Perempuan Asing dan Larangan Kawin Campur Dalam Ezra 9-10

1 BAB IV ANCAMAN DARI PEREMPUAN ASING DALAM EZRA 9-10 Diskusi teori dalam bab dua telah memaparkan beberapa konsep, seperti identitas sosial, isu-isu tentang the other , kedudukan perempuan di Israel Kuno; terkhususnya dalam hubungan dengan ikatan pekawinan dan perceraian, serta kajian feminisme. Sedangkan dalam bab tiga telah menyajikan latar belakang kitab Ezra dengan memperhatikan pengaruh Persia bagi masyarakat Israel selama pembuangan di Babilonia. Dalam bab ini penulis akan meninjau bahaya yang ditimbulkan oleh perempuan asing hingga timbulnya perceraian dengan perempuan asing dan menggunakan teori-teori dalam bab dua juga digabungkan dengan penemuan dalam bab tiga. Point penting yang harus dilakukan dalam bab ini adalah pertama-tama melihat berbagai aspek yang menghubungkan perempuan asing dan larangan perkawinan campur; diiukuti oleh penafsiran teks Ezra 9-10 dan kemudian penulis akan melakukan analisa yang menggabungan teori dan penemuan-penemuan dalam bab sebelumnya. Dan pada akhirnya dengan kontribusi dari penelitian ini bagi kehidupan kekinian.

A. Perempuan Asing dan Larangan Kawin Campur Dalam Ezra 9-10

Identitas perempuan asing menjadi sulit untuk dipahami karena dalam teks Ezra 9-10 suara perempuan tidak nampak. Seperti halnya, mereka dituduh sebagai yang asing dan berdampak pada pencemaran, tidak terlihat adanya pembelaan dari perempuan terhadap statusnya di saat itu. Namun, „tuduhan‟ itu juga dapat menyiratkan ada sesuatu yang ditakuti dari dalam diri perempuan., sehingga berdampak pada larangan perkawinan campur antara orang-orang Yehud orang-orang Israel di Yehuda dengan perempuan asing. Untuk lebih 2 memahami mengapa perempuan dalam teks Ezra 9-10 disebut sebagai orang-orang asing perempuaan asing, penulis menyajikan pendapat-pendapat para ahli yang nantinya berguna untuk merekosntruksi teks tersebut. Menurut Gunneweg „orang asingforeigners‟ merupakan pelabelan bagi penduduk yang sudah ada di negeri itu; yang mengklaim dirinya sebagai penduduk yang diimpor oleh Esarhadon, tetapi „orang asing‟ juga disebut dengan istilah “orang-orang tanahpeoples of the land”. Orang-orang tanah merupakan frase yang sering digunakan dalam perjanjian lama dan literatur rabi dan di kemudian hari yang merujuk kepada orang-orang yang diperhitungkan sebagai bukan Israel. 1 Claudia Camp mengatakan bahwa, orang asing atau dengan istilah zar dan nokri memilliki arti yang beragam; secara umum dapat diartikan sebagai seseorang yang berkebangsaan asing tetapi juga mengacu kepada orang-orang yang berada di luar ikatan wilayah kekerabatan, serta merupakan orang-orang yang bukan berasal dari kelompok para imam; sehingga orang-orang asing ini dalam kitab perjanjian lama tidak diperhitungkan dalam perjanjian dengan Yahweh. 2 Berdasarkan komposisi demografis Yehuda pada periode Persia, Eskenazi dan Judd mengusulkan bahwa perempuan-perempuan yang dikatakan asing ini kemungkinan berasal dari antara kelompok ini. Pertama , perempuan-perempuan ini bisa merupakan orang Yehuda atau orang Israel yang tidak ikut dalam pembungan ke Babilonia, atau mereka yang memiliki status sosisl-ekonomi yang berbeda dengan kelompok yang kembali dari pembuangan. Kedua , perempuan-perempuan ini bisa saja berasal dari bangsa-bangsa asing; yaitu bangsa- bangsa tetangga seperti Amon, Moab dan sejenisnya atau mereka yang berasal dari bangsa yang lebih jauh seperti Mesir. Ketiga, perempuan-perempuan ini bisa saja merupakan orang- orang yang berasal dari Yehuda dan Israel, namun dalam praktek dan keyakinan agamanya 1 Lester L. Grabbe, Ezra-Nehemiahi, 144-145. 