commit to user 170
pengakuan akan pentingnya mahkamah dalam sistem federal, bagaikan halilintar di siang hari bolong, pada tahun 1803, Ketua Mahkamah Agung John
Marshall menyatakan, bahwa Mahkamah memiliki kekuasaan untuk menyatakan undang-undang
act of congress
sebagai tidak konstitusional. Di samping Marshall, juga Earl Warren, sebagai transformator menuju Amerika
baru, yaitu dengan menerima tugasnya bukan hanya sebagai hakim, tetapi legislator, ia banyak mengubah
corpus
hukum konstitusi Amerika Serikat
264
. Satjipto Rahardjo, mencotohkan hakim Indonesia, yaitu Bismar Siregar. Hakim
yang selalu mendahulukan putusan hati-nurani dan yang lain, seperti Adi Andojo Soetjipto, Baharudin Lopa, Hoegeng, Kusumah Atmadja adalah
manusia yang berpotensi untuk membelokkan jalanya hukum, sehingga memenuhi harapan masyarakat, mereka adalah sosok yang penuh integritas.
B. Kerangka Pemikiran.
Dalam suatu negara hukum yang mengkonsepkan sebagai negara kesejahteraan
welfare state
, maka campur tangan pemerintah terhadap kepentingan atau kebutuhan warga negaranya menjadi semakin dominan.
Tugas pemerintah semakin besar, yaitu tidak hanya yang berkaitan dengan menjalankanfungsi pemerintahan saja, melainkan juga tugas dan kewajiban-
kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan pada warga negaranya. Pemikiran tentang perlindungan hukum dan mewujudkan kesejahteraan bagi warga
negaranya tidak boleh terlupakan dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Badan atau Pejabat TUN. Paham negara kesejahteraan,
meskipun telah memberikan kekuasaan yang besar kepada negara dalam menjalankan fungsinya, tidak dimaksudkan tanpa adanya pembatasan oleh
undang-undang atau hukum, sebagai wujud atau realisasi dari asas legalitas dalam negara hukum. Pemberian kekuasaan kepada negara dimaksudkan agar
kekuasaan tersebut dilaksanakan sedemikian rupa, tidak terjadi perebutan kekuasaan dan dengan tujuan agar negara dapat memberikan perlindungan
hukum dan kemakmuran atau kesejahteraan kepada warga negaranya.
264
Satjipto Rahardjo, 2007, Ibid., hlm., 101.
commit to user 171
Meningkatnya kualitas dan kuantitas tugas-tugas yang harus diselenggarakan oleh pemerintah, berkonsekuensi terhadap diperlukannya
pengawasan atau kontrol yang lebih efektif dan intensif untuk mengoreksi terjadinya praktik-praktik maladministarsi, yang dilakukan oleh oknum Badan
atau Pejabat TUN dalam menggunakan atau melaksanakan kewenangannya dan Peradilan TUN merupakan salah satu subsistem dari sistem pengawasan
yang dilakukan terhadap Badan atau Pejabat TUN
265
. Negara mempunyai kewajiban untuk masuk dalam wilayah kehidupan warga negaranya dalam
rangka menjalankan fungsinya, melayani dan mengupayakan kemakmuran atau kesejahteraan bagi warga negaranya. Philipus M. Hadjon, mengemukakan
bahwa konsepsi negara kesejahteraan
welfare state
memberi pembenaran maksimalisasi aktor negara
staat
dengan argumen untuk keberhasilan realisasi ide menyejahterakan masyarakat
burger
, walaupun ukuran kualitaitf pengertian kesejahteraan itu sendiri masih terus diperdebatkan. Model
pembangunan yang diwarnai ide
welfare state
dengan karateristik memaksimalisasi negara cq. Pemerintah eksekutif akan lebih efektif untuk
mewujudkan tujuannya, jika peran pemerintah sebagai personofikasi negara tetap memberikan peluang partisipasi masyarakat
266
. Landasan kewenangan pada pejabat administrasi atau Badan atau
Pejabat TUN Bersumber dari tiga hal, pertama landasan kewenangan atas dasar atributit, yaitu wewenang yang ada pada pejabat administrasi sifatnya
melekat, tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dibagi-bagi. Kedua, kewenangan atas dasar delegasi, yaitu terjadi pelimpahan wewenang dari
pejabat administrasi kepada subyek hukum lain untuk bertindak atas nama sendiri dan atas tanggung jawab sendiri. Pelimpahan wewenang tersebut
dilakukan kepada pejabat lain yang bersifat horizontal. Ketiga, kewenangan atas dasar mandat, yaitu wewenang tersebut atas dasar pelimpahan dari pejabat
kepada subyek hukum lain untuk melakukan tindakan atas nama pemberi
265
W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 5.
