Hakim dan Penafsiran Undang-undang

commit to user 289

BAB V PEMIKIRAN HAKIM DALAM MENGHADAPI SENGKATA YANG

BELUM DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG ATAU TELAH DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG, NAMUN KURANG ATAU TIDAK JELAS MENGATURNYA.

A. Hakim dan Penafsiran Undang-undang

Secara ideal hukum seharusnya dapat menampung semua kepentingan seluruh anggota masyarakat, namun dalam kenyataannya tidak semua kepentingan warga masyarakat tersebut dapat tertampung secara sistematis dalam wadah bentuknya undang-undang yang tertulis. Perkembangan ilmu dan teknologi, tarnsformasi dan komunikasi merupakan pengaruh yang besar, hukum tidak akomodatif untuk mewadahi permasalahan dalam masyarakat. Soetandyo Wignjosoebroto, mengemukakan, di dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum undang-undang tak dapat berfungsi efektif untuk menata kehidupan. Dikesan bahwa hukum bahkan selalu tertinggal dibelakang segala perubahan dan perkembangan itu. Tanpa ayal lagi, berbagai cabang ilmu sosial khsusnya sosiologi yang akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji dan meneliti ihwal perubahan sos ial “dipanggil” untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah pokok dan perubahan sosial yang amat relevan dengan permasalahan hidup hukum 363 . Sehubungan dengan hal tersebut, Satjipto Rahadjo mengemukakan, globalisasi telah menimbulkan dampak diberbagai bidang, ada kecenderungan munculnya negara tanpa batas the ends of nation state . Kondisi semacam ini tidak dapat dibiarkan berjalan tanpa norma dan rule of law. Globalisasi menuntut perubahan ilegal sistem, karena melibatkan segala aspek kehidupan, berupa ekonomi, politik, sosial-budaya, termasuk di 363 Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH., Bandung : Refika Aditama, hlm., 57. commit to user 290 dalamnya aspek kejahatan 364 Endang Sutrisno mengemukakan, perkembangan masyarakat yang semakin intensif seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan terjadinya pergeseran dalam nilai-nilai keberlakuan di masyarakat. Dibutuhkan pemahaman baru manakala dihadapkan pada kondisi yang sedang mengalami pergeseran tatanan nilai. Selanjutnya dikatakan, perkembangan dalam masyarakat akibat globalisasi telah mempengaruhi perkembangan dalam tatanan hukum nasional bangsa-bangsa. Pada akhirna norma hukum yang ada harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan- perubahan yang terjadi, bukan berarti harus menanggalkan nilai-nlai yang dianutnya. Hukum tetap harus mampu memadukan implikasi yang timbul akibat dari arus globalisasi dengan nilai dasar yang dikandung dalam Pancasila 365 . Hukum tidak dapat dilepas dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada di belakang hukum. Hukum itu sendiri tidak bisa dielakkan selalu berkembang, namun perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kepada arah-arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya, juga membawa perubahan setelah bersenyawa dengan bertarung dengan berbagai kepentngan yang berada di belakang hukum itu sendiri. Hukum berseerat dengan masyarakat, masyarakat berubah, hukum juga harus berubah, jika masyarakat Indonesia sudah merdeka dari bangsa jajahan, maka hukumnya juga harus berjalan dengan perubahan itu 366 . Kajian hukum dalam bentuk undang-undang sebagai produk dari para legislatif, memang undang-undang tidak selalu jelas, dan jelas dalam mengatur kepentingan warga masyarakat yang semakin maju dan berkembang, karena sifatnya yang abstrak atau diberlakukan untuk umum, bahkan kadang-kadang undang-undang ketinggalan jaman atau usang. 364 Satjipto Rahardjo, dalam Endang Sutrisno, 2007, Bunga Rampai Hukum Globalisasi, Yogyakarta : Genta Press, hlm., 90. 365 Endang Sutrisno, Ibid., hlm., 91 366 Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 3-4. commit to user 291 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengemukakan, undang-undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas, meskipun tidak lengkap dan tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan. Dalam hal terjadi pelanggaran undang-undang, hakim harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat menangguhkan pelaksanaan atau penegakkan undang-undang yang telah dilanggar. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan, karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas atau dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang 367 . Selajutnya dikemukakan, undang- undang tidak mungkin lengkap. Undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktik hukum dan hakim 368 . Dengan diadakannya kodifikasi di Jerman pada tahun 1900 timbulah pendapat bahwa tidak terdapat kekosongan-kekosongan atau kekurangan-kekurangan dalam undang-undang, tetapi kemudian timbul pendapat bahwa undang-undang itu tidak sempurna, banyak kekurangan-kekurangannya yang harus dilengkapi atau diisi oleh hakim. Dengan makin melepaskan diri dari sistem timbullah pandangan bahwa putusan-putusan itu tidak begitu saja berasal dari undang-undang maupun dari sistem asas-asas hukum atau pengertian hukum, melainkan ada unsur penilaian memegang peranan freirechtbewegung 369 . Lili Rasyidi 370 , mengemukakan pada hari ini, kerangka hukum di dunia berhadapan dengan masalah-masalah yang lebih rumit seperti penyusunan, kebangkitan kembali, pembangunan, kelahiran dan bentuk potensial dari tata tertib hukum. Situasi dan kondisi hukum yang disebut antara lain hukum itu edan, hukum itu amburadul, hukum itu gonjang-ganjing dan hukum itu kacau 367 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Op., cit., hlm., 3-4 368 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op., cit., hlm., 8 369 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op., cit., hlm., 11 370 Lili Rasyidi, 2009, Kapita, Op., cit., hlm., 1 commit to user 292 balau. Berbagai upaya telah dicoba oleh berbagai pihak untuk mencari jalan keluar dari permasalahan-permasalahan hukum, yaitu : 1. Dengan memperbaiki perundang-undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat tidak aspiratif 2. Dengan membuat undang-undang baru untuk dapat mengganti perundang- undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat tidak aspiratif 3. Dengan melakukan penelitian-penelitian mendalam oleh kalangan ilmuwan dan akademisi terhadap perundang-undangan yang dinilai bermasalah 4. Dengan penemuan hukum rechtsvinding oleh para hakim sebagai penegak hukum. Upaya-upaya yang telah dialkukan dimaksud merupakan hal yang didasari oleh pendekatan aliran atau ilmu hukum positif. Pendekatan aliran hukum positif dalam menyelesaikan permasalahan hukum merupakan suatu kondisi logis terhadap peraturan perundang- undangan yang “bermasalah” sebagai hukum positif. Hukum positif ius constitutum dapat dipahami sebagai kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia 371 . Pada kenyataannya pendekatan aliran hukum positif tidak sepenuhnya menyelesaikan permasalahan. Penyelesaian permasalahan yang berorientasi kepada peraturan perundang-undangan atau hukum positif hanya akan menyentuh gejala permasalahan, namun belum sampai pada akar permasalahannya. Untuk dapat melakukan peneyelesaian