Evaluasi Tebal Lapis Tambah (Overlay) Dengan Metoda Bina Marga Dan Asphalt Institute Menggunakan Alat Benkelman Beam (study kasus: jalan lintas bireuen – lhokseumawe)

(1)

TUGAS AKHIR

EVALUASI TEBAL LAPIS TAMBAH (OVERLAY) DENGAN

METODA BINA MARGA DAN ASPHALT INSTITUTE

MENGGUNAKAN ALAT BENKELMAN BEAM

(study kasus: jalan lintas bireuen – lhokseumawe)

Diajukan untuk Melengkapi Tugas - Tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil

DISUSUN OLEH :

03 0404 080

ORIZA RIZKY

BIDANG STUDI TRANSPORTASI

DEPARTEMAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

TUGAS AKHIR

EVALUASI TEBAL LAPIS TAMBAH (OVERLAY) DENGAN

METODA BINA MARGA DAN ASPHALT INSTITUTE

MENGGUNAKAN ALAT BENKELMAN BEAM

(study kasus: jalan lintas bireuen – lhokseumawe)

Diajukan untuk Melengkapi Tugas - Tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil

Disusun Oleh :

NIM : 03 0404 080 ORIZA RIZKY

Disetujui Oleh :

NIP. 131 572 869 (Ir. INDRA JAYA PANDIA)

BIDANG STUDI TRANSPORTASI

DEPARTEMAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

ABSTRAK

Tebal lapis tambah (overlay) merupakan lapis perkerasan tambahan yang dipasang di atas konstruksi perkerasan yang ada dengan tujuan meningkatkan kekuatan struktur perkerasan yang ada agar dapat melayani lalu lintas yang direncanakan selama kurun waktu yang akan datang. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan pada jalan lintas Bireuen – Lhokseumawe, dengan menggunakan metode bina marga dan asphalt institute dan pengetesan dilakukan dengan memakai alat Benkelman beam. Evaluasi terhadap tebal lapis tambah terutama dilakukan agar dapat lebih baik dalam meningkatkan fungsi atau menambah perkerasan terhadap devesiensi structural.

Dalam penelitian ini seksi jalan yang akan dibahas adalah pada stasioning (254+000 – 258+000) dan (259+000 - 264+000), karena pada stasioning tersebut memiliki beban puncak maksimum / kritis. Stasioning ini dibagi kedalam empat segmen yaitu segmen pertama sta KM.(254+000-256+000), segmen kedua Sta KM.(256+200 – 258+000), segmen ketiga Sta KM.(259+000 – 261+200), dan segmen keempat Sta KM.(261+400 – 264+000). Pembagian segmen ini dilakukan untuk mendapatkan keseragaman lendutan balik.

Hasil pengujian dengan Metode Bina Marga diperoleh segmen I(9.789 cm), segmen II(10.479 cm), segmen III (11.045 cm), dan segmen IV(11.123 cm), sedangkan Asphalt Institute diperoleh segmen I(11.250 cm), segmen II(11.875 cm), segmen III (12.015 cm), dan segmen IV(13.125 cm). Dari perolehan hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa Metode Asphalt Institute dalam perencanaan tebal lapis tambah (overlay) pada perencanaan jalan di Indonesia tidak ekonomis digunakan karena terlalu tebal. Hal ini berbeda dengan Metode Bina Marga, metode ini lebih ekonomis digunakan di Indonesia karena tingkat ketebalannya sesuai digunakan pada perencanaan tebal lapis tambah (overlay).


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini dengan baik. Tugas akhir ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh ujian sarjana pada Fakultas Teknik Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul yang diajukan adalah “ Evaluasi Tebal Lapis Tambah (Overlay) Dengan Metode Bina Marga Dan Asphalt Institute Menggunakan Alat Benkelman Beam “, yang merupakan studi kasus pada jalan lintas Bireuen-Lhokseumawe.

Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis banyak mendapat bimbingan, bantuan, serta dorongan moril, material, maupun spiritual dari berbagai pihak sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Untuk itu dengan kerendahan hati dan rasa hormat penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

- Bapak Ir. Indra Jaya Pandia, selaku Pembimbing yang telah menyediakan waktu dan kesempatan untuk mengarahkan, membimbing dan memberikan saran serta memperluas wawasan teknik transportasi hingga penyelesaian tugas akhir ini.

- Bapak Prof.DR.Ing.Johannes Tarigan, selaku ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

- Bapak Ir. Teruna Jaya, selaku sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

- Bapak dan Ibu staf pengajar yang telah membimbing dan mendidik sejak semester awal sampai berakhirnya masa studi pada Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(5)

- Teristimewa, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ayahanda Hasbi dan Ibunda tercinta Nurmiati.SP, atas seluruh bantuan, dukungan, do’a dan pengorbanannya yang tidak terhingga kepada penulis selama ini.

- Seluruh sahabat-sahabat mahasiswa stambuk ’03 khususnya kepada Wahyudin “Si Bin”, Izuddin, Rida, Wiwid, Handri Nova Siregar “Lek Gar”, Rendi, Ajo, Reno “Chakimak”, Daniel, Wesly, juga kepada adik-adik khususnya Weling, Andi, Gafur, Budi, Andre, Tami, Ucop, Fahim, Izoel, Anggi, Ata, Gafar dan semua Asisten Beton serta rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu selama penulisan tugas akhir ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan akhir ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun penulisannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata penulis mengharapkan tugas akhir ini bermanfaat bagi kita semua yang membutuhkannya.

Medan, April 2009 Penulis

ORIZA RIZKY 03 0404 080


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... .i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR NOTASI... ix

BAB 1. PENDAHULUAN I.1. Umum ... 1

I.2. Latar Belakang ... 1

I.3. Permasalahan ... 3

I.4. Maksud dan Tujuan ... 3

I.5. Pembatasan Masalah ... 4

I.6. Metodelogi Penelitian ... 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendahuluan ... 7

2.2 Beberapa Konsep Tingkat Pelayanan ... 9

a. Present Serviceability Rating (PSR) ... 9

b. Present Serviceability Index (PSI) ... 10

c. Indeks Kondisi Jalan (RCI) ... 12

d. International Roughness Index (IRI) ... 14

2.3 Prosedur Dalam Menentukan Lendutan Dengan Alat Benkelman Beam ... 15

2.4 Parameter Perencanaan Tebal Lapis Tambah... 28

2.4.1 Menghitung tebal lapis tambah dengan menggunakan lendutan balik ... 28

2.4.2 Menghitung lendutan maksimum, lendutan balik dan lendutan sisa ... 32


(7)

2.4.4 Mengkalibrasikan alat Benkelman Beam ... 37

2.5 Kerusakan Pada Perkerasan Jalan ... 41

2.5.1 Model dan jenis kerusakan pada perkerasan jalan... 41

BAB 3. METODE PERENCANAAN TEBAL LAPIS TAMBAH (OVERLAY) 3.1 Pembahasan Masalah... 56

3.2 Metode Bina Marga ... 56

3.2.1 Ketentuan Perhitungan ... 58

3.2.1.1Volume Lalu Lintas ... 58

3.2.1.2Lendutan ... 63

3.2.1.3 Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah Perkerasan ... 69

3.2.1.4 Prosedur Perhitungan Dengan Metoda Bina Marga ... 72

3.3 Metode Asphalt Institute... 75

3.3.1 Volume Lalu Lintas ... 75

3.3.2 Lendutan ... 82

3.3.3 Prosedur Perhitungan Dengan Metode Asphalt Institute ... 90

BAB 4. ANALISA DATA 4.1 Perhitungan Tebal Lapis Tambah (Overlay) Dengan Alat Benkelman Beam ... 93

4.1.1 Metode Metode Bina Marga ... 93

4.1.2 Metode Asphalt Institute...110

4.2 Evaluasi Tebal Lapis Tambah (Overlay) ... 116

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 117

5.2 Saran ... 118


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kondisi Permukaan Jalan ... 13

Tabel 2.1 Presentase kendaraan yang lewat pada jalur rencana ... 31

Tabel 3.1 jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan ... 58

Tabel 3.2 koefisien distriusi kendaraan (C) ... 59

Tabel 3.3 angka ekivalen (E) untuk beban sumbu kendaraan ... 60

Tabel 3.4 faktor hubungan antara umur rencana dengan perkembangan lalu lintas (N) ... 62

Tabel 3.5 faktor koreksi lendutan terhadap temperature standard (Ft) ... 66

Tabel 3.6 temperatur tengah (Tt) dan bawah (Tb) lapis beraspal berdasarkan data temperature udara (Tu) an temperature permukaan (Tp) ... 67

Tabel 3.7 faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL) ... 71

Tabel 3.8 distribusi beban pada kelas jalan ... 76

Tabel 3.9 presentase total pembebanan lalu lintas dalam menddesain jalur ... 78

Tabel 3.10 faktor pertumbuhan ... 79

Tabel 3.11 distribusi factor pembebanan untuk kelas kelas yang berbeda dari jalan raya dan kendaraan ... 80

Tabel 3.12 klasifikasi lalu lintas ... 80


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Bagan Alir Penelitian ... 6

Gambar 2.1 Skala Present Serviceability Rating (PSR) ... 10

Gambar 2.2 Skala Present Serviceability Indeks (PSI)... 12

Gambar 2.3 Korelasi antara nilai IRI dan nilai RCI ... 13

Gambar 2.4 International Roughness Indeks (IRI) ... 14

Gambar 2.5 Perlengkapan Alat Benkelman Beam, Pengukur Suhu, Dial Test, Dan Perlengkapan Keamanan ... 22

Gambar 2.6 Retak Memanjang Dan Melintang... 42

Gambar 2.7 Retak Rambut Dan Retak Kulit Buaya ... 43

Gambar 2.8 Retak Susut... 44

Gambar 2.9 Retak Refleksi ... 45

Gambar 2.10 Retak Selip ... 46

Gambar 2.11 Kerusakan Tepi... 47

Gambar 2.12 Alur ... 48

Gambar 2.13 keriting ... 49

Gambar 2.14 Lubang ... 49

Gambar 2.15 Jembul ... 50

Gambar 2.16 Penurunan Setempat ... 51


(10)

Gambar 2.18 Kegemukan Aspal ... 52

Gambar 2.19 Pengelupasan Lapis Permukaan ... 52

Gambar 2.20 Pengausan... 53

Gambar 3.1 Flowchart Penelitian ... 55

Gambar 3.2 Skema Benkelman Beam ... 57

Gambar 3.3 Sumbu Standard 18.000 Pond (18 Kips) Atau Setara 8,16 Ton ... 61

Gambar 3.4 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperature Standard ... 65

Gambar 3.5 Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah/Overlay (Fo) ... 70

Gambar 3.7 Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambahpenyesuaian (FKTBL) ... 71

Gambar 3.8 Hubungan Antara Lendutan Rencana Dan Lalu Lintas ... 74

Gambar 3.9 Tebal Lapis Tambah/Overlay (Ho)... 74

Gambar 3.10 Faktor Pengaruh Suhu Dalam 0C atau 0F ... 88


(11)

DAFTAR NOTASI

D : Lendutan balik yang mewakili suatu seksi jalan. : Lendutan balik rata-rata dalam suatu seksi jalan. D : Lendutan balik tiap titik didalam seksi jalan. n : Jumlah titik pemeriksaan pada seksi jalan. S : Standar deviasi.

Dmaks : Lendutan maksimum.

d1 : Pembacaan awal (mm), sejauh 0 cm.

d3 : Lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik

pengukuran.

CESA : Akumulasi Ekivalen Beban Sumbu Standar. M : Jumlah masing-masing kendaraan.

E : Ekivalen beban sumbu.

C : Koefisien distribusi kendaraan.

N : Faktor hubungan umur rencana yang sudah disesuaikan dengan perkembangan lalu lintas.

dB : Lendutan balik (mm).

Ft : Faktor penyesuaian lendutan terhadap temperatur standar 350C.

TL : Temperatur lapis beraspal.

Tp : Temperatur permukaan lapis beraspal.


(12)

Tb : Temperatur bawah lapis beraspal.