266
Philipus M. Hadjon, et.al, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Introduction to the Indonesia Administrative Law,
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hlm., 28.
commit to user 172
mandat dan tanggung jawab pemberi mandat
267
. Selanjutnya dikemukakan, luasnya wewenang pejabat administarsi dalam memenuhi fungsinya, maka
administrasi
bestuur
sebagai pelaksana pemerintahan diberi wewenang bebas
vrije Bestuur
. Hal ini bertujuan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat serta berfaedah, meskipun begitu tindakan tersebut harus tetap dalam bingkai
hukum dan tidak bertentangan dengan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Wewenang yang begitu luas yang diberikan kepada
pemerintah, memberi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah atau penguasa, hal yang demikian adalah wajar terjadi, karena
juga kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan tugas oleh pemerintah. Berbagai hal dikemukakan untuk memberikan alasan legitimasi dari
tindakan pemerintah dalam campur tangan dengan wilayah kehidupan dan kepentingan warga negaranya, seperti alasan untuk kepentingan umum, untuk
kepentingan orang banyak, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semuanya sulit untuk diukur. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah barang
tentu tugas pemerintah tidak hanya tertuju pada bidang pemerintahan saja, melainkan lebih luas lagi. Meningkatnya campur tangan pemerintah dalam
kehidupan warga negaranya atau lebih aktifnya pemerintah dalam menjalankan fungsinya dan dengan berbagai alasan pembenar yang
dikemukakan, maka berpotensi untuk timbulnya maladministrasi yang dapat merugikan kepentingan rakyat atau warga negaranya. Kepada rakyat atau
warga negara yang kepentingannya atau hak-haknya dirugikan sebagai akibat dari tindakan pemerintaha, maka diperlukan lembaga yang dapat menjebadani
atau menyelesaikan benturan-benturan kepentingan tersebut, yaitu Peradilan Tata Usaha Negara disingkat PTUN.
Eksistensi PTUN dalam negara hukum sangat dibutuhkan, karena di samping berfungsi sebagai alat kontrol terhadap tindakan pemerintah dalam
menjalankan fungsinya atau aktifitasnya sehari-hari terutama dalam bidang tata usaha negara, juga eksistensi PTUN sangat penting dalam rangka
267
H.A. Muin Fahmal, Op.,cit.,hlm., 71. Lihat juga dalam Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 103.
commit to user 173
memberikan perlindungan hukum kepada warga negara dari tindakan pemerintah yang menimbulkan akibat hukum kepada warga negara atau badan
hukum perdata. Y. Sri Pudyamoko dan W. Riawan Tjandra, mengemukakan, PTUN merupakan institusi untuk menyelesaikan timbulnya sengketa TUN
antara Badan atau Pejabat TUN dengan seseorang atau badan hukum perdata sebagai akibat timbulnya keputusan tata usaha negara. Melalui kontrol
yudisial yang dijalankan oleh PTUN, maka secara tidak langsung juga dilakukan pembinaan kepada aparatur negara sebagai pelaku birokrasi.
Aparatur negara Badan atau Pejabat TUN akan bertindak lebih cermat dan seksama sesuai dengan legalitas kewenangan yang dimilikinya dalam
mengeluarkan setiap bentuk keputusan
beschikking
yang mempunyai dampak langsung akibat langsung terhadap warga masyarakat. Efektif fungsi
birokrasi akan dapat ditingkatkan dengan dukungan pengawasan dari PTUN. Dalam sebuah tulisan di Kompas tanggal 20 Desember 1991 disebutkan
bahwa PTUN boleh jadi semacam harapan baru bagi masyarakat untuk mendapatkan perlakuan yang wajar dari para pejabat, aparat pemerintah.