permasalahan secara tuntas, maka perlu digunakan pendekatan teoretis. Pendekatan teoretis dimaksudkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apakah kemungkinan permasalahan itu timbul oleh karena mazhab atau teori atau perspektif atau 371 Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia Suatu Kajian Teoritik, Yogyakarta : FH UII Press, hlm., 1 commit to user 293 paradigma yang menjadi landasan teoretis dari suatu perundang-undangan sudah tidak cocok lagi untuk digunakan kadaluwarso 372 . Pemikiran hakim dalam kajian penelitian ini adalah dalam kaitannya dengan tugas hakim, yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang diajukan para pihak di muka sidang. Hakim dalam arti menerima perkara yang kemudian memberikan putusannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Maftuh Effendi 373 , hakim PTUN Semarang, bahwa hakim PTUN dalam memutus sengketa yang dihadapi tidak sekedar membunyikan pasal dari undang-undang, karena kadang-kadang suatu undang-undang tidak secara otomatis dapat mengikuti perubahan perkembangan masyarakat. Di samping sifat kaku dari undang-undang sendiri juga karena undang-undang tersebut dibuat dalam waktu yang lama, sehingga sesuatu hal yang diatur 15 tahun yang lalu akan berbeda dengan keadaan sekarang. Demikian jawaban yang dikemukakan Teguh Satya Bhakti 374 , hakim PTUN Semarang, beliau mengemukakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dilarang menolak untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang diajukan para pihak di muka sidang, dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Hal tersebut didasarkan pada asas ius curia novit, dan ketentuan Pasal 5, Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lebih lanjut dikemukakan, undang-undang kekuasaan kehakiman mengisyaratkan bahwa seorang hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum rechtsvinding dan hasil penemuan hukum tersebut menjadi dasar pertimbangan untuk mengambil putusan 375 . Hakim seharusnya melakukan interpretasi, agar undang-undang yang sifatnya abstrak dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tertentu. Undang-undang yang kurang jelas, kabur, dapat dijelaskan untuk dapat diterapkan. Pandangan 372 Lili Rasyidi, 2009, Op., cit., hlm., 2 373 Wawancara, Senin, 10 Oktober 2011, jam 09.00-12.00 di PTUN Semarang 374 Wawancara, Senin, 10 Oktober 2011, jam 09.00-12.00 di Ptun Semarang 375 Wawancara, Senin, 10 Oktober 2011, jam 09.00-12.00. di PTUN Semarang. commit to user 294 Agus 376 , hakim PTUN Yogyakarata, tidak jauh berbeda dengan hakim PTUN Semarang, apabila menghadapi sengketa TUN yang ternyata hukumnya kurang jelas, kabur, usang, maka beliau dalam memutus dan menyelesaikan sengketa lebih mentikberatkan untuk menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan dengan melakukan penafsiran dan konstruksi hukum. Pendapatnya tersebut dikuatkan oleh temannya Retno dan Reni 377 , bahwa sebagai hakim tidak hanya berpedoman pada ketentuan tertulis dalam undang-undang saja sebagai pedoman untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN yang diperiksanya, karena undang-undang sifatnya kaku dan tidak mengatur segala kepentingan manusia secara sistematis, melainkan juga harus memperhatikan hal-hal di luar undang-undang untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat 378 Berkaitan dengan keberadaan Pasal 27 ayat 1 sebelum diubah dan sekarang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, terutama dalam Pasal 5, Satjipto Rahardjo, berpendapat ketentuan pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pemberian kekuasaan kepada pengadilan untuk menentukan sendiri apa yang menurut pendapatnya layak diterima sebagai hukum di negeri ini Konsekuensi penerimaan terhadap tafsiran yang demikian itu adalah bahwa pengadilan dapat menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dikemukakan bahwa apabila peranan pengadilan yang demikian itu dapat diterima, maka sumbangan lembaga hukum ini terhadap perubahan sosial yang terjadi di negeri ini akan besar sekali. Pendapat ini didasarkan kepada keadaan yang sudah menjadi klasik, yaitu bahwa pembuat undang- undang ditakdirkan untuk tertinggal di belakang, apalagi jika masyarakat 376 Wawancara, Kamis, 13 Oktober 2011, jam 09.00-12.00, di PTUN Yogyakarta 377 Wawancara, Senin, 24 Oktober 2011, jam 09.00-13.00, di PTUN Yogyakarta 378 Wawancara , Kamis, 13 Oktober 2011, dan Senin, 24 Oktober 2011, jam 09.00-12.00, di PTUN Yogyakarta. commit to user 295 yang bersangkutan sedang mengalami perubahan sosial yang besar seperti Indonesia 379 . Kajian mengenai pemikiran hakim, maka menarik untuk dikemukaan pendapat Antonius Sudirman, secara sederhana dapat dikatakan bahwa studi ilmu hukum perilaku behavioral jurisprudence adalah studi yang mempelajari tingkah laku aktual hakim dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipelajari dalam interaksi dan interelasinya antara orang-orang yang terlibat dalam tahap-tahap dalam pengambilan keputusan tersebut satu sama lain. Dengan demikian, pusat perhatian bukan pada hukum tertulis dan putusan hakim yang bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan orang-orang yang terlibat dalam peranan-peranan sosial tertentu dalam pengambilan keputusan hukum 380 . Selanjutnya dikatakan bahwa fokus utama dalam pendekatan ilmu hukum perilaku adalah perilaku hakim dalam proses peradilan, namun mempelajari perilaku hakim tersebut tidak bisa dilepas-pisahkan dari sikap- sikap individual yang melekat pada pribadi hakim, sebab sikap-sikap tersebut sangat menentukan perilaku atau tindakanputusannya. Sehubungan dengan hal tersebut, Glendon Schubert 381 , mengemukakan hakim itu setuju atau tidak setuju terhadap suatu keputusan, bukan karena mereka melakukan penalaran yang sama atau berlainan, melainkan karena mereka mempunyai sikap-sikap yang sama atau berlaian. Schubert, selanjutnya mengemukakan, para hakim berbeda-beda dalam sikap-sikapnya oleh karena masing-masing pada akhirnya memiliki beberapa hal untuk dipercayainya dan menolak yang lain sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Apa yang dipercaya oleh seorang hakim tergantung dari afiliasi-afiliasi politik, agama dan etnisnya, baik formal maupun bukan, kariernya di bidang hukum sebelum menjadi hakim. Afiliasi- afiliasi yang berhubungan dengan perkawinan, status sosial ekonomi, pendidikan dan kariernya, pada gilirannya untuk bagian terbesar dipengaruhi 379 Satjipto Rahardjo, 1983, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoretis srta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Bandung : Alumni, hlm., 184 380 Antonius Sudirman, Op., cit., hlm., 32 381 Antonius Sudirman, dalam Satjipto Rahardjo,2006, Hukum dalam..., Op., cit., hlm., 157 commit to user 296 oleh tempat ia dilahirkan, dari orang tua siapa dan kapan. Dalam menerima pengaruh atau rangsangan dari luar, baik dari lingkungan sosial maupun budaya, hakim tidak akan bertindak sebagai robot, dalam arti tindakan yang diambil semata-mata sebagai tindakan atas rangsangan atau stimulus sosial, tetapi tindakan tersebut dilakukan sebagai hasil dari proses interpretasi terhadap stimulus sosial tersebut. Blumer 