Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial

(1)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL

(Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat-Banten)

NUR PUTRI AMANAH

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(2)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL

(Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat-Banten)

Oleh: Nur Putri Amanah

I34053663

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(3)

Abstract

Nur Putri Amanah. The Economic Empowerment of Household Work Group Based on Social Capital. Supervised by Murdianto

Empowerment is an activity to make a powerless individual or group becomes powerful. Empowerment is usually done by government, private, or NGOs toward civil society, whom can not able to make themselves independent. The process of empowerment is generally done by giving information and knowledge, skills, as well as chances to implement those skills. However, that case was not always occurring on the real life. The life of “Tahu-Tempe”craftsman makers in Kedaung was one of the examples. They used their own social capital as an apparatus to make their relatives powerful. This showed that civil society was also able to execute the empowerment process to increase their independent and prosperity.


(4)

RINGKASAN

Nur Putri Amanah. Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial. Dibimbing oleh Murdianto

Pelaksanaan kebijakan negara terkadang menyebabkan masyarakat bahkan negara semakin bergantung dengan pihak lain, salah satunya adalah masyarakat elit yang selalu menggantungkan hidupnya dengan produk luar negeri. Hal ini mencerminkan masyarakat Indonesia yang tidak mandiri. Perekonomian nasional Indonesia menjadi tidak tangguh dan tidak mandiri. Selain itu, usaha kecil dan menengah di Indonesia masih kurang diperhatikan sehingga daya saing internasional produk usaha kecil dan menengah tersebut masih lemah. Keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian nasional merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan, masyarakat (komunitas) memiliki modal sosial yang dapat berfungsi sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat itu sendiri sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraannya. Modal sosial yang dimiliki masyarakat, seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan, kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat, dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley dan Suggate, 1997 dalam Suharto, 2009). Modal sosial ini juga dapat berfungsi sebagai pemicu pemberdayaan dalam suatu komunitas. Modal sosial dikatakan sebagai pemicu pemberdayaan komunitas (dalam penelitian ini kelompok usaha rumah tangga) karena dalam modal sosial terdapat nilai-nilai gotong royong, jaringan, dan kolaborasi sosial contohnya pemberdayaan yang berlangsung diantara pengrajin tahu tempe di Kedaung. Mereka menggunakan modal sosial yang mereka miliki untuk mengembangkan usaha mereka. Hal ini juga dapat membuat anggota kelompok lain yang tidak berdaya menjadi semakin berdaya. Selanjutnya pemberdayaan ini akan semakin menguatkan modal sosial, karena anggota kelompok akan semakin tinggi rasa kepercayaannya satu sama lain, dan merasa diri mereka merupakan suatu kesatuan.

Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan bangunan modal sosial yang dimiliki oleh kelompok usaha pengrajin tahu tempe yang masih bertahan sampai saat ini yang berada di Kedaung, serta peran dari modal sosial tersebut dalam proses pemberdayaan ekonomi kelompok. Selain itu peneliti juga mencoba untuk mengetahui pengaruh proses pemberdayaan terhadap kesejahteraan. Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam dengan menggunakan panduan pertanyaan. Panduan pertanyaan merupakan hal-hal yang akan diketahui sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian. Hasil wawancara diolah langsung dan diklasifikasikan agar lebih mudah mengetahui kecukupan data yang diambil. Kemudian hasil tersebut disajikan dalam bentuk narasi, gambar, bagan, dan grafik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial yang dimiliki oleh pengrajin tahu tempe di Kedaung menjadi dasar bagi terlaksananya proses


(5)

pemberdayaan yang berlangsung diantara mereka. Norma kekeluargaan, kebersamaan, toleransi dan kepercayaan menjadi pendorong bagi para pengrajin untuk membuat saudara sekampungnya menjadi lebih berdaya dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, norma-norma ini dapat memperluas jaringan yang telah mereka miliki. Sehingga jaringan yang mereka miliki tidak hanya terbatas pada komunitas pengrajin tahu tempe saja, akan tetapi juga dengan pihak-pihak yang mendukung pengembangan usaha yang mereka miliki.

Proses pemberdayaan dimaksudkan untuk memberikan keterampilan kepada orang-orang yang berasal dari daerah yang sama sebagai sasaran utama sehingga terjadi peningkatan ekonomi. Dengan kata lain, mereka ikut membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, mereka menggunakan kemampuan dan modal yang mereka miliki sendiri untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dirinya dan saudara sekampungnya.

Proses pemberdayaan ini memang memberikan hasil yang cukup memuaskan. Para pengrajin yang terlibat langsung dalam proses pemberdayaan mengalami peningkatan kesejahteraan. Mereka merasa bahwa keterampilan yang mereka dapatkan merupakan keterampilan yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka. Hidup mereka lebih berkecukupan, mereka dapat membiayai pendidikan bagi anak-anaknya, dapat memiliki rumah sendiri, dan dapat membiayai keluarganya yang berada di daerah asal mereka. Semua ini membuat mereka lebih merasa nyaman, aman, tenteram, bahagia, puas, merasa diterima, dan diakui dalam komunitas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengalami peningkatan kesejahteraan baik kesejahteraan materi ataupun kesejahteraan non-materi.


(6)

SKRIPSI

Judul : Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial

Nama Mahasiswa : Nur Putri Amanah

NRP : I34053663

Disetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Murdianto, MSi NIP. 19630729 1992 031 001

Diketahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827198303 1 001

Tanggal Lulus: __________________


(7)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA

RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL” BENAR-BENAR

MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI. TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH SAYA. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, Agustus 2009

Nur Putri Amanah I34053663


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang, 30 Maret 1987. Penulis adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan suami isteri Faried Hidayat dan Maryamah. Pada tingkat dasar, penulis bersekolah di SDN Ciputat IX. Selanjutnya melanjutkan pendidikan ke SLTPN 85 Jakarta. Kemudian melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 25 Pamulang.

Penulis memiliki hobi bermain musik dan membaca komik. Penulis aktif di ekstrakurikuler paskibra pada saat SLTP dan aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah pada saat SMA.

Setelah lulus dari SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Penulis mengambil Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia. Selama berada di IPB penulis aktif mengikuti berbagai keorganisasian ataupun kepanitiaan seperti Himasiera sebagai sekretaris I, Commnex 2008, Promosi KPM, Masa Pekenalan Departemen, dan Malam Keakraban KPM. Penulis juga sempat mengikuti Training Basic Participatory yang diselenggarakan oleh Corporate Forum Community Development (CFCD) ketika Kuliah Kerja Profesi.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dosen pembimbing yaitu Bapak Ir. Murdianto, MSi atas masukan, arahan dan bimbingannya.

2. Anton Supriadi dan Cici Wardini, atas masukan dan kritik sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan lebih baik.

3. Agus Gumilar dan juga kepada seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya, teman-teman atas bantuannya, dan pihak-pihak lain yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis sadar bahwa penyusunan skripsi ini belum dapat disusun secara sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca senantiasa Penulis harapkan, semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2009


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………..………... ii

DAFTAR TABEL ……… iv

DAFTAR GAMBAR ……… v

DAFTAR LAMPIRAN ……… vi BAB I. PENDAHULUAN ……….

1.1 Latar Belakang ……….. 1.2 Perumusan Masalah ……….. 1.3 Pertanyaan Penelitian ……… 1.4 Tujuan Penelitian ……….. 1.5 Kegunaan Penelitian ……….

1 1 3 3 4 4 BAB II. PENDEKATAN TEORITIS ………..

2.1 Tinjauan Pustaka ………. 2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat ……… 2.1.1.1 Konsep Pemberdayaan ……….. 2.1.1.2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat ………….. 2.1.1.3 Praktek Pemberdayaan Masyarakat ………….. 2.1.2 Pemberdayaan Ekonomi Rakyat ……… 2.1.3 Modal Sosial ……….. 2.1.4 Kelompok Usaha Rumah Tangga ……….. 2.1.5 Kesejahteraan ………. 2.2 Kerangka Pemikiran ……… 2.2.1 Deskripsi dan Bagan Alur Berpikir ……… 2.2.2 Hipotesis Pengarah ………. 2.2.3 Definisi Konseptual ………

5 5 5 5 7 7 10 16 21 24 32 32 33 34

BAB III. PENDEKATAN LAPANGAN ………. 3.1 Metode Penelitian ………. 3.2 Lokasi Penelitian ………... 3.3 Waktu Penelitian ………... 3.4 Penentuan Unit Analisis, Informan, dan Responden ……… 3.4.1 Penentuan Unit Analisis ………... 3.4.2 Penentuan Informan ………. 3.4.3 Penentuan Responden ……….. 3.5 Metode Pengumpulan Data ………... 3.6 Metode Analisis Data ………

36 36 37 37 37 37 38 38 38 39 BAB IV. PROFIL PAGUYUBAN ………...

4.1 Sejarah Desa ………... 4.2 Sejarah Paguyuban………... 4.2.1 Gambaran Umum ……….

40 40 40 42


(11)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL

(Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat-Banten)

NUR PUTRI AMANAH

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(12)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL

(Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat-Banten)

Oleh: Nur Putri Amanah

I34053663

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(13)

Abstract

Nur Putri Amanah. The Economic Empowerment of Household Work Group Based on Social Capital. Supervised by Murdianto

Empowerment is an activity to make a powerless individual or group becomes powerful. Empowerment is usually done by government, private, or NGOs toward civil society, whom can not able to make themselves independent. The process of empowerment is generally done by giving information and knowledge, skills, as well as chances to implement those skills. However, that case was not always occurring on the real life. The life of “Tahu-Tempe”craftsman makers in Kedaung was one of the examples. They used their own social capital as an apparatus to make their relatives powerful. This showed that civil society was also able to execute the empowerment process to increase their independent and prosperity.