PTUN memang sebuah institusi yang bisa diharapkan oleh masyarakat agar ia tidak „dilempar‟
ke sana kemari atau dipingpong dari meja yang satu ke meja yang lain
268
. Penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang
merdeka hakim yang bebas, merupakan dasar bagi befungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap
orang akan mendapatkan jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku atau peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik tersebut kekuasaan kehakiman akan menyelesaikan sengketa tanpa campur tangan pihak lain. Fungsi kontrol peradilan tata usaha
negara terhadap tindakan pemerintah dapat diwujudkan dalam pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pemerintah atau
268
Y. Sri Pudyatmoko dan W.Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 72.
commit to user 174
Badan atau Pejabat TUN yang disengketakan di muka sidang peradilan TUN, yaitu apakah keputusan tata usaha negara yang disengketakan tersebut
bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Tugas PTUN adalah menguji keabsahan keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tidak, dan penilaian atau pengujian
toetsing
tersebut terbatas pada segi hukumnya saja, yaitu penerapan hukum yang dipergunakan sebagai dasar
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Dengan demikian, apabila keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN
tersebut menyimpang atau tidak berdasarkan pada peraturan perundang- undang yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka
peradilan tata usaha negara dapat menyatakan keputusan tata usaha negara tersebut batal atau tidak sah. Hal tersebut bermakna Badan atau Pejabat TUN
dalam menjalankan fungsinya atau tugasnya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik. Dalam negara hukum sebagaimana telah dikemukakan bahwa tindakan
Badan atau Pejabat TUN harus didasarkan pada hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik, hal tersebut dimaksudkan agar tindakan Badan atau Pejabat TUN berada dalam wilayah hukum atau undang-undang, sehingga dapat terwujud
pemerintahan yang bersih dan berwibawa
clean and stable government
. Suatu kenyataan, seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi,
trasformasi dan komunikasi, maka tidak semua bidang kehidupan manusiadapat terakomodasi dalam suatu undang-undang atau walaupun telah
diatur dalam undang-undang, namun kurang jelas atau tidak jelas, ketinggalan jaman. Di pihak lain dalam konsep negara kesejahteraan
welfare state
peran negara cq. pemerintah dalam wilayah kehidupan warga negaranya semakin
besar, dan dengan berbagai alasan yang diajukan, pemerintah berkeinginan
commit to user 175
menyejahterakan warga negaranya. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri dan ternyata berpotensi menimbulkan benturan atau perselisihan kepentingan
antara pemerintah dengan warga negaranya dan berujung pada timbulnya sengketa, karena undang-undang yang dijadikan sebagai dasar pijakan atau
pedoman mengeluarkan keputusan tata usaha negara tidak relevan dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju dan kompleks.
Tugas hakim adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa atau menguji keabsahan keputusan tata usaha negara dan kemudian sampai
pada pengambilanputusan. Berkaitan dengan tugas hakim tersebut, hakim mempunyai kebebasan atau kekuasaan yang merdeka sebagaimana
diamanatkan dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut sangat penting eksistesinya, karena agar
putusan hakim yang dijatuhkan sebagai upaya menyelesaikan sengketa di antara para pihak dapat adil, jujur dan tidak memihak juga lepas dari pengaruh
kekuasaan yang lain. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman, terutama yang datang atau dari pengaruh eksekutif akan membuka peluang
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran-pelanggaran oleh penguasa terhadap kepentingan-kepentingan warga negaranya. Reformasi
memandang, independensi kekuasaan kehakiman sebagai salah satu obyek yang sangat mendasar perlu dikembalikan atau ditegakkan kembali.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar untuk memulihkan demokrasi dan negara berdasarkan hukum.