382 , salah seorang tokoh aliran interaksionisme simbolik mengemukakan bahwa tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka manafsirkan hal tersebut. Hal yang dipertimbangkan mencakup berbagai masalah, seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain. Menurut Mead 383 , manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya. Sebelum melakukan tindakan yang sebenarnya, seseorang mencobakan terlebih dahulu berbagai alternatif tindakan itu secara mental melalui pertimbangan pemikirannya. Karena itu sebenarnya dalam proses tindakan manusia itu terdapat suatu proses mental yang tertutup yang mendahului proses tindakan yang sebenarnya dalam bentuk tingkahlaku yang sebenarnya atau yang kelihatan. Berpikir menurut Mead adalah suatu proses di mana individu berinteraksi dengan dirinya dengan mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri itu, individu memilih yang mana di antara stimulus yang tertuju kepadanya itu yang akan ditangapinya. Individu dengan demikian tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus mana yang akan ditanggapinya. Sesudah stimulus dipilih, individu mencobakan berbagai tanggapan dalam pikiran sebelum tanggapan yang sesungguhnya diberikan. Jadi aktor melihat ke depan dan memastikan akibat 382 Blumer, dalam Margaret M. Poloma, 1994, Sosiologi Kontemporer, terjemahan Tim Penerjemah Yosogama, Jakarta : Grafindo Persada, hlm., 268. 383 George Ritzer, Sociology : A Multiple Paradigma Science, penerjemah, Alimandan, 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : Raja Grafindo, hlm., 67-68 commit to user 297 atau hasil dari berbagai tindakan yang dipilihnya itu. Tindakan itu merupakan hasil dari proses interprestasi terhadap stimulus. Jadi merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu, meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, bahwa dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya 384 . Kajian tentang tindakan hakim dalam pengambilan putusan terhadap sengketa yang diajukan di muka sidang, maka teori yang dapat menjelaskan adalah teori aksi yang dikembangkan Talcott Parsons 385 , sebagai pengikut Weber 386 yang utama, aktor mengejar tujuan dalam situasi di mana norma- norma mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan alat untuk mencapai tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih. Kemampuan inilah yang disebut Parsons sebagai voluntarism. Singkatnya voluntarisme adalah kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya. Aktor menurut konsep voluntaris adalah pelaku aktif dan kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif tindakan. Walaupun aktor tidak mempunyai kebebasan total, namun ia mempunyai kemauan bebas dalam memilih berbagai alternatif tindakan. Berbagai tujuan yang hendak dicapai, kondisi dan norma serta situasi penting lainnya, kesemuanya membatasi kebebasan aktor, tetapi di sebelah itu aktor adalah manusia yang aktif, kreatif dan evaluatif. 384 Alimandan, Ibid., hlm., 69 385 Alimandan, Ibid., hlm., 57 386 Alimandan, Ibid.,hlm., 52, teori ini sepenuhnya mengikuti karya Weber. Teori aksi dewasa ini tidak banyak mengalami perkembangan melebihi apa yang sudah dicapai tokoh utamanya Weber. Malahan teori ini sebenarnya telah mengalami semacam jalan buntu. Arti pentingnya justru terletak pada peranannya dalam mengembangkan kedua teori berikutnya, yaitu symbolic interactionsm dan phenomenology. commit to user 298 Teori yang lebih khusus dalam menjelaskan perilaku hukum dikemukakan Donald Black. Menurut Donald Black, dari sudut pandang sosiologis, hukum bukanlah apa yang oleh para pakar hukum dipandang sebagai aturan-aturan yang mengikat dan wajib dilaksanakan, tetapi sebagai contohnya lebih merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dapat diamati dari perilaku hakim, polisi, pengacara, jaksa penuntut umum atau pejabat administratif. Dari sudut pandang seperti ini, hukum seperti fenomema perilaku lainnya, dapat menerima metode ilmiah seperti aspek realitas lain. Tidak ada aturan intelektual yang khusus, yang dibutuhkan untuk studi hukum tersebut. Pada waktu yang bersamaan, justru ilmu sosial tentang hukum yang terkait pada positivisme, yaitu teori ilmu yang konvensional, tidak dapat terlepas dari batasan-batasan yang melekat pada pemikiran ilmiah itu sendiri 387 . Satjipto Rahardjo 388 , dalam kolomnya hukum perilaku hukum dan keluarga, Suara Karya, Senin 12 September 1994, mengemukakan untuk meyakinkan tentang betapa mendasarnya peranan perilaku hukum, barangkali kita bisa melacak ke belakang sampai kepada asal-usul perkembangan hukum. Di sini kita lihat, bahwa hukum tidak mulai dengan perundang- undangan atau lain bentuk peraturan, melainkan perilaku. Dikatakan, hukum muncul dari interaksi antar anggota masyarakat sendiri. Hukum tidak ditentukan dari atas seperti model sekarang. Kaidah- kaidah muncul dan dibentuk oleh interaksi antara sesama anggota masyarakat sendiri. Barang tentu kita perlu segera menambahkan bahwa model yang demikian itu, dapat berjalan oleh karena wilayah atau ruang lingkup yang masih kecil dan jumlah penduduknya yang sedikit pula. Di samping itu perlu ditambahkan, bahwa persoalan-persoalan yang timbul juga masih sangat sederhana, sehingga pengaturan yang terperinci dan sistematis belum diperlukan. Berkaitan dengan hal tersebut Eugen Ehrlich, dalam karyanya Fundamental Principles of the Sociology of Law , 1912, mengemukakan At 387 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori, Op., cit., hlm., 152 388 Satjipto Rahardjo, dalam Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 161 commit to user 299 the present as well as at any other time, the centre of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself. Baik dewasa ini, maupun kapan saja, pusat perkembangan hukum, tidak terletak pada perundang-undangan, juga tidak terletak pada ilmu hukum, dan juga tidak pada putusan pengadilan, melainkan terletak di dalam masyarakat sendiri 389 . Dalam kaitannya dengan pengkajian perilaku hukum, Achmad Ali mengutip pendapat Lawrence M. Friedman 390 , dalam bukunya yang berjudul : American Law An Introduction. Istilah legal behavior perilaku hukum adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Jika saya berperilaku secara khusus atau mengubah perilaku saya secara khusus, karena diperintahkan hukum, atau karena tindakan pemerintah, atau amanat atau perintah dari pemerintah atau dari sistem hukum atau dari pejabat di dalamnya, inilah perilaku hukum. Jika saya berkendaraan disepanjang jalan dan melihat rambu batas kecepatan atau melihat polisi dan memperlambat kendaraan, ini adalah perilaku hukum. Juga termasuk perilaku hukum, meskipun agak lain, yaitu jika saya melihat polisi, kemudian saya memacu mobil dengan kecepatan seratus mil per jam untuk menghindarinya. Dalam hal ini, I am reacting to something,going on in the legal system, saya bereaksi terhadap sesuatu yang sedang terjadi dalam sistem hukum. Kesimpulannya adalah bahwa yang dimaksud perilaku hukum bukan hanya perilaku taat hukum, tetapi semua perilaku yang merupakan reacting to something, going on in legal system reaksi terhadap sesuatu yang sedang terjadi dalam sistem hukum. Reaksi tersebut dapat merupakan reaksi ketaatan terhadap hukum, tetapi juga termasuk reaksi yang bersifat ketidaktaatan terhadap hukum, bahkan termasuk juga reaksi „use‟ menggunakan atau „not use‟ tidak menggunakan suatu aturan hukum. 