Analisa Daya dan Heat Stress pada Metode Efesiensi Sel Surya Sebagai Energi Alternatif Ramah Lingkungan

(1)

ANALISA DAYA DAN HEAT STRESS PADA METODE

EFESIENSI SEL SURYA SEBAGAI ENERGI

ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN

TESIS

Oleh

AL FATTAH FAISAL M

067031001/MKLI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

ANALISA DAYA DAN HEAT STRESS PADA

METODE EFESIENSI SEL SURYA SEBAGAI

ENERGI ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Dalam Program

Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AL FATTAH FAISAL M

067031001/MKLI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : ANALISA DAYA DAN HEAT STRESS PADA

METODE EFESIENSI SEL SURYA SEBAGAI

ENERGI ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN Nama Mahasiswa : Al Fattah Faisal M

Nomor Pokok : 067031001

Program Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc) (Drs. Abdul Jalil A A, M.Kes) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS) (Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah di uji pada :

Tanggal : 22 September 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc Anggota : 1. Drs. Abdul Jalil A A, M.Kes

2. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S 3. Ir. Indra Chahaya, M.Si


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2008


(6)

ABSTRAK

Salah satu energi alternatif yang tidak menimbulkan polutan adalah pemberdayaan energi cahaya matahari dengan menggunakan panel sel surya. Telah dilakukan penelitian untuk mengoptimalkan efesiensi kemampuan sel surya dengan menggunakan lensa konvergen berkekuatan 10 dioptri dan 20 dioptri. Metode yang digunakan pada penelitian ini bersifat eksperimental dengan dua tahap. Pada tahap pertama, menganalisa pengaruh jarak sumber cahaya terhadap daya keluaran sel surya, kemudian intensitas cahaya dari sumber akan di lewatkan pada suatu lensa konvergen untuk di fokuskan ke permukaan sel surya. Dengan melakukan variasi jarak antara sumber cahaya, lensa dan sel surya akan di ketahui daya-daya maksimum yang di hasilkan. Kemudian, dilakukan pengukuran Heat Stress dengan parameter Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) terhadap daya-daya maksimum yang dihasilkan sel surya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui efek Heat Stress yang dapat ditimbulkan oleh sel surya akibat energi panas yang diterima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lensa 20 dioptri, sumber cahaya 100 W yang merupakan daya keluaran maksimum dan mampu memberikan daya keluaran maksimal 2,35 kali lebih besar dibandingkan daya awal. Juga menghasilkan daya efek (Pt) maksimum sebesar 2,23 W dengan nilai ISBB yang di hasilkan maksimal 27,3 ºC dari keadaan normal 25,7 ºC. Hasil analisa statistik dengan uji korelasi membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jarak sumber cahaya dan sel surya dengan ISBB (nilai p =0,001). Jarak 150 cm dari sumber cahaya di rekomendasikan karena dapat mengurangi indeks heat stress.


(7)

ABSTRACT

One of the alternative energies which does not to generates pollutant is enableness of sun light energy by using solar cell panel. Research to optimize of efficient ability of solar cell have been developed by using convergent lens with power of 10 and 20 dioptri. Thea methode appllied of this research have the character of experimental with 2 phases. At first phase, analyses of light source distance influence to solar cell output power, then light intensity of source will be passed through a certain convergent lens to be focused on surface solar cell. By doing the variation of distance between light source, lens and solar cell will be known maximum output powers. Then, done measurement of Heat Stress with Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) index to maximum output power with yielded by solar cell. This matter is performed to know Heat Stress effect which can be generated by solar cell as result of thermal energy which accepted. The experimental result found that, the usage of lens 20 dioptri, light source 100 W, with are maximum output power and can supply maximum output power more than 2.35 bigger times. Also yields effect power (Pt) maximum 2.23 W with WBGT maximum value is 27.3 ºC from normal condition 25.7 ºC. Result of statistical analysis with correlation test proves that is relationship of significant between light source distance to solar cell with WBGT (p value = 0.001). For the distance 150 cm from light source is recommended by can lessen WBGT index.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul Analisa Daya Dan Heat Stress Pada Metode Efisiensi Sel Surya Sebagai Energi Alternatif Ramah Lingungan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Strata-2 pada Program Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Proses penulisan Tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini ucapan terima kasih saya sampaikan kepada yang terhormat :

1. Prof. dr. Chairuddin P Lubis, DTM & H. Sp. A (K), Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B, M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S, Ketua Program Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan pemikiran di tengah-tengah kesibukannya.

5. Drs. Abdul Jalil A A, M.Kes, Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, saran-saran dan masukan pada Tesis ini.

6. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S, selaku komisi pembanding yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan Tesis ini.

7. Ir. Indra Chahaya S, M.Si, selaku komisi pembanding yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan Tesis ini.


(9)

8. Seluruh staf pengajar Program Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 2006/2007, terutama Mahyudi, Mustar, Meirinda, Ermi, Marlinang yang banyak membantu dalam proses perkuliahan maupun penyusunan Tesis.

10.Seluruh Staf Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL-PPM) Depkes RI Medan, terutama staf Instalasi Laboratorium Fisika Udara dan Radiasi.

11.Istriku, Sulvina F, S.Si, anak – anakku : Nisalfya Al Insyrah, Faris Zidane Al Fattah dan Yazid Gibran Al Fattah serta semua keluarga berkat doa, dukungan dan motivasi.

12.Seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan bantuan untuk menyelesaikan Tesis ini.

Medan, September 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Al Fattah Faisal M

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 16 Maret 1970

Agama : Islam

Alamat : Jl. HM Joni No. 44 Medan Telp. 061-7323490

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Kesatria Medan : 1976-1982

2. SMP Hang Kesturi Medan : 1982-1985

3. SMA Negeri 9 Medan : 1985-1988

4. S-1 Fisika Instrumentasi Jur. Fisika FMIPA-USU Medan : 1988-1996 5. Program Magister Manajemen Kesehatan Lingkungan

Industri Sekolah Pascasarjana USU Medan : 2006-2008

RIWAYAT PEKERJAAN

1. Supervisor Produksi di PT. Pan Super Bintang Surya : 1996 – 2000


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ………...………....…...…… 1

1.2 Perumusan Masalah ……...………....…………...… 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan umum ……...…....……...…….... 6

1.3.2 Tujuan khusus ………...…....…...……… 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Ruang Lingkup ………...……...……… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Intensitas Cahaya ... 8

2.2 Sel Surya (fotovoltaik) ... 10

2.3 Energi Ramah Lingkungan ... 13

2.4 Lensa Tipis ...………...……... 15

2.5 Heat Stress ………...………...………. 18

2.5.1 Dampak heat stress terhadap kesehatan ... 21

2.6 Kerangka Konsep Penelitian ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Rancangan Penelitian ... 25

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.2.1 Lokasi penelitian ………...…...…… 25

3.2.2 Waktu penelitian ………...……...… 25

3.3 Objek Penelitian ………...……….… 26

3.4 Bahan dan Instrumen ... 26

3.4.1 Bahan ...……...……… 26


(12)

3.5 Variabel Penelitian ... 27

3.6 Manajemen Data ... 28

3.6.1 Sumber data ... 28

3.6.2 Analisa kuantitatif ... 28

3.6.3 Analisa data ... 28

3.7 Defenisi Operasional ……….………...…… 29

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 31

4.1 Spesifikasi Sel Surya ... 31

4.2 Kondisi Awal Indoor ... 31

4.3 Perubahan Tegangan dan Arus Pada Variasi Jarak ……... 32

4.3.1 Variasi jarak tanpa menggunakan lensa ... 32

4.3.2 Variasi jarak dengan menggunakan lensa ... 34

4.3.3 Variasi jarak dengan menggunakan variasi 2 Lensa ... 43

4.4 Variasi Jarak terhadap Pengukuran Heat Stress ... 46

4.5 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Parameter-Parameter Heat Stress ... 49

4.5.1 Hubungan jarak sumber cahaya dengan suhu ... 49

4.5.2 Hubungan jarak sumber cahaya dengan kelembaban udara ... 51

4.5.3 Hubungan jarak sumber cahaya dengan suhu radiasi lingkungan ... 54

4.5.4 Hubungan jarak sumber cahaya dengan suhu basah ... 57

4.5.5 Hubungan jarak sumber cahaya dengan ISBB ... 59

BAB V PEMBAHASAN ... 63

5.1 Kemampuan Lensa Mengubah Tegangan dan Arus Keluaran ... 63

5.1.1 Hubungan jarak sumber cahaya terhadap daya keluaran sel surya ... 63

5.1.2 Hubungan jarak sumber cahaya dengan lensa 10 dioptri dan 20 dioptri terhadap daya keluaran sel surya ... 65

5.1.3 Hubungan jarak sumber cahaya dengan kombinasi 2 lensa terhadap daya keluaran sel surya ... 66

5.2 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) sebagai indeks Heat Stress ... 67

5.2.1 Hubungan jarak sumber cahaya dengan daya keluaran sel surya terhadap suhu ... 68


(13)

5.2.2 Hubungan jarak sumber cahaya dengan daya

keluaran sel surya terhadap kelembaban udara …... 69

5.2.3 Hubungan jarak sumber cahaya dengan daya sel surya terhadap suhu radiasi lingkungan ……….... 70

5.2.4 Hubungan jarak sumber cahaya dengan daya keluaran sel surya terhadap suhu basah ... 72

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

6.1 Kesimpulan ... 74

6.2 Saran ... 75


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Pengendalian Heat Stress ……… 23

3.1 Defenisi Operasional ……… 29

4.1. Hasil Daya Keluaran pada Variasi Jarak Sumber Cahaya 40 W

dengan sel surya ... 32 4.2. Hasil Daya Keluaran pada Variasi Jarak Sumber Cahaya 100 W

dengan sel surya ... 33 4.3 Hasil Eksperimen Variasi Jarak dengan 1 Lensa pada Sumber

Cahaya 40 W ... 39 4.4 Hasil Eksperimen Variasi Jarak dengan 1 Lensa pada Sumber

Cahaya 100 W ... 40 4.5 Hasil Eksperimen Variasi Jarak dengan 2 Lensa pada Sumber

Cahaya 40 W ... 41 4.6 Hasil Eksperimen Variasi Jarak dengan 2 Lensa pada Sumber


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Struktur Sel surya jenis P/N ... 10

2 Proses alir foton – elektron pada sel surya ... 11

3 Pemantulan cahaya pada bidang datar & tidak datar ... 16

4 Berkas cahaya pada lensa bikonveks ... 16

5 Sifat pemantulan cahaya pada lensa ... 17

6 Kerangka Konsep Penelitian ……… 24

7 Skema Rancangan Penelitian ……… 27

8 Daya Keluaran pada variasi jarak SC Frosted 40 W dengan sel surya… 33 9 Daya Keluaran pada variasi jarak Sumber Cahaya Clear 100 W dengan sel surya ……….. 34

