Faktor-faktor Penentu Kesesuaian Habitat

5.2.2. Faktor-faktor Penentu Kesesuaian Habitat

Terdapat lima faktor penentu kesesuaian habitat di lokasi penelitian, yaitu keberadaan hutan alam, LAI, Keinggian, kemiringan lereng dan tingkat gangguan. Kastanya 2001 menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik habitat pada elang jawa adalah keberadaan hutan, keberadaan kebun teh, komposisi vegetasi, ketinggian, dan kemiringan lereng. 5.2.2.1.Keberadaan Hutan Alam Hutan alam dapat dijadikan indikasi penanda kawasan tersebut memiliki ekosistem yang masih seimbang. Widodo 2004 menyatakan bahwa 96.31 aktifitas dari EJ berada pada hutan alam. Hal ini disebabkan karena sebagian besar mangsa yang disukai EJ merupkakan satwa arboreal seperti tupai, bajing, dan jenis-jenis primata yang memanfaatkan pohon sebagai tempat hidupnya Utami, 2002. Perilaku satwa mangsa tersebut berpengaruh terhadap perilaku berburu EJ yang sering dijumpai mengintai mangsanya dari tajuk yang tinggi Prawiradilaga, 2006. Berdasarkan hasil pengamatan, lima titik atau 42 perjumpaan dengan EJ berada pada kawasan SMGS yang merupakan hutan alam, dan tujuh titik atau 58 perjumpaan berada pada 0-3.5 km dari SMGS dengan titik perjumpaan terjauh berada pada 1.3 km. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa EJ memiliki keterkaitan sangat tinggi terhadap keberadaan SMGS dengan nilai keterkaitan 99. Mengingat pentingnya peran dari SMGS bagi EJ, maka diperlukan pengelolaan yang lebih intensif terhadap kawasan SMGS dan sekitarnya. Jenis EUb dan EH memiliki nilai keterkaitan dengan SMGS sebesar 50.8 dan 13.7. Hal ini menandakan bahwa tidak terlihat keterkaitan yang kuat antara keberadaan EUb dan EH dengan keberadaan hutan alam. Kecilnya keterkaitan EUb dan EH terhadap keberadaan SMGS dipengaruhi oleh satwa mangsa dari jenis tersebut yang kebanyakan dari jenis reptil dan amfibi yang mudah ditemui pada tempat terbuka. Hal ini sependapat dengan Widiana 2007, yang menyatakan bahwa EUb dan EH lebih menyukai tipe habitat terbuka kebun teh untuk melakukan aktifitasnya. Daerah peralihan antara hutan alam SMGS dan tipe habitat lainnya 0- 3.5 km memiliki frekuensi perjumpaan terbanyak dari total perjumpaan dengan ketiga jenis elang tersebut 49.67. Leopold 1933 dan Thomas et al, 1979 dalam Sayogo et al, 2008 menemukan bahwa pada daerah edge memiliki kelimpahan jenis dan spesies yang besar yang mempengaruhi kelimpahan mangsa bagi jenis elang pada daerah peralihan tersebut. 5.2.2.2.Leaf Area Index LAI Semakin tinggi nilai LAI di suatu wilayah, maka semakin rapat pula pentutupan tajuk di wilayah tersebut. Kerapatan penutupan tajuk biasanya dimanfaatkan sebagai cover atau tempat berlindung bagi satwaliar seperti burung- burung kecil, bajung, tupai, dan mamalia kecil lainnya yang merupakan mangsa bagi elang. Elang atau raptor juga biasanya memanfaatkan tajuk pohon yang tinggi untuk membuat sarang, dan sebagian elang atau raptor sering memanfaatkan tajuk pohon untuk mengintai mangsanya MacKinnon, 1993. Hal ini terkait dengan perilaku satwa pemangsa yang umumnya bersifat oportunis. Dengan memanfaatkan tajuk pohon yang tinggi, maka energi yang dikeluarkan untuk terbang relatif lebih sedikit. Berdasarkan hasil analisis peta, nilai LAI maksimal adalah 3.28 hal ini mengindikasikan bawa penutupan tajuk di lokasi penelitian tidak terlalu rapat mengingat nilai LAI maksimal adalah lima. EH, EJ dan EUb memiliki keterkaitan yang nyata terhadap nilai LAI, dengan nilai korelasi 87 bagi EH, 98 bagi EJ, dan 99 bagi EUb. Hasil dari analisis tersebut menunjukan bahwa penutupan tajuk di suatu wilayah berpengaruh terhadap keberadaan ketiga jenis elang tersebut. 5.2.2.3.Ketinggian Ketinggian di suatu wilayah berpengaruh terhadap lingkungan mikro di dalamnya. Lingkungan mikro tersebut secara otomatis mempengaruhi ekosistem di wilayah tersebut termasuk jenis-jenis elang yang merupakan top predator pada ekosistem tersebut . Menurut ketinggiannya, loksi penelitian termasuk kedalam hutan hujan bawah 2-1000 mdpl dengan jenis vegetasi yang umum yaitu suku Dipterocarpaceae dan hutan hujan tengah 1000-3000 mdpl dengan jenis vegetasi yang umum yaitu suku Lauraceae, Fagaceae, Hammameliaceae Soeryanagara, 2002. Berdasarkan analisis data, EH, EJ dan EUb memiliki keterkaitan atau korelasi negatif terhadap pertambahan ketinggian di lokasi penelitian -12.9, - 49.4 dan -46.2. Kecilnya nilai korelasi ketiga jenis elang tersebut dapat mengindikasikan bahwa ketinggian di suatu wilayah tidak berpengaruh secara signifikan atau nyata terhadap keberadaan ketiganya. EJ menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi mulai dari wilayah dekat pantai hingga ketinggian 2200 mdpl dan kadang-kadang