Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara soehartono

(1)

commit to user

i

MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH

HAKIM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

TATA USAHA NEGARA

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum

SOEHARTONO NIM.T310908008

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

PASCA SARJANA FALKUTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH

HAKIM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

TATA USAHA NEGARA

SOEHARTONO NIM.T310908008

Surakarta, September 2012

Telah disetujui oleh Tim Promotor

Co. Promotor Co. Promotor

Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH.,M.Hum NIP. 196211101987031004

Dr. I. Gusti Ayu KRH,SH.,MM NIP. 197210082005012001

Mengetahui,

Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Promotor

Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH.,MH Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH.,MH NIP.196302091988031003 NIP.196302091988031003


(3)

commit to user

iii

Lembar Pengesahan Disertasi

MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Soehartono NIM. T. 310908008 Surakarta, September 2012 Telah Disetujui oleh Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS __________________

Sekretaris : Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS __________________

Anggota :

1. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH __________________ 196302091988031003

2. Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH., M Hum __________________ 196211101987031004

3. Dr. I.G. Ayu Ketut Rachmi H, SH., MM __________________ 197210082005012001

4. Prof. Dr. H. Setiono SH., MS __________________ 196011071986011001

5. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., M Hum __________________ 196111081987021001

6. Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH., MHum __________________ 195702031985032001

7. Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH.,MH.,CN __________________

Mengetahui :

Ketua Program Doktor Ilmu Hukum

Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH NIP. 196302091988031003


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Soehartono NIM : T310908008

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi dengan judul :

“MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA” adalah

betul-betul karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam disertasi tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan disertasi dan gelar yang saya peroleh dari disertasi tersebut. Selanjutnya untuk menunjukkan keaslian disertasi saya, dengan ini saya bersedia disertasi ini di upload atau dipublikasikan pada website Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hkum UNS.

Surakarta, September 2012 Yang Membuat Pernyataan

Soehartono T310908008


(5)

commit to user

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Barang siapa menempuh suatu cara yang memudahkan orang untuk memperoleh ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan masuk surga (HR. Muslim)

Pelajarilah ilmu pengetahuan, sesungguhnya belajar ilmu karena Allah adalah takwa, menuntut ilmu adalah ibadah, mengingatnya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu adalah sedekah. (HR. Ibn. Abdil Barr An Namiry)

Disertasi ini kupersembahkan untuk : 1. Bapak dan ibu (alm, almh) 2. Bapak dan ibu mertua

3. Istriku dan ketiga anaku tercinta 4. Adik-adiku, keponakan

5. Almamater FH UNS


(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan rasa syukur yang mendalam, penulis panjatkan ke hadiran Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa dengan limpahan rachmad, taufik dan hidayah-Nya, penulis telah dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul : Membangun Konstruksi Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara.

Tujuan penulisan disertasi adalah didasarkan kepada pengamatan penulis yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dan pada proses berhukum di pengadilan khususnya telah terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan atau sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Keterpurukan lembaga pengadilan sebagai penegak hukum dan keadilan, ditandai dengan kritikan, kecaman yang semakin memojokkan keberadaan lembaga pengadilan dalam masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena cara berhukum hakim sangat dipengaruhi dominasi positivisme hukum, bahkan dibelenggu oleh terali besi kekuatan yang mengedepankan bentuk formalnya atau aturan normatif. Berdasarkan cara berhukum yang demikian, maka produknya dapat ditebak atau diramalkan akan menghasilkan keadilan yang prosedural atau formal, bukan keadilan substansial atau material yang diharapkan masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut, agar lembaga pengadilan tidak mendapatkan kritik, kecaman atau paling tidak dapat mengeliminir atau mengurangi, maka terdapat kewajiban hakim dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya berdasarkan pada undang-undang. Undang-undang tidak lengkap dan tidak mungkin sempurna, hakim harus melengkapi dan menyempurnakan, dengan melalui interpretasi, konstruksi dan hermenutika hukum. Hakim harus aktif, kreatif dan dalam menyelesaikan sengketa dengan menggunakan hati-nurani, empati, perasaan, berpikir secara holistik dan melihat realita masyarakat, tidak hanya mengandalkan atau mengedepankan aturan dan pengolahan dengan logika.

Penulis menyadari bahwa kemampuan dan keterbatasan pengetahuan dalam penulisan disertasi, oleh karena itu bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung telah memberikan motivasi yang luar biasa dan tidak dapat dinilai dengan apapun bagi penulis. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada :

Pertama, Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS

Kedua, Prof. Dr. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS

Ketiga, Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Fakultas Hukum UNS


(7)

commit to user

vii

Keempat, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH, selaku promotor dalan penulisan disertasi dan juga selaku Ketua Program Doktor Ilmu Hukum, yang dengan ketulusan hati dan penuh tanggung jawab berkenan untuk membimbing penulis sebagai promotor. Dengan penuh kesabaran, ketulusan, kecermatan dan tanggung jawab telah memberikan masukan, koreksi sejak dari awal penulisan usulan penelitian, hasil penelitian yang bersifat membangun demi kebaikan disertasi penulis. Dengan tidak mengenal lelah dan capai, beliau tetap memberikan bimbingan-bimbingan, di luar jam kerja beliau tetap mau menerima bimbingan dan hal yang sangat berkenan selalu memberikan motivasi kepada penulis. Sosok promotor yang patut dan pantas untuk disegani, dengan kerendahan hatinya selalu siap untuk dimintai konsultasinya.

Kelima, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalam kepada Prof., Dr., Yos Johan Utama, SH., M Hum, di tengah-tengah kesibukannya (sebagai Dekan Fak. Hukum Undip) masih bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi Co promotor dalam penulisan disertasi ini. Ketepatan waktu yang beliau sediakan setiap promovendus berkonsultasi dan keramahtamahan, sikap santun yang beliau tunjukkan pada setiap konsultasi, selalu memberikan motivasi yang dapat membantu penulis untuk mengemukakan pendapatnya. Dengan penuh kesabaran, ketelitian, dan tanggungjawab, beliau memberikan masukan-masukan baik pada proposal maupun pada hasil peneltian yang dapat membuka pandangan penulis untuk lebih sempurnanya dalam penulisan disertasi.

Keenam, terima kasih saya sampaikan kepada Dr. I. Gusti Ayu KRH., SH., MM, yang telah bersedia meluangkan waktunya sebagai Co promotor dalam penulisan disertasi ini. Dengan sangat ramah, murah senyum, penuh kesabaran, ketelitian, kecermatan, beliau memberikan masukan-masukan yang bersifat memperbaiki, memberikan banyak bekal dan bahan-bahan untuk lebih sempurnanya penulisan disertasi ini. Di tengah-tengah kesibukannya (sebagai Pembantu Dekan II Fak. Hukum UNS), masih dapat menyempatkan waktunya untuk memberikan koreksi, arahan, sejak dari makalah kualifikasi, pembuatan usulan penelitian, hasil penelitian, sehingga dapat membuka pandangan penulis untuk menyempurnakan penulisan disertasi. Kesedian beliau untuk menerima konsultasi di luar jam kerja, memberikan motivasi tersendiri dan dapat menggugah penulis untuk menyelesaikan penulisan disertasinya.

Ketujuh, Prof. Dr. Setiono, SH., MS., pertama sebagai mantan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Fakultas Hukum UNS dan kedua, selaku penguji yang telah memberikan masukan yang tiada nilai harganya dalam disertasi, memberikan motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan disertasinya.

Kedelapan, Prof. Dr. Muchsin SH, (almarhum) selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah penunjang yang telah banyak memberikan masukan, arahan dalam penyusunan proposal, dengan ikhlas memberikan bahan referensi kepada penulis, semoga kebaikan Prof. Muchsin dibalas oleh Allah, diampuni semua dosa-dosanya, amien.

Kesembilan, Prof. Dr. Okid Parama Astirin, MS, selaku Ketua Tim Penguji yang telah memberikan masukan dan arahan, saran yang sangat berharga pada waktu ujian tertutup


(8)

commit to user

viii

Kesepuluh, Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., M Hum, pertama selaku mantan Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS yang memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS, kedua selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan, saran pada ujian tertutup

Kesebelas, Prof. Dr. Supanto, SH., MH., pertama selaku Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS, kedua selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan, saran, kritik yang membangun dan memberikan motivasi agar dapat menyelesaikan studinya

Keduabelas, Edy Herdiyanto, SH, Mhum., selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS, dan memberikan semangat agar penulis selalu bangkit dan menjaga kesehatan

Ketigabelas, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA, selaku penguji yang sangat banyak memberikan masukan-masukan, arahan dan saran kepada penulis. Masukan dan saran beliau memberikan pencerahan dan memberikan jalan yang lebih jelas dan terang. Penjelasan beliau yang sangat mendasar dan signifikan mulai dari ujian hasil penelitian, kelayakan dan ujian tertutup merupakan bekal bagi penulis dalam menyelesaikan disertasinya. Rekomendasi beberapa buku literatur menambah dan melengkapi teori dalam kajian analisis.

Keempatbelas, Ketua PTUN Semarang, dan Maftuh Effendi, Teguh Satya Bhakti, selaku hakim PTUN Semarang dan Ketua PTUN Yogyakarta, Agus Budi Susilo, Retno Nawangsih, Roni Erry Saputro, selaku hakim PTUN Yogyakarta yang telah banyak membantu penulis untuk memberikan data terutama dalam kaitannya dengan sengketa yang telah mereka putus. Mereka dengan ikhlas dan tulus hati, sabar memberikan keterangan yang penulis perlukan, mereka semua mempunyai dedikasi yang tinggi dalam tugasnya dan pandangan ke depan sebagaimana diharapkan masyarakat.