2 Claudia Camp. “What‟s So Strange about the Strange Woman?” dalam The Bible and the Politics of Exegesis. Cleveland, OH: Pilgrim Press, 1991, 17-38 3 berbeda dengan orang-orang yang baru kembali dari pembuangan. 3 Dari ketiga kemungkinan ini dapat disimpulkan bahwa, seseorang dikatakann Yahudi; ketika turut serta dalam peristiwa pembuangan dan adanya kesamaan dalam keyakinan agamanya. Dalam Alkitab Ibrani sering menampilkan sosok perempuan asing dengan bentuk yang bereda-beda. Dalam bingkai ideologis, keasingan perempuan terkait dengan ritual dalam penyembahan dewa-dewa asing; yang berpotensi mempengaruhi laki-laki Israel. Perempuan asing juga merupakan bentuk kiasan yang merujuk pada perempuan dengan keanehan seksualitas perzinahan, pelacuran, dan perempuan yang mengontrol seksualitas mereka sendiri. Dalam Alkitab Ibrani, perempuan asing dideskripsikan sebagai orang-orang penipu atau mereka yang mengucapkan saksi dusta, sehingga tidak dapat di percaya. Perempuan asing juga digunakan sebagai lambang kejahatan dan kematian; perempuan asing dianggap sebagai penyebab laki-laki Israel kehilangan hak waris dan garis keturunan. 4 Pada mulanya kritik feminis menyoroti perempuan asing sebagai bentuk kecaman dan stigmatisasi di luar Israel, seperti istri Potifar, Delilah, dan Izabel yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan sistem patriarki dan ideologi etnosentris. 5 Pencitraan negatif terhadap perempuan asing juga terdapat pada pandangan Esther Fuch, yang menyatakan bahwa adanya penggambaran ambigu terhadap sosok perempuan. Ada kalanya perempuan asing hanya dipandang sebagai batas simbolik antara Israel dan diluar 3 Tamara C. Eskenazi and Eleanora P. Judd, “Marriage to a Stranger in Ezra 9- 10.” Dalam Tamara C. Ezkenazi dan Kent Richards peny Second Temple 2: Temple and Community in the Persian Period . Sheffield: Sheffield Academic Press, 1994, 269-270. 4 Claudia Camp, Wise, Strange, and Holy: The Strange Woman and the Making of the Bible Sheffield, U.K.: Sheffield Academi Press, 2000, 28-29. 5 J. Cheryl Exum, Fragmented Women: Feminist Subversionsof Biblical Narratives Vallery Forgw, Pa: Trimity Press Internasional, 1993, 68. 4 Israel, atau pada tingkatan tertentu mereka dilihat sebagai yang asing namun bagian dari orang Israel; sebagai bentuk kontruksi haybridcampuran. 6 Namun berbeda dengan pendapat ahli sebelumnya, dengan memfokuskan pada dinamika internal yang terjadi di provinsi Yehud dengan hubungan eksternalnya terhadap apparatus birokrasi kekaisaran maka kehadiran “the strange and foreign woman” Amsal 7:5 dapat dipahami sebagai bagian dari keanekaragaman masyarakat Yehud. Statusnya sendiri tidak dapat dipungkiri menjadi ancaman bagi pemeliharaan kultus Bait Allah kedua. Marbury berpendapat bahwa istilah issah zarah tidak serta merta mengacu kepada pelacur atau perempuan sundal seperti yang diusulkan oleh para penafsir sebelumnya. Dengan menggunakan kritik ideology, istilah ini menurutnya berhubungan dengan arti “perempuan asing yang belum menikah”. 7 Dalam periode pasca pembuangan, peran perempuan dalam Bait Allah kedua berada dalam kepemilikan dari bet abbot rumah bapa, serta akses perempuan terhadap dunia publik lebih dibatasi dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Hal ini belum tentu berlaku bagi perempuan di luar dari konteks bait Allah yang kedua. Perempuan yang tidak berada di dalam lingkaran bait Allah kedua yang dikenal dengan sebutan perempuan “asing” kemungkinan memiliki kebebasan yang lebih dibandingkan dengan perempuan yang berasal dari kalangan “golah” kelompok pembuangan di mana ia bebas mengendalikan kehidupan seksualitasnya baik untuk kepuasaan pribadi maupun untuk alasan mempertahankan kehidupan. 