(14)

RINGKASAN

Nur Putri Amanah. Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial. Dibimbing oleh Murdianto

Pelaksanaan kebijakan negara terkadang menyebabkan masyarakat bahkan negara semakin bergantung dengan pihak lain, salah satunya adalah masyarakat elit yang selalu menggantungkan hidupnya dengan produk luar negeri. Hal ini mencerminkan masyarakat Indonesia yang tidak mandiri. Perekonomian nasional Indonesia menjadi tidak tangguh dan tidak mandiri. Selain itu, usaha kecil dan menengah di Indonesia masih kurang diperhatikan sehingga daya saing internasional produk usaha kecil dan menengah tersebut masih lemah. Keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian nasional merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan, masyarakat (komunitas) memiliki modal sosial yang dapat berfungsi sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat itu sendiri sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraannya. Modal sosial yang dimiliki masyarakat, seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan, kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat, dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley dan Suggate, 1997 dalam Suharto, 2009). Modal sosial ini juga dapat berfungsi sebagai pemicu pemberdayaan dalam suatu komunitas. Modal sosial dikatakan sebagai pemicu pemberdayaan komunitas (dalam penelitian ini kelompok usaha rumah tangga) karena dalam modal sosial terdapat nilai-nilai gotong royong, jaringan, dan kolaborasi sosial contohnya pemberdayaan yang berlangsung diantara pengrajin tahu tempe di Kedaung. Mereka menggunakan modal sosial yang mereka miliki untuk mengembangkan usaha mereka. Hal ini juga dapat membuat anggota kelompok lain yang tidak berdaya menjadi semakin berdaya. Selanjutnya pemberdayaan ini akan semakin menguatkan modal sosial, karena anggota kelompok akan semakin tinggi rasa kepercayaannya satu sama lain, dan merasa diri mereka merupakan suatu kesatuan.

Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan bangunan modal sosial yang dimiliki oleh kelompok usaha pengrajin tahu tempe yang masih bertahan sampai saat ini yang berada di Kedaung, serta peran dari modal sosial tersebut dalam proses pemberdayaan ekonomi kelompok. Selain itu peneliti juga mencoba untuk mengetahui pengaruh proses pemberdayaan terhadap kesejahteraan. Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam dengan menggunakan panduan pertanyaan. Panduan pertanyaan merupakan hal-hal yang akan diketahui sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian. Hasil wawancara diolah langsung dan diklasifikasikan agar lebih mudah mengetahui kecukupan data yang diambil. Kemudian hasil tersebut disajikan dalam bentuk narasi, gambar, bagan, dan grafik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial yang dimiliki oleh pengrajin tahu tempe di Kedaung menjadi dasar bagi terlaksananya proses


(15)

pemberdayaan yang berlangsung diantara mereka. Norma kekeluargaan, kebersamaan, toleransi dan kepercayaan menjadi pendorong bagi para pengrajin untuk membuat saudara sekampungnya menjadi lebih berdaya dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, norma-norma ini dapat memperluas jaringan yang telah mereka miliki. Sehingga jaringan yang mereka miliki tidak hanya terbatas pada komunitas pengrajin tahu tempe saja, akan tetapi juga dengan pihak-pihak yang mendukung pengembangan usaha yang mereka miliki.

Proses pemberdayaan dimaksudkan untuk memberikan keterampilan kepada orang-orang yang berasal dari daerah yang sama sebagai sasaran utama sehingga terjadi peningkatan ekonomi. Dengan kata lain, mereka ikut membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, mereka menggunakan kemampuan dan modal yang mereka miliki sendiri untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dirinya dan saudara sekampungnya.

Proses pemberdayaan ini memang memberikan hasil yang cukup memuaskan. Para pengrajin yang terlibat langsung dalam proses pemberdayaan mengalami peningkatan kesejahteraan. Mereka merasa bahwa keterampilan yang mereka dapatkan merupakan keterampilan yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka. Hidup mereka lebih berkecukupan, mereka dapat membiayai pendidikan bagi anak-anaknya, dapat memiliki rumah sendiri, dan dapat membiayai keluarganya yang berada di daerah asal mereka. Semua ini membuat mereka lebih merasa nyaman, aman, tenteram, bahagia, puas, merasa diterima, dan diakui dalam komunitas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengalami peningkatan kesejahteraan baik kesejahteraan materi ataupun kesejahteraan non-materi.


(16)

SKRIPSI

Judul : Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial

Nama Mahasiswa : Nur Putri Amanah

NRP : I34053663

Disetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Murdianto, MSi NIP. 19630729 1992 031 001

Diketahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827198303 1 001

Tanggal Lulus: __________________


(17)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA

RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL” BENAR-BENAR

MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI. TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH SAYA. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, Agustus 2009

Nur Putri Amanah I34053663


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang, 30 Maret 1987. Penulis adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan suami isteri Faried Hidayat dan Maryamah. Pada tingkat dasar, penulis bersekolah di SDN Ciputat IX. Selanjutnya melanjutkan pendidikan ke SLTPN 85 Jakarta. Kemudian melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 25 Pamulang.

Penulis memiliki hobi bermain musik dan membaca komik. Penulis aktif di ekstrakurikuler paskibra pada saat SLTP dan aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah pada saat SMA.

Setelah lulus dari SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Penulis mengambil Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia. Selama berada di IPB penulis aktif mengikuti berbagai keorganisasian ataupun kepanitiaan seperti Himasiera sebagai sekretaris I, Commnex 2008, Promosi KPM, Masa Pekenalan Departemen, dan Malam Keakraban KPM. Penulis juga sempat mengikuti Training Basic Participatory yang diselenggarakan oleh Corporate Forum Community Development (CFCD) ketika Kuliah Kerja Profesi.


(19)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dosen pembimbing yaitu Bapak Ir. Murdianto, MSi atas masukan, arahan dan bimbingannya.

2. Anton Supriadi dan Cici Wardini, atas masukan dan kritik sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan lebih baik.

3. Agus Gumilar dan juga kepada seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya, teman-teman atas bantuannya, dan pihak-pihak lain yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis sadar bahwa penyusunan skripsi ini belum dapat disusun secara sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca senantiasa Penulis harapkan, semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2009


(20)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………..………... ii

DAFTAR TABEL ……… iv

DAFTAR GAMBAR ……… v

DAFTAR LAMPIRAN ……… vi BAB I. PENDAHULUAN ……….

1.1 Latar Belakang ……….. 1.2 Perumusan Masalah ……….. 1.3 Pertanyaan Penelitian ……… 1.4 Tujuan Penelitian ……….. 1.5 Kegunaan Penelitian ……….

1 1 3 3 4 4 BAB II. PENDEKATAN TEORITIS ………..

2.1 Tinjauan Pustaka ………. 2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat ……… 2.1.1.1 Konsep Pemberdayaan ……….. 2.1.1.2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat ………….. 2.1.1.3 Praktek Pemberdayaan Masyarakat ………….. 2.1.2 Pemberdayaan Ekonomi Rakyat ……… 2.1.3 Modal Sosial ……….. 2.1.4 Kelompok Usaha Rumah Tangga ……….. 2.1.5 Kesejahteraan ………. 2.2 Kerangka Pemikiran ……… 2.2.1 Deskripsi dan Bagan Alur Berpikir ……… 2.2.2 Hipotesis Pengarah ………. 2.2.3 Definisi Konseptual ………

5 5 5 5 7 7 10 16 21 24 32 32 33 34

BAB III. PENDEKATAN LAPANGAN ………. 3.1 Metode Penelitian ………. 3.2 Lokasi Penelitian ………... 3.3 Waktu Penelitian ………... 3.4 Penentuan Unit Analisis, Informan, dan Responden ……… 3.4.1 Penentuan Unit Analisis ………... 3.4.2 Penentuan Informan ………. 3.4.3 Penentuan Responden ……….. 3.5 Metode Pengumpulan Data ………... 3.6 Metode Analisis Data ………

36 36 37 37 37 37 38 38 38 39 BAB IV. PROFIL PAGUYUBAN ………...

4.1 Sejarah Desa ………... 4.2 Sejarah Paguyuban………... 4.2.1 Gambaran Umum ……….

40 40 40 42


(21)

4.2.1 Visi dan Misi ……… 4.2.3 Anggota ……… 4.2.4 Kegiatan ………... 4.2.4.1 Bidang Sosial ……….. 4.2.4.2 Bidang Keagamaan ………. 4.2.4.3 Bidang Usaha ……….. 4.2.5 Manfaat ………

42 43 43 44 44 45 45

BAB V. BANGUNAN MODAL SOSIAL ……… 46

BAB VI. MODAL SOSIAL, PENGEMBANGAN USAHA, DAN KESEJAHTERAAN PENGRAJIN TAHU TEMPE ……... 65

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 84 DAFTAR PUSTAKA


(22)

DAFTAR TABEL


(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Hal.

Gambar 1. Skema Daur Hidup Pengembangan SDM dalam Kelembagaan Kelompok Orang Miskin ...


(24)

Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20.