Kelimabelas, terima kasih yang tidak terhingga kepada ayahnda dan ibunda, almarhum Soekarno dan almarhumah Soekinem, yang telah mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, keikhlasan, ketulusan hati. Dimasa hdupnya yang selalu berdoa untuk kesuksesan anak-anaknya. Kesan yang tidak dapat terlupakan adalah kegigihan dan ketabahan, kesabaran yang beliau contohkan dalam menghadapi segala permasalahan. Terima kasih ayah dan ibu semoga alloh menerima disisi-Nya diampuni semua dosa-dosanya. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada ayahnda dan ibunda mertua, Mawardi dan Sumirah, yang selalu mendoakan kepada anak-anaknya agar selalu mendapatkan kelancaran, kemudah-mudahan dalam segala upaya dan usahanya.

Keenambelas, terima kasih yang tulus kepada istriku tercinta, Sri Sumardiyanti, yang dengan penuh kesabaran, ketulusan, selalu berdoa untuk kelancaran dan kemudahan penulis dalam segala upaya dan dalam menyelesaikan studinya. Terima kasih kepada anak-anaku Sandhi Prakoso, Ratna Nurhidayanti Hapsari, Wahyu Rachmaditya Imanulloh, yang dengan penuh kesabaran rela


(9)

commit to user

ix

mendoakan ayahnya dalam menyelesaikan studinya dan adik-adiku (Bambang P, Kusmiati IR, Nugroho, Sri Wahyuni BN, Teguh JS, Cipto) Suharsono, Jatiningsih (almarhum, almarhumah, semoga diampuni dosa-dosanya) dan kakaku semua, keponakan yang tidak dapat disebut satu persatu, yang selalu berdoa dan memberi semangat untuk selesainya disertasi ini, terima kasih semua.

Ketujuhbelas, terima kasih teman-teman Program Doktor Ilmu Hukum UNS angkatan kedua dan semua angkatan, semoga kita semua sukses. Teman-teman fakultas hukum UNS semua, mas Wisnu (bag. kerjasama) terima kasih atas partisipasi dan doanya, bapak Lego Karjoko, bapak Rafik, mas mulyono, M. Badrun, semua teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan doanya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi. Akhirnya, tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis, namun penulis juga masih berharap semoga ada manfaatnya. Dengan tangan terbuka, kritik dan saran yang besifat lebih membangun diharapkan demi kebaikan penulisan disertasi ini, terima kasih.

Surakarta, September 2012 Penulis,


(10)

commit to user

x

ABSTRAK

Membangun Konstruksi Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, disertasi : Soehartono, 2012, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan disertasi ini bertujuan untuk mengetahui penerapan undang-undang oleh hakim dalam penyelesaian sengketa, yaitu masih terikat oleh dominasi ketentuan-ketentuan yang bersifat normatif semata atau undang-undang dalam bentuknya yang tertulis atau telah mengalami pergerakan pemikiran oleh hakim untuk keluar dari undang-undang dengan melihat realita dalam masyarakat. Hakim dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya mengedepankan aturan dan logika belaka, namun lebih mengandalkan kepada hati-nurani, perasaan, empati, keaktifan hakim dan kreasinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan penelitian hukum doktrinal dan non-doktrinal. Penelitian hukum doktrinal dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, yaitu diperoleh melalui inventarisasi undang-undang, mengkaji literatur yang terkait dengan materi atau permasalahannya, putusan hakim, kemudian setelah terkumpul dianalisis melalui metode deduktif. Penelitian hukum non-doktrinal dilakukan untuk mendapatkan data primer, yaitu diperoleh melalui metode wawancara dan pengamatan atau observasi, kemudian datanya dianalisis dengan metode induktif dengan model interaktif.

Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan, pertama hakim dalam memutus, menyelesaikan sengketa atau pengujian terhadap keabsahan beschikking tidak selalu berdasarkan kepada undang-undang, dan undang-undang tidak dianggap sebagai pedoman yang bersifat absolut. Undang-undang hanya dianggap sebagai pedoman belaka dan dapat disimpangi dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, bahwa undang-undang tidak lengkap, tidak sempurna, tidak atau kurang jelas, undang-undang tidak dapat mengakomodasi semua kebutuhan manusia dalam masyarakat yang semakin kompleks dan berkembang, oleh karena itu hakim dalam tugasnya berupaya melengkapi, menjelaskan undang-undang agar dapat diterapkan kepada peristiwanya dengan melalui penafsiran atau interpretasi, konstruksi dan hermeneutika hukum.

Terjadi pergerakan pemikiran oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa, yaitu tidak hanya mendasarkan kepada undang-undang dan logika, namun hakim dalam menyelesaikan sengketa dengan menggunakan perasaan, hati-nurani, empati, hakim aktif dan kreatif, menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Ketiga, dalam menyelesaikan sengketa hakim dengan sungguh-sungguh melakukan upaya-upaya untuk meninggalkan cara berpikir hukum yang lama atau tradisional. Upaya-upaya membangun kontruksi penemuan hukum dilakukan dengan membuka pandangan jauh ke depan terhadap undang-undang sebagai sistem terbuka, pandangan tentang nilai keadilan tidak lagi bersifat prosedural atau formal, melainkan lebih cenderung bersifat substansial atau material sebagaimana diharapkan pencari keadilan dalam masyarakat, pandangan terhadap hukum yang bersifat holistik, dengan melihat hukum dalam kehidupan masyarakat sebagai dasar dan cermin tumbuh dan berkembangnya hukum. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dapat mewujudkan dasar filosofis


(11)

commit to user

xi

tujuan dibentuknya pengadilan tata usaha negara, yaitu memberikan keadilan kepada masyarakat.

Kata kunci : membangun konstruksi, penemuan hukum, sengketa tata usaha negara.


(12)

commit to user

xii ABSTRACT

Develop Construction of Legal Finding by Judge In the State Administrative Dispute Resolution, dissertation: Soehartono, 2012, the Doctoral Program of Law, Faculty of Law, Sebelas Maret University

This dissertation aims to determine the application of law by judges in dispute settlement are still bound by the provisions of the dominance of normative law alone or in written form or have experienced a shift in thinking by the judge to get out of the law by looking at the reality in the community. Thus, judges in resolving disputes not only promote the rules and logic alone, but rather rely on the conscience, feelings, empathy, active judges and the creation. To achieve these objectives, used the doctrinal legal research and non-doctrinal. Doctrinal legal research is intended to obtain secondary data, which is derived through an inventory of legislation, reviewing the literature related to the material or matter, the judge, then having collected were analyzed through a deductive method. Non-doctrinal legal research carried out to obtain the primary data, which is obtained through interviews and observations, then the data were analyzed with inductive methods with interactive models.

Based on the data analysis can be concluded, firstly judge in deciding, resolve disputes, or test the validity of beschikking not always based on the statute, and statute are not regarded as an absolute guideline. The statute is considered as mere guidelines and can be deviated in resolving the dispute. Secondly, that the statute is incomplete, imperfect, or no less clear, the statute can not accommodate all the needs of human beings in a society that increasingly complex and evolving, therefore the judge in trying to complete the task, explaining the act to be applied to the event by means of interpretation, construction and legal hermeneutics. Movement of thought by judges in resolving disputes, which is not only the base to the act and logic, but judges in resolving disputes with feelings, conscience, empathy, active and creative judges, explore the values of law and justice in society . Thirdly, judges in resolving disputes with earnest efforts to abandon the old ways of thinking or traditional law. Construction efforts to build legal discovery done by opening the foresight of the statute as an open system, the notion of justice is no longer the procedural or formal, but more likely to be substantial, as expected the search for justice in society, a view of the law which is holistic, with a view of law in public life as the basis and mirrors the growth and development law. Based on such consideration, it can realize the aim of the philosophical basis of administrative courts, which give justice to the community.


(13)

commit to user

xiii

RINGKASAN

Kegagalan paradigma negara “legal state” yang berprinsip

“staatsonthouding” atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang

politik, telah menyebabkan peralihan paradigma negara, dari paradigma negara

“penjaga malam” (nachtwakerstaat) kepada paradigma negara kesejahteraan

(welfare state). Paradigma negara kesejahteraan menempatkan warga negara atau

orang-perorang menjadi subyek hukum, yang harus dilindungi dan disejahterakan, menempatkan warga negara sebagai subyek (alinea 4 UUD 1945) dan tidak lagi menempatkan warga negara sebagai obyek. Negara mempunyai kewajiban untuk masuk ke dalam wilayah kehidupan warganya, dalam rangka menjalankan fungsinya melayani dan mengupayakan kesejahteraan (bestuurszorg)

Dalam negara hukum yang mempunyai konsep negara kesejahteraan, maka peran pemerintah cq negara semakin besar dalam kehidupan warganya, karena tugas atau fungsi pemerintah tidak hanya berfokus atau berurusan pada bidang penyelenggaraan pemerintahan semata, melainkan pemerintah juga bertanggungjawab kepada kesejahteraan warga masyarakatnya. Dengan berbagai alasan, untuk kepentingan rakyat, kepentingan orang banyak atau masyarakat, pemerintah melakukan segala upaya untuk menyejahterakan warganya. Peran pemerintah yang semakin besar tersebut, ternyata dapat menimbulkan benturan kepentingan antara warga masyarakat dengan pemerintah dan hal tersebut perlu adanya suatu lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara. Dasar filosofi tujuan dibentuknya pengadilan tersebut adalah untuk memberikan keadilan kepada masyarakat.