Ca : Faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim). FKB-BB : Faktor koreksi beban uji Benkelman Beam (BB).

FKijin : Faktor keseragaman yang diijinkan.

dR : Lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan.

FK : Faktor keseragaman.

ns : Jumlah titik pemeriksaan pada suatu seksi jalan.

Dwakil : Lendutan yang mewakili suatu seksi jalan.

dR : Lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan.

Fo : Faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay.

TPRT : Temperatur perkerasan rata-rata tahunan untuk daerah/kota tertentu.

Drencana : Lendutan rencana, dalam satuan milimeter.

Ho : Tebal lapis tambah sebelum dikoreksi temperatur rata-rata tahunan daerah tertentu, dalam satuan centimeter.

Dsbl ov : Lendutan sebelum lapis tambah/Dwakil, dalam satuan milimeter. Dstl ov : Lendutan setelah lapis tambah atau lendutan rencana, dalam satuan

milimeter.

Ht : Tebal lapis tambah/overlay, dalam satuan centimeter. Fo : Faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay.

: Nilai tes rata rata.

F : Factor suhu yang telah ditentukan.

c : Factor periode kritis yang telah ditentukan. x : Nilai tes individu, koreksi untuk temperature. n : Jumlah nilai tes individu.


(13)

ABSTRAK

Tebal lapis tambah (overlay) merupakan lapis perkerasan tambahan yang dipasang di atas konstruksi perkerasan yang ada dengan tujuan meningkatkan kekuatan struktur perkerasan yang ada agar dapat melayani lalu lintas yang direncanakan selama kurun waktu yang akan datang. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan pada jalan lintas Bireuen – Lhokseumawe, dengan menggunakan metode bina marga dan asphalt institute dan pengetesan dilakukan dengan memakai alat Benkelman beam. Evaluasi terhadap tebal lapis tambah terutama dilakukan agar dapat lebih baik dalam meningkatkan fungsi atau menambah perkerasan terhadap devesiensi structural.

Dalam penelitian ini seksi jalan yang akan dibahas adalah pada stasioning (254+000 – 258+000) dan (259+000 - 264+000), karena pada stasioning tersebut memiliki beban puncak maksimum / kritis. Stasioning ini dibagi kedalam empat segmen yaitu segmen pertama sta KM.(254+000-256+000), segmen kedua Sta KM.(256+200 – 258+000), segmen ketiga Sta KM.(259+000 – 261+200), dan segmen keempat Sta KM.(261+400 – 264+000). Pembagian segmen ini dilakukan untuk mendapatkan keseragaman lendutan balik.

Hasil pengujian dengan Metode Bina Marga diperoleh segmen I(9.789 cm), segmen II(10.479 cm), segmen III (11.045 cm), dan segmen IV(11.123 cm), sedangkan Asphalt Institute diperoleh segmen I(11.250 cm), segmen II(11.875 cm), segmen III (12.015 cm), dan segmen IV(13.125 cm). Dari perolehan hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa Metode Asphalt Institute dalam perencanaan tebal lapis tambah (overlay) pada perencanaan jalan di Indonesia tidak ekonomis digunakan karena terlalu tebal. Hal ini berbeda dengan Metode Bina Marga, metode ini lebih ekonomis digunakan di Indonesia karena tingkat ketebalannya sesuai digunakan pada perencanaan tebal lapis tambah (overlay).


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 UMUM

Permukaan tanah pada umumnya tidak mampu menahan beban kendaraan diatasnya sehingga diperlukan suatu konstruksi yang dapat menahan dan mendistribusikan beban lalu lintas yang diterimanya. Jenis konstruksi ini dikenal sebagai perkerasan (pavement),yang dapat didefinisikan sebagai lapisan yang relatif stabil yang dibangun diatas tanah asli atau tanah dasar yang berfungsi untuk menahan dan mendistribusikan beban kendaraan serta sebagai lapisan penutup permukaan.

Perkembangan perkerasan sejalan dengan perkembangan pengangkutan manusia ataupun barang. Pada saat moda transportasi hanya pejalan kaki atau menaiki hewan, perkerasan belum diperlukan, dan orang hanya mencari tanah yang cukup keras dan datar untuk dapat dilalui. Tetapi dengan perkembangan jenis angkutan maka perkerasan jalan pun mulai dikembangkan. Perkembangan perkerasan diikuti juga dengan perkembangan bahan perkerasan jalan dan metoda perencanaannya.

1.2 LATAR BELAKANG

Peningkatan pelayanan jalan raya merupakan masalah yang sangat penting bagi suatu sistem transportasi darat. Peningkatan pelayanan jalan raya dapat mengubah kelas suatu jalan menjadi lebih baik ataupun dapat menambah volume lalu lintas jalan tersebut.


(15)

Adapun cara untuk meningkatkan pelayanan terhadap jalan raya salah satunya adalah penambahan tebal perkerasan untuk menghindari kerusakan yang lebih serius pada jalan tersebut. Maka dari itu diperlukan Penambahan tebal lapis tambah perkerasan (overlay). Penambahan ini dapat dilakukan pada jalan jalan yang sudah berlubang karena tidak memungkinkan lagi untuk di tambal, maka diambillah suatu kebijakan dengan cara menambah tebal perkerasan dari jalan tersebut, dan tebal lapis tambahan dapat dilakukan dengan menggunakan alat Benkelman Beam.

Menurut sejarahnya struktur perkerasan dapat dikelompokkan atas dua golongan yaitu:

1. Struktur Perkerasan Lentur (Flexible Pavement); terdiri dari lapisan tipis permukaan (surface coarse) yang dibangun diatas lapis pondasi atas (base coarse) dan lapis pondasi bawah (subbase coarse), dan semuanya diletakkan diatas tanah dasar yang dipadatkan.

2. Struktur perkerasan kaku (Rigid Pavement); terdiri dari beton PC (Portland Cement Concrete), dan bisa juga terdapat base coarse diantara pelat beton PC dan subbase coarse.

Pengelempokkan struktur perkerasan tersebut pada umumnya lebih didasarkan pada bahan dasar yang digunakan. Umumnya struktur perkerasan lentur menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapisan permukaan, sedangkan struktur perkerasan kaku menggunakan pelat beton semen sebagai komponen struktur utamanya.

Karena kekakuan dan modulus elastisitas yang tinggi, perkerasan kaku mendistribusikan beban lalu lintas dalam daerah yang luas diatas tanah, sehingga sebagian besar beban dipikul oleh oleh kekuatan struktural beton, dan daya dukung


(16)

subgrade hanya sedikit mempengaruhi kemampuan struktural perkerasan. Perkerasan lentur tersusun oleh material yang memiliki kualitas yang semakin tinggi ke arah permukaan perkerasan. Ketebalan masing-masing lapisan menentukan kekuatan perkerasan dan dipengaruhi pula oleh kekuatan subgrade.

1.3 PERMASALAHAN

Dalam melakukan penambahan tebal lapis perkerasan pada suatu jalan raya, syarat dan ketentuan dalam perencanaan harus betul-betul diperhatikan. Jika tidak, maka konstruksi jalan tidak akan dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Akibat lain disebabkan oleh pelanggaran terhadap persyaratan perencanaan tebal perkerasan yaitu berkurangnya umur konstruksi jalan, sehingga walaupun baru saja selesai dikerjakan, konstruksi jalan dapat rusak kembali dalam waktu yang relatif cukup singkat. Dengan mempertimbangkan hal tersebut diatas, perlu diadakan evaluasi terhadap suatu penambahan tebal lapis perkerasan pada suatu jalan.

1.4 MAKSUD DAN TUJUAN

Adapun tujuan penulisan dari tugas akhir ini adalah mengevaluasi hasil perencanaan tebal perkerasan pada jalan lintas Bireuen-Lhokseumawe. Hasil perencanaan tebal perkerasan tersebut pada akhirnya akan dibandingkan antara Asphalt Institute dan Peraturan Bina Marga yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum.

Alat yang digunakan dalam melakukan pengetesan lendutan ini yaitu dengan alat Benkelman Beam alat ini dapat digunakan untuk mengukur lendutan dan


(17)

lendutan balik dari lapisan perkerasan jalan. Hasil pengujian dapat digunakan dalam perencanaan pelapisan (overlay) perkerasan jalan.

Alat Benkelman Beam ini juga digunakan untuk mengukur gerakan vertikal pada permukaan lapis jalan dengan cara mengatur pemberian beban roda yang diakibatkan oleh pengujian beban tertentu, dan data yang diperoleh dari lapangan dapat digunakan untuk penilaian struktur perkerasan, perbandingan sifat-sifat struktural sistem perkerasan yang berlainan dan perencanaan teknik perkerasan atau lapis tambahan di atas perkerasan lama. Metode pengujian ini menguraikan dengan detail cara pengukuran lendutan balik, lendutan maksimum, mengukur temperatur, mengukur tebal dan jenis konstruksi permukaan.

Manfaat dari pemilihan tugas akhir ini adalah memberikan gambaran hasil kajian akan metoda yang lebih baik dalam perencanaan tebal lapis tambah (overlay) dan memberi tambahan informasi mengenai perencanaan tebal tebal lapis tambah perkerasan jalan.

1.5 PEMBATASAN MASALAH

Pada tugas akhir ini akan dibahas mengenai perhitungan tebal lapisan perkerasan tambahan (overlay) yang dilakukan oleh perencana pada proyek Peningkatan Jalan di Bireun – Lhokseumawe dengan menggunakan alat Benkelman Beam.

Dalam hal ini seksi jalan yang akan dibahas adalah stasioning (sta) pada jalan Bireun – Lhokseumawe pada stasioning (254+000 – 258+000) dan (259+000 - 264+000), karena pada stasioning tersebut memiliki beban puncak maksimum / kritis.


(18)

Perencanaan tebal lapisan tambahan (overlay) ini mengacu pada Manual Perkerasan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam dan Ashpalt Institute MS-17

Metode Asphalt Institute dan Metode Bina Marga merupakan dua dari banyak metode numerik dalam perencanaan konstruksi jalan raya. Metode Asphalt Institute pada dasarnya menggunakan grafik yang dikeluarkan oleh Asphalt Institute dari Amerika dan grafik yang dikeluarkan oleh Road Research Laboratory dari Inggris. Sedangkan Metode Bina Marga menggunakan nomogram-nomogram yang telah ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga.

Dalam penentuan nilai rancang tebal lapisan perkerasan lentur ini, metode Asphalt Institute mengklasifikasikan lalu lintas sebagai lalu lintas sangat berat, berat, sedang dan ringan dari tiap bahan lapisan konstruksi perkerasan yang dipakai, sedangkan untuk Metode Bina Marga menetapkan nilai daya dukung tanah dasar, lintas ekivalen rencana, indeks permukaan dan faktor regional untuk menentukan indeks tebal perkerasan yang direncanakan.

1.6 METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini terdapat dua macam yaitu Manual Perkerasan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam dan Ashpalt Institute MS-17 dengan mengumpulkan data-data dan keterangan dari buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan pada tugas akhir ini serta masukan-masukan dari dosen pembimbing.

Untuk membantu menghitung tebal lapisan perkerasan tambahan dapat dilakukan dengan bantuan program komputer yaitu Microsoft Excel untuk mempercepat perhitungan.


(19)

Adapun metode penelitian pada tugas akhir ini dapat digambarkan dalam bentuk Flow chart berikut ini :

Gambar 1.1 Bagan Alir Penelitian mulai

Tinjauan pustaka Maksud dan tujuan

Pengumpulan data

pembahasan

Kesimpulan dan saran

Mengevaluasi tebal lapis tambah perkerasan (overlay) dengan metoda Bina Marga dan Asphalt Institute menggunakan alat Benkelman Beam yang bertujuan

untuk mengembalikan atau meningkatkan nilai kekuatan struktur, tingkat kenyamanan dan keamanan

Data pekerjaan dari hasil survey dilapangan dengan alat Benkelman Beam

Data lendutan dari sta. (km 254+000-258+000) dan (km 259+000-264+000)

Bina Marga Asphalt Institute Pengolahan dari data yang telah

didapatkan dengan menggunakan metoda:

Menguraikan tentang teori perkerasan dengan tebal lapis tambah (overlay), konsep pelayanan, prosedur dalam menentukan lendutan, parameter perencanaan tebal lapis

tambah, dan bentuk-bentuk kerusakan jalan.

Berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan saran mengenai temuan-temuan penting untuk dijadikan pertimbangan serta saran tindak lanjut terhadap hasil


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Dalam Pedoman Perencanaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur dengan Metode Lendutan Pd. T-05-2005-B disebutkan pengertian tebal lapis tambah (overlay) merupakan lapis perkerasan tambahan yang dipasang di atas konstruksi perkerasan yang ada dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan struktur perkerasan yang ada agar dapat melayani lalu lintas yang direncanakan selama kurun waktu yang akan datang.

Tebal lapis tambah (overlay) dibutuhkan apabila konstruksi perkerasan yang ada tidak dapat lagi memikul beban lalu lintas yang beroperasi baik karena penurunan kemampuan struktural atau karena mutu lapisan perkerasan yang sudah jelek. Tebal Lapis tambah juga dibutuhkan apabila perkerasan harus diperkuat untuk memikul beban yang lebih berat atau pengulangan beban yang lebih banyak dari yang diperhitungkan dalam perencanaan awal.

Tujuan utama dalam mengevaluasi tebal lapis tambah (overlay) yaitu untuk memastikan tebal lapis perkerasan tambahan yang dipasang di atas konstruksi perkerasan jalan layak untuk digunakan dalam batas tahun tertentu, karena sering kali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari walaupun konstruksi perkerasan jalan baru saja selesai dikerjakan, konstruksi jalan tersebut dapat rusak kembali dalam waktu yang relatif cukup singkat.


(21)

Evaluasi tebal lapis tambah juga bertujuan untuk mengembalikan atau meningkatkan nilai kekuatan struktur, tingkat kenyamanan, tingkat keamanan, tingkat kekedapan terhadap air, dan tingkat kecepatan mengalirkan air

Evaluasi terhadap overlay terutama dilakukan agar dapat lebih baik dalam meningkatkan fungsi atau menambah perkerasan terhadap devesiensi structural. Dalam hal ini perencanaan yang dilakukan harus mempertimbangkan jenis penurunan dalam menentukan apakah perkerasan berfungsi terhadap devisiensi structural, sehingga overlay yang dilakukan tepat dan desainnya dapat dikembangkan.

Devisiensi fungsional dikembangkan dari berbagai kondisi yang berpengaruh terhadap pengguna lalu lintas. Ini termasuk gesekan permukaan dan tekstur, perencanaan drainase dan kerusakan permukaan (seperti: jalan berlubang dan bergelombang, kesalahan pada pembuatan jalan, terjadinya lendutan, penurunan dan pembebanan).

Devisiensi struktural dikembangkan dari berbagai kondisi terhadap pengaruh kemampuan pembebanan dari perkerasan struktur dan tidak cukup memadainya ketebalan terhadap keretakan, penurunan, dan ketidak homogenannya. Sehingga perlu diketehui beberapa jenis regangannya (seperti, regangan yang diakibatkan oleh buruknya teknik konstruksi dan retakan akibat suhu rendah).

Beberapa factor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan tebal lapis tambah (overlay) yaitu:

1. Cukup memadainya dana untuk konstruksi overlay.

2. Cukup memadainya konstruksi overlay, termasuk beberapa aspek diantaranya:


(22)

a. Kontrol lalu lintas.

b. Material dan kesediaan peralatan. c. Kondisi cuaca.

d. Masalah konstruksi, seperti suara kebisingan, polusi, peralatan, permukaan dasar, kejelasan biaya sewa, ketebalan dan penambahan samping.

e. Kekacauan lalu lintas dan penundaan biaya pengguna

3. Umur desain overlay pada masa yang akan datang. Banyak faktor akan mempengaruhi umur overlay seperti:

a. Penurunan perkerasan (jenis regangan spesifik, kekerasan dan kwantitas). b. Desain perkerasan, kondisi atau material perkerasan ( khususnya masalah

durabilitas), dan tanah dasar. c. Beban lalu lintas yang akan datang. d. Iklim lokal.

e. Keadaan sub drainase.

2.2 Beberapa Konsep Tingkat Pelayanan

Untuk memberikan kenyamanan kepada pengemudi kendaraan didalam perencanaan tebal lapis tambah (overlay), agar jalan tersebut tidak mudah rusak kembali, perlu dipertimbangkan beberapa faktor konsep pelayanan jalan,diantarnya:

a. Present Serviceability Rating ( PSR )

AASHO Road Test ( Highway Research Board, 1962 ) mengembangkan suatu defenisi untuk tingkat pelayanan jalan yang dikenal dengan Present Serviceability Rating ( PSR ) yang didasarkan pada pengamatan secara individu. PSR


(23)

didefinisikan sebagai penilaian dari seorang pengamat terhadap kemampuan dari struktur perkerasan untuk melayani beban lalu lintas sebagaimana mestinya. Untuk menghasilkan nilai PSR tersebut, beberapa orang pengamat berkendara melalui jalur yang akan dicari nilai tingkat pelayanannya dan menilai hasil pengujiannya kedalam skala kuantitatif seperti pada gambar 2.5. Nilai subjektif ini memiliki skala mulai dari 5 ( kondisi paling baik ) sampai 0 ( tidak dapat dilalui ). Karena skala PSR diperoleh melalui interpretasi pengendara terhadap kualitas berkendara, PSR secara umum menggambarkan tingkat kekasaran permukaan jalan, karena kekasaran permukaan adalah hal yang paling menentukan kualitas berkendara ( riding quality ).

( Sumber :Pavement Guide Interactive )

Gambar 2.1. Skala Present Serviceability Rating ( PSR )

b. Present Serviceability Index ( PSI )

Present Serviceability Index ( PSI ) merupkan pengembangan dari PSR yang juga dikembangkan oleh AASHO Road Test. Seperti yang telah disebutkan diatas, PSR pada dasarnya merupakan penilaian kualitas berkendara yang memerlukan panel dari sekelompok pengamat yang secara langsung berkendara dengan menggunakan


(24)

mobil disepanjang jalan yang akan dinilai. Karena jenis penilaian yang seperti ini tidak praktis untuk dikerjakan untuk jaringan jalan dalam skala besar, maka diperlukan suatu peralihan ke sistem penilaian non panel.

Selama proses peralihan dari PSR ( dikembangkan oleh panel pengamat ) ke PSI ( tidak memerlukan panel pengamat ), sekelompok panel pengamat sepanjang tahun 1958 sampai 1960 melakukan penilaian terhadap bermacam-macam jalan di negara bagian Illinois, Minnesota dan Indiana untuk memperoleh nilai PSR yang bervariasi. Informasi yang diperoleh selanjutnya dikorelasikan dengan bermacam-macam penilaian kondisi perkerasan yang lain seperti slope variance ( derajat kemiringan ), retak, tambalan dan lain-lain, untuk menghasilkan persamaan PSI. Lebih lanjut, para pengamat diminta untuk memberikan pendapat terhadap skala PSR yang “dapat diterima” atau “tidak dapat diterima” oleh pengendara sebagai kualitas berkendara yang layak. Sekitar setengah bagian dari kelompok pengamat menemukan bahwa nilai PSR sebesar 3 merupakan nilai yang masih dapat diterima pengendara dan nilai PSR sebesar 2,5 merupakan nilai yang tidak bisa diterima. Informasi ini selanjutnya berguna sebagai parameter masukan dalam menentukan nilai terminal serviceability ( Pt ) dalam perencanaan struktur perkerasan.

AASHO Road Test selanjutnya memberikan persamaan Present Serviceability Index ( PSI ) yang merupakan fungsi kerusakan perkerasan antara lain : ketidakrataan, retak, alur, dan tambalan yang dinyatakan dalam persamaan :

PSI = 5,03 – 1,09 log ( 1 + SV ) – 0,01√ C + P – 1,38 (RD)² Dimana :

PSI = Present serviceability index


(25)

C = Cracking ( Retak ) P = Patching ( Tambalan )

RD = Rut dept ( Kedalaman alur )

( Sumber :Pavement Guide Interactive )

Gambar 2.2. Skala Present Serviceability Index ( PSI )

Nilai / skala dari PSI yang menjadi indikasi terhadap gambaran kondisi perkerasan yaitu antara 0 sampai 5 , mulai dari sangat jelek ( rusak berat ), jelek ( rusak ringan ), cukup ( sedang ), baik dan sangat baik. Dimana skala 5 menunjukkan perkerasan yang mantap ( dalam keadaan jalan baru dibangun ), menurun sejalan dengan bertambahnya waktu dan beban yang diterima sampai skala 0 dimana kondisi perkerasan sangat jelek ( rusak berat ).

c. Indeks Kondisi jalan ( Road Condition Index = RCI )

Indeks kondisi jalan adalah skala dari tingkat kenyamanan atau kinerja dari jalan, dapat diperoleh dari hasil pengukuran dengan alat roughometer atau dapat juga ditentukan melalui pengamatan secara visual. Skala angka bervariasi antara 2 – 10


(26)

seperti pada tabel 2. 1, jika penelitian dilakukan dengan menggunakan alat roughometer sehingga diperoleh IRI , maka untuk Indonesia dipergunakan korelasi antara RCI dan IRI seperti pada gambar 2.7.

Tabel 2.1. Kondisi Permukaan Jalan

RCI Kondisi permukaan jalan secara visual

8 – 10 Sangat rata dan teratur

7 – 8 Sangat baik, umumnya rata-rata

6 – 7 Baik

5 – 6 Cukup, sedikit sekali atau tidak ada lubang, tetapi permukan jalan tidak rata

4 – 5 Jelek, kadang-kadang ada lubang, permukaan jalan tidak rata

3 – 4 Rusak, bergelombang, banyak lubang

2 – 3 Rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah perkerasan hancur

≤2 Tidak dapat dilalui kecuali dengan 4 WD jeep

( Sumber : Perkerasan Lentur Jalan Raya )

( Sumber : Perkerasan Lentur Jalan Raya )


(27)

d. International Roughness Index ( IRI )

International Roughness Index ( IRI ) dikembangkan oleh Bank Dunia pada tahun 1980. IRI digunakan untuk menentukan karakteristik profil memanjang dari jalur yang dilewati roda kendaraan untuk menentukan suatu pengukuran tingkat kekasaran permukaan yang standar. Satuan yang biasanya digunakan adalah meter per kilometer ( m/km ) atau millimeter per meter ( mm/m ). Pengukuran IRI didasarkan pada perbandingan akumulasi pergerakan suspensi kendaraan standar ( dalam mm, inchi, dll ) dengan jarak yang ditempuh oleh kendaraan selama pengukuran berlangsung ( dalam m, km, dll ).

( Sumber :Pavement Guide Interactive )


(28)

2.3 Prosedur Dalam Menentukan Lendutan Dengan Alat Benkelman Beam.

Didalam buku Manual Pemeriksaan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam dikatakan bahwa cara pemeriksaan karakteristik lendutan akibat beban pada system perkerasan dengan alat Benkelman Beam meliputi prosedur penekanan dengan beban tertentu yang diketahui nilainya, dengan perantara roda atau seperangkat roda ban pneumatic, terhadap lapisan suatu system perkerasan. Selama melakukan pembebanan, gerakan vertical permukaan diamati dan dicatat. Umunya pemeriksaan ini dilakukan pada permukaan system perkerasan yang sudah jadi.

Cara ini dimaksudkan untuk mendapatkan data lendutan akibat beban yang dipergunakan untuk menilai system perkerasan, baik untuk tujuan penelitian, perencanaan teknik, pelaksanaan maupun pemeriksaan.