10 Pengaruh variasi jarak SC-SS, SC-L10 terhadap Daya Keluaran Maksimum (SC 40W) ………. 35

11 Pengaruh variasi jarak SC-SS, SC-L10 terhadap Daya Keluaran Maksimum (SC 100W) ……… 36

12 Pengaruh Daya Maksimum pada Variasi Jarak dengan menggunakan Lensa 20 dioptri dan Sumber Cahaya 40 W………. 37

13 Pengaruh Daya Maksimum pada Variasi Jarak dengan menggunakan Lensa 20 dioptri dan Sumber Cahaya 100 W……… 37

14 Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC-L10-L20-SS, SC-L10 =10 cm, SC 40 W……….. 43

15 Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC40W-L20-L10-SS... 44


(16)

16 Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan

2 Lensa SC-L20-L10-SS, SC = 100W... 45

17 Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC-L10-L20-SS; SC=100 W ... 45

18 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W-Lensa 10 dioptri terhadap Suhu ... 49

19 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W-Lensa 20 dioptri terhadap Suhu ... 50

20 Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 10 D terhadap Suhu ... 50

21 Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 20 D terhadap Suhu ... 51

22 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap Kelembaban Udara ... 52

23 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 20 D terhadap Kelembaban Udara ... 52

24 Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 10 D terhadap Kelembaban Udara ... 53

25 Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 20 D terhadap Kelembaban Udara ... 53

26 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap Suhu Radiasi Lingkungan ... 55

27 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 20 D terhadap Suhu Radiasi Lingkungan ... 55

28 Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 10 D terhadap Suhu Radiasi Lingkungan ... 56

29 Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 20 D terhadap Suhu Radiasi Lingkungan ... 56

30 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap Suhu Basah ... 57

31 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 20 D terhadap Suhu Basah ... 58


(17)

33 Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 20 D terhadap Suhu Basah ..59

34 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap ISBB ... 60

35 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 20 D terhadap ISBB ... 60

36 Variasi Jarak Sumber Cahaya 100 W, Lensa 10 D terhadap ISBB ... 61


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1.1 Data Sumber Cahaya 40 W, Lensa 10 dioptri ... 79

1.2 Data Sumber Cahaya 40 W, Lensa 20 dioptri ... 81

1.3 Data Sumber Cahaya 100 W, Lensa 10 dioptri ... 83

1.4 Data Sumber Cahaya 100 W, Lensa 20 dioptri ... 85

2.1 Data Sumber Cahaya 40 W, Lensa 20 dioptri dan Lensa 10 dioptri... 87

2.2 Data Sumber Cahaya 40 W, Lensa 10 dioptri dan Lensa 20 dioptri ... 91

3.1 Data Sumber Cahaya 100 W, Lensa 10 dioptri dan Lensa 20 dioptri ... 95

3.2 Data Sumber Cahaya 100 W, Lensa 20 dioptri dan Lensa 10 dioptri ... 98

4.1 Korelasi Sumber Cahaya 40 W dan 100 W ……….. 102

4.2 Korelasi Sumber Cahaya 40 W, Lensa 10 dioptri ...103

4.3 Korelasi Sumber Cahaya 40 W, Lensa 20 dioptri ...104

4.4 Korelasi Sumber Cahaya 100 W, Lensa 10 dioptri ...105

4.5 Korelasi Sumber Cahaya 100 W, Lensa 20 dioptri ...106


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum sumber energi dikategorikan menjadi dua bagian yaitu non-renewable energy dan renewable energy. Sumber energi fosil adalah termasuk kelompok yang pertama dan sebagaian besar aktifitas di dunia ini menggunakan energi konvensional ini. Saat di mana semakin meningkatnya kebutuhan energi listrik, maka biaya operasional untuk memenuhi kebutuhan ini semakin mahal. Untuk kondisi sekarang ini, kelihatannya hanya ada dua pilihan dalam memenuhi kebutuhan energi listrik kita dalam kehidupan sehari-hari. Kedua pilihan itu adalah listrik murah dengan konsekuensi udara di lingkungan kita tercemar karena tidak mengindahkan faktor kesehatan lingkungan, atau udara di atmosfer kita bersih tetapi harga listrik mahal akibat teknologi yang di gunakan.

Salah satu upaya protektif dari pemerintah untuk melindungi atmosfer kita adalah mulai diberlakukannya Baku Mutu Emisi (BME) baru dari sumber tidak bergerak yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.: KEP.13/MENLH/3/1995. Surat keputusan ini menetapkan dua tahap pemberlakuan BME. Tahap pertama berlaku tahun 1995-1999 (BME 1995), dan tahap kedua berlaku mulai 1 Januari 2000 (BME 2000). Terjadi penurunan hingga dua kali lebih ketat dalam nilai BME 2000. Jika batas maksimum (dalam mg/m3) pada BME 1995


(20)

untuk lepasan total partikel, SO2 dan NO2 berturut-turut adalah 300, 1500 dan 1700, maka pada BME 2000 nilainya turun menjadi 150, 750 dan 850, yang berarti setengah dari batas semula (Akhadi, 2000).

Polusi udara menimbulkan masalah kesehatan di seluruh dunia serta paling sering dihubungkan dengan industri, transportasi dan faktor alam lainnya. Tidak dapat diingkari bahwa pencemaran udara menyebabkan gangguan pada manusia mulai dari iritasi mata dan sakit kepala sampai asma, bronkhitis dan kanker paru.

Pencemar udara primer yang komposisinya tidak akan mengalami perubahan di atmosfer baik secara kimia maupun fisika dalam jangka waktu yang relatif cepat misalnya karbon monoksida (CO) yang dapat mengikat oksigen dari hemoglobin menghasilkan karboksi hemoglobin. Pengaruh dari reduksi ini mengakibatkan darah mengangkut oksigen menurun. Tingkat kandungan COHb dalam darah naik dengan kenaikan CO di atmosfer dan aktivitas fisik individu. Dengan konsentrasi 250 ppm akan mengakibatkan kehilangan kesadaran. Kenaikan CO mengakibatkan menurunnya fungsi sistem saraf sentral, perubahan – perubahan fungsi jantung dan paru-paru, mengantuk, koma, sesak napas dan akhirnya meninggal.

Pengaruh utama polutan SO2 adalah iritasi yang langsung mempengaruhi sistem pernapasan. Kadar 8 – 12 ppm SO2 merupakan jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi tenggorokan. SO2 di atmosfer akan diubah menjadi asam sulfat. Sehingga di daerah dengan konsentrasi SO2 yang tinggi, tanaman dan bangunan akan rusak oleh aerosol asam sulfat (Depkes, 2001). Polutan NO2 mempengaruhi iritasi sistem pernapasan. Kadar yang berpengaruh terhadap gangguan kesehatan sebesar 25


(21)

– 75 ppm dapat menyebabkan radang parenkim paru-paru dan bronkhitis. Kematian biasanya terjadi dari 2 – 10 hari setelah terpapar lebih dari 500 ppm NO2. Sedangkan ukuran partikulat yang membahayakan kesehatan pada umumnya berukuran 0,1 s/d 10 mikron. Inhalasi merupakan satu-satunya jalan menuju pemajanan. Pada umumnya ukuran partikel sekitar 5 mikron dapat masuk ke paru-paru dan mengendap di alveoli. Adanya sejenis logam beracun yang terdapat dalam partikel di udara merupakan bahaya yang terbesar bagi kesehatan (Depkes RI, 2001).

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penggunaan energi fosil secara besar-besaran menimbulkan dampak negatif perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca. Problem ini dikenal sebagai Trilemma-3E yaitu Energy-Environment-Economy seperti peningkatan polusi, pemanasan global dan persoalan lingkungan hidup. Data-data di atas merupakan hal yang relevan kita hadapi, jika dunia industri sebagai kontributor polutan yang cukup besar tidak memperhatikan kesehatan dan lingkungan (Wenas, 2008).

Pada saat mulai diberlakukannya BME 2000 ini, para pengelola energi batubara dihadapkan pada peraturan yang lebih ketat. Mereka harus mengendalikan emisi pencemar dua kali lebih rendah dibandingkan semula. Untuk itu perlu adanya upaya konversi dan pemanfaatan sumber energi lain atau energi sampingan yang terbuang yang dapat dimanfaatkan menjadi energi listrik yang ramah lingkungan.

Pemberdayaan energi cahaya matahari salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang memanfaatkan energi foton cahaya matahari menjadi energi listrik. Indonesia sendiri, sebuah negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa


(22)

dan menerima panas matahari yang lebih banyak daripada negara lain, mempunyai potensial yang sangat besar untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil (batubara dan diesel) yang bersih, tidak berpolusi, aman dan persediaannya tidak terbatas. Berdasarkan ide dasar inilah akan dicoba merancang suatu eksperimen yang bertujuan sebagai pembangkit daya listrik dari cahaya yang minimal polutan yang mempunyai mobilitas tinggi serta lebih fleksibel di gunakan di industri maupun rumah tangga dibandingkan sumber energi alternatif lain seperti energi angin, ombak pantai, biodiesel, air terjun dan lain – lain.

Secara teori, dengan luas permukaan sel surya yang kecil akan menghasilkan besar tegangan dan kuat arus yang relatif kecil pula. Untuk itu dilakukan proses “ amplifikasi “ yaitu dengan berkas cahaya jatuh kepermukaan sel surya melalui media lensa konvergen.

Tetapi akibat perlakuan ini akan timbulnya peningkatan suhu di lingkungan karena terjadinya konduksi pada permukaan sel surya yang panas. Efek dari suhu terhadap kinerja modul sel surya ditentukan secara kuantitatif dengan koefisien temperatur yang dapat digunakan sebagai parameter masukan untuk penelitian ini. Dengan tujuan untuk membuktikan asumsi tersebut, maka dalam penelitian ini, koefisien-koefisien temperatur untuk arus listrik dan tegangan listrik pada daya maksimum (selanjutnya disebut arus listrik maksimum dan tegangan listrik maksimum), serta daya listrik pada keluaran maksimum (daya listrik maksimum) akan diteliti pada jarak, media lensa dan sumber cahaya yang berbeda-beda. Jika suhu pada permukaan sel surya melebihi 35°C (95°F) akan menjadi sumber penyinaran


(23)

inframerah yang dapat menambah panas pada manusia, apalagi kalor yang diserap adalah permukaan plat hitam (OSHA, 2007).