Skema Daur Hidup Pengembangan Usaha Produktif dalam Kelembagaan Kelompok Orang Miskin ……… Skema Daur Hidup Kelembagaan Kelompok Orang

Miskin ... Skema Pengklasifikasian Paduan Modal Institusional dan Modal Relasional ... Hierarki Kebutuhan Maslow ... Bagan Kerangka Analisis ……….. Bagan Jejaring Pak Maman Sebagai Pengrajin Tahu Lama.. Bagan Jejaring Pak Atang Sebagai Pengrajin Tahu Baru….. Bagan Jejaring Pak Cariban Sebagai Pengrajin Tempe Terlama di Kedaung ……….. Bagan Jejaring Mba Iis Sebagai Pengrajin Tempe Yang Paling Baru di Kedaung ……… Bagan Jejaring Pak Daryono Sebagai Ketua Paguyuban ….. Bagan Jejaring Pengrajin Tahu Tempe ………. Bagan Proses Pemberdayaan Pengrajin Tahu Tempe ……... Grafik Kesejahteraan Pak Cariban ……… Grafik Kesejahteraan Mbak Iis ………. Grafik Kesejahteraan Pak Daryono ………... Grafik Kesejahteraan Pak Maman ………. Grafik Kesejahteraan Pak Atang ………... Hierarki Kebutuhan Bapak Cariban, Pak Maman, dan Pak Daryono ……… Hierarki Kebutuhan Bapak Atang dan Mbak Iis …………..

14 15 19 29 33 54 55 61 62 63 64 71 76 77 78 79 80 82 83


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel Rencana Penyelesaian Skripsi ………....86 Lampiran 2. Matriks Metodologi Pengumpulan Data ………...87 Lampiran 3. Panduan Pertanyaan ……… 89 Lampiran 4. Dokumentasi ……….... 91 Lampiran 5. Catatan Harian ………...92


(26)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan kebijakan negara terkadang menyebabkan masyarakat bahkan negara semakin bergantung dengan pihak lain, salah satunya adalah masyarakat perkotaan, misalnya Jakarta. Masyarakat Jakarta identik dengan sifat yang konsumtif dan selalu membangga-bangakan produksi luar negeri. Padahal di sisi lain di Jakarta terdapat komunitas-komunitas yang memproduksi barang-barang kebutuhan masyarakat Jakarta tersebut, misalnya komunitas pengrajin tahu tempe di Kedaung. Namun hal ini terabaikan. Hal ini tidak dapat dihindari karena sifat masyarakat Indonesia yang konsumtif. Hal ini juga yang membuat masyarakat Indonesia tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Perekonomian nasional Indonesia menjadi tidak tangguh dan tidak mandiri. Selain itu, usaha kecil dan menengah di Indonesia kurang diperhatikan sehingga daya saing produk usaha kecil dan menengah di kancah internasional tersebut masih lemah. Pada tahun 1994, nilai ekspor industri kecil (rumah tangga) dan menengah nasional baru mencapai 11,1 persen dari total ekspor industri pengolahan di luar migas atau 6,2 persen dari seluruh nilai ekspor. Berarti, ekspor kita sebagian terbesar dilakukan oleh usaha besar (Kartasasmita, 1996). Daya saing internasional produk usaha kecil dan menengah masih lemah. Padahal seperti yang kita ketahui, usaha-usaha kecil inilah yang dapat berfungsi sebagai pondasi bagi perekonomian nasional. Apabila usaha kecil (rumah tangga) ini diperkuat maka perekonomian nasional akan semakin kuat.


(27)

Menurut Kartasasmita (1996) ekonomi nasional yang tangguh dan mandiri hanya dapat terwujud apabila pelaku-pelakunya tangguh dan mandiri, dan seluruh partisipasi masyarakat dikerahkan, yang berarti partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya. Masyarakat diikutsertakan dalam berbagai aspek dengan tujuan melancarkan pembangunan serta pemerataan hasil pembangunan tersebut. Keikutsertaan masyarakat diharapkan mampu membuat masyarakat dapat memandirikan diri mereka sendiri.

Keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian nasional merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan, masyarakat (komunitas) memiliki modal sosial yang dapat berfungsi sebagai penguat komunitas itu sendiri. Modal sosial yang dimiliki masyarakat, seperti kepercayaan, kohesifitas, altruism, gotong royong, jaringan, kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat, dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley dan Suggate, 1997 dalam Suharto, 2009). Modal sosial ini juga dapat berfungsi sebagai pemicu pemberdayaan dalam suatu komunitas. Modal sosial dikatakan sebagai pemicu pemberdayaan komunitas (dalam penelitian ini kelompok usaha rumah tangga) karena dalam modal sosial terdapat nilai-nilai gotong royong, jaringan, dan kolaborasi sosial. Hal ini dapat membuat anggota kelompok lain yang tidak berdaya menjadi semakin berdaya. Selanjutnya pemberdayaan ini akan semakin menguatkan modal sosial,


(28)

karena anggota kelompok akan semakin tinggi rasa kepercayaannya satu sama lain, dan merasa diri mereka merupakan suatu kesatuan.

Peneliti bermaksud meneliti hal-hal yang terkait di atas pada salah satu kelompok usaha rumah tangga yang masih bertahan sampai saat ini, yaitu usaha pembuatan tahu tempe yang berada di Desa Kedaung, Ciputat. Peneliti bermaksud untuk mengetahui konstruksi modal sosial kelompok usaha pengrajin tahu tempe, serta peran dari modal sosial tersebut dalam proses pemberdayaan ekonomi kelompok. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui pengaruh proses pemberdayaan terhadap kesejahteraan.

1.2 Perumusan Masalah

Pertanyaan penelitian yang diajukan antara lain:

1. Bagaimana bangunan modal sosial kelompok usaha pengrajin tahu tempe di Kedaung, Ciputat?

2. Bagaimana peran modal sosial dalam proses pemberdayaan ekonomi kelompok usaha rumah tangga pengrajin tahu tempe di Kedaung, Ciputat dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan?

1.3 Tujuan Penelitian


(29)

1. Menjelaskan bangunan modal sosial kelompok usaha pengrajin tahu tempe di Desa Kedaung, Ciputat.

2. Menjelaskan peran modal sosial dalam proses pemberdayaan ekonomi kelompok usaha rumah tangga pengrajin tahu tempe di Kedaung, Ciputat dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Bagi peneliti : dapat menambah wawasan mengenai pemberdayaan ekonomi rakyat yang dilihat dari sisi lain yaitu modal sosial melalui usaha rumah tangga serta korelasinya dengan kesejahteraan. Selain itu, dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi praktek pemberdayaan.

2. Bagi akademisi: dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pemberdayaan.

3. Bagi pemerintah: dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan yang lebih valid tentang pemberdayaan masyarakat.

4. Bagi masyarakat: dapat dijadikan sebagai bahan acuan yang berguna untuk menambah wawasan mengenai pemberdayaan.


(30)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat 2.1.1.1 Konsep Pemberdayaan

Konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat (Hikmat, 2006). Pembangunan tidak lagi berpusat pada pemerintah tetapi juga dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah seringkali terhambat oleh karena pemerintah tidak mengetahui untuk siapa, apa pendekatan yang sesuai, dan bagaimana caranya program pembangunan tersebut dilaksanakan. Program pembangunan yang terpusat pada pemerintah seringkali mencapai tujuannya secara makro namun pada hakikatnya komunitas yang berada di tingkat mikro tidak mendapat pengaruh ataupun tidak dijangkau oleh pembangunan tersebut.

Sosiologi struktural fungsionalis Parson menyatakan bahwa konsep power dalam masyarakat adalah variabel jumlah. Power masyarakat adalah kekuatan masyarakat secara keseluruhan yang disebut sebagai tujuan kolektif. Misalnya, masyarakat diberdayakan berdasarkan kebutuhan yang mereka rasakan. Weber dalam Hikmat (2006) mendefinisikan power sebagai kemampuan seseorang atau individu atau kelompok untuk mewujudkan keinginannya. Pada akhirnya kekuatan (power) adalah kemampuan untuk mendapatkan atau mewujudkan tujuan (Hikmat, 2006).


(31)

Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Mandiri berarti masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya (baik secara individu ataupun kolektif) melalui usaha yang dilakukan dan tidak bergantung pada yang lain. Jaringan kerja merupakan kerangka kerjasama yang dilakukan oleh stakeholder yaitu pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat sehingga pembangunan tidak merugikan pihak manapun dan dapat memberikan hasil yang merata yang merupakan konsep keadilan (kesejahteraan yang merata). Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan semua pihak yang berkaitan termasuk masyarakat itu sendiri. Masyarakat diberi kesempatan untuk ikut merencanakan, melaksanakan, dan menilai.

Strategi pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu sentral pembangunan sementara itu strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi, dan sikap kemandirian (Hikmat, 2006). Partisipasi masyarakat merupakan potensi yang dapat digunakan untuk melancarkan pembangunan. Prinsip pembangunan yang partisipatif menegaskan bahwa rakyat harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan dengan kata lain pembangunan tersebut bersifatbottom up (dari bawah ke atas). Pemerintah tidak lagi berperan sebagai penyelenggara akan tetapi telah bergeser menjadi fasilitator, mediator, koordinator, pendidik, ataupun mobilisator. Adapun peran dari organisasi lokal, organisasi sosial, LSM, dan kelompok masyarakat lebih dipacu sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana program.


