Analisa Teks Ezra 9-10

12 adalah pelestarian garis mesianis. garis Mesias, didirikan ketika Allah berjanji kepada Abraham bahwa melalui benihnya semua bangsa di bumi akan diberkati. 31

C. Analisa Teks Ezra 9-10

Berdasarkan narasi Ezra 9-10 serta gambaran-gambaran teori maka penulis menyimpulkan bahwa, Ezra sebagai seorang imam yang diutus oleh pemerintahan Persia untuk menegaskan kembali aturan keagamaan terhadap orang-orang dari pembuangan ketika berada di Yehuda. Dengan demikian tatanan kehidupan dan aturan-aturan selama dipembuangan tetap terbawa dalam penerapannya di Yehuda. Seperti: tema eskatologi bahwa bangsa Yahudi harus hidup kudus seperti Tuhan, serta membangkitkan melastarikan cerita- cerita dalam sumber P. Dunia dalam sumber P di tandai dengan wujud dunia yang penuh dengan keteraturan terlihat dari hukum-hukum dan pemisahan terhadap yang najis dan tidak najis, yang murni dan tidak murni serta yang kudus dengan tidak kudus. Sumber P yang digunakan oleh para imam juga berhubungan dengan realitas orang-orang yang berada dipembuangan. Melihat latar belakang yang disajikan oleh Ezra ketika Israel dibuang di Babylonia memposisikan bangsa Israel sebagai komunitas diaspora. Suatu komunitas yang „terintegrasi‟ tetapi tidak „terasimilasi‟ dengan penduduk lokal, yang disebabkan oleh adanya kesadaran mempertahankan identitas yang kuat karena masih memelihara memori tentang daerah asal dan sejarahnya, atau dikenal dengan istilah „komunitas imajiner. Hal ini juga berhubungan erat dengan surat Yerimia yang ditujukan bagi mereka yang berada di pembuangan, untuk melakukan pertahanan lewat strategi-strategi dalam menciptakan rumah baru dalam situasi yang baru, dengan cara mempertahankan identitas mereka yang unik di tengah konteks diaspora. 31 Edward Dobson, “Divorce in the Old Testament,” Fundamentalist Journal 10 ” dalam http:digitalcommons.liberty.edufun_859, Kamis, 19 September 2015 pukul 02.05WIB. 13 Mereka yang kembali dapat dianggap sebagai yang pasif karena semuanya telah dikontrol dari pembuangan. Pembuangan belum berakhir mengingat mereka yang berada dipembuangan tetap memiliki otoritas terhadap mereka yang telah kembali pemerintahan dikendalikan dari pembuangan. YerusalemYudea akhirnya menjadi seperti diaspora karena didiami oleh sekelompok asing yang mengancam kelangsungan identitas keyahudian mereka. Mereka yang kembali akhirnya membutuhkan pertolongan dari mereka yang tetap tinggal di pembuangan untuk membuat strategi dalam melawan kelompok asing ini guna mempertahankan integritas kelompok. Tujuan dari Ezra-Nehemiah menunjukkan bahwa mereka yang kembali tidak boleh bertindak tanpa sepengetahuan atau di bawah kontrol komunitas diaspora yang berada di Babilonia, mereka adalah ahli waris yang sah dari monarki Yehuda. Tujuannya adalah untuk meninggikan pengalaman pembuangan sebagai sesuatu yang signifikan dan bukan marginal. Hal ini tentu saja akan terancam ketika mereka mengijinkan orang asing yang tinggal di Yerusalem untuk mengklaim kekuasaan yang ada. Di sini adanya upaya agar kelompok yang pulang dari pembuangan tetap mempertahankan statusnya sebagai „pemenang.‟ Di sisi lain ketika teks-teks, ritus dan persentasi ikon dari yang Ilahi, dilihat sebagai ekspresi dari sebuah kepercayaan dari suatu masyarakat atau dari suatu kelompok yang paling berkuasa dari masyarakat tersebut. Maka i de tentang „kepercayaan” lebih berhubungan dengan “world view” dan “ideology” dari pada dengan iman di dalam suatu pengertian keagamaan yang dibatasi. Kitab Ezra merupakan hasil interpretasi penulis terhadap peristiwa paska-pembuangan dan dengan implikasi merupakan bagian dari sistem kepercayaannya. Kitab Ezra ditulis pada periode Yudaism di mana muncul beragam bentuk Yudaism yang bersaing satu dengan yang lainnya. Kitab Ezra merupakan bentuk pelegitimasian terhadap salah satu bentuk Yudaism. Jadi Kitab Ezra ditulis untuk menyakinkan kelompok-kelompok dan orang-orang pada periode Persia Yahudi tentang suatu sudut pandangworld view. 14 Teks Ezra 9-10 telah memperlihatkan berbagai gejolak yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Israel