389 Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 162 390 Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 144. commit to user 300 Dimata Oliver Wendell Holmes 391 , aturan hukum hanya menjadi salah satu faktor yang patut dipe rtimbangkan dalam keputusan yang „berbobot‟. Faktor moral, soal kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial, misalnya menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan „yang berisi‟. Jadi bukan sebuah pantangan, jika demi putusan yang fungsional dan konstektual, aturan resmi terpaksa disingkirkan lebih-lebih jika menggunakan aturan itu justru lebih buruk. Holmes menjadi monumen dari a creative lawyer : in accordance with justice and equity. Dengan kapasitas seperti ini, para hakim memiliki kompetensi merubah undang-undang, apabila hal itu perlu 392 . Mengikuti jejak Holmes, Jerome Frank memiliki pandangan yang sama. Menurut beliau, kebenaran tidak dapat disamakan dengan suatu aturan hukum. Boleh saja aturan mengandaikan putusan-putusan hakim dapat diturunkan secara otomatis sesuai aturan. Boleh saja mengandaikan bahwa isi aturan selalu benar dan baik, sehingga otomatis menjamin kepastian, keamanan dan harmoni dalam hidup bersama, tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi seorang yang berpikiran modern. Boleh jadi, itu hanya ilusi, karena faktanya, seorang hakim dapat mengambil keputusan lain di luar skenario aturan, yang dari sisi keutamaan jauh lebih terpuji dari yang ada dalam aturan. Memang kaidah-kaidah hukum yang berlaku, mempengaruhi putusan seorang hakim, tetapi itu hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan saja. Di samping itu, prasangka politik, ekonomi dan moral ikut pula menentukan putusan hakim, bahkan simpati dan antipati pribadi berperan dalam putusan tersebut 393 . Tugas hakim adalah mulia, namun hal tersebut berat dan tidak mudah untuk mewujudkan, karena terdapat dua pihak yang bersengketa semua menginginkan kemenangan. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan 391 Oliver Wendell Holmes, dalam Surya Prakash Sinha, dikutip oleh Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, hlm., 167 392 Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kanisius, dalam Bernard L. Tanya dkk, hlm., 167 393 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Op., cit., hlm., 168 commit to user 301 dituntut untuk dapat memenuhi semua keinginan pihak-pihak yang bersengketa, jika suatu peristiwa tersebut telah diatur secara tegas, jelas, kiranya tidak menjadi beban bagi hakim atau paling tidak dapat mengurangi beban bagi hakim, walaupun tidak seluruhnya benar. Abdullah 394 mengemukakan, Putusan pengadilan merupakan mahkota hakim dan inti mahkota terletak pada pertimbangan hukumnya. Esensi pertimbangan hukum atau konsideran putusan merupakan bagian paling penting dalam putusan, karena merupakan pertanggungjawaban hakim terhadap putusannya. Dalam pertimbangan hukum memuat hukum penalaran dan penalaran hukum. Berbagai konstruksi dan penafsiran hukum digunakan sebagai dasar argumentasi dalam menilai dan menguji alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Aturan dalil-dalil atau dasar hukum dilakukan uji verifikasi dengan fakta hukum yang terungkap dipersidangan, dengan menerapkan teori kebenaran dan keadilan. Dalam menjalankan tugasnya, yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa atau peristiwa yang diajukan para pihak di muka sidang, di samping harus berpedoman kepada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, hakim diperbolehkan untuk menerobos ketentuan tersebut, sebagaimana diamanatkan dalam Undang- undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim diperbolehkan untuk menemukan hukum. Berkaitan dengan penemuan hukum, Muchsin 395 mengemukakan beberapa aliran yang berkaitan dengan penemuan hukum, yaitu : 1. Aliran ideenjurisprudenz legisme, dalam ajaran ini undang-undang dianggap keramat sebagai peraturan yang dikukuhkan oleh Tuhan. Praktik kehakiman dipandang sebagai penerapan undang-undang pada perkara- perkara konkrit secara rasional belaka. Ajaran ini banyak dianut oleh pemikir dari aliran positivis yang mengutamakan undang-undang sebagai tempat satu-satunya bagi hukum. 394 Abdullah, Op., cit., hlm., ix 395 Muchsin, 2010, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka independence judiciary, Surabaya : Untag Press, hlm., 1 commit to user 302 2. Aliran freirechtslehre free law theory , ajaran ini membela kebebasan yang besar bagi hakim, di mana seorang hakim dapat menentukan putusannya dengan tidak terikat pada undang-undang. Suatu undang- undang kehilangan keistemewaannya dalam praktik hukum. Ajaran ini banyak dianut oleh para pemikir aliran sosiologis yang radikal mazhab realisme hukum Amerika yang berpendapat bahwa the decision of the law courts in the centre of the law. Tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, B. Cordoso, Roscoe Pound. 3. Aliran interessanjurisprudenz, ajaran ini merupakan sintesa antara ideenjurisprudenz dengan freirechtslehre. Hakim mencari dan menemukan keadilan dalam batas kaidah-kaidah yang telah ditentukan, dengan menerapkannya secara kreatif pada tiap-tiap perkara konkrit. Teori ini dikualifisikan sebagai penemuan hukum rechtsvinding . Tokoh dalam aliran ini adalah Rudolf Von Jhering. Di samping beberapa aliran penemuan hukum tersebut, maka sebagai perbandingan dikemukakan pendapat Achmad Ali 396 , yaitu : 1. Aliran legisme. Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peistiwa konkrit. Hakim hanyalah subsumptie automaat. Aliran ini sangat mengagung-agungkan undang-undang. Hakim tidak lain hanya sebagai corong undang-undang, dan tidak boleh mengubah teks undang-undang. Hakim tidak boleh berbat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas. Undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur segala persoalan yang ada pada jamanya. Pandangan legisme semakin lama semakin ditinggalkan orang, karena semakin lama semakin disadari bahwa undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas. Sifat undang-undang yang abstrak atau umum itu menimbulkan kesulitan dalam penerapannya secara “incorcreto” oleh para hakim di pengadilan. Tidak mungkin hakim 396 Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Op., cit., hlm., 104-111 commit to user 303 mampu menyelesaikan persengketaan, jika hakim hanya berfungsi sebagai “terompet undang-undang” belaka. Hakim masih harus melakukan kreasi tertentu. Hal tersebut kemudian melahirkan pandangan tentang bolehnya hakim melakukan penemuan hukum melalui putusannya. 2. Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim. Ketika dirasakan betapa aliran legis tidak lagi mampu memecahkan problem-problem hukum yang muncul, maka pemikiran legis ini mulai ditinggalkan. Di saat itu, kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah merupakan sesuatu yang wajar. Menurut Paul Scholten, penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang- kadang, bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtvervijning. Dengan menyitir pendapat Sudikno Mertokusumo, Achmad Ali, mengemukakan penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses doktrinisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkre t. Sementara orang lebih suka menggunakan “pembentukan hukum” daripada “penemuan hukum”, karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada. Selanjutnya Sudikno mengkhususkan pada penemuan hukum oleh hakim : “penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuwan hukum pun mengadakan penemuan hukum, hanya kalau hasil penemuan hukum oleh hakim itu adalah hukum, sedangkan hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum, melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan tersebut bukan hukum, tetapi digunakan istilah penemuan hukum, karena doktrin tersebut kalau diikuti commit to user 304 dan diambil-alih oleh hakim dalam putusannya, menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum, melainkan sumber hukum ”. Penemuan hukum bagaimanpun selalu dilakukan oleh hakim dalam setiap putsannya. Tidak ada teks yang jelas, tidak ada teks yang tanpa sifat ambiguitas. Hal tersebut sudah sifat setiap bahasa. Dengan mengutip pendapat Denning, Achmad Ali mengemukakan : “ It must be remembered that is is not with in human powers to foresee the manifold sets of facts which may arise, and, even, if it were, it is not posible to provide for them in terms free from ambiguity” a. Aliran Begriffsjurisprudenz. Aliran ini mengajarkan bahwa hakim boleh melakukan penemuan hukum. Sekalipun bahwa undang-undang itu tidak lengkap, tetapi undang-undang masih dapat menutupi kekurang-kekurangnya sendiri, karena undang-undang mempunyai daya meluas. Penggunaan hukum logika yang dinamai silogisme menjadi dasar utama aliran begriffsjurisprudenz ini. b. Aliran Interessenjurisprudenz freirechtsschule . Menurut aliran ini, jelas undang-undang tidak lengkap. Undang- undang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum. Dalam arti kata, bukan sekedar penerapan undang-undang oleh hakim, tetapi juga memperluas dan membentuk peraturan dalam putusan hakim. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim boleh menyimpang dari undang- undang demi kemanfaatan masyarakat. c. Aliran Soziologische Rechtsschule. Reaksi terhadap aliran freirechtsschule ini memunculkan aliran soziologische rechtsshule, yang pada pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim berkaitan dengan diberikannya hakim freies ermessen. Aliran ini tidak setuju jika hakim diberi freies ermessen. Namun demikian, aliran ini tetap commit to user 305 mengakui bahwa ha kim tidak hanya sekedar “terompet undang- undang”, melainkan hakim juga harus memperhatikan kenyataan- kenyataan dalam masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat. d. Ajaran Paul Scholten. Hukum merupakan satu sistem, yang berarti semua aturan saling berkaitan, dapat disusun secara mantik, dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga tiba pada asas- asasnya. Namun, tidak berarti hakim hakim hanya bekerja secara mantik semata. Hakim juga harus bekerja atas dasar penilaian, di mana hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru. Sistem hukum itu logis, tidak tertutup, disebut sebagai open system van het recht. Sistem hukum itu tidak statis, karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut. Sistem hukum tersebut sifatnya terbuka. Paul Scholten melihat bahwa penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi. Undang-undang mempunyai kebebasan yang lebih primer, sedangkan hakim mempunyai “keadaan terikat” pada yang lebih primer itu. d. Penemuan Hukum Heteronom dan Otonom. Sudikno Mertokusumo 397 , dengan mengacu pandangan Knottenbelt Inleiding in het Nederlandse Recht , mengemukakan bahwa penemuan hukum heteronom adalah jika dalam penemuan hukum, hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang. Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-peraturan di luar diri hakim. Pembentuk undang-undang membuat peraturan pada umumnya, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang- undang. Penemuan hukum heteronom merupakan penerapan undang- undang yang terjadi secara logis dan terpaksa sebagai silogisme, 397 Sudikno Mertokusumo, dalam Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Op., cit., hlm., 111 commit to user 306 sedangkan penemuan hukum otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikiranya sendiri, hakim memutus menurut apresiasi pribadi, hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum konkrit. Tidak ada batas yang tajam antara penemuan hukum yang heteronom dengan otonom, kenyataannya dalam praktik, penemuan hukum oleh hakim mengandung kedua unsur tersebut. Pandangan baru ini penemuan hukum otonom, oleh Van Eikerna Hommes disebut pandangan yang materiil yuridis, di Jerman dipertahankan oleh Oskar Bullow dan Eugen Ehrlich, di Perancis dikembangkan oleh Francois Geny. Geny menentang penyalahgunaan cara berpikir yang abstrak logis dalam pelaksanaan hukum dan terhadap fiksi bahwa undang-undang berisi hukum yang berlaku. Di Amerika Serikat, Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank, menentang pendapat bahwa hukum yang ada itu lengkap yang dapat dijadikan sumber bagi hakim untuk memutus peristiwa yang konkrit. Menurut pendapatnya, pelaksanaan undang-undang oleh hakim bukanlah semata-mata merupakan persoalan logika dan penggunaan pikiran yang tepat, tetapi hanya merupakan pemberian bentuk yuridis kepada asas-asas hukum materiil yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasarkan pada pengalaman dan penilaian yuridis daripada akal yang abstrak. Undang-undang tidak mungkin lengkap, undang- undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktik hukum dan hakim. Kajian tentang penemuan hukum oleh hakim, maka ada beberapa metode penemuan hukum yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam praktek, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dibedakan melalui tiga cara, yaitu interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum 398 , 398 Johnny Ibrahim, 2006, Op., cit., hlm., 219. Bandingkan juga dengan penemuan hukum oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra commit to user 307 1. Interpretasi Hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku. Dalam paktik hukum, menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh ilmuwan hukum, pengacara atau para pihak yang mempunyai kepentingan dengan pengadilan 399 . Dengan demikian, arti penafsiran sebagai suatu kesimpulan dalam usaha memberikan penjelasan atau pengertian atas suatu kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain dapat memahaminya atau mengandung arti pemecahan atau penguraian atas suatu makna ganda, norma yang kabur vage normen , antinomi hukum konflik norma hukum, dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Tujuannya tidak lain adalah mencari serta menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya 400 . Aditya Bakti, membedakan menjadi tiga, yaitu : interpretasi, argumentasi dan eksposisi konstruksi hukum. Interpretasi atau penafsiran digunakan dalam hal peraturan perundang- undangannya ada, tetapi tidak atau kurang jelas. Metode argumentasi digunakan dalam hal aturan perundang-undangannya tidak lengkap atau tidak ada. Konstruksi atau eksposisi digunakan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak dijumpai aturan perundang-undangannya, yaitu dengan membentuk pengertian-pengertian hkum. Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Bogor Selatan : ghalia Indonesia, hlm., 122, membedakan penemuan hukum oleh hakim menjadidua, yaitu interpretasi dan konstruksi hukum. Interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang yang masih tetap berpegang pada bunyi teks. Konstruksi hukum, yaitu hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung : Alumni, membedakan metode penemuan hukum menjadi dua, yaitu penafsiran hukum dan konstruksi hukum. Demikian juga Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum..., Yogyakarta : UII Press, hlm., 81.membagi metode penemuan hukum menjadi tiga, yaitu metode interpretsi, argumentasi dan eksposisi 399 Sudikno Mertokusumo, dalam Johnny Ibrahim, Op., cit., hlm., 120 400 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, hlm., 61-62 commit to user 308 Pada proses penemuan hukum yang lazimnya dilakukan oleh para hakim, dibedakan dua hal, yaitu : tahap sebelum pengambilan putusan ex ante dan tahap sesudah pengambilan putusan ex post . Dalam perspektif teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengambilan putusan disebut „heuristika‟, yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang tepat. Penemuan hukum yang terjadi sesudah putusan disebut „legitimasi‟. Dan legitimasi selalu berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi pertimbangan dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suatu putusan hukum tidak dapat diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan tersebut tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk meyakinkan forum hukum tersebut agar putusan tersebut dapat diterima 401 . Secara umum, metode interpretasi penafsiran hukum dapat dikelompokkan ke dalam 11 macam, yaitu interpretasi gramatikal menurut bahasa, interpretasi historis, sistematis, sosiologis atau teologis, komparatif, futuristik, restriktif, ekstensif, otentik atau secara resmi, interdisipliner, multidisipliner 402 . a. Interpretasi gramatikal menurut bahasa Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum, oleh karena itu hukum terikat pada bahasa. Penafsiran undang-undang itu pada 401 Jazim Hamidi, 2005, Hermenutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, Yogyakarta : UII Press, 49 402 Lihat juga Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo , Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum..., Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum. commit to user 309 dasarnya selalu akan merupakan penjelasan dari segi bahasa. Titik tolak penafsiran adalah pada bahasa sehari-hari, makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. b. Interpretasi teleologis atau sosiologis Makna undang-undang tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi sosiologis ini undang-undang yang masih berlaku, tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Peraturan perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang. Peraturan hukum yang lama itu disesuaikan dengan keadaan yang baru, peraturan lama dibuat aktual. c. Interpretasi sistematis. Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang- undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Menafsirkan undang- undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang- undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang- undang yang lain, disebut interpretasi sistematis atau logis. Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau ke luar dari sistem perundang-undangan. d. Interpretasi historis. Makna undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran historis merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang. Penafsiran historis commit to user 310 dibedakan menjadi dua, yaitu penafsiran menurut terjadinya undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. e. Interpretasi komparatif. Interpretasi komparatif atau dengan jalan membandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan jalan membandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang. Dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan antara berbagai sistem hukum. f. Interpretasi futuristisantisipasi. Penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, misal rancangan undang-undang yang masih dalam proses pembahasan di dewan, tetapi ada keyakinan bahwa rancangan tersebut akan diundangkan. g. Interpretasi Restriktif. Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan undang- undang ruang lingkup ketentuan itu dibatasi. h. Interpretasi ekstensif. Metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas- batas hasil interpretasi gramatikal i. Interpretasi otentik atau secara resmi. Otentik berasal dari kata asing authentiek, yang dalam bahasa Belanda dijelakan sebagai volledig bewijs opleverend, maksudnya memberikan keterangan atau pembuktian yang sempurna, yang sah atau resmi. Dalam interpretasi ini, hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri 403 . 403 Bambang Sutiyoso, 2009, Op., cit., hlm., 92-94 commit to user 311 j. Interpretasi interdisipliner. Interpretasi jenis ini dapat dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum. Contoh interpretasi atas pasal kejahatan korupsi, hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal tersebut dalam berbagai sudut pandang, yaitu dalam hukum pidana, administrasi negara, dan hukum perdata 404 . k. Interpretasi multidisipliner. Dalam interpretasi ini, seorang hakim harus juga mempelajri suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Dengan kata lain, hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu. Kemungkinan ke depan, interpretasi mulitidisipliner ini akan sering terjadi, mengingat kasus-kasus kejahatan di era global sekarang ini mulai beragam dan bermunculan, seperti kejahatan cyber crime, wait color crime,terorism dan lain-lain sebagainya 405 . Metode penemuan hukum yang kedua adalah konstruksi hukum. Metode konstruksi hukum dilakukan apabila peraturan perundang-undanganya tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum rechts vacuum atau kekosongan undang-undang wet vacuum . Achmad Ali 406 , memisahkan secara tegas antara interpretasi atau penafsiran hukum dengan konstruksi hukum, hal ini dibutuhkan bukan saja dalam sistematika ilmu hukum, tetapi juga dalam dunia praktik hukum di pengadilan. Menurutnya, interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya ada, namun peraturan tersebut tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwa konkrit, dan dalam intepretasi ini, penafsiran terhadap teks undang-undang masih tetap berpegang pada bunyi teks undang-undang. Dalam konstruksi hukum, dilakukan dalam hal 404 Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 57 405 Jazim Hamidi, 2005, Ibid., hlm., 57, lihat juga dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, hlm., 11-12. 