Hal ini di curigai dalam waktu tertentu akan menimbulkan heat stress. Heat Stress merupakan panas yang dihasilkan tubuh baik secara internal pada penggunaan otot atau secara eksternal oleh lingkungan. Di lingkungan, manusia selalu berada di bawah sejumlah besar tekanan yang berkenaan dengan panas sehingga akan terus melakukan penyesuaian derajat panas yang konstan dan tepat. Tetapi karena toleransi suhu tubuh manusia mempunyai titik kritis yang sempit yakni di sekitar 37°C (98.6°F), maka akibat paparan ini dapat mengganggu kesehatan terutama heat stress misalnya kelelahan (heat fatigue), dehidrasi, ruam (heat rashes), kram (heat cramp), heat stroke dan lain – lain (OSHA, 2007).

Di tahap ini kami menitik beratkan pada kinerja modul sel surya pada titik daya-maksimum dengan tujuan akan memberikan informasi pengukuran pengamatan paparan heat stress yang mungkin timbul akibat proses amplifikasi. Kemudian variasi apa yang diperlukan untuk menghasilkan daya maksimal tetapi memberikan paparan heat stress yang minimum.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana paparan heat stress yang ditimbulkan dari efesiensi sel surya. 2. Sejauh mana lensa mampu mengubah tegangan dan arus pada sel surya 3. Bagaimana korelasi antara variabel – variabel yang di gunakan terhadap


(24)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui paparan heat stress pada lingkungan akibat efesiensi sel surya sebagai suatu energi alternatif yang tidak berbahan bakar atau effesiensi energi yang minim pencemaran.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisa perubahan kuat arus, besar tegangan dengan variasi jarak, variasi sumber cahaya dan variasi dioptri lensa.

2. Menganalisa efek heat stress pada daya keluaran yang di hasilkan.

1. 4. Manfaat Penelitian

Dalam rangka pengembangan energi alternatif dan pengelolaan lingkungan, diharapkan hasil penelitian dapat bermanfaat untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan, informasi mengenai penggunaan lensa tipis terhadap efesiensi sel surya, paparan heat stress yang ditimbulkannya serta merupakan dokumen ilmiah yang dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya.

1. 5. Ruang Lingkup

1. Menganalisa kuat arus, besar tegangan dan paparan heat stress dengan variasi jarak dari sumber cahaya maupun panel sel surya.


(25)

2. Menganalisa perubahan besar tegangan, heat stress dan kuat arus dengan variasi kekuatan lensa (dioptri) konvergen.

3. Daya keluaran maksimum yang dihasilkan, paparan heat stress yang minimum dari beberapa variabel independen yang diobservasi diharapkan untuk dapat dimanfaatkan.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Intensitas Cahaya

Gelombang elektromagnet yang terlihat oleh panca indera manusia adalah cahaya dengan panjang gelombang berkisar pada 300 - 700 nm (nanometer). Gelombang dengan panjang gelombang di atas 700 nm berada pada daerah inframerah dan dibawah 300 nm merupakan daerah ultraviolet. Cahaya merupakan kumpulan foton yang mempunyai energi yang bisa dimanfaatkan dan sebagian lagi di ubah menjadi cahaya tampak. Perambatan cahaya di ruang bebas di lakukan oleh gelombang elektromagnetik dengan kecepatan 3 x 108 m/detik (Beisser, 1968).

Eksperimen menunjukan bahwa cahaya berjalan menempuh garis lurus pada berbagai keadaan. Misalnya, sebuah sumber titik cahaya menghasilkan bayangan, dan sinar lampu senter tampak merupakan garis lurus.

Suatu sumber cahaya memancarkan cahaya ke semua arah, tetapi energi radiasinya tidak merata karena juga dipengaruhi oleh sudut penerangan, walaupun perubahannya tidak terlalu signifikan.

Jumlah energi radiasi yang dipancarkan sebagai cahaya ke suatu arah tertentu di sebut intensitas cahaya (I) dengan satuan candela (cd). Jika intensitas cahaya suatu sumber sebesar 1 cd melalui sudut ruang sebesar 1 steradian maka akan mengalir fluks cahaya sebesar 1 lumen (Hecht, 1994).


(27)

) ...(candela F

I θ

= ... ( 2-1) dimana :

I = intensitas cahaya ( cd ) F = fluks cahaya ( lumen )

= sudut ruang ( strd )

Fluks cahaya yang dipancarkan oleh sumber cahaya ialah seluruh jumlah cahaya yang dipancarkan dalam satuan detik. Jika sebuah lampu pijar ditempatkan pada reflektor, maka cahayanya akan diarahkan, tetapi jumlah atau fluksnya tetap. Dan jika lampu pijar ini ditempatkan di titik tengah bola dengan jari-jari 1 m, memancarkan cahaya dengan I = 1 cd ke segala arah, maka fluks cahaya dalam 1 strd akan sama dengan 1 lumen. Intensitas penerangan dipermukaan bola yang dibatasi oleh sudut ruang 1 strd akan sama dengan 1 lux. Sumber cahaya yang ditempatkan di titik tengah bola tersebut di lingkupi oleh 4ヾI lumen, maka = 4ヾ lumen (Waldman, 1990).

Intensitas penerangan (iluminasi) di suatu bidang ialah fluks cahaya yang jatuh pada 1 m2 dari bidang tersebut, dengan satuan lux. Jika suatu bidang di terangi F lumen seluas A m2 , maka :

) 2 2 ...( ... ... ... ... ...

... −

=

A F Iavg

dimana : Iavg = Intensitas Penerangan rata – rata A = Luas bidang yang diterangi ( m2 )


(28)

2. 2 Sel Surya ( fotovoltaik )

Bahan sel surya sendiri terdiri kaca pelindung dan material adesive transparan yang melindungi bahan sel surya dari keadaan lingkungan, material anti-refleksi untuk menyerap lebih banyak cahaya dan mengurangi jumlah cahaya yang dipantulkan, semi-konduktor jenis-P dan jenis-N (terbuat dari campuran Silikon) untuk menghasilkan medan listrik, saluran awal dan saluran akhir (tebuat dari logam tipis) untuk mengirim elektron ke instrumen elektronik.

Cara kerja sel surya sendiri sebenarnya identik dengan piranti semikonduktor dioda. Ketika cahaya bersentuhan dengan sel surya dan diserap oleh bahan semi-konduktor, terjadi pelepasan elektron. Apabila elektron tersebut bisa menempuh perjalanan menuju bahan semi-konduktor pada lapisan yang berbeda, terjadi perubahan jumlah gaya-gaya pada bahan.

Arus listrik Cahaya

Tipe-n Tipe-p Konduktor


(29)

Gaya tolak antar bahan semi-konduktor, menyebabkan aliran medan listrik (efek fotovoltaik) dan menyebabkan elektron dapat disalurkan ke saluran awal dan akhir untuk digunakan pada instrumen (Ridha, 2006).

Kutub Positip

Lubang bekas elektron

Aliran

arus Aliran Elektron Kutub

Negatif

Gambar 2. Proses alir foton – elektron pada sel surya

Semua sel surya memerlukan cahaya untuk menyerap foton-foton ke dalam struktur sel sehingga menghasilkan elektron-elektron via efek fotovoltaik. Pada bagian silikon tipe-n, elektron sebagai pembawa arus, sedangkan di silikon tipe-p, lubang merupakan pembawa arus.

Bagian utama perubah energi sinar matahari menjadi listrik adalah absorber (penyerap), meskipun demikian, masing-masing lapisan juga sangat berpengaruh terhadap efisiensi dari sel surya. Sinar matahari terdiri dari bermacam-macam jenis gelombang elektromagnetik yang secara spectrum radiasi panas matahari mempunyai


(30)

panjang gelombang 10-7 s/d 10-5, frekuensi 1014 s/d 1015 Hz dan energi foton 10-1 s/d 101 eV. Oleh karena itu absorber disini diharapkan dapat menyerap sebanyak mungkin solar radiation yang berasal dari cahaya matahari (Beisser, 1968). Energi panas matahari hanya tersedia 10 – 11 jam per hari. Sel surya merupakan suatu bahan semikonduktor, yang mengabsorbsi energi cahaya matahari secara langsung menjadi energi listrik, melalui 3 tahapan, yaitu :

a) Absorpsi cahaya matahari oleh material semikonduktor

b) Membangkitkan dan memisahkan daerah bebas positip dan negatip dari sel surya sehingga menghasilkan beda potensial.

c) Mentransfer hasil pemisahan melalui terminal listrik ke beban berupa arus listrik.

Sinar matahari yang terdiri dari foton-foton, jika menimpa permukaaan bahan sel surya (absorber), akan diserap, dipantulkan atau dilewatkan begitu saja, dan hanya foton dengan level energi tertentu yang akan membebaskan elektron dari ikatan atomnya, sehingga mengalirlah arus listrik. Untuk membebaskan elektron dari ikatan kovalennya, energi foton (hc/v) harus sedikit lebih besar atau diatas daripada energi pembebas elektron. Jika energi foton terlalu besar dari pada energi pembebasan elektron, maka ekstra energi tersebut akan dirubah dalam bentuk panas pada solar sel.

Umumnya koefisien temperatur, yang menggambarkan sensitivitas terhadap temperatur, diberikan oleh pembuat (pabrik) modul fotovoltaik untuk 3 buah parameter, yakni arus hubung-singkat, Isc (ampere (A)/oC), tegangan


(31)

rangkaian-terbuka, Voc (volt (V)/ oC), dan tahanan seri, R (ohm ( )/ oC). Koefisien-koefisien temperatur tersebut diukur menggunakan modul fotovoltaik bentuk datar dan pada intensitas cahaya 100 mW/cm2 yang diasumsikan mempunyai nilai yang konstan pada selang panjang-gelombang (spektrum) cahaya yang digunakan.

Tentu saja agar efisiensi dari sel surya bisa tinggi maka foton yang berasal dari sinar matahari harus bisa diserap yang sebanyak banyaknya, kemudian memperkecil refleksi dan rekombinasi serta memperbesar konduktivitas dari bahannya. Untuk bisa membuat agar foton yang diserap dapat sebanyak banyaknya, maka absorber harus memiliki energi pembebas elektron dengan range yang lebar, sehingga memungkinkan untuk bisa menyerap sinar matahari yang mempunyai energi yang bermacam – macam tersebut ( Widodo, 2008 ).

2.3 Energi Ramah Lingkungan

Penggunaan energi fosil yang eksesif telah menimbulkan dampak negatif perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca terutama karbondidoksida, lebih dari 6 giga ton per tahun saat ini dan pada tahun 2050 diperkirakan sampai 15 giga ton per tahun bila tanpa tindakan mitigasi. Kondisi ini akan membawa dampak yang ekstrim bagi kehidupan kita. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu adanya pendekatan yang holistik dalam pengelolaan energi yaitu energi berkelanjutan (sustainable energy), yang meliputi tiga dimensi, sosial, ekonomi dan lingkungan dan tidak hanya mementingkan kebutuhan energi saat ini namun juga mempertimbangkan kebutuhan generasi. Konsep energi berkelanjtuan


(32)

menggunakan prinsip hirarki energi dalam memprioritaskan penyelesaian berdasarkan tingkat keberlanjutan suatu aktivitas yaitu: konservasi energi – merubah perilaku dalam menurunkan permintaan energi, efisiensi energi – menggunakan teknologi untuk mereduksi permintaan energi dan emisi polutan, energi terbarukan – sebagai sumber energi berkelanjutan untuk mengganti bahan bakar fosil, energi konvensional (minyak, gas dan batubara) - dengan menggunakan teknologi energi energi rendah/bebas karbon dan eksploitasi energi konvensional – seperti yang kita kerjakan saat ini ( Widodo, 2008).