Hakim dan pemikirannya dalam proses peradilan, yaitu hakim memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang diajukan para pihak
kepadanya, menurut Sudikno Mertokusumo, tugas tersebut dapat dibedakan berupa mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir
269
. Berkaitan dengan pemikiran hakim dalam proses peradilan, hal tersebut tidak dapat lepas dari
sikap pribadi yang melekatnya dan hal tersebut sangat menentukan tindakan atau perilaku dalam bentuk putusan yang dijatuhkannya. Banyak faktor yang
269
Sudikno Mertokusumo, 1993, Op., cit., hlm., 167, Adi Sulistiyono, 2006, Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia,
Surakarta : LPP. UNS dan UNS Press, hlm., 74-75.
commit to user 176
mempengaruhi tindakan hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwanya untuk sampai pada pengambilan putusan, baik faktor yang
datang dari lingkungan hakim sendiri maupun dari luar diri hakim. Hakim sebagi aktor dalam berproses di pengadilan, berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan kemampuannya dapat menentukan pilihan-pilihannya dari berbagai alternatif yang tersedia. Hakim dapat saja tidak terikat oleh undang-
undang yang menjadi pedoman atau dasar untuk mengambil putusan, dapat menyimpang dari ketentuan undang-undang dengan berbagai alasan yang
mendukungnya untuk melakukan penemuan hukum melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan konstruksi hukum.
Pendekatan teori interaksionisme simbolik digunakan sebagai pisau analisis perilaku dan pemikiran hakim dalam mengambil atau menjatuhkan
putusan. Menurut Mead, manusia mempunyai kepribadian sendiri dan karena itu mempunyai kemampuan untuk menciptakan sasaran tindakan-tindakannya
sendiri. Manusia mampu melakukan tindakan terhadap dirinya sendiri, seperti ia bertindak terhadap sasaran di luar dirinya. Mead selanjutnya
mengemukakan, manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya. Sebelum
melakukan tindakan yang sebenarnya, seseorang mencobakan terlebih dahulu berbagai alternatif tindakan itu secara mental melalui pertimbangan
pemikirannya, karena itu sebenarnya dalam proses tindakan manusia itu terdapat suatu proses mental yang tertutup yang mendahului proses tindakan
yang sebenarnya dalam bentuk perilaku atau tingkahlaku yang sebenarnya atau yang kelihatan.
Berpikir menurut Mead adalah suatu proses di mana individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan mempergunakan simbol-simbol
yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri itu, individu memilih yang mana di antara stimulus yang tertuju kepadanya itu yang akan
ditanggapinya. Individu tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus mana yang akan
ditanggapinya. Sesudah stimulus dipilih, individu mencobakan berbagai
commit to user 177
tanggapan dalam pikiran sebelum tanggapan yang sesungguhnya diberikan. Aktor melihat ke depan dan memastikan akibat atau hasil dari berbagai
tindakan yang dipilihnya itu
270
. Kesimpulan dari teori interaksionisme simbolik adalah tindakan
seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suau tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari
lingkungannya atau dari luar dirinya, tetapi tindakan itu merupakan hasil dari proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi merupakan hasi proses belajar,
dalam arti memahami simbol-simbol dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu. Norma-norma,nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-
simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk
menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Sementara Blumer memperinci kepribadian manusia itu sebagai
berikut: tiap individu dapat marah, mengasari, berbicara dan mendukung keteguhan hatinya, menata tujuan-tujuannya, membuat kompromi serta
merencanakan sesuatu yang akan dilakukan bagi dirinya sendiri. Kesemuanya itu merupakan kemampuan yang bertumpu pada kepribadian individu yang
memberikan sejumlah kebebasan terhadap manusia dalam kehidupan sosialnya
271
. Teori
behavioral jurisprudence
dalam kajian ini menarik untuk digunakan sebagai analisis pemikiran hakim dalam proses di muka peradilan.
Antonius Sudirman mengemukakan, secara sederhana dapat dikatakan bahwa studi ilmu hukum perilaku
behavioral jurisprudence
adalah studi yang mempelajari tingkah laku aktual hakim dalam proses peradilan. Tingkah laku
tersebut, dipelajari dalam interaksi dan interelasinya antara orang-orang yang terlibat dalam tahap-tahap pengambilan putusan tersebut
satu sama lain. Pusat perhatian bukan pada hukum tertulis dan putusan hakim yang bersifat formal,
melainkan pada pribadi hakim dan orang-orang yang terlibat dalam peranan- peranan sosial tertentu dalam pengambilan putusan hukum
272
.