406 Achmad Ali, 2008., Op., cit., hlm., 121 commit to user 312 peraturannya memang tidak ada, atau terdapat kekosongan hukum rechts vacuum atau kekosongan undang-undang wet vacuum . Hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, tetapi dengan syarat tidak boleh mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Selanjutnya dikemukakan, ada perbedaan pandangan tentangmetode atau cara penemuan hukum oleh hakim menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon. Pada umumnya, yuiris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode konstruksi. Hal tersebut dapat dilihat pada buku-buku karangan Paul Scholten, A. Pitlo, maupun Sudikno Mertokusumo. Sebaliknya banyak pengarang dari sistem hukum Anglo Saxon, misalnya L. B. Curzon, membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode konstruksi. Achmad Ali sendiri mengikuti pembedaan yang memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode konstruksi 407 . Perbedaan pandangan antara metode interpretasi dengan metode konstruksi tersebut, menurut Achmad Ali, didasarkan pada hasil simpulan setelah membandingkan beberapa pendapat dari pakar tentang penemuan hukum. Seperti L. B. Curzon, yang mengemukakan : ” The proces of interpreting a statute from that of constructing a statute. Interpretation refers generally to the assigning of meaning to words in a statute construction refers to the resolving of ambiguiities and uncertainties in statute”. Curzon, cenderung melihat interpretasi hanya menentukan arti kata-kata dalam suatu undang-undang, sedangkan konstruksi mengandung arti pemecahan atau penguraian makna ganda, kekaburan, dan ketidakpastian dari perundang-undangan 408 . 407 Achmad Ali, 2008, Ibid., hlm., 113. 408 Achmad Ali, 2008, ibid., hlm., 122 commit to user 313 Konstruksi hukum 409 , sebagai metode penumuan hukum dibedakan menjadi : a. Argumentum per analogiam analogi Ada kalanya peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga untuk dapat menerapkan undang-undang pada peristwanya, hakim akan memperluasnya dengan metode argumentum per analogiam atau analogi. Dengan analogi, maka peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama. Pada analogi, sustu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali alas yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam undang- undang itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Hakim bersikap seperti pembentuk undang-undang yang mengetahui adanya kekosongan hukum, akan melengkapinya dengan peraturan- peraturan yang serupa seperti yang dibuatnya untuk peristiwa- peristiwa yang telah ada peraturanya. Hakim akan mencari pemecahan untuk peristiwa yang tidak diatur, dengan penerapan peraturan untuk peristiwa-peristiwa yang telah diatur yang sesuai secara analog. Jazim Hamidi, mengemukakan analogi merupakan metode penemuan hukum, di mana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peistiwa hukum atau perbuatan hukum, baik yang telah diatur dalam undang-undang maupun yang belum ada peraturanya 410 . 409 Macam-macam konstruksi hukum lihat juga dalam Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, hlm., 139-147, Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, hlm., 177-182, Sudikno Mertokusumo, 2010, Penemuan Hukum..., hlm., 86-96, Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum..., hlm., 59-63, Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum, hlm., 106-113 410 Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 59. commit to user 314 b. Metode Argumentum a Contrario. Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Bagaimanakah menemukan hukumnya? Cara menemukan hukumnya ialah dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Hal ini merupakan metode a contrario , yaitu merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang mirip tidak diatur, maka untuk yang terakhir ini berlaku hal yang sebaliknya. Pada a contrario titik berat diletakkan pada ketidaksamaan peristiwanya. Dalam hal ini, peraturan yang disediakan untuk peistiwa yang hendak dicarikan hukumnya tidak ada, yang ada adalah peraturan yang khusus disediakan untuk peristiwa lain yang tidak sama, tetapi ada unsur kemiripannya dengan peristiwa yang hendak dicarikan hukumnya. Berkaitan dengan metode argumnetum a contrario, Achmad Ali, mengemukakan bahwa metode ini selaras dengan metode berpikir hakim Eropa Kontinental. Di dalam sistem hukum Anglo Saxon, para hakim cenderung berpikir secara induktif, berpikir dari yang khusus ke yang umum species ke general . Hakim mencari dan menemukan peraturan sebagai dasar putusannya melalui sederetan putusan-putusan sebelumnya . Jadi bersifat “ reasoning from case to case” dan “ reasoning by analogy ”, sedangkan di dalam sistem Eropa Kontinental, hakim cenderung berpikir secara deduktif, dari yang umum generaly ke yang khusus species , yaitu mengikat hakim dengan undang-undang yang merupakan peraturan umum agar sekelompok peristiwa tertentu yang serupa dapat diputus commit to user 315 serupa pula. Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental ini, hakim mengadakan konkritisasi peraturan yang mengabstraksikan peristiwanya. Dengan demikian cara berpikir hakim Eropa Kontinental cenderung menggunakan ciri “ subsumtie ” dan “ sillogistis ” 411 sebagai dasar. c. Rechtsverfijning penyempitanpengkonkritan hukum Penyempitan hukum adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Belanda “ rechtsverfijning ”. Fijn, berarti halus. Penyempitan hukum bukan merupakan argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan. Rumusan ini terdiri dari rumusan pengecualian terhadap peraturan perundang-undangan karena kalau tidak, maka dirumuskan terlalu luas. Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu disempitkan untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tertentu. Dengan demikian, metode penyempitanpengkonkritan hukum aturan hukum yang sifatnya umum atau abstrak, agar dapat diterapkan pada peristiwa konkrit tertentu. d. Fiksi hukum Menurut Paton, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali 412 , mengemukakan bahwa metode penemuan hukum melalui fiksi hukum ini bersumber pada fase perkembangan hukum dalam periode menengah, yaitu setelah berakhirnya periode hukum primitif. Metode fiksi sebagai penemuan hukum sebenarnya berlandaskan pada asas in dubio pro reo, yaitu asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang. Dengan mengutip pendapat Satjipto Rahardjo, selanjutnya dikemukakan fiksi adalah metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru. Bagaimanapun fiksi 411 Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 144 412 Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 145 commit to user 316 adalah sesuatu yang bukan kenyataan. Oleh karena itu, cara yang sebaik-baiknya untuk menerimanya sebagai sarana pengembangan hukum adalah tetap memperlakukanya secara demikian itu. Fiksi memang bermanfaat untuk memajukan hukum, yaitu untuk mengatasi benturan antara tuntutan baru dan sistem yang ada. Fiksi harus tetap diperlakukan sebagai bukan kenyataan.dalam hal fiksi telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui putusan hakim, maka ia pun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh disebut sebagai fiksi, pada detik itu sudah tidak ada fiksi lagi. Fungsi dari fiksi hukum, di samping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum, juga utamanya untuk mengisi kekurangan undang-undang. Fiksi hukum bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem hukum yang ada. Hal tersebut selaras dengan pandangan Maine bahwa “... and there after law is brought into ha r mony with society by three instrumentalities, legal fictions, equity and legislation... ”. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pandangan hukum positif undang-undang selalu lengkap dan jelas dan hukum identik dengan undang-undang, hakim tidak perlu menafsirkan undang-undang, namun pandangan tersebut tidak dapat diterima oleh aliran realisme hukum yang mempunyai pandangan berbeda dengan aliran hukum positif, yaitu undang-undang tersebut tidak lengkap dan jelas. Dalam pandangan kaum realism, studi tentang hukum berarti hukum sebagai sesuatu yang benar- benar dalam kenyataan atau hukum untuk dilaksanakan, ketimbang sekadar hukum sebagai serentetan aturan yang termuat dalam perundang- undangan. Juris-juris yang beraliran realisme membayangkan suatu ilmu hukum yang sebenarnya, sebagau suatu yang dibangun di atas studi tentang “ law in action ” hukum dalam tindakan. Hukum adalah sebagaimana yang dilakukan hukum. hukum adalah apa yang dilakukan commit to user 317 oleh para pejabat, yaitu hakim 413 . Dalam hal undang-undang tersebut sudah jelas, ada kemungkinan undang-undang tersebut tidak lengkap dan tuntas mengatur semua bidang kehidupan manusia, karena undang-undang tersebut dibuat oleh manusia dan kemampuan manusia terbatas. Di samping itu kebutuhan manusia semakin hari semakin kompleks, sehingga undang-undang tidak mudah untuk menyesuaikan dengan perkembangan, dan undang-undang sifatnya abstrak atau umum. Sehubungan dengan hal tersebut, keberadaan undang-undang perlu dijelaskan dan ditafsirkan, agar dapat diterapkan pada peristiwanya. Berkaitan dengan keberadaan undang-undang yang tidak lengkap, kurang jelas atau kabur, Maftuh Effendi 414 , mengemukakan hakim peradilan administarsi atau PTUN dalam memutus sengketa yang dihadapi tidak sekedar membunyikan pasal dari undang-undang, karena kadang- kadang suatu undang-undang tidak secara otomatis dapat mengikuti perubahan perkembangan masyarakat, sehingga sering dijumpai : 1 undang-undang yang mengatur suatu norma tertentu tetapi tidak jelas vage normen , 2 normanya jelas dan tidak usang, tetapi tidak tepat diterapkan dalam suatu peristiwa konkret, karena apabila ketentuan tersebut diterapkan akan menciderai prinsip-prinsip keadilan, 3 undang- undang sudah usang ketinggalan jaman contra legem atau bahkan 4 suatu peritiwa konkret itu sama sekali belum ditaur dalam undang-undang wet vacuum atau dalam hukum rechts vacuum . Dalam keadaan yang demikian itu, hakim peradilan administrasi atau PTUN dalam memutus sengketa tata usaha negara dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu menafsirkan suatu ketentuan undang-undang berdasarkan kaidah-kaidah ilmu hukum agar ketentuan tersebut dapat diterapkan dalam suatu peristiwa konkret. 413 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum..., Op.,cit., hlm., 91 414 Wawancara, Senin, 3 Oktober 2011, jam 09.00 – 12.00 WIB. di PTUN Semarang. commit to user 318 Dalam menyelesaikan sengketa yang hukum atau undang-undangnya sebagaimana dikemukakan oleh Maftuh Effendi tersebut, diberikan contoh atau dibuktikan dengan Putusan Nomor 04G2009PTUNSMG, yaitu beliau sebagai hakim yang memeriksa, memutus dan menyelesaikannya dan telah dibahas oleh peneliti pada halaman sebelumnya secara panjang lebar. Pendapat atau pandangan tersebut didukung oleh hakim yang lainnya, yaitu Teguh Satya Bhakti hakim PTUN Semarang. Pendapat beliau, yaitu dalam hal undang-undang usang atau ketinggalan jaman, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1, undang-undang tersebut mewajibkan kepada hakim untuk menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 10 ayat 1 pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dikemukakan bahwa undang-undang kekuasaan kehakiman mengisyaratkan seorang hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum rechts vinding dan rechts vinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkret, dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk menjatuhkan putusan. Dalam hal undang- undang kabur atau kurang jelas, hakim sejatinya akan melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap undang-undang tersebut. Sebagaimana diketahui interpretasi atau penafsiran adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup keadahnormaundang-undang tersebut dapat diterapkan pada peritiwanya 415 . Berkaitan dengan hal tersebut, Agus dan Retno 416 dari PTUN Yogyakarta, mengemukakan bahwa pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara yang disengketakan para pihak 415 Wawancara, senin, 3 Oktober 2011, jam 09.00 – 12.00 WIB, di PTUN Semarang. 416 Wawancara, senin, 10 Oktober 2011, jam 09.00 – 12.00 WIB, di PTUN Yogyakarta. commit to user 319 berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, namun ketentuan tersebut hanya sebagai pedoman saja dan hakim dapat menyimpang dari ketentuan tersebut. Dalam hal ketentuannya kabur atau kurang jelas, hakim dapat menerobos, artinya hakim akan menggali, mengikuti dan memahami hukum yang tidak tertulis, berupa nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus menggali atau menafsirkan dari ketentuan yang kabur atau kurang jelas tersebut. Berdasarkan pendapat dari hakim PTUN Semarang dan PTUN Yogyakarta tersebut, maka dapat diketahui bahwa pengaruh aliran hukum positif yang di dalam penyelesaian sengketa di muka sidang peradilan, hakim tidak diperbolehkan untuk menafsirkan undang-undang, sudah ditepis oleh pandangan atau pendapat tersebut. Aliran hukum positif yang mengidentikan hukum sama dengan undang-undang, dalam menyelesaikan sengketa atau peristiwa yang timbul lebih cenderung untuk menggunakan logika deduktif, automaat subsupmtif, mekanis, sehingga tidak menyelesaikan sengketa sampai keakar-akarnya. Aliran legisme juga tidak berpengaruh pada pendapat hakim PTUN baik di Semarang maupun di PTUN Yogyakarta, dan hal tersebut dibuktikan dengan putusannya yang lebih cenderung untuk berpikir dengan menggunakan hati nurani dan perasaan, mereka berpikir dengan menggunakan teori yang dikemukakan Zohar dan Marshall, yaitu EQ dan SQ, yaitu hakim lebih aktif, kreatif dan transformatif. Mereka dalam menjatuhkan putusan terhadap sengketa yang diperiksanya lebih menitik beratkan pada nilai-nilai keadilan, hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, mereka memperhatikan dan memahami kearifan lokal dan mereka berani menggunakan penemuan asas-asasnya yang tidak diatur secara yuridis formal dalam pertimbangan hukumnya untuk kemudian dipergunakan sebagai dasar putusannya. Mereka berani meninggalkan cara-cara tradisional, mereka menganggap ketentuan dalam undang-undang sebagai pedoman dan dalam memutus commit to user 320 sengketa hakim lebih mendasarkan pada fakta bukan menurut undang- undang.

B. Hati-nurani Hakim dalam Putusan