Tidak diragukan lagi bahwa sel surya adalah salah satu sumber energi yang ramah lingkungan dan sangat menjanjikan pada masa yang akan datang, karena tidak ada polusi yang dihasilkan selama proses konversi energi (bersih lingkungan), tidak memerlukan fluida (air dan gas) untuk mentransfer, memicu dan menimbulkan energi yang di hasilkannya. Karena fluida merupakan media pembawa polutan dari suatu tempat ke tempat lain, sehingga polutan yang dikeluarkan/diemisikan semakin menyebar dan berakumulasi dengan polutan lain ke lokasi yang jauh dari sumber energi. Hal inilah yang menyebabkan energi yang bersumber bahan bakar batu bara, minyak dan lain-lain menjadi tidak ramah lingkungan. Sel surya juga mempunyai sumber energi yang banyak tersedia di alam, yaitu sinar matahari, terlebih di negeri tropis semacam Indonesia yang menerima sinar matahari sepanjang tahun. Biaya energi yang dihasilkan dari sel surya per kWH pada masa yang akan datang dapat berkompetisi dengan energi terbarukan lainnya dan juga dengan sumber energi konvensional, seperti batubara (Wenas, 2008).


(33)

Indonesia menerima sinar matahari rata-rata 250 – 300 W/m² pertahun, dan 14 jam/hari, potensi ini yang harus bisa dimanfaatkan untuk penggunaan energi alternatif sel surya ini. Permasalahan mendasar dalam teknologi sel surya adalah efisiensi yang sangat rendah dalam merubah energi surya menjadi energi listrik, yang sampai saat ini efisiensi tertinggi yang dicapai tidak lebih dari 20%, itupun pada skala laboratorium (Astawa, 2007).

2. 4 Lensa Tipis

Ketika cahaya menimpa permukaan benda, sebagian cahaya dipantulkan, sisanya diserap oleh benda (dan di ubah menjadi energi panas). Jika benda tersebut transparan seperti kaca atau air, sebagian besar akan diteruskan. Untuk benda – benda seperti cermin berlapis perak, lebih dari 95% cahaya dapat dipantulkannya kembali.

Permukaan – permukaan yang memantulkan cahaya tidak harus selalu datar. Cermin cembung menimbulkan pantulan pada permukaan luar bentuk sferis sehingga pusat permukaan cermin menggembung keluar menuju orang yang melihat. Cermin dikatakan cekung jika permukaan pantulnya ada pada permukaan dalam bola sehingga pusat cermin melengkung menjauhi orang yang melihat. Pemantulan cahaya berbeda pada bidang datar dan bidang tidak datar, pada bidang tidak datar pemantulan cahaya menyebar secara acak (Hecht, 1994).

Lensa tipis biasanya berbentuk cekung, cembung, datar atau kombinasi dari ketiganya. Keutamaan lensa adalah karena dapat membentuk bayangan benda. Lensa cembung ganda, mempunyai index bias lebih besar dari udara luar (Halliday, 1996).


(34)

Gambar 3. Pemantulan cahaya pada bidang datar & tidak datar (Zemansky, 1972)

Pada lensa cekung cahaya yang sejajar dan dekat dengan sumbu optik (paraksial) dibiaskan menyebar seakan-akan berasal dari suatu titik fokus maya di belakang lensa, oleh sebab itu lensa cekung dikatakan bersifat divergen. Sedangkan pada lensa cembung cahaya paraksial dibiaskan menuju ke titik fokus nyata di depan lensa, sehingga lensa cembung dikatakan bersifat konvergen. Jarak antara lensa dengan titik fokusnya dinamakan jarak fokus.

f f

f = titik fokus

Gambar 4. Berkas cahaya pada lensa bikonveks ( Halliday, 1996 )

Gambar 4. di atas, menunjukkan bahwa cahaya yang datang dari tempat jauh (tak berhingga), maka akan dibelokkan menuju ke titik fokus (f), sedangkan untuk cahaya yang datang dari titik fokus f suatu lensa, maka cahaya akan di paralelkan menuju tak terhingga. Sumbu lensa merupakan garis lurus yang melewati titik fokus f


(35)

lensa dan tegak lurus terhadap kedua permukaannya. Dari hukum Snell, kita dapat melihat bahwa setiap berkas dibelokkan menuju sumbu pada ke dua permukaan lensa.

Jika suatu objek berada didepan lensa (di luar titik fokus lensa), maka bayangan objek tersebut dapat diperbesar dan mempunyai posisi bayangan yang terbalik dan berada di belakang lensa seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

objek V

f f V’

Gambar 5. Sifat pemantulan cahaya pada lensa ( Halliday, 1996 )

Jika berkas-berkas yang paralel dengan sumbu jatuh pada lensa tipis, maka akan di fokuskan pada satu titik (f). Berkas-berkas paralel akan difokuskan pada satu bagian kecil yang hampir berupa titik jika diameter lensa lebih kecil dibandingkan dengan radius kelengkungan kedua permukaan lensa. Kriteria ini dipenuhi oleh lensa yang sangat tipis dibandingkan dengan diameternya. Titik fokus lensa bisa ditemukan dengan menentukan titik – titik dimana berkas – berkas cahaya matahari atau benda jauh lainnya dibentuk menjadi bayangan yang tajam.(Robert, 1995).

Agustin Fresnel mengurangi berat dan ketebalan lensa dengan memindahkan “bagian silindris” dari lensa seperti mengubah bentuknya namun tanpa mengubah cahaya dari hasil pembiasannya. Lensa Fresnel ini digunakan untuk meningkatkan


(36)

intensitas cahaya, digunakan untuk mercusuar, dengan meningkatkan kekuatan lensa (lensa semakin tebal). Ia mengamati bahwa ada semacam bagian prisma bersusun yang mengelilingi lampu tersebut. Hal inilah yang membuat mengapa lampu mercusuar dapat memancarkan cahaya begitu kuat meskipun dilihat pada jarak yang sangat jauh (Zemansky, 1972).

2. 5 Heat Stress

Perpindahan panas dari proses aktifitas ke lingkungan terjadi secara radiasi adalah proses perpindahan panas dimana permukaan obyek seluruhnya secara konstan memancarkan panas dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Laju pancaran ditentukan oleh suhu dari permukaan radiasi (Ganong, 2001).

Konduksi adalah transfer panas dari atom ke atom atau dari molekul ke molekul melalui transfer berturut -turut dari energi kinetik. Kehilangan panas melalui konduksi udara akan menyebarkan panas dari proses aktifitas yang cukup besar walaupun dalam keadaan normal. Panas adalah suatu energi kinetik dari molekul, dan molekul yang menyusun mesin terus-menerus mengalami gerakan vibrasi.

Sebagian besar energi dari gerakan ini dipindahkan ke udara bila suhu udara lebih rendah dan mengakibatkan meningkatnya kecepatan gerakan molekul udara. Suhu mesin yang berlekatan dengan udara menjadikan suhu udara sama dengan suhu permukaan mesin. Jika suhu udara dan permukaan mesin sama, maka tidak terjadi lagi kehilangan panas dari permukaan mesin ke udara. Oleh sebab itu konduksi panas dari permukaan mesin ke udara mempunyai keterbatasan kecuali udara yang


(37)

dipanaskan bergerak sehingga timbul udara baru. Udara yang tidak panas secara terus menerus disebarkan melalui udara yang bergerak, fenomena semacam ini disebut konveksi udara (Mumford, 2004).

Kehilangan panas melalui konveksi udara disebut konveksi. Panas dapat diperoleh atau dihilangkan dengan jalan konveksi ke udara, air atau cairan lain yang kontak dengan tubuh dan media lain yang berdekatan menghasilkan perpindahan panas dengan konduksi sejalan atau sesuai dengan tingkat panas. Hal tersebut adalah pertukaran panas dengan cara konveksi, analog dengan pertukaran dari larutan melalui besarnya aliran. Walaupun ketika kita diam tak bergerak, udara di sekitar kita bergerak karena udara mengembang akibat menyerap panas dari tubuh kita.

Panas yang dihasilkan selama proses produksi akan menyebar ke seluruh lingkungan kerja, sehingga mengakibatkan suhu udara di lingkungan kerja juga meningkat. Lingkungan kerja yang panas diukur dengan beberapa pengukuran seperti suhu kering, suhu basah, suhu bola, kecepatan angin dan kelembaban udara. Gabungan dari pengukuran suhu basah, suhu kering, suhu bola, kelembaban udara dan kecepatan angin disebut dengan iklim kerja (Quest, 2004).

Heat Stress timbul dari bermacam – macam kondisi di mana tubuh mendapat paparan dari pemanasan yang berlebih. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi heat stress antara lain :

1. Suhu

2. Kelembaban udara


(38)

4. Suhu basah alami 5. Gerak aliran udara 6. Pakaian yang dikenakan

7. Keaktifan fisik ( metabolisme tubuh )

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Kep-51/MEN/1999, tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja, pasal 1 ayat 5 berbunyi: “Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya”.

Parameter yang digunakan untuk menilai tingkat iklim kerja adalah Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB). Keputusan Menaker Nomor: Kep-51/MEN/1999, Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja, pasal 1 ayat 9 berbunyi “Indeks suhu Basah dan Bola (Wet Bulb Globe Temperature Index) yang disingkat ISBB adalah parameter untuk menilai tingkat iklim kerja yang merupakan hasil perhitungan antara suhu udara kering, suhu basah alami dan suhu bola”.

Pengukuran suhu basah dan suhu kering menggunakan peralatan yang sama yaitu termometer suhu udara, perbedaannya terletak pada pemasangan kain katun pada bola (bulb) termometer tersebut. Suhu basah menunjukkan keadaan uap air dan angin di udara. Suhu bola atau suhu radiasi merupakan pengukuran suhu akibat adanya radiasi panas di lingkungan. Radiasi panas bisa berasal dari sinar matahari, proses produksi ataupun proses metabolisme tubuh. Kelembaban udara mengukur


(39)

banyaknya uap air yang berada di udara sedangkan kecepatan gerakan udara atau angin merupakan pengukuran terhadap gerakan udara.