Karakteristik perilaku dalam system perkerasan bisa bervariasi cukup banyak karena perbedaan – perbedaan komposisi, temperature, ataupun factor – factor lainnya. Maka dalam hal ini dikemukakan lima cara pemeriksaan lendutan yang dapat dipilih, diantaranya:

a. Lendutan balik (rebound deflection) statis perkerasan lentur (flexible). b. Lendutan dan lendutan balik perkerasan lentur.

c. Lendutan maksimum dan lendutan balik perkerasan lentur atau perkerasan kaku (rigid).

d. Lendutan parsial dan lendutan balik perkerasan lentur.

e. Lendutan balik statis perkerasan kaku atau gabungan (composite type).

Dari kelima cara pemeriksaan lendutan diatas, yang umum dilakukan oleh direktorat jendral bina marga adalah cara (a) dan (c).


(29)

• Cara (a).

Digunakan dalam bentuk: - Pengukuran lendutan balik.

- Pengukuran lendutan balik titik belok.

Umumnya cara pemeriksaan jalan dengan alat Benkelman Beam di Indonesia dilakukan dengan cara pengukuran lendutan balik. Sebagai perbandingan atau pelengkap pemeriksaan lendutan dapat dilakukan dengan cara Pengukuran lendutan balik titik belok. Didalam pengambilan data dilapangan, kedua cara diatas dapat dilakukan bersamaan.

• Cara (c)

Digunakan dalam bentuk:

- Pengukuran lendutan maksimum dan cekung lendutan.

Maksud pengukuran ini dilakukan untuk mendapatkan tambahan data pemeriksaan lendutan pada cara (a) dan data untuk penelitian.


(30)

Gambar no.2 : Ban Roda Belakang Truk Standard


(31)

(32)

c. lampu tanda peringatan

a. Rambu lalu lintas d. bendera keamanan

e. Rambu Lalu Lintas Dari Kain f. pengaman lalu lintas gambar no.5 : Perlengkapan Keamanan


(33)

Gambar no.6


(34)

(35)

Keterangan gambar: L : pelat landasan T : pelat tera

SP1 : sekrup pengatur pelat landasan L

SP2 : sekrup pengatur pelat tera T TA : tiang dudukan arloji

pengukur alat tera

AP1 : arloji pengukur

E : engsel

S : bagian sisi pelat tera yang dapat turun naik

K : kaki Benkelman Beam

Panadangan Atas P : pengunci

TB : tumit batang pengukur AP2 : arloji pengukur Benkelman

Beam B : stop kontak

Pandangan Samping Gambar no.8

Gambar 2.5 : Perlengkapan Alat Benkelman Beam, Pengukur Suhu, Dial Test, Dan Perlengkapan Keamanan

1. Peralatan yang digunakan dengan alat Benkelman Beam untuk pemeriksaan lendutan.

a. Truk dengan spesifikasi standar sebagai berikut (gambar no.1 dan no.2) - Berat kosong truk (5 ± 0,1) ton.

- Jumlah gandar 2 buah, dengan roda belakang ban ganda.

- Beban masing – masing roda belakang ban ganda (4,08 ± 0,045) ton atau (9.000 ± 100) lbs.

- Ban, dalam kondisi baik dan dari jenis kembang halus (zig –zag) dengan ukuran: 25,4 x 50,8 cm atau 10 x 20 inch.


(36)

- Tekanan angin ban (5,5 ± 0,07) kg/cm2 atau (80±1) psi.

- Jarak sisi kedua bidang kontak ban deengan permukaan jalan 10 – 15 cm atau 4 -6 inch.

b. Alat Benkelman Beam terdiri dari dua batang mempunyai panjang total pada umumnya (366 ± 0,16) cm atau (144 ± 0,06) inch, yang terbagi menjadi dua bagian dengan perbandingan 1 : 2 oleh sumbu O, dengan perlengkapan sebagai berikut (gambar no.3):

- Arloji pengukur (dial gauge), berskala mm dedngan ketelitian 0,01 mm. - Alat penggetar (busser).

- Alat pendatar (water pass).

c. Pengukuran tekanan yang dapat mengukur tekanan angin ban minimum 80 psi.

d. Thermometer : 5o – 70oC dengan pembagian skala 1oC atau 40 oF - 140 oF dengan pembagian skala 1oF (gambar no. 4)

e. Rolmeter 30 m dan 3 m (100 ft dan 10 ft). f. Formulir-formulir lapangan dan hardboard.

g. Minyyak arloji alcohol murni untuk membersihkan batang arloji pengukur. h. Perlengkapan keamanan bagi petugas dan tempat pemeriksaan.(gambar no.5)

- Tanda batas kecepatan lalu lintas pada saat melewati tempat pemeriksaan, ditempatkan ± 50 m didepan ban dibelakang truk.

- Tanda petunjuk jalur lalu lintas yang dapat dilewati.

- Tanda lampu peringatan bila pemeriksaan dilakukan pada malam hari. - Bendera merah kuning yang selalu dipasang pada truk bagian depan dan


(37)

- Tanda pengaman lalu lintas yang dipegang oleh petugas (tanda “STOP/JALAN”).

- Pakaian khusus petugas biasanya warnanya dapat dengan mudah dilihat oleh pengendara lalu lintas (misalnya pakaian bewarna oranye).

2. Cara mengukur lendutan balik titik belok. a. Menentukan titik-titik pemeriksaan.

Jalan tanpa median atau dengan median, sama dengan cara mengukur lendutan balik atau disesuaikan dengan kebutuhan.

b. Tentukan titik pada permukaan yang telah ditentukan tersebut. Apabila yang diperiksa adalah sebelah kiri sebuah jalur maka yang dipusatkan ialah ban ganda kiri. Apabila yang akan diperiksa adalah kiri dan kanan pada suatu jalur maka yang dipusatkan pada titik titik yang telah ditetapkan tersebut ialah ban ganda kiri dan ban ganda kanan.

c. Tumit batang (Beam Toe) Benkelman Beam diselipkan ditengah-tengah ban ganda tersebut, sehingga tepat dibawah pusat muatan sumbu gandar dan batang Benkelman Beam sejajar dengan arah truk. Benkelman Beam masih pada keadaan terkunci.

d. Atur ketiga kaki sehingga Benkelman Beam dalam keadaan mendatar (water pass).

e. Lepaskan kunci Benkelman Beam, sehingga batang Benkelman Beam dapat digerakkan turun naik.

f. Aturlah batang arloji pengukursehingga bersinggungan dengan bagian atas dari bagian belakang.


(38)

g. Hidupkan penggetar (buzzer) untuk memeriksa kestabilan jarum arloji pengukur.

h. Setelah jarum arloji pengukur stabil, atur jarum pada angka nol, sehingga kecepatan perubahan jarum lebih kecil atau sama dengan 0,01 mm/menit atau setelah 3 menit.

Catat pembacaan ini sebagai pembacaan awal.

i. Jalankan truk perlahan-lahan maju kedepan dedngan kecepatan maksimum 5 km/jam sejauh 0,30 m untuk penetrasi, butas dan laburan atau sejauh 0,40 m untuk aspal beton. Setelah truk berhenti, arloji pengukur dibaca setiap menit, sampai kecepatan perubahan jarum lebih kecil atau sama dengan 0,01 mm/menit atau setelah 3 menit.

Catat pembacaan ini sebagai pembacan antara.

j. Jalankan truk perlahan-lahan maju kedepan dengan kecepatan maksimum 5 km/jam sejauh 6meter. Setelah truk berhenti, arloji pengukur dibaca setiap menit, sampai kecepatan perubahan jarum lebih kecil atau sama dengan 0,01 mm/menit atau setelah 3 menit.

Catat pembacaan ini sebagai pembacaan antara.

k. Jalankan truk perlahan-lahan maju kedepan dedngan kecepatan maksimum 5 km/jam sejauh 6 meter. Setelah truk berhenti, arloji pengukur dibaca setiap menit, sampai kecepatan perubahan jarum lebih kecil atau sama dengan 0,01 mm/menit atau setelah 3 menit.


(39)

l. Catat suhu permukaan jalan (tp) dan suhu udara (tu) tiap titik pemeriksaan. Suhu tengah (tt) dan suhu bawah (tb) bila perlu dicatat setiap 2 jam.

m. Tekanan angin pada ban selalu diperiksa bila dianggap perlu setiap 4 jam dan dibuat selalu (5,5 ± 0,07) kg/cm2 atau (80 ± 1) psi.

n. Apabila diragukan adanya perubahan letak muatan, maka beban gandar belakang truk selalu diperiksa dengan timbangan muatan.

o. Periksa dan catat tebal lapis aspal.

p. Hindari penempatan tumit batang dan kaki-kaki Benkleman Beam pada tempat yang diperkirakan terjadi pelelahan aspal (bleeding)

q. Pelaporan:

Laporkan hasil-hasil pengukuran dalam formulir 1a, pemeriksaan perkerasan jalan deengan alat Benkelman Beam., formulir 1b, pemeriksaan perkerasan jalan.

3. Cara mengukur lendutan maksimum dan cekung lendutan. a. Menentukan titik pemeriksaan.

Pemeriksaan umumnya dilakukan pada titik lendutan balik yang memerlukan data-data tambahan, atau disesuaikan dengan kebutuhan. b. Tentukan titik pada permukaan jalan yang akan diperiksa dan diberi

tanda (+) dengan kapur tulis.

c. Tempatkan truk arah kemuka sejauh 6 meter dari titik yang akan diperiksa.

d. Letakkan tumit batang (beam toe) Benkelman Beam pada titik yang akan diperiksa, kemudian:


(40)

- Periksa kedudukan batang sehingga sejajar as jalan dan kaki batang terletak pada landasan yang stabil/mantap.

- Atur jarum arloji pengukur pada angka nol.

e. Beri tanda pada permukaan jalan mulai dari titik kontak batang, dengan jarak-jarak10, 20, 30, 40, 50, 70, 100, 150, 200, dan 600 cm kearah muka.

f. Truk dijalankan mundur perlahan – lahan hingga tumit batang terselip diantara salah satu ban ganda belakang dan truk berhenti pada saat pusat muatan ban ganda belakang berada diatas titikkontak batang.

g. Pada kedudukan ban ganda belakang tersebut pada (f) dilakukan pembacaan. Pembacaan arloji pengukur dilakukaan setiap menit, sampai kecepatan perubahan jarum lebih kecil atau sama dengan 0,01 mm/menit atau setelah 3 mnit.

h. Truk dijalankan lagi perlahan-lahan sejauh 10 cm dari titik kontak batang, pembacaan dilakukan lagi setiap menit, sampai kecepatan perubahan jarum lebih kecil atau sama dengan 0,01 mm/menit atau setelah 3 menit.

i. Truk dijalankan lagi secara perlahan-lahan pada jarak –jarak 20cm, 30, 40, 50, 70, 100, 150, 200, dan 600 cm dari titik kontak batang dan pembacaan dilakukan pada tiap-tiap jarak tersebut diatas sesuai cara (h) Catat pembacaan (h) dan (i) ini sebagai pembacaan cekung lendutan. j. Catat dan gambar penampang lapisan perkerasan, serta data-data lain


(41)

k. Pada waktu truk berjalan mundur dan ban ganda belakang sudah berada +2 meter didepan titik kontak batang, dan diperkirakan batang tidak akan tepat masuk diantara ban ganda yang bersangkutan, maka trtuk harus maju lagi untuk menempatkan arah.

l. Untuk mendapatkan data-data yang baik, disarankan selalu bekerja pada cuaca yang dingin suhu permukaan jalan lebih rendah atau sama dengan 40°C) guna menghindari pengaruh suhu terhadap alat dan struktur jalan. m. Pelaporan:

Laporkan hasil-hasil pengukuran dan cekung lendutan, dan formulir 1d, pemeriksaan struktur perkerasan jalan.