(32)

2.1.1.2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat

Ada tiga strategi utama pemberdayaan dalam praktek perubahan sosial, yaitu tradisional, direct action (aksi langsung), dan transformasi (Hanna dan Robinson, 1994 dalam Hikmat, 2006).

1. Strategi tradisional menyarankan agar mengetahui dan memilih kepentingan terbaik secara bebas dalam berbagai keadaan. Dengan kata lain semua pihak bebas menentukan kepentingan bagi kehidupan mereka sendiri dan tidak ada pihak lain yang mengganggu kebebasan setiap pihak.

2. Strategi direct-action membutuhkan dominasi kepentingan yang dihormati oleh semua pihak yang terlibat, dipandang dari sudut perubahan yang mungkin terjadi. Pada strategi ini, ada pihak yang sangat berpengaruh dalam membuat keputusan.

3. Strategi transformatif menunjukkan bahwa pendidikan massa dalam jangka panjang dibutuhkan sebelum pengindentifikasian kepentingan diri sendiri.

2.1.1.3 Praktek Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui konsientisasi. Proses konsientisasi diartikan sebagai proses pemberdayaan kolektif untuk menentang pemegang kekuasaan melalui kesadaran berpolitik. Konsientisasi merupakan proses pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan hubungan-hubungan politis, ekonomi, dan sosial. Masyarakat dibangkitkan pemahamannya akan kekuatan yang sebenarnya mereka miliki. Masyarakat tidak hanya sebagai penerima program sementara mereka tidak mengetahui tujuan dari program tersebut. Masyarakat juga dapat berperan sebagai


(33)

pembuat keputusan sendiri. Dengan cara ini orang akan mampu mengambil tindakan sendiri untuk menentang unsur opresif dari realitasnya, termasuk didalamnya pemecahan (pematahan) hubungan antara subjek dan objek untuk kemudian membentuk esensi partisipasi yang sungguh-sungguh.

Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Masyarakat yang tidak berdaya diberi ilmu pengetahuan, kesempatan bertindak, sehingga mereka merasa mampu dan merasa pantas untuk dilibatkan. Kedua, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Kedua kecenderungan ini saling terkait kadangkala keduanya bertukar posisi dalam prosesnya (Pranarka dan Vidhyandika, 1996 dalam Hikmat, 2006).

Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007) pemberdayaan merupakan sebuah proses sehingga mencakup tahapan-tahapan tertentu, yaitu penyadaran, capacity building, dan pendayaan. Tahap penyadaran merupakan tahap dimana target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mencapai “sesuatu”. Misalnya pemberian pengetahuan yang bersifatkognisi, belief, dan healing. Intinya target dibuat mengerti bahwa mereka perlu berdaya yang dimulai dari dalam diri mereka sendiri.


(34)

Tahap kedua yaitu “capacity building” atau pengkapasitasan, memampukan atau enabling. Target harus mempunyai kemampuan terlebih dahulu sebelum mereka diberikan daya atau kuasa. Proses capacity building terdiri atas tiga jenis, yaitu manusia, organisasi, dan sistem nilai. Pengkapasitasan manusia misalnyatraining (pelatihan),workshop (loka latih), dan seminar. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut. Namun pengkapasitasan organisasi ini jarang dilakukan karena ada anggapan apabila pengkapasitasan manusia sudah dilakukan maka pengkapasitasan organisasi akan berlaku dengan sendirinya. Jenis yang ketiga adalah pengkapasitasan sistem nilai. Sistem nilai adalah “aturan main”. Dalam cakupan organisasi sistem nilai berkenaan dengan Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga, atau sistem dan prosedur. Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri pula atas budaya organisasi, etika, dan good governance. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu target dan membuatkan “aturan main”. Pengkapasitasan ini jarang dilakukan juga karena sama dengan pengkapasitasan organisasi ada stereotype bahwa pengkapasitasan ini dapat terbentuk dengan sendirinya setelah pengkapasitasan manusia.

Tahap yang terakhir adalah pemberian daya atau “empowerment” dalam makna sempit. Target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang sesuai dengan kapasitas kecakapan yang telah dimiliki.


(35)

2.1.2 Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Sumodingrat (1999) menyatakan bahwa perekonomian rakyat merupakan padanan istilah ekonomi rakyat yang berarti perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat. Perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat merupakan usaha ekonomi yang menjadi sumber penghasilan keluarga. Ekonomi rakyat berbeda dengan ekonomi kerakyatan. Ekonomi rakyat merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat itu sendiri dengan menggunakan sumber daya yang mereka miliki dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu pangan, sandang, dan papan. Sedangkan ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat.

Konsep ekonomi rakyat ini tidak membedakan antara ’rakyat’ dengan ’bukan rakyat’ karena akan menimbulkan asumsi tentang ’elite’. Istilah rakyat dalam konsep ini berarti warga negara Indonesia secara menyeluruh yang berperan dalam pembangunan dengan kesempatan dan peluang yang sama.

Menurut Mubyarto (1994) dalam Sumodiningrat (1999) istilah ekonomi rakyat dapat diartikan ekonomi usaha kecil sebagai upaya pemihakan. Upaya pemihakan disini dimaksudkan agar pembangunan dapat memberikan kesejahteraan yang adil dan merata. Tidak hanya kelompok-kelompok tertentu yang dapat menikmati hasil-hasil pembangunan, akan tetapi seluruh warga negara yang mempunyai peran dapat juga menikmati hasil pembangunan. Sedangkan Krisnamurthi (2002) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi rakyat banyak dan pengertian dari ekonomi rakyat (banyak) adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang


(36)

banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan ekonomi yang dikuasasi oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang disebut terakhir pada hakekatnya adalah juga rakyat Indonesia.

Keith (1973) dalam Ismawan (2002) menyatakan penggolongan kegiatan ekonomi rakyat, yaitu:

a) Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder: pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan (semua dilaksanakan dalam skala terbatas dan subsisten), pengrajin kecil, penjahit, produsen makanan kecil, dan semacamnya.

b) Kegiatan-kegiatan tersier: transportasi (dalam berbagai bentuk), kegiatan sewa menyewa baik perumahan, tanah, maupun alat produksi.

c) Kegiatan-kegiatan distribusi: pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, penyalur dan agen, serta usaha sejenisnya.

d) Kegiatan-kegiatan jasa lain: pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, montir, tukang sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya.

Ekonomi rakyat juga memiliki karakteristik meskipun sebenarnya karakteristik ekonomi rakyat sangat beragam dan tergantung dari jenis kegiatannya. Namun Ismawan (2002) menyebutkan bahwa ekonomi rakyat memiliki lima karakteristik, yaitu:

1. Informalitas, sebagian besar ekonomi rakyat melakukan kegiatannya di luar kerangka legal dan pengaturan yang ada. Hal ini disebabkan dengan rendahnya efektivitas kebijakan pemerintah sehingga ekonomi rakyat mampu berkembang.

2. Mobilitas, karakteristik ini merupakan dampak dari informalitas, Informalitas membawa konsekuensi tidak adanya jaminan bagi


(37)

keberlangsungan aktivitas ekonomi rakyat. Sehingga ekonomi rakyat dapat dengan mudah dimasuki dan ditinggalkan.

3. Beberapa pekerjaan dilakukan oleh satu keluarga, aktivitas ekonomi rakyat dilakukan oleh lebih dari satu pelaku yang berasal dari satu keluarga. Hal ini disebabkan karena ketidakamanan dan keberlanjutan yang sulit diramalkan dalam ekonomi rakyat. Apabila tidak terjadi sesuatu maka akumulasi keuntungan pendapatan dari beberapa aktifitas ekonomi sangat mereka butuhkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar.

4. Kemandirian, karena kesalahan persepsi yang menganggap bahwa ekonomi rakyat merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki resiko yang tinggi sehingga berbagai pihak baik sengaja taupun tidak membatasi interaksi dengan sektor ekonomi rakyat.

5. Hubungan dengan sektor formal. Meskipun ekonomi rakyat identik dengan informalitas, namun pada kenyataannya ekonomi rakyat berhubungan dengan sektor formal. Contohnya saja, warung tegal menyediakan makanan murah untuk karyawan perusahaan atau pabrik, penggunaan penjual koran eceran oleh perusahaan penerbitan.

Pemberdayaan ekonomi rakyat dapat dilakukan dengan menggunakan strategi yang berpusat pada upaya mendorong perubahan struktural yang memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional. Perubahan struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dan dari ketergantungan ke kemandirian (Kartasasmita, 1995 dalam


(38)

Sumodiningrat, 1999). Sehingga ekonomi rakyat dapat menjadi ekonomi yang kuat, besar, dan modern, dan berdaya saing tinggi.

Praktek pemberdayaannya dapat dibedakan menjadi dua menurut sasarannya (Sumodiningrat, 1999). Pertama, pemberdayaan masyarakat modern yang telah maju lebih diarahkan pada penciptaan iklim yang menunjang dan peluang untuk tetap maju, sekaligus pada penanaman pengertian bahwa suatu saat mereka wajib membantu yang lemah. Kedua, pemberdayaan masyarakat yang masih tertinggal tidak cukup hanya dengan meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan usaha yang sama , dan memberikan suntikan modal, tetapi juga dengan menjamin adanya kerja sama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dan yang lemah atau belum berkembang. Pemberdayaan masyarakat perlu dilaksanakan dengan prinsip-prinsip kemitraan yang saling menguntungkan.

