Pengembangan Bahasa Dalam percaturan multibidang, bahasa memegang peran yang krusial.

ditandai dengan bentuk yang khas, pemilihan nama yang kekanak-kanakan, isi yang emosional, dan marak diberbagai media. Contoh tersebut masih belum seberapa jika dibandingkan dengan makian yang ada di youtube. Bertebaran kata kotor dan kasar, menunjukkan bagaimana bahasa juling ke dalam salah satu fungsi, yakni fungsi ekspresif. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mengalami disfungsi sosial sehingga perlu usaha penegakan kembali. Berbagai usaha menegakkan kembali bahasa Indonesia telah dilakukan oleh berbagai pihak, antara lain himbauan, pelatihan, workshop, pembinaan, lomba-lomba, pemodelan, dan konsultasi. Meskipun demikian, hasilnya belum seperti yang diharapkan. Generasi muda sebagai agen perubahan masih terus menerus membuat kreasi bahasa yang semakin jauh dari bentuk standar. Belum lagi variasi gaul dari integrasi bahasa Inggris yang semau- mau juga semakin menjamur dan mampu menyebar luas menembus kalangan dewasa. Eksperimen bahasa yang demikian gencar, menjadi kekuatan yang terus menekan kelangsungan bahasa Indonesia dari waktu ke waktu. Hal ini bukan masalah sepele karena bahasa terkait erat dengan budaya dan karakter penuturnya. Pun setiap bahasa memiliki jati diri. Apabila jati diri suatu bahasa atau variasi bahasa tidak jelas, dapat diprediksi bahwa budaya dan karakter yang diusungnya pun labil. Hal inilah yang perlu diwaspadai. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, memiliki arti bahwa bahasa Indonesia harus cukup kuat berdiri dan menaungi bahasa-bahasa daerah yang mengayakannya. Bahasa Indonesia tidak boleh mendesak atau didesak oleh bahasa daerah. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah harus berdiri bersama- sama sesuai fungsi dan kedudukan masing-masing sehingga keberagaman Indonesia dalam berbagai bahasa dan budayanya dapat dijamin. Oleh karena itu, penegakan diglosia menjadi syarat bagi tegakkan keberagaman di Indonesia.

B. Pengembangan Bahasa Dalam percaturan multibidang, bahasa memegang peran yang krusial.

Sebagai alat berpikir, bahasa mewadahi sekaligus menyaranai kebutuhan penuturnya dalam berbagai keperluan. Bahasa mengayakan ide melalui bentuk-bentuk yang kreatif dan inovatif. Bahasa juga mendokumentasikan kreativitas melalui bentuk-bentuk yang mengandung fitur-fitur semantik baru. Bahasa juga memberi peluang bagi penuturnya untuk terus mengembangkan kekayaan repertoarnya, menyinergikan berbagai konsep, serta mengembangkan bentuk-bentuk yang tepat. Oleh karena itu, perlu bagi pemegang kebijakan mengembangkan bahasa secara tepat agar bahasa, dalam pengertian ini bahasa Indonesia, tidak terbonsai di tengah desakan bahasa- bahasa lain di dunia. Mengembangkan bahasa berarti juga mengembangkan jati diri dan karakter penuturnya. Mengembangkan bahasa tidak hanya terkait dengan masalah repertoar tetapi juga menyangkut penegakan identitas dan nilai-nilai baik yang membangunnya. Mengembangkan bahasa perlu melihat aspek politik bahasa dan pengembangan sumber daya. Hal ini penting demi tegaknya disiplin berbahasa sekaligus pragmatik berbahasa. Tanpa melihat kedua hal tersebut, penutur bahasa akan gamang dan mengarahkan bahasa pada bentuk baru yang lepas dari kultur tinggi bangsanya. Bahasa Indonesia akan rusak dan ditinggalkan pada akhirnya. Dalam masyarakat multilingual, usaha pengembangan bahasa menjadi masalah yang kompleks dan sulit. Pengembangan bahasa tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memandang kedudukan satu bahasa di antara bahasa yang lain. Meskipun menurut Hoffman 1991, bahasa milik kelompok mayoritas cenderung berada pada posisi superior, usaha pengembangan bahasa di Indonesia tetap perlu mempertimbangkan kehidupan semua bahasa. Bagaimana pun, lanjut Hoffman 1991, bahasa merupakan perwujudan dan indikator