270
George Ritzer, dalam Alimandan, Op., cit., hlm., 67.
271
Alimandan, Op., cit., hlm., 66.
272
Antonius Sudirman, Op., cit., hlm., 32.
commit to user 178
Dikatakan bahwa fokus utama dalam pendekatan ilmu hukum perilaku adalah perilaku hakim dalam proses peradilan, namun mempelajari perilaku
hakim tersebut tidak dapat dilepas-pisahkan dari sikap-sikap individual yang melekat pada pribadi hakim, sebab skap-sikap tersebut sangat menentukan
perilaku atau tindakanputusannya. Glendon Schubert, yaitu hakim itu setuju atau tidak setuju terhadap suatu keputusan, bukan karena mereka melakukan
penalaran yang sama atau berlainan, melainkan karena mereka mempunyai sikap-sikap yang sama atau berlainan. Schubert selanjutnya mengemukakan,
para hakim berbeda-beda dalam sikap-sikapnya, oleh karena masing-masing pada akhirnya memiliki beberapa hal untuk dipercayainya dan menolak yang
lain sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Apa yang dipercaya oleh seorang hakim tergantung dari afiliasi-afiliasi politik, agama dan etnisnya, baik formal
maupun bukan, kariernya di bidang hukum sebelum menjadi hakim. Afiliasi- afiliasi yang berhubungan dengan perkawinan, status sosial ekonomi,
pendidikan dan kariernya, pada gilirannya untuk bagian terbesar dipengaruhi oleh tempat ia dilahirkan, dari orang tua siapa dan kapan. Dalam menerima
pengaruh atau rangsangan dari luar, baik dari lingkungan sosial maupun budaya, hakim tidak akan bertindak sebagai robot, dalam arti tindakan yang
diambil semata-mata sbagai tindakan atas rangsangan atau stimulus sosial, tetapi tindakan tersebut dilakukan sebagai hasil dari proses interpretasi
terhadap stimulus sosial tersebut. Teori perilaku hukum dikemukakan oleh Donald Black, menjelaskan
dari sudut pandang sosiologis, hukum bukanlah apa yang oleh pakar hukum dipandang sebagai aturan-aturan yang mengkat dan wajib dilaksanakan, tetapi
sebagai contohnya hukum lebih merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dapat diamati dari perilaku hakim, polisi, pengacara, jaksa penuntut
umum atau pejabat administratif. Dari sudut pandang seperti ini, hukum seperti fenomena perilaku lainnya, dapat menerima metode ilmiah seperti
aspek realitas lain. Tidak ada aturan intelektual yang khusus, yang dibutuhkan untuk studi hukum tersebut. Pada waktu yang bersamaan, justru ilmu sosial
tentang hukum yang terkait pada positivisme, yaitu teori ilmu yang
commit to user 179
konvensional, tidak dapat terlepas dari batasan-batasan yang melekat pada pemikiran ilmiah itu sendiri
273
. Lawrence M. Friedman
274
, mengemukakan istilah
legal behavior
perilaku hukum adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan
wewenang hukum. Perilaku hukum bukan hanya perilaku yang taat hukum, tetapi semua perilaku yang merupakan reaksi terhadap sesuatu yang sedang
terjadi dalam sistem hukum. Reaksi dapat berupa ketaatan atau ketidaktaatan terhadap hukum, reaksi menggunakan atau tidak menggunakan suatu aturan
hukum. Danah zohar dan Ian Marshall
275
, berkaitan dengan hukum dan perilaku hukum dalam proses peradilan mengemukakan, cara berpikir manusia yang
paling sederhana memang mirip dengan mesin, yang bisa disimbolkan dalam IQ
intellectual quotient
. Untuk waktu yang lama, cara berpikir seperti itu mewakili kemampuan berpikir manusia, sehingga semua ingin diukur dengan
standar IQ, dan cara berpikir itu disebut sebagai
serial thinking
, juga disebut
simplictic model of thinking,
yaitu berpikir secara lurus, logis dan tanpa melibatkan emosi. Hal tersebut tidak salah menurut mereka, tetapi IQ saja
belum menggambarkan atau mewakili cara berpikir manusia seluruhnya. Sehubungan dengan hal tersebut untuk melengkapi IQ, kemudian muncul EQ
emotional quotient
, yaitu berpikir asosiatif atau berpikir dengan hati dan badan. Terakhir adalah SQ
spiritual quotient
yang oleh Zohar dan Marshall dinobatkan sebagai intelegensi yang paling sempurna
ultimate intelligence
. Berbeda dengan IQ, maka SQ oleh Zohar danMarshall disebut
unitive thinking
yang melahirkan kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan yang bermakna
meaning-giving
, berpikir dalam konteks dan melompat keluar dari ikatan
transformative
. Pensifatan lain untuk SQ adalah berpikir kreatif, penuh wawasan
insightful
dan intuitif.