Di aras masyarakat akar rumput (masyarakat miskin) pendekatan masyarakat dapat dirangkum menjadi tiga daur hidup, yang disebut Tridaya1, yaitu:

1. Dasar hidup pengembangan sumber daya manusia dalam kelembagaan kelompok orang miskin meliputi: proses penyadaran kritis dan pengembangan kepemimpinan bersama atau kolektif, dilanjutkan dengan mengembangkan perilaku wira usaha sosial agar mampu mengelola usaha bersama atau mikro.

1

Gugus Tugas II Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2004. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta


(39)

Gambar 1. Skema Daur Hidup Pengembangan SDM dalam Kelembagaan Kelompok Orang Miskin

2. Daur hidup pengembangan usaha produktif dalam kelembagaan kelompok orang miskin meliputi: pengaturan ekonomi rumah tangga (ERT) agar mampu menabung bersama dalam kelompok yang akan digunakan untuk modal usaha mersama dalam kegiatan usaha produktif.

Gambar 2. Skema Daur Hidup Pengembangan Usaha Produktif dalam Kelembagaan Kelompok Orang Miskin

Pengaturan

ERT MenabungBersama

Usaha

Produktif BersamaModal KLP

Penyadaran

Diri KepemimpinanBersama

Usaha Bersama Mikro

Perilaku Wirausaha

Sosial KLP


(40)

3. Daur hidup kelembagaan kelompok orang miskin meliputi: pengelolaan organisasi yang akuntabilitas, kepemimpinan yang partisipatif, pengelolaan keuangan yang transparan, dan pengembangan jejaring yang luas.

Gambar 3. Skema Daur Hidup Kelembagaan Kelompok Orang Miskin

Kemudian Sumodiningrat (1999) juga merumuskan indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat ini, antara lain: (1) berkurangnya jumlah penduduk miskin; (2)berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia; (3) meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya; (4) meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta makin luasnya interaksi

Pengelolaan

Organisasi KepemimpinanPartisipatif

Pengem-bangan Jaringan

Pengelo-laan Keuangan KLP


(41)

kelompok dengan kelompok lain di dalam masyarakat; serta (5) meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya.

2.1.3 Modal Sosial

Putnam (1993) dalam Suharto (2009) mengartikan modal sosial sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Menurut Fukuyama (1995) dalam Suharto (2009), modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas. Definisi keduanya memiliki kaitan yang erat terutama menyangkut konsep kepercayaan (trust). Selanjutnya Suharto (2009) mengartikan modal sosial sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Namun, pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Melainkan, hasil dari interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat.

Modal sosial bukan merupakan entitas tunggal, Khrisna (2000) menyatakannya sebagai aset sosial yang menghasilkan aliran manfaat. Aset terdiri dari persediaan (stock) modal sosial, sedangkan manfaat sebagai aliran (flow). Sementara itu, penelitian Wade (1994) dalam Khrisna (2000) menunjukkan sebaliknya. Wade melihat bahwa sebuah masyarakat dapat membawa persediaan modal sosial mereka untuk mengefektifkan atau tidak


(42)

mengefektifkan tugas mereka. Efisiensi penggunaan akan lebih tinggi ketika tujuan sosial terdefinisi dengan baik dan secara obyektif disetujui. Modal sosial akan efektif menarik anggota kelompok kepada tugas ketika orang-orang dalam kelompok memiliki pandangan yang sama tentang dasar atau kepentingan tugas bersama.

Modal sosial dibangun berdasarkan kesalingpercayaan untuk menghasilkan hasil positif bagi semua pihak. Prasangka budaya atau kognitif tidak membatasi harapan yang menuntun untuk percaya. Akan tetapi kesempatan institusional yang tersedia, cerminan masa lalu atau kondisi struktural yang berlaku, bertindak sebagai batasan seberapa jauh seseorang dapat meluaskan jangkauan kepercayaannya.

Khrisna (2000) menyatakan bahwa sebuah tindakan sosial yang sama dapat dilakukan dengan dua kekuatan pendorong yang berbeda (lihat Tabel 1). Pertama, bersifat institusional, misalnya dorongan oleh peran pemimpin yang diakui dalam komunitas tersebut untuk melakukan sutu tindakan kolektif. Kekuatan pendorong ini kemudian disebut modal institusional. Modal institusional bersifat terstrukur. Peraturan dan tata cara yang ada untuk membimbing perilaku individu, diatur oleh peran seseorang yang diakui dengan baik. Kedua, bersifat relasional, misalnya karena dorongan norma dan kepercayaan yang ada dalam komunitas yang mampu mendorong komunitas untuk secara spontan melakukan tindakan sosial. Kekuatan pendorong ini disebut modal relasional. Modal relasional lebih tidak berbentuk dan juga lebih menyebar. Modal institusional dan rasional tidak mungkin ditemukan secara empiris dalam bentuk murni mereka, kemungkinan besar merupakan


(43)

perwujudan campuran. Keduanya dibutuhkan untuk menopang modal sosial (lihat Gambar 4).

Tabel 1. Perbandingan Modal Institusional dan Modal Relasional

Modal Institusional Modal Relasional Dasar tindakan

kolektif

Transaksi Hubungan/relasi

Sumber motivasi •Peran

•Peraturan dan tatacara •Sanksi

•Kepercayaan •Nilai-nilai •Ideologi

Sifat motivasi Perilaku maksimalisasi Perilaku kepatutan

Contoh Pasar, kerangka legal Kekeluargaan, etnis, keagamaan


(44)

Gambar 4.

Skema Pengklasifikasian Paduan Modal Institusional dan Modal Relasional

Kolom (1) menunjukkan keadaan yang paling menjanjikan, sementara kolom (4) yang paling kecil harapannya, tetapi kedua kolom tersebut yang paling merepresentasikan tipe ideal. Maksudnya, modal institusional dan modal relasional dapat membentuk modal sosial yang tinggi atau tidak sama sekali. Tugas yang dimaksudkan di dalam kolom ini merupakan suatu kegiatan yang dapat dilakukan pada suatu kondisi dan merupakan tugas yang

(1)

Modal Sosial Tinggi Tugas:perluasan jaringan aktivitas

(2)

Organisasi kuat

Tugas: legitimasi, intensifikasi

(3)

Asosiasi tradisional Tugas: mengenalkan peran, prosedur, dan kemampuan

(4)

Anomik, atomistik, amoral

Tugas:Membantu

pengembangan struktur dan norma

Modal Relasional

kuat lemah

lemah kuat

Modal Institusional


(45)

dilakukan untuk menguatkan yang lemah. Misalnya pada kolom (2), kondisi dimana modal institusional kuat akan tetapi modal relasionalnya lemah. Kondisi ini menciptakan organsasi kuat. Namun untuk membuat kondisi ideal atau menguatkan modal relasional maka dapat dilakukan tugas legitimasi dan intensifikasi.

Modal sosial merupakan sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat dan tidak akan pernah habis meskipun digunakan secara terus menerus, melainkan akan semakin meningkat. Apabila tidak dipergunakan, modal sosial malah akan rusak. Ridell (1997) dalam Suharto (2009) menyebutkan ada tiga parameter modal sosial, yaitu:

1. Kepercayaan (trust)

Kepercayaan merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh, dan juga kehidupan sosial yang harmonis.

2. Norma-norma (norms)

Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial.


(46)

Jaringan memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan sosial yang kokoh. Menurut Putnam (1995), jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.

Berdasarkan parameter yang telah disebutkan, ada beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial, antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005b dalam Suharto, 2009):

1. Perasaan identitas

2. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaanalineasi 3. Sistem kepercayaan dan ideologi

4. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan 5. Ketakutan-ketakutan

6. Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat

7. Persepsi mengenai akses dengan pelayanan, sumber, dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial)

8. Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu

9. Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya

10. Tingkat kepercayaan

11. Kepuasan dalam hidup dalam bidang-bidang kemasyarakatan lainnya 12. Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan.


(47)

2.1.4 Kelompok Usaha Rumah Tangga

Usaha rumah tangga dapat dimasukkan ke dalam golongan usaha kecil maupun industri kecil, tergantung dari kesesuaian kriteria yang dimiliki oleh usaha rumah tangga tersebut. Usaha kecil menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 adalah:

“Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.” Adapun kriteria usaha kecil menurut UU No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil adalah sebagai berikut:

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha

2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah)

3. Milik Warga Negara Indonesia

4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar

5. Berbentuk usaha orang perseorangan , badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

Sedangkan pengertian industri kecil Menurut UU RI No. 5 tahun 1984 Pasal 1 tentang perindustrian, definisi industri adalah:


(48)

“ Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri”.

Sesuai dengan pasal 5 UU RI No. 5 Tahun 1984, Pemerintah menetapkan sebagai berikut:

1 . Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang masuk dalam kelompok industri kecil, termasuk industri yang menggunakan ketrampilan tradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik Indonesia

2 . Pemerintah menetapkan jenis-jenis industri yang khusus dicadangkan bagi kegiatan industri kecil yang dilakukan oleh masyarakat dari golongan ekonomi lemah.

Menurut UU RI No. 9 tahun 1995 tentang Industri kecil, maka batasan Industri Kecil didefinisikan sebagai berikut:

“Industri Kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rp. 1 milyar atau kurang.”

