengikut aliran ini John Austin mengemukakan hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara dan Hans Kelsen yang mengetengahkan teori hukum murni, beliau mengemukakan ilmu hukum adalah ilmu normatif. Hukum semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Hukum lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia yang dibingkai dalam format-format tertentu. Terobosan yang dilakukan oleh beberapa hakim PTUN tersebut, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sabian Ustman, bahwa tidak cocok apabila aparat pembuat undang-undang dan penegak hukum hanya berkiblat kepada aliran legisme atau legal positivism 356 . Sabian Ustman, mengemukakan begitu menyedihkannya supremasi hukum kita dengan 355 Anis Ibrahim, 2007, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Milenium Ketiga, Malang, In-TRANS, hlm., 20 356 Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 25. commit to user 285 konsep-konsep yang melangit dalam tatanan law in the books yang berkutat pada paradigma positivistik, maka terjadilah institusi pengadilan mekansitik berfungsi sebagai tempat orang-orang korup dan pendosa untuk mencari perlindungan yang aman safe haven . Untuk menggagas bagaimana Indonesia berhukum, maka haruslah berangkat dari perspektif kolektif dalam struktur sistem peradilan, sehingga membentuk konstruksi sebagai satu kesatuan yang searah kepada sasaran tertentu, yaitu tidak melenceng dari pembukaan UUD 1945 sebelum revisi. Kekeliruan yang paling mendasar, terutama ketika praktisi dan teoritisi hukum khususnya di Indonesia memahami hukum hanya secara “harfiah”. Untuk diketahui, bahwa kajian ilmu hukum, sistem hukum Belanda yang merupakan sebagian besar acuan hukum Indonesia adalah tergolong pengikut mazhab roman law sistem pinjam istilah pak Tjip dan pak Tandyo Wignjosoebroto adalah sistem hukum Romawi-Jerman dibentuk di benua Eropa abad 12 dan 13 yang mendasarkan bahwa hakim tidak boleh membuat putusan yang berbeda dengan undang-undang dan undang-undang sebagai sumber utamanya dan dikuatkan lagi ketika Napoleon mengundangkan Civil Code -nya, maka berkembanglah anggapan bahwa undang-undang adalah hukum itu sendiri Civil-Code dianggap sempurna dan menghasilkan kepastian serta kesatuan hukum 357 Terobosan yang telah dilakukan oleh beberapa hakim PTUN tersebut, rupanya dapat menjawab sedikit permasalahan praktik hukum oleh hakim yang selama ini cenderung mendapat kritik yang pedas, karena kurang atau tidak mencerminkan aspirasi kebenaran yang berkeadilan. Hal tersebut kiranya dapat mengobati dunia peradilan yang setiap hari dan waktu mendapatkan kecaman, kritikan dan ketidak percayaan masyarakat. Sabian Usman, mengemukakan dalam rangka upaya alternatif mengatasi masalah peradilan, di samping harus di mulai dari dalam diri aparat pembuat dan penegak hukum dengan tidak kaku hanya pada aliran legal positivism, namun dapat juga meramunya dari berbagai aliran yang memungkinkan dan 357 Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 8-9. commit to user 286 untuk bangsa Indonesia, semisal tentang peran hakim, antara lain, 1 aliran legisme atau legal positivism, yaitu hakim berperan hanya melakukan pelaksanaan undang-undang wetstoepassing , 2 aliran freie rechtsbewegung, yaitu hakim bertugas untuk menciptakan hukum rechtsschepping yang tidak terikat dengan undang-undang, 3 aliran rechtsvinding, hakim mempunyai kebebasan yang terikat gebonden- vrijheid atau bisa diartikan keterikatan yang bebas vrije-gebondenheid , 4 mencari alternatif lain yang sesuai dengan karateristik bangsa Indonesia sendiri, yaitu harus ada kontrol sosial dari lembaga non pemerintahan, memperbanyak advokasi dalam mendapingi permasalahan yang berkembang di masyarakat yang menujukkan public accountability , serta pemerintah mempertebal tekad political will- nya 358 . Memang sudah waktunya di era globalisasi ini, di mana masyarakat menuntut adanya keterbukaan, tanggung jawab dari tugas suci dalam praktik hukum di Indonesia, hakim dimohon untuk meninggalkan mekanisme normatif-dogmatis yang selama ini mengukungnya, kemudian untuk bangun dan bangkit