pada periode pembuangan, masing-masing dengan peranya mencoba untuk membentuk identitas yang membedakan mereka dengan yang lainnya. Mengutip teori yang diusung oleh Steanly Aronowitz dan Stuart Hall, bahwa identitas merupakan pengalaman seseorang untuk mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain, dimana keaslian dianggap sebagai jaminan untuk mengamankan kelangsungan hidup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa identitas berhubungan dengan jati diri, karena identitas seseorang akan dihubungkan dengan pencarian keaslian dari pengalaman diri. Inilah yang diperjuangkan oleh ezra dan para pengkutnya bagaimana mereka merumuskan jati diri, sebagai Israel sejati bangsa pilihan Allah, sehingga lewat narasi kemurnian Ezra ingin memastikan bahwa garis keturunan „benih suci‟ tidak dicemari oleh keturunan dari perempuan asing, karena bagi mereka keturunan Israel ialah garis keturunan yang menghubungan orang Israel dengan Mesias, didirikan ketika Allah benrjanji kepada Abraham bahwa melaui benihnya semua dibumi akan diberkati. Ketika ide tentang „divine election‟ yang diformulasikan di dalam kategori biological larangan untuk menikah dengan perempuan dari bagi sekitar merupakan bentuk tindakan diskontinuitas. Tindakan menikah dengan perempuan asing merujuk kepada apostasy dan sinkretism. Kepercayaan tentang “holy seed” merupakan ide yang sentral Ezra yang disiapkannya dengan mengabaikan unsur yang lain dari moral perlindungan terhadap orang miskin dan yang membutuhkan yang muncul di kitab-kitab yang hadir sebelum itu mis. Keluaran. Menurut Wolak, keputusan Ezra untuk mengusir istri-istri dari bangsa asing beserta dengan anak-anak yang lahir dari hubungan ini mendemonstrasikan perpindahan signifikan dari “keturunan patrilineal” kepada “keturunan matrilineal” sebagai “penanda penting bagi identitas Yahudi.” 15 Fokus teks Ezra 9-10 terhadap kemurnian etnis merupakan issu yang signifikan baik bagi kelangsungan keagamaan maupun bagi tuntutan politik. Tindakan Ezra untuk “memaksakan” ide tentang the “holy seed” merupakan bagian dari upaya untuk menyenangkan pemerintahan Persia yang telah mengijinkan bangsa Yahudi untuk kembali ke Zion. Tanpa persetujuan Persia, orang-orang di pembuangan Babilonia tidak akan diijinkan untuk kembali, pembangunan baik Allah yang kedua tidak akan terjadi, dan kultus keagamaan tidak akan dapat dipulihkan kembali di Yerusalem. oleh sebab itu larangan untuk menikah dengan perempuan asing bertujuan untuk memelihara batasan-batasan etnisitas. Oleh sebab itu pelarangan terhadap perkawinan dengan perempuan asing lebih berhubungan pada bahaya yang dibawa oleh perempuan asing tersebut bahwa mereka dapat membuat polusi tanah yang mereka diami dengan ketidakmurnianketidaksucian mereka kondisi mereka yang kotor tidak bersih gambaran perempuan yang membuat tempatnya berdiam tidak suci dengan darah menstruasinya yang kotor Imamat 15:19-24. Jadi di sini penulis Ezra bermasalah dengan kehadiran perempuan asing bukan karena ia melihat mereka sebagai sumber dosa apostasy melainkan karena ia melihat kondisi mereka yang adalah sumber polusi. Fungsi perempuan di dalam proses reproduksi mempertajam bentuk penjajahan terhadap perempuan di dalam hirarki masyarakat kolonial ini mempertajam dominasi patriarkal terhadap tubuh perempuan. Perempuan bertanggung jawab terhadap proses reproduksi bangsa Perjanjian Allah dengan Abraham . Bangsa bagi diasporan, keluarga “bet ab” menghapuskan batasan antara dunia privat dan publik, keluarga sebagai cara untuk melakukan perlawanan. Di sini perempuan berfungsi sebaga korban dari sistem kembar dari kolonial dan patriarki. Mereka membantu menjatuhkan satu sistem dan meninggikan sistem yang lainnya, perempuan berfungsi sebagai pembatas dari identitas etnik dan subjektifitas, dan juga sebagai penanda dari kekuatan nasional. Bangsa bagi diasporan, keluarga “bet ab” 16 menghapuskan batasan antara dunia privat dan publik, keluarga sebagai cara untuk melakukan perlawanan. Perempuan secara sosial dipandang sebelah mata, sehingga peran perempuan tidak tampak dalam berbagai