identitas kelompok yang langsung teramati sehingga memberi peluang “hidup bersama” pada semua bahasa merupakan pelestarian nilai-nilai yang hidup dalam komunitas bahasa tersebut. Pada kondisi yang buruk, pengembangan bahasa tidak berjalan optimal karena tiap-tiap bahasa berperilaku sebagai “pembocor” bahasa yang lain atau bahkan berebut kedudukan dan fungsi dalam masyarakat. Di Indonesia, sebagai negara yang multilingual, perebutan memang tidak terjadi. Tetapi fenomena pembocoran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah, dan antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing justru terus terjadi. Fenomena “saling membocorkan” ini berbahaya bagi kelangsungan setiap bahasa. Akibat yang dapat diprediksi adalah perkembangan bahasa akan juling dan kedirian bahasa sebagai wujud jati diri penutur akan rubuh. Dalam masyarakat multilingual, mengembangkan bahasa berarti juga mendudukkan bahasa pada tempatnya dan mengendalikan kebocoran diglosia sehingga setiap bahasa mampu berperan optimal. Ini berarti dibutuhkan kesadaran tentang variasi rendah dan variasi tinggi, atau kesadaran tentang kedudukan setiap bahasa yang hidup berdampingan. Setiap penutur wajib menjaga stabilitas tersebut dan pemangku kebijakan harus memastikan stabilitas tersebut tetap berada pada tempatnya masing-masing. Bukan itu saja, penguasaan bahasa oleh bilingual di Indonesia perlu didorong ke arah pengayaan bahasa bukan “pengadonan” bahasa sehingga menghilangkan karakteristik lingustiknya. Penelitian Paul Ohoi Wutun 2002 di Bantul menunjukkan bahwa proses pencampuran bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam hal ini bahasa Jawa telah dilakukan sejak dini. Fenomena ini didahului oleh kebiasaan para guru TK dan SD yang gemar mencampur kedua bahasa tersebut sehingga anak-anak mengalami hambatan memperoleh bahasa Indonesia dan bahasa daerah dengan baik. Apabila fenomena ini terus terjadi, pengembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah akan terhambat. C. Jati Diri dan Karakter dalam Bahasa Bahasa dipelajari sejak dini, yang berarti membentuk jati diri dan karakter pun dimulai sejak dini. Ketika pertama belajar bahasa, secara tidak langsung anak menandai dirinya sebagai penutur bahasa lengkap dengan jati diri bahasa tersebut. Anak belajar bahwa bahasa yang didengarnya memiliki fitur fonologis yang berbeda-beda, bahwa bahasa yang dipajankan dihadapannya berbeda dengan yang didengarnya di televisi, bahwa orang berkomunikasi secara berbeda dan dengan gaya yang berbeda pula, bahwa ada susunan bunyi yang muncul secara berurutan. Hal-hal tersebut merupakan contoh butir-butir jati diri atau identitas yang melekat dalam bahasa. Pada saat belajar bahasa anak pun membangun konsep bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang demokratis sekaligus menjunjung nilai-nilai kesantunan melalui bentuk-bentuk sapaan, pilihan kata, dan paralinguistiknya. Anak mengenal kata-kata santun melalui contoh dan mengonstruksi struktur dan konsep pragmatik berbahasa melalui interaksi intensif dengan lingkungannya. Hal ini berarti jati diri bahasa dikonstruksi sejak belajar bahasa dimulai. Jati diri bahasa pun dibentuk oleh penutur dini. Selain butir-butir jati diri, karakteristik positif dalam bahasa pun dikonstruksi sejak anak belajar bahasa. Anak belajar melalui pajanan yang baik dan mengenal butir-butir karakter terkait afiliasi komunikasi. Bentuk “terima kasih”, “apa kabar”, dan “siapa namamu?” merupakan contoh afiliasi awal yang berkarakter baik, yakni menghargai orang lain, peduli, dan berani. Selain itu, anak pun belajar resolusi konflik, karakter sportif dan mengakui kesalahan melalui bentuk “maaf” dalam konteks riil komunikasi. Oleh karena itu, menjadi penting bagi anak untuk memperoleh pajanan bahasa yang baik agar konstruksi jati diri dan karakter baik terjadi dalam waktu yang