membangun peradilan yang jujur dan berwibawa melalui putusan-putusannya. Bernard L Tanya, mengemukakan dalam disertasinya, memasuki abad 21, ilmu hukum tidaklah memadai jika hanya berkubang dalam paradigma normatif-dogmatis saja. Sebab jika hanya berkisar pada aspek normatif saja, maka tidaklah akan dapat menangkap hakikat hukum sebagai upaya manusia untuk menertbkan diri dan masyarakat berikut kemungkinan berfungsi atau tidaknya hukum tersebut dalam masyarakat. Selanjutnya dikatakan ilmu hukum dogmatik hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Jadi, kegunaan dari ilmu hukum dogmatik ini tidak lebih hanya menelaah bangunan logis-rasional dari deretan pasal-pasal peraturan. Oleh karenanya, ilmu hukum dogmatik seperti ini sering disebut 358 Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 20 commit to user 287 dengan analytical jurisprudence 359 , yang dalam praktik sangat bertumpu pada dimensi bentuk formal dan prosedural dalam berolah hukum untuk mencapai aksiologi kepastian. Hal tersebut berbeda dengan ilmu hukum non-dogmatik, yaitu tidak berhenti kepada menyibukkan diri dengan bangunan logis-rasional dari sebuah peraturan. Tujuan aksiologi yang ingin dicapai oleh ilmu hukum non-dogmatik adalah untuk mencari dan mencapai kebenaran hukum sebagai institusi kemanusiaan dan kemasyarakatan. Kebenaran hukum yang demikian itu jelas tidak dapat diperoleh jika hanya bertumpu pada peraturan hukum semata-mata. Hukum adalah untuk manusia. Melihat hukum sebagaimana suatu kenyataan yang berlaku di dalam masyarakat, bukan hanya sebagai norma dalam undang-undang yang bersifat kaku adalah sesuai dengan aliran hukum realis pragmatis. Adi Sulistiyono, dalam bukunya yang berjudul menggugat dominasi positivisme dalam ilmu hukum, mengemukakan, filsafat pragmatisme merupakan aliran filsafat yang menerapkan orientasi perhatian terhadap kenyataan. Dalam bidang filsafat hukum, hal ini telah mengakibatkan bergeraknya dari dunia teori sebagaimana mendominasi pemikiran filsafat sebelumnya ke arah dunia praktis. Pada peralihan abad ke 19-20, pemikiran hukum dipengaruhi oleh suatu aliran filsafat yang sangat dominan pada saat itu, yaitu aliran filsafat pragmatis. Para pemikir hukum realis pragmatis pragmatic legal realism , yaitu aliran pemikiran yang memberatkan perhatiannya terhadap penerapan hukum dalam kehidupan bermasyarakat bernegara. Hal terpenting bagi mereka adalah bagaimana hukum itu diterapkan dalam kenyataan dan mereka berkata, bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dijalankan itu. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam undang-undang, melainkan adalah apa yang dilakukan oleh aparat penyelenggara hukum, polisi, jaksa, hakim atau siapa saja yang melakukan fungsi pelaksanaan hukum 360 359 Satjipto Rahardjo, dalam Anis Ibrahim, Op., cit., hlm., 13 360 Adi Sulistiyono, 2004, Op., cit., hlm., 18 commit to user 288 Selanjutnya dikemukakan, Oliver Wendell Holmes 1841-1935 sebagai tokoh pencetus pertama aliran ini dengan buku karangannya yang terkemuka The Path of Law, dikatakan seorang ahli hukum harus menghadapi gejala kehidupan sebagai suatu kenyataan yang realistis. Mereka harus tahu bahwa yang menentukan nasib pelaku kejahatan bukan rumusan sanksi dalam undang-undang, melainkan pertanyaan-pertanyaaan dan keputusan hakim 361 . Berkaitan dengan hal tersebut, Riduan Syahrani, mengemukakan bahwa aliran pemikir hukum realis pragmatis pragmatic legal realism , menitikberatkan perhatian terh adap “penerapan hukum” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal terpenting bagi mereka adalah bagaimana hukum itu diterapkan dalam kenyataan dan mereka berkata : hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dijalankan itu. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam undang-undang, melainkan apa yang dilakukan aparat penyelenggara hukum polisi, jaksa, hakim dan siapa saja yang melakukan fungsi pelaksanaan hukum 362 361 Theo Huijbers, dalam Adi Sulistiyono, Op., cit., hlm., 19 362 Riduan Syahrani, Op., cit., hlm., 53 commit to user 289

BAB V PEMIKIRAN HAKIM DALAM MENGHADAPI SENGKATA YANG