hingga ketinggian 3000 mdpl vanBalen, 1999. Pada lokasi penelitian, titik perjumpaan dengan EJ hanya berada pada selang ketinggian 750-1250 mdpl dengan perjumpaan terbanyak berada pada ketinggian 850 dan 950 mdpl. Andono 2004 menyatakan bahwa umumnya sarang EJ dijumpai pada ketinggian rata-rata 800 mdpl. Menurut Prawiradilaga 2006 sarang EJ biasanya dijumpai pada pohon-pohon tinggi seperti Rasamala Altingia excelsa, Pusapa Schima wallichi, Pasang Cuercus sp, dan pohon tinggi lainnya yang umum dijimpai pada hutan hujan bawah dan hutan hujan tengah. Titik perjumpaan dengan EUb tersebar dari ketinggian 150-1150 mdpl dengan perjumpaan terbanyak terdapat pada ketinggian 450-750 mdpl. Pada Gambar 11 terlihat frekuensi perjumpan pada EUb meningkat dari kelas 150-450 mdpl hingga kelas 450-750 mdpl dan kemudian menurun kembali pada kelas ketinggian yang lebih tinggi. Hal yang sama juga terlihat pada EH, dimana titik perjumpaan terbanyak berada pada kelas ketinggian 450-750 mdpl dan menurun drastis tidak dijumpai pada kelas ketinggian yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh wilayah penelitian yang sebagian besar berada pada kelas ketinggian tersebut mengingat karakteristik dari EH dan EUb yang bersifat generalis atau bisa dijumpai hampir di semua tipe habitat mulai dari daerah pantai sampai pegunungan MacKinnon, 1993. Pola frekuensi perjumpaan pada Gambar 11 mengindikasikan bahwa terjadi pembagian ruang antara ketiga jenis elang tersebut. EJ hanya dijumpai pada ketinggian 750-1350 mdpl yang pada ketinggian tersebut hanya terdapat pada kawasan SMGS. Frekuensi perjumpaan dengan EJ berbanding terbalik dengan EH yang memiliki subfamili yang sama dengan EJ yaitu Aquilinae Lerner, 2005 yang hanya dijumpai pada ketinggian 350-750 mdpl. Begitu juga dengan EUb dengan frekuensi perjumpaan yang menurun pada kelas ketinggian setelah 750 mdpl. 5.2.2.4.Kemiringan Lereng Kemiringan lereng atau slope adalah ukuran kemiringan dari suatu permukaan yang dapat dinyatakan dalam derajat atau persen Jaya 2002 . Pada spesies burung yang memiliki ukuran tubuh yang besar seperti elang, dibutuhkan energi yang sangat besar untuk terbang dan beraktifitas. Dengan memanfaatkan kemiringan lereng atau kemiringan lahan yang curam untuk beristirahat, maka elang dapat meminimalisir energi yang dikeluarkan untuk terbang atau berburu. Sarang pada elang sering dijumpai pada kemiringan lereng yang sedang sampai curam agar memberikan pandangan yang luas bagi elang tersebut. Pemanfaatan kemiringan lereng oleh elang juga berhubungan dengan kesempatan memperoleh mangsa dan pemeliharaan keselamatan anak Andono, 2004 dan Supriatna, 2006. Berdasarkan analisis data, diketahui bahwa EH dan EUb memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap kemiringan lereng di lokasi penelitian -91.3 dan -71.8. Nilai korelasi yang negatif mengindikasikan bahwa EH dan EUb lebih menyukai habitat dengan kemiringan lereng yang landai, sedangkan pada jenis EJ tidak terdapat keterkaitan yang nyata antara tingkat kemiringan lereng di lokasi penelitian dengan keberadaan jenis tersebut -27.7. Nilai keterkaitan ketiga jenis elang yang negatif kemungkinan besar diakibatkan karena kemiringan lereng oleh jenis elang biasanya dimanfaatkan pada saat bertengger istirahat dan pada saat membuat sarang atau mengasuh anak, sedangkan pada saat penelitian, semua titik perjumpaan dengan elang hanya pada aktifitas terbang soaring sehingga nilai keterkaitan dengan kemiringan lereng menjadi bias. 5.2.2.5.Tingkat Gangguan Gangguan terhadap elang di suatu daerah tidak terlepas dari pola aktifitas manusia di daerah tersebut. Tingkat gangguan terhadap elang ditentukan dengan besarnya tingkat toleransi atau adaptasi dari jenis elang terhadap perubahan lingkungan atau habitatnya. Besarnya tingkat gangguan terhadap EH, EJ dan EUb diukur dari jarak antara titik-titik perjumpaan dengan ketiga jenis elang tersebut terhadap pemukiman yang merupakan pusat aktifitas masyarakat. Ganggun tersebut dapat berupa gangguan mikro kecil seperti gangguan dari aktifitas manusia, maupun gangguan makro yang bisa berakibat fatal sampai dengan kematian elang seperti perburuan. Berdasarkan analisis data, EJ memiliki korelasi negatif -41.6 terhadap gangguan dari manusia. Nilai korelasi yang negatif dapat diartikan bahwa keberadaan pemukiman atau aktifitas manusia berpengaruh negatif terhadap keberadaan EJ walaupun tidak terlalu signifikan sedangkan pada EH dan EUb nilai korelasi bersifat positif 30.8 dan 55.1 terhadap gangguan manusia. Nilai korelasi tersebut mengindikasikan bahwa EH dan EUb memiliki nilai toleransi lebih besar terhadap gangguan manusia daripada jenis EJ.

5.2.3. Pemodelan Kesesuaian Habitat