Indeks suhu basah dan bola di luar ruangan dengan panas radiasi: ISBB = 0,7 suhu basah alami + 0,2 suhu bola + 0,1 suhu kering Indeks suhu basah dan bola di dalam atau di luar ruangan tanpa panas radiasi:

ISBB = 0,7 suhu basah alami + 0,3 suhu bola

2.5.1 Dampak Heat Stress Terhadap Kesehatan

Tubuh kita selalu menimbulkan panas dan dipengaruhi serta mempengaruhi lingkungan. Panas tubuh akan lebih meningkat lagi jika beraktifitas, sehingga semakin banyak panas yang harus dikurangi. Ketika lingkungan mempunyai panas atau kelembaban atau mempunyai suatu sumber dari pancaran panas (misalnya, suatu tanur atau matahari), tubuh harus bekerja lebih keras untuk membebaskan panas nya. Jika ada pergerakan udara (misalnya dari kipas) hal ini mempermudah proses pendinginan bagi tubuh akibat panas pada lingkungan (OSHA, 2007).

Toleransi suhu tubuh berada pada daerah yang sempit, 36 - 37,5 ºC. Peningkatan di dalam suhu tubuh dari lebih dari 1 derajat berarti tubuh itu mempunyai kesulitan berhadapan dengan panas di lingkungan. Respon tubuh terhadap panas antara lain :

1. Peningkatan suhu tubuh

2. Peningkatan denyut jantung / nadi 3. Peningkatan aliran darah


(40)

4. Peningkatan kebutuhan oksigen

5. Peningkatan asam laktat dalam otot dapat mempercepat kelelahan 6. Berkeringat dan terjadi pengeluaran elektrolit mengakibatkan dehidrasi

Jika faktor-faktor di atas terus berlanjut maka akan menyebabkan heat stroke (sengatan panas), heat exhaustion (kelelahan karena panas), heat cramp (kejang panas), heat collapse (fainting), heat rashes, heat fatigue dan heat burn (luka bakar).

Heat Stress merupakan salah satu faktor yang pengaruhnya cukup dominan terhadap kinerja sumber daya manusia bahkan pengaruhnya tidak terbatas pada kinerja saja melainkan dapat lebih jauh lagi, yaitu pada kesehatan dan keselamatan tenaga kerja. Untuk itu diperlukan standar mengenai pengukuran iklim kerja (heat stress) dengan parameter indeks suhu basah dan bola. Standar pengukuran iklim kerja (heat stress) dengan parameter indeks suhu basah dan bola mencakup prinsip pengukuran, peralatan, prosedur kerja, penentuan titik pengukuran dan perhitungan. Standar pengukuran ini merupakan cara pemantauan lingkungan yang mempunyai potensi bahaya bagi manusia yang bersumber dari iklim kerja (heat stress).

Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas) dengan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) tidak diperkenankan melebihi:

a) Untuk beban kerja ringan : 30,0 ºC b) Untuk beban kerja sedang : 26,7 ºC c) Untuk beban kerja berat : 25,0 ºC


(41)

Catatan :

1. Beban kerja ringan membutuhkan kalori 100 – 200 kilo kalori/jam.

2. Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih besar 200 – 350 kilo kalori/jam. 3. Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih besar dari 350–500 kilo kalori/jam

SNI 16-7063(2004).

Contoh klasifikasi beban kerja, antara lain : a. Pekerjaan ringan ( tangan ) : menulis, b. Pekerjaan berat ( tangan ): mengetik

c. Beban kerja Berat untuk satu tangan : memalu ( pembuat sepatu ) d. Beban kerja ringan dengan dua tangan : berkebun

e. Beban kerja sedang untuk tubuh : mengepel lantai, membersihkan karpet f. Beban kerja berat untuk seluruh tubuh : menebang pohon

Pengendalian Heat Stress dilakukan dengan mengatur waktu beraktifitas sehubungan dengan tingkat paparan ISBB nya seperti tabel di bawah ini :

Tabel 2.1 Pengendalian Heat Stress

Pengaturan Waktu Aktif ISBB (ºC) Waktu Aktif Waktu Istirahat Beban Kerja

Ringan Sedang Berat

75% 25% 30,6 28,0 25,9

50% 50% 31,4 29,4 27,9

25% 75% 32,2 31,1 30,0


(42)

2.6Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 6. Kerangka Konsep Penelitian

- Daya Output Max

- Suhu

- Kelembaban Udara

- Suhu Radiasi Lingkungan

- Suhu Basah - Kuat Arus

- Besar Tegangan

Variasi Jarak :

- 10, 20 … 100 cm

Variasi Sumber Cahaya :

Variasi Dioptri Lensa

- 10 dioptri - 20 dioptri - 40 Watt - 100 Watt

Heat Stress (ISBB)


(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Spesifikasi Sel Surya

Sel surya yang digunakan pada penelitian eksperimen ini mempunyai data – data sebagai berikut :

Ukuran sel : 6 x 6 cm

Tipe : polycrystalline module

Voc : 4 volt

Ic : 20 µA

Ppeak : 80 µW

Kondisi di atas merupakan nilai puncak (kemampuan maksimal) dari sel surya ini jika di sinari matahari penuh ( pukul 11.00 )

4.2 Kondisi Awal Indoor

Untuk mendapatkan gambaran awal dari kondisi, perlu dilakukan pengukuran parameter – parameter tertentu sebagai nilai referensi sebelum perlakuan eksperimen. Parameter – parameter yang di ukur adalah :

Suhu ruangan : 26,3 ºC Kelembaban udara : 73,0 %


(44)

Suhu Bola Basah : 25,0 ºC Kecepatan alir udara : 0,2 m/s Suhu radiasi lingkungan : 26,5 ºC

ISBB : 25,5 ºC

Intensitas Cahaya : 11 Lux

4.3 Perubahan Tegangan dan Arus pada Variasi Jarak 4.3.1 Variasi Jarak tanpa menggunakan Lensa

Variasi jarak yang dilakukan adalah perubahan jarak antara panel sel surya terhadap sumber cahaya dalam rentang 100 cm. Tegangan (V) dan arus (i) yang di tampilkan merupakan nilai rata-rata. Data ini merupakan gambaran kapasitas standar sel surya di lokasi indoor.

Tabel 4.1 Hasil Daya Keluaran pada variasi jarak sumber cahaya 40W dengan sel surya

Jarak r (cm)

Tegangan V(volt)

Arus i(µA)

Daya P (µW)

10 3.007 0.5 1.5035

20 2.417 0.4 0.9668

30 2.053 0.3 0.6159

40 1.82 0.3 0.546

50 1.65 0.267 0.44055

60 1.51 0.2 0.302

70 1.39 0.2 0.278

80 1.28 0.2 0.256

90 1.19 0.2 0.238


(45)

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

Jarak SC40W - Sel Surya (cm)

P a ra m e te r-P a ra m e te r D a y a V(volt) I(µA) P (µW)

Gambar 8. Daya Keluaran pada variasi jarak SC Frosted 40 W dengan sel surya

Pada Tabel 4.1 di atas, tegangan maksimum V (3,007 volt), kuat arus i (0,5 µA) dan daya maksimum P (sekitar 1,5 µW) dihasilkan pada jarak sel surya 10 cm dari sumber cahaya.

Tabel 4.2 Hasil Daya Keluaran pada variasi jarak Sumber Cahaya 100 W dengan sel surya

Jarak r (cm) Tegangan V(volt) Arus I(µA) Daya P (µW)

5 4.12 0.6 2.472

10 3.76 0.6 2.258

20 3.14 0.5 1.570

30 2.75 0.4 1.101

40 2.48 0.4 0.991

50 2.25 0.3 0.675

60 2.08 0.3 0.624

70 1.95 0.3 0.585

80 1.84 0.3 0.552

90 1.74 0.3 0.465


(46)

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 2.6 2.83 3.2 3.4 3.6 3.8 4 4.2 4.4

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

Jarak SC100W - Sel Surya (cm)

P a ra m et er -P ar am e te r D ay a V(volt) I(µA) P (µW)

Gambar 9. Daya Keluaran pada variasi jarak Sumber Cahaya Clear 100 W dengan sel surya

Pada Tabel 4.2, tegangan maksimum V (4,12 volt), kuat arus i (0,6 µA) dan daya maksimum ( 2,472 µW ) tercapai pada posisi sel surya 5 cm dari sumber cahaya. Pada jarak 10 cm dari sumber cahaya, sel surya menghasilkan daya sekitar 2,258 µW lebih besar dibandingkan pada posisi yang sama jika menggunakan sumber cahaya 40 W seperti pada tabel 4.1 sebelumnya.

4.3.2 Variasi Jarak dengan menggunakan Lensa

Pada Lampiran 1.1, 1.2, 1.3 dan 1.4 di tampilkan nilai tegangan rata-rata maksimum dan kuat arus rata–rata maksimum masing – masing grup variasi. Hasil data-data pada Lampiran 1.1, akan di pilih beberapa posisi yang memberikan daya besar (hasil kali nilai tegangan terbesar dengan kuat arus terbesar yang di hasilkan),


(47)

untuk mewakili masing – masing variasi jarak pada jenis sumber cahaya 40 W. Ini terlihat pada jarak Sumber Cahaya 40 W dengan sel surya pada range 20 – 60 cm, dan jarak sumber cahaya terhadap lensa 10 dioptri berada pada range 9 – 30 cm ada kenaikan nilai daya yang cukup signifikan.

Variasi Jarak SC40W-L10-SS terhadap Daya-Daya Maksimum

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 S C 4 0W-L 10-S S ( c m ) 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 D a ya-D a ya M aksi m u m ( u W)

SC - SS 100 90 80 70 60 50 40 30 20

SC - L10 0 40 0 40 0 40 0 30 0 30 0 20 0 20 0 14 0 9

P 0.2 0.3 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 0.4 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6 0.9 1 1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Gambar 10. Pengaruh variasi jarak SC-SS, SC-L10 terhadap Daya Keluaran Maksimum (SC 40W)

Keterangan :

SC40W = Sumber Cahaya 40 W SC-SS = Jarak antara SC - SS

SC100W = Sumber Cahaya 100 W SC-L10 = Jarak antara SC – L10


(48)

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap Daya-Daya Maksimum 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 Ja rak S C -S S , S C -L 10 ( c m) 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 Da ya-Day a M aks imu m ( u W )

SC-SS 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10

SC-L10 0 30 0 30 0 20 0 20 0 20 0 20 0 15 0 10 0 10 0 5

P 0.3 0.7 0.5 0.7 0.5 0.7 0.6 1 0.6 1.1 0.7 1.1 1 1.1 1.1 1.5 1.6 1.6 2.2 2.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Gambar 11. Pengaruh variasi jarak SC-SS, SC-L10 terhadap Daya Keluaran Maksimum (SC 100W)

Pada Lampiran 1.3, di lakukan langkah identifikasi seperti di atas untuk memilih daya – daya besar saja. Dan daya keluaran yang besar terdapat pada range jarak sumber cahaya 100 W terhadap sel surya 10 – 90 cm, range jarak sumber cahaya terhadap lensa 5 – 30 cm. Data – data hasil identifikasi ini kemudian di tabulasikan pada Tabel 4.3 dan 4.4.