Batasan mengenai skala usaha menurut BPS, yaitu berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja, mulai dicobakan di lingkungan Depperindag, yaitu: 1. Industri mikro : 1 – 4 orang


(49)

2. Industri kecil : 5 – 19 orang 3. Industri menengah : 20 – 99 orang

Menurut penjelasan atas Undang-Undang RI No. 9 tahun 1995 tentang Industri Kecil Informal adalah:

“Usaha Kecil Informal adalah usaha yang belum terdaftar, belum tercatat, dan belum berbadan hukum, antara lain petani penggarap, industri rumah tangga pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima,dan pemulung”.

2.1.5 Kesejahteraan

Kesejahteraan menurut Soembodo (2009) tidak hanya mengacu pada pemenuhan kebutuhan fisik orang atau pun keluarga sebagai entitas, tetapi juga kebutuhan psikologisnya. Suharto (2006) mengartikan kesejahteraan sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Pengertian ini disebut Soembodo (2009) sebagai kesejahteraan materi dan kesejahteraan non-materi. Kesejahteraan materi, antara lain pendapatan, pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Sedangkan kesejahteraan non-materi, antara lain agama, interaksi sosial, dan hal-hal lain yang menyangkut aspek psikososial seperti rasa bahagia, bangga, puas, tidak takut, merasa sehat, merasa diterima, dan merasa diakui. Sedangkan menurut Sadiwak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh


(50)

seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsipun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya konsumennya.

BPS (1995) menyebutkan berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan, antara lain:

1. Kependudukan

Penanganan masalah kependudukan tidak hanya mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk akan tetapi mengarah juga pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.

2. Kesehatan dan gizi

Kualitas fisik penduduk merupakan salah satu aspek penting kesejahteraan, yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Status kesehatan yang diukur melalui angka kesakitan dan status gizi juga merupakan aspek penting yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk.

3. Pendidikan

Tidak semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kemiskinan. Dengan ini diasumsikan bahwa semakin


(51)

tinggi pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera.

4. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak hanya untuk mencapai kepuasaan tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. 5. Taraf dan pola konsumsi

Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diketahui tentang pola konsumsi rumahtangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.

6. Perumahan dan lingkungan

Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas


(52)

buang air besar rumahtangga, dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban).

7. Sosial dan budaya

Semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencermikan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar.

Namun BPS (2008) dalam Munir (2008) memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumahtangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan mengukur pola konsumsi rumahtangga. Pola konsumsi rumahtangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumahtangga atau keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumahtangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumahtangga tersebut. Semakin besar pengeluaran maka dapat dikatakan bahwa rumah tangga tersebut semakin sejahtera.

Pengukuran kesejahteraan dapat menggunakan tangga kesejahteraan, dimana rumah tangga menggunakan ukuran kesejahteraannya sendiri dan menempatkan dirinya di satu titik. Sehingga dapat diketahui tingkatan


(53)

kesejahteraannya. Selain itu, dapat juga menggunakan tangga kebutuhan Maslow, sehingga dapat diketahui kebutuhan apa saja yang telah mereka capai dan yang akan mereka capai.

Adapun hierarki kebutuhan menurut Maslow adalah sebagai berikut (Hasibuan, 2001):

1)Psychological Needs (kebutuhan fisik) adalah kebutuhan yang paling utama yaitu kebutuhan untuk mempertahankan hidup, seperti makan, minum, tempat tinggal, dan bebas dari penyakit. Selama kebutuhan ini belum terpenuhi maka manusia tidak akan merasa tenang dan akan berusaha untuk memenuhinya. Kebutuhan dan kepuasan biologis ini akan terpenuhi jika gaji (upah) yang diberikan cukup besar. Jika gaji atau upah karyawan ditingkatkan maka semangat kerja mereka akan meningkat,

2)Safety and Security Needs (kebutuhan keselamatan dan keamanan) yaitu kebutuhan akan kebebasan dari ancaman jiwa dan harta di lingkungan kerja, merupakan tangga kedua dalam susunan kebutuhan. Karyawan membutuhkan rasa aman terhadap ancaman dan bahaya kehilangan pekerjaan dan penghasilan,

3)Affiliation or Acceptence Needs (kebutuhan sosial) yaitu kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan dia hidup dan bekerja, kebutuhan akan perasaan dihormati, kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal, kebutuhan akan ikut serta. Pada tingkat ini apabila karyawan tidak diterima menjadi anggota kelompok informal dalam perusahaan, maka ia akan merasa terkucil dan tidak senang. Hal ini mengakibatkan karyawan tidak bekerja dengan baik dan prestasinya menurun,


(54)

4)Esteem or Status Needs (kebutuhan akan penghargaan prestise) yaitu kebutuhan akan penghargaan dari orang lain. Berarti bahwa setiap karyawan yang bekerja dengan baik ingin mendapatkan pujian atau penghargaan atasan atau rekan sekerjanya, dan

5)Self Actualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri) yaitu realisasi lengkap potensi seseorang secara penuh. Untuk pemenuhan kebutuhan ini biasanya seseorang bertindak bukan atas dorongan orang lain, tetapi atas kesadaran dan keinginan diri sendiri. Dalam hal ini karyawan merasa telah berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan mengerahkan segala kemampuan, ketrampilan dan potensi yang ada secara maksimum.

Maslow mengambarkan tingkat kebutuhan tersebut seperti pada Gambar 5 dibawah ini:

Tingkat Kebutuhan

1. Physicological

Pemuas Kebutuhan

Gambar 5. Hierarki Kebutuhan Maslow Sumber: Hasibuan, 2001

2. Safety and security

3. Affiliation or acceptence 4. Esteem or status


(55)

Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis, dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual, dan bahkan juga spiritual. Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan“ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini keamanan sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya. Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan


(56)

“koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa : a) Kebutuhan yang suatu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang.

b) Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.

c) Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.

Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fondasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.

Maslow dikutip oleh Stoner dan Freeman (1994) membagi kelima jenjang tersebut menjadi dua kebutuhan yaitu kebutuhan tingkat tinggi dan kebutuhan tingkat rendah. Yang termasuk kebutuhan tingkat tinggi adalah


(57)

kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri, sedangkan kebutuhan tingkat rendah adalah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman.

2.2 Kerangka Pemikiran

2.2.1 Deskripsi dan Bagan Alur Berpikir

Masyarakat memiliki modal sosial yang meligkupi kehidupan mereka. Modal sosial ini dapat diliat dari tiga aspek yaitu kepercayaan (trust), jaringan (network), dan norma-norma (norms). Modal sosial dapat digunakan sebagai alat pemberdayaan bagi masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan yang dilakukan dapat melalui tiga tahapan, yaitu tahap penyadaran, capacity building, dan pendayaan. Tahapan Penyadaran dapat dilakukan dengan cara pemberian pengetahuan berkaitan dengan usaha pembuatan tempe dan tahu. Tahap capacity building dapat dilakukan dengan pemberian keterampilan, dalam hal ini keterampilan membuat tahu dan tempe sampai individu yang diberi keterampilan merasa dirinya mampu untuk membuat tahu dan tempe sendiri tanpa bantuan dan dampingan. Tahap yang terakhir adalah pendayaan dimana individu diberikan daya, kekuatan, otoritas, dan peluang untuk melakukan usahanya sendiri sehingga individu tersebut menjadi mandiri. Proses pemberdayaan ini pada akhirnya akan semakin menguatkan modal sosial yang mereka miliki.


(58)

Proses pemberdayaan yang dilakukan oleh kelompok usaha pembuat tahu dan tempe ini pada akhirnya dapat berimplikasi pada kesejahteraan mereka sendiri. Kesejahteraan dapat dilihat dari sisi yaitu materi dan non-materi. Kesejahteraan materi dapat dilihat dari tingkat pendapatan, pengeluaran, pendidikan, kesehatan, dan alat transportasi yang dimiliki. Sedangkan kesejahteraan non-materi dapat dilihat dari interaksi sosial, rasa bahagia, puas, merasa aman, merasa diterima, merasa diakui, dan merasa sehat.

Gambar 6. Bagan Kerangka Analisis

Pemberdayaan

Penyadaran

Pemberian Pengetahuan

Capacity building

Pemberian Keterampilan

Pendayaan

- Daya - Kekuasaan - Otoritas - Peluang

Kelompok Usaha Tahu Tempe

Kesejahteraan

Modal Sosial - Kepercayaan - Jaringan - Norma


(59)

2.2.2 Hipotesis Pengarah

Proses pemberdayaan akan berlangsung secara efektif apabila modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat dimanfaatkan dengan baik. Masyarakat tidak harus selalu mengandalkan bentuan pemerintah, swasta, atau LSM untuk membuat hidup mereka lebih baik. Mereka dapat menggunakan apa yang ada diantara mereka sebagai kekuatan untuk membangun dan memandirikan diri mereka sendiri.

2.2.3 Definisi Konseptual

1. Modal Sosial: sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas

2. Kepercayaan (trust): harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. 3. Jaringan (network): jaringan memfasilitasi terjadinya komunikasi

dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Komunikasi dan interaksi yang dilakukan oleh kelompok usaha pengrajin tahu tempe antara lain dengan sesama mereka, pemasok, dan pasar.

4. Norma (norms): norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang.


(60)

5. Pemberdayaan: usaha untuk membuat masyarakat yang tidak atau kurang berdaya menjadi lebih berdaya.

6. Penyadaran : tahap dimana target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mencapai “sesuatu”.

7. Pengkapasitasan: memampukan atau enabling. Target harus mempunyai kemampuan terlebih dahulu sebelum mereka diberikan daya atau kuasa.