Eksistensi PTUN dalam suatu negara hukum merupakan pilar untuk menegakan hukum dan keadilan dalam masyarakat, di samping itu dapat melakukan kontrol terhadap tindakan pemerintah, yaitu melalui pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara dan diwujudkan dalam bentuk putusan hakim. Dalam tugasnya untuk melakukan pengujian terhadap keabsahan

beschikking yang dikeluarkan oleh pemerintah, pengujian tersebut harus

berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Undang-undang sebagai dasar hukum pengujian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tidak selalu lengkap, sempurna, tidak atau kurang jelas, kabur, oleh karena itu hakim harus melengkapi, menjelaskan agar undang-undang tersebut dapat diterapkan kepada peristiwanya. Hal tersebut dapat dilakukan oleh hakim melalui penafsiran atau interpretasi hukum, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum. Hakim dalam tugasnya dilarang untuk menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum kurang atau tidak jelas, melainkan hakim wajib untuk memahami, memperhatikan dan menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal tersebut diamanahkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang sebagai hasil legislatif ternyata belum atau tidak dapat mengakomodasi semua kepentingan manusia, bahkan kepentingan atau kebutuhan manusia semakin hari semakin kompleks dan terus berkembang. Ketua Mahkamah Konstitusi mengeluh kualitas dari undang-undang yang dihasilkan


(14)

commit to user

xiv

DPR dan Presiden. Keluhan tersebut diucapkan pada saat pembacaan judicial

review atas Pasal 30 ayat (2) sampai ayat (5) Undang-undang Nomor 22 Tahun

2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Tanpa perancangan yang baik, suatu pasal bisa menimbulkan multitafsir di kalangan masyarakat. Moh. Mahfud. MD, mengemukakan meskipun reformasi sudah dijalankan, namun pembangunan tertib hukum belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Masih adanya peraturan perundang-undangan yang bermasalah baik secara vertikal maupun horizontal. Di sisi lain, ada kesan bahwa pembentukan hukum kurang terkoordinasi dengan baik, menyangkut materi muatan maupun teknis prosedural pembentukkannya. Sejauh ini, ada beberapa problem yang teridentifikasi berkontribusi terhadap cengkarutnya bidang legislasi. Pertama, undang-undang sebagai produk legislasi belum memadai secara kualitas, sehingga kurang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. kedua, belum terpenuhinya target jumlah penyelesaian Rancangan Undang-undang yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ketiga, proses pembahasan Rancangan Undang-undang dianggap kurang transparan, sehingga sulit diakses oleh publik. Keempat, masih lemahnya tingkat koordinasi di antara alat kelengkapan DPR dalam penyusunan dan pembahasan suatu Rancangan Undang-undang. Problem-problem tersebut kemudian menumbuhkan kesan bahwa pembentukan hukum kurang dipersiapkan dengan baik, sehingga banyak undang-undang yang tidak memenuhi asas-asas pembentukan undang-undang atau tidak layak sebagai undang-undang. Akibatnya, banyak undang-undang yang bukannya mengatasi masalah, tetapi justru menimbulkan problem baru di lapangan. Entah karena tidak dapat diimplementasikan atau karena tumpang tindih Berdasarkan hal-hal tersebut, hakim dalam tugasnya tidak hanya menerapkan undang-undang semata atau membunyikan undang-undang, walaupun suatu undang-undang sudah jelas, hakim juga harus melihat validitas undang-undang tersebut, hakim juga harus melihat realitas dalam masyarakat, bahwa undang-undang yang baik harus dapat mencerminkan kehidupan masyarakatnya. Hakim dalam tugasnya tidak boleh terbelenggu oleh aturan-aturan yang bersifat normatif atau lebih mengedepankan undang-undang dalam bentuknya yang tertulis, hakim berdasarkan kemampuan yang dimilikinya harus berusaha melayani masyarakat dengan baik, yaitu harus berani keluar dari belenggu undang-undang yang dogmatif-normatif. Hukum dalam masyarakat terus berkembang, hal demikian membawa konsekuensi pada tugas hakim dalam berhukum tidak hanya berkutat kepada cara-cara tradisional, tetapi hakim harus berani keluar dan meninggalkan cara tradisional tersebut. Hakim dituntut untuk lebih kreatif, aktif, mempunyai pandangan jauh ke depan dan hakim harus berani melakukan penemuan hukum melalui metode penafsiran, konstruksi dan hermeneutika hukum.

Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim dimaksudkan untuk dapat memperbaiki, menggeser, merubah, pergerakan pemikiran hakim dalam berhukum di pengadilan. Hakim tidak hanya memutus, tetapi terjadi pergeseran fungsi menjadi hakim menyelesaikan. Hakim dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya berdasarkan pada undang-undang semata, melainkan lebih mendasarkan pada hati-nurani, empati, perasaan, hakim aktif, kreatif dan memiliki


(15)

commit to user

xv

pandangan jauh ke depan dengan melihat realita dalam masyarakat. Pergerakan pemikiran dimulai pada hakim dari normatif positivisme menuju ke pemikiran sosiologis dengan terwadahi oleh keyakinan hakim dan prinsip kebenaran material. Satjipto Rahardjo mengemukakan, pelajaran hidup bernegara hukum selama berpuluh-puluh tahun adalah terlalu mahal untuk tidak membuat berani melakukan pemikiran ulang terhadap cara-cara memahami hukum, undang-undang dan negara hukum. Hal itu menyebabkan diajukan gagasan agar kita berani melakukan dekonstruksi terhadap cara-cara berpikir mengenai hukum. Intisari pikiran mendekonstruksi hukum adalah kredo (jawa) yang diajukan berbunyi kita tidak boleh menjadi tawanan undang-undang, itulah esensi dekonstruksi yang meliputi aspek kognitif maupun afektif. Filsafat yang mengilhami adalah hukum untuk manusia, dan tidak sebaliknya.

Metode penemuan hukum yang dapat digunakan hakim dalam kaitannya dengan penerapan undang-undang, seperti interpretasi hukum, yang meliputi interpretasi gramatikal (menurut bahasa), interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristis atau antisipasi, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif, interpretasi otentik atau secara resmi, interpretasi interdisipliner, interpretasi multidisilpiner. Metode kontruksi hukum meliputi, argumentum per analogiam (analogi), metode

argumentum a contrario, rechtsverfijning (penyempitan atau pengkonkritan

hukum), fiksi hukum. Dari beberapa metode penemuan hukum tersebut, hakim tidak terikat kepada salah satu metode, hakim bebas untuk memilih atau mengunakannya berdasarkan permasalahan yang dihadapi hakim.

Dalam sejarah telah tercatat bahwa selama berabad-abad hubungan antara perundang-undangan dengan putusan hakim telah menimbulkan polemik yang tak putus-putusnya dan melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu hukum. mula-mula dikenal aliran legis, yang cenderung memandang hakim hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi). Kemudian muncul aliran penemuan hukum oleh hakim yang memandang bahwa hakim dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dengan jalan konstruksi hukum atau interpretasi hukum. terakhir, muncul aliran realis di Amerika Serikat dan Skandinavia yang pada pokoknya memandang hakim tidak sekedar menemukan hukum, melainkan juga membentuk hukum melalui putusannya. Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang ada pengaruhnya terhadap putusan hakim, tetapi hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh prasangka politik, ekonomi atau moral, bahkan perasaan simpati dan pribadi turut mempengaruhi putusan hakim.

Penerapan undang-undang oleh hakim dalam proses peradilan telah mengalami perkembangan sejak jaman kuno (klasik), sehingga melahirkan ajaran/paham/teori tentang praktek hukum di pengadilan, seperti ajaran

ideenjurisprudenz (legisme), begriffjurisprudenz, ajaran interessjurisprudenz

(freirechtsschule), ajaran soziologische rechtsschule, ajaran Paul Scholten,

penemuan hukum heteronom dan otonom. Dengan demikian, sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat yang terus-menerus mengalamai perubahan dan perkembangan, hakim dalam menyelesaikan sengketa dituntut untuk mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat. Hakim tidak boleh


(16)

commit to user

xvi

memandang undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum dan digunakan sebagai pedoman yang absolut dalam memutus dan menyelesaikan sengketa, hakim bukan lagi sebagai corong undang-undang, mengandalkan aturan formal dan dibimbing oleh logika belaka, namun harus mempunyai peranan yang mandiri dalam penemuan dan pembentukan hukum dengan menyesuaikan dengan kebtuhan-kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dalam menjatuhkan putusan, hakim dibimbing oleh pemikirannya sendiri dan mempunyai sifat otonom, pengalaman, hati-nurani, perasaan, kemampuan hakim ikut andil dalam putusannya. Achmad Ali, meminjam pendapat Carbonnier, mengemukakan les

choses out toujours du se passer ainsi, des millenaires gu‟ily a dsejuges, et gui

pensent (demikian senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun, dituntut

adanya hakim yang berpikir).

