Raden Kumbakarna buang ke kali E, sungainya banjir, hanyutkan pinggir
8
tiga konsep, yakni guna, kaya, purun. Guna adalah nilai kemanfaatan, kaya adalah nilai kehartaan, dan purun adalah nilai kemauan. Hal ini tampak pada kutipan berikut :
“Yogyanira sang para prajurit, lamun sira padha anuladha, duking nguni caritane, andelira sang prabu Sosrobahu ing Maespati, aran patih Suwanda, lelabuhanipun, kang ginelung tri
prakara, guna kaya purun den antepi, nuhoni trah utama” wahai para prajurit, jika kalian mencari keteladanan, dalam cerita dulu, adalah kepercayaan
prabu Sosrobahu di Maespati, yang bernama Patih Suwanda, guna kedudukannya, yang terangkum dalam tiga perkara, yakni kegunaan, kekayaan, dan kesanggupan, kesemuanya
dilaksanakan, demi sikap ksatria.
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa patih Suwanda adalah sosok ksatria kepercayaan raja Maespati bernama Prabu Sosrobahu. Patih Suwanda dipercaya oleh rajanya
karena ia memiliki watak nuhoni trah utama, yakni mengutamakan tugas ksatria di samping nafsu pribadi, yang terkait dengan harta, tahta, dan wanita.
Dalam pengabdiannya sebagai ksatria, ada tiga tugas yang diemban Patih Suwanda, yakni guna, kaya, purun. Guna adalah kegunaan, kaya adalah kekayaan, dan purun adalah
kesanggupan. Tiga tugas itu guna, kaya, purun dapat dilaksanakan dengan sukses oleh Patih Suwanda dengan menundukkan Magada beserta harta rampasan dan putri boyongan yang
kesemuanya diserahkan kepada raja Prabu Sosrobahu di kerajaan Maespati. Bahkan hingga nyawanya melayang, ia gugur di medan perang.
“Lire lelabuhan triprakawis, guna bisa saniskareng karya, binudi dadi unggule, kaya sayektinipun, duk bantu prang Magada nagri, amboyong putri dhomas, katur ratunipun,
purune sampun tetela, aprang tandhing lan ditya Ngalengka aji, Suwanda mati ngrana”. Maksud pengorbanan tiga hal, guna berarti bermanfaat dalam kehidupan, karya unggul
budinya, kaya dan purun berarti, sewaktu perang di Magada, dapat memboyong putri dhomas, dan diserahkan kepada rajanya, kesungguhannya sudah terlihat, sewaktu perang
melawan raksasa, dari negeri Alengka, dan Suwanda mati di sana.
Sebagai seorang ksatria, Patih Suwanda menunjukkan rasa nasionalismenya ketika berperang melawan Magada. Ia mampu menundukkan musuhnya dan membawa rampasan
perang berupa harta benda dan puteri boyongan. Sebagaimana diketahui, tradisi jaman dulu, jika memenangkan peperangan, pemenang dapat membawa putri kerajaan dan harta benda
sebagai harta rampasan. Namun dalam peperangan berikutnya, Patih Suwanda tewas di medan laga sebagai ksatria kusuma bangsa. Ia berpulang dengan terhormat selaku bayangkari
negara.
Jika peserta didik mampu meneladani jiwa ksatria Patih Suwanda, niscaya wujud dari kualitas pendidikan ini akan murakabi bagi kehidupan. Kesanggupan peserta didik dalam
mewujudkan jiwa ksatria ini tentu saja tidak lepas dari peran guru mereka. Dengan kata lain, murid yang berjiwa ksatria hanya akan lahir atau muncul dari guru yang berjiwa ksatria juga.
Pepatah mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Jadi dalam hal ini, guru, orang tua, dan pemimpin dituntut mampu memberikan keteladanan, agar buah yang dihasilkan juga
unggul.