Untuk melihat efek parameter – parameter daya ( kuat arus i dan tegangan V ) akibat perubahan jarak dan penggunaan lensa 20 dioptri, maka langkah – langkah seperti di atas juga di terapkan. Hal ini dapat di lihat dari Gambar 13 dan Gambar 14 di bawah ini.


(49)

Variasi SC40W-L20-SS terhadap Daya-Daya Maksimum

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 Jar ak S C -L 20-S S ( cm ) 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00 D aya-D aya K el u ar an M ax ( u W )

SC - SS 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10

SC - L20 0 0 0 0 50 0 30 0 30 0 20 0 15 0 10 0 5 P 0.1870.236 0.2560.276 0.2810.4060.416 0.4470.519 0.5490.585 0.6900.9080.980 1.0321.467 1.831

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Gambar 12. Pengaruh Daya Maksimum pada Variasi Jarak dengan menggunakan Lensa 20 dioptri dan Sumber Cahaya 40 W

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap Daya-Daya Maksimum

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 J a ra k SC -SS, SC -L 2 0 ( c m ) 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00 2.20 2.40 Daya M ax. ( u W )

SC-SS 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10

SC-L20 0 10 0 10 0 10 0 10 0 10 0 10 0 10 0 10 0 5 0 5 P 0.32 0.63 0.52 1.04 0.55 1.09 0.58 1.12 0.62 1.49 0.66 1.57 0.97 1.59 1.07 1.64 1.54 1.75 2.20 2.22

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Gambar 13. Pengaruh Daya Maksimum pada Variasi Jarak dengan menggunakan Lensa 20 dioptri dan Sumber Cahaya 100 W


(50)

Keterangan :

SC = Sumber Cahaya SS = Sel Surya

L10 = Lensa 10 dioptri L20 = Lensa 20 dioptri

Dengan cara yang sama pada Lampiran 1.1 dan 1.3, juga akan dilakukan untuk Lampiran 1.2 dan 1.4. Pada penggunaan sumber cahaya 40 W dan lensa 20 dioptri, daya keluaran yang besar terdapat pada range jarak sumber cahaya terhadap sel surya yaitu 10 – 50 cm, range jarak sumber cahaya terhadap lensa 20 dioptri pada 5 – 30 cm. Dengan menggunakan sumber cahaya 100 W daya keluaran yang besar terdapat pada range jarak sumber cahaya terhadap sel surya : 10 – 90 cm, range jarak sumber cahaya terhadap lensa 20 dioptri pada 5 – 10 cm.. Kemudian hasilnya akan di tabulasi pada Tabel 4.3 dan 4.4.


(51)

4.3.3 Variasi Jarak dengan menggunakan Variasi 2 Lensa

Dari Lampiran 2.1, 2.2, 3.1 dan Lampiran 3.2 di tampilkan nilai tegangan dan arus rata – rata maksimum masing – masing grup variasi 2 lensa.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 V ar iasi Jar ak S C -L 10-L 20-S S ( cm ) 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6 0.65 0.7 0.75 0.8 0.85 0.9 0.95 1 Po Pt ( u W )

SC - SS 60 50 40 30

SC - L10 10 10 10 10

SC-L20 35 30 20 15

Po 0.31 0.50 0.55 0.63

Pt 0.52 0.56 0.63 0.93

1 2 3 4 5 6

Gambar 14. Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC-L10-L20-SS, SC-L10 =10 cm, SC 40 W

Keterangan :

SC = Sumber Cahaya SS = Sel Surya

L10 = Lensa 10 dioptri L20 = Lensa 20 dioptri

Po = Daya Maksimum Awal Pt = Daya Maksimum Efek

Pada Gambar 14 di atas, posisi sumber cahaya dengan sel surya yang dipilih berada pada range jarak 30 – 60 cm, posisi sumber cahaya pada lensa ke dua (L20) berada pada range jarak 15 – 35 cm dan ternyata daya


(52)

maksimum terjadi pada posisi lensa pertama (L10) di 10 cm. Kemudian data tersebut di tabulasikan pada Tabel 4.5.

Pada tahap ini juga dilakukan pengukuran tingkat intensitas cahaya awal sebelum pengukuran dan pada saat pengukuran.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 V a ri asi J ar ak S C 40 W -L 20-L 10 -S S ( c m ) 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6 0.65 0.7 0.75 0.8 0.85 0.9 0.95 1 Po Pt ( u W )

SC - SS 50 40 30

SC - L20 10 10 10

SC - L10 30 25 20

Po 0.45 0.55 0.62

Pt 0.56 0.61 0.91

1 2 3 4 5

Gambar 15. Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC40W-L20-L10-SS

Kemudian dilakukan langkah yang sama seperti di atas untuk memilih posisi yang memberikan nilai maksimum yang mewakili keadaan tiap kelompok jarak tersebut. Posisi sumber cahaya 40 W dengan sel surya yang dipilih berada pada range jarak 30 – 50 cm, posisi sumber cahaya pada lensa ke dua (L10) berada pada range


(53)

jarak 20 – 30 cm dan ternyata daya maksimum terjadi pada posisi lensa pertama (L20) juga di 10 cm dari sumber cahaya.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 V ar iasi J ar ak S C 1 00W -L 20-L 10-S S ( c m ) 0 0.25 0.5 0.75 1 1.25 1.5 1.75 2 2.25 Po P t ( u W )

SC-SS 90 70 50 20

SC-L20 10 10 10 5

SC-L10 50 40 30 10

Po 0.51 0.57 0.66 1.54

Pt 1.07 1.49 1.57 2.13

1 2 3 4 5 6

Gambar 16. Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC-L20-L10-SS, SC = 100W


(54)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 V ari a si Jarak S C 100W -L 10-L 20-S S ( cm ) 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 Po Pt ( u W )

SC - SS 50 40 30

SC-L10 10 10 10

SC-20 20 15 15

Po 0.90 0.98 1.10

Pt 1.05 1.49 1.50

1 2 3 4 5

Gambar 17. Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC-L10-L20-SS; SC=100 W

Posisi sumber cahaya 100 W dengan sel surya yang dipilih berada pada range jarak 20 – 90 cm, posisi sumber cahaya pada lensa ke dua (L10) berada pada range jarak 10 – 50 cm dan ternyata daya maksimum terjadi pada posisi lensa pertama (L20) di 10 cm. Kemudian data di tabulasi pada Tabel 4.5 dan 4.6. Fenomena ini juga terjadi pada susunan SC100W-L10-L20-SS, daya maksimum terjadi pada posisi lensapertama (L10) di 10 cm, lensa kedua (L20) pada 15-20 cm dan SC-SS pada 30 – 50 cm.


(55)

Pada data primer yang di dapatkan melalui eksperimen (hasil tabulasi dari Lampiran 1.1, 1.2, 1.3, 1.4, 2.1, 2.2, 3.1 dan 3.2), pengukuran heat stress hanya dilakukan pada kondisi yang memberikan daya maksimum. Nilai heat stress di bandingkan pada Nilai Ambang Batas (di bawah NAB untuk beban / aktifitas ringan < 30.0 ºC atau di atas NAB > 30.0 ºC). Nilai heat stress (WBGT = ISBB) merupakan hasil perimbangan dari parameter suhu (DB), suhu bola basah (WB), suhu radiasi lingkungan (Globe), Kelembaban Udara (Relative Humidity) dan Kecepatan Alir Udara (Air Flow).

Hal ini dapat di lihat pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6. Di mana sebelum di lakukan pengambilan data utama, pengukuran kondisi ISBB awal serta tingkat intensitas cahaya di lakukan untuk setiap sumber cahaya yang berbeda. Selanjutnya dilakukan pengukuran ISBB pada jarak 150 cm dari sumber cahaya yang berbeda.

Pada Tabel 4.3, dengan menggunakan lensa 10 dioptri terlihat sel surya pada jarak 60 cm dari sumber cahaya 40 W dan lensa 30 cm dari sumber cahaya memberikan efesiensi daya terbesar, yaitu 169,3 %, dengan ISBB sebesar 25,8 ºC. Tetapi daya keluaran terbesar di hasilkan dari sel surya berjarak 20 cm dari sumber cahaya dan lensa berada pada 9 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 1,02 µW, dengan ISBB sebesar 26,3 ºC. Sedangkan jika menggunakan lensa 20 dioptri, sel surya berjarak 30 cm dari sumber cahaya 40 W dan lensa berjarak 15 cm dari sumber cahaya mempunyai efesiensi daya terbesar yaitu 131,7 % dengan ISBB sebesar 26,3


(56)

ºC. Dan daya keluaran terbesar dihasilkan dari sel surya berjarak 10 cm dan lensa berjarak 5 cm dari sumber cahaya, yaitu 1,83 µW dengan ISBB sebesar 26,4 ºC.

Pada Tabel 4.4, , dengan menggunakan lensa 10 dioptri terlihat sel surya pada jarak 70 cm dari sumber cahaya 100 W dan lensa 20 cm dari sumber cahaya memberikan efesiensi daya terbesar, yaitu 178,26 %, dengan ISBB sebesar 26,5 ºC. Tetapi daya keluaran terbesar di hasilkan dari sel surya berjarak 10 cm dari sumber cahaya dan lensa berada pada 5 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 2,24 µW, dengan ISBB sebesar 27,0 ºC. Sedangkan jika menggunakan lensa 20 dioptri, sel surya berjarak 50 cm dari sumber cahaya 100 W dan lensa berjarak 10 cm dari sumber cahaya mempunyai efesiensi daya terbesar yaitu 235,22 % dengan ISBB sebesar 27,0 ºC. Dan daya keluaran terbesar dihasilkan dari sel surya berjarak 10 cm dan lensa berjarak 5 cm dari sumber cahaya, yaitu 2,23 µW dengan ISBB sebesar 27,3 ºC.

Pada Tabel 4.5, dengan memposisikan sel surya pada jarak 60 cm dari sumber cahaya 40 W dan menggunakan lensa I 10 dioptri pada jarak 10 cm, lensa II 20 dioptri berjarak 35 cm dari sumber cahaya akan memberikan efesiensi daya terbesar, yaitu 168,63 %, dengan ISBB sebesar 26,4 ºC. Tetapi daya keluaran terbesar di hasilkan dari sel surya berjarak 30 cm dari sumber cahaya dan lensa I 10 dioptri berada pada 10, lensa II 20 dioptri pada 15 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 0,93 µW, ISBB sebesar 26,7 ºC. Sedangkan jika menggunakan susunan lensa I 20 dioptri 10 cm, lensa II 10 dioptri 20 cm dan sel surya berjarak 30 cm dari sumber cahaya 40


(57)

W akan memberikan efesiensi daya terbesar yaitu 146,65 % sekaligus daya keluaran terbesar yaitu 0,91 µW dengan ISBB sebesar 26,5 ºC.