Proses peradilan dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Dari abad 19-20 dapat disaksikan terjadi perubahan secara pela-pelan, dari pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan untuk rakyat. Menjelang dan memasuki abad 20 kata kuncinya rakyat. Para penegak hukum yang berjihad untuk memunculkan kekuatan hukum akan senantiasa memeras dan mengeluarkan makna teks dalam undang-undang. Blumer mengemukakan tindakan manusia berdasarkan berbagai pertimbangan sebelum mengambil putusan. Hukum dan penegakan hukum perlu memasuki ranah psikologi, berarti hukum tidak hanya berurusan dengan peraturan, melainkan juga perilaku. Perilaku yang dibutuhkan untuk memunculkan kekuatan hukum adalah

apa yang dalam bahasa jawa disebut “mesu budi”, yaitu mengerahkan kekuatan

spiritual. Pekerjaan hukum adalah lebih dari hanya logis-rasional, tetapi sesuatu yang menurut kreativitas dari pelakunya. Satjipto Rahardjo mengemukakan, dalam pengadilan memerlukan dekonstruksi, yaitu membuang cara kerja pengadilan yang lama, dekonstruksi bermula dari sikap para hakim terhadap pekerjaannya dan cara berpikir hakim. Gerakan arus pemikiran postmodernis, terutama gerakan studi hukum kritis menentang dominasi legisme yang sudah mapan.

Hakim dituntut untuk tidak hanya berpikir dengan menggunakan logika, tetapi cara berhukum harus juga menggunakan perasaan. Dalam praktik di PTUN hakim telah berusaha untuk berhukum tidak hanya mengedepankan aturan dan logika, melainkan juga telah melihat realita dalam masyarakat, hakim dalam memutus sengketa telah menggunakan perasaan, empati dan hati-nurani. Hakim tidak hanya berpikir secara sederhana yang mirip dengan mesin dan dapat disimbolkan dengan IQ (intellectual qoutient), oleh Zohar dan Marshall, model berpikir tersebut disebut serial thinking atau simplistic model of thinking, yaitu berpikir secara lurus, logis tanpa melibatkan emosi. Penggunaan IQ tersebut tidak salah, namun belum mewakili atau menggambarkan cara berpikir manusia seluruhnya dan untuk melengkapinya kemudian muncul EQ (emotional qoutient), yaitu berpikir asosiatif atau berpikir dengan hati dan badan. Terakhir adalah SQ

(spiritual qoutient), yaitu berpikir kreatif, penuh wawasan (insighful) dan intuitif.

Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, dimulai dengan berpikir secara luas, mempunyai pandangan bahwa hukum sebagai sistem terbuka, dengan


(17)

commit to user

xvii

memperhatikan realita dalam masyarakat, bukan melihat hukum sebagai sistem hukum yang tertutup dan terisolir dalam masyarakat. Keadilan yang dikedepankan hakim sebagaimana nilai keadilan yang dicari masyarakat, yaitu keadilan substansial, bukan keadilan prosedural aatau formal. Hakim dapat mengelaborasi gagasan dan cara berhukum yang selama ini berkutat kepada undang-undang dan tanpa adanya variasi, yaitu berpikir secara secara holistik. Hakim berani membuka kekuatan makna teks dalam undang-undang sebagai materi yang telah masuk kepada pembaca atau hakim, sehingga hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan interpretasi hukum, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum untuk menemukan hukum. Hukum tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya aksi dari hakim yang mempunyai kemampuan dan pilihan untuk melakukan penafsiran, setiap norma membutuhkan penafsiran atau interpretasi.


(18)

commit to user

xviii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK... viii

ABSTRACT ... x

RINGKASAN ... xiii

DAFTAR ISI ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah... 28

C. Tujuan Peneitian ... 30

D. Manfaat Penelitian... 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 33

A. Kerangka Teori ... 33

1. Kekuasaan Kehakiman ... 33

2. Putusan Pengadilan ... 51

3. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara ... 64

3.1. Pengertian Penemuan Hukum ... 64

3.2. Sejarah Penemuan Hukum ... 69

3.3. Aliran dan Metode Penemuan Hukum ... 77

3.4. Kewenangan PTUN ... 95

3.5. Perbandingan Sistem PTUN ... 132

a. Sistem PTUN di Belanda ... 133


(19)

commit to user

xix

c. Sistem PTUN di Jerman ... 148

d. Sistem PTUN di Indonesia ... 150

3.6. Teori Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pemikiran Hakim 160 B. Kerangka Pemikiran ... 170

BAB III METODE PENELITIAN ... 184

A. Metode Pendekatan ... 184

B. Lokasi Penelitian ... 188

C. Jenis dan Sumber Data ... 189

D. Teknik Pengumpulan Data ... 191

E. Teknik Analisis Data ... 194

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian... . 197

BAB IV PENGUJIAN KEABSAHAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA OLEH HAKIM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA ... 203

A. Penerapan Undang-undang Oleh Hakim ... 203

B. Positivisme Hukum Dalam Proses Peradilan ... 209

BAB V PEMIKIRAN HAKIM DALAM MENGHADAPI SENGKETA YANG BELUM DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG ATAU TELAH DIATUR, NAMUN TIDAK ATAU KURANG JELAS MENGATURNYA ... 289

A. Hakim dan Penafsiran Undang-undang ... 289

B. Hati-nurani dalam Putusan Hakim... ... 320

BAB VI MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM UNTUK MEWUJUDKAN TUJUAN HUKUM ... 331


(20)

commit to user

xx

1. Hukum Sebagai Sistem Terbuka ... 392

2. Pandangan Keadilan Substansial ... 405

B. Pendekatan Pemikiran yang Holistik ... 424

BAB VII PENUTUP ... 443

A. Simpulan ... 443

1. Pengujian Keabsahan KTUN oleh hakim PTUN ... 443

2. Pemikiran Hakim Dalam Menghadapi Sengketa yang Belum Diatur Dalam Undang-undang Atau Telah diatur, Tetapi Tidak Atau Kurang Jelas Mengatunya ... 445

3. Membangun Konstruksi Penemuan Hukum Oleh Hakim Untuk Mewujudkan Tujuan Hukum ... 448

B. Implikasi... 453

C. Saran ... 457


(21)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Mengkaji penemuan hukum oleh hakim, maka pembahasannya tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan negara hukum. Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsmen, menjelaskan yang dimaksud negara hukum adalah negara yang dalam segala aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan dan bertanggung-jawab.

Filosofi bernegara suatu masyarakat diletakkan pada konstitusinya. Pada umumnya, negara-negara dibentuk oleh masyarakat sebagai reaksi dari tekanan-tekanan yang membawa mereka untuk mandiri dan mempunyai dasar dalam melakukan perhubungan kemasyarakatan, yang kemudian dikenal dengan nama negara dan landasan filosofinya tercantum pada konstitusinya. Konstitusi suatu negara berisikan nilai-nilai yang telah menjadi pegangan hidup suatu masyarakat atau kekuatan-kekuatan yang dianggapnya dapat melanggengkan mereka hidup bermasyarakat1.

Perkembangan konsep negara hukum yang dianut UUD 1945 mengalami pergeseran karena pengaruh globalisasi di segala bidang2. Konsep negara hukum berasal dari negara-negara Anglo Saxon yang dikenal negara

1 H.A. Muin Fahmal, 2006, Peran-peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Yogyakarta : UII Press., hlm., 74

2 UUD 1945 secara tegas mendasarkan rechtstaat sebagai konsep negara hukum. Dengan diubahnya UUD 1945, tidak sertamerta mengubah konsep negara hukum, namun demikian tidak menutup kemungkinan masuk konsep negara hukum yang lain, seperti the rule of law atau common law, sistem yang dianut negara-negara Anglo Saxon. Ciri rechtstaat tetap nampak, yaitu adanya pembagian lingkungan peradilan secara absolut salah satunya Peradilan Tata Usaha Negara. Ciri the rule of law, yaitu adanya equality before the law, dissenting opinion dan oposisi dalam bidang politik, dalam Abdullah, 2008, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Sidoarjo : Program Pascasarjana Univ. Sunan Giri, hlm., 1


(22)

commit to user

hukum dalam arti the rule of law. Menurut W. Friedmann negara hukum dalam arti rechtstaat tidak selalu sama dengan the rule of law. Negarahukum dalam arti rechtstaat lazim digunakan ahli hukum Eropa Barat, seperti Immanuel Kant dan Frederich Stahl. Rechtstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum3.

Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas ada legalitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Hal ini merupakan conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum sebagai akhir perjuangan. Individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannyapun harus dibatasi4. Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Sehubungan dengan hal tersebut, Philipus M.Hadjon, berpendapat bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum. Sebaliknya dalam negara totaliter tidak ada tempat bagi hak asasi manusia5.

Dalam negara hukum yang pokok adalah adanya pembatasan oleh hukum, dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan, baik yang dilakukan oleh penguasa negara maupun oleh para warga negaranya berdasarkan hukum positif, sehingga terutama warga negaranya terbebas dari tindakan sewenang-wenang penguasa negara. Pembatasan kekuasaan

3

W. Friedmann, 1960, legal theory, London : Steven & Son Limited, hlm., 456, dalam Abdullah, 2008, hlm., 1

4 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung : Alumni, hlm., 3. 5 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya : Bina Ilmu, hlm., 71


(23)

commit to user

pemerintah juga harus tunduk pada kehendak rakyat (demokrasi) dan haruslah dibatasi dengan aturan-aturan hukum yang pada tingkatan tertinggi disebut konstitusi. Salah satu ciri dan prinsip pokok dari negara hukum dan demokrasi adalah adanya lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak6.