273
Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 152.
274
Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 144.
275
Danah Zohar dan Ian Marshall, dalam Satjipto Rahardjo, 2007, Op., cit., hlm., 92-93.
commit to user 180
Mutatis mutandis,
cara-cara berpikir tersebut juga ditemukan dalam dunia hukum. IQ boleh mewakili ilmu hukum analitis, yang bermodal
peraturan-peraturan dan mengolahnya dengan bantuan logika. Hal inilah cara berhukum yang umum dijumpai, termasuk di negeri kita. Kredo yang dipakai
di sini adalah “peraturan dan logika”. Seperti pada kecerdasan rasional, maka cara berhukum atau menjalankan hukum mengikuti deret hitung, setapak demi
setapak secara rasional. Di sini orang lebih melihat ke dalam hukum atau bangunan peraturan sendiri daripada keluar, tidak ada pikiran asosiatif yang
mengaitkan hukum kepada masyarakat. Puncak cara berhukum adalah manakala kita berani untuk lepas dari belenggu perundang-undangan dan
menemukan hal-hal baru yang progresif. Di sini kita tidak lagi berpikir matematis menurut deret hitung atau mengeja pasal-pasal undang-undang,
melainkan bertindak kreatif dan melompat. Melompat dalam arti tidak mengikuti atau terikat pada kebiasaan-kebiasaan yang lalu atau biasa disebut
yurisprudensi atau
stare decisis,
melainkankeluar dengan putusan-putusan baru sama sekali. Kalau cara berhukum yang legalistik, positif-analitis, disebut
sebagai
rule making,
pemikiran kreatif dan intuitif tersebut disebut sebagai
rule breaking.
Contoh dalam sejarah yang sangat terkenal mengenai berpikir kreatif- intuitif dan
rule breaking
adalah putusan
arest
yang dibuat oleh Hooge Raad HR Belanda pada tanggal 31 Januari 1919. Sedemikian lompatan atau
pendobrakan
rule breaking
dari putusan mahkamah Agung Belanda tersebut, sehingga dinamakan “Revolusi di Bulan Januari”. Sampai dengan bulan
Januari 1919, yang disebut perbuatan melawan hukum
onrechtmatige daad
, hanyalah yang jelas-jelas melanggar pasal dalam undang-undang. Sengketa
yang akhirnya menuai putusan yang luar biasa itu dimulai dengan pengaduan Lindenbaum, pengusaha percetakan, terhadap Cohen juga pengusaha
percetakan. Lindenbaum merasa sangat dirugikan oleh perbuatan Cohen, yang membujuk pegawainya dengan janji-janji dan hadiah agar membocorkan
rahasia perusahaan Lindenbaum. Putusan HR pada 31 Januari 1919 atas sengketa tersebut tidak mengikuti tradisi putusan sebelumnya
jurisprudence
,
commit to user 181
melainkan membuat putusan baru. HR berbuat kreatif dengan melakukan
rule breaking.