tepat secara malar. Satu hal yang perlu disadari, bahwa belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar memperoleh alat berpikir, yang oleh Vygotsky 1986 diistilahkan sebagai tools of the mind. Bahasa merupakan sarana bagi anak untuk belajar fungsi dasar bahasa yakni memahami berbagai informasi, menjalin komunikasi, dan mengenali diri. Melalui bahasa anak menerima dan membangun informasi, mengenal dunia sekitarnya, dan memaknai peristiwa. Apa yang didengar anak bukan sekedar bunyi melainkan sederetan informasi yang disusun dari kata-kata yang terdiri atas bunyi-bunyi bahasa. Anak belajar bahwa apa yang dikatakan orang lain mengandung informasi. Melalui bahasa pula anak belajar menjalin komunikasi dengan orang di sekitarnya, terutama mengeskpresikan pikiran dan perasaannya. Melalui bahasa pula anak belajar mengenali diri mereka sendiri. Mereka belajar bagaimana mengungkapkan perasaan secara nyaman, mendeskripsikan diri mereka, dan memperoleh cara-cara yang tepat untuk menjadi diri mereka sendiri. Anak, dalam berbagai tahapan perkembangan kognitif Piaget 1959, mengembangkan alat berpikir dalam bahasa melalui kompleksitas fungsi- fungsi bahasa lihat Halliday, 1973. Fungsi dasar bahasa tumbuh dan berkembang dengan baik, hanya, apabila anak berada dalam lingkungan bahasa yang bergizi dan memiliki kesempatan cukup untuk beraktualisasi secara verbal. Anak yang hidup dalam kode luas istilah Basil Breinstein dan dipenuhi pajanan istilah Soenjono akan memiliki verbal repertoar yang lebih kaya daripada anak-anak yang dikekang dalam proses perkembangan bahasanya. Fungsi dasar bahasa anak akan berkembang dan terjadi proses penjlimetan sehingga efektivitas penggunaan bahasa semakin menguat. hal ini digambarkan oleh riset Halliday 1973 yang terus dikembangkan melalui penelitian linguistik dalam bentuk skripsi dan tesis di Indonesia. Berdasarkan pembicaraan di atas, tepatlah bahwa mengembangkan karakter melalui bahasa merupakan salah satu pilihan yang tepat. Bukan suatu hal yang mustahil karena sejak usia dua tahun anak sudah mulai menggunakan bahasa sebagai sarana berpikir. Dalam dunia perkembangan anak, bahasa dan kognisi tidak dipisahkan NAEYC, 2004. Karakter sendiri merupakan hasil dari proses berpikir yang sangat rumit. Menurut Pasiak dalam Musfiroh, 2011, pendidikan karakter pada hakikatnya adalah pendidikan otak, khususnya bagian prefrontal. Bahasa, di lain pihak, berpusat pada hemisfer kiri. Meskipun demikian, muatan bahasa, termasuk muatan karakternya terkait dengan area otak yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa memegang peran yang luar biasa dalam proses pengembangan karakter manusia. D. Fungsi Mental Tinggi dalam Bahasa Menurut Vygotsky 1986, bahasa memainkan peran utama dalam proses perkembangan mental manusia. Artinya, bahasa memainkan peran yang cukup besar dalam kognisi. Bahasa merupakan mekanisme aktual untuk berpikir dan merupakan alat berpikir. Bahasa menjadikan proses berpikir lebih abstrak, fleksibel, dan terlepas dari stimulasi langsung. Melalui bahasa, memori dan antisipasi ke depan dibawa ke dalam situasi baru, yang dengan demikian memengaruhi hasil. Ketika seorang anak menggunakan simbol- simbol linguistik dan konsep untuk berpikir, mereka tidak lagi membutuhkan kehadiran objek yang dipikirkannya. Bahasa merupakan alat mental yang utama karena bahasa memfasilitasi pemerolehan alat lain dan digunakan untuk berbagai fungsi mental. Berbagai alat mental dipelajari melalui berbagai pengalaman yang berarti melalui komunikasi antarmanusia. Pembicaraan tentang bagaimana menganalisis kerusakan mesin melalui proses tutorial, misalnya, merupakan contoh peran bahasa dalam memfasilitasi level kognisi tentang permesinan yang lebih tinggi. Tutor atau instruktur menciptakan strategi penguasaan mental tinggi melalui perhatian, memori, feeling, dan pemecahan masalah. 