Hukum pada dirinya mengandung aspek-aspek idiil bilamana dikaitkan dengan fungsi dan tujuan hukum secara filosofis normatif. Isi hukum ditentukan oleh faktor-faktor idiil dan faktor-faktor kemasyarakatan. Faktor idiil adalah pedoman-pedoman yang tetap tentang keadilan yang harus ditaati oleh pembentuk undang-undang atau lembaga-lembaga pembentuk hukum lainnya di dalam menjalankan tugas-tugasnya. Faktor idiil mengandung arti sangat penting mengingat bahwa hal inilah yang merupakan tujuan langsung dari peraturan-peraturan hukum. Tujuan langsung ini tunduk kepada tujuan akhir dari hukum yakni kesejahteraan umum. Faktor-faktor kemasyarakatan yang langsung membentuk hukum berasal dari keadaan aktual di dalam lingkungan masyarakat7. Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, mengemukakan kajian terhadap eksistensi dan fungsi hukum tampaknya sarat dengan hal-hal yang berbau idealistis, tetapi yang lebih urgen adalah mempertanyakan ketika hukum sungguh-sungguh harus eksis dalam menangani masalah-masalah aktual. Setidaknya, satu hal yang perlu disepakati bahwa karena adanya salah satu fungsi yang implisit pada hukum sebagai pengendali, hukum adalah faktor terpenting dalam upaya mewujudkan tujuan welfare state8.

Kegagalan paradigma negara “legal state” yang berprinsip “staatsonthouding” atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik, telah menyebabkan peralihan paradigma negara, dari

paradigma negara “penjaga malam” (nachtwakerstaat) kepada paradigma

negara kesejahteraan (welfare state). Paradigma negara kesejahteraan, menempatkan warga negara ataupun orang-perorang menjadi subyek hukum,

6

Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm., 5

7 Amir Hamzah, 1988, Pengantar Ilmu Hukum, Malang : Universitas Brawijaya, hlm., 106

8 Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, 1996, Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, hlm., 12


(24)

commit to user

yang harus dilindungi dan disejahterakan dalam segala aspek kehidupannya. Negara dalam paradigma negara kesejahteraan, menempatkan warga negara sebagai subyek (alinea 4 UUD 1945) dan tidak lagi menempatkan warga negara sebagai obyek. Negara mempunyai kewajiban untuk masuk ke dalam wilayah kehidupan warganya, dalam rangka menjalankan fungsinya, melayani dan mengupayakan kesejahteraan (bestuurszorg)9.

Berbagai alasan dikemukakan untuk memberikan alasan legitimasi dari tindakan pemerintah dalam campur tangan dengan kepentingan warga masyarakat, seperti alasan kepentingan umum dan alasan kepentingan orang banyak untuk meningkatkan kesejahteraan warga masyarakatnya. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah barang tentu tugas pemerintah tidak hanya tertuju pada bidang pemerintahan saja, melainkan lebih luas lagi.

Sebagaimana dikemukakan oleh Sjachran Basah, pertumbuhan dan perkembangan hukum adminsitrasi negara yang sangat pesat itu, karena tugas pemerintah tidak semata-mata di bidang pemerintahan saja, melainkan juga harus melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara yang dijalankan melalui pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang bersifat multi-kompleks membawa akibat, bahwa pemerintah harus banyak turut campur tangan dalam kehidupan rakyat yang mendalam di semua sektor. Campur tangan tersebut tertuang dalam ketentuan perundang-undangan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pelaksana lainnya yang dilaksanakan oleh administrasi negara, selaku alat perlengkapan negara yang berarti, dalam mengemban tugas tersebut secara aktif administrasi negara harus dapat menjaga dan menjamin, bahwa tindakan-tindakannya tidak melanggar hak dan kewajiban asasi manusia, juga perlu dicari keseimbangan antara kepentingan negara atau yang mewakili kepentingan umum dan kepentingan rakyat atau perorangan10.

9

Yos Johan Utama, 2010, Membangun Peradilan Tata Usaha Negara yang Berwibawa, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm., 4

10 Sjachran Basah, 1992, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung : Alumni, hlm., 2-3


(25)

commit to user

Dalam negara hukum yang mempunyai konsep negara kesejahteraan

(welfare state), peran pemerintah cq negara terhadap kehidupan warga

negaranya menjadi semakin besar, karena tugas pemerintah tidak hanya berurusan dengan penyelenggaraan pemerintahan saja, melainkan pemerintah ikut bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan warga negaranya. Sebagaimana dikemukakan oleh Edi Suharto :

Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial

(social services). melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem

pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Kesejahteraan negara juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri

(left wing view), seperti marxisme, sosialisme dan sosial demokratik11.

Menyadari sepenuhnya peran aktif pemerintah dalam kehidupan masyarakat, maka pemerintah perlu mempersiapkan langkah untuk menghadapi timbulnya perbenturan atau perselisihan kepentingan atau sengketa di bidang tata usaha negara antara pemerintah (Badan atau Pejabat TUN) dengan warga negaranya. Untuk menghadapi sengketa tersebut, dari segi hukum perlu dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara (disebut PTUN) sebagaimana ditetapkan oleh MPR RI Nomor IV/MPR/1978, yang dihubungkan dengan Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN. Eksistensi PTUN dikaitkan dengan sistem negara menurut UUD 1945 menampakkan urgensinya dengan tetap menyadari bahwa masih cukup perlu waktu untuk mengembangkan hukum administrasi materiil di Indonesia dalam rangka mewujudkan clean governance. Salah satu fungsi yang penting dari PTUN adalah sebagai alat kontrol terhadap tindakan hukum tata usaha negara yang menimbulkan akibat hukum bagi individu atau badan hukum perdata12. PTUN yang eksistensinya merupakan implementasi ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

11 Edi Suharto, dalam W. Riawan Tjandra, 2009, Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, hlm., 2

12


(26)

commit to user

Kehakiman, sebagai perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimaksudkan sebagai atau dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat dari tindakan hukum Badan atau Pejabat TUN. Eksistensi PTUN memang sangat dibutuhkan, mengingat dominasi pemerintah untuk mewujudkan tujuan negara tidak dapat lepas dari pergesekan atau benturan-benturan dengan kepentingan warga masyarakat yang perlu diberi pengayoman atau perlindungan hukum.

Mengenai campur tangan pemerintah yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat, sebenarnya merupakan gejala umum di negara-negara yang sedang berkembang. Di negara-negara berkembang yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum, dirasakan perlu untuk mencari solusi atau cara-cara yang disatu pihak dapat menjamin kewenangan bertindak dan mengatur dari pemerintah, sedangkan dipihak lain dapat menjamin kewenangan bertindak dan mengatur yang bertambah itu tidak melanggar hak-hak asasi warga negara13. Berkaitan dengan hal terssebut, Sjachran Basah, mengemukakan, di sinilah peranan hukum dan Peradilan Administrasi Negara cukup besar. Hal ini karena inti atau hakikat hukum administrasi negara bersifat ganda, yaitu pertama, memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, kedua, melindungi warga negara terhadap sikap tindak administrasi itu sendiri14.

Selanjutnya Wicipto mengemukakan, dalam negara hukum harus ada suatu lembaga yang diberi tugas dan kewenangan untuk menyatakan dengan suatu putusan, apakah tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah itu berlandaskan atas hukum atau tidak. Perwujudan PTUN diharapkan tidak sekedar hiasan bagi terpenuhinya unsur formal suatu negara hukum, tetapi justru demi tegaknya keadilan, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, perlindungan terhadap harkat kemanusiaan sebagai makhluk Alloh swt yang

13

Wicipto Setiadi, 1994, Hukum Acara Peradilan Tatta Usaha Negara Suatu Perbandingan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 16.

14 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Orasi Ilmiah, Dies Natalis XXIX Universitas Padjadjaran, tanggal 24 September 1986, hlm., 4, dalam Wicipto Setiadi, Ibid.


(27)

commit to user

sama hak dan kewajiban asasinya. Selain itu juga diharapkan benar-benar menjadi lembaga penyaluran dan pengayoman keresahan dan penderitaan rakyat, yang diakibatkan oleh kebijakan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN. Yos Johan Utama, mengemukakan bahwa PTUN sebagai suatu akses keadilan yang melayani manusia, tentunya bukan sekedar mesin hukum yang dibentuk oleh ketentuan hukum normatif saja. Lembaga peradilan merupakan satu institusi yang nampak sebagai suatu organisasi yang mempunyai sifat

interdependensi dengan banyak faktor kehidupan hukum dan sosial. Peradilan

merupakan kesatuan dan konsep-konsep serta elemen, meliputi budaya hukumnya, norma-normanya, serta gerak pelaksanaan dari lembaga peradilan itu sendiri, maupun faktor-faktor sosial lainnya15.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan tersebut, maka eksistensi PTUN sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman untuk meyelesaikan sengketa di bidang tata usaha negara menjadi sangat penting, pertama, karena Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) yang disebut ketetapan (beschkking) yang dikeluarkan atau dibuat oleh Badan atau Pejabat TUN sebagai implementasi dari tindakan TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik perlu mendapatkan penilaian atau pengujian dari PTUN tentang keabsahannya. Kedua, dengan telah dilakukannya pengujian (toetsing) tentang keabsahan suatu ketetapan (beschikking) oleh PTUN, berarti PTUN telah dapat melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan pemerintah di bidang TUN. Ketiga, PTUN yang merupakan lembaga pelaksana kekuasaan kahakiman dapat memberikan pengayoman dan perlindungan hukum terhadap pelanggaran kepentingan atau hak-hak warga negara dari sikap tindak pemerintah.