Tabel 4.6 memberikan gambaran bahwa, dengan memposisikan sel surya pada jarak 40 cm dari sumber cahaya 100 W dan menggunakan lensa I 10 dioptri pada jarak 10 cm, lensa II 20 dioptri berjarak 15 cm dari sumber cahaya memberikan efesiensi daya terbesar, yaitu 150,91 %, dengan ISBB sebesar 27,4 ºC. Tetapi daya keluaran terbesar di hasilkan dari sel surya berjarak 30 cm dari sumber cahaya dan lensa I 10 dioptri berada pada 10, lensa II 20 dioptri pada 15 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 1,50 µW, dengan ISBB sebesar 27,4 ºC. Sedangkan jika menggunakan susunan lensa I 20 dioptri 10 cm, lensa II 10 dioptri 40 cm dan sel surya berjarak 70 cm dari sumber cahaya 100 W akan memberikan efesiensi daya terbesar yaitu 259,57 % . Daya keluaran terbesar di capai jika posisi lensa I 20 dioptri 5 cm, lensa II 10 dioptri 10 cm dan jarak sel surya 20 cm dari sumber cahaya 100 W yaitu 2,13µW dengan ISBB sebesar 27,5 ºC.

4.5 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Parameter-Parameter Heat Stress

4.5.1 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Suhu

Hasil pengukuran untuk mengetahui hubungan jarak sumber cahaya – sel surya terhadap suhu ruangan dapat di lihat pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6.


(58)

Variasi Jarak SC40-L10-SS terhadap Suhu

0 10 20 30 40 50 60 70 V ari asi Jarak S C -L -S S ( cm ) 28.3 28.4 28.5 28.6 28.7 28.8 28.9 29 29.1 29.2 29.3 S uhu ( C )

SC-SS 60 50 40 30 20

SC-L 30 20 20 14 9

T 28.6 28.8 29.0 29.0 29.2

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 18. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W-Lensa 10 dioptri terhadap Suhu

Pada eksperimen yang menggunakan sumber cahaya 40 W dan lensa 10 dioptri, suhu maksimum tercapai pada jarak sumber cahaya dengan sel surya 20 cm dan posisi lensa 9 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 29,2 ºC. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 40 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan suhu 29,5 ºC. Untuk pemakaian sumber cahaya 100 W dan penggunaan lensa 10 dioptri pada posisi 5 cm dari sumber cahaya yang berjarak 10 cm terhadap sel surya akan memberikan suhu 29,6 ºC. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 100 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan suhu 29,8 ºC.


(59)

Variasi Jarak SC40W-L20-SS terhadap Suhu

0 10 20 30 40 50 60 Va ri a s i J a ra k SC -L -SS ( c m ) 28.7 28.8 28.9 29 29.1 29.2 29.3 29.4 29.5 29.6 S uhu ( C )

SC-SS 50 40 30 20 10

SC-L 30 20 15 10 5

T 29.0 29.3 29.3 29.4 29.5

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 19. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W-Lensa 20 dioptri terhadap Suhu

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap Suhu

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Va ri a s i J a ra k SC -L -SS ( c m ) 29 29.1 29.2 29.3 29.4 29.5 29.6 29.7 S u hu ( C )

SC-SS 90 70 50 30 10

SC-L 30 20 20 10 5

T 29.2 29.2 29.3 29.4 29.6

1 2 3 4 5 6 7


(60)

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap Suhu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Va ri a s i J a ra k SC -L -SS (c m) 29.35 29.4 29.45 29.5 29.55 29.6 29.65 29.7 29.75 29.8 29.85 S uhu ( C )

SC-SS 90 70 50 40 30 10

SC-L 10 10 10 10 10 5

T 29.5 29.5 29.6 29.6 29.7 29.8

1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 21. Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 20 D terhadap Suhu

4.5.2 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Kelembaban Udara

Hasil pengukuran untuk mengetahui hubungan jarak sumber cahaya – sel surya terhadap kelembaban udara dapat di lihat pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6.

Pada eksperimen yang menggunakan sumber cahaya 40 W dan lensa 10 dioptri, kelembaban udara (humidity) minimum tercapai pada jarak sumber cahaya dengan sel surya 30 cm dan posisi lensa 14 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 57,6 %. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 40 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan nilai kelembaban udara (humidity) 56,3%. Pengamatan yang sama juga di lakukan untuk sumber cahaya 100W.


(61)

Variasi Jarak SC40W-L10-SS terhadap Kelembaban Udara 0 10 20 30 40 50 60 70 V ar iasi Ja rak S C -L -S S 56 56.5 57 57.5 58 58.5 59 59.5 60 60.5 61 K e lem b ab an U d a ra (% )

SC-SS 60 50 40 30 20

SC-L 30 20 20 14 9

Humidity 60.6 60.5 59.0 57.6 57.9

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 22. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap Kelembaban Udara

Variasi Jarak SC40W-L20-SS terhadap Kelembaban Udara 0 10 20 30 40 50 60 Va ri a s i J a ra k SC -L -S S ( c m ) 55 55.5 56 56.5 57 57.5 58 58.5 K el em b a b an U d ar a ( % )

SC-SS 50 40 30 20 10

SC-L 30 20 15 10 5

Humidity 58.2 58.0 57.5 56.6 56.3

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 23. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 20 D terhadap Kelembaban Udara


(62)

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap Kelembaban Udara 0 20 40 60 80 100 V a ri a s i Ja ra k S C -L -S S (c m ) 60.8 61 61.2 61.4 61.6 61.8 62 62.2 62.4 62.6 62.8 K el e m b ab an U d ar a ( % )

SC-SS 90 70 50 30 10

SC-L 30 20 20 10 5

Humidity 62.6 62.1 62.1 61.8 61.4

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 24. Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 10 D terhadap Kelembaban Udara

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap Kelembaban Udara 0 20 40 60 80 100 V a ri a s i J a ra k S C -L -S S (c m) 61.05 61.1 61.15 61.2 61.25 61.3 61.35 61.4 61.45 61.5 61.55 K el e m b ab an U d a ra ( % )

SC-SS 90 70 50 40 30 10

SC-L 10 10 10 10 10 5

Humidity 61.5 61.5 61.4 61.3 61.3 61.2

1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 25. Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 20 D terhadap Kelembaban Udara


(63)

Untuk pemakaian sumber cahaya 100 W dan penggunaan lensa 10 dioptri pada posisi 5 cm dari sumber cahaya yang berjarak 10 cm terhadap sel surya akan memberikan kelembaban udara (humidity) minimum 61,4%. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 100 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan kelembaban udara (humidity) minimum 61,2%.

4.5.3 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Suhu Radiasi Lingkungan

Hasil pengukuran untuk mengetahui hubungan jarak sumber cahaya – sel surya terhadap suhu radiasi lingkungan (Globe) dapat di lihat pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6. Pada eksperimen yang menggunakan sumber cahaya 40 W dan lensa 10 dioptri, suhu radiasi lingkungan (Globe) maksimum tercapai pada jarak sumber cahaya dengan sel surya 20 cm dan posisi lensa 9 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 29,8 ºC. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 40 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan nilai suhu radiasi lingkungan (Globe) sebesar 30,1ºC.

Pengamatan yang sama juga di lakukan untuk sumber cahaya 100W. Untuk pemakaian sumber cahaya 100 W dan penggunaan lensa 10 dioptri pada posisi 5 cm dari sumber cahaya yang berjarak 10 cm terhadap sel surya akan memberikan suhu radiasi lingkungan (Globe) maksimum sebesar 30,9 ºC. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 100 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan suhu radiasi lingkungan (Globe) maksimum sebesar 31,6 ºC.


(64)

Variasi Jarak SC40W-L10-SS terhadap Suhu Radiasi Lingkungan 0 10 20 30 40 50 60 70 V a ri a s i J a ra k S C -L -S S (c m ) 28.6 28.7 28.8 28.9 29 29.1 29.2 29.3 29.4 29.5 29.6 29.7 29.8 29.9 S uhu R a di a s i Li ngk unga n ( C )

SC-SS 60 50 40 30 20

SC-L 30 20 20 14 9

T.Radiasi 29.0 29.4 29.5 29.6 29.8

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 26. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap Suhu Radiasi Lingkungan

Variasi Jarak SC40W-L20-SS terhadap Suhu Radiasi Lingkungan 0 10 20 30 40 50 60 V a ria s i ja ra k S C -L -S S ( c m ) 29.3 29.4 29.5 29.6 29.7 29.8 29.9 30 30.1 30.2 S uhu r a di a s i Li ngk unga n (C )

SC-SS 50 40 30 20 10

SC-L 30 20 15 10 5

T.Radiasi 29.6 29.7 29.8 29.9 30.1

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 27. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 20 D terhadap Suhu Radiasi Lingkungan


(65)

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap Suhu Radiasi Lingkungan 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 V ar ia si Jar ak S C -L -S S ( c m ) 29 29.2 29.4 29.6 29.8 30 30.2 30.4 30.6 30.8 31 S uhu R a di a s i Li ngk unga n ( C )

SC-SS 90 70 50 30 10

SC-L 30 20 20 10 5

T.Radiasi 29.7 29.7 30.1 30.5 30.9

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 28. Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 10 D terhadap Suhu Radiasi Lingkungan

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap Suhu Radiasi Lingkungan 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 V ar iasi j ar ak S C -L -S S (cm ) 29.5 30 30.5 31 31.5 32 S uhu R a di a s i Li ngk u nga n ( C )

SC-SS 90 70 50 40 30 10

SC-L 10 10 10 10 10 5

T.Radiasi 30.2 30.5 30.6 30.7 31.0 31.6

1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 29. Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 20 D terhadap Suhu Radiasi Lingkungan


(66)

4.5.4 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Suhu Basah

Pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6, diperlihatkan hasil pengukuran untuk mengetahui hubungan jarak sumber cahaya – sel surya terhadap suhu basah.

Pada eksperimen yang menggunakan sumber cahaya 40 W dan lensa 10 dioptri, suhu basah (WB) maksimum tercapai pada jarak sumber cahaya dengan sel surya 20 cm dan posisi lensa 9 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 24,8 ºC. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 40 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan nilai suhu basah (WB) maksimum sebesar 24,8 ºC.