2 Contoh dalam suatu proses belajar mengajar. Guru : Terlihat ya girnya berputar Siswa : iya, Pak. Mengapa bisa begitu? Guru : Coba perhatikan, dari sini…. Coba lihat…. …. Instruksi “Coba lihat”, “Coba perhatikan” merupakan contoh satuan lingual yang dimanfaatkan untuk menarik perhatian. Demikian halnya deskripsi, simpulan, penelusuran sebab akibat, semuanya merupakan perilaku verbal yang mendorong penguasaan mental tinggi Bodrova Leong, 1996. Menurut Vygotsky 1992, proses mental dapat dibagi menjadi dua, yakni fungsi mental rendah dan fungsi mental tinggi. Fungsi mental rendah meliputi proses kognitif seperti sensasi, atensi reaktif, memori spontan, dan intelligensi sensormotor. Sensasi mengacu pada penggunaan lima indra dalam proses mental. Atensi reaktif mengacu pada atensi yang didominasi oleh rangsang lingkungan yang terkuat. Adapun memori spontan mengacu pada kemampuan untuk mengingat setelah ada pemaparan stimulasi. Sensormotor mengacu pada kemampuan mengatasi masalah yang terkait dengan manipulasi motor dan coba galat. Fungsi mental tinggi diperoleh melalui proses belajar. Termasuk dalam fungsi mental tinggi adalah deliberasi, mediasi, dan internalisasi. Termasuk di dalam deliberasi adalah persepsi yang dimediasikan, antensi terfokus, memori deliberasi, dan berpikir logis. Persepsi yang dimediasikan mengacu pada kemampuan membedakan objek yang mirip dan menemukan objek dalam bentuk lain. Atensi terfokus mengacu pada kemampuan berkonsentrasi dari berbagai rangsang termasuk rangsang yang menyolok. Memori deliberasi mengacu pada penggunaan strategi memori untuk mengingat sesuatu. Berpikir logis mengacu pada kemampuan untuk memecahkan masalah dengan menggunakan logika dan strategi lain. E. Karakteristik Fungsi Mental Tinggi Fungsi mental tinggi memiliki karakteristik deliberasi, mediasi, dan internalisasi. Deliberasi digunakan dalam pengertian pengontrolan proses berpikir dengan didasarkan pada proses analisis dan memilih. Dengan kata lain fungsi mental tinggi digunakan dengan disengaja dan bertujuan. Sebaliknya fungsi mental rendah justru terpecah dan tidak bertujuan. Seseorang yang tidak dapat menemukan satuan lingual yang keliru, tidak dapat menyimak dengan baik, menyerah pada gangguan, dan menggunakan bentuk-bentuk linguistik dari variasi bahasa tanpa tujuan tertentu dapat dikatakan sebagai penutur bahasa yang masih dalam fungsi mental rendah. Sebaliknya, seseorang yang mampu menemukan satuan lingual di antara satuan lingual lain, mampu menyimak penjelasan meskipun suasana bising, serta mampu menyusun kalimat dengan baik sesuai dengan tujuannya dikategorikan sebagai seseorang dengan fungsi mental tinggi. Mediasi merujuk pada penggunaan simbol dalam proses mental, termasuk penggunaan sesuatu untuk merepresentasikan perilaku atau objek di sekitarnya. Tanda atau simbol mungkin spesifik mungkin universal, mungkin sempat mungkin luas. Penggunaan bentuk hormat seperti Bapak, Tuan, Kak merupakan contoh mediasi ini. Demikianlah dengan pemilihan bentuk “kepo lu” dengan ‘mau tahu saja kamu’ merupakan hasil dari mediasi linguistik. Mediasi ini memungkinkan butir karakter menghargai orang lain, sopan- santun, tidak sombong, tidak berlebih-lebihan, dan tidak mendominasi pembicaraan dapat terwujud. Mediasi memungkinkan seseorang tidak sekedar mendeskripsikan tetapi juga melakukan pemilihan satuan lingual yang paling baik dan membuat perencanaan secara lebih cepat dan akurat. Internalisasi merupakan proses penghayatan dalam pikiran seorang individu yang tidak dapat dilihat. Seorang yang terbiasa berbicara sopan, patuh terhadap aturan berbahasa secara struktur dan sosial merupakan contoh penutur yang sudah mencapai tahap internalisasi. Berikut ini contoh dialog yang mengindikasikan ketercapaian tahap internalisasi pada diri seorang penutur. 