Sejak saat itu, perbuatan melawan hukum, tidak hanya melanggar kewajiban hukum seseorang atau hak orang, melainkan juga melanggar
kesusilaan atau kehati-hatian
zorgvuldigheid
terhadap orang lain atau barang orang lain, sebagaimana dituntut dalam lalu-lintas sosial
276
. Dikemukakan bahwa putusan hukum tersebut tidak hanya didasarkan
pada tradisi yang bejalan, melainkan sewaktu-waktu bisa melompat. Berpikir dan bertindak ,melompat ini adalah membuat tradisi baru dan keluar dari yang
lama. Hakim tidak melakukan
serial thinking,
melainkan berpikir
transformatif.
Hal tersebut dibenarkan Glendon Schubert, peneliti aliran
behavioralisme
telah dikemukakan sebelumnya, sikap menjadi berbeda disebabkan oleh pilihan-pilihan terhadap hal-hal yang diyakini dan
menepiskan yang lain, pilihan tersebut didasarkan pada pengalaman hidupnya. Dengan mengambil pendapat Julius Stone, Satjipto Rahardjo, mengemukakan,
masalah hukum tidak bisa dimasuk-masukan atau dikotakkan ke dalam skema atau formula standar, hukum memiliki keunikan-keunikan, maka urusan
hukum diserahkan pada manusia. Dalam hal ini berarti membiarkan hukum untuk bisa membuat putusan-putusan yang penuh dengan pilihan-pilihan dan
manusilah yang mampu meyelesaikan pekerjaan dengan penuh pilihan. Hal ini didukung pendapat Zohar dan Marshall, manusia memiliki kemampuan
kemampuan berpikir yang tidak hanya logis, masinal dan serial, melainkan kreatif dan
rule-breaking,
mesin belum bisa melakukan yang terakhir. Dalam sejarah Amerika Serikat, munculnya
Supreme Court
sebagai kekuatan baru, yang semula sama sekali tidak diperhitungkan, adalan peran
John Marshall, Ketua MA Amerika Serikat 1801-1836. Marshall telah melakukan sesuatu yang besar, sehingga
Supreme Court
yang sebelum itu disebut sebagai bagian yang paling lemah dalam kenegaraan, dibanding
eksekuitf dan legislatif, muncul sebagai kekuatan di samping keduanya. Di tengah Amerika Serikat, kehilangan kepercayaan dan tidak adanya
kemampuan dan kemauan dari pengadilan, bagaikan halilintar di siang hari
276
Satjipto Rahardjo, 2007, Op.,cit., hlm., 95.
commit to user 182
bolong, pada tahun 1803, Ketua Mahkamah Agung John Marshall, menyatakan bahwa Mahkamah memiliki kekuatan untuk menyatakan undang-
undang
act of Congress
sebagai tidak konstitusional. Di pihak lain peran Hakim Agung Earl Warren sangat kreatif dalam perubahan sosial di Amerika
Serikat, ia tampil sebagai
transformator
menuju Amerika baru, yaitu dengan menerima tugasnya bukan hanya sebagai hakim, tetapi legislator. Hakim
Indonesia tampil sebagai hakim yang mempunyai keberanian, seperti Bismar Siregar, Adi Andojo Soetjipto, Baharuddin Lopa, Kusumah Atmaja, Hoegeng
kepolisian, beliau memeriksa perkara bertanya pada hati-nuraninya terlebih dahulu dan kemudian baru mencari pasal-pasal dalam undang-undang untuk
memberi legitimasi
277
.
277
Satjipto Rahardjo, 2007, Op., cit., hlm., 102.
commit to user 183
Kerangka Pemikiran
NEGARA HUKUM
NEGARA KESEJAHTERAAN WELFARE STATE
MALAADMINISTRASI
PTUN
PENGAWASAN PEMERINTAH
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT
UU dan AAUPB
UU TIDAK LENGKAP, KURANG ATAU TIDAK
JELAS
METODE PENEMUAN
HUKUM
PENEMUAN HUKUM
MEMBANGUN KONSTRUKSI
PENEMUAN HUKUM
TEORI
commit to user
184
BAB III METODE PENELITIAN