Variasi Jarak SC40W-L10-SS terhadap Suhu Basah

0 10 20 30 40 50 60 70 V a ri a s i Jar ak S C -L -S S (cm ) 24.2 24.3 24.4 24.5 24.6 24.7 24.8 24.9 S uhu B a s a h ( C )

SC-SS 60 50 40 30 20

SC-L 30 20 20 14 9

T. Basah 24.4 24.5 24.5 24.6 24.8

1 2 3 4 5 6 7


(67)

Variasi Jarak SC40W-L20-SS terhadap Suhu Basah 0 10 20 30 40 50 60 Va ra is i J a ra k SC -L -SS ( c m ) 24.35 24.4 24.45 24.5 24.55 24.6 24.65 24.7 24.75 24.8 24.85 S uhu B a s a h (C )

SC-SS 50 40 30 20 10

SC-L 30 20 15 10 5

T. Basah 24.5 24.6 24.7 24.7 24.8

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 31. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 20 D terhadap Suhu Basah

Pengamatan yang sama juga di lakukan untuk sumber cahaya 100W.

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap Suhu Basah

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 V a ri as i Jar ak S C -L -S S ( cm ) 24.6 24.8 25 25.2 25.4 25.6 25.8 S uhu B asah ( C )

SC-SS 90 70 50 30 10

SC-L 30 20 20 10 5

T. Basah 25.0 25.2 25.3 25.4 25.7

1 2 3 4 5 6 7


(68)

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap Suhu Basah 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Va ri a s i J a ra k SC -L -SS (c m ) 25.3 25.35 25.4 25.45 25.5 25.55 25.6 25.65 S uhu B a s a h ( C )

SC-SS 90 70 50 40 30 10

SC-L 10 10 10 10 10 5

T. Basah 25.4 25.4 25.5 25.5 25.6 25.6

1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 33. Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 20 D terhadap Suhu Basah

Untuk pemakaian sumber cahaya 100 W dan penggunaan lensa 10 dioptri pada posisi 5 cm dari sumber cahaya yang berjarak 10 cm terhadap sel surya akan memberikan suhu basah (WB) maksimum sebesar 25,7 ºC. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 100 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan suhu basah (WB) maksimum sebesar 25,6 ºC.

4.5.5 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan ISBB

Pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6, diperlihatkan hasil pengukuran untuk mengetahui hubungan jarak sumber cahaya – sel surya terhadap heat stress, Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB).


(69)

Variasi Jarak SC40W-L10-SS terhadap ISBB 0 10 20 30 40 50 60 70 Va ri a s i J a ra k SC -L -SS ( c m ) 25.5 25.6 25.7 25.8 25.9 26 26.1 26.2 26.3 26.4 IS BB (C )

SC-SS 60 50 40 30 20

SC-L 30 20 20 14 9

ISBB 25.8 25.9 26.0 26.1 26.3

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 34. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap ISBB

Variasi Jarak SC40W-L20-SS terhadap ISBB

0 10 20 30 40 50 60 V a ri a s i J a ra k S C -L-S S ( c m) 25.8 25.9 26 26.1 26.2 26.3 26.4 26.5 IS B B ( C )

SC-SS 50 40 30 20 10

SC-L 30 20 15 10 5

ISBB 26.0 26.1 26.3 26.3 26.4

1 2 3 4 5 6 7


(1)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Perubahan jarak antara sumber cahaya dengan sel surya akan mempengaruhi nilai Indeks Suhu Basah dan Bola (Heat Stress)

2. Dengan menggunakan lensa untuk magnifikasi daya keluaran sel surya mengakibat kenaikan indeks Heat Stress dari 25,4 ºC menjadi 27,5 ºC 3. Pada eksperimen ini, nilai ISBB (Heat Stress) maksimum 27,5 ºC yang

berarti normal, tidak melewati Nilai Ambang Batas untuk beban kerja ringan yaitu 30,0 ºC .

4. Pada jarak 150 cm dari sumber cahaya, radiasi panas yang timbul tidak mengganggu lingkungan dan kesehatan karena paparan Heat Stress berkurang menjadi 25,7 ºC

5. Penggunaan Lensa dapat mempengaruhi besar daya keluaran yang dihasilkan sel surya.

6. Perubahan jarak antara sumber cahaya dengan sel surya akan mempengaruhi besar tegangan dan kuat arus yang di hasilkan.

a. Menempatkan lensa 10 dioptri pada jarak 5 cm dari sumber cahaya 100 W akan menghasilkan daya maksimum dari sel surya berjarak 10 cm dari sumber cahaya sebesar 2,24 µW.


(2)

b. Menempatkan lensa 20 dioptri pada jarak 10 cm dari sumber cahaya 100 W akan menghasilkan efesiensi daya keluaran dari sel surya berjarak 50 cm dari sumber cahaya sebesar 2,35 kali lebih besar dari daya keluaran semula tanpa lensa.

c. Menempatkan lensa 20 dioptri pada jarak 10 cm dari sumber cahaya 100 W dan lensa 10 dioptri pada jarak 40 cm akan menghasilkan efesiensi daya keluaran dari sel surya berjarak 70 cm dari sumber cahaya sebesar 2,59 kali lebih besar dari daya keluaran semula tanpa lensa.

6.2 Saran

1. Dalam penerapannya, direkomendasikan penggunaannya pada jarak minimal 150 cm dari pengguna untuk mengurangi efek heat stress yang ditimbulkan.

2. Pada aplikasi teknik ini, perlu di lakukan perancangan suatu rangkaian elektronik untuk menetapkan besar tegangan dan kuat arus sebagai variabel sehingga dapat melengkapi dokumen ilmiah yang bisa di kembangkan pada penelitian selanjutnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Akhadi, Mukhlis, 2000, “Listrik Murah atau Udara Bersih“, Batan, di akses dari http://www.elekroindonesia.com tanggal 20 Maret 2008

Anthony, Jerry, 1998, ”College Physics”, Pearson Education, Inc, Edisi V, California Astawa, Ketut S, 2007, “Energi, Kebutuhan dan Kenyataan”, di akses dari

http://www.geocities.com/k_astawa/Solar_energi.html tanggal 15 September

2008

Baker, Lindsay B & Kenny, Larry W, 2007, “ Exercising in The Heat and Sun “, President’s Council on Physical Fitness Sport, Washington

Beisser, Arthur, 1968, ”Konsep Fisika Modern”, Erlangga, Jilid I Edisi II, Jakarta Bethea, Damian & Parsons, Ken, 2002, ” The Development of Practical Heat Stress

Assessment Methodology for Use in UK Industry”, HSE Books, Norwich, UK Brown, Brandl TM, 2004, ” Dynamic Response Indicators of Heat Stress in Shaded and Non-Shaded Feedlot Cattle, Part 1 : Analyses of Indicators ”, The University of Nebraska, Lincoln

Buerau of Naval Personnel, 1969, “Basic Optics and Optical Instruments“, Dover Publications, Inc., New York

Depkes RI, 2001, “Bahan-Bahan Berbahaya dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Manusia”, Ditjen PPM & PL, Jakarta

El-Maaty, Abou, 2005, “Modelling and Simulation of a Photovoltaic Fuel Cell Hybrid System”, Kassel University, Germany

Ganong, W.F, 2001, “ Fisiologi Kedokteran”, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta

Halliday, David, 1996, “Fisika” Erlangga Edisi III, Jilid II, Jakarta Hecht, Eugene, 1994, “Optics“, Addison Wesley, Edisi II, Massachussets

Jones, Gerald M & Stallings, Charles C, 1999, “ Reducing Heat Stress for Dairy Cattle “, Virginia Cooperative Extension, Virginia


(4)

Kadir, Abdul, 1995, ”Energi Sumber Daya, Inovasi, Tenaga Listrik dan Potensi Ekonomi”, UI-Press, Edisi II, Jakarta

Kielch, Chris, 2006, ”New World Record Achieved in Solar Cell Technology US”, di akses dari http://www1.eere.energy.gov/solar/solar america/ tanggal 7 April 2008

Kuswardoyo, Torry, 2004, “Pemanfaatan Polusi Udara”, di akses dari http://www.torrykuswardoyo.com tanggal 9 February 2008

Maytin, Edward V, 1992, “ Differential Effects of HeatShock and Ultra Violet Light Upon Stress Protein Expression in Epidermal Keratinocytes”, The Journal of Biological Chemistry, Harvard Medical School, Boston, di akses dari http://www.jbc.org tanggal 3 April 2008

Mittler, Ron, 2006, ”Abiotic Stress, The Field Environment and Stress Combination”, ScienceDirect, Nevada, US

Mumford, Leanne, 2004, ”Outdoor Workers Exposed to Ultra Violet Radiation and Seasonal Heat”, The University of Sydney, Australia.

Di akses dari http://www.usyd.edu.au tanggal 16 Maret 2008

Nurasid, Heru, 2006, “Pengukuran Kecepatan Permukaan Obyek“, Pustekom-Lensa, Jakarta

OSHA, 2007, ”Heat Stress”, Occupational Safety & Health Administration, Departemen of Labor, US

Pennington, A Jodie, 2003, ”Heat Stress in Dairy Cattle” The University of Arkansas, Cooperative Extension Service, US

Preuss, Paul, 2001, ”A Step Closer to The Optimum Solar Cell” ,The Universitas of Berkley, US. di akses dari http://www.lbl.gov tanggal 4 February 2008

Quest, 2004, ” QuestTempº 36 Thermal Environment Monitor”, Quest Technology, Oconomowoc, US

Rangaswany, Ashok, 2003, “Effect of CdCl2 Treatment on CdTe and CdS Solar Cell

Characteristics After Exposure to Light for 1000 Hours”, University of South Florida, US

Ridha, 2006, “Aplikasi Sel Surya Sebagai Sumber Energi Alternatif”, di akses dari http://www.acehforum.or.id/ tanggal 17 November 2007


(5)

Robert, Jurgen, 1995, “Introduction to Classical and Modern Optics“, Prentice Hall, Inc., New Jersey

Roem, Prasetyo, 2002, “Beberapa Cara Baru Penghematan Energi Listrik“, di akses dari http://www.ia-itb.com tanggal 11 Maret 2008

SNI 16-7063, 2004, “Pengukuran iklim kerja (panas) dengan parameter indeks suhu basah dan bola”, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta

Soetrisno, Ramelan, 1980, “Listrik dalam Praktek“, Bina Cipta, Jilid I, Jakarta Waldman, Gerry, 1990, “Introduction to Light“. Prentice Hall, Inc., New Jersey Wenas, Wilson, 2008, “Listrik Tenaga Surya Solusi Energi Masa Depan”, diakses

dari http://www.menadopost.com tanggal 15 September 2008

Widodo, Rusminto, 2008, “Solar Cell : Sumber Energi masa depan yang ramah lingkungan”, di akses dari http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel tanggal 21 Mei 2008

Zemansky, Sears, 1972, “Fisika untuk Universitas“, Bina Cipta, Jakarta


(6)