3 Contoh dialog tahap internalisasi Nuria : Kamu sedih kenapa? Watik : Ibuku sakit. Tidak ada biaya ke dokter. Nuria : Kamu yang sabar ya? Nanti sore kita bawa ibumu ke dokter. Watik : Terima kasih ya Nur. Kamu memang teman yang baik. Nuria : Sama-sama, Tik. Berbahagialah kamu masih punya ibu. Watik : Jangan sedih ya, Nur. Ibumu pasti bahagia di surga. …. Percakapan di atas mengindikasikan kuatnya pemahaman penutur dalam hal informasi nonlinguistik makna raut muka, kemampuan memahami makna di balik kata-kata atau “kebutuhan akan pertolongan” sekaligus implikasi empati Nuria terhadap kondisi ibu Watik. Penghayatan Nuria atas masalah Watik membuat Nuria segera bertindak membantu tanpa diminta. Hal itu dilakukan, mungkin karena Nuria memang memiliki karakter belas kasih dan suka menolong, mungkin juga karena dia ingat pada ibu kandungnya yang sudah tiada. Ketiadaan ibu kandung itu justru mendorong Nuria untuk menolong Ibu Watik dengan segera. Nuria tidak ingin Watik kehilangan ibu seperti dirinya. Hal ini juga menunjukkan bahwa internalisasi merupakan proses yang bertahap, bermula dari mengerti, meyakini, lalu bertindak. Internalisasi merupakan proses yang benar-benar merasuk dalam pikiran dan secara otomatis muncul dalam tindakan. Bagaimanakah perkembangan fungsi mental tinggi terjadi? Fungsi mental tinggi menurut Vygotsky 1992 berkembang melalui cara yang spesifik. Pertama, fungsi mental tinggi tergantung pada fungsi mental rendah. Kedua, fungsi mental tinggi ditentukan oleh konteks kultural. Ketiga, fungsi mental tinggi berkembang dari fungsi yang bersifat sosial berbagi ke fungsi yang bersifat individu. Keempat, fungsi mental tinggi melibatkan internalisasi alat. Fungsi mental tinggi dibangun dari fungsi mental rendah. Anak-anak yang belajar bahasa tidak akan mampu mengingat seluruh instruksi atau contoh bahasa yang baik dan mencerminkan karakter positif. Mereka perlu diberi metode untuk mengingat kata kunci, merangkai kata kunci, dan membuat sendiri konsep atau definisi dengan bahasa yang baik, benar, dan santun. Anak-anak juga dapat diberi tugas mengedit lalu mengkonstruksi kembali status, sms, atau pernyataan yang kurang baik dengan cara menandai bentuk- bentuk yang kurang sopan, menerima bentuk alternatif, lalu menggunakannya dalam konteks tersebut. Melalui latihan ini, anak-anak mampu menemukan unsur-unsur yang dinilai kurang jelas, kurang santun, otoriter, superior, memaksa, menghina, sehingga memiliki daftar bentuk dalam fungsi mental rendah. Di sinilah peran guru dimainkan untuk mengaitkan konsep baru dengan konsep dalam fungsi mental rendah. Fungsi mental tinggi memang umumnya sudah dimiliki ketika anak berusia remaja. Meskipun demikian, Fungsi mental tinggi tidak sempurna dalam segala bidang. Dalam bidang bahasa ketidakmampuan mendeteksi sendiri tuturan yang dipandang kurang baik merupakan contoh tidak hadirnya fungsi mental tinggi dalam proses berbahasa. Fungsi mental tinggi dalam kondisi ini dikembangkan melalui metode tandai-konstruksi tersebut. Fungsi mental tinggi dipengaruhi konteks kultural. Budaya memengaruhi baik esensi fungsi mental tinggi maupun penguasaan fungsi mental tinggi. Berpikir abstrak dan penggunaan bilangan, misalnya, dipelajari secara berbeda sesuai dengan latar belakang budaya. Oleh karena itu, memanfaatkan fungsi mental tinggi berarti juga menguatkan akar kebudayaan pada peserta didik melalui latihan kategorisai Ceci, 1991. Tujuannya adalah agar tuturan dan tulisan yang mereka hasilkan sesuai dengan budaya yang dijunjung dalam masyarakatnya. Bagaimana pun anak-anak tidak dapat dipersalahkan atas kegagalan mereka berbahasa yang baik apabila lingkungan tidak menyediakan data untuk proses kategorisasi. Fungsi mental bergerak dari fungsi bersama ke fungsi individual. Mula-mula anak terlibat dalam tanya jawab, bertukar pikiran, dan berbagi. Apabila mula- mula fungsi mental terbebas kultur