2.4 Parameter Perencanaan tebal lapis tambah (overlay)

2.4.1 Menghitung tebal lapis tambah dengan menggunakan lendutan balik. a. Perhitungan lendutan balik.

1. Setelah mendapatkan data-data lapangan yang berupa hasil pembacaan setiap titik dengan cara pemeriksaan lendutan, maka lendutan balik (rebound deflection) tiap-tiap titik dapat dihitung dengan rumus:

d = 2 (d3 –d1) ft x c

d = lendutan balik (mm) d1 = pembacaan awal (mm) d2 = pembacaan antara (mm) d3 = pembacaan akhir (mm) C = factor pengaruh air tanah


(42)

= 1 apabila pemeriksaan dilakukan pada keadan kritis (misalnya: musim hujan atau kedudukan air tanah tinggi

= 1,5 apabila pemeriksaan dilakukan pada keadan baik (misalnya: musim kemarau atau kedudukan air tanah rendah)

Ft = factor penyesuaian temperature lapis permukaan (t1). T1 = 1/3 (tp + tb + tt)

Tp = temperature permukaan, dari data lapangan Tt = temperature tengah, dari data lapangan. Tb = temperature bawah, dari data lapangan. 2. Menentukan rumus umum dari lendutan balik.

Pada kedudukan I

3. Lendutan turun sebesar = d 4. Pembacaan awal d1 = 0 Pada kedudukan II

- Lendutan kembali (balik) = y

- Pembacaan antara d2 = ½ y (perbandingan 1:2) Pada kedudukan III

- Lendutan kembali kebentuk semula = 0 - Pembacaan akhir d3 = ½ d (perbandingan 1:2)

D1 = 0 d3 = 1/2d Maka: d3 – d1 = 1/2 d

½ d = d3 – d1 d = 2 (d3 – d1)

3. Gambarlah nilai lendutan balik pada titik pemeriksaan yang diperoleh pada no.1, jika tiap titik pemeriksaan menggunakan lebih dari satu alat


(43)

Benkelman Beam, maka gambarlah nilai lendutan balik rata –rata dari tiap titik pemeriksaan tersebut.

4. Hubungkan nilai –nilai lendutan balik pada no.3 sehingga membentuk lendutan balik.

5. Tempatkan panjang seksi jalan dengan mengusahakan agar tiap –tiap seksi jalan tersebut mempunyai lenbutan balik yang kurang lebih seragam, atau dengan rumus:

untuk 4 ≤ n ≤ 21

( n - FKn-1)

FK = s/d x 100% Dimana:

n = faktor keseragaman dengan jumlah titk pemeriksaan = n

FKn-1 = faktor keseragaman dengan jumlah titik pemeriksaan = n-1

6. Untuk menentukan besarnya lendutan balik yang mewakili suatu seksi jalan tersebut (representative rebound deflection), dipergunakan rumus-rumus yang disesuaikan dengan fungsi jalan sebagai berikut:

a. D = + 2s untuk jalan arteri atau tol (98%) b. D = + 1,64s untuk jalan kolektor (95%) c. D = + 1,28s untuk jalan local (90%) Dimana:

D = lendutan balik yang mewakili suatu seksi jalan.

= (lendutan balik rata-rata dalam suatu seksi jalan) d = lendutan balik tiap titik didalam seksi jalan.


(44)

n = jumlah titik pemeriksaan pada seksi jalan.

S = (standar deviasi)

b. Perhitungan tebal lapis tambah (overlay)

1. Mencari data –data lalu lintas yang diperlukakan pada jalan –jalan yang bersangkutan antara lain:

a. LHR (Lalu lintas Harian Rata –rata) yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median dan untuk masing –masing arah pada jalan dengan median

b. Jumlah lalu lintas rencana (design traffic number) ditentukan atas dasar jalur dan jenis kendaraan.

Tabel 2.2. Presentase kendaraan yang lewat pada jalur rencana

Tipe jalan

Kendaraan ringan* Kendaraan berat**

1 arah 2 arah 1 arah 2 arah

1 jalur 2 jalur 3 jalur 4 jalur 6 jalur 100 60 40 - - 100 50 40 30 20 100 70 50 - - 100 50 47,5 45 40

Ket: * : mobil penumpang, pick up, mobil hantaran. ** : bus, truk, traktor, trailer.

Pada jalan – jalan khusus, misalnya jalan bebas hambatan, tipe jalan 2x2 jalur, dengan ketentuan kendaraan yang lewat tidak diambil 50 seperti table di atas, tetapi diambil antara 50 – 100 dari LHR satu arah,


(45)

tergantung banyaknya kendaraan yang menggunakan jalur kiri tersebut.

2. Dengan menggunakan perhitungan lendutan balik, menghitung besarnya jumlah ekivalen harian rata-rata dari satuan 8,16 ton (18 kip = 18.000 lbs) beban as tunggal, dengan cara menjumlahkan hasil perkalian masing-masing jenis lalu lintas harian rata-rata tersebut, baik kosong maupun bermuatan dengan faktor ekivalen yang sesuai (faktor ekivalen kosog atau isi).

3. Menentukan umur rencana dan perkembangan lalu lintas.

4. Serta menentukan jumlah lalu lintas secara kumulatif selama umur rencana.

2.4.2 Menghitung lendutan maksimum, lendutan balik dan lendutan sisa. a. Perhitungan lendutan maksimum.

Setelah mendapatkan data-data dari lapangan yang berupa hasil pembacaan tiap titik pemeriksaan dengan cara seperti tersebut diatas pada cara mengukur lendutan maksimum dan cekung lendutan, maka lendutan maksimum pada titik pemeriksaan tersebut dihitung dengan rumus:

Dmaks = 2 (-d1) . ft . C

Dimana:

Dmaks = lendut an maksimum.

d1 = pembacaan awal (mm), sejauh 0 cm.

C = faktor pengaruh air tanah.


(46)

b. Perhitungan lendutan balik

Setelah mendapatkan data-data dari lapangan yang berupa hasil tiap titik pemeriksaan, maka lendutan balik pada pemeriksaan tersebut dapat dihitung dengan rumus:

d = 2 (d3 – d1) . ft . C

c. Perhitungan lendutan sisa.

Setelah mendapatkan data-data lapangan yang berupa hasil pembacaan tiap titik pemeriksaan dengan cara seperti diatas pada cara mengukur lendutan maksimum dan cekung lendutan , maka lendutan sisa pada titik pemeriksaan tersebut dapat dihitung dengan rumus:

d = 2 (d3) . ft . C

2.4.3 pengukuran suhu.

Maksud pengukuran suhu adalah untuk mencari faktor oreksi penyelesaian suhu terhadap suhu standard 35°C.

Pengukuran dapat dilakukan terhadap:

Temperature (tu) dan temperature permukaan (tp).

Dengan menggunakan grafik 1a akan diperoleh temperature lapis permukaan (tl) dihitung dengan rumus:

tl = 1/3 (tp + tt + tb)

dengan menggunakan grafik 1 akan diperoleh faktor penyesuaian temperatur. Cara yang umum digunakan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga adalah cara pertama, sedang cara kedua dilakukan untuk penelitian-penelitian.


(47)

Dalam mencari faktor penyesuaian temperature diperlukan juga tebal dan jeniskonstruksi tebal lapis permukaan, yang sekaligus dilakukan bersama-sama dengan pengukuran temperatur.

1 Peralatan yang digunakan. - Thermometer udara

Dimana suhunya 5° - 70°C dengan pembagian skala 1°C atau 40° - 140°F dengan pembagian skala 1°F

- Thermometer permukaan

Dimana suhunya 5° - 70°C dengan pembagian skala 1°C atau 40° - 140°F dengan pembagian skala 1°F. thermometer dilengkapi kerangka pelindung dan dapat berdiri diatas permukaan jalan.(gambar no. 4)

- Alat-alat sederhana, seperti pahat dan palu.

- Paying atau alat pelindung lainnya terhadap sinar matahari. 2 Cara mengukur temperature udara (tu)

- Pengukuran dilakukan dengan menggunakan thermometer udara seperti tersebut dalam.

- Pada siang hari pengukuran dilakukan ditempat teduh dan terbuka (dibawah pohon atau pelindung lainnya), sedangkan pada malam hari pengukuran bisa dilakukan langsung ditempat pekerjaan dan terbuka. Pengukuran tidak boleh terpengaruh sumber panas lainnya, seperti mobil/truk, mesin dan api.

- Pembacaan dilakukan setelah pengukuran berjalan sekitar 5 menit. Suhu yang terbaca dicatat dalam formulir yang tersedia.


(48)

3 Cara mengukur temperature permukaan (tp).

- Pengukuran dilakukan dengan menggunakan thermometer permukaan seperti tersebut dalm.

- Bersihkan permukaan yang akan diukur terhadap kotoran atau debu yang melekat.

- Letakkan thermometer pada titik yang diukur tersebut. Lindungi thermometer tersebut terhadap sinar matahari langsung, deengan payung atau alat pelindung lainnya.

- Pembacaan dilakukan setelah pengukuran berjalan sekitar 5 menit. Suhu yang terbaca dicatat dalam formulir yang tersedia.

4 Cara mengukur tebal dan jenis konstruksi lapis permukaan.

- Tebal dan jenis konstuksi lapis permukaan diukur ditepi perkerasan dengan mengadakan penggalian dengan ukuran 10 -10 cm sedalam tebal lapis permukaan.

- Catat tebal dan jenis konstruksi lapis permukaan dalam formulir yang tersedia.

5 Cara mengukur temperature tengah (tt).

- Pengukuran dilakukan dengan menggunakan thermometer pernukaan seperti tersebut dalam.

- Titik yang akan diukur dapat diambil pada lokasi pengukuran temperature permukaan seperti tersebut dalam.

- Pada titik tersebut dilakukan penggalian permukaan perkerasan dengan ukuran 10 -10 cm (kira-kira cukup untuk memasukkan thermometer pengukuran dengan baik)


(49)

Penggalian dilakukan sampai kedalaman setengah lapis permukaan seperti tersebut dalam.

Ratakan galian lubang tersebut sehingga alat thermometer permukaan dapat diletakkan secara baik pada permukaan dasar galian tersebut.

- Letakkan thermometer permukaan tegak lurus pada dasar lubang galian sehingga alat thermometer benar-banar bersinggungan pada permukaan dasar lubang galian tersebut.

Lindungi thermometer tersebut terhadap sinar matahari langsung, dengan payung atau alat pelindung lainnya.

- Pembacaan dilakukan setelah pengukuran berjalan sekitar 5 menit. Suhu yang terbaca dicatat dalam formulir yang tersedia.

6 Cara mengukur temperature bawah (tb).

- Pengukuran dilakukan dengan mengguankan thermometer permukaan. - Titik yang akan diukur diambil pada lokasi pengukuran temperature

tengah.

- Pada titik tersebut dilanjutkan penggalian sampai kedalaman dasar tebal lapis permukaan.

- Ratakan dasar lubang galian tersebut hingga alat thermometer permukaan dapat diletakkan secara baik pada permukaan dasar galian tersebut. - Letakkan thermometer permukaan tegak lurus pada dasar lubang galiab

sehinggaalas thermometer benar-banar bersinggungaan pada dasar lubang galian tersebut.

Lindungi thermometer tersebut terhadap matahari langsung. Dengan paying atau alat pelindung lainnya.


(50)

Pembacaan dilakukan setelah pengukuran berjalan selama 5 menit. Suhu yang terbaca dicatat.

7 Cara menggunakan dan membaca alat thermometer.

- Pada setiap akan melakukan pengukuran suhu harus dilihat bahwa semua air raksa didalam thermometer harus saling berhubungan (untuk thermometer yang kurang baik air raksa ini sering dalam keadaan yang terpisah-pisah, sehingga dapat memungkinkan terjadinya salah pembacaan).

- Didalam meletakkan thermometer permukaan harus hati-hati agar benar-benar dapat dipastikan bahwa yang bersinggungan dengan permukaan aspal atau permukaan dasar lubang galian adalah alas dari thermometer tersebut, bukan alas kerangka pelindung thermometer.

- Dalam membaca thermometer harus diusahakan setinggi mata,agar suhu yang terbaca adalah suhu yang sebenarnya (tinggi air raksa tepat pada angka yang terbaca).

2.4.3 Mengkalibrasikan alat Benkelman Beam.

Didalam menggunakan suatu alat terlebih yang bersifat presisi, perlu dilakukan peneraan terlebih dahuluterhadap alat tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah alat tersebut dalam keadaan baik, memenuhi batas-batas ketelitian yang diinginkan,sesuai dengan fungsi kegunaannya.