8. Pendayaan: Target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang sesuai dengan kapasitas kecakapan yang telah dimiliki. 9. Kelompok Usaha Tahu Tempe: Usaha pembuatan tahu tempe

yang dilakukan dalam satu rumah atau oleh beberapa keluarga. 10.Kesejahteraan: Terpenuhinya kebutuhan seseorang, baik itu materi


(61)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan penelitian aras mikro yang hanya meliput sejumlah kecil orang atau kasus (peristiwa dan gejala) lokal, sehingga membatasi peluang generalisasi2. Pendekatan kualitatif ini dipilih karena peneliti hanya melakukan penelitian pada kelompok-kelompok usaha pengrajin tahu tempe yang berada di Kedaung.

Adapun strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus, karena peneliti bermaksud mempelajari lebih dalam tentang proses pemberdayaan berbasis modal sosial yang terjadi pada kelompok usaha pengrajin tahu tempe di Kedaung. Penelitian dimulai dengan melihat gambaran komunitas usaha pengrajin tahu tempe secara menyeluruh kemudian dikerucutkan dengan melihat gambaran kelompok secara lebih spesifik. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan observasi langsung, dan studi literatur. Wawancara mendalam dan observasi langsung digunakan pada saat peneliti ingin mengetahui konstruksi modal sosial, proses pemberdayaan ekonomi rakyat berbasis modal sosial yang berlangsung, serta pengaruh proses pemberdayaan tersebut terhadap kesejahteraan kelompok usaha rumah tangga pembuat tempe dan tahu.

2


(62)

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih yaitu Desa Kedaung, Ciputat. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan: (1) Para pengrajin tahu tempe tersebut berasal dari satu daerah yaitu pengrajin tahu berasal dari Tasikmalaya dan pengrajin tempe berasal dari Pekalongan; (2) nilai di tingkat mereka menarik. Karena nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan, dan toleransi antar mereka masih sangat kuat di tengah-tengah daerah perkotaan; (3) sesuai dengan objek kajian karena di desa ini masih banyak masyarakat yang melakukan usaha rumah tangga; dan (4) strategis dan mudah dijangkau oleh peneliti.

3.3 Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan kurang lebih satu bulan yaitu dari awal bulan Mei 2009 sampai dengan awal bulan Juni 2009. Namun sebelumnya peneliti telah melakukan pemetaan awal ke tempat penelitian pada tanggal 13 April 2009.

3.4 Penentuan Unit Analisis, Informan, dan Responden 3.4.1 Penentuan Unit Analisis

Unit analisis yang dipilih sebagai objek kajian adalah kelompok usaha rumah tangga yang berada di Desa Kedaung, Ciputat yaitu kelompok usaha rumah tangga pengrajin tahu tempe yang paling lama berada di daerah tersebut dan kelompok usaha yang paling baru. Pemilihan ini dilakukan secara sengaja karena pengusaha-pengusaha rumah tangga ini berkumpul di suatu daerah di Desa Kedaung sehingga lebih mudah teridentifikasi


(63)

keberadaannya. Pemilihan ini juga dimaksudkan agar informasi yang digali dapat lebih fokus dan lebih dalam.

3.4.2 Penentuan Informan

Informan yang dipilih yaitu orang yang mengetahui tentang keberadaan usaha rumah tangga ini yaitu masyarakat yang tinggal di Desa Kedaung yang merupakan kerabat peneliti, ketua RT, maupun pemuka agama. Informan diharapkan mampu memberikan informasi tentang keberlangsungan usaha pembuatan tahu tempe sebelum peneliti meneliti secara langsung serta membantu peneliti dalam melakukan pendekatan kepada pengrajin tahu tempe tersebut.

3.4.3 Penentuan Responden

Responden merupakan pengrajin tahu tempe yang berada dalam kelompok usaha tahu tempe yang paling lama dan paling baru serta pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemberdayaan ekonomi usaha tahu tempe tersebut. Responden dipilih dengan menggunakan snowball sampling. Metode ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa peneliti dapat menemukan kelompok usaha yang paling lama dan paling baru dalam melakukan usaha di daerah Kedaung.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan oleh peneliti adalah pengambilan data primer di lapangan melalui wawancara mendalam, observasi


(64)

berperan serta, dan pengambilan data sekunder. Wawancara dilakukan kepada responden dan informan. Informan yang akan diwawancarai antara lain salah satu warga Desa Kedaung yang mengetahui usaha rumah tangga pembuat tahu dan tempe, ketua RT, dan pemuka agama. Sedangkan responden yang akan diwawancarai yaitu para pengrajin tahu tempe yang berada dalam kelompok usaha tahu tempe yang paling lama dan paling baru. Teknik pengamatan berperan serta dilakukan pada saat para pengusaha tersebut melakukan aktivitasnya yaitu dari mulai membuat tahu tempe sampai memasarkannya.

3.6 Metode Analisis Data

Data hasil pengamatan dan wawancara disajikan dalam bentuk catatan harian. Analisis data tersebut dilakukan dengan tiga cara yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data yang dimaksudkan adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan harian.

Data dapat disajikan dalam bentuk teks naratif dan juga matriks, grafik, jaringan atau bagan apabila memungkinkan untuk menjelaskan pengaruh proses pemberdayaan bagi kesejahteraan kelompok usaha pengrajin tahu tempe.


(65)

BAB IV

PROFIL PAGUYUBAN

4.1 Sejarah Desa

Nama Desa Kedaung berasal dari nama sebuah pohon yang dulu tumbuh di atas tanah daerah ini. Sebelum masyarakat berdatangan dan mendirikan pemukiman, daerah ini awalnya merupakan kebun pohon kedaung. Oleh karena itu orang-orang menyebut daerah ini dengan sebutan kedaung. Namun lambat laun kebun kedaung hilang dan berubah menjadi area padat pemukiman.

Dulu Kedaung termasuk ke dalam wilayah Jakarta Selatan, Propinsi DKI Jakarta. Namun semenjak terjadi pemekaran propinsi dan Banten menjadi sebuah propinsi, maka Kedaung termasuk ke dalam Propinsi Banten. Pertama kali Kedaung ditempati oleh orang-orang Jakarta atau Suku Betawi. Sampai akhirnya sebagian besar penduduknya merupakan Suku Betawi dan membentuk sebuah forum yaitu Forum Betawi Rempug. Akan tetapi penduduk asli memilih untuk mencari kehidupan di tempat lain. Penduduk asli berkurang atau bermigrasi dan digantikan oleh para pendatang yang berasal dari Pekalongan dan Tasikmalaya. Sekarang, sebagian besar penduduk Desa Kedaung merupakan orang-orang yang berasal dari Suku Jawa dan Sunda.

4.2 Sejarah Paguyuban

Perkumpulan diantara para penduduk di Kedaung sebenarnya sudah ada meskipun perkumpulan tersebut tidak secara resmi dibentuk dengan visi misi


(66)

secara tertulis. Namun tujuan dari masing-masing individu tercermin sebagai tujuan bersama dalam perkumpulan tersebut. Para penduduk menginginkan hubungan antara mereka dapat terjalin dengan baik, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain. Tujuan ini diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan, antara lain pengajian rutin setiap minggu, arisan, kerja bakti, tujuh belasan, dan lain sebagainya.

Para penduduk kemudian menginginkan agar perkumpulan ini diresmikan sebagai sebuah paguyuban sebagai pengganti kopti. Kopti merupakan koperasi pemerintahan yang berpusat di Kabupaten Tangerang. Sebenarnya kopti memiliki peran yang cukup penting bagi penduduk Kedaung yang sebagian besar merupakan pengrajin tahu tempe. Kopti dapat menjaga keseimbangan harga pasar. Namun dalam perjalanannya, banyak aset-aset kopti yang hilang seperti tanah ataupun tambak. Aset-aset ini merupakan milik dari anggota kopti namun ternyata aset tersebut disalahgunakan oleh para pengurus periode terakhir. Akhirnya kopti tersebut dibubarkan karena dianggap kurang bertanggung jawab.

Setelah kopti dibubarkan, distributor kedelai yang dipegang oleh China dengan sewenang-wenang memainkan harga dan memberikan harga yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu para penduduk menginginkan adanya paguyuban yang dapat menggantikan peran kopti tersebut. Paguyuban diresmikan pada tangga 6 Maret 2009 dengan nama “Paguyuban Warga Pengrajin Tahu Tempe (PWPTT)” (lihat Gambar 1 pada Lampiran 4). Nama tersebut diambil karena yang menjadi anggota pertama paguyuban tersebut merupakan para pengrajin tahu tempe. Meskipun begitu, tidak ada larangan bagi penduduk lain


(67)

yang bermata pencaharian selain pengrajin tahu tempe apabila mereka ingin menjadi anggota paguyuban ini.

4.2.1 Gambaran Umum

Nama Paguyuban ini adalah Paguyuban Warga Pengrajin Tahu dan Tempe atau disingkat PWPTT. Paguyuban ini berkedudukan di Tangerang Selatan tepatnya di Jl. Pulo Samid Rt. 08/04. Prinsip yang menjadi landasan paguyuban ini adalah gotong royong, kebersamaan, keterbukaan, persaudaraan, dan transparan dalam menjalankan kegiatannya dan selalu berpegang teguh pada prinsipamar ma ruf nahi munkar.

Adapun tujuan dari paguyuban antara lain:

1. Meningkatkan persaudaraan, persatuan, dan kesatuan sesama pengrajin; 2. Membangun jejaring, menyediakan dan mengelola usaha kedelai guna meningkatkan kesejahteraan anggota.