Hal tersebut sesuai dengan dasar filosofis pembentukan peradilan tata usaha negara atau peradilan administrasi, sebagaimana dikemukakan Paulus E. Lotulung, juka diruntut ke belakang dan berpegang kepada penjelasan resmi pemerintah pada waktu mengantarkan rancangan undang-undang

15


(28)

commit to user

tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29 April 1986, nampak jelas bahwa filosofi pembentukan undang-undangnya adalah dalam rangka menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah dengan warga negaranya akibat dari tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negara dengan tujaun untuk memberikan pelindungan hukum terhadap rakyat, baik perlindungan hukum terhadap hak-hak perorangan/individu maupun hak-hak masyarakat16. Dalam hal ide semula yang digulirkan oleh pemerintah pada waktu itu tidak melenceng dari hakikat atau substansi filosofi pembentukannya atau jika benar-benar dapat diwujudkan, maka Peradilan Tata Usaha Negara lebih dapat melakukan kontrol hukum terhadap penggunaan wewenang pemerintahan atau terhadap tindakan-tindakan pemerintahan yang melanggar hak-hak (merugikan) warga negara dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan cara tersebut, perlindungan hukum terhadap rakyat dari akibat tindakan pemerintahan yang merugikan dapat benar-benar diberkan oleh suatu badan peradilan administrasi yang secara khusus telah diakui eksistensinya oleh Undang-Undang Dasar (vide Pasal 24 ayat (1)

amandemen ke tiga UUD‟45).

Suatu hal yang amat penting dalam negara yang berdasarkan hukum, bahwa tindakan pemerintah yang seharusnya berdasarkan pada undang-undang. Sebagaimana dikemukakan Siti Sundari Rangkuti, undang-undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan dari seluruh kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah17. Hal yang memprihatinkan pada kenyataannya tidak semua undang-undang yang menjadi dasar bertindak atau berbuat dari pemerintah baik dan dapat juga terjadi pemerintah yang tidak mengindahkan ketentuan undang-undang sebagai dasar pijakannya. Yuliandri, mengemukakan bahwa berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang, baik sebelum dan pasca amandemen UUD 1945, serta sebelum maupun sesudah ditetapkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun

16 Paulus E. Lotulung, 1993, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bandung : Citra Aditya Bhakti, hlm., 135.

17 Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya : Airlangga University Press, hlm., 12.


(29)

commit to user

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, senyatanya masih dihadapkan pada pelbagai problematik, baik secara substansial, teknis yuridis penyusunannya, maupun pelaksanaan dari penegakan hukumnya18.

Selanjutnya dikatakan ketidakmampuan untuk melaksanakan program legislasi yang sudah disusun bersama antara DPR dengan pemerintah juga menimbulkan problematik. Misalnya untuk tahun 2005-2009, penyelesaian RUU yang pembahasannya dilakukan DPR, kenyataannya jauh dari yang direncanakan19. Dalam rentang waktu tahun 2005-2009 disusun sebanyak 284 buah RUU, tahun 2006 ditargetkan 55 buah RUU, namun hanya 12 undang-undang yang disahkan. Dicontohkan permasalahan dalam undang-undang-undang-undang, yaitu pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah. Pada awal berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, mendapat kritik, karena timbulnya permasalahan yuridis dalam penerapannya. Prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya telah dimaknai secara berlebihan oleh daerah, sehingga menimbulkan implikasi yang luas20 Dalam perkembangan berikutnya, terjadi kecenderungan orang dan/atau badan hukum yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh terbentuknya undang-undang, beramai-ramai mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD kepada Mahkamah Konstitusi (disebut MK), sehingga terkesan Mahkamah Konstitusi merupakan tempat untuk menampung pelbagai kelemahan yang dimiliki undang-undang. Ketua MK mengeluhkan kualitas dari undang-undang yang dihasilkan DPR dan Presiden. Keluhan tersebut diucapkan pada saat pembacaan judicial review atas Pasal 30 ayat (2) sampai ayat (5) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Tanpa perancangan yang baik, suatu pasal bisa menimbulkan multitafsir di kalangan masyarakat. Jumlah

18

Yuliandri, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 3-4.

19 http//www.hukumonline.com, diakses tanggal 28 Desember 2005, dalam Yuliandri 2009, hlm., 6.

20


(30)

commit to user

perkara pengujian undang-undang sejak tahun 2003-2006 yang diajukan ke MK 91 buah21.

Moh. Mahfud. MD, mengemukakan, meskipun reformasi sudah dijalankan, pembangunan tertib hukum belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Masih adanya peraturan perundang-undangan yang bermasalah baik secara vertikal maupun horizontal. Di sisi lain, ada kesan bahwa pembentukan hukum kurang terkoordinasi dengan baik, menyangkut materi muatan maupun teknis prosedural pembentukannya. Sejauh ini, ada beberapa problem yang teridentifikasi berkontribusi terhadap cengkarutnya bidang legislasi. Pertama, undang-undang sebagai produk legislasi belum memadai secara kualitas, sehingga kurang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Kedua, belum terpenuhinya target jumlah penyelesaian RUU yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ketiga, proses pembahasan RUU dianggap kurang transparan, sehingga sulit diakses oleh publik. Keempat, masih lemahnya tingkat koordinasi di antara alat kelengkapan DPR dalam penyusunan dan pembahasan suatu RUU. Problem-problem itu kemudian menumbuhkan kesan bahwa pembentukan hukum kurang dipersiapkan dengan baik, sehingga banyak undang-undang yang tidak memenuhi asas-asas pembentukan undang atau tidak layak sebagai undang-undang. Akibatnya, banyak undang-undang yang bukannya mengatasi masalah, tetapi justru menimbulkan problem baru di lapangan. Entah karena tidak dapat diimplementasikan atau tumpang tindih22.

Antonius Sudirman, mengemukakan tidak dapat disangkal bahwa tidak ada undang-undang yang sempurna atau lengkap. Pasti saja ada kekurangan atau kelemahannya. Secara umum dapat dikemukakan bahwa ada dua kelemahan pokok yang potensial terdapat dalam perundang-undangan. Pertama, dari segi perumusannya terkadang kurang lengkap, jelas dan konkret. Kedua, dari aspek muatan materinya terkadang tidak relevan (lagi) dengan realitas sosial23. Pendapat yang sama dikemukakan Van Apeldorn, sesuai dengan keyakinan umum bahwa undang-undang tidak pernah lengkap,

21 Ibid., hlm., 10.

22 Moh. Mahfud. MD, Mengawal Arah Politik Hukum dari Prolegnas Sampai Judicial Review, Makalah pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, di Hotel Sunan, Solo, Sabtu, 20 Februari 2010.

23 Antonius Sudirman, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus HakimBismar Siregar, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 57.


(31)

commit to user

jelas dan tuntas mengatur kehidupan masyarakat24. Menurut Ch. J. Enschede, bahwa undang-undang bukan merupakan endapan sistem nilai yang koheren. Seluruh perundang-undangan tidak pernah merupakan satu keseluruhan. Undang-undang berasal dari kurun waktu kebudayaan yang berbeda dan merupakan endapan pendapat, perbedaan, dan kompromi politik yang acapkali berhubungan jauh dengan problematis kini dan nanti. Materi yang sama dalam kurun waktu setengah abad atau satu abad tunduk pada peraturan yang bertumpu atas titik tolak yang berlawanan secara diametral25

Eksistensi PTUN dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara hanya sebatas melakukan pengujian terhadap KTUN yang disengketakan para pihak dari segi hukumnya saja

(rechtsmatigheid). Sehubungan dengan hal tersebut, Y.Sri Pudyatmoko dan

W. Riawan Tjandra, mengemukakan sebagai ciri utama Pengadilan Administrasi Negara (juga disebut PTUN) salah satunya adalah wewenang hakim administrasi terbatas hanya penilaian dan pertimbangan (jugdment,

beoordelling) tentang yuridiktas (rechtsmatigheid, kesesuaian dengan hukum)

dari tindak hukum administrasi negara yang ditentang26. Pengujian dari segi hukum dilakukan dengan menilai apakah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (in strijd met de wet) dan asas-asas umum pemerintahan yang baik27.

Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika :

a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal

b. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial

24 J.L.J. Van Apeldorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta , Pradnya Paramita, hlm., 112. 25

W. Van Geven, 1990, Kebijaksanaan Hakim, Terjemahan Hartini Tranggono, Jakarta : Airlangga, hlm., 108.

26 Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Op. cit., hlm., 21.

27 Lihat Pasal 53 ayat (2) huruf a, b, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN.


(32)

commit to user

c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang28.

Keputusan Tata Usaha Negara (disebut KTUN) yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan (bevoegdheidgebreken) yang meliputi :

a. Onbevoegdheid ratione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada

dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang mengeluarkannya

b. Onbevoegdheid ratione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan

atau Pejabat TUN tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya (geografis)

c. Onbevoegdheid ratione temporis, yaitu Badan atau Pejabat TUN belum

berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan KTUN, misalnya karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru.

Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, di samping bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Tugas hakim PTUN adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, terutama dalam pengujian terhadap KTUN atau

28


(33)

commit to user

ketatapan (beschikking) yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tidak. Pengujian yang dilakukan oleh hakim PTUN adalah sebatas penerapan hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sengketa tata usaha negara. Kewenangan hakim PTUN hanya sebatas menguji keabsahan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dari segi penerapan hukum saja (rechtmatigheid). Jazim hamidi, mengemukakan bahwa urgensi keberadaan Asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak (disebut AAUPPL), di samping

sebagai ”pedoman” bagi administrasi negara dalam menjalankan service

public, ia merupakan ”alat uji” yang dapat digunakan oleh hakim administrasi

negara29. W. Riawan Tjandra, mengemukakan, penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 sebelum direvisi menyebutkan pengadilan dalam menguji dari segi hukum KTUN (beschikking, administrative act) yang menjadi obyek sengketa (kompetensi absolut PTUN) akan melakukan :

a. Melihat fakta yang relevan yang telah dikumpulkan

b. Mencocokkannya dengan rumusan dalam peraturan dasarnya

Penjelasan tersebut mempersempit dasar pengujian KTUN yang terkesan hanya dapat mempergunakan dasar pengujian berdasarkan norma hukum tertulis. Hal itu disebabkan istilah hukum dipersempit menjadi rumusan dalam peraturan dasarnya yang konotasinya hanya menyangkut norma hukum tertulis. Hal itu menimbulkan kesan bahwa pengujian hakim berdasarkan AAUPB tidak diberikan ruang gerak yang memadai karena adanya penyempitan makna hukum dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU No 5 Tahun 1986 sebelum revisi30. Berkaitan dengan hal tersebut, Muchsan, mengemukakan sekarang ini AAUPB (ABBB) telah ditempatkan sebagai norma hukum dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, sehingga hal itu justru membatasi hakim. Seharusnya, AAUPB tetap sebagai etika, tidak perlu

29 Jazim Hamidi, 1999, Penerapan Asas-asas Umum Penyelengaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi Negara, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 11 30


(34)

commit to user

dimasukkan dalam undang-undang, sehingga bisa menjadi ruang diskresi bagi hakim dalam menguji KTUN31. W.Riawan Tjandra, sependapat dengan Muchsan, yaitu AAUPB lebih baik tetap tumbuh dan berkembang dalam bentuk norma hukum tak tertulis sebagai code of ethics dari Badan atau Pejabat TUN. Hal itu akan memberikan ruang leluasa bagi hakim dan praktek PTUN untuk menggali dan menemukan AAUPB yang lebih sesuai dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Di samping itu, melalui putusannya hakim dapat memberikan AAUPB sebagai norma hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara yurisprudensial32.Muchsan sehubungan dengan eksistensi AAUPB dalam sistem pengujian terhadap KTUN, mengemukakan mengenai perlunya mengacu pada AAUPB yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, tidak harus sepenuhnya mengacu pada AAUPB yang bersumber dari budaya bangsa lain. Contoh asas menghormati pandangan hidup di Belanda, yaitu samen leven dihormati sebagai bagian dari pandangan hidup, padahal tidak dapat diterapkan untuk budaya bangsa Indonesia33

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Undang-undang sebagai landasan untuk bertindak dari pemerintah masih banyak menimbulkan problematik. Sehubungan dengan hal tersebut E. Utrecht, pernah mengemukakan, Indonesia sampai sekarang masih banyak ditemukan praktik Badan atau Pejabat TUN mengesampingkan (opzij zetten) peraturan perundang-undangan berasal dari jaman kolonial tidak sesuai dengan keadaan sosial sekarang34. Pengesampingan peraturan perundang-undangan pada masa yang akan datang pasti masih akan berlanjut, mengingat Mahkamah Agung Republik Indonesia telah membuka peluang untuk melakukan pengujian

(toetsingrecht) terhadap KTUN yang disengketakan35.Pendapat Marshall,

31 Muchsan, dalam W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 142. 32

W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 142.

33 Muchsan, dalam W.Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 146.

34 E. Utrecht, 1957, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta : Balai Buku Indonesia, hlm., 47.

35


(35)

commit to user

sehubungan pengujian hakim, sebagaimana dikutip Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, mengemukakan :

”it is one of the porpuses of written constitution to define end limit the

powers of legislature. The legeslature can not be permitted to pass statutes contrary to constitution, if the later is to prevail as superior law. A court avoid choosing betwwen the constitution and a conflicting statute when both are relevant to a case which the court is ask to decide. Since the constitution is paramount law, judges have to

choice but to prefer it to refuse to give effect to teh later”

Menurut Marshall, hakim dapat menguji peraturan perundang-undangan yang ada dan menyatakan bahwa undang-undang negara bagian sebagai undang-undang yang tidak sah dan bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat. Hal itu dilakukan demi tegaknya hukum dan keadilan dalam menangani kasus konkret yang dihadapi hakim36.

Pengujian yang dilakukan oleh hakim PTUN terhadap keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN dan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Pengujian hakim PTUN yang didasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, Indroharto mengemukakan, berkaitan dengan pengajuan gugatan dalam Pasa 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebelum direvisi, bahwa rumusan Pasal 53 tersebut lebih luas daripada rumusan dasar gugatan dalam artikel 8 Wet AROB. Hal tersebut, karena kesulitan untuk menentukan kedudukan hukum dari asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) atau yang dikenal dalam bahasa Belanda sebagai Algemene beginselen van behoorlijke

bestuur atau dalam bahasa Inggris The Principles of good administration,

Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut pada akhirnya direvisi melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.

36 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Yogyakarta : UII Press, hlm., 110.


(36)

commit to user

Sehubungan dengan kedudukan hukum dari AAUPB dalam sistem hukum acara PTUN sebelum dilakukan amandemen atas Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Indroharto menyatakan bahwa AAUPB harus dianggap secara diam-diam telah terkandung pada Pasal 53 ayat (2) huruf a dengan nama KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Praktik PTUN selama ini menunjukkan bahwa beberapa macam AAUPB yang merupakan asas-asas hukum tak tertulis yang bersumber dari doktrin ilmu hukum administrasi negara tersebut telah diberikan kedudukan hukum melalui yurisprudensi, antara lain asas persamaan, asas kepastian hukum dan asas fair play37.

Selanjutnya W. Riawan Tjandra mengemukakan, Pasa 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 telah menempatkan AAUPB secara yuridis normatif sebagai dasar gugatan di PTUN. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan jenis-jenis AAUPB yang dapat digunakan sebagai dasar gugatan di PTUN yang menunjuk pada asas-asas umum penyelenggaraan negara (AAUPN) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Penempatan AAUPB sebagai landasan normatif pengajuan gugatan di PTUN tersebut, bisa dinilai sebagai suatu upaya untuk mengubah asas-asas yang semula tak tertulis menjadi norma hukum positif yang bersifat tertulis. AAUPB yang dikenal dalam ilmu hukum administrasi negara sebenarnya menjadi pedoman bagi penggunaan wewenang jabatan termasuk diskresi Badan atau Pejabat TUN, sehingga sifatnya tak tertulis dan selalu berkembang secara dinamis. Kebebasan hakim dalam menguji keabsahan KTUN tidak perlu dibatasi oleh rincian secara ketat jenis-jenis AAUPB, sehingga hakim dapat melakukan penemuan hukum untuk mengembangkan norma-norma hukum pengawasan bagi Badan atau Pejabat TUN dalam menggunakan wewenang tata usaha negaranya38.

37 Indroharto, dalam W. Riawan Tjandra, Op.cit., hlm., 7-8. 38


(37)

commit to user

Asas-asas umum pemerintahan yang baik yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut pada awalnya ditujukan untuk para penyelenggaran negara secara keseluruhan, berbeda dengan asas-asas dalam AAUPL yang sejak semula hanya ditujukan pada pemerintah

dalam arti sempit, sesuai dengan istilah ”bestuur” pada algemeen beginselen

van behoorlijke bestuur , bukan regering atau overheid, yang mengandung

arti pemerintah dalam arti luas. Seiring dengan perjalanan waktu, asas-asas dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam proses peradilan di PTUN, yaitu setelah adanya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN39. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, mengatur asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan dimasukkannya sebagian unsur-unsur asas-asas umum pemerintahan yang layak menjadi kaidah normatif. Selanjutnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, juga mereduksi asas-asas umum pemerintahan yang layak sebagai dasar pengujian KTUN40.

Penegasan pengaturan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagai dasar pengujian bagi hakim PTUN terhadap keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, berarti memberikan batas ruang gerak bagi hakim PTUN, karena AAUPB sudah merupakan suatu norma yang harus dipatuhi oleh hakim. Pengujian oleh hakim hanya sebatas yang telah ditentukan dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2). Keadaan tersebut menimbulkan kontradiksi dalam kaitannya dengan tugas hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, serta hakim dilarang untuk menolak perkara yang diajukan para pihak dengan dalih hukum kurang atau tidak jelas, melainkan hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, seperti diamanatkan dalam undang

39 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 255. 40


(1)

commit to user

hambatan yang harus dilalui, banyak kritik yang diajukan kepada ajaran positivisme hukum, seperti aliran sociological jurisprudence, realisme,

critical legal studies, sehingga ajaran positivisme hukum semakin hari

semakin terpojok, terjepit, terpinggirkan di makan jaman. Teori hukum tidak terlepas dari lingkungan jaman di mana teori tersebut lahir karena dia harus menjawab permasalahan hukum yang dihadapi atau mempermasalahkan suatu pendapat/pikiran tentang hukum yang dominan pada saat itu. Hukum terikat pada waktu, tempat dan kultur jika ingin memenuhi funginya. Hukum merupakan ungkapan dari suatu pola kultur tertentu, gambaran manusia dan masyarakat tertentu.

Dalam perkembangannya beberapa aliran yang berhubungan dengan penerapan undang-undang oleh hakim banyak bermunculan, seperti aliran begriffsjurisprudenz, interessenjurisprudenz

(freirechtsschule), penemuan hukum heteronom dan otonom. Beberapa

aliran tersebut sebagian besar membolehkan hakim untuk melakukan penafsiran atau interpretasi dan konstruksi hukum, hermeneutika hukum, karena undang-undang dipandang tidak sempurna, kurang atau tidak jelas, sehingga undang-undang tersebut tidak dapat diterapakan pada peristiwanya. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut aktif, kreatif dan mempunyai wawasan ke depan (visioner), dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan tidak hanya mendasarkan pada undang-undang, tetapi juga dengan hati-nurani, empati dan perasaan, hakim diharapkan berani melalukan rule breaking atau terobosan tidak hanya rule making. Hakim dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya menggunakan cara-cara tradisional dengan menerapkan undang-undang tanpa adanya peran emosi, hati-nurani dan pemikiran yang kreatif, karena mereka merasa terikat oleh kediktatoran legislatif yang sifatnya kaku dan mematikan kreativitas hakim.