8 Dengan adanya pencitraan perempuan asing menurut otoritas Bait Allah Kedua ini maka seksualitas perempuan dikontrol dan suaranya didiamkan. Narasi golah dibangun sebagai penanda masyarakat Bait Suci kedua. Narasi ini memberikan dasar untuk membangun makna disemua 6 Esther Fuchs, “Itermarriage, Gender, and Nation in the Hebrew Bible” dalam Danya Rutternberg, ed., The Passionate Torah: Sex and Judaism. Ed by Danya Rutternberg New York and London: Ney York University Press, 2009, 76. 7 Herbert R. Marbury, “The Strange Woman In Persian Yehud: A reading Proverbs 7”, dalam, ed., Jon L. Berquist, Approaching Yehud: New Approa ches to the Study of the Persian Period Atlanta: Society of Biblical Literature, 2007 178-180 8 Marbury, The Strange , 174-176 5 simbol, narasi juga memberikan pentujuk ekplisit bahwa masyarakat golah orang-orang dari pembuangan sedang menegosiasikan posisi sulit karena mereka berada dibawah kekuasan kekaisaran Persia dan bagaimana mempertahankan kekompakan kelompok di tanahwilayah di mana mereka dipaksa untuk bersaing dengan masyarakat asli dalam kekuasan budaya dan politik. Gambaran negatif yang di alamatkan oleh perempuan asing, mengakibatkan keberadaannya dijauhkan dari komunitas Israel sejati dengan diberlakukannya larang perkawinan seperti yang dicatat dalam Ezra 1-5. Dalam penafsirannya terhadap Ezra, Smith Christopher melihat bahwa mereka yang dianggap bersalah dalam perkawinan camp ur adalah mereka yang berusaha untuk „menikah ke atas‟ atau “marry up”, sebagai cara untuk mengubah status rendah mereka sebagai masyarakat yang dibuang untuk berpartisipasi dalam kehidupan mayarakat kelas atas. 9 Teks dalam kitab Ezra mengungkapkan adanya kesadaran akan “kita” dan “mereka” yang berhubungan dengan kelompok minoritas terancam mereka yang kembali daripembunagan dan menaruh perhatian terhadap persoalan-persolan internal dan pada usaha untuk bertahan hidup dalam mengahadapi kelompok mayoritas orang-orang asing; orang-orang yang tidak kembali dari pembuangan. 10 Dalam tulisannya, Smith-Chirstoper juga mempertanyakan tentang siapa yang menganggap perkawinan yang telah dilakuan oleh orang-orang sebagai kawin campur. Ia berpendapat bahwa kemungkinan hanya Ezra dan pengikutnya sajalah yang beranggapan bahwa perkawinan tersebut adalah perkawinan campur, sebaliknya tidak demikian dengan mereka yang terlibat dalam pernikahan itu. 11 Camp melihat adanya dua isu utama bagi orang-orang yang kembali dari pembuangan dalam mempengaruhi adanya larangan untuk menikah dengan perempuan asing: 1 adanya 9 Smith-Christopher, The Mixed, 252. 10 Smith-Christopher, The Mixed, 257 11 Smith-Christopher, The Mixed, 247 6 sebuah kebutuhan bagi stabilitas keluarga sebagai bentuk mekanisme pertahanan dan untuk membangun klaim atas wilayah kekuasaan politik; dan 2 adanya kebutuhan untuk mempromosikan bentuk ibadah yang murni dan tepat bagi Yahweh. 12 Menurut Camp kedua isu tersebut berhubungan satu dengan lainnya dan krisis mulai terjadi ketika beberapa laki- laki mulai menikah ke dalam keluarga-keluarga bangsa asing. Pernikahan-pernikahan tersebut mengancam stabilitas struktur kekuasaan terutama karena pernikahan lintas etnis dapat membawa tantangan-tantangan dari luar untuk menantang kekuasaan kepemimpinan kelompok Ezra 10. Washington berargument bahwa, larangan menikah dengan perempuan asing pada pasca-pembuanagan disebebkan cara memandang Yudaisme sebagai agama bukan sebagai kelompok masyarakat. Tujuannya adalah untuk memelihara keaslian Yahwist terhadap pengaruh sikretis dari „penduduk negreri‟. 