4.2.2 Visi dan Misi Visi

Menjadi paguyuban yang bermartabat yang senantiasa melindungi dan mengayomi para warganya, jujur, amanah, dan transparan dalam menjalankan kegiatannya.

Misi

1. Menjalankan usaha dibidang kedelai untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya;


(68)

2. Menjalankan usaha-usaha pendukung lainnya yang berkaitan dengan usaha pokok para anggotanya;

3. Mempermudah usaha para anggota dengan menyediakan bahan baku dan bahan pendukung lainnya dengan harga yang kompetitif;

4. Menjembatani kepentingan anggota dengan seluruhstakeholder untuk mendapatkan manfaat saling menguntungkan bagi semua pihak.

4.2.3 Anggota

Anggota awal pada saat paguyuban baru terbentuk berjumlah 105 Kepala Keluarga. sekarang jumlah tersebut bertambah menjadi 124 Kepala Keluarga atau sebanyak 128 jiwa. Jumlah ini dapat bertambah setiap waktu karena paguyuban ini membuka kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi anggota paguyuban. Anggota paguyuban tidak hanya terbatas bagi pengrajin tahu tempe saja atau terbatas bagi para penduduk Kedaung saja. Akan tetapi penduduk yang bermata pencaharian selain pengrajin tahu tempe ataupun orang lain yang bukan berasal dari Desa Kedaung dapat menjadi anggota Paguyuban, yang terdiri dari :

- 96 orang pengrajin dan pedagang tahu tempe - 22 orang pedagang sayur dan tukang ojek

- 10 orang profesi lain (pegawai, karyawan, dan buruh)

4.2.4 Kegiatan

Kegiatan yang dilakukan saat ini adalah kegiatan-kegiatan dalam bidang sosial, rohani atau keagamaan, dan bidang usaha.


(69)

4.2.4.1 Bidang Sosial

Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang sosial antara lain pembinaan kepada anggota paguyuban dan juga pemberian santunan kepada anggota paguyuban yang mengalami musibah. Pembinaan yang diberikan kepada anggota paguyuban dapat berupa himbauan untuk dapat tetap menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar pemukiman ataupun lingkungan usaha sehingga kegiatan usaha yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Selain himbauan tentang lingkungan hidup, paguyuban juga memfasilitasi praktek nyata dari hanya sekedar himbauan. Praktek nyata ini berupa kerja bakti yang dilakukan setiap bulannya.

Pemberian santunan dilakukan dengan menggunakan iuran wajib yang dibayar oleh anggota paguyuban setiap bulannya. Besarnya iuran wajib tersebut adalah seribu rupiah. Selain iuran wajib, santunan ini juga diambil dari simpanan para anggota yang membeli kedelai di paguyuban. Setiap pembelian kedelai anggota dikenakan biaya tambahan sebesar seratus rupiah per kg.

4.2.4.2 Bidang Keagamaan

Anggota paguyuban seluruhnya memeluk agama Islam. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan agama Islam. Kegiatan tersebut seperti pengajian dan majelis taklim yang dilakukan secara rutin. Pengajian dilakukan setiap malam Jumat di Masjid Jami’ Darussalam ataupun di rumah anggota paguyuban yang bersedia.


(1)

Tabel Rencana Penyelesaian Skripsi

No

Kegiatan

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

I

Proposal

dan

Kolokium

1. Penyusunan Draft Proposal, konsultasi, dan

revisi

2.

Observasi

Lapangan

3.

Kolokium

II Studi

Lapangan

1.

Pengumpulan

Data

2.

Analisis

Data

III Penulisan

Laporan

1.

Penyusunan

Draft

dan

Revisi

2.

Konsultasi

Laporan

IV Ujian

Skripsi

1.

Ujian


(2)

87

Lampiran 2

Matriks Metodologi Pengumpulan Data

No

Masalah

Data Yang Diperlukan

Sumber Data

Teknik Pengumpulan Data

1.

2.

Konteks umum lokasi

Konstruksi Modal Sosial

- Gambaran umum desa

(sejarah desa, potensi

desa)

- Profil masyarakat

(jumlah penduduk, mata

pencaharian)

- Profil kelompok pembuat

tempe dan tahu (jumlah

pelaku usaha,

karakteristik pelaku

usaha)

- Bentuk-bentuk modal

sosial (kepercayaan,

jaringan, dan norma)

- Proses terbentuknya

-

Data sekunder

-

Data Primer

-

Data Primer

- Studi literatur : data desa

- Wawancara kepada responden

-

Wawancara mendalam

kepada responden


(3)

3.

4.

Peran Modal Sosial dalam

Proses Pemberdayaan Ekonomi

Kelompok Usaha Rumah

Tangga

Pengaruh Proses Pemberdayaan

Terhadap Kesejahteraan

- Proses Pemberdayaan

- Pihak yang terlibat

- Peran modal sosial dalam

proses pemberdayaan

- Ukuran kesejahteraan

yang berkembang

diantara mereka

- Hasil pemberdayaan

(pemekaran usaha,

perluasan jaringan usaha,

peningkatan pendapatan)

-

Data primer

-

Data primer

-

Wawancara mendalam

kepada responden

-

Wawancara mendalam


(4)

89

Lampiran 3

PANDUAN PERTANYAAN

A. Profil Komunitas

1. Kapankah pertama kali anda membuka usaha ini? 2. Dimana pertama kalinya anda membuka usaha ini?

3. Jika langsung di daerah ini, bagaimana keadaan daerah ini pada saat it u? Dan apa alasan membuka usaha di daerah ini? 4. Apa memang sudah banyak orang atau rumah tangga yang membuka usaha ini?

5. Kira-kira berapa banyak atau jumlah rumah tangga yang sudah memulai usaha ini pada saat anda memulai usaha? 6. Apakah terjadi perubahan dalam hal jumlah apabila dibandingkan dengan keadaan sekarang?

7. Apakah meningkat atau menurun?

8. Kira-kira berapa banyak jumlah usaha rumah tangga tempe tahu saat ini?

9. Dari sejumlah rumah tangga yang membuka usaha tempe tahu ini, sebagian besar pelaku usahanya berasal dari mana? 10. Warga asli daerah ini ataukah pendatang (berasal dari daerah yang lain)?

B. Konstruksi M odal Sosial

1. Bagaimanakah kehidupan bertetangga di daerah ini?

2. Bagaimanakah hubungan yang terjalin antar pelaku usaha pembuat tempe tahu ini? baik dengan yang sudah lama membuka usaha ataupun yang baru?

3. Selain dengan sesama pelaku usaha apakah anda mempunyai hubungan dengan yang lainnya? Misalnya dengan pemasok, pasar, bank, atau yang lainnya?

4. Bagaimanakah hubungan yang terjalin tersebut? 5. Apakah hanya hubungan bisnis saja atau lebih dari itu?

6. Apakah alasan anda mau menjalin kerjasama dengan pihak-pihak tersebut?

7. Apakah ada aturan-aturan yang mengikat dalam hubungan-hubungan yang terjalin tersebut? 8. Apakah anda pernah melakukan kegiatan pinjam meminjam dengan mereka?

9. Untuk apa?

10. Bagaimana prosedur pengembaliannya? 11.Apakah ada aturan dalam kegiatan tersebut?

12.Bagaimana jika ada yang terlambat dalam melakukan pengembalian? 13.Apakah sanksinya?


(5)

1. Pertama kali anda membuka usaha ini, apakah anda sudah memiliki keterampilan membuat tempe atau tahu? 2. Dari mana anda memperoleh ket erampilan tersebut?

3. Siapa yang mengajarkan anda keterampilan ini? 4. Anda yang minta diajarkan atau anda diajak? 5. Apakah hubungan anda dengan pihak tersebut?

6. Bagaimana pihak tersebut mengajak anda untuk belajar keterampilan ini? 7. M engapa anda tertarik dengan ajakannya?

8. Bagaimanakah hubungan anda dengan pihak yang mengajak tersebut? 9. Setelah menjalankan usaha ini, apakah pihak tersebut mempengaruhi anda? 10.Apakah ada hal-hal yang anda harus lakukan untuk mengganti jasanya?

11.Dari manakah modal yang anda dapatkan untuk membuka usaha ini pertama kali? 12.Apakah dari pihak yang mengajarkan atau ada sumber lain?

13. Berupa pinjaman ataukah anda memiliki modal sendiri? 14. Sejauh ini, bagaimanakah keadaaan usaha yang anda jalankan?

15.Apakah terjadi perubahan sumber daya, besar usaha, ataupun luas jaringan? 16.Bagaimanakah pengaruhnya dengan surpulus ekonomi?

D. Pengaruh Proses Pemberdayaan Terhadap Kesejahteraan

1. Apakah pengertian kesejaht eraan yang berkembang di antara pembuat tempe dan tahu?

2. Adakah ukuran-ukuran atau indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan tersebut? Misalnya jenis rumah, perhiasan yang dipakai, kendaraan yang dimiliki, kesenangan, atau yang lainnya.

3. Apakah anda sudah merasa sejahtera?

4. Bagaimanakah keadaan yang anda rasakan sebelum memulai usaha? 5. Apakah anda merasa sejaht era pada saat itu?


(6)

91

Lampiran 4

Gambar 1. Sekretariat Paguyban Pengrajin Tahu Tempe Gambar 2. Stok Kedelai Paguyuban untuk Dikirim Ke

Rumah Pembeli