Didalam penggunaan alat Benkelman beam untuk mengukur lendutan perkerasanjalan, diperlukan ketelitian yang cukup tinggi, oleh karena itu diperlukan peneraan terlebih dahulu terhadap alat tersebut sebelum dipakai.


(51)

Benkelman Beam yang masih ada dalam batas-batas toleransi ketelitian yang ada dapat langsung digunakan, sedangkan Benkelman Beam yang menunjukkankelainan diluar batas toleransi ketelitian, perlu diperbaiki sampai batas toleransi ketelitian tersebut terpenuhi.

Peneraan alat Benkelman Beam dengan alat tera ditujukan untuk mengetahui batas – batas toleransi ketelitian alat Benkelman Beam. Apabila batas-batas toleransi ketelitian tersebut dilampaui, maka Benkelman Beam tersebut harus diperbaiki.

1 Alat tera Benkelman Beam(gambar no. 7)

a. Pelat landasan (L) untuk landasan pelat tera dan tiang dudukan arloji pengukur.

b. Pelat tera (T) yang dapat turun dan naik pada salah satu sisi (S) c. Engsel (E) untuk menghubungkan pelat (L) dan (T)

d. Skrup pengatur (SP!), untuk mengatur pelat landasan (T) dalam kedudukan yang stabil (mantap)

e. Sekrup pengatur (SP2), untuk menggerakkan pelat tera (T) turun naik pada bagian sisi (S), yang dihbungkan oleh engsel (E).

f. Tiang (TA), untukdudukan arloji pengukur alat tera. g. Arloji pengukur alt tera (AP1).

2 Cara mengukur ketelitian.

a. Pasang batang pengukur Benkelman Beam sehingga menjadi sambungan kaku.


(52)

b. Dengan batang pengukur dalam keadaan terkunci, tempatkan Benkelman Beam pada bidang yang datar, kokoh dan rat, misalnya pada lantai. c. Atur kaki (K) sehingga Benkelman Beam pada keadaan datar.

d. Tempatkan alat tera dalam bidang yang sama atur hingga pelat tera berada dibawah tumit batang (TB) dari batang pengukur, kemudian atur pelat landasan hingga datar dan mantap.

e. Lepaskan pengunci (P) batang pengukur dan turunkan ujung batang perlahan lahan hingga tumit batang terletak pada pelat tera(T).

f. Atur arloji pengukur (AP2) pada dudukannya hingga ujung batang arloji pengukur bersinggungan dengan bagian belakang natang pengukur, lalu dikunci dengan erat.

g. Atur arloji pengukur alat tera (AP1) pada dudukanya hingga ujung batang arloji bersinggungan dengan batang pengukur tepat diatas tumit batang (TB), kemudian dikunci dengan erat.

h. Atur kedudukan batang arloji pengukur Benkelman Beam dan batang arloji alat tera, sehingga batang arloji bisa bergerak 1.k.5 mm

i. Dalam kedudukan seperti (h) atur kedua jarum arloji pengukur pada angka nol.

j. Hidupkan alat penggetar (B), kemudian turunkan pelat tera dedngan memutar sekru pengatur (SP2), sehingga jarum arloji pengukur alat tera menunjukkan penurunan batang arloji pengukur 0,25 mm. catat pembacaan kedua arloji pengukur pada formulir yang tela tersedia. (formulir6)


(53)

k. Lakukan seperti (10), berturut-turut pada setiap penurunan batang arloji pengukur 0,25 mm sampai mencapai penurunan 2,50 mm. catat kedua pembacaan arloji pengukur setiap penurunan tersebut.

l. Dalam keadaan kedudukan terakhir (k), naikkan pelat tera berturut –turut pada setiap kenaikan batang arloji pengukur 0,25 mm, sampai mencapai kenaikan 2,50 mm (tumit batang kembali pada keadaan semula).

m. Hasil pembacaan arloji pengukur Benkelman Beam (perbandingan jarak antara tumit batang sampai sumbu 0 terhadap jarak antara sumbu 0 sampai ujung belakang batang pengukur).

Untuk alat Benkelman Beam yang umu dipergunakan, deengan factor pembanding 2:1 maka hasil pembacaan arloji pengukur tersebut dikalikan 2.

n. Jika hasil pembacaan pada arloji pengukur Benkelman Beam, berbeda dengan hasil pembacaan pada arloji pengukur alat tera, berarti ada kemungkinan kesalahan pada alat, seperti gesekan pada sumbu yang terlalu longgar.

3 Batas toleransi.

Jika selisih tersebut diatas (n) sama atau lebih kecil 0,05 mm maka alat masih dianggapbaik.

Jika selisih tersebut diatas (n) lebih besar 0,05 mm maka alat tersebut perlu diperiksa dan diperbaiki.


(54)

2.5 Kerusakan Pada Perkerasan Jalan.

Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum umur rencananya tercapai. Secara umum, kerusakan perkerasan dapat digolongkan dalam 2 (dua) bagian, yaitu kerusakan fungsional dan kerusakan structural.

Kerusakan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan yang direncanakan, sedangkan kerusakan struktural terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian dari struktur perkerasan jalan.

Kegagalan fungsional pada dasarnya tergantung pada derajat atau tingkat kekasaran permukaan, sedangkan kegagalan struktural disebabkan oleh kondisi lapisan tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan disekitarnya.

2.5.1 Model Dan Jenis Kerusakan Perkerasan Jalan. a Keretakan ( Cracking )

Keretakan yang terjadi pada perkerasan dapat berbentuk khusus atau memiliki pola tertentu, atau ada juga yang mempunyai bentuk sembarang. Keretakan dapat disebabkan oleh kerusakan struktural yang terjadi akibat berkurangnya daya dukung yang disertai dengan kerusakan / pecahnya material pada permukaan perkerasan.

Apabila keretakan tersebut dibiarkan dalam jangka waktu yang lama dan keretakan yang terjadi cukup besar, maka akan menimbulkan kerusakan pada lapisan dibawahnya, sehingga dapat menimbulkan kegagalan structural


(55)

Keretakan yang terjadi pada perkerasan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis sesuai dengan bentuk kerusakannya seperti yang diuraikan sebagai berikut :

- Retak Garis atau Retak Halus

Keretakan ini terjadi karena bahan perkerasan yang digunakan kurang baik, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil, adanya pergeseran horizontal pada kedua sisi jalan dan akibat beban lalu lintas yang terlalu besar.

Retak ini dapat berbentuk melintang dan memanjang seperti pada gambar 2. 6, dimana retak melintang terjadi pada arah memotong sumbu jalan dan dapat terjadi pada sebagian atau seluruh lebar jalan, sedangkan untuk retak memanjang terjadi pada arah sejajar sumbu jalan biasanya pada jalur roda kendaraan atau sepanjang tepi perkerasan atau sambungan pelebaran.

Sumber : Pavement Guide Interactive

Gambar 2.6. Retak memanjang dan melintang

Retak garis ini dapat meresapkan air ke dalam lapisan perkerasan, dan apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah seperti lubang – lubang atau amblas.


(56)

- Retak Rambut ( Hair Cracks ) dan Retak Kulit Buaya ( Alligator Cracks) Terjadi diawali dengan timbulnya retak halus menyerupai rambut yang timbul akibat gerakan menyamping dari perkerasanyang sedang digilas / dipadatkan dengan alat steel wheel roller. Bentuk retakan yang terjadi tidak beraturan dan saling berpotongan dengan lebar retakan < 2 mm, seperti pada gambar 2.7.

Sumber : Pavement Guide Interactive

Gambar 2.7. Retak rambut dan retak kulit buaya

Untuk retak dengan lebar retakan > 2 mm disebut retak kulit buaya, dimana retakan saling berangkai membentuk rangkaian kotak – kotak kecil menyerupai kulit buaya. Retak ini terjadi disebabkan oleh konstruksi perkerasan tidak kuat mendukung beban lalu lintas yang ada, kelelahan permukaan perkerasan akibat beban lalu lintas, daya dukung tanah dasar yang kurang stabil serta pemadatan lapisan permukaan yang kurang baik.

Jika kerusakan ini dibiarkan, maka akan dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih parah seperti terjadinya lubang – lubang dan amblas pada lapisan perkerasan.

Retak rambut dan retak kulit buaya ini juga dapat ditimbulkan oleh lapisan base atau perletakan jalan yang tidak stabil akibat beban lalu lintas. Perlemahan ini terjadi karena melemahnya kelentingan pondasi, yang disebut juga keretakan fatique


(57)

( lelah ), yaitu keretakan yang timbul dari bagian bawah permukaan atau pada base stabilisasi dimana tegangan geser dan regangan di bawah roda sangat tinggi.

- Retak Susut ( Shrinkage Cracks )

Retak ini mempunyai pola retak seperti pola retak kulit buaya seperti pada gambar 2.8. tetapi tidak tampak berhubungan dengan deformasi permukaan dibandingkan dengan retak kulit buaya yang disebabkan oleh kelebihan penurunan lapisan aus ( wearing course ) pada subgrade yang tidak stabil, kerusakan ini juga dapat ditandai dengan retak yang saling bersambungan membentuk kotak – kotak besar dengan sudut tajam.

Keretakan terjadi akibat adanya perubahan volume pada lapisan permukaan yang memakai aspal dengan penetrasi rendah, atau perubahan volume pada tanah dasar. Perubahan temperatur pada saat penambahan lapis permukaan membuat lapisan tidak terikat dengan baik dengan lapisan yang ada di bawahnya atau karena pengikat yang terlalu kaku membuat lapisan permukaan yang baru akan retak kembali akibat gaya kontraksi. Keretakan ini juga dapat dipengaruhi oleh penuaan bitumen pada permukaan lapisan aus.

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.8. Retak susut


(58)

- Retak Refleksi ( Reflection Cracks )

Retak refleksi berupa adanya retak memanjang, melintang, diagonal, atau membentuk kotak, seperti terlihat pada gambar 2.9, kerusakan ini terjadi pada lapisan tambahan ( overlay ) yang menggambarkan pola retak di bawahnya.

Keretakan ini juga didefenisikan sebagai keretakan permukaan perkerasan yang merefleksikan pola keretakan pada perkerasan dengan stabilitas semen atau kapur, ataupun pada perencanaan perkerasan beton yang terletak di bawah permukaan lapisan aus. Keretakan ini juga sebagai keretakan pada permukaan perkerasan overlay, yang merupakan refleksi dari bentuk keretakan, kerusakan celah pemutusan dan sambungan.

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.9. Retak refleksi

Retak refleksi dapat terjadi akibat adanya retak pada perkerasan lama yang tidak diperbaiki dengan baik sebelum pekerjaan overlay dilakukan, juga karena adanya gerakan vertikal / horizontal di bawah lapis tambahan sebagai akibat perubahan kadar air pada jenis tanah yang ekspansif. Kerusakan ini juga disebabkan oleh pergeseran pada lapisan bawah, baik akibat beban lalu lintas maupun perubahan temperatur atau gabungan keduanya.


(59)

- Retak Selip ( Slipaggge Cracks )

Merupakan keretakan pada permukaan aspal yang berbentuk bulan sabit ( crescent ), seperti pada gambar 2.10, Keretakan ini terjadi searah putaran roda atau ikatan antara lapisan permukaan dengan lapisan dibawahnya. Keretakan terjadi akibat jejakan roda karena tenaga pengereman / gaya gesek pada permukaan perkerasan.

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.10. Retak selip

Hal ini biasanya disebabkan oleh kurang baiknya ikatan antara lapis permukaan dengan lapisan di bawahnya. Kurang baiknya ikatan lapisan dapat disebabkan adanya debu, minyak, air atau benda nonadhesif lain pada masa konstruksi, juga dapat disebabkan oleh pemberian tack coat atau prime coat dalam jumlah yang tidak tepat untuk merekatkan kedua lapisan. Retak ini juga dapat terjadi akibat terlalu banyaknya pasir dalam campuran lapisan permukaan, atau kurang baiknya pemadatan lapisan permukaan.

b. Kerusakan Tepi ( Egde Break )

Kerusakan terjadi pada bagian tepi lapisan perkerasan dan dapat terjadi pada sebagian atau sepanjang tepi perkerasan. Dapat dilihat pada gambar 2.11.