2. Cara berhukum hakim PTUN dalam menyelesaikan sengketa atau pengujian terhadap keabsahan beschikking dengan telah keluar dari undang-undang merupakan titik terang tidak semua hakim terbelenggu


(2)

commit to user

atau hanya berkutat pada undang-undang dalam bentuk tertulis, mereka lebih mengedepankan keadilan substansial sebagaimana yang diharapkan dalam masyarakat. Mereka telah menjalankan amanat dalam undang-undang kekuasaan kehakiman untuk menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, mereka telah melihat atau menengok pada realitas dalam masyarakat, berpikir secara holistik. Cara-cara berhukum yang demikian tidak hanya menggunakan cara berpikir yang mengandalkan logika, tetapi juga menggunakan hati-nurani, perasaan, dan empati. Keberanian hakim untuk melakukan penafsiran, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum yang mempunyai pandangan jauh ke depan, perlu mendapat dukungan moral, motivasi dalam segala bidang, agar mereka mampu mengembangkan kemampuan dan kualitas keprofesionalnya yang ada padanya, sehingga mampu menghadirkan tidak hanya kepastian hukum, tetapi juga nilai keadilan yang bersifat substansial dan hal tersebut sangat bermanfaat

dalam masyarakat.

Keberanian hakim untuk bergerak keluar dari belenggu undang-undang tidak boleh dipukul dan akhirnya mati oleh teman seprofesinya juga atasanya, karena putusan yang dijatuhkan dibatalkan. Kemunculan segelintir hakim dalam kemelut mendung atau kabut hitam hukum, merupakan bintang yang menyinarkan cahanya dan dapat memberikan penerangan atau pencerahan dalam dunia hukum. Mereka lebih berani menengok kepada kearifan lokal, realita dalam masyarakat dan akhirnya muncul hakim yang lurus atau idealis mempunyai kewajiban menggali

living law. Hakim dalam menyelesaikan sengketa hendaknya bertanya

lebih dahulu kepada hatinya, dan ikut merasakan dalam peristiwa yang diderita para pihak. Kreasi hakim bisa melewati dari pikiran-pikiran yang telah dibakukan oleh kekuasaan legislatif, namun hakikatnya mendekati pemikiran ideal yang umumnya diterima oleh akal sehat, perasaan dan hati-nurani.


(3)

commit to user

3. Dalam perkembangan masyarakat yang begitu kompleks, dibutuhkan hakim yang kreatif, mempunyai kualitas dan kemampuan yang tinggi, berwawasan jauh ke depan, memiliki hati-nurani dalam memutus dan menyelesaikan sengketa, keberanian untuk menafsirkan atau menginterpretasi undang-undang, melakukan terobosan dan keluar dari undang-undang. Hakim dalam pengujian sengketa tata usaha negara berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi undang-undang tersebut perlu dipahami, diperhatikan keberadaannya benar-benar tumbuh dari kehidupan masyarakatnya, mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat yang semakin kompleks. Hakim diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat secara tuntas, memberi solusi yang baik dan tidak menimbulkan permasalahan yang baru.

C. Saran

1. Dasar filosofis keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah untuk memberikan keadilan kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, hakim PTUN sebagai salah satu unsur penegak hukum dan keadilan, wajib melaksanakan hukum sesuai dengan harapan masyarakat. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakan untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat. Hukum harus diartikan dan dipahami bukan dalam bentuknya yang tertulis semata sebagai produk legislatif. Hukum harus diartikan dan dipahami dalam makna yang lebih luas dalam bentuknya yang tidak tertulis sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), yang tumbuh dan berkembang sebagai cermin kehidupan masyarakat, sebagai hukum yang baik dan diidealkan dan tidak boleh dipaksakan berlakunya.

Sehubungan dengan hal tersebut, hakim di dalam tugasnya untuk menerapkan undang-undang mempunyai kewajiban lebih mengedepankan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat atau yang sering disebut dengan keadilan substansial. Hakim dalam menerapkan


(4)

undang-commit to user

undang tidak hanya mengeja atau membunyikan undang-undang, atau cenderung mengandalkan kepada aturan hukum normatif dan mengolahnya dengan logika, tetapi hakim harus berani keluar dari undang-undang. Hakim harus lebih teliti, hati-hati dalam mencermati keberadaan undang-undang tersebut, yaitu kevalidan dari undang-undang dan apakah undang-undang telah mencerminkan kehidupan masyarakat. Undang-undang yang dibuat oleh legislatif, eksistensinya sangat dipengaruhi oleh banyak variabel yang berkepentingan.

Hukum dan masyarakat merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat tempat berlindung manusia selalu berubah dan berkembang, demikian hukum yang diperuntukan manusia juga harus mengikuti perkembangan tersebut dan tidak boleh tertinggal di belakang. Berkaitan dengan hal tersebut, cara-cara berhukum harus mengikuti perubahan dan perkembangan, yaitu hakim harus berani meninggalkan tradisi-tradisi lama dalam berhukum yang hanya mengandalkan atau menerapkan undang-undang dengan menggunakan metode atau penalaran deduktif. Hakim harus berani tampil dengan kacamata atau bangunan pemikiran yang baru, mampu membangun konstruksi baru, melakukan pergerakan pemikiran yang dapat menumbuhkan dan memberikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengadilan atau hakim.

2. Dalam hal undang-undang tidak atau kurang jelas, ketinggalan jaman atau usang dan ada kemungkinan suatu peristiwa belum diatur dalam undang-undang, hakim diharapkan dapat melakukan penafsiran atau interpretasi hukum, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum, agar peraturan perundang-undangan yang sifatnya abstrak dapat diterapkan kepada peristiwanya, hakim berani berjihad untuk mengeluarkan makna atau kekuatan hukum yang terkandung di dalam undang-undang. Suatu aturan yang berlakunya dipaksakan kepada warga masyarakat dan tidak mencerminkan kearifan lokal dalam masyarakat, maka aturan undang-undang tesebut tidak akan dapat berlaku secara efektif. Pentingnya atau urgennya penemuan hukum oleh hakim melalui metode interpretasi,


(5)

commit to user

konstruksi dan hermeneutika hukum, dengan melihat realitas dalam masyarakat, berarti terdapat upaya hakim untuk mengangkat atau menghidupkan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.

Hakim sebagai aktor dalam proses di pengadilan, mempunyai peranan yang begitu besar dan kedudukan yang sangat penting. Hakim dalam persidangan mempunyai banyak alternatif pilihan dan karena kemampunya tersebut dapat melakukan pilihan-pilihan yang tepat dan baik. Dalam menjatuhkan putusan, dasar pertimbangan undang-undang tidak dapat ditinggalkan, namun hakim tidak boleh terbelenggu atau terikat atau terjebak sedemikian rupa oleh keangkuhan dominasi positivisme hukum yang berpengaruh sangat kuat dalam berhukum. Di samping undang-undang, hakim dalam menjatuhkan putusan juga dapat mendasarkan kepada hati-nurani, perasaan dan empati, dan melihat realitas, sehingga putusan yang dijatuhkan sesuai dengan harapan masyarakat tentang keadilan substansial. Hakim harus berani melakukan pergesesan, memperbaiki, memperluas, pemikiran berhukum dari sekedar memutus sengketa menjadi menyelesaikan sengketa sampai ke akar-akarnya, untuk dapat mewujudkan dasar filosofis dibentuknya peradilan tata usaha negara, yaitu memberikan keadilan kepada masyarakat.

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan diharapkan mampu melakukan pergerakan pemikiran dari mulai normatif positivisme untuk menuju ke pemikiran yang sosiologis, melihat realita masyarakat, mampu menggali, memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Keberanian untuk keluar dari keterikatan undang-undang harus mendapat motivasi dan dukungan dari hakim lainnya dan terutama dari pengadilan yang di atasnya, tidak dimatikan kreatifnya dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan tujuan hukum dalam masyarakat. Pemerintah lebih meningkatkan kualitas dan kemampuan hakim melalui pendidikan dan pelatihan yang lebih intensif.

3. Hakim harus berani membangun konstruksi penemuan hukum dengan melakukan dekontruksi pemikiran hakim yang dipengaruhi oleh ajaran


(6)

commit to user

legisme dengan melihat hukum sebagai kenyataan di dalam masyarakat. Melakukan pergerakan pemikiran, yaitu memperbaiki, menggeser, merubah dan memperluas pemikiran dalam berhukum dengan keluar dan berijtihad dari belenggu undang-undang. Pertimbangan hukum sebagai wadah argumnentasi penalaran hukum dalam memutus dan menyelesaikan sengketa tidak hanya didasarkan pada undang-undang, tetapi harus menggunakan hati-nurani, perasaan, empati, hakim aktif, kreatif dengan lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan (sosial) dalam masyarakat. Berdasarkan kemampuan dan keahliannya dalam proses di pengadilan, hakim sebagai aktor utama dapat mempertimbangkan berbagai alternatif pilihan yang tersedia untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dalam masyarakat. Hakim dalam menerapkan undang-undang mempunyai kebebasan, maka tidak boleh terpengaruh oleh kekuatan eksekutif dan legislatif.