13 Dalam pengamatan sosiologis, masyarakat Yehuda ditempatkan dalam konteks yang lebih besar dari sekedar komunitas imigran, yang berusaha untuk menyesuaikan diri dalam situasi baru. Hal ini menutut mereka untuk mengevaluasi aturan-aturan yang telah hilang dan yang sebelumnya dianut dalam terang situasi baru dan sebagai bagian dalam proses menetapkan aturan-aturan yang baru. Oleh sebab itu konflik perkawinan di Ezra 9-10 harus diperbaharui berkaitan dengan jaringan kompleks dari variabel yang rumit bahwa masyarakat terbentuk di masa transisi. 14 Selaras dengan pendapat Smith-Christopher, Washington menilai tindakan perceraian dan pengusiran terhadap perempuan asing sebagai upaya pengontrolan hak tanah oleh komunitas Yahudi. Kepemilikan tanah adalah masalah penting bagi masyarakat awal pasca- pembuangan, setelah peristiwa pembuangan di Babel, orang-orang yang tersisa orang asing: 12 Claudia Camp, “What‟s So Strange about the Strange Woman ?” dalam The Bible and the Politicis of Exegesis Cleveland, OH: Pilgrim Press, 1991, 17-18. 13 Harold C. Washington, “The Strange Woman issa zaranokriyya Of Proverbs 1-9 and Post –Exilic Judean Society”. dalam Tamara C. Eskenzi and Kent H.Richards, ed., Second Temple Studies2: In The Persian Period Sheffield: Sheffield Academic Press, 1994, 231. 14 Eskenazi and Judd, Marriage, 275 7 mereka yang tidak memiliki hubungan dengan mereka yang kembali dari pembuangan, telah mengklaim tanah yang telah ditinggalkan. Kemudian dalam terang Yehehezkel :11-15, tanah Israel akan diberikan kembali kepada orang-orang dari pembuanagan. Ada indikasi janji tersebut yang di gunakan Ezra dan kelompoknya untuk mendapatkan kembali hak tanah tersebut, secara tidak langsung orang-orang dari pembuangan diklasifikasikan sebagai saingan dengan orang-orang negeri atau orang-orang asing. 15 Lebih lanjut Washington berpendapat bahwa pernikahan dengan perempuan asing juga menimbulkan masalah karena perempuan di Israel Kuno berhak mewarisi tanah. Dengan demikian larangan dan pengusiran perempuan asing merupakan bentuk pencegahan terhadap perempuan asing untuk mendaptakan akses ke dalam kelompok. 16 Pemahaman yang sama juga terlihat dari pandangan Berquist, namuan baginya kepentingan yang sebenarnya dari bangsa Israel bukanlah semata-mata persoalan hak kepemilikan tanah, melainkan keseluruhan aspek ekonomi. Menikah dengan dengan seseorang yang berasal dari kelas sosial-ekonomi yang sama akan memastikan adanya kontrol elite tanah dan kekayaan. Menenggapi penjelasan tersebut, munurut Berquist masyarakat tidak benar-benar menyutujui aturan yang dikeluarkan Ezra untuk membubarkan perkawinan dengan bangsa asing, melainkan hanya untuk memastikan bahwa orang kaya menikah dengan orang kaya status sosial-ekonomi yang sama. 17 Larangan kawin campur dapat dilihat sebagai upaya menetapkan batas-batas dan untuk mempertahankan identitas Yahudi dalam pemerintahan Persia, serta menghindari asimilasi agama dan budaya. 18 Persia juga mendukung larangan kawin campur. Persia sebagai pihak yang memiliki kekuasan diduga terdorong untuk menawinkan perempuan-perempuan Persia denganlaki-laki 15 Washington, The Strange , 232-233 16 Washington, The Strange , 236-238 17 Jhon L. Berquist, Judaism in Persia‟s Shadow: A Social and Historical Approach Minneapolis: Fortress, 1995, 118-119. 18 Bruce C. Birch., Walter Brueggemann, and David L. Petersen, A Theological Introduction to the Old Testament Nashville: Abingdon, 2005, 437 8 dari keluarga komunitas golah sebagai cara untuk memperkuat kesetian kelompok kepada Persia. Karena pernikahan dengan anggota kelompok etnis lokal lainnya akan memperluas kekayaan dan pengarug masyarakat golah di luar perbatasan Yehud dan diluar kendali Persia. Larangan kawin campur dengan orang-orang asing secara tidak langsung telah melayani kepentinagan Persia. 19

B. Tafsiran Teks