dan lepas konteks, maka pada akhirnya setelah proses berbagi terjadi, anak mulai melihat bahasa sebagai gejala yang dependen Bodrova Leong, 1996. Anak mulai melihat bahwa semakin matang seseorang, tuturan yang dihasilkan pun semakin lekat konteks dan kultur. Bahasa menjadi cermin bagaimana individu membawakan dirinya dalam konteks dan kultur tersebut. E. Fungsi Mental dan Penegakan Diglosia Di Indonesia, kebocoran diglosia terjadi dalam berbagai ranah. Padahal, tanpa kejelasan kedudukan dan fungsi, proses mental tinggi dalam berbahasa sulit dioptimalkan hingga taraf muatan karakter. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan jati diri dan karakter tidak terlepas dari pengembangan bahasa yang didasarkan pada penguatan fungsi mental tinggi, dalam ketegakan diglosia. Mustahil seorang penutur dapat menyuguhkan jati diri bahasanya apabila tuturannya tidak menggambarkan ciri khas bahasanya, dan memiliki penguasaan bahasa yang terbatas, tidak sempurna, dan hanya menyuguhkan fungsi dasarnya. Untuk menyuguhkan jati diri bahasa, penutur harus memiliki kemampuan fungsi mental tinggi yang dalam proses komunikasi sudah sedemikian baik. Selain itu, karakter pun tidak akan berkembang baik dalam diri penutur yang tidak mencapai fungsi mental tinggi. 4 Contoh dialog campur bahasa Guru : anak-anak ayu duduke sik anteng ‘ayo anak-anak duduk yang tenang’ Siswa : yang tidak anteng nanti tidak dapat biji ya Bu.. Guru : iya ini bijinya ndol-ndol ya? Siswa : Bu guru, Irwan mendelik ini. Guru : nanti kalau ndelik, jewer yaa.. Contoh di atas menunjukkan bahwa penutur dini kehilangan kemampuan menemukan fitur bahasa, justru karena guru mereka memberikan pajanan yang demikian. Anak-anak tidak dapat membedakan kosa kata kedua bahasa dan kehilangan kemampuan mendeteksi imbuhan bentuk dasar. Jati diri bahasa dan fungsi luas bahasa dalam masyarakat multilingual sangatlah rumit. Jika tiap-tiap bahasa memiliki fungsinya yang tegak, permasalahan tersebut menjadi lebih mudah dipecahkan. Hal ini berarti, apabila situasi khusus yang mensyaratkan pemilihan bahasa dilakukan lihat Fergusson via fasold, 1984, maka masing-masing bahasa akan memiliki daya hidupnya sendiri. Meskipun demikian, kondisi di Indonesia tidak sepenuhnya memuaskan. Sebagai bangsa yang multilingual dan diglosik bahkan mungkin triglosik lihat Fishman via Paulston Tucker, 2003 Indonesia berada pada kondisi potensi dan risiko sekaligus. Penggunaan fungsi mental dalam situasi diglosik yang tegak dapat ditandai dari penggunaan bahasanya. Semakin baik dan konsisten bahasa yang digunakan seseorang, pun dapat ditinjau dari pengertian bahasa sebagai perilaku tampak, semakin baik pula fungsi mental tinggi yang dimilikinya. Dalam masyarakat multilingual yang taat terhadap ketegakan diglosia, bahasa lain justru memerkaya pengetahuan linguistik, psikologis, sosiologis, dan budaya penuturnya. Hal ini berarti, kinerja alat berpikir menjadi meluas dalam berbagai dimensinya, yakni dimensi psikologis sehingga penutur dapat menguasai gangguan dan tekanan psikologis saat berbicara, dimensi sosiologis sehingga pembicara dapat melihat identitas peserta tutur, dimensi kultural sehingga pembicara dapat mengemas seluruh aturan budaya yang dianut dalam bahasanya, serta dimensi linguistik sehingga pembicara atau penutur mampu menunjukkan performansi bilingual terbaiknya. Akan halnya penegakan diglosia selalu terkait berbagai faktor, antara lain a penggunaan bahasa dalam situasi seremonial, politik berbicara, pengantar kuliah, pembicaraan dengan keluarga, broadcast baru, radio opera sabun, penggunaan dalam surat kabar, karya sastra, b pandangan prestise bahasa, c standardisasi, d stabilitas, e aturan gramatika, f kekayaan leksikon, dan sistem fonologisnya Paulston dan Tucker, 2003.

F. Penutup Dengan demikian jelas bahwa melalui fungsi mental tinggi penutur bahsa