(60)

Kerusakan terjadi karena bagian tepi perkerasan sering dilalui kendaraan dan digunakan untuk tempat parkir serta kurang baiknya daya dukung bahu jalan karena bahu jalan terlalu rendah dan kurang padat sehingga bagian tersebut tergerus air yang mengalir pada bagian tepi perkerasan dan mengakibatkan kerusakan.

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.11. Kerusakan tepi.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka kerusakan akan menjalar ke bagian tepi jalan yang lain dan dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih parah dan dapat mengganggu strukrur jalan.

c. Alur ( Ruts )

Alur dapat didefenisikan sebagai deformasi atau kerusakan permanen pada permukaan aus dimana terlihat cekungan permanen pada jalur roda kendaraaan, seperti yang terlihat pada gambar 2.12. Alur dapat dibagi dua yaitu alur tanpa retak dan alur dengan retak.

Alur terjadi karena lapisan tanah dasar atau pondasi tidak kuat mendukung beban lalu lintas karena pengaruh dan jumlah beban lalu lintas yang melebihi jumlah dan beban rencana, perubahan sifat aspal akibat cuaca, dan stabilitas lapis permukaan tidak memenuhi syarat, karena campuran aspal yang kurang baik misalnya kadar aspal yang terlalu tinggi, jumlah filler yang terlalu banyak, pemakaian kerikil bulat dan kurang pemadatan.


(61)

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.12. Alur

Jika alur yang terjadi dibiarkan maka akan terjadi alur dengan retakan yang dapat menimbulkan kerusakan yang lebih parah terutama pada musim hujan, seperti munculnya lubang – lubang pada alur.

d. Keriting ( Corrugations )

Keriting bisa terjadi pada setiap bagian permukaan jalan, dimana permukaan jalan tampak bergelombang atau keriting dengan arah tegak lurus sumbu jalan, seperti pada gambar 2.13.

Kerusakan terjadi karena adanya pergeseran bahan perkerasan jalan, lapis perekat antara lapis permukaan dan lapis pondasi kurang memadai. Juga ada pengaruh dari roda kendaraan terutama di daerah kendaraan sering mengerem atau menambah kecepatan, misalnya pada persimpangan jalan.

Jika dalam kondisi yang sangat parah maka dapat mempengaruhi kenyamanan berkendara dan dapat membahayakan keselamatan pengguna jalan.


(62)

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.13. Keriting e. Lubang – lubang ( Potholes )

Ditandai dengan hilangnya bahan lapis permukaan dan membentuk lubang – lubang bulat seperti pada gambar 2.14, dan dapat terjadi pada setiap bagian permukaan jalan, lubang – lubang ini dapat meresapkan air ke dalam lapis permukaan yang dapat menyebabkan kerusakan jalan semakin parah.

Kerusakan ini terjadi akibat campuran material lapis permukaan yang kurang baik, sehingga ikatan antara agregat dan aspal mudah lepas, kerusakan ini juga merupakan perkembangan dari retak –retak yang tidak segera ditangani sehingga air meresap ke dalam lapis permukaan dan mengakibatkan terjadinya lubang – lubang.

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.14. Lubang


(63)

f. Jembul ( Shoving )

Lapis permukaan tampak menyembul ke atas permukaan di bandingkan dengan permukaan disekitarnya seperti pada gambar 2.15.

Kerusakan terjadi ditempat kendaraan sering berhenti atau ditepi perkerasan.

Kerusakan dapat terjadi dengan atau tanpa retak dan hampir sama dengan keriting. Penyebab kerusakan hampir sama dengan keriting, dan juga dipengaruhi oleh beban kendaraan yang melebihi beban standar.

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.15. Jembul g. Penurunan Setempat ( Deformation )

Penurunan setempat ditandai dengan terbentuknya cekungan besar pada permukaan jalan dan dapat terjadi disekitar alur roda atau ditepi perkerasan, seperti pada gambar 2.16.

Penurunan setempat dapat terjadi akibat daya dukung konstruksi jalan atau badan jalan tidak memadai atau menurun akibat pengaruh air, mutu bahan dan pekerjaan konstruksi perkerasan tidak seragam serta kurangnya dukungan samping dari bahu jalan karena konstruksi bahu jalan kurang padat, kerusakan ini akan diikuti dengan retak – retak disekitar lokasi penurunan dan dapat meresapkan air yang bisa mengakibatkan kerusakan yang lebih parah.


(64)

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.16. Penurunan setempat h. Pelepasan butiran ( Ravelling )

Merupakan pemisahan agregat ukuran primer dari lapisan permukaan jalan seperti pada gambar 2.17. Pelepasan butiran dapat terjadi secara meluas, penyebabnya sama dengan terjadinya lubang.

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.17. Pelepasan butiran i. Kegemukan Aspal ( Bleeding )

Kerusakan ini dapat dilihat dengan melunaknya aspal pada permukaan jalan apabila temperatur udara tinggi, permukaan jalan tampak lebih hitam dan mengkilat daripada bagian yang lain seperti pada gambar 2.18, atau dapat didefenisikan sebagai pergerakan bitumen yang berlebihan dari bawah ke atas permukaan jalan yang menyebabkan permukaan jalan menjadi licin.


(65)

Penyebab kegemukan aspal adalah pemakaian kadar aspal yang tinggi pada campuran aspal dan pemakaian aspal yang terlalu banyak pada pekerjaan prime coat dan tack coat.

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.18. Kegemukan aspal j. Pengelupasan Lapis Permukaan ( Stripping )

Adalah pemisahan agregat ukuran sekunder dari lapisan permukaan jalan seperti pada gambar 2.19. Kerusakan dapat disebabakan oleh kurang baik ikatan antara lapis permukaan dengan lapisan dibawahnya, atau lapisan permukaan terlalu tipis sehingga mudah mengelupas.

Sumber : Pavement Guide Interactive

Gambar 2.19. Pengelupasan lapis permukaan k. Pengausan ( Polished Agregat )

Didefenisikan sebagai pengausan lapisan perkerasan yang terdiri dari partikel – partikel agregat yang telah aus dan dapat mengakibatkan pemukaan jalan menjadi licin, seperti pada gambar 2.20.


(66)

Sumber : Pavement Guide Interactive Gambar 2.20. Pengausan

Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan aus terhadap roda kendaraan atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan licin sehingga dapat membahayakan keamanan lalu lintas.

l. Amblas ( Grade Depression )

Adalah penurunan setempat dengan atau tanpa retak. Amblas dapat diketahui dengan adanya genangan air yang dapat meresap kedalam lapisan perkerasan yang akhirnya dapat menimbulkan kerusakan structural perkerasan.

Penyebab kerusakan ini adalah beban kendaraan yang melebihi beban yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik atau penurunan bagian perkerasan karena tanah dasar mengalami penurunan.


(67)

BAB III

METODE PERENCANAAN TEBAL LAPIS TAMBAH

(OVERLAY)

3.1 PEMBAHASAN MASALAH

Pembahasan masalah perbandingan perencanaan tebal lapis tambah dalam tugas akhir ini akan dibahas sesuai dengan Gambar 3.1 Flowchart Penelitian, sehingga tingkat hasil akhir yang diperoleh tergantung dari kelengkapan literatur dan data yang didapat dari Dinas Pekerjaan Umum.

Total ruas Tebal Lapis Tambah

Perkerasan/Segmen

Metoda Bina Marga

Lalu lintas Lendutan

Jumlah lajur dan koefisien kendaraan (C)

Faktor umur rencana dan perkembangan lalu lintas Akumulasi ekivalen beban

sumbu standar (CESA) Ekivalen beban sumbu

kendaraan (E)

Lendutan Balik dengan alat Benkelman Beam (BB)

Lendutan Mewakili Keseragaman Lendutan


(68)

Gambar 3.1 Flowchart Penelitian

Total ruas

Lendutan Rata-rata

Lendutan Wakil Standard Deviasi

Tebal Lapis Tambah Perkerasan/Semen Faktor umur rencana

(growth factor)

Ekivalen Axle Load (EAL) Faktor distribusi beban

Asphalt Institute


(69)

3.2 METODE BINA MARGA

Pedoman ini menetapkan kaidah-kaidah dan tata cara perhitungan lapis tambah perkerasan lentur berdasarkan kekuatan struktur perkerasan yang ada yang direportasikan dengan nilai lendutan. Pedoman ini memuat deskripsi berbagai faktor dan parameter yang digunakan dalam perhitungan serta memuat contoh perhitungan. Perhitungan tebal lapis tambah yang diuraikan dalam pedoman ini hanya berlaku untuk konstruksi perkerasan lentur atau konstruksi perkerasan dengan lapis pondasi agregat dengan lapis permukaan menggunakan bahan pengikat aspal. Penilaian kekuatan struktur perkerasan yang ada, didasarkan atas lendutan yang dihasilkan dari pengujian lendutan langsung dengan menggunakan alat Benkelman Beam (BB). Benkelman Beam (BB) merupakan suatu alat untuk mengukur lendutan balik dan lendutan langsung perkerasan yang menggambarkan kekuatan struktur perkerasan jalan. Dan tebal lapis tambah (overlay) merupakan lapis perkerasan tambahan yang dipasang di atas konstruksi perkerasan yang ada dengan tujuan meningkatkan kekuatan struktur perkerasan yang ada agar dapat melayani lalu lintas yang direncanakan selama kurun waktu yang akan datang.

Metode pengujian ini dapat digunakan untuk mengukur lendutan dan lendutan balik dari lapisan perkerasan jalan. Hasil pengujian dapat digunakan dalam perencanaan pelapisan (overlay) perkerasan jalan, dan dapat juga digunakan sebagai pengendalian mutu.

Metode pengujian ini dimaksudkan sebagai pegangan dalam pengujian perkerasan jalan dengan alat Benkelman Beam yaitu mengukur gerakan vertikal pada permukaan lapis jalan dengan cara mengatur pemberian beban roda yang diakibatkan oleh pengujian beban tertentu. Data yang diperoleh dari lapangan ini dapat


(70)

digunakan untuk penilaian struktur perkerasan, perbandingan sifat-sifat struktural sistem perkerasan yang berlainan dan perencanaan teknik perkerasan atau lapis tambahan di atas perkerasan lama.

Metode pengujian ini menguraikan dengan detail cara pengukuran lendutan balik, lendutan maksimum, mengukur temperatur, mengukur tebal dan jenis konstruksi permukaan.


(71)

3.2.1 Ketentuan perhitungan 3.2.1.1Volume Lalu lintas

a. Jumlah Lajur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C).

Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan, yang menampung lalu-lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan

Lebar Perkerasan ( L ) Jumlah Jalur ( n )

L < 5,50 m 1 jalur

5,50 m ≤ L < 8,25 m 2 jalur

8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 jalur 11,25 m ≤ L < 15,00 m 4 jalur 15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 jalur 18,75 m ≤ L < 22,00 m 6 jalur Sumber : Dirjen Bina Marga, SNI 03-1732-1989

Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada lajur rencana ditentukan sesuai Tabel 3.2.


(72)

Tabel 3.2. Koefisien distribusi kendaraan (C)

Jumlah Jalur

Kenderaan Ringan *) Kenderaan Berat **)

1 arah 2 arah 1 arah 2 arah

1 jalur 1,00 1,00 1,00 1,00

2 jalur 0,60 0,50 0,70 0.50

3 jalur 0,40 0,40 0,50 0,475

4 jalur - 0,30 - 0,45

5 jalur - 0,25 - 0,425

6 jalur - 0,20 - 0,40

Sumber : Dirjen Bina Marga, SNI 03-1732-1989

Keterangan :

* Berat total < 5 ton, misalnya : mobil penumpang, pick up dll ** Berat total > 5 ton, nisalnya : bus, truk, semi trailer, trailer.

b. Ekivalen beban sumbu kendaraan (E).