aspek kehidupan Israel. Mengapa demikian, karena laki-laki memegang alih aturan dalam semua sitem hukum di Israel. Dengan demikian laki-laki berkuasa atas perempuan. Hubungan laki-laki dan perempuan menyiratkan hubungan yang politis dimana adanya suatu sikap dan praktik yang mendikriminasi perempuan. Sehingga, hubungan diantara kedua jenis kelamin ini menempatkan perempuan pada tempat subordinatif, yakni sebagai pihak yang dikuasai. Dalam tradisi bangsa Israel perempuan tidak berhak untuk bersuara karena perempuan pada masa tersebut menjadi yang kedua atau budak terhadap laki-laki bahkan perempuan menjadi harta milik bagi laki-laki, hal ini dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang patrilinear yakni sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki, perempuan tidak mempunyai peran sedikitpun apalagi untuk mengambil keputusan dan bertindak. Dengan menegaskan identitas kelompok seperti yang dilakukan bangsa Israel, maka dengan sendirinya menciptakan ruang bagi orang yang dianggap sebagai ancaman yakni perempuan asing sebagai sang liyan. Dengan menggunakan teori Mariane Katoppo bahwa sang liyan terbentuk dari laki-laki yang menganggap nilai mereka sebagai manusia utuh tidak boleh terancam oleh keberadaan perempuan, yang berdampak pada reaksi emosionalnya. Sangat jelas keterkaitan teori dengan kehidupan orang-orang dari pembuangan, yang memiliki kecenderungan memandang perempuan sebagai yang lain dari komunitas Israel, reaksi ini muncul dikarenakan rasa takut kehilangan status. Dari analisa diatas timbul pertanyaan, apakah yang membedakan keberadaan perempuan bagi aturan Muza dan Ezra ? hal utama yang terlihat jelas bahwa hukum yang 17 digunakan Musa berbeda dengan hukumaturan yang digunakan Ezra bagi bangsa Israel paska-pembuangan. Hal ini terjadi karena perbedaan konteks dimana perempuan itu berada. Dalam konteks Musa, perempuan yang dimaksud merupakan bagian dari komunitas Israel, sehingga jelas keberadaan perempuan disaat itu sangat diperhatikan; hal ini juga terkandung dalam Kitab Ulangan dan Keluaran yang mengatur perceraian. Ketika perceraian terjadi, maka perempuan berhak mendapatkkan bagian dari harta laki-lai; aturan itu diberikan agar orang-orang tidak mudah untuk bercerai .Kitab Ulangan dan Keluaran yang mengatur perceraian dapat terjadi ketika perempuan melakukan tin dakan „senonoh‟, dan apabila perceraian terjadi maka aturan yang digunakan Musa mewajibkan adanya surat perjajian yang semata-mata untuk melindungi perempuan. Sendangkan dalam konteks Ezra, perempuan disaat itu dipandang sebagai orang dari luar komunitas, sehingga aturan untuk menceraikan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Oleh sebab itu, timbul suatu wacana dimana Ezra melihat harga diri suatu bangsa tidak lebih penting dari keberadaan nasionalitas bangsa Israel yang terakui, dan disisi lain aturan Musa menampilkan wacana dimana setiap orang entah laki-laki dan perempuan memiliki harkat, dan martabat yang sama; artinya bahwa harga diri dari setiap manusia lebih tinggi dari pada nasionalitas suatu bangsa. Karena nasionalitas hanya sebagai salah satu dari aspek-aspek yang penting namun bukan yang terutama. Inilah yang juga menjadi fokus para teolog feminis, untuk membebaskan dan mendamaikan laki-laki dan perempuan dari ketertindasan. Terlepas dari berbagai perdebatan laki-laki yang mengasampingkan perempuan, kehadiran perempuan asing dalam ambigiusitasnya untuk memberikan perenungan bagi kita bahwa apakah identitas itu dapat kaku seperti yang Ezra katakan atau seperti yang dilakukan oleh orang-orang Israel ketika kembali dari pembungan ?. Identitas tidak bisa kaku, karena dalam sebuah perjumpaan identitas akan menjadi cair, karena sekuat apapun kita berusaha 18 namun ketika kita berjumpa dengan budaya lain atau sang liyan, yang akan menjadikan kita sebagai seseorang yang berbeda. Karena realitas perjumpaan akan terjadinya percampuran interkultural yang tak terelakan. Timbul pertanyaan, sampai kapan Ezra dapat mempertahankan identitas yang eksklusif atau identitas kaku tersebut ?

D. Kontribusi pada Konteks Masa Kini