Dalam perencanaan tebal perkerasan lentur, angka ekivalen perlu dketahui dengan membagi kenderaan ke dalam dua jenis sumbu, yakni sumbu tunggal ataupun sumbu ganda. Dalam hal ini Bina Marga membuat rumus seperti pada rumus 1 dan 2 untuk sumbu tunggal dan sumbu ganda sebagai berikut :

Angka ekivalen sumbu tunggal =

4       8160 Kg ggal dalam sumbu tun beban satu ……… 1

Angka ekivalen sumbu ganda

4 8160 X 086 , 0      

= beban satu sumbu tunggaldalamKg …2

Sumber : Dirjen Bina Marga, SNI 03-1732-1989


(73)

Tabel 3.3 Angka Ekivalen ( E ) untuk beban sumbu kendaraan

Beban Sumbu Angka Ekivalen

Kg Lb Sumbu tunggal Sumbu ganda

1000 2205 0,0002 -

2000 4409 0,0036 0,0003

3000 6614 0,0183 0,0016

4000 8818 0,0577 0,0050

5000 11023 0,1410 0,0121

6000 13228 0,2923 0,0251

7000 15423 0,5415 0,0466

8000 17637 0,9238 0,0794

8160 18000 1,000 0,0860

9000 19841 1,4798 0,1273

10000 22046 2,2555 0,1940

11000 24251 3,3022 0,2840

12000 26455 4,6770 0,4022

13000 28660 6,4419 0,5540

14000 30864 8,6647 0,7452

15000 33069 11,4148 0,9820

16000 35276 14,7815 1,2712


(1)

• Untuk segmen ketiga, sta KM.(259+000 – 261+200)

Perencanaan tebal lapis tambah berdasarkan pengujian lendutan dengan alat

BB.

Sta.

Beban Uji (ton)

Lendutan balik /BB (mm)

dx = 2(d4-d1) dx2

D1 D2 D3 D4

259.000 8.20 0.00 1.82 1.96 2.13 4.26 18.148

259.200 8.20 0.00 3.11 3.32 3.64 7.28 52.998

259.400 8.20 0.00 1.21 1.72 1.91 3.82 14.592

259.600 8.20 0.00 2.32 2.63 2.84 5.68 32.262

259.800 8.20 0.00 3.41 3.64 3.73 7.46 55.652

260.000 8.20 0.00 1.85 1.93 2.22 4.44 19.714

260.200 8.20 0.00 2.01 2.61 2.71 5.42 29.376

260.400 8.20 0.00 4.20 4.61 4.79 9.58 91.776

260.600 8.20 0.00 4.71 4.91 5.01 10.02 100.400

260.800 8.20 0.00 2.86 3.10 3.31 6.62 43.824

261.000 8.20 0.00 2.05 2.21 2.69 5.38 28.944

261.200 8.20 0.00 5.31 5.51 5.64 11.28 127.238

∑x = 81.24 ∑x2 = 614.9264

Maka di peroleh tebal lapis tambah (overlay) t = 12.015 cm.


(2)

• Untuk segmen keempat, sta KM.(261+400 – 264+000)

Perencanaan tebal lapis tambah berdasarkan pengujian lendutan dengan alat

BB.

Sta.

Beban Uji (ton)

Lendutan balik /BB (mm)

dx =

2(d4-d1) dx

2

D1 D2 D3 D4

261.400 8.20 0.00 2.86 3.01 3.21 6.42 41.216

261.600 8.20 0.00 4.35 4.40 4.51 9.02 81.360

261.800 8.20 0.00 2.40 2.61 2.72 5.44 29.594

262.000 8.20 0.00 1.11 1.27 1.39 2.78 7.728

262.200 8.20 0.00 2.86 3.01 3.19 6.38 40.704

262.400 8.20 0.00 1.83 1.90 2.27 4.54 20.612

262.600 8.20 0.00 5.93 6.01 6.34 12.68 160.782

262.800 8.20 0.00 5.75 5.80 5.91 11.82 139.712

263.000 8.20 0.00 2.57 2.65 2.72 5.44 29.594

263.200 8.20 0.00 4.02 4.21 4.30 8.6 73.960

263.400 8.20 0.00 5.27 5.40 5.49 10.98 120.560

263.600 8.20 0.00 2.88 3.01 3.20 6.4 40.960

263.800 8.20 0.00 2.21 2.47 2.51 5.02 25.200

264.000 8.20 0.00 2.53 2.61 2.69 5.38 28.944

∑x = 100.9 ∑x2 =840.9284


(3)

4.2 Evaluasi Tebal Lapis Tambah (Overlay)

Dari data –data pada sta KM.(254+000 – 258+000) s/d sta KM(259+000 – 264+000) maka hasil dari penyelesaian diatas diperoleh:

Stationing Tebal lapis tambah

Bina Marga Ashpalt Institute Design Segmen I

Sta KM.(254+000 – 256+400) 9.789 cm 11.250 cm 12,171 cm Segmen II

Sta KM.(256+600 – 258+000) 10.479 cm 11.875 cm 12,171 cm Segmen III

Sta KM(259+000 – 262+400) 11.045 cm 12.015 cm 12,171 cm Segmen IV

Sta KM.(262+600 – 264+000) 11.123 cm 13.125 cm 12,171 cm

Evaluasi tebal lapis tambah (overlay) dari hasil pada tabel diatas, maka dapat dilihat dari segmen I sampai dengan segmen IV antara Bina Marga dengan Asphalt Institute terdapat perbedaan yang tidak terlalu jauh, hal ini dikarenakan kedua metode tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama mencari koefisien tebal lapis tambah (overlay), yang membedakannya yaitu asphalt institute digunakan pada perencanaan perkerasan tebal lapis tambah di Amerika Serikat, sedangkan Bina Marga digunakan di Indonesia.

Dalam penyelesaian contoh perhitungan dengan metoda Bina Marga dan Asphalt Institute merupakan beberapa metoda dari penentuan tebal lapis tambah (overlay) dimana cara pengerjaannya berbeda,tetapi untuk mendapatkan tujuan yang sama yaitu menentukan perencanaan tebal lapis tambah (overlay).


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari evaluasi tebal lapis tambah dengan metoda Bina Marga dan Asphalt Institute dengan menggunakan alat Benkelman Beam pada jalan lintas Bireuen-Lhokseumawe, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat beberapa perbedaan dalam pengerjaan contoh perhitungan. Pengerjaan

dengan Asphalt Institue lebih simple dibandingkan pengerjaan dengan metoda Bina Marga, karena pada pengerjaan dengan metoda Asphalt Institute banyak menggunakan grafik dari pada Bina Marga.

2. Perhitungan perencanaan tebal lapis tambah (overlay) dengan menggunakan metoda Bina Marga dan Asphalt Institute menghasilkan overlay yang berbeda. 3. Dari pengolahan data pada metode Bina Marga dan Asphalt Institute, data

dibagi kedalam empat segmen, yaitu segmen pertama sta KM.(254+000-256+400), segmen kedua Sta KM.(256+600 – 258+000), segmen ketiga Sta KM.(259+000 – 262+400), dan segmen keempat Sta KM.(262+600 – 264+000). Hal ini dilakukan untuk mendapatkan keseragaman lendutan balik.


(5)

V.2 SARAN

1. Untuk mendapatkan keseragaman lendutan maka perlu dilakukan pembagian segmen yang tidak terlalu panjang sehingga tidak terjadi pemborosan.

2. Dalam pelaksanaan tebal lapis tambah hendaknya sejalan dengan perbaikan drainase, bahu jalan, dan median jalan sehingga memberikan hasil yang baik bagi pengguna jalan, membuat jalan itu sendiri menjadi lebih awet karena tidak di genangi air terlalu lama dan dapat menghemat biaya.

3. Untuk perencanaan tebal lapis tambah sebaiknya dipakai perencanaan tebal yang optimum karena untuk memperoleh tebal yang kuat sehingga sanggup memikul beban lintasan hingga akhir umur rencana jalan tersebut, sehingga walaupun baru saja selesai dikerjakan, konstruksi jalan tidak mudah rusak kembali dalam waktu yang relatif cukup singkat.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

 Departeman Pekerjaan Umum Bina Marga, 1983. Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam. Jakarta: Bina Marga.

 Dedpartemen Pekerjaan Umum. Pedoman Perencanaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur Dengan Metode Lendutan pd.T-05-2005-B. Jakarta: Bina Marga.

 Sukirman, silvia. 1992. Perkerasan Lentur Jalan Raya. Bandung: Nova.

 AASHTO, 1993. Guided Design Of Pavement Stucture. Washington DC, USA: AASHTO.

 Departemen Pekerjaan Umum, 1983. , Asphalt Overlays For Highway And Street Rehabilitation. Manual Series No. 17 (MS-17), Bina Marga.

 Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Teknik, (1999), Teknik Pemeliharaan Rutin, Modul I, II, III, Road Maintenance Improvement Project (II).

 Muench, S. T, Mahoney, J. P. and Pierce, L. M, ( 2003 ), WSDOT Pavement Guide Interactive, Department of Transportation, Olympia.

 Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Teknik, (1995), Manual Pemeliharaan Rutin untuk Jalan Nasional dan Jalan Propinsi, Jilid I Metode Survai, Jakarta.

 Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Teknik, (1995), Manual Pemeliharaan Rutin untuk Jalan Nasional dan Jalan Propinsi, Jilid II Metode Perbaikan Standar, Jakarta.

 Diktat kuliah. Perencanaan Tebal Perkerasan Lanjutan bagian 1, USU.

 Oglesby, Clarkson H, & Hicks R. Gary. Teknik Jalan Raya. Edisi keempat-jilid 2. Erlangga, Jakarta.

 Yoder, E.J. and Witczak, M.W, 1975. Principles of Pavement Design. Second Edition. Jhon Wiley & Sons Inc, New


Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tebal Lapis Tambah (Overlay) Perkerasan Lentur Pada Program Everseries

10 123 77

Kajian Metoda Perencanaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur

6 57 129

EVALUASI TEBAL LAPIS TAMBAH PERKERASAN LENTUR MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA (Pd. T-05-2005-B) DAN ASPHALT INSTITUTE (MANUAL SERIES 17) (Studi Kasus Ruas Jalan Yogyakarta - Batas Kota Bantul)

0 3 111

PEMBANGUNAN PERANGKAT LUNAK PERENCANAAN TEBAL LAPIS PERKERASAN TAMBAHAN METODE BENKELMAN BEAM (BB) MENGGUNAKAN APLIKASI VBA-EXCEL

15 94 113

Analisis Perbandingan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur Menggunakan Metoda AASHTO 1993 dan Program EVERSERIES

0 3 8

Analisis Pengaruh Kondisi Bonding Pada Perencanaan Tebal Lapis Tambah (Overlay) Perkerasan Lentur Menggunakan Metoda AUSTROADS (Studi Kasus: Ruas Jalan Jatibarang – Palimanan)

0 4 8

ALTERNATIF PERENCANAAN LAPIS TAMBAH (OVERLAY) PERKERASAN LENTUR (FLEXIBLE PAVEMENT) Alternatif Perencanaan Lapis Tambahan (Overlay) Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) dengan Metode Lendutan Bina Marga 2005 dan Metode Road Note 31 (Studi Kasus : Ruas

0 1 19

Perencanaan Tebal Perkerasan Tambahan Menggunakan Metode Benkelman Beam Pada Ruas Jalan Soekarno-Hatta, Bandung.

1 1 49

EVALUASI PERENCANAAN TEBAL LAPIS TAMBAH (OVERLAY) METODE PD-T-05-2005-B DAN METODE SDPJL MENGGUNAKAN PROGRAM KENPAVE STUDI KASUS RUAS JALAN KLATEN-PRAMBANAN.

2 15 4

Evaluasi Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur Menggunakan Metode Bina Marga (Pd T-05-2005-B) dan Asphalt Institute (MS-17) (Studi Kasus Jalan Yogyakarta- Bantul)

0 2 6